Partisipasi Masyarakat Dalam Mitigasi Bencana Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Kota Medan

(1)

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MITIGASI

BENCANA DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DELI

KOTA MEDAN

TESIS

O L E H :

YUNITA SARI

NIM : 077024042

PENELITIAN

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MITIGASI

BENCANA DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DELI

KOTA MEDAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP)

dalam Program Studi Pembangunan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

METODOLOGI

O L E H :

YUNITA SARI

NIM : 077024042

PENELITIAN

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis

:

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM

MITIGASI BENCANA DI DAERAH ALIRAN

SUNGAI (DAS) DELI KOTA MEDAN

Nama Mahasiswa :

Yunita Sari

Nomor Pokok

:

077024042

Program studi

:

Studi Pembangunan

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si)

(Drs. Kariono, M.Si)

Ketua

Anggota

Ketua Program Studi

Dekan

(Prof.Dr.M.Arif Nasution, MA)

(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)


(4)

Telah diuji pada :

Tanggal Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si

Anggota

: 1. Drs. Kariono, M.Si

2. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si

3. Drs. Agus Suriadi, M.Si

4. Prof. Subhilhar, MA.,Ph.D


(5)

PERNYATAAN

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MITIGASI

BENCANA

DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DELI

KOTA MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Agustus 2010

Penulis,


(6)

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli merupakan daerah yang rawan akan bencana banjir, tetapi masyarakat masih bertempat tinggal dibantaran DAS Deli dan membuang sampah kesungai. Padahal peristiwa bencana tidak mungkin dihindari, tetapi yang dapat kita lakukan adalah memperkecil terjadinya korban jiwa, harta maupun lingkungan melalui mitigasi bencana. Banyaknya korban jiwa maupun harta benda dalam peristiwa bencana yang selama ini terjadi, lebih sering disebabkan kurangnya kesadaran dan pemahaman pemerintah maupun masyarakat terhadap potensi kerentanan bencana serta upaya mitigasinya.

Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, mulai Desember 2009-Maret 2010 dan bertujuan untuk menganalisis partisipasi masyarakat Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun dalam mitigasi bencana di DAS Deli kota Medan dengan menggunakan metode survey deskriptif dengan pendekatan kualitatif untuk menganalisis partisipasi masyarakat dalam mitigasi bencana. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan dokumentasi.

Berdasarkan hasil penelitian, partisipasi masyarakat Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun dalam mitigasi bencana masih relatif rendah. Kultur masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan juga masih rendah dan menjadikan sungai menjadi tempat pembuangan sampah, selanjutnya masih bertahan tinggal di bantaran sungai dan menolak program rusunawa sebagai pengganti tempat tinggal mereka yang ditawarkan oleh pemerintah kota Medan.


(7)

ABSTRACT

Drainage basin ( DAS) Deli is gristle area floods disaster, but public still residing around DAS Deli and throws away garbage into the river. Though we can not avoid of disaster, but we can minimize sacrifice falls, goods, and the environment through disaster mitigation. Lost of sacrifice falls and goods often cause by lack of consciousness and understanding of government and public to know the potency of suscreptible in disaster and effort to mitigate it.

This research done during three months start December 2009 - March 2010 aimed to the analyze the participation of public in Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun on disaster mitigation of DAS ( daerah aliran sungai) Deli Medan City by using descriptive survey method and qualitative approach to analyses public participation of public disaster mitigation. The data has collected by interview and documentation technique.

Based on the result of research, public participation of Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun on disaster mitigation still relative low. Public culture of keeping clean environment still also low and they make the river as a place of exile of garbage and they still also staying in the edges around of river and refuses rusunawa program as a changer of residence which offered by the government for them.

Keywords: Public participation, Disaster mitigation


(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini, walaupun disana sini mungkin masih terdapat kekurangan dan kelemahan yang disebabkan oleh keterbatatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Oleh karenanya dengan segala kerendahan hati, penulis akan menerima kritikan dan saran dari berbagai pihak guna kesempurnaan tesis ini.

Dalam menyelesaikan tesis ini, penulis juga telah banyak menerima bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak, maka sudah sepatutnyalah penulis dengan hati yang tulus mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H.,MSc (CTM), Sp.A (K) selaku Rektor USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat mengikuti perkuliahan di Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fisip USU sekaligus penguji tesis yang telah meluangkan waktunya untuk mengoreksi dan memberikan masukan sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.


(9)

3. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Ketua Program Studi Magister Pembangunan FISIP USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti perkuliahan pada Program Studi Pembangunan.

4. Drs. Agus Suriadi, M.Si selaku sekretaris program pada Program Studi Pembangunan USU dan sekaligus penguji tesis yang telah meluangkan waktu dan memberikan masukan dan saran sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.

5. Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si selaku pembimbing I yang telah sabar membimbing serta meluangkan waktunya kepada penulis untuk memberikan masukan dan saran sehingga dapat menyelsesaikan tesis ini.

6. Drs. Kariono, M.Si selaku pembimbing II yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Dr. Hasim Purba, SH.,M.Hum,suami yang telah memberikan pengertian dan dukungannya yang penuh kepada penulis, demikian juga anak-anakku:

M. Hadyan yunhas Purba, Siti Hasnita Oktavia Purba, Rizki Hasnita Ramadhani Purba, Nabiilah Rahma Hasnita Purba dan M. Akbar Yunhas Purba. Semoga kalian menjadi anak-anak yang soleh dan soleha serta mencapai pendidikan yang setinggi-tingginya dan bermanfaat.

8. Mama dan Papa, kedua orang tua penulis yang telah melimpahkan kasih sayangnya, demikian juga saudara-saudaraku yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan studi.


(10)

9. Teman-teman seangkatan yang memberikan bantuan dan motivasi dalam menyelesaikan tesis ini dan berbagai pihak yang tak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas semuanya.

Wassalamualaikum wr.wb

Medan, Agustus 2010 Penulis,


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP A. Identitas

Nama : Yunita Sari

Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 22 Juni 1968

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : PNS Bakesbangpol Linmas Provinsi Sumatera Utara

Agama : Islam

Status : Kawin

Golongan Darah : AB

Alamat Kantor : Jln. Gatot Subroto No. 361 Medan

No. Telepon Kantor : (061) 4528894 - 4557009 – 452780

No. Faximile : (061) 4153148

Alamat Rumah : Komplek Perumahan Medan Estate Permai

Blok II No. 32 Medan Estate,

Telp (061) 7380501, HP. 08153106390

Nama Suami : Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum

Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum USU

Nama Anak : (1) Muhammad Hadyan Yunhas Purba

(lahir,Medan, 27 April 1994) (2) Siti Hasnita Oktavia Purba

(lahir, Medan, 26 Oktober 1996) (3) Rizki Hasnita Ramadani Purba

(lahir, Medan, 27 Desember 1999) (4). Nabila Rahmah Hasnita Purba (lahir, Medan, 28 Agustus 2005) (5). Muhammad Akbar Yunhas Purba (lahir, Medan, 20 Januari 2010)


(12)

B. Riwayat Pendidikan

1. Sekolah Dasar Negeri 060875 Medan

2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 10 Medan

3. Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Bandung

4. Sarjana Ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU Medan


(13)

DAFTAR ISI

Halaman [[[[

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I : PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Perumusan Masalah... 5

1.3. Tujuan Penelitian... 7

1.4. Manfaat Penelitian... 7

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1. Bencana... 9

2.2. Manajemen Bencana... 14

2.2.1. Mitigasi Bencana... 17

2.2.2. Mitigasi Bencana yang Efektif... 18

2.2.3. Mitigasi Bencana Berbasis Masyarakat... 19

2.2.4. Kebijakan Dan Strategi Mitigasi Bencana... 21

2.2.5. Langkah-langkah yang Dilakukan Dalam Mitigasi Bencana Banjir... 22

2.3. Risiko Bencana... 24

2.4. Pengurangan Risiko Bencana... 27

2.5. Upaya Pengurngan Risiko Bencana... 31

2.6. Seputar Partisipasi Masyarakat... 32

2.7. Proses Penanggulanan Risiko Bencana oleh Masyarakat... 38


(14)

2.8. Strategi Penerapan Penanggulanan Risiko Bencana oleh

Masyarakat... 41

2.9. Peran Penganggaran... 45

BAB III : METODE PENELITIAN... 47

3.1. Jenis Penelitian... 47

3.2. Lokasi Penelitian... 48

3.3. Informan... 48

3.4. Teknik Pengumpulan Data... 48

3.5. Teknik Analisis Data... 49

3.6. Jadwal Penelitian... 49

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN... 50

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 50

4.1.1. Profil Kota Medan... 50

4.1.2. Profil Kelurahan Aur Kec. Medan Maimun... 53

4.2. Partisipasi Masyarakat Kel. Aur Dalam Mitigasi Bencana di DAS Deli kota Medan... 59

4.3. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanggulangan Bencana Berkenaan Dengan Partisipasi Masyarakat Dalam Manajemen Bencana Di Daerah Aliran Sungai (Das) Deli Medan... 66

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 71

5.1. Kesimpulan... 71

5.2. Saran... 72


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Jumlah Kepadatan Penduduk di Kota Medan/ Kecamatan

Tahun 2007... 52 2. Jumlah Lingkungan di Kecamatan Medan Maimun/Kelurahan

Tahun 2009... 53

3. Luas Penggunaan Lahan di Kecamatan Medan Maimun

Menurut Kelurahan... 54 4. Jumlah Penduduk Kecamatan Medan Maimun 2007... 54 5. Jumlah Etnis Penduduk Kelurahan Aur... 55

6. Jumlah Fasilitas Perekonomian per Kelurahan di Kecamatan

Medan Maimun... 55

7. Jumlah Fasilitas Industri per Kelurahan di Kecamatan

Medan Maimun... 56 8. Jumlah Lembaga Pendidikan Formal di Kelurahan Aur

Kecamatan Medan Maimun... 57 9. Jumlah Lembaga Pendidikan Formal Keagamaan di Kelurahan

Aur Kecamatan Medan Maimun... 57

10. Tingkat Pendidikan Penduduk Kelurahan Aur... 58 11. Beberapa Kejadian Banjir Yang Pernah Terjadi di Kelurahan Aur... 61


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Siklus Manajemen Bencana ... 15 2. Siklus Pengurangan Risiko Berbasis Masyarakat/Komunitas ... 20


(17)

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli merupakan daerah yang rawan akan bencana banjir, tetapi masyarakat masih bertempat tinggal dibantaran DAS Deli dan membuang sampah kesungai. Padahal peristiwa bencana tidak mungkin dihindari, tetapi yang dapat kita lakukan adalah memperkecil terjadinya korban jiwa, harta maupun lingkungan melalui mitigasi bencana. Banyaknya korban jiwa maupun harta benda dalam peristiwa bencana yang selama ini terjadi, lebih sering disebabkan kurangnya kesadaran dan pemahaman pemerintah maupun masyarakat terhadap potensi kerentanan bencana serta upaya mitigasinya.

Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, mulai Desember 2009-Maret 2010 dan bertujuan untuk menganalisis partisipasi masyarakat Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun dalam mitigasi bencana di DAS Deli kota Medan dengan menggunakan metode survey deskriptif dengan pendekatan kualitatif untuk menganalisis partisipasi masyarakat dalam mitigasi bencana. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan dokumentasi.

Berdasarkan hasil penelitian, partisipasi masyarakat Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun dalam mitigasi bencana masih relatif rendah. Kultur masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan juga masih rendah dan menjadikan sungai menjadi tempat pembuangan sampah, selanjutnya masih bertahan tinggal di bantaran sungai dan menolak program rusunawa sebagai pengganti tempat tinggal mereka yang ditawarkan oleh pemerintah kota Medan.


(18)

ABSTRACT

Drainage basin ( DAS) Deli is gristle area floods disaster, but public still residing around DAS Deli and throws away garbage into the river. Though we can not avoid of disaster, but we can minimize sacrifice falls, goods, and the environment through disaster mitigation. Lost of sacrifice falls and goods often cause by lack of consciousness and understanding of government and public to know the potency of suscreptible in disaster and effort to mitigate it.

This research done during three months start December 2009 - March 2010 aimed to the analyze the participation of public in Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun on disaster mitigation of DAS ( daerah aliran sungai) Deli Medan City by using descriptive survey method and qualitative approach to analyses public participation of public disaster mitigation. The data has collected by interview and documentation technique.

Based on the result of research, public participation of Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun on disaster mitigation still relative low. Public culture of keeping clean environment still also low and they make the river as a place of exile of garbage and they still also staying in the edges around of river and refuses rusunawa program as a changer of residence which offered by the government for them.

Keywords: Public participation, Disaster mitigation


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis,hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, dan dampak psikologis, yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasioanal.

Secara umum terdapat peristiwa bencana yang terjadi berulang setiap tahun. Bahkan saat ini peristiwa bencana menjadi lebih sering terjadi dan silih berganti, misalnya dari kekeringan kemudian kebakaran, lalu diikuti banjir dan longsor.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tanggal 26 April 2007 tentang Penanggulangan Bencana; bab 1 ketentuan umum Pasal 1, yang dimaksud dengan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor alam dan faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Adapun jenis bencana terdiri dari Bencana alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam


(20)

antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor; Bencana non alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemic, dan wabah penyakit; Bencana sosial yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan terror.

Berdasarkan KEPMENDAGRI No. 131 tahun 2003 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Daerah, penyebab bencana dapat digolongkan menjadi: (1) Bencana Akibat Perang; (2) Bencana Alam (letusan gunung berapi, gempa bumi, banjir lahar, banjir lava, banjir air, angin topan, gelombang pasang/tsunami, tanah longsor, kebakaran, bencana kekeringan, bencana kelaparan, bencana hama tanaman,bencana wabah penyakit); (3) Bencana Akibat Ulah Manusia (pembakaran hutan, lahan, instalasi, dan fasilitas lain yang berdampak luas, ledakan instalasi pabrik/objek vital, Pencemaran lingkungan, Kecelakaan yang menelan banyak korban, konflik/kerusuhan sosial (SARA), aksi terror dan sabotase).

Dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma dan pendekatan penanganan bencana dari tanggap darurat ke pencegahan dan mitigasi, penanganan yang bersifat sektoral menjadi penanganan secara terpadu, penanganan yang sentralistis menjadi ke arah desentralistis, penanganan yang hanya menjadi tugas pemerintah menjadi berbasis komunitas, pendekatan yang konvensional mengarah ke pendekatan


(21)

holistis/komprehensif (Majalah Dirjen Pemerintahan Umum, Profil PUM, Edisi 1 Januari–30 Juni 2007).

Komunitas DAS Deli kota Medan adalah kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di bantaran daerah aliran sungai Deli kota Medan, dalam hal ini di Kecamatan Medan Maimun kelurahan Aur yang rawan akan bencana banjir.

Selama tahun 2009 telah terjadi banjir di daerah aliran sungai (DAS) Deli Medan yaitu pada 4 Januari 2009, mencapai 3 m, merendam 1.500 rumah di pinggiran sungai Deli; 15 Januari 2009, Sei Deli, mencapai ketinggian 2 m, akibat hujan deras yang melanda kota Medan seharian di tambah hujan dari hulu sungai menyebabkan warga yang tinggal di bantaran DAS harus mengungsi. Banjir terparah di kelurahan Aur, kelurahan Sei Mati ,kelurahan Kampung Baru, kelurahan Hamdan kecamatan Maimun. Sejumlah warga kelurahan Jati mengungsi untuk menghindari banjir; 300 kk rumahnya terendam; 5 Mei 2009, banjir kiriman dari dataran tinggi Tanah Karo mengakibatkan Sungai Deli di Medan meluap, yang menyebabkan ratusan rumah dan sebuah sekolah yang berada di bantaran sungai terendam air. Akibatnya sejumlah siswa batal mengikuti ujian. Kondisi terparah dialami warga yang bermukim di kecamatan Medan Maimun. Seperti yang terlihat di Gang Al-Fajar, Jln. Brigjen Katamso, kelurahan Sei Mati, ketinggian air mencapai sedada orang dewasa. Warga terpaksa mengungsi dan memindahkan sebagian perabotan rumah tangga ke badan jalan Brigjen Katamso Medan; 10 Mei 2009, ratusan rumah di pinggiran Sungai Deli terendam banjir ketinggian air mencapai 1.5 m. Banjir berasal


(22)

dari meluapnya Sungai Deli yang terjadi sejak minggu malam. Luapan air terjadi akibat kiriman air dari hulu Sungai Deli, yakni dari kecamatan Sibolangit, kiriman air dan curah hujan yang terjadi selama tiga jam (http://m.detik.com); 5 November 2009, 1.292 rumah terkena banjir akibat hujan deras yang menurut Camat Medan Maimun, Arfan Harahap ada lima kelurahan yang terendam banjir seperti kel, Sei Mati 596 kk, kel. Hamdan 338 kk, kel. Kampung Baru 11 kk, kel. Aur 275 kk dan kel. Sukaraja 65 kk (Waspada, 6 November 2009, hal 11).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. SK. 328/Menhut-II/2009 tanggal 12 juni 2009 tentang penetapan Daerah Aliran Sungai prioritas dalam rangka RPJM tahun 2010-2014, untuk Provinsi Sumatera Utara yakni: Wampu, Besitang, Lepan, Deli, Padang, Sei Ular, Asahan Toba, Batang Gadis, Mujoi (Nias).

Sungai Deli merupakan salah satu dari delapan sungai yang ada di kota Medan. Mulanya, pada masa Kerajaan Deli, sungai merupakan urat nadi perdagangan ke daerah lain. Saat ini, luas hutan di hulu sungai Deli hanya tinggal 3.655 hektar atau tinggal 7.59 persen dari 48.162 hektar areal Daerah Aliran Sungai Deli. Padahal, dengan luas 48.162 hektar, panjang 71.92 km, dan lebar 5.58 km, Daerah Aliran Sungai Deli seharusnya memiliki hutan alam untuk kawasan resapan air sedikitnya seluas 140 hektar, atau 30 persen dari luas daerah aliran sungai (DAS).


(23)

Sungai Deli berhulu di Kabupaten Tanah Karo. Sungai itu melintasi Kabupaten Deli Serdang, membelah kota Medan dan berakhir di Muara Belawan. Ada ratusan anak sungai yang bermuara di sepanjang aliran sungai itu. Kini limbah mencemari sungai. Pencemaran Sungai Deli, 70 persen diantaranya di akibatkan limbah padat dan cair. Limbah domestik padat atau sampah yang dihasilkan di kota Medan 1.235 ton per hari.

Kerusakan lingkungan di Indonesia telah menjadi keperihatinan banyak pihak, baik di dalam negeri maupun oleh dunia Internasional. Hal ini ditandai dengan meningkatnya bencana alam yang di rasakan, seperti bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan yang semangkin meningkat. Rendahnya daya dukung DAS sebagai suatu ekosistem diduga merupakan salah satu penyebab utama terjadinya bencana alam yang terkait dengan air (water related disaster) tersebut. Kerusakan DAS dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumber daya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi, konflik kepentingan dan kurang keterpaduan antar sektor, antar wilayah hulu-tengah-hilir, terutama pada era otonomi daerah. Pada otonomi daerah, sumber daya alam di tempatkan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).

1.2. Perumusan Masalah

Kenyataan menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanggulangan bencana oleh sebagian masyarakat dirasakan belum merupakan satu kebutuhan atau hal yang prioritas dan mendesak (basic needs) karena belum menyadari


(24)

bahwa bencana dapat terjadi kapan saja, di mana saja dan dapat menimpa siapa saja.

Kurangnya pengetahuan, pemahaman, kesadaran, kepedulian, dan tanggung jawab akan pentingnya upaya pencegahan dan penanggulangan bencana, akan berakibat jatuhnya korban dan kerugian material apabila terjadi bencana.

Dalam paradigma baru, penanganan bencana adalah suatu pekerjaan terpadu yang melibatkan masyarakat secara aktif. Pendekatan yang terpadu semacam ini menuntut koordinasi yang lebih baik di antara semua pihak, baik dari sektor pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat, badan-badan internasional, dan sebagainya.

Perubahan paradigma penanganan bencana mulai bergeser ke arah pengurangan risiko bencana yaitu kombinasi dari sudut pandang teknis dan ilmiah terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politis, dan menganalisis risiko bencana, ancaman, kerentanan, dan kemampuan masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan dalam mengelola dan mengurangi risiko, dan juga mengurangi terjadinya bencana. Kegiatannya dilakukan bersama oleh semua para pihak (stakeholder) dengan pemberdayaan masyrakat.

Dari uraian di atas, yang menjadi permasalahan yaitu bagaimana partisipasi masyarakat dalam mitigasi bencana banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Kota Medan, seperti menjaga kebersihan lingkungan berkaitan


(25)

dengan pembuangan sampah dan tidak menggunakan dataran retensi banjir untuk pemukiman atau untuk hal-hal lain di luar rencana peruntukkannya?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Memberi gambaran partisipasi masyarakat dalam mitigasi bencana di daerah aliran sungai (DAS) Deli, Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun Kota Medan, yang dilaksanakan dalam rangka upaya perlindungan masyarakat terhadap bencana.

2. Untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana berkenaan dengan partisipasi masyarakat dalam manajemen bencana di daerah aliran sungai (DAS) Deli Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis

1. Sebagai bahan informasi tentang data empiris yang dapat digunakan sebagai bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya.


(26)

b. Manfaat Praktis

1. Untuk menganalisis partisipasi masyarakat dalam mitigasi bencana di DAS Deli Medan.

2. Sumber informasi bagi stakeholder untuk berpartisipasi dalam penanggulangan bencana.

3. Bahan masukan bagi stakeholder penanggulangan bencana Provinsi Sumatera Utara untuk penyempurnaan penanggulangan bencana.


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bencana

Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi karena komponen-komponen pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability) bekerja bersama secara sistematis, sehingga menyebabkan terjadinya risiko (risk) pada komunitas (BNPB, 2005 : 10)

Tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena bencana baru akan terjadi bila ’bahaya’ terjadi pada ’kondisi yang rentan’, seperti yang dikemukan Awatona (1997 : 1-2)”...Natural disasters are the interaction between natural

hazards and vulnerable condition”. Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan

fisik (infrastruktur), sosial kependudukan, dan ekonomi.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dilihat dari waktu terjadinya ancaman dapat muncul secara tiba-tiba dan tidak terduga (shocks); ancaman berangsur, terduga dan dapat dicermati (trends); serta ancaman musiman yang datang setiap periode waktu tertentu (seasonality). Ancaman yang muncul secara tiba-tiba akan menimbulkan bencana tiba-tiba (missal tumpahan limbah, kebocoran nuklir); ancaman yang berangsur dan musiman akan menyebabkan bencana yang berangsur (banjir kiriman, kekeringan,degradasi lingkungan akibat


(28)

polusi, pestisida dan pupuk kimia) dan musiman (gerakan tanah/tanah longsor, kekeringan, banjir pasang surut, banjir hujan).

Selanjutnya status ancaman ini sangat tergantung dari kapasitas individu maupun komunitas dalam menguasai sistem peringatan dini (early warning system). Artinya, ancaman yang dimaknai shocks oleh satu individu atau komunitas, merupakan trends untuk individu atau komunitas lain yang mempunyai sistem peringatan dini yang lebih baik. Sebaliknya, ancaman yang dimaknai trends oleh satu individu atau komunitas, merupakan shocks untuk individu atau komunitas lain yang mempunyai sistem peringatan dini yang buruk. Ancaman gerakan tanah/tanah longsor akan dipahami sebagai sesuatu yang mendadak oleh masyarakat yang tidak memahami penanggulangan bencana, tetapi akan dipahami sebagai sesuatu yang berangsur oleh masyarakat yang paham penanggulangan bencana.

Seterusnya, bencana akan mereduksi kapasitas komunitas dalam menguasai maupun mengakses aset penghidupan (livelihoodassets). Dibeberapa peristiwa bencana seluruh kapasitas dan aset tersebut hilang sama sekali. Reduksi kapasitas itu pula yang memungkinkan bencana cenderung akan hadir berulang disuatu kawasan dan komunitas. Menurut konsep sustainable livelihood ada lima aset penghidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial yang lebih tinggi didalam upayanya mengembangkan kehidupannya yaitu: (1) humanecapital, yakni modal yang dimiliki manusia; (2) social capital, adalah kekayaan sosial yang dimiliki komunitas; (3)


(29)

infrastruktur dasar dan memproduksi barang–barang yang dibutuhkan; serta (5)

financial capital, yaitu sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh masyarakat

untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupannya.

Menurut sosiolog Prof. Dr. Heru Nugroho (2008:24), setiap individu, komunitas maupun unit sosial yang lebih besar mengembangkan kapasitas sistem penyesuaian dalam merespons ancaman. Renspons itu bersifat jangka pendek yang disebut mekanisme penyesuaian (coping mechanism) atau yang lebih jangka panjang yang dikenal sebagai mekanisme adaptasi (adaptatif mechanism). Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk mengakses kebutuhan hidup dasar: keamanam, sandang, pangan, sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber–sumber kehidupannya. Prinsip kehati-hatian dimulai dari mencermati setiap bagian kegiatan yang berpotensi menjadi ancaman terhadap keberadaan aset penghidupan dan jiwa manusia. Ancaman tersebut perlahan-lahan maupun tiba-tiba akan berpotensi menjadi sebuah bencana, sehingga menyebabkan hilangnya jiwa manusia, harta benda dan lingkungan. Kejadian ini terjadi di luar kemampuan adaptasi masyarakat dengan sumber-dayanya. Berkenaan dengan hal tersebut maka perlu dipahami potensi risiko yang mungkin muncul, yaitu besarnya kerugian atau kemungkinan hilangnya (jiwa, korban, kerusakan dan kerugian ekonomi) yang disebabkan oleh ancaman tertentu di suatu daerah pada suatu waktu tertentu. Risiko biasanya dihitung secara matematis, merupakan probabilitas dari dampak atau konsekuensi suatu ancaman. Jika potensi risiko pada pelaksanaan


(30)

kegiatan jauh lebih besar dari manfaatnya, maka kehati–hatian perlu dilipat-gandakan. Upaya mengurangi kerentanan (vulnerability) yang melekat, yaitu sekumpulan kondisi yang mengarah dan menimbulkan konsekuensi (fisik, sosial,ekonomi dan perilaku) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana, misalnya: menebang, penambangan batu, membakar .

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, siklus penanggulangan bencana yang perlu dilakukan secara utuh. Upaya pencegahan (prevention) terhadap munculnya dampak adalah perlakuan utama. Untuk mencegah banjir maka perlu mendorong usaha masyarakat membuat sumur resapan, dan sebaliknya mencegah penebangan. Agar tidak terjadi jebolnya tanggul, maka perlu disusun save procedure dan kontrol terhadap kepatuhan perlakuan. Walaupun pencegahan sudah dilakukan, sementara peluang adanya kejadian masih ada, maka perlu dilakukan upaya-upaya mitigasi (mitigation), yaitu upaya-upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Ada 2 bentuk mitigasi, yaitu mitigasi struktural berupa pembuatan infrastruktur pendorong minimalisasi dampak, serta mitigasi non struktural berupa penyusuan peraturan-peraturan, pengelolaan tata ruang dan pelatihan. Usaha-usaha di atas perlu didukung dengan upaya kesiap siagaan (preparedness), yaitu melakukan upaya untuk mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat, efektif dan siap siaga. Misalnya: penyiapan sarana komunikasi, pos komando dan penyiapan lokasi evakuasi. Di dalam


(31)

usaha kesiapsiagaan ini juga dilakukan penguatan sistem peringatan dini (earlywarning system), yaitu upaya untuk memberikan tanda peringatan bahwa bencana kemungkinan akan segera terjadi. Upaya ini misalnya dengan membuat perangkat yang akan menginformasikan ke masyarakat apabila terjadi kenaikan kandungan unsure yang tidak diinginkan di sungai atau sumur di sekitar sumber ancaman. Pemberian peringatan dini harus (1) menjangkau dan dipahami masyarakat (accesible), (2) segera (immediate), (3) tidak membingungkan (coherent), dan (4) bersifat resmi (official). Pada akhirnya jika bencana dari sumber ancaman terpaksa harus terjadi, maka tindakan tanggap darurat (response), yaitu upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan dan mengurangi dampak lebih besar, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda. Secara sinergis juga diperlukan bantuan darurat (relief), yaitu upaya memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa: pangan, sandang, tempat tinggal sementara, kesehatan, sanitasi dan air bersih. Agar dampak tidak berkepanjangan maka proses pemulihan (recovery) kondisi lingkungan dan masyarakat yang terkena dampak/bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula. Upaya yang dilakukan bukan sekedar memperbaiki prasarana dan pelayanan dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar puskesmas, dll) tetapi termasuk fungsi-fungsi ekologis. Upaya tersebut, dalam jangka pendek umumnya terdiri dari usaha rehabilitasi (rehabilitation), yaitu upaya untuk membantu masyarakat memperbaiki rumahnya, fasilitas umum dan fasilitas sosial penting, dan


(32)

menghidupkan kembali roda perekonomian dan fungsi ekologis setelah bencana terjadi. Penyelesaian masalah lingkungan sejauh ini hanya melakukan tindakan fisik ini, yang umumnya belum menyentuh rehabilitasi fungsi ekologis. Selanjutnya rekonstruksi (reconstruction) merupakan upaya jangka menengah dan jangka panjang guna perbaikan fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi yang sama atau lebih baik dari sebelumnya.

2.2. Manajemen Bencana

Banyaknya peristiwa bencana yang terjadi di Indonesia dan menimbulkan korban jiwa serta kerugian harta benda yang besar, telah membuka mata kita bersama bahwa manajemen bencana di negara kita masih sangat jauh dari yang kita harapkan. Selama ini, manajemen bencana dianggap bukan prioritas dan hanya datang sewaktu-waktu saja, padahal kita hidup di wilayah yang rawan terhadap ancaman bencana. Oleh karena itu pemahaman tentang manajemen bencana perlu dimengerti dan dikuasai oleh seluruh kalangan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta.

Manajemen bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai Siklus Manajemen Bencana (seperti terlihat dalam Gambar Siklus Manajemen Bencana), yang bertujuan untuk (1) mencegah kehilangan jiwa; (2) mengurangi penderitaan manusia; (3) memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta (4) mengurangi kerusakan infrastruktur


(33)

Gambar 1. Siklus Manajemen Bencana

Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam kedalam tiga kegiatan utama, yaitu:

1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini;

2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian;

3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.


(34)

Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan, padahal justru kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting karena apa yang sudah dipersiapkan pada tahap ini merupakan modal dalam menghadapi bencana dan pasca bencana. Sedikit sekali pemerintah bersama masyarakat maupun swasta memikirkan tentang langkah-langkah atau kegiatan-kegiatan apa yang perlu dilakukan didalam menghadapi bencana atau bagaimana memperkecil dampak bencana.

Kegiatan saat terjadi bencana yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian, akan mendapatkan perhatian penuh baik dari pemerintah bersama swasta maupun masyarakatnya. Pada saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian dan mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril material. Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang harus dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran, tepat manfaat, dan terjadi efisiensi.

Kegiatan pada tahap pasca bencana, terjadi proses perbaikan kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan dilaksanakan harus memenuhi kaidah-kaidah kebencanaan serta tidak hanya melakukan rehabilitasi fisik saja, tetapi juga perlu


(35)

diperhatikan juga rehabilitasi psikis yang terjadi seperti ketakutan, trauma atau depresi.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa titik lemah dalam Siklus Manajemen Bencana adalah pada tahapan sebelum/pra bencana, sehingga hal inilah yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau meminimalisasi dampak bencana yang terjadi.

2.2.1.Mitigasi Bencana

Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang.

Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui


(36)

perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.

2.2.2. Mitigasi Bencana yang Efektif

Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan.

1. Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk mengidentifikasi populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya; 2. Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat

tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.

3. Persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi

sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang


(37)

saatnya kembali ketika situasi telah aman. Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur).

2.2.3. Mitigasi Bencana Berbasis Masyarakat

Penguatan kelembagaan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta merupakan faktor kunci dalam upaya mitigasi bencana. Penguatan kelembagaan dalam bentuk dalam kesiapsiagaan, sistem peringatan dini, tindakan gawat darurat, manajemen barak dan evakuasi bencana bertujuan mewujudkan masyarakat yang berdaya sehingga dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Perwujudan Masyarakat atau komunitas yang berdaya dalam menghadapi bencana dapat diwujudkan melalui Siklus Pengurangan Risiko Berbasis Masyarakat/Komunitas berikut:


(38)

Gambar 2. Siklus Pengurangan Risiko Berbasis Masyarakat/Komunitas

Sementara itu upaya untuk memperkuat pemerintah daerah dalam kegiatan sebelum/pra bencana dapat dilakukan melalui perkuatan unit/lembaga yang telah ada dan pelatihan kepada aparatnya serta melakukan koordinasi dengan lembaga antar daerah maupun dengan tingkat nasional, mengingat bencana tidak mengenal wilayah administrasi, sehingga setiap daerah memiliki rencana penanggulangan bencana yang potensial di wilayahnya.

Hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan bersama-sama oleh pemerintahan, swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana, antara lain:

1. Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau mendukung usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna tanah agar tidak


(39)

2. Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang kegiatannya mulai dari identifikasi daerah rawan bencana, penghitungan perkiraan dampak yang ditimbulkan oleh bencana, perencanaan penanggulangan bencana, hingga penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif kebencanaan;

3. Indentifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat yang sifatnya menangani kebencanaan, agar dapat terwujud koordinasi kerja yang baik; 4. Pelaksanaan program atau tindakan ril dari pemerintah yang merupakan

pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat preventif kebencanaan;

5. Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam setempat yang memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.

2.2.4. Kebijakan Dan Strategi Mitigasi Bencana

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 tahun 2006 tanggal 18 Oktober 2006 perihal Pedoman Umum Mitigasi Bencana berbagai kebijakan yang perlu ditempuh dalam mitigasi bencana antara lain :

a. Dalam setiap upaya mitigasi bencana perlu membangun persepsi yang sama bagi semua pihak jajaran aparat pemerintah maupun segenap unsur masyarakat yang ketentutan langkahnya diatur dalam pedoman umum, petunjuk pelaksanaan dan prosedur tetap yang dikeluarkan oleh instansi yang bersangkutan sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

b. Pelaksanaan mitigasi bencana dilaksanakan secara terpadu, terkoordinir yang melibatkan seluruh potensi pemerintah dan masyarakat.


(40)

c. Upaya preventiv harus diutamakan agar kerusakan dan korban jiwa dapat diminimalkan.

d. Penggalangan kekuatan melalui kerjasama dengan semua pihak, melalui pemberdayaan masyarakat serta kampanye.

Selanjutnya untuk melaksanakan kebijakan dikembangkan beberapa strategi sebagai berikut :

a. Pemetaan; b. Pemantauan;

c. Penyebaran Informasi; d. Sosialisasi dan Penyuluhan; e. Pelatihan/Pendidikan; f. Peringatan Dini

2.2.5. Langkah-Langkah yang Dilakukan Dalam Mitigasi Bencana Banjir

Secara lebih rinci upaya pengurangan bencana banjir antara lain :

1. Pengawasan penggunaan lahan dan perencanaan lokasi untuk menempatkan fasilitas vital yang rentan terhadap banjir pada daerah yang aman

2. Penyesuaian desain bangunan di daerah banjir harus tahan terhadap banjir dan dibuat bertingkat.


(41)

4. Pembangunan tembok penahan dan tanggul disepanjang sungai, tembok laut sepanjang pantai yang rawan badai atau tsunami akan sangat membantu untuk mengurangi bencana banjir.

5. Pengaturan kecepatan aliran air permukaan dan daerah hulu sangat membantu mengurangi terjadinya bencana banjir. Beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk mengatur kecepatan air masuk kedalam sistem pengaliran diantaranya adalah dengan pembangunan bendungan/waduk , reboisasi dan pembangunan sistem peresapan.

6. Pengerukan sungai, pembuatan sudetan sungai baik secara saluran terbuka maupun dengan pipa atau terowongan dapat membantu mengurangi resiko banjir. 7. Pembuatan tembok penahan dan tembok pemecah ombak untuk mengurangi

energi ombak jika terjadi badai atau tsunami untuk daerah pantai.

8. Memperhatikan karakteristik geografi pantai dan bangunan pemecahan gelombang untuk daerah teluk.

9. Pembersihan sedimen

10.Pembangunan pembuatan saluran drainse

11.Peningkatan kewaspadaan di daerah dataran banjir

12.Desain bangunan rumah tahan banjir (material tahan air, fondasi kuat) 13.Pelatihan pertanian yang sesuai dengan kondisi daerah banjir


(42)

15.Pelatihan tentang kewaspadaanbanjir seperti cara penyimpanan/pergudangan perbekalan, tempat istirahat/tidur di tempat yang aman (daerah yang tinggi)

16.Persiapan evakuasi bencana banjir seperti perahu dan alat-alat penyelamatan lainnya.

2.3. Risiko Bencana

Menurut BAKORNAS PB (Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia, 2006), dalam pengelolaan bencana (disaster managemen), risiko bencana adalah interaksi antara kerentanan daerah dengan ancaman bahaya yang ada. Sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi, sehingga kemampuan dalam menghadapai ancaman tersebut semakin meningkat. Besarnya risiko bencana dapat dinyatakan dalam bersarnya kerugian yang terjadi (harta, jiwa, cedera) untuk suatu besaran kejadian tertentu. Risiko bencana pada suatu daerah bergantung kepada beberapa faktor berikut:

- Alam/geografi/geologi (kemungkinan terjadinya fenomena bahaya)

- Kerentanan masyarakat terhadap fenomena (kondisi dan banyaknya bangunan)

- Kerentanan fisik daerah (kondisi dan banyaknya bangunan)

- Konteks strategis daerah


(43)

Secara umum risiko dapat dirumuskan sebagai berikut: Risiko bencana = bahaya x kerentanan

Bahaya  suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa atau kerusakan lingkungan.

Kerentanan  suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam menghadapi bahaya.

Kemampuan  penguasaan sumberdaya, cara, dan kekuatan yang dimiliki masyarakat yangt memungkinkan mereka untuk mempertahankan dan mempersiapkan diri untuk mencegah, menanggulangi, meredam serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana.

Dengan demikian maka semakin tinggi bahaya, kerentanan dan ketidak mampuan, maka semakin besar pula risiko bencana yang dihadapi. Hal ini dapat digambarkan sebagaimana Gambar 1 dan Gambar 2. Apa yang bisa dilakukan masyarakat dalam mengurangi risiko bencana?

Kemampuan

1. Mengenali potensi bencana yang merupakan ancaman. 2. Mengurangi dampak bencana (mitigasi bencana)

3. Membuat action plan, termasuk: rute evakuasi, earthquake drills and family


(44)

Gambar 3. Upaya Pengurangan Risiko Bencana

Bencana

Kerentanan

Bahaya Gambar 1:

Semakin tinggi tingkat kerentanan, semakinbesar risiko bencana

Bencana

Bahaya Kerentanan

Gambar 2 :

Semakin rendah tingkat kerentanan, semakinkecil risiko bencana

.

Sumber : Kebijakan pengurangan risiko bencana di Indonesia, BAKORNAS PB, Bahan Penyuluhan dan asistensi mitigasi bencana, 2006

1. Beberapa dampak-mungkin untuk dicegah.

2. Dampak lainnya-akan tetap muncul tetapi dapat diredam/dikurangi dengan beberapa tindakan mitigasi (usaha-usaha untuk pengurangan dampak dari suatu bencana pada suatu masyarakat)

Bidang kegiatan pengurangan risiko bencana adalah dengan melakukan berbagai cara antara lain:

1. Identifikasi dan pengkajian risiko


(45)

c. Identifikasi risiko dan kajian dampak d. Peringatan dini

2. Pengurangan risiko

a. Manajemen lingkungan

b. Pembangunan sosial dan ekonomi c. Upaya fisik dan teknik

d. Jejaring dan kemitraan

3. Penanggulangan dampak risiko/ kedaruratan a. Kesiapan, perencanaan kontijensi. b. Penanggulangan kedaruratan. c. Pemulihan

2.4. Pengurangan Risiko Bencana

Menurut BAKORNAS PB (Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia, 2006), salah satu pengertian paling sederhana tentang bancana adalah adanya kerugian pada hidup dan kehidupan suatu masyarakat sebagai dampak dari suatu kejadian yang disebabkan gejala alam ataupun ulah manusia. Kalau bencana diartikan seperti ini, maka tujuan utama dari penanganan bencana adalah untuk mencegah atau mengurang kerugian yang dihadapi masyarakat. Pertanyaan sentral berikutnya adalah strategi apa yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tersebut? Strategi pertama adalah dengan mencegah kejadiannya,


(46)

yaitu dengan sama sekali menghilangkan atau secara signifikan mengurangi kemungkinan dan peluang terjadinya fenomena yang bepotensi merugikan tersebut. Kalau ini tidak dapat dicapai, maka strategi kedua adalah dengan melakukan berbagai cara untuk mengurangi besarnya dan keganasan kejadian tersebut dengan mengubah karakteristik ancamannya, meramalkan atau mendeteksi potensi kejadian, atau mengubah sesuai unsur-unsur struktural dan nonstruktural dari masyarakat. Jika kejadian memang tidak dapat dihindarkan atau dikurangi, maka strategi ketiga adalah dengan mampersiapkan pemerintah dan masyarakat untuk menghindari atau

merespon kejadian tersebut secara efektif sehingga kerugian dapat dikurangi. Strategi

yang keempat adalah dengan secepatnya memulihkan masyarakat korban bencana dan membangun kembali sembari menguatkan mereka untuk menghadapi kemungkinan bencana masa depan. Jadi strategi penanganan bencana jelas-jelas bukan dan tidak terbatas pada respon kedaruratan saja.

Selama ini penanganan bencana difokuskan pada saat kejadian bencana melalui pemberian bantuan darurat (relief) berupa : pangan, penampungan, dan kesehatan. Tujuan utama penanganan seperti ini adalah untuk meringankan penderitaan korban, kerusakan ketika terjadi bencana, dan segera mempercepat pemulihan(recovery).

Dari respon darurat ke manajemen risiko : pergeseran ini mendorong perubahan radikal cara pandang. Tadinya, penanganan bencana dipandang sebagai rangkaian tindakan khusus terbatas pada keadaan darurat, dilakukan oleh para pakar


(47)

saja, kompleks dan mahal, serta cepat. Sekarang, penanganan bencana harus dilihat sebagai suatu paket kegiatan baik ada kedaruratan ataupun tidak.Titik beratnya bukan lagi bagaimana merespon kedaruratan melainkan bagaimana melakukan manajemen risiko sehingga dampak merugikan dari suatu kejadian dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Aspek- aspek penanganan bencana harus dipadukan dalam keseharian aspek-aspek pembangunan dan hajat pemerintahan justru pada saat

keadaan normal. Dengan demikian, penanganan bencana membuka diri terhadap

peran serta masyarakat dan dunia usaha pada berbagai tahap penanganan bencana. Kemudian perubahan paradigma penanganan bencana mulai bergeser ke arah pengurangan risiko bencana yaitu kombinasi dari sudut pandang teknis dan ilmiah terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politis, dan menganalisis risiko bencana, ancaman, kerentanan dan kemampuan masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan untuk mengelola dan mengurangi risiko, dan juga mengurangi terjadinya bencana. Kegiatannya dilakukan besama oleh semua para pihak (stakeholder) dengan pemberdayaan masyarakat.

Pendekatan ini menekankan pada bahaya dan kerentanan, serta kemampuan masyarakat dalam menghadapi bahaya dan risiko, gejala alam dapat menjadi bahaya, jika mengancam manusia dan harta benda. Bahaya akan berubah menjadi bencana jika bertemu dengan kerentanan dan ketidakmampuan masyarakat.


(48)

Fokus utama dalam pengurangan risiko bencana adalah:

1. Pengaturan legalitas bagaimana pengurangan risiko bencana menjadi prioritas nasional. Memperkuat kerjasama dan koordinasi antar lembaga dalam membagi tanggung jawab.

2. Perumusan kebijakan pengurangan risiko bencana terintegrasi kedalam perumusan kebijakan pembangunan.

3. Perencanaan dan pembangunan

a. Pengurangan risiko bencana menjadi rencana strategi instansi pusat ke daerah b. Mekanisme untuk menjamin bahwa bencana tidak akan merusak proyek

pembangunan.

c. Dan proyek pembangunan tidak meningkatkan risiko bencana kepada masyarakat.

d. Mekanisme koordinasi instansi atau lembaga terlibat dalam pengurangan risiko bencana.

4. Dukungan pelaksanaan

a. Pengurangan risiko bencana menjadi strategi dari instansi atau lembaga dalam pembangunan.

b. Sasaran yang dituju mengenal ancaman akan ancaman risiko yang dihadapi serta cara mengatasinya.

c. Adanya pengaturan kerjasama, kemitraan, dan koalisi untuk melaksanakan pengurangan risiko bencana.


(49)

2.5. Upaya Pengurangan Risiko Bencana

Menurut Yanuarko, (Profil PUM, Majalah Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, 2007), upaya pengurangan bencana harus ditingkatkan. Konferensi pengurangan risiko bencana sedunia (World Conference for Disaster

Reduction/WCDR) di Kobe, Jepang, pada tanggal 18-25 Januari 2005 dan konferensi

asia (Asian Conference fot Disaster Reduction/ACDR) di Beijing, China, pada tanggal 27-29 September 2005 tentang pengurangan risiko bencana adalah dasar tekad dan program kerja masyarakat sedunia dalam mengurangi risiko bencana, yang melahirkan Hyogo Framework for Action/HFA (Kerangka Kerja Aksi Hyogo

2005-2015) yaitu membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana (Building the Resilience of nation and communities to disasters).

Hasil ini memahami bahwa sasaran pembangunan tidak akan tercapai tanpa pertimbangan risiko bencana dan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak dapat dicapai kalau pengurangan risiko bencana tidak diarusutamakan kedalam kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Jelasnya, perspektif pengurangan risiko bencana harus dipadukan kedalam perencanaan pembangunan setiap negara dan dalam strategi pelaksanaannya yang terkait. Pada pelaksaannya, hal ini sudah didukung perangkat teknologi yang sudah ada dalam kemampuan untuk mengambil tindakan proaktif untuk mengurangi risiko kerugian akibat bencana sebelum terjadi.

Selanjutnya bencana yang terjadi secara berulang-ulang menjadi suatu tantangan bagi pembangunan disetiap negara. Dampak bencana semakin meningkat,


(50)

bantuan terhadap keadaan darurat juga semakin bertambah, juga semakin mengurangi sumber daya untuk biaya pembangunan. Demikian pula secara sosial dan ekonomi, penduduk semakin terpuruk dan terpinggirkan kedalam kemiskinan, ketergantungan akan sumber daya alam akan semakin meningkat, sehingga berdampak pada degradasi lingkungan, yang pada akhirnya semakin meningkatkan kerentanan terhadap risiko bencana. Dengan demikian pengurangan risiko bencana harus menjadi suatu bagian tak terpisahkan dari pembangunan berkelanjutan.

2.6. Seputar Partisipasi Komunitas

Menurut Nugroho (2008:25), komunitas merupakan sebuah istilah yang digunakan secara luas. Satu konsep umum mengenai komunitas adalah bahwa suatu komunitas adalah harmonis, mempunyai satu keselarasan minat dan aspirasi, dan terikat oleh nilai-nilai dan tujuan yang sama. Definisi ini menunjukkan bahwa komunitas bersifat homogen. Dalam kenyataannya, suatu komunitas dapat dibedakan secara sosial dan beragam. Gender, kelas, kasta, kekayaan, usia, etnis, agama, bahasa, dan aspek-aspek lain membedakan dan saling melengkapi dalam komunitas. Kepercayaan, minat, dan nilai-nilai anggota komunitas dapat bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu, sebuah komunitas tidak perlu homogen.

Meskipun demikian, mereka yang tinggal dalam sebuah komunitas mempunyai kerentanan dan kapasitas yang berbeda-beda, misalnya laki-laki dan perempuan. Ada yang mungkin lebih rentan atau lebih mampu dari yang lain.


(51)

Partisipasi komunitas merupakan suatu proses untuk memberikan wewenang lebih luas kepada komunitas untuk secara bersama-sama memecahkan berbagai persoalan. Pembagian kewenangan ini dilakukan berdasarkan tingkat keikutsertaan komunitas dalam kegiatan tersebut.

Selanjutnya partisipasi komunitas bertujuan untuk mencari jawaban atas masalah dengan cara lebih baik, dengan memberi peran komunitas untuk memberikan kontribusi sehingga implementasi kegiatan berjalan lebih efektif, efesien, dan berkelanjutan. Partisipasi komunitas dilakukan mulai dari tahapan kegiatan pembuatan konsep, konstruksi, operasional-pemeliharaan, serta evaluasi dan pengawasan. Tingkat partisipasi komunitas dalam kegiatan penanggulangan bencana terdiri dari 7 (tujuh) tingkatan yang didasarkan pada mekanisme interaksinya, yaitu: (1) penolakan; (2) berbagi informasi; (3) konsultasi tanpa komentar; (4) consensus dan pengambilan kesepakatan bersama; (5) kolaborasi; (6) berbagi penguatan dan risiko; dan (7) pemberdayaan dan kemitraan. Lebih lanjut tingkat partisipasi ini dapat diperkuat dari kecenderungan partisipasi yang bermakna ”untuk” komunitas, menjadi ”bersama” komunitas, dan akhirnya ”oleh” komunitas.

Seterusnya, ada berbagai pemangku-kepentingan (stakeholder) dan aktor dalam proses pengelolaan risiko bencana oleh komunitas. Pemangku-kepentingan pengelolaan bencana secara umum dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (i) penerima manfaat, komunitas yang mendapat manfaat/dampak secara langsung maupun tidak langsung, (ii) intermediari, kelompok komunitas, lembaga atau perseorangan yang


(52)

dapat memberikan pertimbangan atau fasilitasi dalam pengelolaan bencana antara lain: konsultan, pakar, LSM, dan profesional di bidang kebencanaan, dan (iii) pembuat kebijakan, lembaga/institusi yang berwenang membuat keputusan dan landasan hukum seperti lembaga pemerintahan dan dewan kebencanaan.

Kemudian penentuan dan pemilahan pemangku kepentingan dilakukan melalui 4 (empat) tahap proses yaitu: (a) identifikasi pemangku-kepentingan ; (b) penilaian ketertarikan pemangku-kepentingan terhadap kegiatan penanggulangan bencana ; (c) penilaian tingkat pengaruh dan kepentingan setiap pemangku-kepentingan ; dan (d) perumusan rencana strategi partisipasi stakeholder dalam penanggulangan bencana pada setiap fase kegiatan. Semua proses dilakukan dengan cara mempromosikan kegiatan pembelajaran dan meningkatkan potensi komunitas untuk secara aktif berpartisipasi, serta menyediakan kesempatan untuk ikut bagian dan memiliki kewenangan dalam proses pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya dalam kegiatan penanggulangan bencana.

Selanjutnya peran komunitas dalam proses pembangunan adalah penting karena dalam kenyataannya tidak seorang pun yang dapat memahami kesempatan dan hambatan di tingkat lokal selain komunitas setempat itu sendiri, dan tidak seorang pun lebih tertarik untuk memahami urusan setempat selain komunitas yang keberlanjutan hidup dan kesejahteraannya dipertaruhkan. Oleh karena komunitas tempatan harus dilibatkan dalam identifikasi dan pemecahan masalah yang berkaitan


(53)

dengan kerentanan terhadap bencana dan informasi harus diperoleh dengan cara dan bahasa yang dapat dipahami oleh komunitas.

Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa kebanyakan pengelolaan risiko bencana dan program pengelolaan yang bersifat topdown gagal untuk mencakup kebutuhan setempat khusus dari komunitas yang rentan, mengabaikan potensi sumber daya dan kapasitas setempat, dan mungkin dalam beberapa kasus bahkan meningkatkan ketergantungan sekaligus kerentanan komunitas dan sebagai hasilnya, para praktisi pengelolaan risiko bencana telah menghasilkan suatu kesepakatan umum untuk lebih memberikan penekanan pada program-program pengelolaan risiko bencana oleh komunitas. Ini berarti bahwa komunitas yang rentan itu sendiri yang akan dilibatkan dalam perencanaan pelaksanaan tindakan-tindakan pengelolaan risiko bencana bersama dengan semua entitas tingkat lokal, propinsi, dan nasional dalam bentuk kerja sama.

Tujuan penanggulangan risiko bencana oleh komunitas adalah mengurangi kerentanan dan memperkuat kapasitas komunitas untuk menghadapi risiko bencana yang mereka hadapi. Keterlibatan langsung komunitas dalam melaksanakan tindakan-tindakan peredaman risiko di tingkat lokal adalah suatu keharusan. Beberapa penulis membedakan antara keikutsertaan komunitas dengan keterlibatan komunitas. Keikutsertaan dan keterlibatan komunitas digunakan secara bergantian, yang berarti bahwa komunitas bertanggungjawab untuk semua tahapan program termasuk


(54)

perencanaan dan pelaksanaan. Pada akhirnya, ujung dari partisipasi komunitas ini adalah mewujudkan penanggulangan bencana oleh komunitas itu sendiri.

Pengalaman dalam pelaksanaan penanggulangan bencana yang berorientasi pada pemberdayaan dan kemandirian komunitas akan merujuk pada: (1) melakukan upaya pengurangan risiko bencana bersama komunitas di kawasan rawan bencana, agar selanjutnya komunitas mampu mengelola risiko bencana secara mandiri, (2) menghindari munculnya kerentanan baru & ketergantungan komunitas di kawasan rawan bencana pada pihak luar, (3) penanggulangan risiko bencana merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam untuk pemberlanjutan kehidupan komunitas di kawasan rawan bencana, (4) pendekatan multisektor, multi disiplin, dan multibudaya.

Lebih lanjut penanggulangan risiko bencana berbasis komunitas dapat mengacu kepada hal-hal penting berikut: (1) Fokus perhatian dalam pengelolaan risiko bencana adalah komunitas setempat. (2) Peredaman risiko bencana adalah tujuannya. Strategi utama adalah untuk meningkatkan kapasitas dan sumber daya kelompok-kelompok yang paling rentan dan mengurangi kerentanan mereka untuk mencegah terjadinya bencana di kemudian hari. (3) Pengakuan adanya hubungan antara pengelolaan risiko bencana dan proses pembangunan. Pendekatan ini beranggapan bahwa menangani penyebab mendasar bencana, misalnya kemiskinan, diskriminasi dan marginalisasi, penyelenggaraan pemerintahan yang lemah dan pengelolaan politik dan ekonomi yang buruk, akan berperan dalam perbaikan


(55)

menyeluruh kualitas hidup dan lingkungan. (4) Komunitas adalah sumber daya kunci dalam pengelolaan risiko bencana. Komunitas adalah aktor utama dan juga penerima manfaat utama dalam proses pengelolaan risiko bencana. (5) Penerapan pendekatan multi-sektor dan multi-disipliner; menyatukan begitu banyak komunitas lokal dan bahkan pemangku kepentingan pengelolaan risiko bencana untuk memperluas basis sumber dayanya. (6) Merupakan kerangka kerja yang berkembang dan dinamis.

Pelajaran yang dipetik dari prakek-praktek yang telah ada terus mengembangkan teori. Pembagian pengalaman, metodologi dan alat-alat oleh komunitas dan para praktisi terus berlangsung untuk memperkaya praktek. (7) Mengakui bahwa berbagai komunitas yang berbeda memiliki persepsi yang berbeda tentang risiko. Terutama laki-laki dan perempuan yang mungkin mempunyai pemahaman dan pengalaman yang berbeda dalam menangani risiko juga mempunyai persepsi yang berbeda tentang risiko dan oleh karena itu mungkin mempunyai pandangan yang berbeda tentang bagaimana meredam risiko. Adalah penting untuk mengenali perbedaan-perbedaan tersebut. (8) Berbagai anggota komunitas dan kelompok dalam komunitas mempunyai kerentanan dan kapasitas yang berbeda. Individu, keluarga, dan kelompok yang berbeda dalam komunitas mempunyai kerentanan dan kapasitas yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut ditentukan oleh usia, jender, kelas, pekerjaan (sumber penghidupan), etnisitas, bahasa, agama dan lokasi fisik.


(56)

2.7. Proses Penanggulangan Risiko Bencana oleh Masyarakat (Komunitas)

Seperti telah dikemukakan di atas, penanggulangan risiko bencana oleh komunitas merupakan proses untuk mendorong komunitas di kawasan rawan bencana mampu secara mandiri menangani ancaman yang ada di lingkungannya dan kerentanan yang ada pada dirinya. Oleh karena itu komunitas yang menghadapi risiko perlu terlibat secara aktif dalam identifikasi, analisis, tindakan, pemantauan dan evaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas mereka. Ini berarti bahwa komunitas menjadi pusat pengambilan keputusan dan pelaksanaan aktivitas-aktivitas pengelolaan risiko bencana.

Berdasarkan pengalaman bekerja bersama komunitas menurut Nugroho, terdapat kecenderungan dalam proses penanggulangan risiko bencana oleh komunitas ini. Walaupun tidak secara linier dan berurutan, beberapa tahapan tersebut di bawah ini dapat digunakan sebagai acuan bagi “orang luar” yang akan mendorong terwujudnya penanggulangan risiko bencana oleh komunitas.

1. Melakukan mobilisasi untuk memahami konteks dilakukan untuk lebih memungkinkan masalah untuk ditangani melalui intervensi yang tepat.melakukan kegiatan-kegiatan untuk secara bersama-sama menggeluti konteks risiko bencana melalui pelatihan, berbagi pengalaman dan lainnya: manajemen bencana & kedaruratan, penanganan penderita gawat darurat, pengamatan & pemantauan ancaman, advokasi kebijakan, ekonomi mikro dan lainnya.


(57)

2. Penjajakan situasi dan kondisi masyarakat. Penjajakan dilakukan untuk prediksi kebutuhan untuk penanggulangan bencana. Hal ini perlu dilakukan agar terjadi kesesuaian antara kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya. Analisis situasi ini dapat mulai dengan menyusun profil masyarakat untuk memahami risiko bencana melalui riset partisipatif tentang: informasi histories kebencanaan, ciri-ciri geoklimat, fisik, keruangan, tatanan sosiopolitik, dan budaya, kegiatan-kegiatan ekonomik serta kelompok-kelompok rentan.

3. Penjajakan yang menyeluruh mengenai keterpaparan komunitas terhadap bahaya dan analisis mengenai kerentanan mereka serta kapasitas mereka merupakan dasar dalam semua aktivitas, proyek dan program untuk meredam

risiko bencana. Penjajakan risiko bencana merupakan proses partisipatif dalam menentukan sifat, cakupan, dan besarnya dampak negatif dari ancaman terhadap komunitas dan rumah tangga di dalamnya dalam suatu periode waktu yang dapat diramalkan. Penjajakan risiko bencana komunitas juga memfasilitasi suatu proses menentukan dampak negatif yang mungkin atau cenderung terjadi (kerusakan dan kerugian) pada aset penghidupan yang berisiko. Pengkajian bersama tingkat risiko di masyarakat meliputi: persepsi masyarakat atas risiko, pemetaan bahaya, kerentanan dan kapasitas, identifikasi risiko, evaluasi dan penilaian risiko, potensi sumber daya yang tersedia dan mobilisasi sumberdaya, analisis dan pelaporan bersama ke komunitas.


(58)

4. Tindakan perencanaan program dan memformulasikan rencana dilakukan berdasarkan hasil analisis risiko. Perencanaan ini meliputi memformulasikan tujuan (meningkatkan kapasitas & mengurangi kerentanan untuk meningkatkan kemampuan mencegah, memitigasi dan menyiapkan diri), manfaat dan hasil (mengurangi risiko), merencanakan kegiatan penting, mengidentifikasikan dan mencari dukungan finansial, memformulasikan rencana kegiatan.

5. Tahapan ini hampir selalu ditempatkan sebagai puncak upaya peredaman risiko bencana. Tahapan ini adalah menjalankan kesepakatan perencanaan yang telah diformulasikan yang dianggap mampu meredam risiko. Dalam tahapan ini terdapat serangkaian kegiatan yang terdiri dari: pengorganisasian pelaksana kegiatan, memobilisasi sumberdaya, melaksanakan kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan, melakukan pemantauan kegiatan dan menggunakan hasil pemantauan untuk memperbaiki rencana peredaman risiko yang dilaksanakan. 6. Penilaian dan memberikan umpan balik cenderung jarang dilakukan. Menilai hasil

kegiatan yang disesuaikan dengan hasil yang diharapkan untuk meredam bencana diharapkan dapat digunakan untuk sejak dini mengetahui efektifitas usaha yang telah dilakuakan. Untuk selanjutnya menggunakan hasil evaluasi untuk pemberdayaan komunitas lain dalam meningkatkan kemampuan peredaman bencana.

7. Di sisi lain, dilakukan mendokumentasikan proses pembelajaran dan penyebarluasan praktekpraktek sukses ke masyarakat dan wilayah lain menjadi


(59)

proses penting agar sebanyak mungkin mengurangi tumpang tindih tindakan dalam peredaman risiko bencana yang sama. Penyebarluasan ini bukan hanya dari sisi geografis, tetapi sekaligus penyebarluasan secara sektoral yang sekaligus juga mengupayakan pengintegrasian usaha-usaha peredaman risiko bencana pada aspek pembangunan dan perikehidupan lainnya dan untuk pembudayaan usaha-usaha peredaman risiko bencana.

8. Akhir dari proses ini adalah melengkapi kelembagaan peredaman bencana yang bertumpu pada komunitas (mendorong pembentukan organisasi rakyat dalam penanggulangan risiko bencana) untuk menjaga keberlanjutan, penyebarluasan dan pengintegrasian. Pada tahap in pula dibangun mekanisme konsultatif antara organisasi rakyat dengan factor lain. Hal ini penting dilakukan karena proses intervensi peredaman risiko bencana yang melibatkan pihak lain pada umumnya bersifat ”sebagaian” dari upaya peredaman seluruh risiko. Dalam posisi ini tentunya komunitas secara mandiri yang harus melanjutkan upaya-upaya peredaman tersebut. Pelembagaan ini pada dasarnya merupakan sebuah pemastian bahwa upaya peredaman risiko bencana tidak berhenti.

2.8. Strategi Penerapan Penanggulangan Risiko Bencana oleh Masyarakat

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, sejak UU Nomor 22 Tahun 1999 (tentang pemerintahan daerah) dan UU Nomor 25 Tahun 1999 (tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah) ditetapkan. Perbincangan tentang kebijakan


(60)

pembangunan hanya terbatas mengenai pemanfaatan sumberdaya alam daerah untuk kepentingan ekonomi sesaat. Sasarannya: menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD). Belum terlihat usaha-usaha menerapkan otonomi daerah untuk menangani kawasan-kawasan rawan bencana, atau sebaliknya membuat strategi penanggulangan bencana dalam konteks otonomi daerah. Hal ini berdampak saat otonomi daerah diberlakukan, penanggulangan bencana terkesan lamban. Benarkah ada “saling ketidak pedulian” antara pusat dan daerah? Di satu sisi, daerah perlu bantuan mendesak; di sisi lain, pemerintah pusat menyatakan tidak ada dana khusus untuk penanggulangan bencana. Dan begitu pula antara masyarakat dengan pemerintah di daerahnya. Ini merupakan tantangan tersendiri buat otonomi daerah.

Dimana penanggulangan bencana yang berbasis pada kemampuan masyarakat di kawasan rawan bencana merupakan jawaban atas kelemahan-kelemahan tersebut. Penanggulangan ini dilakukan dengan asas pemberdayaan yang memposisikan masyarakat selaku stakeholder internal tempatan sebagai subyek. Dengan segala keterbatasan yang ada, maka masyarakat diberdayakan untuk mampu membangun dan mengelola sistem penanggulangan bencana di daerahnya. Sementara, kita para stakeholder eksternal, yang bukan masyarakat tempatan, dengan penuh kesadaran menjadi pendukung.

Seterusnya dalam perpektif penanggulangan bencana berbasis komunitas, bencana alam dan lingkungan sebagai fenomena sosial tidak akan muncul begitu saja, tetapi sangat berhubungan dengan kapasitas komunitas. Bencana cenderung terjadi


(61)

pada komunitas yang rentan, dan akan membuat komunitas semakin rentan. Kerentanan komunitas diawali oleh kondisi-kondisi lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi yang tidak aman yang melekat padanya. Kondisi tidak aman tersebut terjadi oleh tekanan-tekanan dinamik, baik internal maupun eksternal. Dinamika-dinamika internal tersebut bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi karena terdapat akar permasalahan yang menyertainya, baik secara internal maupun eksternal.

Selanjutnya di beberapa wilayah, kerentanan tersebut disebabkan oleh (1) didominasi oleh posisi dan tidak aman, (2) meningkatnya aktifitas pembangunan yang tidak selaras dengan alam dan lingkungan, (3) organisasi sosial di dalam penanggulangan bencana yang belum terbangun dan mempunyai kapasitas yang rendah, (4) institusi penanggulangan bencana di tingkat lokal yang tidak aktif dan mempunyai kapasitas yang lemah dalam penanggulangan bencana. Seluruh kondisi tersebut merupakan hasil proses dinamis; antara lain (1) kebijakan pembangunan regional tidak selaras alam dan lingkungan, (2) komunitas seluruh waktunya digunakan untuk kepentingan ekonomi instan, dalam keterbatasan waktu, uang dan pikiran untuk pemberdayaan, (3) pertumbuhan populasi yang tinggi, dan terbatasnya dukungan untuk penanggulangan bencana. Pada akhirnya akar permasalahannya adalah (1) tidak ada hukum positif dalam penanggulangan bencana, (2) penanggulangan bencana dipahami sepotong-sepotong, dan (3) kebijakan bias dalam perpektif penanggulangan bencana.


(62)

Penanggulangan bencana secara menyeluruh, baik melalui pengurangan dampak maupun menghilangkan penyebab bencana, bukan pekerjaan yang sederhana. Para pelaku perlu melakukan transformasi penanggulangan bencana secara menyeluruh dan sinergis, baik secara structural maupun proses. Individu, keluarga, komunitas dan unit sosial yang lebih tinggi, maupun pemerintah daerah dan pusat perlu melakukan transfor-masi perilaku, kebijakan, hukum dan institusi. Direkomendasikan para pihak melakukan penanggulangan bencana dengan mereduksi kerentanan dan kondisi tidak aman, tekanan-tekanan dinamis dan akar permasalahan.

Mengacu pada kerentanan dapat dengan cara (1) meningkatkan kapasitas individu, keluarga dan komunitas dalam melakukan penyesuaian dan adaptasi terhadap tipologi kawasan yang rendah dan cekung, (2) membangun praktek penanggulangan bencana secara terprogram, menyeluruh, multi pihak dan berbasis pada kebutuhan, (3) meningkatkan keanekaragaaman aset dan sumberdaya masyarakat, (4) membangun organisasi masyarakat di bidang penanggulangan bencana, (5) membangun keanekaragaman produksi dan sumber pendapatan masyarakat, (6) membangun institusi penanggulangan bencana di tingkat lokal.

Mengacu pada faktor-faktor penekan dinamis yang ada, maka reduksi faktor penekan dapat dengan cara (1) membangun kebijakan dan praktek pengaturan kelahiran, (2) membangun kebijakan dan praktek pengelolaan sumberdaya yang peka lingkungan, tidak berorientasi sesaat, adil dan mutualis. (3) membangun kebijakan


(63)

dan praktek pengelolaan tata ruang yang peka permasalahan lingkungan, holistik, dan tidak berorientasi sesaat (4) memperkuat hubungan antar keluarga, dan unit sosial di atasnya (5) membangun kebijakan, praktek dan institusi penanggulangan bencana secara utuh di tingkat pemerintah daerah.

2.9. Peran Penganggaran

Pada kondisi kita saat ini yang terbiasa dengan mekanisme “top-down”, proses partisipasi alias “bottom-up” tidak akan mudah muncul dengan sendirinya. Pemerintah sebagai pemilik mandat utama dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana perlu mendorong proses tersebut, dan memperbesar ruang peran masyarakat. Karena penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan penyelenggaraan pembangunan, maka mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan desa sampai tingkat kabupaten misalnya, dapat digunakan sebagai salah satu mekanisme perencanaan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Tidak cukup ruang peran dalam partisipasi, tetapi perlu alokasi dana yang cukup untuk memperbesar peran tersebut. Misalnya melalui alokasi dana desa (ADD) yang memadai bagi desa kawasan rawan bencana maupun SKPD-SKPD yang berhubungan erat dengan penyelenggaraaan penanggulangan bencana. SKPD pertanian, kehutanan, pendidikan, kepemudaan dan olahraga adalah contoh-contoh SKPD yang dapat digunakan untuk memperbesar peran tersebut. Partisipasi


(64)

masyarakat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana juga dapat dilakukan dengan memperbesar pos-pos anggaran yang dimungkinkan digunakan untuk itu, misalnya melalui pos kegiatan kepemudaan dan olahraga. Tentu sangat tidak adil apabila dana kegiatan keolahragaan di suatu kabupaten yang rawan bencana mencapai 10 milyar, sementara dana untuk kegiatan kepemudaan hanya 1 milyar. Padahal jelas-jelas partisipasi pemuda untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana hanya dapat digunakan melalui kegiatan kepemudaan, baik Pramuka, Karang Taruna, Palang Merah Indonesia dan lainnya. Bukan memalui kegiatan olahraga. Mengapa dana olahraga besar? Ah, rupanya alokasi yang besar itu diperlukan karena kita harus membayar pemain asing untuk sepakbola. Hati kita yang dapat menjawab: itu sesat pikir atau tidak?


(65)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan dengan metode deskriptif yang menurut Whitney adalah suatu metode untuk mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk hubungan-hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung serta pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena dan pendekatan yang dipakai adalah bersifat kualitatif yang oleh Nawawi (1990:63) diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.

Menurut Singarimbun (1987:4), penelitian deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu. Peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesis.

Dengan demikian, dalam penelitian ini tidak ada pengujian hipotesis, melainkan hanya mendeskripsikan fakta atau data yang ada dan kemudian diinterpretasikan atau dianalisis, sehingga akan diperoleh pengetahuan atau kejelasan


(66)

tentang objek penelitian, yang dalam hal ini adalah partisipasi masyarakat dalam mitigasi bencana di daerah aliran sungai (DAS) Deli kota Medan.

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah daerah aliran sungai (DAS) Deli Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun kota Medan yang merupakan daerah rawan bencana banjir.

3.3. Informan

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian kualitatif ini maka diperlukan adanya informan penelitian. Adapun informan penelitian ini terdiri dari informan kunci (key informan) yaitu orang yang berkompeten/berwenang dalam majemen kebencanaan, dan informan biasa yaitu masyarakat umum/penduduk setempat, yang terdiri dari : Lurah/Aparat kelurahan Aur kecamatan Medan Maimun, tokoh masyarakat, karang taruna, anggota masyarakat lainnya.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan maka digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Studi kepustakaan, yaitu mempelajari buku-buku dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.


(67)

3.5. Teknik analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik/metode interprestasi data. Interprestasi data adalah membandingkan pengetahuan teoritis dengan fakta-fakta yang dikumpulkan oleh penulis agar kesimpulan penting dapat dengan mudah ditangkap dan dimengerti oleh pembaca. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, mengikuti konsep yang diberikan Miles and Huberman dan Spradley. Miles and Huberman (1984), mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas, dan datanya sampai jenuh. Aktifitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data

display, dan conclusion, drawing/verification,

3.6. Jadwal Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, mulai Desember 2009 – Maret 2010 di Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun.


(68)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Profil Kota Medan

Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265.10 km2) atau 3.6 % dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainnya, kota Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil, tetapi dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak pada 30 30’ - 30 43’ Lintang Utara dan 980 35’- 980 44’ Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke Utara dan berada pada ketinggian 2.5 - 37.5 meter di atas permukaan laut.

Secara administratif, wilayah Medan berbatasan dengan kabupaten Deli Serdang di sebelah Barat, Selatan, Timur. Di sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, yang merupakan salah satu jalur lalu lintas terpesat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan sumber daya alam (SDA), khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Secara geografis Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu


(1)

seperti membantu menyelamatkan barang-barang ketempat yang aman ketika banjir datang; mendirikan posko bencana; mendirikan dapur umum dan posko kesehatan.

Berdasarkan penanggulangan bencana berbasis masyarakat, hal-hal yang sebaiknya dilakukan disaat banjir adalah sebagai berikut :

1. Dengarkan radio dan pengumuman kejadian banjir di lingkungan anda. 2. Matikan aliran listrik

3. Pindahkan barang berharga dan obat-obatan ketempat yang tinggi 4. Pindahkan harta bergerak ketempat yang tinggi di luar rumah 5. Amankan zat yang dapat mencemari air

6. Jangan melintasi genangan banjir bila masih dapat dihindari 7. Jangan berjalan-jalan sendirian di genangan banjir

8. Ungsikan terlebih dahulu anak-anak dan orang tua 9. Kuncilah pintu seandainya harus meninggalkan rumah. 10. Usahakan penanggulangan banjir secara gotong royong 11. Laporkan kejadian banjir kepetugas setempat.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Partisipasi masyarakat Kelurahan Aur dalam mitigasi bencana banjir di DAS Deli kota Medan masih kurang. Hal ini diketahui melalui indikator-indikator :

- Masyarakat masih membuang sampah/limbah padat ke sungai, saluran dan sistem drainase;

- Masyarakat masih membangun jembatan dan atau bangunan yang menghalangi atau mempersempit palung aliran sungai;

- Masyarakat masih tinggal dalam bantaran sungai;

- Masyarakat masih menggunakan dataran retensi banjir untuk permukiman atau untuk hal-hal lain diluar rencana peruntukkannya;

Partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana berkenaan dengan partisipasi masyarakat dalam manajemen bencana di daerah aliran sungai (DAS) Deli Medan belum memadai karena masih bersifat tanggap darurat yakni partisipasi pada saat dan setelah kejadian bencana seperti membantu menyelamatkan barang-barang ketempat yang aman ketika banjir datang; mendirikan posko bencana; mendirikan dapur umum dan posko kesehatan.


(3)

5. 2. Saran

Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat Kelurahan Aur dalam mitigasi bencana banjir di DAS Deli kota Medan perlu diadakan :

1. Penyuluhan tentang kesiapsiagaan bencana banjir serta kampanye peduli bencana oleh aparat pemerintahan setempat dan instansi terkait. Dalam hal ini Lurah, Camat, Dinas Pengairan, Badan Kesbangpol Linmas.

2. Mengadakan gotong royong pembersihan saluran drainase yang ada dilingkungan masing-masing untuk mitigasi bencana banjir dan mengefektifkan taruna siaga bencana (TAGANA),

3. Pelarangan pembangunan gedung disepanjang sungai Deli yang tidak dibarengi dengan pengelolaan dan perbaikan lingkungan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Awatona (1997 : 1-2)”...Natural Disasters Are The Interaction Between Natural

Hazards and Vulnerable Condition”

Bakornas PB, Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasi di

Indonesia, 2005

, Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana di

Daerah, 2006

, Pedoman Praktis Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Banjir dan

Tanah Longsor, 2006

, Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia, 2006 , Pedoman Praktis Penanganan Bencana dan Kedaruratan,2003 Bungin Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Catakan ke 1, Penerbit Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2003

Effendi, Drs. Onong Uchjana MA, Human Relations dan Public Relation dalam

Management, Cetakan ke 6, Penerbit Alumni, Bandung, 1986

Harjadi DR. P.J Prih, Peran BMG dalam Pencegahan dan Penanggulangan Bencana, 2005

Handayaningrat, Drs. Soewarno, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan

Managemen, Cetakan kedua, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1981

Ignas Kleden, Partisipasi Semu : Keterlibatan Warga dalam Pembangunan Desa, Bina Swagiri, 2004, Tuban

Jurnal Dialog Kebijakan Publik, 2008

KEP. MENDAGRI, No.131 tahun 2003 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana

dan Penanganan Pengungsi di Daerah

Kep. GUBSU No. 360.05/4467/K/tahun 2001 tanggal 28 Desember 2001 tentang

Pembentukan SATKORLAK PBP Provsu


(5)

465.2/491 tanggal 15 Juli 2002 tentang Pola Pembinaan SATGAS

PBP Provsu

465.2/494 tanggal 15 Juli 2002 tentang Prosedur Tetap

Penanganan Pengungsi di Provsu

362/492 tanggal 15 Juli 2002 tentang Prosedur Tetap

Penanggulangan Bencana Banjir di Provsu

362/493 tanggal 15 Juli 2002 tentang Prosedur Tetap Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Provsu

360/2494/K/tahun 2003 tanggal 9 Desember 2003 tentang

Prosedur Tetap Penanggulangan Bencana Gempa di Provsu

364/2495/K/2003 tanggal 9 Desember 2003 tentang Prosedur

Tetap Penanggulangan Bencana Kebakaran Pemukiman dan Lingkungan Industri Perkotaan di Provsu

060/029.K tahun 2005 tanggal 11 Januari 2005 tentang Prosedur

Tetap Unit Jaringan Komunikasi SATKORLAK PBP

Lubis, Abdul Muthalib, SH.MAP. Konsep Pelaksanaan Kebijakan Umum

Penanganan Bencana Terpadu di Sumatera Utara, 2006

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif Remadja Rosdakarya, Bandung,1991

MENKO POLKAM RI, Pedoman Nasional Manajemen Bencana di Indonesia, Jakarta, 1985

Nugroho, Prof. Dr. Heru (Jurnal Dialog Kebikjak Publik, 2008), Profil PUM, Majalah Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, 2007

Pujiono, DR. Puji, Kerangka Kelembagaan,Koordinasi dan Mekanisme untuk

Penanggulangan Bencana di Daerah, 2004

PP No. 21 tahun 2008 tentang Penyelengaraan Penanggulangan Bencana PP No. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana


(6)

PP No. 23 tahun 2008 tentang Peranserta Lembaga Internasional dan Lembaga

Asing Non-Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana

SATKORLAK PB Provsu, Mengenal Bencana Alam di Sekitar Kita,Medan,2007

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survai, LP3ES, 1987 Undang-Undang No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Winardi, Drs, SE, Azas-azas Manajemen, Terjemahan dari George R

Terry,”Principles of Management”,Seventh Edition, Penerbit Alumni, Bandung,

1979

Yanuarko, Awan, Profil PUM, Majalah Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, 2007