Opini tentang IKlan TKI di Malaysia

IKLAN OBRAL TKI; MENGGUGAH ATAU MELECEHKAN?
*Oleh Yakobus Sila

Judul di atas berawal dari keprihatinan dan kepedulian terhadap nasib para TKI yang
‘dijual’ ke Malaysia. Penjualan murah tersebut berujung pada pengobralan TKI di Malaysia
seperti barang (bekas) yang terlampau murah.
Untuk sekian kalinya Malaysia kembali ber-ulah terhadap TKI Indonesia. Kali ini negeri
Jiran memasang iklan berisi obral (murah) tenaga kerja Indonesia (TKI). Di beberapa ruang
publik di kota Kuala Lumpur dipajangkan iklan berbunyi: Indonesian maids now on SALE. Fast
and Easy Application!! Now your housework and cooking come easy. You can rest and relax,
Deposit only RM 3,500! Price RM 7,500 nett,". Artinya, pelayan Indonesia kini diobral. Iklan
tersebut menawarkan kemudahan mendapatkan pekerja rumah tangga asal Indonesia dengan
jaminan 3.500 ringgit (sekitar Rp. 10,8 juta) dan biaya 7.500 ringgit (sekitar Rp. 23,2 juta)
setelah diskon 40 persen. (bdk. Kedaulatan Rakyat, 31/10/2012). Obralan TKI tersebut membuat
marah pemerintah dan warga tanah air yang merasa dilecehkan. Iklan tersebut merupakan bentuk
perendahan dan pelecehan terhadap nasib anak bangsa yang hidupnya tergantung sepenuhnya
kepada negara tetangga (Malaysia). Pertanyaannya, pantaskah pemerintah Indonesia malu
membaca iklan tersebut? Hemat penulis, iklan tersebut mesti diinterpretasi secara berbeda.
Mencari Suaka Ekonomi
Pemerintah negeri ini tidak seharusnya dengan serta merta malu membaca iklan tersebut,
karena kenyataannya nasib kebanyakan anak bangsa ini memang sangat bergantung pada

‘kepedulian’ pemerintah Malaysia. Orang-orang Indonesia yang hidup berbatasan dengan orang
Malaysia misalnya, seperti di wilayah Paloh Kabupaten Sambas, atau orang Sintang di
Kalimantan Barat, merasakan kedekatan dengan pemerintah Malaysia sebagai suatu keuntungan
ekonomis. Mereka lebih mudah melakukan aktivitas ekonomi ke Malaysia daripada ke
Indonesia. Alasannya sederhana saja, lebih untung (secara ekonomis) dan lebih gampang
berjualan ke Malaysia daripada ke Indonesia karena ke Indonesia jalannya tidak terurus,
pemerintahnya kurang memperhatikan infrastruktur bagi para warganya, sedangkan ke Malaysia
jalannya mulus dan aksesnya lebih mudah. Mereka termasuk TKI illegal yang diijinkan masuk
ke negara tetangga tanpa mendapatkan kesulitan berarti. Harus diakui bahwa untuk memperbaiki
kualitas ekonomi, warga negara Indonesia sering harus mencari perlindungan ke negara tetangga.
Malaysia adalah negeri ‘pelarian’ bagi para pencari suaka ekonomi seperti warga negara
Indonesia yang tidak beruntung nasibnya di negeri sendiri. Orang-orang Indonesia yang tinggal
di perbatasan mesti mengakui ’solidaritas’ pemerintah Malaysia yang selalu terbuka ‘menerima’
kedatangan para pencari suaka ekonomi ini, agar mereka bisa menyambung hidup dan

memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih pantas. Lantas apa yang membuat malu para
pemimpin negeri ini membaca iklan obral TKI tersebut?
Iklan Yang Menggugah
Pemerintah mestinya merasa malu terhadap iklan TKI dalam beberapa hal. Pertama,
iklan tersebut sesungguhnya hendak menggugah pemerintah untuk memperhatikan nasib para

TKI. Nasib TKI Indonesia di negara-negara di mana mereka bekerja memang sangat miris dan
memprihatinkan. Ada yang dilecehkan secara fisik, psikis dan juga ada pelecehan seksual. Nasib
para TKI seperti para budyak zaman kuno yang eksistensi dan kebebasannya diredusir untuk
kepentingan para pemilik budak. Kedua, Iklan tersebut merupakan bentuk penyadaran terhadap
para pengirim TKI. Iklan obral TKI serentak membuat marah tetapi juga suatu ‘ajakan’ agar TKI
yang dikirim ke negara lain lebih berkualitas; memiliki keterampilan dan keahlian yang
dibutuhkan. Indonesia negara yang paling banyak mengirim TKI keluar negeri. Namun dari
sekian banyak TKI yang dikirim sedikit saja yang mendapatkan pelatihan dan dibekali
keterampilan yang memadai. Selebihnya tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan negara
penerima TKI. Bahkan ada TKI illegal (jumlahnya kian bertambah) yang membuat muak para
polisi Malaysia. Hal itu serentak menunjukkan ketidakberesan dalam urusan ketenagakerjaan
dalam negeri.
Pemerintah Indonesia kurang serius memperhatikan para warganya yang mencari suaka
ekonomi ke negara tetangga, sehingga penindasan dan ketelantaran yang dialami TKI ditangani
secara parsial tanpa usaha untuk mencari persoalan sampai tuntas. Pemerintah negeri ini hanya
ingin menerima devisa dari para pekerjanya yang dikirim ke negeri orang tanpa memantau
seperti apa nasib para pekerja tersebut. Hemat penulis, adanya obral iklan TKI di negeri Jiran
sebenarnya merupakan sesuatu yang menggugah nurani para pemimpin negeri ini, apakah
pemerintah Indonesia masih peduli terhadap warganya, termasuk TKI yang secara gamblang
diobral ke negeri orang tanpa bekal keterampilan yang memadai? Para petinggi negeri ini

memang gampang bereaksi terhadap situasi yang melanda anak bangsa, cepat tersinggung tetapi
kurang responsif bahkan tidak menyelesaikan secara tuntas permasalahan yang dihadapi. Konflik
perbatasan negara dengan negara tetangga sering terjadi, namun penyelesaian sampai tuntas
terhadap problem tersebut jarang dilakukan, sehingga muncul sikap peremehan (perendahan)
oleh negara tetangga. Negeri ini terlalu ‘etis’ sampai membiarkan dirinya dicederai oleh negeri
lain. Pantaskah kita membiarkan setiap problem tanpa penyelesaian tuntas.
Sebenarnya pemerintah Indonesia mesti bertanya. Salah satu pertanyaan penting adalah,
mengapa warganya suka bekerja (baca:mencari suaka ekonomi) di negara-negara lain?
Sesungguhnya, tingginya animo warga negeri ini untuk bekerja di luar negeri disebabkan oleh
sejumlah faktor. Pertama, dibukanya kembali pengiriman tenaga kerja ke sejumlah negara,
termasuk Malaysia. Pernah ada moratorium pengiriman tenaga TKI keluar negeri. Tetapi apa
artinya sebuah moratorium kalau tidak dibarengi dengan usaha untuk memperbaiki kelemahan
dalam negeri secara signifikan. Bagaimana seorang anak bangsa ingin bekerja di negeri sendiri,

kalau pemerintah tidak menyediakan pekerjaan yang layak bagi para pencari kerja? Kedua,
faktor utama adalah ketiadaan lapangan pekerjaan di tanah air yang sesuai dengan tingkat
pendidikan dan kemampuan mereka.
Minimnya Lapangan Kerja
Usaha pemerintah untuk melakukan moratorium pengiriman TKI ke Malaysia
berbenturan dengan kondisi lapangan pekerjaan di tanah air. Negeri ini tidak menyediakan

lapangan pekerjaan yang cukup bagi warganya, sehingga Malaysia menjadi lahan subur dan
penyambung hidup bagi pencari kerja. Malaysia adalah negeri yang menawarkan sejumlah
pesona dengan gaji yang besar. Malaysia tetap menggiurkan walaupun banyak kasus pelecehan
terhadap martabat manusia, seperti yang dialami para TKI. Bagaimana mungkin orang enggan
(menolak) bekerja di suatu negeri yang kian hari kian memberikan rasa ‘aman’ secara ekonomis
bagi TKI pencari suaka ekonomi?
Upaya pemerintah untuk membatalkan keinginan (hasrat) para TKI untuk bekerja di
negara-negara lain mesti dibarengi dengan beberapa hal. Pertama, menyediakan lapangan
pekerjaan yang memadai bagi para warganya. Memang agak sulit mengharapkan pemerintah
negeri ini menyediakan pekerjaan yang layak untuk para TKI. Pemerintah negeri ini memang
kelihatan acuh tak acuh terhadap warganya yang terlantar secara ekonomi. Ketika muncul kasus
para TKI yang dilecehkan dan ditindas secara tidak manusiawi, pemerintah mudah bereaksi
dengan berbagai pendapat baru menawarkan sejumlah alternatif yang terkadang membius dan
mempesona, tanpa realisasi. Tidak jarang tawaran-tawaran tersebut hanya hiburan sesaat yang
menenangkan tanpa aplikasi program yang konkret.
Kedua, Pemerintah mesti sanggup memotivasi para warganya untuk bekerja di negeri
sendiri sambil memberikan upah yang layak. Dalam kenyataan pemerintah Indonesia lebih sering
menelantarkan warganya, entah mereka yang punya kualitas intelektual yang mumpuni, (seperti
para peneliti yang seberang ke negara tetangga) maupun mereka yang secara intelektual tidak
berkualitas atau hidup yang hanya memberi beban tambahan kepada pemerintah. Hidup di negeri

ini ibarat pepatah ‘siapa yang kuat dialah yang bertahan’. Kemampuan untuk mempertahankan
hidup diperjuangkan oleh masing-masing individu. Kenyataan ini menunjukkan bahwa orangorang yang sanggup dan mampu bertahan hidup di negeri Indonesia adalah orang-orang kuat
yang tahan banting, siap menderita, hidup dalam serba keterbatasan dan kekurangan. Orang yang
tidak kuat seperti para TKI adalah mereka yang tidak mampu bertahan dalam penderitaan dalam
negeri dan pergi mencari keberuntungan hidup ke negeri tetangga. Para TKI adalah kelompok
orang-orang yang protes terhadap bentuk penindasan dan ketidakpeduliaan pemerintah terhadap
warganya. Kiranya dengan iklan obral murah TKI di Malaysia, pemerintah Indonesia kian
disadarkan untuk memperhatikan nasib para warga negaranya termasuk nasib para TKI yang
hanya dijadikan pencari visa negara dan kurang diperhatikan bahkan ditelantarkan pemerintah
negeri ini.

*Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, tinggal di Babarsari
Identintas Penulis:
Nama lengkap: Yakobus sila
Tamatan: Sarjana Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik, Ledalero -Maumere- Flores
Karier: Pernah menjadi pengajar (guru) di Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sambas,
Kalimantan Barat (tahun 2010-2012)
Sekarang: Melanjutkan studi S2 di Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Alamat sekarang: Jln Babarsari, Komplek PJKA 23, RT 14, RW 04, Sleman Yogyakarta

Nomor HP: 082153844382