Analisis Potensi Sumberdaya Untuk Pengembangan Ternak Ruminansia di Kabupaten Bireuen

TINJAUAN PUSTAKA
Ternak Ruminansia
Ternak ruminansia adalah mamalia berkuku genap seperti sapi, kerbau,
domba, kambing, rusa, dan kijang yang merupakan sub ordo dari ordo
Artiodactyla . Nama ruminansia berasal dari bahasa Latin “ruminare” yang artinya

mengunyah kembali atau memamah biak, sehingga dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan hewan memamah biak. Ruminansia merupakan ternak masa depan
yang mampu meningkatkan kesejahteraan manusia, karena hanya hewan ini yang
mampu dengan baik memanfaatkan bahan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh
manusia. Hijauan seperti rumput atau limbah pertanian yang tidak dimakan oleh
manusia dapat dikonversikan ke dalam makanan bernilai gizi tinggi yang dapat
dikonsumsi oleh manusia.
Ternak ruminansia adalah hewan ternak yang pada sistem pencernaanya
mempunyai alat pencernaan yang berbentuk rumen (perut besar). Berdasarkan
susunan alat-alat pencernaanya hewan ternak dibagi dalam 2 kelompok besar
yaitu ternak berlambung tunggal dan ternak berlambung jamak. Kelompok ternak
berlambung jamak inilah yang biasa di sebut sebagai ternak ruminansia.
Dalam rumen (perut besar) ternak ruminansia terdapat berjuta-juta
mikroba yang hidup bersimbiosis dengan ternak inang dan sangat berguna dalam
proses pencernaan. Dengan mikroba-mikroba tersebut, ternak ruminansia mampu

memanfaatkan bahan makanan berkadar serat tingi seperti rumput-rumputan dan
dedaunan menjadi makanan
Ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba manjadi
bioconverter pakan berserat tinggi seperti limbah pertanian, rumput-rumputan

menjadi pakan yang berkualitas karena memiliki lambung majemuk yang terdiridari rumen, reticulum, omasum dan abomasums. Peran ternak ruminansia menjadi
sangat penting dalam prestise, status sosial, ekonomi, penyerapan tenaga kerja,
penyediaan

konsumsi

panga

berkualitas,

maupun

dalam

menjaga


dan

mempertahankan keserasian lingkungan hidup. (Sutrisno, 2002).
Pakan Ternak Ruminansia
Pakan merupakan faktor yang sangat penting pada usaha peternakan sapi,

6
Universitas Sumatera Utara

7

baik hijauan maupun konsentrat. Kontinuitas penyediaan pakan sangat
menentukan keberhasilan usaha peternakan sapi karena sepanjang waktu sapi
berada dalam kandang. Pemberian pakan yang tidak kontinu dapat menimbulkan
sterss dan akan berakibat sapi menjadi peka terhadap berbagai penyakit dan
terganggu pertumbuhannya (Ahmad et al, 2004).
Menurut Sofyan (2003), Hijauan Makanan Ternak yang dipergunakan
untuk ternak ruminansia sebagian besar rumput-rumputan, sehingga rumput
memegang peranan penting dalam penyediaan pakan dan telah umum digunakan

oleh peternak dalam jumlah besar. Dilihat dari cara tumbuhnya rumput dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu rumput alami atau rumput liar dan rumput
budidaya atau rumput pertanian.
Menurut Santosa (2003) bahwa ada beberapa cara yang dapat dilaksanakan
untuk menata padang penggembalaan berdasarkan lamanya lahan dipergunakan
sebagai sumber pakan ternak. Secara garis besar, penataan tersebut dapat
dikelompokan menjadi dua: terus–menerus dipergunakan sebagai penghasil pakan
ternak dan dipergunakan secara bergiliran dengan tanaman lain. Beberapa cara
tatalaksana padang rumput tersebut adalah sebagai berikut:
1. Padang rumput permanen
Padang rumput permanen adalah padang rumput yang terus-menerus
dipergunakan sebagai sumber pakan ternak dalam jangka waktu yang cukup
lama. Cara ini paling tepat apabila digunakan pada daerah yang bertopografi
miring karena dapat mencegah terjadinya erosi tanah.
2. Padang rumput jangka pendek
Padang rumput jangka pendek hanya dipergunakan dalam jangka waktu dua
atau lima tahun saja. Setelah masa pemakaian sebagai padang penggembalaan,
lahan ini akan diolah dan digunakan untuk tanaman lain.
3. Padang rumput rotasi jangka panjang
Sistem padang rumput ini penggunaannya mencapai 6–10 tahun. Tata laksana

penggunaannya perlu kombinasi dari kedua sistem diatas.
4. Padang rumput sementara
Padang rumput ini hanya dipergunakan sebagai sumber tanaman pakan
untuk beberapa bulan saja atau paling lama satu tahun. Tujuan dari penggunaan

Universitas Sumatera Utara

8

sistem ini adalah sebagai sumber pakan ternak pada saat kritis, menjaga kesuburan
tanah dalam sistem pergiliran tanaman, dan memperbaiki struktur tanah.
Pemberian pakan di kandang atau di palungan, yang paling penting
diperhatikan adalah mengetahui berapa jumlah pakan dan bagaimana keadaan
ransum yang diberikan kepada ternak (Santosa, 2003). Dalam menyusun ransum
diusahakan agar kandungan zat–zat makanan di dalam ransum sesuai dengan zat–
zat makanan yang dibutuhkan ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok,
untuk pertumbuhan dan untuk berproduksi.
Menurut Santosa (2003) bahwa dalam memilih bahan pakan, beberapa
pengetahuan penting berikut ini harus diketahui sebelumnya:
1. Bahan pakan harus mudah diperoleh dan sedapat mungkin terdapat di daerah

sekitar sehingga tidak menimbulkan masalah biaya transportasi dan kesulitan
mencarinya;
2. Bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dan jumlah yang
mencukupi keperluan;
3. Bahan pakan harus mempunyai harga layak dan sedapat mungkin mempunyai
fluktuasi harga yang tidak besar;
4. Bahan pakan harus diusahakan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia yang
sangat utama. Seandainya harus menggunakan bahan pakan yang demikian,
usahakan agar bahan pakan tersebut hanya satu macam saja;
5. Bahan pakan harus dapat diganti oleh bahan pakan lain yang kandungan zat–
zat makanannya hampir setara;
6. Bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau tidak
menampakan perbedaan warna, bau, atau rasa dari keadaan normalnya.
Limbah pertanian adalah pakan yang bersumber dari limbah tanaman
pangan dan produksinya sangat tergantung kepada jenis dan jumlah areal
penanaman atau pola tanam dari pangan disuatu wilayah yang dikemukakan oleh
Makkar (2002) dalam penelitian Syamsu (2005).
Menurut Soetanto (2000) dan Syamsu (2005), untuk mengatasi masalah
pakan secara umum dapat dilakukan tiga pendekatan. Pertama, memperluas
keragaman sumber pakan dengan melakukan upaya pemanfaatan lahan tidur untuk

penanaman hijauan makanan ternak, pemanfaatan limbah pertanian dan industri,

Universitas Sumatera Utara

9

dan menghidupkan kembali tanah-tanah pangonan. Selain itu dengan melakukan
sistem pertanian lorong dan intensifikasi lahan pekarangan dengan memanfaatkan
leguminosa perdu. Kedua, meningkatkan kualitas pakan melalui peningkatan
kualitas pakan basal, peningkatan nilai nutrisi protein dan upaya menghilangkan
senyawa anti nutrisi dalam pakan. Ketiga, memperbaiki sistem pemberian pakan
dengan upaya yang dilakukan untuk perbaikan formulasi ransum ternak yang
sesuai dengan daerah tropis dan manajemen pemberian pakan untuk ternak.
Baba et al (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa potensi sumber
hijauan utamanya rumput di daerah sentra lebih beragam dibanding daerah non
sentra, namun potensi sumber konsentrat lebih banyak didaerah

non sentra.

Masalah utama peternak di daerah non sentra adalah tidak diketahuinya

pengawetan pakan, kurangnya tenaga kerja, dan pakan yang tidak mencukupi
sepanjang tahun. kebutuhan teknologi didaerah sentra adalah peningkatan
pengetahuan formulasi bahan pakan lokal untuk produksi konsentrat dan complete
feed adalah prioritas utama. Daerah non sentra lebih memproitaskan pengawetan
limbah dan bahan pakan menjadi complete feed pada musim hujan/panen.
Sementara hasil penelitian dari Syamsu (2005) diperoleh bahwa pengguna
limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia ditingkat peternak masih
rendah, dengan

jumlah peternak yang tidak menggunakan limbah tanaman

pangan sebagai pakan ternak yaitu 62,12%. sebanyak 54,80% peternak
mengetahui tentang teknologi pakan, seperti amoniasi, hay, silase dan teknologi
fermentasi lainnya. Tingkat penerapan teknologi masih sangat kurang, dengan
hanya 21.19% peternak yang menerapkan teknologi pakan.
Haryanto (2004) mengatakan bahwa menurunya daya dukung sumberdaya
alam (pakan) untuk usaha ternak karena konversi lahan pertanian, serta perubahan
pola budidaya menjadi salah satu penyebab menurunnya populasi ternak.
Sementara itu subsektor peternakan diharapkan mampu memenuhi permintaan
akan protein hewani yang semakin meningkat, meningkatnya penyerapan tenaga

kerja dan PDRB, ini berarti menuntut sub-sektor peternakan untuk dapat memacu
produksinya (baik kuantitas maupun kualitas). Sementara disisi lain, sub-sektor
peternakan dihadapkan kepada semakin menyempitnya lahan usaha akibat
persaingan yang semakin meningkat baik antar sektor maupun antar sub-sektor

Universitas Sumatera Utara

10

dalam penggunaan lahan.
Ekosistem lahan tadah hujan memberikan peluang pengembangan hijauan
yang cukup baik karena ada periode bera terjadi setiap tahunnya. Pemanfaatan
lahan bera oleh tanaman hijauan legum ternak akan memberikan manfaat ganda
berupa peningkatan sumber hijauan ternak dan kesuburan lahan yang akan
memberikan peningkatan hasil padi yang ditanam setelahnya dan sekaligus
memberikan penghematan biaya produksi.
Ekosistem lahan kering sebagai tempat usahatani memungkinkan adanya
sumber pakan ternak berupa vegetasi alami yang berasal dari gulma di lahan
pertanaman tanaman pangan atau sayuran, dedaunan tanaman tahunan serta
vegetasi alam yang tersedia di tepi jalan atau batas kebun. Dibandingkan dengan

kebutuhan nutrisi ternak, baik jumlah dan kualitas yang diberikan tersebut dinilai
tidak cukup. Prospek pengembangan hijauan di ekosistem pertanian lahan kering
cukup baik melalui rotasi tanaman pangan dengan legum pakan ternak atau
penggunaan leguminosa pohon dan semak pada sistem budidaya lorong (alley
cropping) pada lahan berlereng.

Vegetasi alam yang tumbuh di areal perkebunan dapat dikonsumsi ternak
dan dapat dikelompokkan sebagai hijauan, bukan sebagai gulma. Integrasi ternak
dengan perkebunan bertujuan untuk mendapatkan nilai tambah lahan berupa
produk ternak. Dengan tujuan seperti ini, perbaikan ketersediaan hijauan di areal
perkebunan merupakan target yang sejalan dengan upaya pencapaian tingkat
produktivitas ternak.
Hijauan Pakan Ternak
Hijauan pakan ternak (HPT) merupakan semua bahan yang berasal dari
tanaman dalam bentuk daun-daunan. Kelompok hijauan makanan ternak
meliputi bangsa rumput (gramineae), leguminosa, dan hijauan dari tumbuhtumbuhan lain seperti daun nangka, daun waru dan lain-lain.
Limbah pertanian seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah,
pucuk tebu, dan lain-lain merupakan sumber makanan ternak ruminansia yang
dapat diperoleh dari tanaman pertanian. Pemanfaatan limbah pertanian untuk
ternak tersebut akan mendukung integrasi usaha peternakan dengan usaha

pertanian baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Di lain pihak

Universitas Sumatera Utara

11

kegiatan intensifikasi peternakan telah menyebabkan kotoran ternak melimpah
dan cenderung mengganggu lingkungan. Hal ini akan memberikan prospek baru
dalam mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan yaitu dengan inovasi
teknologi sederhana dapat diubah menjadi kompos.
Hijauan sebagai bahan makanan ternak bisa diberikan dalam dua bentuk,
yakni hijauan segar dan hijauan kering. Hijaun segar berasal dari hijauan segar
seperti rumput segar, leguminosa segar, sedangkan hijauan kering berasal dari
hijauan yang sengaja dikeringkan (hay) ataupun jerami kering.
Perbedaan mutu suatu hijauan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu sifat
genetis (pembawaan) dan lingkungan. Faktor genetis berkaitan dengan
pembawaan masing-masing jenis hijauan. Misalnya bangsa rumput memerlukan
nitrogen yang diperoleh dari dalam tanah dengan jalan menghisap nitrat atau
amonia yang larut dalam air, sedangkan leguminosa menambahkan nitrogen ke
dalam tanah karena adanya bakteri-bakteri pada bintil-bintil akar. Baik rumput

atau leguminosa di dalam sesamanya sendiri tidak akan memiliki mutu yang
sama, masing-masing memiliki nilai gizi yang berbeda.

Faktor lingkungan

mempunyai peranan sangat penting, mutu yang diwariskan oleh faktor genetis
hanya mungkin dipertahankan atau ditingkatkan apabila faktor lingkungan
mendukung. Faktor-faktor lingkungan tersebut antara lain: keadaan tanah, iklim,
dan perlakuan manusia. Mutu hijauan makanan ternak akan berbeda berdasarkan
perbedaan jenis tanah dan tingkat kesuburannya. Semakin kaya tanah dengan
unsur hara yang diperlukan maka hijauan akan tumbuh subur, berproduksi tinggi
dan bermutu.
Iklim dapat menentukan jumlah serta mutu bahan hijauan. Pada wilayah
dengan iklim yang basah, hijauan yang dihasilkan kurang mengandung protein
dan mineral serta lebih banyak kadar seratnya tetapi bahan keringnya rendah. Di
daerah sub tropis (daerah yang tidak begitu basah) terdapat banyak padang rumput
yang luas, rumput tumbuh tinggi dan pepohonan kurang (sabana ), merupakan
daerah yang baik untuk mengusahakan ternak. Sedangkan pada daerah kering
hanya ditumbuhi oleh rumput-rumput pendek, merupakan daerah stepa atau hutan
belukar. Di daerah kering ini ternak sering menghadapi kesulitan mendapatkan
air. Di daerah ini usaha ternak akan lebih cocok dari pada pertanian khususnya

Universitas Sumatera Utara

12

(tanaman pangan).
Pengaruh perlakuan manusia terhadap mutu hijauan menyangkut
pengaturan waktu pemotongan serta cara-cara pengelolaan. Semakin lambat
waktu pemotongan, kandungan serat kasar akan semakin meningkat, sebaliknya
nilai gizinya semakin merosot, karena banyak zat yang hilang atau diubah menjadi
buah atau biji. Sebaliknya apabila pemotongan dilakukan dalam interval waktu
pemotongan yang pendek, hijauan akan selalu dalam keadaan muda. Cara
pengelolaan yang baik berkenaan dengan prisnsip-prinsip pengelolaan dan
penyimpanan, dalam hal ini hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: pemilihan
lokasi, pemilihan bibit, pengelolaan tanah dan penanaman, pemeliharaan, dan
defoliasi (pemotongan).

Salah satu kendala dalam pengembangan ternak ruminansia adalah belum
tersedianya hijauan makanan ternak baik kualitas maupun kuantitasnya yang
memadai dan kontinyu sepanjang tahun. Fluktuasi jumlah ketersediaan hijauan
makanan ternak dipengaruhi oleh tataguna lahan dan pola tanam. Hal ini berkaitan
dengan keberadaan hijauan dari limbah hasil pertanian seperti jerami padi, jagung,
kacang tanah, kacang hijau,

kedelai,

ubi kayu,

ubi jalar, dan lain-lain.

Kekurangan hijauan biasanya terjadi pada musim kemarau, sementara pada
musim hujan produksi hijauan ternak cukup tinggi. Keadaan ini sering terjadi di
kawasan Indonesia bagian timur dengan musim kemarau yang relative panjang.
Pada wilayah-wilayah pertanian intensif dengan pola pertanian yang diutamakan
adalah tanaman pangan, kekurangan hijauan dapat juga terjadi pada musim hujan
karena lahan sawah ditanami padi atau tanaman pangan lainnya. Sumberdaya
pakan meliputi pembinaan mutu pakan, pengembangan pakan alternatif,
pemanfaatan sumberdaya pakan hijauan lokal dan pemanfaatan teknologi pakan
(Pambudy dan Sudardjat, 2000).
Dalam usahatani terdapat beberapa unsur yaitu lahan, tenaga kerja dan
modal. Lahan merupakan basis untuk usaha peternakan atau merupakan faktor
produksi sumber makanan ternak pokok berupa rumput, limbah ataupun produk
utama pertanian (Suparini, 2000).
Potensi dan Sumber Daya
Sumberdaya lahan yang dapat

dimanfaatkan oleh peternak antara lain:

lahan sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan, dan hutan rakyat, dengan

Universitas Sumatera Utara

13

tingkat kepadatan tergantung kepada keragaman dan intensitas tanaman,
ketersediaan air, jenis sapi potong yang dipelihara. Luasnya lahan sawah, kebun,
dan hutan tersebut memungkinkan pengembangan pola integrasi ternak-tanaman
yang merupakan suatu proses saling menunjang dan saling menguntungkan,
melalui pemanfaatan tenaga untuk mengolah tanah dan kotoran sebagai pupuk
organik. Sementara lahan sawah dan lahan tanaman pangan menghasilkan jerami
padi dan hasil sampingan tanaman yang dapat diolah sebagai makanan ternak.
Sedangkan kebun dan hutan memberikan sumbangan rumput alam dan jenis
tanaman lain. Pemanfaatan pola integrasi diharapkan dapat meningkatkan
ketersediaan pakan sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produksi dan
produktivitas ternak (Riady, 2004).
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), agar ternak dapat
berproduksi dengan baik, maka perlu memperhatikan persyaratan penggunaan dan
sifat-sitat pembatas lahan yang meliputi sekelompok kualitas lahan yang
diperlukan dan yang mempunyai pengaruh merugikan untuk produksi ternak.
Kualitas lahan yang perlu diperhatikan untuk produksi ternak tersebut meliputi:
a. semua kualitas lahan untuk pertumbuhan tanaman/rumput ternak antara lain:
tersedianya air, tersedianya unsur hara, tersedianya oksigen di perakaran,
daya memegang unsur hara, kondisi untuk perkecambahan, mudah tidaknya
diolah, kadar garam, unsur-unsur beracun, kepekaan erosi, hama dan penyakit
tanaman, bahaya banjir, suhu, sinar matahari, dan periode photosintesis, iklim,
kelembaban udara dan masa kering untuk pematangan tanaman;
b. Kesulitan-kesulitan iklim yang mempengaruhi hewan ternak;
c. Ketersediaan air minum ternak;
d. Nilai nutrisi dari rumput;
e. Sifat-sifat racun dari rumput;
f. Penyakit-penyakit hewan;
g. Ketahanan terhadap kerusakan rumput;
h. Ketahanan erosi akibat penggembalaan.
Menurut Ibrahim (2003), pada dasarnya evaluasi hijauan makanan ternak
bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai jenis hijauan yang dengan manajemen
tertentu dapat meningkatkan produktivitas ternak apabila dimasukkan ke dalam

Universitas Sumatera Utara

14

sistem usahatani. Oleh karena itu, pemahaman yang seksama perlu dilakukan
terhadap sistem usahatani yang ada sehingga peluang integrasi hijauan terhadap
suatu sistem dapat teridentifikasi dengan benar. Berdasarkan tipe penggunaan
lahan yang ada, terdapat enam kelompok sistem usahatani di Indonesia, yaitu: (1)
lahan sawah; (2) lahan kering; (3) lahan perkebunan; (4) padangan; (5) lahan
pekarangan; dan (6) lahan pertanian berpindah. Masing-masing tipe penggunaan
ini menentukan jenis hijauan ternak yang tersedia dan tingkat kesesesuaiannya
untuk dikembangkan.
Pada lahan sawah, sistem usahatani yang dilakukan adalah sistem usaha
tani padi pada sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Pada sawah irigasi, padi
ditanam lebih dari satu kali per tahun. Ternak ruminansia yang dipelihara di
ekosistem ini mendapatkan makanan berupa jerami padi, gulma hasil penyiangan
di lahan sawah, dedaunan tanaman tahunan dan vegetasi alam yang ada di
pematang, saluran irigasi, tepi jalan, dan tanggul sungai. Pengembangan hijauan
pada lahan sawah irigasi sangat terbatas karena petani umumnya menilai bahwa
tanaman padi adalah komoditas utama sehingga tidak ada waktu, upaya atau
alokasi lahan yang diperuntukkan bagi penanaman hijauan.
Ekosistem lahan kering sebagai tempat usaha tani memungkinkan adanya
sumber pakan ternak berupa vegetasi alami yang berasal dari gulma di lahan
pertanaman tanaman pangan atau sayuran, dedaunan tanaman tahunan serta
vegetasi alam yang tersedia di tepi jalan atau batas kebun. Dibandingkan dengan
kebutuhan nutrisi ternak, baik jumlah dan kualitas yang diberikan tersebut dinilai
tidak cukup. Prospek pengembangan hijauan di ekosistem pertanian lahan kering
cukup baik melalui rotasi tanaman pangan dengan legum pakan ternak atau
penggunaan leguminosa pohon dan semak pada sistem budidaya lorong (alley
cropping) pada lahan berlereng.

Vegetasi alam yang tumbuh di areal perkebunan dapat dikonsumsi ternak
dan dapat dikelompokkan sebagai hijauan, bukan sebagai gulma. Integrasi ternak
dengan perkebunan bertujuan untuk mendapatkan nilai tambah lahan berupa
produk ternak. Dengan tujuan seperti ini, perbaikan ketersediaan hijauan di areal
perkebunan merupakan target yang sejalan dengan upaya pencapaian tingkat
produktivitas ternak.

Universitas Sumatera Utara

15

Karakteristik Peternak
Pendidikan berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memahami
sesuatu, dimana dengan memiliki pengetahuan formal yang lebih tinggi maka
seseorang akan memiliki motivasi lebih tinggi dan wawasan yang lebih luas
dalam menganalisa suatu kejadian (Rakhmat 2000). Tingkat pendidikan peternak
relatif beragam, dengan didominasi oleh tingkat SD (57 – 76%), sedangkan
tingkat Perguruan Tinggi (PT) terendah (1 – 2%). Tingkat pendidikan yang
rendah akan mempengaruhi motivasi dan partisipasi peternak dalam pelaksanaan
pengembangan peternakan.
Umur
Umur seorang pada umumnya dapat mempengaruhi aktivitas peteni maupun
peternak dalam mengelola usahanya, dalam hal ini mempengaruhi kondisi fisik
dan kemampuan berfikir. Makin muda umur petani, cendrung memiliki fisik yang
kuat dan dinamis dalam mengelola usahanya, sehingga mampu bekerja lebih kuat
dari petani yang umurnya tua. Selain itu petani yang lebih muda mempunyai
keberanian untuk menanggung resiko dalam mencoba inovasi baru demi
kemajuan usaha taninya (Syafrudin, 2003)
Klausmeir dan Goodwin (1966) dalam Haryadi (1997) berpendapat bahwa
umur pengajar maupun pelajar merupakan salah satu karakteristik penting yang
berkaitan dengan efektivitas belajar dimana kepastian belajar seseorang, tetapi
menurut perkembangan umurnya. Kapasitas belajar akan naik sampai usia dewasa
dan kemudian menurun dengan bertambahnya umur.
Tanggungan
Jumlah tanggungan peternak merupakan satu karakteristik yang dapat
mempengaruhi keputusan produksi. Selanjutnya Soekartawi (1988) menjelaskan
jumlah tanggungan keluarga dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan untuk menerima atau menolak suatu teknologi baru.
Syafrudin (2003) menyatakan bahwa jumlah tanggungan keluarga
merupakan salah satu sumber daya manusia yang dimiliki peternak, terutama yang
berusia produktif dan ikut membantu usaha ternaknya tanggungan keluarga juga
bisa menjadi beban keluarga jika tidak aktif bekerja.

Universitas Sumatera Utara

16

Analisis Location Quation(LQ)
Menurut Budiharsono (2001), metode Location Quation digunakan untuk
mengetahui penggolongan suatu sektor wilayah ke dalam sektor basis dan non
basis. Location Quation merupakan suatu perbandingan besarnya sektor atau
kegiatan terhadap besarnya peranan sektor tersebut pada wilayah yang lebih luas.
Apabila LQ suatu sektor bernilai dari atau sama dengan satu (≥1), maka sektor
tersebut merupakan sektor basis. Sedangkan bila LQ suatu sektor kurang dari satu
(