Uji Aktivitas Koagulan Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.) Secara In Vitro Dan In Vivo

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Kelor (Moringa oleifera Lam.) merupakan tanaman yang berasal dari
dataran sepanjang sub Himalaya, yaitu India, Pakistan, Bangladesh, dan
Afghanistan. Kelor dibudidayakan dan telah beradaptasi dengan baik di luar
daerah asalnya, termasuk bagian barat, timur, dan selatan Afrika, Asia, tropis,
Amerika Latin, Karibia, Florida, dan Kepulauan Pasifik (Fahey, 2005).
2.1.1 Sistematika tumbuhan
Menurut Integrated Taxonomic Information System (2013), taksonomi
tanaman kelor adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Sub kingdom

: Tracheobionta

Super divisi


: Spermatophyta

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Sub kelas

: Dilleniidae

Ordo

: Capparales

Famili


: Moringaceae

Genus

: Moringa

Spesies

: Moringa oleifera Lam.

2.1.2 Nama lain
Tumbuhan kelor memiliki nama daerah, yaitu: murong (Aceh), munggai
(Sumatera Barat), kilor (Lampung), marongghi (Madura), kiloro (Bugis). Nama

7
Universitas Sumatera Utara

asing dari kelor adalah horse radish tree, drumstick tree, benzolive tree, (Inggris),
mulangay (Filipina), mionge (Tanzania), moonga (India), sajna (Bangladesh)
(Mardiana, 2013).

2.1.3 Morfologi tumbuhan
Kelor merupakan tanaman yang tinggi pohonnya dapat mencapai 12 meter
dengan diameter 30 cm; berakar tunggang berwarna putih yang membesar seperti
lobak; mempunyai batang bulat dengan arah tumbuh lurus ke atas dan
permukaannya kasar. Percabangan pada batangnya terjadi secara simpodial; daun
majemuk, bertangkai panjang, tersusun berseling; helai daun saat muda berwarna
hijau muda, setelah dewasa hijau tua, bentuk helai daun bulat telur, panjang 1 – 3
cm, lebar 4 mm sampai 1 cm, ujung daun tumpul, pangkal daun membulat, dan
tepi daun rata, susunan pertulangan menyirip, permukaan atas dan bawah halus;
bunga berwarna putih agak krem, menebar aroma khas; buah bentuk segitiga
memanjang berwarna coklat setelah tua; biji berbentuk bulat, ketika muda
berwarna hijau terang dan berubah berwarna cokelat kehitaman ketika polong
matang dan kering. Bagian kayu warna cokelat muda atau krem berserabut
(Anwar, et al., 2007).
Tanaman kelor bisa tumbuh subur di hampir seluruh wilayah Indonesia,
baik dataran rendah maupun dataran tinggi sampai ketinggian 1000 m di atas
permukaan laut, sehingga budidaya tanaman kelor ini bisa dilakukan di semua
wilayah (Pradana, 2013).
2.1.4 Kandungan kimia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun kelor banyak mengandung

nutrisi dan senyawa kimia, antara lain: protein (27%), kaya vitamin A dan vitamin

8
Universitas Sumatera Utara

C, zat besi, kalsium, fosfor, alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin/steroid,
polisakarida, asam amino, serta kandungan polifenol lainnya (Gaiwad, et al,
2011).
Selain itu, daun kelor juga mengandung nitril glikosida, yaitu niazirin dan
niazirinin;

three

mustard

oil

glycosides,

seperti


4

[(4’-O-acetyl-α-L-

rhamnosyloxy) benzyl], isotiosianat, niaziminin A dan niaziminin B; asam-asam
fenolik, seperti asam gallat, klorogenik, asam ferulat, dan asam ellegat; flavonoid
(kaempferol, quercetin, dan rutin) dan karatenoid (terutama lutein dan β–karoten)
(Pandey, et al., 2012).
2.1.5 Khasiat dan penggunaan tumbuhan
Pemanfaatan tanaman kelor cukup beragam. Kelor biasanya ditanam
sebagai bahan sayur, dan tanaman pagar. Selain itu, dapat pula dimanfaatkan
sebagai pakan ternak sapi dan kambing. Kelor juga dapat dimanfaatkan sebagai
obat-obatan. Akar kelor ampuh menyembuhkan nyeri, rematik, sariawan, dan
asma. Kulit akar juga mujarab mengatasi pembengkakan dan sariawan. Sementara
kulit batang dapat digunakan untuk pelancar haid, flu, dan sariawan. Ramuan
daun kelor dapat membantu penyembuhan pembengkakan limpa, penurunan kadar
gula darah, dan meningkatkan nafsu makan. Selain itu, daun juga bersifat diuretik
serta dapat menangani panas dalam, anemia dan memperlancar susu ibu. Berbagai
penelitian yang telah dilakukan seperti antioksidan, urolitiasis, hepatoprotektor,

immunomodulator, hipokolesterolemik (penurun kolesterol), dan hipoglikemik
(penurun kadar gula darah) (Mardiana, 2013).
Secara tradisional, daun kelor digunakan untuk antispasmodik, stimulan,
ekspektoran dan diuretik. Daun yang telah dijus dapat digunakan sebagai obat

9
Universitas Sumatera Utara

batuk dan dalam dosis tinggi sebagai obat muntah. Daun yang telah dimasak dapat
digunakan sebagai obat influenza. Ekstrak (dekog) dapat digunakan untuk
pengobatan sakit tenggorokan (Garima, 2011).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari
jaringan tumbuhan maupun hewan dengan pelarut yang sesuai. Sebelum ekstraksi
dilakukan biasanya bahan dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan pada
derajat kehalusan tertentu (Harborne, 1987).
Hasil ekstraksi disebut ekstrak, yaitu sediaan kental atau cair yang
diperoleh dengan cara

mengekstraksi zat aktif dengan pelarut yang sesuai


kemudian menguapkan semua atau hampir semua pelarut yang digunakan pada
ekstraksi (Depkes RI, 1995).
Tujuan utama dari ekstraksi adalah untuk mendapatkan atau memisahkan
sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan. Zat aktif yang
terdapat dalam simplisia tersebut dapat digolongkan ke dalam golongan minyak
atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Ditjen POM, 2000).
Ada beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan yaitu cara dingin
dan cara panas.
2.2.1 Cara Dingin
a. Maserasi
Maserasi

adalah

penyarian

simplisia

dengan


cara

perendaman

menggunakan pelarut disertai sesekali pengadukan pada temperatur kamar.
Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus menerus disebut maserasi

10
Universitas Sumatera Utara

kinetik sedangkan yang dilakukan panambahan ulang pelarut setelah dilakukan
penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.
b. Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan alat perkolator
dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang
umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap
pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh perkolat
(Ditjen POM, 2000).

2.2.2 Cara Panas
a. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia pada temperatur titik didihnya
menggunakan alat dengan pendingin balik dalam waktu tertentu dimana pelarut
akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu.
b. Digesti
Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur
lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur
40 - 50°C.
c. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian menggunakan pelarut yang selalu baru,
dilakukan dengan menggunakan alat khusus (soklet) dimana pelarut akan
terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel.
d. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 15 menit.

11
Universitas Sumatera Utara


e. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 30 menit (Ditjen POM, 2000).
2.3 Hemostasis dan Koagulasi
Hemostasis dan koagulasi adalah serangkaian kompleks reaksi yang
menyebabkan pengendalian perdarahan melalui pembentukan trombosit dan
bekuan fibrin pada tempat cedera. Pembekuan diikuti dengan penghancuran
bekuan dan regenerasi endotel. Pada keadaan hemostatik, hemostasis dan
koagulasi melindungi individu dari perdarahan akibat trauma. Pada keadaan
abnormal, dapat terjadi perdarahan yang mengancam jiwa atau trombosis yang
menyumbat cabang-cabang pembuluh darah (Baldy, 2005).
Hemostasis merupakan proses penghentian perdarahan secara spontan
pada pembuluh darah yang cedera. Dalam proses tersebut berperan faktor-faktor
pembuluh darah, trombosit dan faktor pembekuan darah. Dalam proses ini
pembuluh darah akan mengalami vasokontriksi, trombosit akan beragregasi
membentuk sumbat trombosit oleh fibrin yang dibentuk melalui proses
pembekuan darah akan memperkuat sumbat trombosit yang telah terbentuk
sebelumnya.
Ada tiga komponen penting dalam mekanisme hemostasis atau
penghentian perdarahan pada pembuluh darah yang rusak, ya mitu trombosit,

proses koagulasi dan pembuluh darah. Luka kecil pada dinding pembuluh darah
akan ditutupi oleh trombosit dan lapisan fibrin, namun jika kerusakan lebih parah,
maka trombosit akan menumpuk terutama pada kolagen yang terbuka.
Pembebasan serotonin dari trombosit akan menghasilkan vasokontriksi lokal

12
Universitas Sumatera Utara

sehingga dapat membantu menghambat aliran darah dari pembuluh darah yang
luka dan agregasi trombosit dapat lebih baik (Bowman dan Rand, 2008).
2.4 Hemostatik
Hemostatik terbagi dua, yaitu hemostatik lokal dan hemostatik sistemik.
2.4.1 Hemostatik lokal
Hemostatik lokal dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan mekanisme
hemostatiknya, yaitu:
2.4.1.1 Hemostatik serap
Hemostatik serap (absorbable hemostatics) menghentikan pendarahan
dengan pembentukan suatu bekuan buatan atau memberikan jala serat – serat yang
mempermudah pembekuan bila diletakkan langsung pada permukaan yang
berdarah. Adanya kontak pada permukaan asing, trombosit akan pecah dan
membebaskan faktor pembekuan darah yang memulai proses pembekuan darah.
Hemostatik golongan ini berguna untuk mengatasi perdarahan yang berasal dari
pembuluh darah yang kecil saja, misalnya kapiler, dan tidak efektif untuk
menghentikan perdarahan arteri atau vena yang tekanan intravaskularnya cukup
besar. Termasuk dalam kelompok ini antara lain spons gelatin, oksisel (selulosa
oksida), dan busa fibrin insani (human fibrin foam) (Dewoto, 2007).
2.4.1.2 Adstringen
Zat ini bekerja lokal dengan cara mengendapkan protein darah sehingga
perdarahan dapat dihentikan. Sehubungan dengan cara penggunaannya, zat ini
dinamakan juga styptic. Termasuk di dalam kelompok ini antara lain feri klorida,
nitras agenti, asam tanat. Kelompok ini digunakan untuk menghentikan

13
Universitas Sumatera Utara

perdarahan kapiler, tetapi kurang efektif bila dibandingkan dengan vasokontriktor
yang digunakan lokal (Dewoto, 2007).
2.4.1.3 Koagulan
Obat ini pada penggunaan lokal dapat menimbulkan hemostasis dengan
dua cara, yaitu mempercepat perubahan protrombin menjadi trombin (aktivator
protrombin) dan secara langsung menggumpalkan fibrinogen. Sediaan trombin
tidak boleh langsung disuntikkan secara i.v., sebab segera menimbulkan
pembekuan dengan bahaya emboli (Dewoto, 2007).
2.4.1.4 Vasokonstriktor
Epinefrin dan norepinefrin berefek vasokonstriksi, dapat digunakan untuk
menghentikan perdarahan kapiler suatu permukaan. Vasopressin, yang dihasilkan
oleh hipofisis, pernah digunakan untuk perdarahan pasca persalinan (Dewoto,
2007).
2.4.2 Hemostatik sistemik
Transfusi darah dapat menghentikan perdarahan dengan segera. Hal ini
dapat terjadi karena pasien mendapatkan semua faktor pembekuan darah yang
terdapat dalam darah transfusi. Perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi faktor
pembekuan darah tertentu dapat diatasi dengan mengganti/memberikan faktor
pembekuan yang berkurang (Dewoto, 2007).
Beberapa contoh hemostatik sistemik, yaitu:
2.4.2.1 Vitamin K
Sebagai hemostatik, vitamin K memerlukan waktu untuk dapat
menimbulkan efek, sebab vitamin K harus merangsang pembentukan faktor-faktor
pembekuan darah terlebih dahulu (Dewoto, 2007). Hal ini didukung oleh Rang

14
Universitas Sumatera Utara

(2003), yang mengatakan bahwa Vitamin K merupakan faktor yang penting untuk
pembentukan faktor pembekuan II, VII, IX, dan X.
Vitamin K merupakan suatu vitamin yang larut dalam lemak,
kebutuhannya dalam diet rendah karena vitamin ini secara tambahan disintesis
oleh bakteria yang berkoloni pada usus manusia. Ada dua bentuk vitamin K, yaitu
vitamin K1 dan vitamin K2. Vitamin K1 ditemukan dalam makanan dan disebut
phytonadione. Vitamin K2 ditemukan pada jaringan manusia yang disintesis
bakteria usus dan disebut menaquinone (Katzung, 2014).
2.4.2.2 Asam Aminokaproat
Asam aminokaproat merupakan penghambat bersaing dari aktivator
plasminogen dan penghambat plasmin. Plasmin sendiri berperan dalam
menghancurkan fibrinogen, fibrin dan faktor pembekuan darah, oleh karena itu
asam aminokaproat dapat membantu mengatasi perdarahan berat akibat
fibrinolisis yang berlebihan (Dewoto, 2007). Aminocaproic acid merupakan suatu
penghambat fibrinolisis. Agen ini secara kompetitif menghambat aktivitas
plasminogen dan dengan cepat diserap secara oral dan dibersihkan dari tubuh
melalui ginjal (Katzung, 2014).
2.4.2.3 Asam Traneksamat

Gambar 2.1 Rumus Kimia Asam Traneksamat

15
Universitas Sumatera Utara

Obat ini merupakan analog asam aminokaproat, mempunyai indikasi dan
mekanisme kerja yang sama dengan asam aminokaproat, tetapi 10 kali lebih
potent dengan efek samping yang lebih ringan (Dewoto, 2007).
Asam traneksamat termasuk obat golongan antifibrinolitik dan hemostatik.
Obat ini bekerja dengan cara menonaktifkan plasminogen dan mencegah
fibrinolisis. Asam traneksamat dapat diberikan secara oral atau melalui injeksi
intravena. Asam traneksamat juga digunakan untuk pengobatan berbagai kondisi
yang berhubungan dengan perdarahan atau resiko perdarahan, seperti perdarahan
yang terjadi setelah prostatektomi atau pencabutan gigi, menstruasi (perdarahan
menstruasi yang parah) atau perdarahan yang dapat mengakibatkan kematian yang
berkaitan dengan penggunaan obat – obat trombolitik. Asam traneksamat juga
digunakan pada pasien dengan penyakit keturunan seperti angiodema (Rang,
2003).
2.5 Antikoagulan
Antikoagulan digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan jalan
menghambat pembekuan atau fungsi beberapa faktor pembekuan darah.
2.5.1 Antikoagulan oral
Antikoagulan oral merupakan antagonis vitamin K. Vitamin K merupakan
kofaktor yang berperan dalam aktivasi faktor pembekuan II, VII, IX dan X. Untuk
berfungsi, vitamin K harus mengalami siklus oksidasi dan reduksi di hati.
Antikoagulan oral mencegah reduksi vitamin K teroksidasi sehingga aktivasi
faktor-faktor pembekuan darah terganggu/tidak terjadi (Dewoto, 2007). Contoh
antikoagulan oral adalah warfarin. Warfarin disebut antikoagulan oral karena

16
Universitas Sumatera Utara

tidak seperti heparin yang diberikan secara suntikan. Warfarin secara umum
diberikan sebagai garam natrium (Katzung, 2014).
2.5.2 Heparin

Gambar 2.2 Rumus Kimia Heparin
Heparin merupakan suatu glikosaminoglikan yang ditemukan pada granul
sekresi sel-sel mast dan banyak terdapat di paru-paru. Dalam keadaan normal,
heparin tidak dapat dideteksi dalam darah. Efek antikoagulan heparin timbul
karena ikatannya dengan AT-III (Anti Trombin III). AT-III berfungsi
menghambat protease faktor pembekuan termasuk faktor IIa (trombin), Xa dan
IXa, dengan cara membentuk kompleks yang stabil dengan protease faktor
pembekuan. Heparin memiliki berat molekul 5.000 – 30.000 dan memiliki afinitas
kuat

dengan

antitrombin

dan

menghambat

nyata

pembekuan

dan

diberikan

darah.

(Dewoto,2007).
Heparin

bekerja

singkat

harus

suntikan.

Efek

antikoagulannya membutuhkan antitrombin III, suatu inhibitor protease dalam
darah yang membentuk kompleks 1:1 dengan trombin. Heparin meningkatkan
kecepatan pembentukan kompleks 1:1000 kali lipat, menyebabkan inaktivasi

17
Universitas Sumatera Utara

trombin yang hampir instan (Neal, 2006).
Pemberian secara subkutan dapat diberikan dengan dosis 5000 unit setiap
8-12 jam. Karena bahaya pembentukan hematoma pada tempat penyuntikan,
heparin

jangan

pernah

diberikan

secara

intramuskular.

Heparin

dikontraindikasikan pada pasien-pasien yang hipersensitif pada obat tersebut,
pasien dengan perdarahan aktif atau dengan hemofilia dan trombositopenia. Kerja
antikoagulan yang berlebihan dari heparin diatasi dengan penghentian pemakaian
obat tersebut. Jika perdarahan terjadi, pemberian suatu antagonis seperti protamin
sulfat diindikasikan. Protamin merupakan suatu peptida yang sangat basa yang
dikombinasikan degnan heparin sebagai suatu pasangan ion untuk membentuk
suatu kompleks stabil tanpa aktivitas antikoagulan (Katzung, 2014).
2.5.3 Penarikan ion kalsium
Ion kalsium mutlak diperlukan diperlukan pada pembekuan darah. Dengan
penarikannya, maka pembekuan darah akan dihambat. Ini dilakukan dengan
pengendapan dengan natrium oksalat atau natrium fluorida atau dengan
pembentukan kompleks dengan natrium sitrat. Penarikan ion kalsium hanya dapat
dilakukan secara in vitro, karena secara in vivo, penurunan kadar kalsium dapat
menyebabkan tetani (otot kaku dan kejang). Akan tetapi, darah sitrat dapat
digunakan untuk transfusi darah, selama kecepatan transfusi tidak terlalu tinggi.
Ion kalsium yang tidak ada akan cepat digantikan dari cadangan kalsium dengan
kerja parathormon (Mutschler, 2010).

18
Universitas Sumatera Utara

2.6. Faktor-Faktor Pembekuan Darah
Menurut Baldy (2005), faktor-faktor pembekuan darah terdiri dari:
Tabel 2.1 Faktor-faktor pembekuan darah
Faktor
Pembekuan

Nama Faktor
Pembekuan

Keterangan

I
II

Fibrinogen
Protrombin

III
IV

Tromboplastin
Kalsium

V

Akselerator plasma globulin

Mempercepat konversi protrombin
menjadi trombin

Akselerator konversi
protrombin serum

Mempercepat konversi protrombin

Globulin antihemofilik
(AHG)

VII

Prekursor fibrin (protein terpolimerisasi)
Prekursor enzim proteolitik trombin
Aktivator lipoprotein jaringan pada
trombin
Aktivasi trombin dan pembentukan fibrin

IX

Faktor Christmas

Plasma yang berikatan dengan faktor III
dan faktor IX; aktivasi protrombin
Berikatan dengan faktor pembekuan
darah

X

Faktor Stuart-Power

Faktor plasma dan serum, akselerator
konversi protrombin

VIII

XI
XII

Pendahulu Tromboplastin
Plasma (PTA)
Faktor Hageman

XIII

Faktor Penstabil Fibrin

Diaktivasi oleh faktor XII (Hageman),
akselerator pembentukan trombin
Faktor plasma; mengaktivasi PTA
Menghasilkan bekuan fibrin yang lebih
kuat

Faktor Fletcher
(Prakalikrein)
Faktor Fitzgerald

Faktor pengaktivasi kontak
Faktor pengaktivasi kontak

-

2.7. Trombosit
Trombosit adalah salah satu elemen terkecil darah. Sel ini tidak berinti,
berbentuk bulat atau oval, memberikan struktur mirip piringan dengan diameter
1-2 mikrometer dan volume sel rata-rata 5,8 fl. Jumlah trombosit normal adalah
sekitar 250 x 109/L (rentang 1,5 – 4,5 x 105/μl) dengan lama hidup 7 – 10 hari.
Peran trombosit dalam hemostasis antara lain berperan pada proses adhesi pada
jaringan subendotel, memicu agregasi pada tempat terjadinya kerusakan pembuluh

19
Universitas Sumatera Utara

darah, memicu proses koagulasi pada permukaan fosfolipid. Selain itu, trombosit
juga berperan melepaskan substansi biokimia yang penting dalam hemostasis
(Hoffbrand, et al, 2005).
2.8 Proses Koagulasi Darah
Proses koagulasi darah berlangsung dalam beberapa tahap, dengan
pembentukan fibrin sebagai hasil akhir. Dalam garis besar, proses pembekuan
berjalan melalui 3 tahap, yaitu:
1. Pembentukan tromboplastin
2. Pembentukan trombin dari protrombin
3. Pembentukan fibrin dari fibrinogen.
Pembentukan tromboplastin, yaitu aktivitas yang mengubah protrombin menjadi
trombin, dapat berlangsung melalui dua jalan, yaitu dengan mekanisme intrinsik
dan mekanisme ekstrinsik, yang masing-masing memerlukan faktor pembekuan
tertentu. Pembentukan tromboplastin dengan mekanisme intrinsik berlangsung di
dalam plasma darah dan memerlukan desintegrasi trombosit, faktor-faktor IV, V,
VIII, IX, X, XI, dan XII. Proses dimulai dengan aktivasi faktor XII oleh
persentuhan dengan suatu permukaan asing, dalam hal ini kolagen. Kemudian
faktor XII aktif akan mengaktivasi faktor XI. Faktor XI aktif bersama faktor VIII
aktif (diaktivasi oleh trombin), faktor IV dan suatu fosfolipid mengaktivasi faktor
X (Rosmiati dan Gan, 2007).
Proses ekstrinsik memerlukan faktor-faktor III, IV, dan VII untuk
mengaktivasi faktor X. Faktor X aktif bersama faktor V aktif (diaktivasi trombin),
Ca

2+

, dan fosfolipid mengaktivasi protrombin menjadi trombin. Selanjutnya

trombin bersama Ca2+ mengubah fibrinogen menjadi fibrin yang berupa

20
Universitas Sumatera Utara

monomer. Fibrin monomer ini oleh faktor XIII aktif (diaktivasi oleh trombin
bersama Ca2+) diubah menjadi fibrin padat yang berupa polimer (Rosmiati dan
Gan, 2007). Faktor jaringan tidak terdapat di dalam darah, maka faktor ini
merupakan faktor ekstrinsik koagulasi, dengan demikian disebut juga koagulasi
jalur ekstrinsik (Baldy, 2005).
Rangkaian yang menyebabkan aktivasi faktor X adalah jalur intrinsik,
disebut demikian karena rangkaian ini menggunakan faktor-faktor yang terdapat
di dalam sistem vaskular plasma. Dalam rangkaian ini, terjadi reaksi kaskade,
aktivasi satu prokoagulan menyebabkan aktivasi bentuk pengganti. Jalur intrinsik
diawali dengan plasma yang keluar terkena dengan kulit atau kolagen di dalam
pembuluh darah yang rusak. Faktor jaringan tidak diperlukan, tetapi yang
berperan adalah trombosit yang melakat pada kolagen. Pada jalur intrinsik, faktorfaktor XII, XI, dan IX harus diaktivasi secara berurutan sebelum faktor X dapat
diaktivasi. Zat-zat lain juga sangat diperlukan seperti prakalikrein dan HMWK
(High Molecular Weight Kininogen - Fitzgerald Factor) serta ion kalsium. Dari
hal ini, koagulasi dapat terjadi sepanjang apa yang dinamakan jalur bersama, yaitu
aktivasi faktor X terjadi akibat reaksi jalur ekstrinsik dan intrinsik. Pembentukan
fibrin berlangsung jika faktor X aktif dibantu oleh fosfolipid dan trombosit
yang diaktivasi, memecah protrombin, membentuk trombin. Selanjutnya trombin
memecahkan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin ini awalnya merupakan jeli yang
dapat larut, distabilkan oleh faktor XIII aktif, dan mengalami polimerisasi menjadi
jalinan fibrin yang kuat dan memerangkap trombosit dan sel-sel darah. Untaian
fibrin kemudian memendek mendekatkan tepi-tepi dinding pembuluh darah yang
cedera dan menutup daerah tersebut (Baldy, 2005).

21
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Proses koagulasi darah (Kelly, 2004)
Protein C, suatu polipeptida, merupakan suatu antikoagulan fisiologik
yang dihasilkan oleh hati, dan beredar secara bebas dalam bentuk inaktif dan
diaktivasi menjadi protein C aktif. Protein C yang diaktivasi menginaktivasi
protrombin, faktor Va (faktor V aktif) dan VIIIa (faktor VII aktif), sedangkan
protein S mempercepat protein C untuk menginaktivasi faktor-faktor itu (Baldy,
2015).
2.9 Kelainan Hemostasis dan Koagulasi
Kerusakan

dari

komponen

mekanisme

pembekuan

darah

dapat

menyebabkan kelainan perdarahan. Kelainan perdarahan ini dapat diperoleh dari
keturunan, dan biasanya terbagi dalam 4 kelompok: berdasarkan nama, vaskuler,
platelet atau faktor pembekuan darah, atau kerusakan fibrin, tergantung pada

22
Universitas Sumatera Utara

mekanisme aksinya:
1.

Kerusakan vaskuler, termasuk di dalamnya abnormalitas dari pembuluh darah
baik yang didapat atau keturunan.

2.

Kerusakan

platelet,

termasuk

di

dalamnya

jumlah

trombosit

(trombositopenia) atau kualitas trombosit (trombositopati).
3.

Penyakit Von Willebrand (VWD) merupakan penyakit kelainan perdarahan
(koagulopati) yang merupakan penyakit keturunan. Pasien memiliki gejala
memar dan perdarahan mukosa seperti epitaksis dan melena. Sebaliknya,
perdarahan jaringan lunak merupakan karakteristik khusus dari hemofilia
(kurangnya faktor VII atau IX).

4.

Kerusakan faktor pembekuan darah yang didapat karena adanya kerusakan
hati, defisiensi vitamin K, peningkatan fibrinolisis dan kelainan platelet
(Page, 2006).

2.9.1 Trombositopenia dan trombositosis
Trombositopenia didefenisikan sebagai jumlah trombosit yang kurang dari
batas bawah nilai rujukan (< 150.000 per mm3). Keadaan ini dapat disebabkan
oleh penurunan produksi trombosit, peningkatan destruksi, dan distribusi tidak
normal. Trombositosis didefenisikan sebagai peningkatan jumlah trombosit di atas
normal. Trombositosis dapat terjadi secara primer dan sekunder. Trombositosis
primer terjadi pada gangguan mieloproliferatif, seperti polisitemia vera dan
leukimia kronik. Trombositosis sekunder terjadi sebagai akibat dari adanya
keadaan lain, seperti stress atau kerja fisik disertai pengeluaran trombosit dari
limpa. Peningkatan jumlah trombosit melebihi 1 juta per mm3 dapat menyebabkan
perdarahan atau trombosis (Baldy, 2005).

23
Universitas Sumatera Utara

2.9.2 Hemofilia
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang
paling sering dijumpai, bermanifestasi sebagai episode perdarahan yang
memanjang. Hemofilia disebabkan oleh mutasi gen faktor VIII atau faktor IX,
dikelompokkan sebagai hemofilia A dan B. Hemofilia A ditemukan adanya
defisiensi atau tidak adanya aktivitas antihemofilia VIII dan penyakit Christmas
atau hemofilia B yang ditemukan adanya defisiensi atau tidak adanya aktivitas
faktor IX (Baldy, 2005).
2.9.3 Penyakit Von Willebrand
Penyakit Von Willebrand adalah gangguan koagulasi yang terjadi karena
penurunan aktivitas faktor VIIIVWF dan faktor VIIIAHG. Faktor Von Willebrand
disintesis di dalam sel-sel endotel dan megakariosit serta disimpan di dalam
organel penyimpanan. Faktor Von Willebrand mempermudah adhesi trombosit
pada komponen-komponen di dalam subendotel vaskular di bawah keadaan aliran
yang tinggi dan bertekanan, serta faktor ini merupakan karier intravaskular untuk
faktor VIII di tempat perdarahan aktif. Pada penyakit ini, trombosit tidak melekat
pada kolagen karena adanya defisiensi atau kelainan pada faktor Von Willebrand
(Baldy, 2005).
2.9.4 Defisiensi faktor plasma didapat
Defisiensi faktor plasma didapat berkaitan dengan penurunan produksi
faktor-faktor koagulasi, seperti yang ditemukan pada penyakit hati atau defisiensi
vitamin K. Hati merupakan tempat utama sintesis faktor-faktor II, V, VII, IX dan
X. Gangguan hati yang berat seperti sirosis akan mengubah respon hemostatik.
Penyerapan vitamin K yang terganggu juga akan mengganggu sintesis faktor-

24
Universitas Sumatera Utara

faktor koagulasi bergantung vitamin K. Vitamin K yang diperoleh dari diet dan
sintesis bakteri diperlukan untuk sintesis faktor-faktor II, VII, IX dan X. Pada
kasus-kasus malnutrisi, malabsorbsi, atau penggunaan antibiotik mengakibatkan
vitamin K berkurang secara nyata dengan akibat penurunan aktivitas biologi
faktor-faktor koagulasi (Baldy, 2005).

25
Universitas Sumatera Utara