Uji Aktivitas Koagulan Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.) Secara In Vitro Dan In Vivo

(1)

(2)

(3)

Lampiran 3 Karakteristik tumbuhan kelor (Moringa oleifera Lam.)

Tumbuhan kelor


(4)

Lampiran 3 (Lanjutan)

Simplisia daun kelor


(5)

Lampiran 4 Hasil pemeriksaan mikroskopik daun kelor

Mikroskopik penampang melintang daun kelor Perbesaran 10x40

Keterangan : 1. Kutikula 2. Epidermis atas 3. Jaringan palisade 4. Jaringan bunga karang 5. Berkas pembuluh 6. Epidermis bawah 7. Stomata

8. Kristal oksalat bentuk druse 9. Rambut penutup

1 2

3

4

6 7 8

9 5


(6)

Lampiran 4 (Lanjutan)

Mikroskopik serbuk simplisia daun kelor Perbesaran 10x40

Keterangan :

1. Rambut penutup

2. Stomata tipe anomositik pada epidermis bawah 3. Sel minyak

4. Kristal oksalat bentuk druse 5. Berkas pembuluh

2 1

3

4


(7)

Lampiran 5 Perhitungan hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia 1. Perhitungan Penetapan Kadar Air

a. Berat sampel = 5,018 g Volume air = 0,25 ml Kadar air = 0,25

5,081 � 100% = 4,98%

b. Berat sampel = 5,023 Volume air = 0,35 ml Kadar air = 0,35

5,023 x 100% = 6,96%

c. Berat sampel = 5,007 Volume air = 0,25 ml Kadar air = 0,25

5,007 x 100% = 4,99%

Kadar air rata-rata = (4,98+6,96+4,99)%

3 = 5,64%

No Berat sampel (g) Volume awal (ml) Volume akhir (ml)

1 5,018 1,15 1,40

2 5,023 1,40 1,75

3 5,007 1,75 2,00

Kadar air simplisia = volume air


(8)

Lampiran 5 (Lanjutan)

2. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air

a. Berat sampel = 5,009 g Berat sari = 0,401 g Kadar sari = 0,401

5,009 x 100

20 x 100% = 40,03%

b. Berat sampel = 5,004 g Berat sari = 0,376 g Kadar sari = 0,376

5,004 x 100

20 x 100% = 37,57%

c. Berat sampel = 5,006 g Berat sari = 0,392 Kadar sari = 0,392

5,006 x 100

20 x 100% = 39,15%

Kadar sari rata-rata = (40,03 +37,57 +39,15)%

3 = 38,91%

No Berat sampel (g) Berat cawan kosong (g) Berat cawan sari (g)

1 5,009 43,090 43,491

2 5,004 47,597 47,973

3 5,006 46,207 46,599

Kadar sari = berat sari

berat sampel x 100


(9)

Lampiran 5 (Lanjutan)

3. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol

a. Berat sampel = 5,005 g Berat sari = 0,170 g Kadar sari = 0,170

5,005 x 100

20 x 100% = 16,98%

b. Berat sampel = 5,005 g Berat sari = 0,120 g Kadar sari = 0,120

5,005 x 100

20 x 100% = 11,99%

c. Berat sampel = 5,008 g Berat sari = 0,180 g Kadar sari = 0,180

5,008 x 100

20 x 100% = 17,97%

Kadar sari rata-rata = (16,98+11,99+17,97)%

3 = 15,65%

No Berat sampel (g) Berat cawan kosong (g) Berat cawan sari (g)

1 5,005 43,090 43,260

2 5,005 47,785 47,905

3 5,008 46,207 46,367

Kadar sari = berat sari

berat sampel x 100


(10)

Lampiran 5 (Lanjutan)

4. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Total

a. Berat sampel = 2,016 g Berat abu = 0,187 g Kadar abu = 0,187

2,016 x 100% = 9,27%

b. Berat sampel = 2,012 g Berat abu = 0,175 g Kadar abu = 0,175

2,012 x 100% = 8,69%

c. Berat sampel = 2,020 g Berat abu = 0,188 g Kadar abu = 0,188

2,020 x 100% = 9,30%

Kadar abu total rata-rata = (9,27+8,69+9,30)%

3 = 9,08%

Kadar abu total = berat abu


(11)

Lampiran 5 (Lanjutan)

5. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

a. Berat sampel = 2,016 g Berat abu = 0,017 g Kadar abu = 0,017

2,016 x 100% = 0,84%

b. Berat sampel = 2,012 g Berat abu = 0,016 g Kadar abu = 0,016

2,012 x 100% = 0,79%

c. Berat sampel = 2,020 g Berat abu = 0,021 g Kadar abu = 0,021

2,020 x 100% = 1,03%

Kadar abu total rata-rata = (0,84 + 0,79 + 1,03)%

3 = 0,88%

Kadar abu tidak larut asam = berat abu


(12)

Lampiran 6 Bagan kerja penelitian

Dipisahkan dari pengotornya Dicuci, ditiriskan dan dikeringkan Ditimbang

Dikeringkan pada suhu ± 40ºC Ditimbang

Diblender/dihaluskan

Dimaserasi dengan etanol 96%

Dipekatkan dengan rotary evaporator

Diuji terhadap tikus Daun kelor

Daun kelor 3,8 kg

Simplisia 626,5 g

Serbuk daun kelor

Uji karakterisasi simplisia Skrining fitokimia

Ekstrak cair

Ekstrak kental

Hasil

Ekstrak etanol daun kelor


(13)

Lampiran 7 Bagan pembuatan ekstrak

Dimasukkan ke dalam sebuah bejana Dituangi dengan pelarut etanol 96% dengan perbandingan 1 : 7,5

Ditutup

Dibiarkan selama 24 jam terlindung dari cahaya sambil sesekali di aduk

Diserkai, diperas

Dituang ke dalam perkolator

Direndam selama 24 jam terlindung dari cahaya

Dibiarkan menetes sebanyak 1 tetes per 3 detik

Ditampung tetesan ke dalam wadah terlindung dari cahaya hingga tetesan berwarna hampir bening

Dipekatkan dengan alat rotary evaporator pada temperature ±40oC

Dipekatkan lagi dengan alat blow dryer 500 g serbuk simplisia

Ampas Maserat

Ekstrak cair

Ekstrak kental 73,12 g


(14)

Lampiran 8 Bagan alur uji in vitro terhadap koagulasi darah tikus

Diaklitimatisasi selama 1 minggu Dianestesi menggunakan kloroform

Diambil darah sebanyak 2 ml dari jantung setiap ekor tikus

Dimasukkan ke dalam tabung sebanyak 0,5 ml untuk setiap perlakuan

Dimiringkan masing – masing tabung ±30o setiap 30 detik sekali

Diamati bekuan darah yang terbentuk selama 2 jam

Dicatat waktu pembekuan darah tikus

Spesimen Darah

Darah sebanyak 0,5 ml

5 Ekor Tikus

Tikus dibedah

Darah sebanyak 0,5 ml + EDTA 15%

sebanyak 0,5 ml

Darah 0,5 ml + EEDK 1% sebanyak 100 μl

Darah 0,5 ml + EDTA 15% sebanyak 0,5 ml + EEDK 1% sebanyak

100 μl Perlakuan


(15)

Lampiran 8 (Lanjutan)

Diambil sebanyak 1 tetes pada masing – masing tabung

Diteteskan pada object glass dan dibuat sediaan hapusan darah Diamati spesimen darah

menggunakan mikroskop perbesaran 10x10 dan 10x100

Spesimen Darah


(16)

Lampiran 9 Bagan alur uji in vivo terhadap waktu perdarahan tikus

Diaklitimatisasi selama 1 minggu Ditimbang dan ditandai pada ekor Dihitung dosis untuk induksi masing masing perlakuan

Diinduksi dengan heparin dosis 450 IU/KgBB

Dibersihkan ujung ekor tikus dengan alkohol 70%

Dipotong ujung ekor tikus dengan pisau pemotong ± 4mm

Dihidupkan stopwatch

Dicatat waktu perdarahan tikus Kelompok kontrol positif Asam Traneksamat 10% dosis 94,5mg/KgBB

36 Ekor Tikus

Tikus diukur waktu perdarahan normal

Kelompok uji EEDK 1% dosis 100 mg/KgBB Hasil (Menit)

Tikus dibagi dalam 5 kelompok

Kelompok kontrol negatif CMC Na 0,5% dosis 1% BB Kelompok uji EEDK 1% dosis 150 mg/KgBB Kelompok uji EEDK 1% dosis 200 mg/KgBB


(17)

Lampiran 10 Alat, bahan, dan objek yang digunakan

Water Bath


(18)

Lampiran 10 (Lanjutan)

Rak Tabung dan Tabung EDTA


(19)

Lampiran 10 (Lanjutan)

Stopwatch


(20)

Lampiran 10 (Lanjutan)

Mikroskop


(21)

Lampiran 10 (Lanjutan)

Heparin Sodium Asam Traneksamat


(22)

Lampiran 10 (Lanjutan)

Spuit dan Oral Sonde


(23)

Lampiran 10 (Lanjutan)

Kertas Penyerap untuk metode in vivo (1 lipatan = 30 detik)


(24)

Lampiran 11 Contoh perhitungan

Tabel Konversi perhitungan dosis antar jenis hewan Mencit 20 g Tikus 200 g Marmut 400 g Kelinci 1,5 kg Kera 4 kg Anjing 12 kg Manusia 70 kg Mencit 20 g

1,0 7,0 12,25 27,8 64,1 124,3 387,9 Tikus

200 g

0,14 1,0 1,74 3,0 9,2 17,8 56,0

Marmut 400 g

0,008 0,57 1,0 2,25 5,2 10,2 31,5 Kelinci

1,5 g

0,04 0,25 0,44 1,0 2,4 4,5 14,2

Kera 4 g

0,016 0,11 0,19 0,42 1,0 1,9 6,1 Anjing

12 kg

0,008 0,06 0,10 0,22 0,52 1,0 3,1 Manusia

70 kg

0,0026 0,018 0,031 0,07 0,16 0,32 1,0

a. Contoh perhitungan dosis heparin yang diberikan pada tikus secara intra peritoneal

1. Dosis manusia (berat 70 kg) = 5000 IU/ml Dosis tikus (berat 200 g) = 0,018 x 5000 IU

= 90 IU/200g = 450 IU/KgBB

2. Larutan Heparin []100 IU/ml dibuat dengan cara mengencerkan 2 ml Heparin dengan aquadest hingga 100 ml.

1 ml Heparin = 5000 IU

2 ml Heparin = 10.000 IU, maka 10.000 IU/100 ml = 100 IU/ml

3. Volume larutan Heparin yang akan diberikan pada tikus: (misal berat tikus 200 g)

Jumlah Heparin dosis = 200 �


(25)

Lampiran 11 (Lanjutan)

Volume larutan yang diberi = 90 ��

100 ��/�� = 0,9 ml

b. Contoh perhitungan dosis suspensi asam traneksamat 10% yang diberikan pada tikus secara per oral

1. Dosis asam traneksamat yang diberikan pada manusia 70 Kg adalah 94,5 mg/KgBB

2. Pembuatan suspensi asam traneksamat 10%

Ditimbang 1 gram asam traneksamat, digerus dalam lumpang. Kemudian ditambahkan sedikit larutan CMC 0,5% digerus sampai homogen. Dituang ke dalam labu tentukur 10 ml, kemudian dicukupkan volumenya dengan larutan CMC 0,5% sampai garis tanda.

3. Volume suspensi asam traneksamat yang akan diberikan pada tikus: (misal berat tikus 200 g)

Asam Traneksamat dosis 94,5 mg/KgBB = 200 �

1000 �

x

94,5 mg = 18,9 mg

Volume larutan yang diberi = 18,9 ��

100 ��/�� = 0,189 ml

c. Contoh perhitungan dosis suspensi ekstrak etanol daun kelor 1% yang diberikan pada tikus secara per oral

1. Dosis suspensi ekstrak etanol daun kelor (EEDK) yang diberikan adalah 100 mg/kg bb, 150 mg/KgBB dan 200 mg/kg bb

2. Cara pembuatan suspensi ekstrak etanol daun kelor

Ditimbang 1 gram ekstrak etanol daun kelor, digerus dalam lumpang. Kemudian ditambahkan sedikit larutan CMC 0,5% digerus


(26)

sampai homogen. Dituang ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian dicukupkan volumenya dengan larutan CMC 0,5% sampai garis tanda. 3. Volume suspensi ekstrak etanol daun kelor 1% yang akan diberikan pada

tikus: (misal berat tikus 200 g)

Jumlah EEDK dosis 100 mg/kg bb = 200 �

1000 � x 100 mg = 20 mg

Volume larutan yang diberi = 20 ��

10 ��/��

=

2 ml

Jumlah EEDK dosis 150 mg/kg bb = 200 �

1000 � x 150 mg = 30 mg

Volume larutan yang diberi = 30 ��

10 ��/�� = 3 ml

Jumlah EEDK dosis 200 mg/kg bb = 200 �

1000 � x 200 mg = 40 mg

Volume larutan yang diberi = 40 ��


(27)

Lampiran 12 Contoh gambar spesimen darah tikus perbesaran 10 x 100

1. Eritrosit normal 3. Eritrosit saat pembekuan darah 2. Trombosit normal 4. Trombosit saat pembekuan darah

1

2

3


(28)

Lampiran 13 Data waktu perdarahan tikus

No Kelompok Tikus

Waktu Perdarahan (menit)

Normal Perlakuan

1 jam setelah perlakuan p 2 jam setelah perlakuan p 1 Kontrol Negatif (CMC Na 0,5% 1% BB)

1 5 9 18 12,5

2 4,5 8 14,5 10

3 4 8,5 15 12

4 3 8,5 16 10,5

5 3,5 7,5 14 10,5

6 4 7,5 12 11,5

Rata-rata 4 ± 0,71 8,17 ± 0,61

14,92 ±

2,01

0,000* 11,17 ±

0,98 0,000* 2 Kontrol Positif (Asam Traneksama t 10% 94,5mg/Kg BB)

1 3 8 6 4

2 5 7,5 5 5

3 5 7,5 5,5 4,5

4 5,5 7 5,5 4,5

5 4 7,5 4,5 5

6 6 8,5 4,5 5,5

Rata-rata

4,75 ±

1,08 7,67 ± 0,5

5,17 ±

0,61

0,000# 4,75 ±

0,52 0,000# 3 EEDK 100mg/Kg BB

1 4 9 7 7

2 4 8 12,5 9,5

3 4,5 10,5 9,5 8,5

4 4,5 10,5 7,5 7,5

5 4 11 10 8

6 3 7,5 11,5 7,5

Rata-rata 4 ± 0,68 9,42 ± 1,47

9,67 ±

2,16

0,001#

0,001* 8 ± 0,89

0,057## 0,000* 4 EEDK 150mg/Kg BB

1 4,5 10 8 7

2 3,5 7 5,5 7,5

3 4 6,5 5 5

4 4,5 8 7 6

5 3,5 7,5 6,5 6,5

6 4 7 6,5 6

Rata-rata 4 ± 0,57 7,67 ± 1,25

6,42 ± 1,07 0,000# 0,032* 6,33 ± 0,88 0,000# 0,000* 5 EEDK 200mg/Kg BB

1 5 7 5 4

2 5,5 10 7,5 6

3 4,5 9 6 5

4 4,5 7 5,5 5

5 4,5 8,5 5 5

6 5 7,5 5,5 4,5

Rata-rata

4,83 ±

0,41 8,17 ± 1,21

5,75 ± 0,94 0,000# 0,229** 4,92 ± 0,67 0,000# 0,640**


(29)

Lampiran 14 Hasil uji normalitas waktu pembekuan secara in vitro dan waktu perdarahan secara in vivo

Tests of Normalityb

Darah Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Menit Darah Normal .201 5 .200* .881 5 .314

Darah + EEDK .246 5 .200* .956 5 .777

Darah + EDTA + EEDK

.214 5 .200* .974 5 .899

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

b. Menit is constant when Darah = Darah + EDTA. It has been omitted.

Tests of Normality

Kelompok Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Normal Kontrol Negatif .167 6 .200* .982 6 .960

Kontrol Positif .258 6 .200* .940 6 .659

EEDK_100 .283 6 .143 .921 6 .514

EEDK_150 .202 6 .200* .853 6 .167

EEDK_200 .293 6 .117 .822 6 .091

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kelompok Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Perlakuan Kontrol Negatif .209 6 .200* .907 6 .415

Kontrol Positif .293 6 .117 .915 6 .473

EEDK_100 .270 6 .194 .889 6 .310

EEDK_150 .228 6 .200* .847 6 .148

EEDK_200 .209 6 .200* .907 6 .415

a. Lilliefors Significance Correction


(30)

Lampiran 15 Hasil analisis ANOVA waktu pembekuan secara in vitro

Descriptives

Menit

N Mean

Std. Deviation

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimu m

Maxim um Lower

Bound

Upper Bound

Darah Normal 5 4.700 .8367 .3742 3.661 5.739 4.0 6.0

Darah + EDTA 5 120.0

00

.0000 .0000 120.000 120.000 120.0 120.0

Darah + EEDK 5 1.900 .7416 .3317 .979 2.821 1.0 3.0

Darah + EDTA + EEDK

5 28.80 0

5.5408 2.4779 21.920 35.680 22.0 37.0

Total 20 38.85

0

49.3201 11.028 3

15.767 61.933 1.0 120.0

ANOVA

Menit

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 46089.250 3 15363.083 1923.391 .000

Within Groups 127.800 16 7.988


(31)

Lampiran 16 Hasil analisis Post Hoc waktu pembekuan secara in vitro

Multiple Comparisons

Dependent Variable:Menit (I) Darah (J) Darah

Mean Difference

(I-J)

Std.

Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Tukey HSD Darah Normal

Darah + EDTA -115.3000* 1.7875 .000 -120.414 -110.186

Darah + EEDK 2.8000 1.7875 .424 -2.314 7.914

Darah + EDTA + EEDK

-24.1000* 1.7875 .000 -29.214 -18.986

Darah + EDTA

Darah Normal 115.3000* 1.7875 .000 110.186 120.414 Darah + EEDK 118.1000* 1.7875 .000 112.986 123.214 Darah + EDTA +

EEDK

91.2000* 1.7875 .000 86.086 96.314

Darah + EEDK

Darah Normal -2.8000 1.7875 .424 -7.914 2.314 Darah + EDTA -118.1000* 1.7875 .000 -123.214 -112.986 Darah + EDTA +

EEDK

-26.9000* 1.7875 .000 -32.014 -21.786

Darah + EDTA + EEDK

Darah Normal 24.1000* 1.7875 .000 18.986 29.214 Darah + EDTA -91.2000* 1.7875 .000 -96.314 -86.086 Darah + EEDK 26.9000* 1.7875 .000 21.786 32.014 LSD Darah

Normal

Darah + EDTA -115.3000* 1.7875 .000 -119.089 -111.511

Darah + EEDK 2.8000 1.7875 .137 -.989 6.589

Darah + EDTA + EEDK

-24.1000* 1.7875 .000 -27.889 -20.311

Darah + EDTA

Darah Normal 115.3000* 1.7875 .000 111.511 119.089 Darah + EEDK 118.1000* 1.7875 .000 114.311 121.889 Darah + EDTA +

EEDK

91.2000* 1.7875 .000 87.411 94.989

Darah + EEDK

Darah Normal -2.8000 1.7875 .137 -6.589 .989

Darah + EDTA -118.1000* 1.7875 .000 -121.889 -114.311 Darah + EDTA +

EEDK

-26.9000* 1.7875 .000 -30.689 -23.111

Darah + EDTA + EEDK

Darah Normal 24.1000* 1.7875 .000 20.311 27.889 Darah + EDTA -91.2000* 1.7875 .000 -94.989 -87.411 Darah + EEDK 26.9000* 1.7875 .000 23.111 30.689 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.


(32)

Lampiran 16 (Lanjutan)

Menit

Darah

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Tukey HSDa Darah + EEDK 5 1.900

Darah Normal 5 4.700

Darah + EDTA + EEDK 5 28.800

Darah + EDTA 5 120.000

Sig. .424 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.


(33)

Lampiran 17 Hasil analisis ANOVA waktu perdarahan secara in vivo

Descriptives

Jam_1

N Mean

Std. Deviation

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimu m Maxim um Lower Bound Upper Bound Kontrol Negatif

6 14.917 2.0104 .8207 12.807 17.026 12.0 18.0

Kontrol Positif

6 5.167 .6055 .2472 4.531 5.802 4.5 6.0

EEDK_100 6 9.583 2.0837 .8507 7.397 11.770 7.0 12.5

EEDK_150 6 6.417 1.0685 .4362 5.295 7.538 5.0 8.0

EEDK_200 6 5.750 .9354 .3819 4.768 6.732 5.0 7.5

Total 30 8.367 3.9193 .7156 6.903 9.830 4.5 18.0

ANOVA

Jam_1

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 391.633 4 97.908 45.468 .000

Within Groups 53.833 25 2.153

Total 445.467 29

Descriptives

Jam_2

N Mean

Std. Deviation

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimu m Maximu m Lower Bound Upper Bound Kontrol Negatif

6 9.167 .9832 .4014 8.135 10.198 8.0 10.5

Kontrol Positif

6 4.750 .5244 .2141 4.200 5.300 4.0 5.5

EEDK_100 6 8.000 .8944 .3651 7.061 8.939 7.0 9.5

EEDK_150 6 6.333 .8756 .3575 5.414 7.252 5.0 7.5

EEDK_200 6 4.917 .6646 .2713 4.219 5.614 4.0 6.0


(34)

Lampiran 17 (Lanjutan)

ANOVA

Jam_2

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 89.217 4 22.304 34.314 .000

Within Groups 16.250 25 .650


(35)

Lampiran 18 Hasil analisis Post Hoc waktu perdarahan secara in vivo Multiple Comparisons Dependent Variable:Jam_1 (I) Perlakuan (J)

Perlakuan Mean Difference

(I-J)

Std.

Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Tukey HSD Kontrol Negatif Kontrol Positif

9.7500* .8472 .000 7.262 12.238

EEDK_100 5.3333* .8472 .000 2.845 7.822

EEDK_150 8.5000* .8472 .000 6.012 10.988

EEDK_200 9.1667* .8472 .000 6.678 11.655

Kontrol Positif

Kontrol Negatif

-9.7500* .8472 .000 -12.238 -7.262

EEDK_100 -4.4167* .8472 .000 -6.905 -1.928

EEDK_150 -1.2500 .8472 .587 -3.738 1.238

EEDK_200 -.5833 .8472 .957 -3.072 1.905

EEDK_100 Kontrol Negatif

-5.3333* .8472 .000 -7.822 -2.845

Kontrol Positif

4.4167* .8472 .000 1.928 6.905

EEDK_150 3.1667* .8472 .008 .678 5.655

EEDK_200 3.8333* .8472 .001 1.345 6.322

EEDK_150 Kontrol Negatif

-8.5000* .8472 .000 -10.988 -6.012

Kontrol Positif

1.2500 .8472 .587 -1.238 3.738

EEDK_100 -3.1667* .8472 .008 -5.655 -.678

EEDK_200 .6667 .8472 .932 -1.822 3.155

EEDK_200 Kontrol Negatif

-9.1667* .8472 .000 -11.655 -6.678

Kontrol Positif

.5833 .8472 .957 -1.905 3.072

EEDK_100 -3.8333* .8472 .001 -6.322 -1.345


(36)

LSD Kontrol Negatif

Kontrol Positif

9.7500* .8472 .000 8.005 11.495

EEDK_100 5.3333* .8472 .000 3.588 7.078

EEDK_150 8.5000* .8472 .000 6.755 10.245

EEDK_200 9.1667* .8472 .000 7.422 10.912

Kontrol Positif

Kontrol Negatif

-9.7500* .8472 .000 -11.495 -8.005

EEDK_100 -4.4167* .8472 .000 -6.162 -2.672

EEDK_150 -1.2500 .8472 .153 -2.995 .495

EEDK_200 -.5833 .8472 .497 -2.328 1.162

EEDK_100 Kontrol Negatif

-5.3333* .8472 .000 -7.078 -3.588

Kontrol Positif

4.4167* .8472 .000 2.672 6.162

EEDK_150 3.1667* .8472 .001 1.422 4.912

EEDK_200 3.8333* .8472 .000 2.088 5.578

EEDK_150 Kontrol Negatif

-8.5000* .8472 .000 -10.245 -6.755

Kontrol Positif

1.2500 .8472 .153 -.495 2.995

EEDK_100 -3.1667* .8472 .001 -4.912 -1.422

EEDK_200 .6667 .8472 .439 -1.078 2.412

EEDK_200 Kontrol Negatif

-9.1667* .8472 .000 -10.912 -7.422

Kontrol Positif

.5833 .8472 .497 -1.162 2.328

EEDK_100 -3.8333* .8472 .000 -5.578 -2.088

EEDK_150 -.6667 .8472 .439 -2.412 1.078


(37)

Lampiran 18 (Lanjutan)

Jam_1

Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Tukey HSDa Kontrol Positif 6 5.167

EEDK_200 6 5.750

EEDK_150 6 6.417

EEDK_100 6 9.583

Kontrol Negatif 6 14.917

Sig. .587 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000.

Multiple Comparisons Dependent Variable:Jam_2 (I) Kelompok (J) Kelompok Mean Difference (I-J) Std.

Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Tukey HSD Kontrol Negatif

Kontrol Positif 4.4167* .4655 .000 3.050 5.784

EEDK_100 1.1667 .4655 .121 -.200 2.534

EEDK_150 2.8333* .4655 .000 1.466 4.200

EEDK_200 4.2500* .4655 .000 2.883 5.617

Kontrol Positif

Kontrol Negatif -4.4167* .4655 .000 -5.784 -3.050

EEDK_100 -3.2500* .4655 .000 -4.617 -1.883

EEDK_150 -1.5833* .4655 .017 -2.950 -.216

EEDK_200 -.1667 .4655 .996 -1.534 1.200

EEDK_100 Kontrol Negatif -1.1667 .4655 .121 -2.534 .200 Kontrol Positif 3.2500* .4655 .000 1.883 4.617

EEDK_150 1.6667* .4655 .011 .300 3.034

EEDK_200 3.0833* .4655 .000 1.716 4.450

EEDK_150 Kontrol Negatif -2.8333* .4655 .000 -4.200 -1.466 Kontrol Positif 1.5833* .4655 .017 .216 2.950

EEDK_100 -1.6667* .4655 .011 -3.034 -.300

EEDK_200 1.4167* .4655 .040 .050 2.784


(38)

Kontrol Positif .1667 .4655 .996 -1.200 1.534

EEDK_100 -3.0833* .4655 .000 -4.45

0

-1.716

LSD Kontrol Negatif

Kontrol Positif 4.4167* .4655 .000 3.458

EEDK_100 1.1667* .4655 .019 .208

EEDK_150 2.8333* .4655 .000 1.875

EEDK_200 4.2500* .4655 .000 3.291

Kontrol Positif

Kontrol Negatif -4.4167* .4655 .000 -5.375

EEDK_100 -3.2500* .4655 .000 -4.209

EEDK_150 -1.5833* .4655 .002 -2.542

EEDK_200 -.1667 .4655 .723 -1.125

EEDK_100 Kontrol Negatif -1.1667* .4655 .019 -2.125 Kontrol Positif 3.2500* .4655 .000 2.291

EEDK_150 1.6667* .4655 .001 .708

EEDK_200 3.0833* .4655 .000 2.125

EEDK_150 Kontrol Negatif -2.8333* .4655 .000 -3.792 Kontrol Positif 1.5833* .4655 .002 .625

EEDK_100 -1.6667* .4655 .001 -2.625

EEDK_200 1.4167* .4655 .005 .458

EEDK_200 Kontrol Negatif -4.2500* .4655 .000 -5.209 Kontrol Positif .1667 .4655 .723 -.792

EEDK_100 -3.0833* .4655 .000 -4.042

EEDK_150 -1.4167* .4655 .005 -2.375

Jam_2

Kelompok

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Tukey HSDa Kontrol Positif 6 4.750

EEDK_200 6 4.917

EEDK_150 6 6.333

EEDK_100 6 8.000

Kontrol Negatif 6 9.167

Sig. .996 1.000 .121

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, F., Latif, S., Ashraf, M., dan Gilani, A.H. (2007). Moringa oleifera A Food Plant with Multiple Medicinal Uses. Phytother. Res. 21(1):17-125. Baldy, C.M. (2005). Gangguan Koagulasi. Dalam: Patofisiologi: Konsep Klinis

Proses-Proses Penyakit. Edisi VI. Vol. I. Editor: Price, S.A., dan Wilson, LM. Jakarta: EGC. Halaman 297-298.

Bowman, W.C., dan Rand, M.J. (2008). Textbook of Pharmacology. Edisi II. Melbourne: University of Melbourne Press. Halaman 213-219.

Dandjesso, C., Klotoe, J.R., Dougnon, T.V., Segbo, J., Gbaguidi, F., Fah, L., Fanou, B., Loko, F., dan Dramane, K. (2012). Phytochemistry and Hemostatic Properties of Some Medical Plants Sold as Anti-Hemorrhagic in Cotonou markets (Benin). Indian Journal of Science and Technology. 8(5): 3105-3109.

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 7,33,744,748.

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 7.

Dewoto, H.R. (2007). Antikoagulan, Antitrombotik, Trombolitik dan Hemostatik. Dalam Buku Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta: FK UI. Halaman 804–806, 816-819.

Ditjen POM. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 300-306, 321, 325, 333-337.

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan kesatu. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 10-11, 17, 31-32.

Fahey, J.W. (2005). Moringa oleifera: A Review of the Medical Evidence for Its Nutritional, Therapeutic, and Prophylactic Properties. Part 1. Tree for Life J. 1(1): 1-33.

Gaikwad, S.B., Mohan, G.K., dan Reddy, K.J. (2011). Moringa oleifera Leaves: Immunomodulation in Wistar Albino Rats. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 3(5): 426-430.


(40)

Garima, M., et al. (2011). Traditional uses, phytochemistry and pharmacological properties of Moringa oleifera plant: An overview. Scholars Research Library. Der Pharmacia Lettre, 2011, 3(2): 141-164.

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Bandung: Penerbit ITB Bandung. Halaman 4-7.

Hart, H. (1990). Kimia Organik. Suatu Kuliah Singkat. Edisi VI. Jakarta: Erlangga. Halaman 352–353.

Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., dan Moss, P.A.H. (2005). Kapita Selekta Hematologi. Penerjemah: Lyana Setiawan. Edisi IV. Jakarta: EGC. Halaman 2-5, 221-237.

Integrated Taxonomic Information System. (2013). Moringa oleifera (Drumstick Tree): Biological Classification and Name. Encyclopedia of Life Newsletter. Tanggal akses 1 Juni 2015.

Katzung, B.G. (2014). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi XII. Jakarta: Salemba Medika: Halaman 395-415.

Karthika, S.M., Ravishankar, J., Mariajancyrani., dan Chandramohan, G.. (2013). Study on Phytoconstituents from Moringa oleifera leaves. Asian Journal of Plant Science and Research. 3(4): 63-69.

Kelly, L. (2004). Essentials of Human Physiology for Pharmacy. Florida: CRC Press. Halaman 235.

Magdalena, M.M. (2015). Obat Herbal, Apakah Berbahaya?. Dalam situs

Mardiana, L. (2013). Daun Ajaib Tumpas Penyakit. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 47-71.

Muchtar, A., dan F.D. Suyatna. (2007). Obat Antiaritmia. Dalam Buku Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Editor: Sulistia Gan. Jakarta: FK UI. Halaman 338.

Mutschler, E. (2010). Dinamika Obat. Penerjemah: Mathilda B. Widianto dan Anna Setiadi Ranti. Edisi V. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 428-429. Neal, M.J (2006). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta:


(41)

Page, C., et al. (2006). Integrated Pharmacology. London: Mosby Elsevier : Halaman 300.

Pandey, A., Pandey, R.D., Tripathi, P., Gupta, P.P., Haider, I., Bhat, S., dan Singh, A.W. (2012). Moringa oleifera Lam. (Sahjan) A Plant with a Plethorn of Diverse Therapeutic Benefits. An Updated Retrospection. Medicinal Aroma Plants. 1(1): 1-8.

Pradana, I. (2013). Daun Sakti Penyembuh Segala Penyakit. Sleman: Octopus Publishing House. Halaman 23.

Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., Moore, P.K. (2003). Pharmacology. Fifth Edition. Edinburgh: Churchill Livingstone. Halaman 328-329.

Roopalatha, U.C., dan Nail, V.M.G. (2013). Phytochemical Analysis of Successive Reextracts of the Leaves of Moringa oliefera Lam. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science. 5(3): 629-634.

Rosmiati, H., dan Gan, V.H.S., (2007). Koagulan dan Antikoagulan. Dalam: Famrakologi dan Terapi. Edisi V. Editor: Bambang Suharto, Udin Sjamsudin, Rianto Setiabudy, Arini Setiawati, Vincent H.S. Gan. Jakarta: FK UI. Halaman 265-267.

Sodamade, A., Bolaji, O. S., dan Adeboye, O.O. (2013). Proximate Analysis, Mineral Contents and Functional Properties of Moringa oleifera Leaf Protein Concentrate. IOSR Journal of Applied Chemistry. 4(6): 47-51. Sukandar, E.Y., Sigit. J.I., dan Fitriyani, N. (2008). Efek Antiagregasi Platelet

Ekstrak Air Bulbus Bawang Putih (Allium sativum L.), Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val.) dan Kombinasinya Pada Mencit Jantan Swiss Webster. Majalah Farmasi Indonesia. 19(1): 1-11. Sydney South West Area Health Service. (2007). Anticoagulation: Heparin and

Warfarin. Sydney: NSW-Health. Halaman 10.

Tan, H.T., dan Rahardja, K. (2007). Obat – Obat Penting. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Halaman 624.

Tangkery, R.A.B., Paransa, D.S., dan Rumengan, A. (2013). Uji Aktivitas Antikoagulan Ekstrak Mangrove Aegiceras corniculatum. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis. 1(1): 7-14.

WHO (World Health Organization). (1998). Quality Control Methods For Medicinal Plant Materials. Geneva: WHO . Halaman 15.


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi dan Laboratorium Farmakognosi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental. Penelitian eksperimenal bertujuan untuk mencari pengaruh variabel tertentu terhadap variabel lain dalam kondisi yang terkontrol. Penelitian ini meliputi pengumpulan bahan tumbuhan, identifikasi sampel, pembuatan simplisia, karakterisasi simplisia, pembuatan ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera Lam), karakterisasi ekstrak etanol daun kelor, penyiapan hewan percobaan, pengujian efek koagulan secara in vivo dengan menentukan waktu perdarahan melalui metode Duke, pengujian efek koagulan secara in vitro dengan metode Lee-White dan metode Eustrek menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Analisis data berdasarkan metode analisis variansi (ANAVA) dengan tingkat kepercayaan 99% untuk melihat perbedaan nyata antar perlakuan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) 18.

3.3 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat–alat gelas, aluminium foil, kertas saring, lemari pengering, mikroskop elektrik (Boeco), mortir dan stampfer, neraca listrik (Mettler Toledo), neraca hewan (GW-1500), oral sonde, object glass, oven, pinset, pisau silet, rak tabung, rotary evaporator (Heidolph WB 2000), spuit 1 ml, tabung EDTA, stopwatch, dan tabung reaksi.


(43)

3.4 Bahan

Bahan tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun kelor (Moringa oleifera). Bahan kimia yang digunakan adalah α-naftol, amil alkohol, asam asetat anhidrida, asam klorida pekat, asam nitrat pekat, asam sulfat pekat, besi (III) klorida, bismut (III) nitrat, ekstrak etanol daun kelor (EEDK), etanol 96%, heparin injeksi, iodium, isopropanol, kalium iodida, kloroform, metanol, CMC-Na (Carboxy Methyl Cellulose-Natrium), Na-EDTA (Etilen Diamin Tetra Acid - Natrium), natrium hidroksida, natrium sulfat anhidrat, raksa (II) klorida, serbuk magnesium, tablet asam traneksamat, timbal (II) asetat, toluena.

3.5 Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus 200-300 g dengan usia sekitar 2-3 bulan untuk metode Lee-White dan Eustrek secara in vitro, dan metode Duke secara in vivo.. Hewan percobaan ini sebelumnya telah diaklimatisasi selama satu minggu. Hewan dipelihara dalam kandang, diberi sekam, diberi pakan standar.

Hewan percobaan harus dipelihara dan dirawat dengan sebaik-baiknya pada kandang yang mempunyai ventilasi baik dan selalu dijaga kebersihannya. Hewan yang sehat ditandai dengan pertumbuhan normal dan suhu badan normal (Depkes RI, 1979).

3.6 Pengambilan dan Pengolahan Tumbuhan 3.6.1 Pengumpulan tumbuhan

Pengumpulan tumbuhan dilakukan secara purposif, yaitu tanpa membandingkan dengan daerah lain. Tumbuhan yang digunakan dalam penelitian


(44)

ini adalah daun kelor yang diperoleh dari Jl. Lestari, Desa Kualanamu, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

3.6.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor.

3.6.3 Pembuatan simplisia

Tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun kelor yang masih segar. Daun dipisahkan dari pengotor lain lalu dicuci hingga bersih kemudian ditiriskan dan ditimbang. Selanjutnya, daun tersebut dikeringkan selama 3 hari dalam lemari pengering dengan temperatur 40oC sampai daun kering (ditandai bila diremas rapuh). Simplisia yang telah kering diblender menjadi serbuk lalu dimasukkan ke dalam wadah plastik bertutup dan di simpan pada suhu kamar. Kemudian serbuk ditimbang (diperoleh berat kering sebanyak 712,1 gram).

3.6.4 Pembuatan ekstrak etanol daun kelor

Serbuk simplisia diperkolasi dengan etanol, dilakukan dengan cara:

Dibasahi 10 bagian simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok dengan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan penyari, masukkan ke dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya selama 3 jam. Pindahkan massa sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil tiap kali ditekan hati – hati, tuangi dengan cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan di atas simplisia masih terdapat cairan penyari, tutup perkolator, biarkan selama 24 jam. Biarkan cairan menetes dengan kecepatan 1 ml per menit, tambahkan berulang-ulang cairan penyari secukupnya sehingga selalu terdapat selapis cairan penyari di


(45)

atas simplisia, hingga diperoleh 80 bagian perkolat. Peras massa, campurkan cairan perasan ke dalam perkolat, tambahkan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan ke dalam bejana, tutup, biarkan selama 2 hari di tempat sejuk, terlindung dari cahaya. Enap tuangkan atau saring. Hasil perkolat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan dengan bantuan alat rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak etanol (Depkes RI, 1979).

3.7 Karakterisasi Simplisia

Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut air, penetapan kadar sari larut etanol, penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu tidak larut asam.

3.7.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan pada daun segar dan simplisia meliputi pemeriksaan warna, bau, rasa, ukuran, dan bentuk daun kelor (WHO, 1998).

3.7.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap daun kelor segar dan serbuk simplisia daun kelor. Daun kelor dipotong melintang lalu diletakkan di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloral hidrat dan ditutup dengan kaca penutup, selanjutnya diamati di bawah mikroskop. Begitu juga halnya pemeriksaan pada serbuk simplisia (WHO, 1998).

3.7.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan menurut metode Azeotropi (destilasi toluena). Alat terdiri dari labu alas bulat 500 mL, pendingin, tabung penyambung,


(46)

tabung penerima 5 mL berskala 0,05 mL, alat penampung dan pemanas listrik. Cara kerja :

Dimasukkan 200 mL toluena dan 2 mL air suling ke dalam labu alas bulat, lalu didestilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluena dibiarkan mendingin selama 30 menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 mL. Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 mL. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1998).

3.7.4 Penetapan kadar sari larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 mL air-kloroform (2,5 mL kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 mL filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995).


(47)

3.7.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 mL filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995). 3.7.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, jika arang masih tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995).

3.7.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 mL asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, dipijarkan, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995).


(48)

3.8 Skrining Fitokimia 3.8.1 Pemeriksaan alkaloida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan lalu disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:

a. filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Mayer akan terbentuk endapan berwarna putih atau kuning

b. filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Bouchardat akan terbentuk endapan berwarna coklat-hitam

c. filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Dragendorff akan terbentuk endapan berwarna merah atau jingga

Alkaloida dinyatakan positif jika terjadi endapan atau paling sedikit dua atau tiga dari percobaan di atas (Ditjen POM, 1995).

3.8.2 Pemeriksaan flavonoida

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml metanol lalu direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring berlipat, filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling. Setelah dingin ditambah 5 ml eter minyak tanah, dikocok hati-hati, didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40oC. Sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring.

Cara Percobaan:

a. satu ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1-2 ml etanol 96%, ditambahkan 0,5 g serbuk seng dan 2 ml asam klorida 2 N, didiamkan selama satu menit. Ditambahkan 10 ml asama klorida pekat, jika dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah intensif menunjukkan adanya


(49)

flavonoida (glikosida-3-flavonol).

b. satu ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1 ml etanol 96%, ditambahkan 0,1 g magnesium dan 10 ml asam klorida pekat, terjadi warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya flavonoida (Ditjen POM, 1995).

3.8.3 Pemeriksaan glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g kemudian disari dengan 30 ml campuran 7 bagian volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling, selanjutnya ditambahkan 10 ml HCl 2 N, direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Pada 30 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari sebanyak 3 kali, tiap kali dengan 20 ml campuran 3 bagian volume kloroform dan 2 bagian volume isopropanol. Diambil lapisan air kemudian ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molisch, ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat terbentuk cincin warna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya ikatan gula (Ditjen POM, 1995).

3.8.4 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml air suling, disaring lalu filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml larutan lalu ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida. Terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Ditjen POM, 1995). 3.8.5 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat


(50)

selama 10 detik, timbul busa yang mantap tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-10 cm. Ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida 2 N, bila buih tidak hilang menunjukkan adanya saponin (Ditjen POM, 1995).

3.8.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Sebanyak 1 g sampel dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa dalam cawan penguap ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbul warna ungu atau merah kemudian berubah menjadi hijau biru menunjukkan adanya steroida/triterpenoida (Harborne, 1987).

3.9 Pembuatan Larutan dan Suspensi Bahan Uji

Pembuatan pereaksi mencakup pembuatan suspensi CMC-Na 0,5 %, pembuatan larutan EDTA 15%, larutan heparin 100 IU/ml, Penentuan konsentrasi ekstrak etanol daun kelor (EEDK) secara titrasi, pembuatan suspensi asam traneksamat 10%, pembuatan suspensi EEDK 1% dosis 100 mg/kgBB, 150 mg/kg BB, dan 200 mg/kgBB.

3.9.1 Pembuatan suspensi CMC-Na 0,5 %

Sebanyak 0,5 g CMC-Na ditaburkan dalam lumpang yang berisi ±20 mL air suling panas. Didiamkan selama 15 menit lalu digerus hingga diperoleh massa yang transparan, lalu digerus sampai homogen, diencerkan dengan air suling, dihomogenkan dan dimasukkan ke labu tentukur 100 mL, dicukupkan volumenya dengan air suling hingga 100 mL.

3.9.2 Pembuatan larutan EDTA 15%

Sebanyak 15 gram EDTA dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian dicukupkan volumenya dengan aquadest hingga 100 ml.


(51)

3.9.3 Pembuatan larutan heparin 100 IU/ml

Sebanyak 2 ml heparin injeksi konsentrasi 5000 IU/ml dimasukkan ke dalam labu 100 ml, kemudian dicukupkan volumenya dengan aqua proinjeksi hingga 100 ml.

3.9.4 Pembuatan suspensi asam traneksamat 10%

Sebanyak 20 tablet asam traneksamat generik 500 mg ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam lumpang, kemudian ditambahkan dengan CMC-Na secukupnya dan dihomogenkan hingga terbentuk suspensi. Lalu dituangkan ke dalam labu tentukur, dan dicukupkan dengan CMC-Na hingga 100 ml. Suspensi dihomogenkan kembali dengan cara dikocok ringan.

3.9.5 Pembuatan suspensi ekstrak etanol daun kelor (EEDK) 1%

Dalam pengujian akan digunakan 3 variasi dosis yakni dosis 100 mg/kgBB, 150 mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB. Ditimbang 1 gram ekstrak etanol daun kelor, kemudian dimasukkan ke dalam lumpang. Ditambahkan tween 80 secukupnya lalu homogenkan. Kemudian tuang sedikit demi sedikit CMC-Na sambil digerus sampai homogen. Setelah homogen, dituangkan ke dalam labu tentukur dan dicukupkan dengan CMC-Na hingga 100 mL.

3.9.6 Penentuan konsentrasi ekstrak etanol daun kelor (EEDK) dengan prinsip titrasi dosis

Ekstrak kasar daun kelor (Moringa oleifera Lam.) yang diperoleh sebelum diujikan pada sampel darah, terlebih dahulu dilakukan titrasi. Kegiatan ini merupakan penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk mengetahui konsentrasi minimum ekstrak yang akan digunakan ke dalam 0,5 ml darah. Ekstrak etanol daun kelor sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam labu dan dicukupkan dengan akuades hingga 100 ml (konsentrasi 1%), kemudian titrasi dilakukan dengan cara


(52)

menaikkan volume ekstrak pada 0,5 ml darah, mulai dari 10 μl, 20μl, 30μl, 40μl, 50 μl, 60 μl, 70 μl, 80 μl, 90 μl, 100 μl, 110 μl, 120 μl dan seterusnya hingga diperoleh konsentrasi di mana terjadi proses koagulasi darah, di mana volume ekstrak etanol daun kelor yang akan digunakan dalam 0,5 ml darah adalah jumlah di mana darah telah membeku (terbentuk gumpalan) di bawah waktu normal. 3.10 Uji Aktivitas Koagulan

Uji aktivitas koagulan ekstrak etanol daun kelor dilakukan secara in vitro dan in vivo.

3.10.1 Uji aktivitas koagulan secara in vitro

Uji aktivitas koagulan secara in vitro dilakukan dengan metode Lee-White dan meotde Eustrek (hapusan darah).

3.10.1.1 Waktu koagulasi dengan metode Lee-White

Metode ini digunakan untuk menentukan masa koagulasi darah yang diamati secara visual. Pada pengujian ini, hewan percobaan berupa 5 ekor tikus putih jantan diambil darahnya 2 ml melalui pembedahan jantung, kemudian darah diisi ke dalam 4 tabung masing-masing sebanyak 0,5 ml.

Caranya adalah sebagai berikut:

a. tikus dianestesi, kemudian dibedah dan diambil darahnya dari jantung sebanyak 2 ml setiap 1 ekor tikus.

b. disiapkan 4 buah tabung yang bersih, masing-masing diberi label nomor 1 hingga nomor 4.

c. tabung nomor 1, berupa tabung kontrol yang berisi darah segar sebanyak 0,5 ml.


(53)

d. tabung nomor 2, berisi darah segar sebanyak 0,5 ml, kemudian ditambahkan EDTA 15% sebanyak 0,5 ml.

e. tabung nomor 3, berisi darah segar sebanyak 0,5 ml, kemudian ditambahkan Ekstrak Etanol Daun Kelor (EEDK) 1% sebanyak 100 μl

f. tabung nomor 4, berisi darah segar sebanyak 0,5 ml, kemudian ditambahkan EDTA 15% sebanyak 0,5 ml dan EEDK 1% sebanyak 100 μl.

Pada saat memasukkan bahan uji ke dalam setiap tabung, stopwatch dijalankan untuk melihat waktu koagulasi darah. Setiap 30 detik sekali, setiap tabung dimiringkan dan diamati koagulasi darah yang terjadi hingga terjadi koagulasi atau terbentuk gumpalan (clot) selama 2 jam. Waktu yang diperoleh digenapkan 30 detik (Tangkery, 2013).

3.10.1.2 Koagulasi secara mikroskopik dengan teknik Eustrek (hapusan Darah)

Metode ini dilakukan untuk melihat keadaan sel darah secara mikroskopik. Caranya adalah sebagai berikut:

a. disiapkan 4 buah kaca objek yang bersih dan bebas lemak, masing-masing diberi label nomor 1 sampai nomor 4.

b. diambil darah dari tabung nomor 1 sampai 4 setelah proses koagulasi menggunakan metode Lee-White ditotolkan pada ujung sisi kaca objek nomor 1 sampai nomor 4 secara berurutan.

c. disentuh tetesan darah pada kaca objek dengan kaca objek lain sehingga tetesan akan melebar, kemudian dengan arah berlawanan menuju sisi kaca objek yang lain, tarik hingga membentuk seperti lidah, dan akan terbentuk lapisan yang tipis.


(54)

d. diamati bentuk sel darah setelah koagulasi dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 10x10 dan 10x100 dan didokumentasikan dengan kamera.

3.10.2 Uji Aktivitas Koagulan Secara in vivo 3.10.2.1 Waktu perdarahan dengan metode Duke

Tikus dikelompokkan secara acak menjadi 5 kelompok, masing–masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus. Tikus kelompok 1 hingga 5 diukur waktu perdarahan normal, kemudian diinduksi Heparin dengan dosis 450 IU/kgBB secara intraperitoneal. Satu jam setelah pemberian, diukur waktu perdarahannya lalu diberi perlakuan secara oral, sebagai berikut:

a. kelompok 1 merupakan kelompok kontrol negatif yang diinduksi dengan heparin dosis 450 IU/KgBB dan diberi CMC Na 0,5%

b. kelompok 2 merupakan kelompok kontrol positif yang yang diinduksi dengan heparin dengan dosis 450 IU/kgBB dan diberikan asam traneksamat 10% dengan dosis 94,5 mg/KgBB.

c. kelompok 3, 4, dan 5 adalah kelompok perlakuan yang diinduksi dengan heparin dengan dosis 450 IU/kgBB dan dengan pemberian variasi dosis EEDK 1% yang berbeda yaitu 100 mg/kgBB, 150 mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB.

Waktu perdarahan ditentukan dengan metode Duke pada menit ke 60 dan 120 setelah perlakuan. Cara yang dilakukan adalah ujung ekor tikus dibersihkan dengan alkohol 70%, lalu ekor tikus dilukai secara melintang dengan pisau pemotong yang dengan jarak lebih kurang 4 mm dari ujung ekor, darah yang keluar diserap dengan kertas penyerap. Interval waktu antara timbulnya tetes pertama darah hingga darah berhenti mengalir adalah waktu perdarahan (Sukandar, dkk., 2008).


(55)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Hasil identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi - LIPI, menyebutkan bahwa tumbuhan yang digunakan adalah tumbuhan kelor (Moringa oliefera Lam.) Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1.

4.2. Hasil Karakterisasi Simplisia Daun Kelor

Hasil karakterisasi serbuk simplisia daun kelor dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Hasil karakterisasi serbuk simplisia daun kelor

No Karakterisasi Hasil Persyaratan MMI

1 Penetapan kadar air 5,64 % < 10%

2 Penetapan kadar sari larut dalam air 38,91% > 5% 3 Penetapan kadar sari larut dalam etanol 15,65% > 5%

4 Penetapan kadar abu 9,08% < 11%

5 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam 0,88% < 1% Hasil karakterisasi simplisia daun kelor menunjukkan penetapan kadar air sebesar 5,64% dari serbuk simplisia daun kelor. Menurut Materia Medika Indonesia edisi ke 5 (1989), penetapan kadar air pada simplisia daun kelor tidak boleh melebihi 10%. Hasil yang diperoleh memenuhi persyaratan karakterisasi simplisia, karena apabila terdapat kadar air yang berlebih dalam tanaman obat


(56)

maka akan mendorong pertumbuhan mikroba, keberadaan jamur, serta mendorong kerusakan kandungan sel karena adanya proses hidrolisis (WHO,1998).

Penetapan kadar sari dilakukan terhadap dua pelarut, yaitu air dan etanol. Hasil karakterisasi simplisia daun kelor menunjukkan kadar sari larut dalam air adalah 38,91%, dan kadar sari larut dalam etanol 15,65%. Menurut Materia Medika Indonesia edisi 5 (1989) , kadar sari larut dalam air dan kadar sari larut dalam etanol simplisia daun kelor sama-sama tidak boleh kurang dari 5%, hal ini berarti kadar sari larut dalam air dan etanol simplisia daun kelor memenuhi persyaratan karakterisasi simplisia.

Penetapan kadar abu pada serbuk simplisia daun kelor menunjukkan nilai sebesar 9,08 %. Menurut Materia Medika Indonesia edisi 5 (1989), kadar abu pada simplisia daun kelor tidak boleh melebihi 11%. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka simplisia daun kelor memenuhi persyaratan karakterisasi simplisia.

Hasil penetapan kadar abu tidak larut dalam asam yang diperoleh dari simplisia daun kelor adalah sebesar 0,88 %. Menurut Materia Medika Indonesia edisi 5 (1989), kadar abu tidak larut dalam asam pada simplisia daun kelor tidak boleh melebihi 1%, maka hasil yang diperoleh memenuhi syarat karakterisasi simplisia.

4.3 Hasil Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia serbuk simplisia daun kelor dan ekstrak etanol daun kelor dilakukan untuk menentukan ada atau tidaknya golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam tumbuhan yang digunakan. Adapun pemeriksaan yang dilakukan terhadap serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun kelor meliputi


(57)

pemeriksaan golongan senyawa alkaloid, saponin, tanin, steroid/triterpenoid, dan flavonoid. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun kelor dapat dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Hasil Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Kelor

No Skrining Fitokimia

Hasil

Simplisia Ekstrak

1 Alkaloid + +

2 Flavonoid + +

3 Glikosida + +

4 Tanin + +

5 Saponin + +

6 Steroid/Triterpenoid + +

Keterangan : (+) = positif (-) = negatif

Berdasarkan hasil skrining fitokimia yang telah diperoleh pada Tabel 3.2, maka golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada serbuk simplisia daun kelor dan ekstrak etanol daun kelor adalah alkaloid, flavonoid, glikosida, tanin, saponin, dan steroid/triterpenoid.

4.4 Hasil Uji Aktivitas Koagulan Ekstrak Etanol Daun Kelor

Hasil uji aktivitas koagulan ekstrak etanol daun kelor dilakukan secara in vitro dan in vivo dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini.


(58)

4.4.1 Uji aktivitas koagulan secara in vitro

4.4.1.1 Hasil waktu koagulasi dengan metode Lee-White

Pengujian aktivitas koagulan ekstrak etanol daun kelor secara in vitro dilakukan dengan metode Lee-White dengan mengukur waktu pembekuan darah yang diamati selama 2 jam (120 menit). Sampel penelitian berupa darah segar diperoleh dari tikus yang dianestesi, kemudian dibedah dan diambil darahnya dari jantung sebanyak 0,5 ml untuk setiap tabung (total berupa 4 tabung, berarti darah yang diambil dari setiap ekor tikus adalah 2 mL). Sebelumnya tabung telah disiapkan sesuai perlakuan. Stopwatch dijalankan setelah darah dimasukkan ke dalam tabung. Setiap 30 detik sekali, tabung dimiringkan untuk mengamati terbentuknya clot/gumpalan. Waktu dihentikan ketika mulai terbentuk clot yang cukup besar. Hasil yang diperoleh pada uji aktivitas koagulan berupa parameter waktu pembekuan darah dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Waktu pembekuan darah tikus secara in vitro

N o

Kelompok

Waktu (Menit)

p Tabung

Rata-Rata ± SD

A B C D E

1 0,5 ml darah normal 5 4,5 4 4 6 4,7 ± 0,83 -

2 0,5 ml darah + 0,5 ml EDTA 120 120 120 120 120 120 -

3 0,5 ml darah + 100μl EEDK 1% 2 1 3 1,5 2 1,9 ± 1,11 0,424#

4 0,5 ml darah + 0,5 ml EDTA +

100μl EEDK 1% 22 37 26 30 29 28,8 ± 5,54 0,000

*

Keterangan Tabel 4.3

(#) Berbeda tidak bermakna terhadap darah normal (p > 0,05)


(59)

Darah pada tabung perlakuan normal mengalami pembekuan dengan waktu rata – rata 4,7 ± 0,83 menit. Hasil ini sesuai dengan teori bahwa waktu pembekuan darah normal adalah 4 – 8 menit.

Darah pada tabung yang ditambahkan dengan EDTA tidak mengalami pembekuan setelah diamati selama 120 menit. EDTA merupakan suatu antikoagulan yang bekerja dengan cara mengikat kalsium, yang merupakan salah satu faktor pembekuan darah (Dewoto, 2007), sehingga tidak terjadi pembekuan sama sekali pada tabung 2, karena kalsium telah diikat oleh EDTA.

Darah pada tabung yang ditambahkan dengan EEDK 1% memiliki rata– rata waktu pembekuan selama 1,9 ± 1,11 menit, hal ini menunjukkan bahwa EEDK mampu mempersingkat waktu koagulasi darah yang lebih cepat bila dibandingkan dengan waktu pembekuan normal. Menurut Sodamade (2013), kandungan kalsium daun kelor cukup tinggi, yaitu 723 mg/ 100 g. Menurut Mutschler (2010), kandungan kalsium yang tinggi dapat mempercepat terbentuknya trombin dan akan merangsang terbentuknya benang fibrin, sehingga darah dapat membeku.

Darah pada tabung yang ditambahkan dengan EDTA dan EEDK memiliki rata-rata waktu pembekuan selama 28,8 ± 5,54 menit. Hal ini menunjukkan EEDK mampu bekerja sebagai koagulan walaupun dengan adanya EDTA. Dapat dikatakan bahwa EDTA yang digunakan belum mengikat semua kalsium yang ada pada darah ataupun pada EEDK, sehingga darah masih tetap mampu membeku walaupun memiliki waktu di atas pembekuan darah normal. Bekuan darah tidak padat dan berbentuk seperti serat.


(60)

Berdasarkan analisis menggunakan ANOVA satu arah, terdapat perbedaan yang signifikan antar ke empat perlakuan tersebut, yaitu darah normal, darah + EDTA, darah + EEDK, dan darah + EDTA + EEDK (p < 0,05).

Perbandingan waktu pembekuan dapat ditunjukkan pada grafik garis dengan parameter waktu pembekuan darah secara in vitro pada Gambar 4.1

Gambar 4.1 Waktu pembekuan darah secara in vitro

Maka dari keempat perlakuan tersebut, perlakuan yang paling cepat dalam mengkoagulasikan darah adalah kelompok darah + EEDK, diikuti kelompok darah normal, kemudian kelompok darah + EDTA + EEDK, dan yang tidak mampu mengkoagulasikan darah adalah kelompok darah + EDTA.

4.4.1.2 Koagulasi secara mikroskopik dengan teknik Eustrek (hapusan darah)

Metode ini dilakukan untuk melihat keadaan sel darah setelah pengamatan 2 jam dengan metode Lee-White secara mikroskopik. Sel darah diambil sebanyak 1 tetes menggunakan pipet tetes dan diteteskan pada object glass, kemudian dibuat sediaan hapusan darah dan ditutup atasnya dengan deck glass sehingga

0 20 40 60 80 100 120 140 Tabung Darah

Darah Normal Darah + EDTA

Darah + EEDK Darah + EDTA + EEDK

Wa k tu Pe m be kua n (m en it) Keterangan : - - - - - - - - - - - 4,7 ± 0,83 120 1,5 ± 1,11 28,8 ± 5,54


(61)

hasilnya akan melebar. Hasil pengamatan bentuk sel darah secara mikroskopik dengan menggunakan suspensi EEDK dapat dilihat pada Tabel 3.4

Tabel 4.4 Hasil Pengamatan bentuk sel darah secara mikroskopik dengan 4 perlakuan berbeda

No Perlakuan Hasil Pengamatan

1 Darah Normal

Sel darah membeku ditandai dengan mengalami lisis (sel darah pecah dan tidak berbentuk oval) dan saling melekat membentuk kelompok yang padat satu sama lain

2 Darah + EDTA

Sel darah tidak mengalami pembekuan ditandai dengan bentuk sel darah yang normal dan tidak terdapat perlekatan satu sama lain

3 Darah + EEDK

Sel darah membeku ditandai dengan tampak padat dan berkelompok, terlihat adanya benda mikroskopik lain selain sel darah

4 Darah + EDTA + EEDK

Sel darah tampak mengalami lisis dan melekat satu sama lain dan terdapat bagian di mana darah tidak membeku


(62)

Berikut adalah gambar mikroskopik pengamatan sel darah tabung 1 hingga 4 pada perbesaran 10x10 dan 10x100 yang dapat dilihat pada Gambar 4.2

1a 1b

2a 2b

3a 3b

Sel darah membeku

Sel darah tidak membeku

Gambar 4.2 Bentuk Mikroskopik sel darah

Sel darah membeku

4a 4b

Sel darah membeku Sel darah

tidak membeku


(63)

Berdasarkan Gambar 4.2 dapat diamati bahwa pada gambar 1a (darah normal), sel darah tampak saling melekat satu sama lain dan membentuk kelompok. Pada gambar 1b, sel darah tampak lisis dan saling melekat satu sama lain. Menurut Majerus (2008), proses pembekuan darah mula–mula diawali dengan melekatnya platelet pada makromolekul di sekitarnya, diikuti dengan terjadinya agregasi platelet dan membentuk agregat platelet. Tangkery (2013), mengemukakan bahwa pada saat terjadi pembekuan, sel darah merah saling melekat satu sama lain, dinding sel dapat hancur dan tidak memiliki bentuk lagi.

Berdasarkan Gambar 4.2 juga dapat diamati bahwa pada gambar 2a (darah + EDTA), sel darah tampak seperti titik kecil dan tidak jelas, tetapi pada gambar 2b, sel darah tampak normal dan tidak melekat satu sama lain. Menurut Majerus (2008), Pembekuan darah dapat dicegah jika ke dalamnya ditambahkan senyawa pengkelat seperti asam etilendiamintetraasetat (EDTA) untuk mengikat ion Ca2+ (kalsium). Di mana kalsium merupakan salah satu faktor pembekuan darah.

Pada gambar 3a (darah + EEDK), sel darah tampak padat dan berkelompok, serta memiliki warna kecoklatan. Pada gambar 3b perbesaran difokuskan pada daerah di mana sel darah tidak terlalu padat atau dapat diamati, terdapat ekstrak dan sel darah tampak mengalami lisis dan terbentuk agregasi platelet pada daerah di sekitar kristal jarum tersebut.

Berdasarkan Gambar 4.2 dapat diamati bahwa pada gambar 4a (darah + EDTA + EEDK), sel darah tampak padat dan besar. Pada gambar 4b terdapat daerah sel darah yang lisis (pada gambar 4b bagian kanan) dan sel darah yang tidak mengalami lisis (gambar 4b bagian kiri), menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kelor mampu mengkoagulasikan darah pada keadaan adanya EDTA / bila


(64)

diberikan bersamaan dengan EDTA sebagai antikoagulan. 4.4.2 Uji Aktivitas Koagulan Secara in vivo

Berikut adalah hasil uji waktu perdarahan dengan metode Duke secara in vivo.

4.4.2.1 Hasil waktu perdarahan dengan metode Duke

Pengujian aktivitas koagulan ekstrak etanol daun kelor secara in vivo dilakukan dengan metode Duke dengan mengukur waktu perdarahan (menit). Hasil yang diperoleh pada uji aktivitas koagulan berupa parameter waktu perdarahan dapat dilihat pada Tabel 3.5 dengan 5 perlakuan pada parameter waktu perdarahan normal (sebelum diinduksi dengan heparin), perlakuan (1 jam setelah induksi heparin), 1 jam setelah perlakuan, dan 2 jam setelah perlakuan.


(65)

Tabel 4.5 Hasil waktu perdarahan tikus secara in vivo

Keterangan Tabel 4.5

(#) Berbeda bermakna terhadap kontrol negatif (p < 0,05) (##) Berbeda tidak bermakna terhadap kontrol negatif (p ≥ 0,05) (*) Berbeda bermakna terhadap kontrol positif (p < 0,05) (**) Berbeda tidak bermakna terhadap kontrol positif (p ≥ 0,05) (p) Signifikansi

No Kelompok Waktu Perdarahan ± SD (menit)

Normal Perlakuan 1 jam

setelah perlakuan

p 2 jam

setelah perlakuan

P

1 Kontrol Negatif CMC-Na

4 ± 0,71 8,17 ± 0,61

14,92 ± 2,01 0,000* 11,17 ± 0,98 0,000*

2 Kontrol Positif Asam Traneksamat

4,75 ±

1,08 7,67 ± 0,5

5,17 ± 0,61

0,000#

4,75 ± 0,52

0,000#

3

EEDK 100

mg/KgBB 4 ± 0,68 9,42 ± 1,47

9,67 ± 2,16

0,001# 0,001*

8 ± 0,89

0,057## 0,000* 4

EEDK 150

mg/KgBB 4 ± 0,57 7,67 ± 1,25

6,42 ± 1,07

0,000# 0,032*

6,33 ± 0,88

0,000# 0,000* 5 EEDK 200 mg/KgBB 4,83 ±

0,41 8,17 ± 1,21

5,75 ± 0,94

0,000# 0,229**

4,92 ± 0,67

0,000# 0,640**


(66)

Gambar grafik dari rata–rata hasil pengukuran waktu perdarahan secara in vivo dapat diamati pada Gambar 4.3

Gambar 4.3 Waktu perdarahan secara in vivo

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diketahui bahwa terjadi penurunan lama waktu perdarahan pada tikus kelompok kontrol negatif, yaitu tikus tanpa perlakuan dan hanya diinduksi dengan heparin. Waktu perdarahan terus meningkat dari 1 jam setelah induksi (perlakuan) hingga 1 jam setelah perlakuan dimulai dari normal 4 ± 0,71 menit, lalu meningkat berturut - turut menjadi 8,17 ± 0,61 menit dan 14,92 ± 2,01 menit, tetapi waktu perdarahan mulai menurun pada 2 jam setelah perlakuan, menjadi 11,17 ± 0,98 menit. Menurut Mutschler (2010), lama waktu perdarahan menurun pada 2 jam setelah perlakuan yang dapat disebabkan karena heparin memiliki waktu paruh yang singkat dan diuraikan dengan cepat dalam tubuh organisme. Hal ini didukung oleh Sydney South West Area Health Service (2007) yang menyatakan bahwa waktu paruh

4 8,17 14,92 11,17 4,75 7,67 5,17 4,75 4 9,41 9,67 8 4

7,67 6,42 6,33

4,83 8,17 5,75 4,91 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Normal Heparin

(1 jam setelah induksi)

1 jam setelah perlakuan

2 jam setelah perlakuan

Kontrol Negatif Kontrol Positif EEDK

dosis 100mg/KgBB EEDK dosis 150mg/KgBB EEDK dosis 200mg/KgBB - - - - - - - - - - - - Wa k tu P erd a ra h a n (m en it)


(67)

heparin sangat singkat, yaitu sekitar 60 menit, sehingga parameter pengamatan setelah perlakuan hanya dilakukan 2 jam, berarti parameter pengamatan setelah induksi adalah 3 jam.

Hasil uji normalitas menunjukkan tidak adanya perbedaan pada pengukuran waktu perdarahan normal (p ≥ 0,05) dan waktu perdarahan setelah induksi heparin 1 jam (p ≥ 0,05) pada kelima kelompok, dengan kata lain data terdistribusi normal sebelum diberi perlakuan.

Setelah dilakukan analisa statistik terhadap kelompok kontrol negatif dengan kontrol positif, terdapat perbedaan yang bermakna secara signifikan (p ≤ 0,05) antara waktu perdarahan hewan uji kelompok kontrol negatif yang diberikan suspensi CMC-Na 0,5% yang memiliki lama waktu perdarahan 11,17 ± 0,98 menit, dengan kelompok kontrol positif yang diberikan asam traneksamat 10% yang memiliki lama waktu perdarahan 4,75 ± 0,52 menit pada 2 jam setelah perlakuan. Perbedaan yang bermakna ini diakibatkan karena pada perlakuan kontrol negatif hanya diberikan CMC-Na yang tidak memiliki aktivitas koagulasi dalam penurunan waktu perdarahan pada hewan bila dibandingkan dengan kontrol positif yang merupakan asam traneksamat yang biasanya digunakan untuk pembekuan darah/hemostatik. Menurut Hart (1990), CMC-Na (karboksi metil selulosa natrium) merupakan turunan selulosa yang tidak dapat dicerna oleh pencernaan dikarenakan tidak adanya enzim untuk menghidrolisis ikatan β - glukosidase pada selulosa, sehingga CMC-Na dapat dipakai sebagai kontrol negatif karena tidak akan memberikan perubahan efek terhadap obat atau ekstrak bahan uji apabila diberikan secara oral. Sedangkan menurut Rang (2013), asam traneksamat termasuk obat golongan antifibrinolitik dan hemostatik. Obat ini


(68)

bekerja dengan cara mengaktikan plasminogen dan mencegah fibrinolisis, sehingga asam traneksamat dapat digunakan sebagai kontrol positif.

Berdasarkan hasil analisa statistik ini juga terdapat perbedaan yang bermakna secara signifikan antara kelompok kontrol negatif dengan EEDK dosis 100, 150 dan 200 mg/KgBB (p < 0,05) pada 1 jam setelah perlakuan. Untuk EEDK dosis 150 dan 200 mg/KgBB tetap memiliki nilai p < 0,05 pada 2 jam setelah perlakuan yang artinya terdapat perbedaan yang bermakna secara signifikan, tetapi kelompok kontrol negatif memiliki perbedaan yang tidak bermakna secara signifikan dengan dosis 100 mg/KgBB (p ≥ 0,05) pada 2 jam setelah perlakuan. Menurut Setiawati (2007), potensi menunjukkan kisaran dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya potensi ditentukan oleh kadar obat yang mencapai reseptor dan afinitas obat terhadap reseptor. Dalam hal ini yang dibahas adalah efek kandungan kimia dari EEDK yang memiliki aktivitas sebagai koagulan, yaitu pyrocatechol. Pada 1 jam setelah perlakuan, EEDK dosis 100 mg/KgBB memberikan efek koagulan, tetapi pada 2 jam setelah perlakuan, analisa statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang tidak signifikan dengan kontrol negatif. Hasil yang diperoleh ini dapat disebabkan efek EEDK dosis 100 mg/KgBB telah mengalami proses farmakokinetik dan kadarnya telah menurun pada 2 jam setelah perlakuan sehingga efek yang ditimbulkan tidak begitu kuat bila dibandingkan dengan EEDK dosis 150 dan 200 mg/KgBB pada 2 jam setelah perlakuan.

Perbandingan kelompok kontrol positif dengan kelompok variasi dosis EEDK 100 dan 150 mg/KgBB memberikan perbedaan yang bermakna secara signifikan dengan nilai p < 0,05 antara waktu perdarahan hewan uji kelompok


(69)

kontrol positif yang diberikan asam traneksamat 10% yang memiliki lama waktu perdarahan 4,75 ± 0,98 menit, dengan kelompok uji yang diberikan EEDK dosis 100 mg/kgBB dan 150 mg/KgBB (p < 0,05) yang memiliki lama waktu perdarahan berturut-turut 8 ± 0,89 menit dan 6,33 ± 0,88 menit. Perbedaan ini dapat disebabkan karena efek asam traneksamat sebagai kontrol positif memiliki efek yang lebih kuat sebagai koagulan bila dibandingkan dengan EEDK dosis 100 mg/KgBB dan 150 mg/KgBB. Kelompok kontrol positif memiliki perbedaan yang tidak bermakna secara signifikan dengan EEDK dosis 200 mg/KgBB (p ≥ 0,05), hal ini menunjukkan bahwa EEDK dosis 200 mg/KgBB memiliki aktivitas koagulan yang hampir menyamai efek asam traneksamat pada pengamatan waktu perdarahan 2 jam setelah perlakuan. Daun kelor memiliki kandungan tanin terkondesasi, khususnya pyrocatechol, di mana menurut Dandjesso (2012), tanin merupakan salah satu golongan senyawa metabolit sekunder yang memiliki efek dalam pro-koagulasi darah pada suatu ekstrak. Tanin apabila digunakan secara oral dapat bersifat vasoprotektif. Tanin juga memiliki efek adstringen, yaitu vasokonstriksi pada pembuluh darah kecil yang merupakan salah satu parameter penting dalam hemostasis, sehingga tanin dapat bermanfaat sebagai hemostatik.

Berdasarkan hasil penelitian ini juga telah dilakukan analisa statistik menggunakan ANOVA satu arah, di mana EEDK variasi dosis 100, 150 dan 200 mg/KgBB berbeda secara signifikan (p < 0,05) pada 1 jam setelah perlakuan dan 2 jam setelah perlakuan, yang berarti ketiga variasi dosis tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna secara signifikan baik pada 1 jam setelah perlakuan maupun 2 jam setelah perlakuan.


(70)

Pada 1 jam setelah perlakuan, EEDK dosis 100 mg/KgBB memberikan waktu perdarahan berupa 9,67 ± 2,16 menit, EEDK dosis 150 mg/KgBB berupa 6,42 ± 1,07 menit, dan EEDK dosis 200 mg/KgBB berupa 5,75 ± 0,94 menit. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis, semakin besar efek koagulan yang dimiliki oleh EEDK, karena semakin banyak kandungan pyrocatechol yang dioralkan pada hewan percobaan. Pada 2 jam setelah perlakuan, EEDK dosis 100 mg/KgBB memberikan waktu perdarahan berupa 8 ± 0,89 menit, EEDK dosis 150 mg/KgBB berupa 6,33 ± 0,88 menit, dan EEDK dosis 200 mg/KgBB berupa 4,92 ± 0,67 menit.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka perlakuan yang paling baik dalam menurunkan waktu perdarahan baik 1 jam dan 2 jam setelah diinduksi heparin adalah kontrol positif asam traneksamat, EEDK dosis 200 mg/KgBB, lalu EEDK dosis 150 mg/KgBB, dan EEDK 100 mg/KgBB, sedangkan kontrol negatif walaupun mengalami penurunan waktu perdarahan, dianggap karena efek heparin telah habis.


(71)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa:

a. ekstrak etanol daun kelor memiliki aktivitas koagulan dengan mempersingkat parameter waktu pembekuan darah menggunakan metode Lee-White secara in vitro bila dibandingkan dengan normal.

b. sel darah yang mengalami pembekuan tampak memadat dan melekat satu sama lain ketika diamati secara mikroskopik dengan teknik eustrek (hapusan darah) secara in vitro.

c. ekstrak etanol daun kelor memiliki aktivitas koagulan dengan mempersingkat waktu perdarahan tikus yang diinduksi heparin dengan metode Duke secara in vivo.

5.2 Saran

Saran dari penelitian ini untuk penelitian selanjutnya adalah:

a. dilakukan uji aktivitas koagulan ektrak etanol daun kelor secara in vivo dengan jenis pelarut yang berbeda, seperti air atau metanol.

b. dilakukan uji ekstrak etanol daun kelor terhadap penghitungan jumlah trombosit secara in vitro menggunakan alat cell dyne.

c. dilakukan uji toksisitas terhadap ekstrak etanol daun kelor baik toksisitas akut, subkronis maupun kronis..


(72)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Kelor (Moringa oleifera Lam.) merupakan tanaman yang berasal dari dataran sepanjang sub Himalaya, yaitu India, Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan. Kelor dibudidayakan dan telah beradaptasi dengan baik di luar daerah asalnya, termasuk bagian barat, timur, dan selatan Afrika, Asia, tropis, Amerika Latin, Karibia, Florida, dan Kepulauan Pasifik (Fahey, 2005).

2.1.1 Sistematika tumbuhan

Menurut Integrated Taxonomic Information System (2013), taksonomi tanaman kelor adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Sub kingdom : Tracheobionta Super divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub kelas : Dilleniidae Ordo : Capparales Famili : Moringaceae Genus : Moringa

Spesies : Moringa oleifera Lam. 2.1.2 Nama lain

Tumbuhan kelor memiliki nama daerah, yaitu: murong (Aceh), munggai (Sumatera Barat), kilor (Lampung), marongghi (Madura), kiloro (Bugis). Nama


(73)

asing dari kelor adalah horse radish tree, drumstick tree, benzolive tree, (Inggris), mulangay (Filipina), mionge (Tanzania), moonga (India), sajna (Bangladesh) (Mardiana, 2013).

2.1.3 Morfologi tumbuhan

Kelor merupakan tanaman yang tinggi pohonnya dapat mencapai 12 meter dengan diameter 30 cm; berakar tunggang berwarna putih yang membesar seperti lobak; mempunyai batang bulat dengan arah tumbuh lurus ke atas dan permukaannya kasar. Percabangan pada batangnya terjadi secara simpodial; daun majemuk, bertangkai panjang, tersusun berseling; helai daun saat muda berwarna hijau muda, setelah dewasa hijau tua, bentuk helai daun bulat telur, panjang 1 – 3 cm, lebar 4 mm sampai 1 cm, ujung daun tumpul, pangkal daun membulat, dan tepi daun rata, susunan pertulangan menyirip, permukaan atas dan bawah halus; bunga berwarna putih agak krem, menebar aroma khas; buah bentuk segitiga memanjang berwarna coklat setelah tua; biji berbentuk bulat, ketika muda berwarna hijau terang dan berubah berwarna cokelat kehitaman ketika polong matang dan kering. Bagian kayu warna cokelat muda atau krem berserabut (Anwar, et al., 2007).

Tanaman kelor bisa tumbuh subur di hampir seluruh wilayah Indonesia, baik dataran rendah maupun dataran tinggi sampai ketinggian 1000 m di atas permukaan laut, sehingga budidaya tanaman kelor ini bisa dilakukan di semua wilayah (Pradana, 2013).

2.1.4 Kandungan kimia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun kelor banyak mengandung nutrisi dan senyawa kimia, antara lain: protein (27%), kaya vitamin A dan vitamin


(74)

C, zat besi, kalsium, fosfor, alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin/steroid, polisakarida, asam amino, serta kandungan polifenol lainnya (Gaiwad, et al, 2011).

Selain itu, daun kelor juga mengandung nitril glikosida, yaitu niazirin dan niazirinin; three mustard oil glycosides, seperti 4 [(4’-O-acetyl-α -L-rhamnosyloxy) benzyl], isotiosianat, niaziminin A dan niaziminin B; asam-asam fenolik, seperti asam gallat, klorogenik, asam ferulat, dan asam ellegat; flavonoid (kaempferol, quercetin, dan rutin) dan karatenoid (terutama lutein dan β–karoten) (Pandey, et al., 2012).

2.1.5 Khasiat dan penggunaan tumbuhan

Pemanfaatan tanaman kelor cukup beragam. Kelor biasanya ditanam sebagai bahan sayur, dan tanaman pagar. Selain itu, dapat pula dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi dan kambing. Kelor juga dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan. Akar kelor ampuh menyembuhkan nyeri, rematik, sariawan, dan asma. Kulit akar juga mujarab mengatasi pembengkakan dan sariawan. Sementara kulit batang dapat digunakan untuk pelancar haid, flu, dan sariawan. Ramuan daun kelor dapat membantu penyembuhan pembengkakan limpa, penurunan kadar gula darah, dan meningkatkan nafsu makan. Selain itu, daun juga bersifat diuretik serta dapat menangani panas dalam, anemia dan memperlancar susu ibu. Berbagai penelitian yang telah dilakukan seperti antioksidan, urolitiasis, hepatoprotektor, immunomodulator, hipokolesterolemik (penurun kolesterol), dan hipoglikemik (penurun kadar gula darah) (Mardiana, 2013).

Secara tradisional, daun kelor digunakan untuk antispasmodik, stimulan, ekspektoran dan diuretik. Daun yang telah dijus dapat digunakan sebagai obat


(75)

batuk dan dalam dosis tinggi sebagai obat muntah. Daun yang telah dimasak dapat digunakan sebagai obat influenza. Ekstrak (dekog) dapat digunakan untuk pengobatan sakit tenggorokan (Garima, 2011).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan dengan pelarut yang sesuai. Sebelum ekstraksi dilakukan biasanya bahan dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan pada derajat kehalusan tertentu (Harborne, 1987).

Hasil ekstraksi disebut ekstrak, yaitu sediaan kental atau cair yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zat aktif dengan pelarut yang sesuai kemudian menguapkan semua atau hampir semua pelarut yang digunakan pada ekstraksi (Depkes RI, 1995).

Tujuan utama dari ekstraksi adalah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan. Zat aktif yang terdapat dalam simplisia tersebut dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Ditjen POM, 2000).

Ada beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan yaitu cara dingin dan cara panas.

2.2.1 Cara Dingin a. Maserasi

Maserasi adalah penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut disertai sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus menerus disebut maserasi


(76)

kinetik sedangkan yang dilakukan panambahan ulang pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan alat perkolator dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh perkolat (Ditjen POM, 2000).

2.2.2 Cara Panas a. Refluks

Refluks adalah proses penyarian simplisia pada temperatur titik didihnya menggunakan alat dengan pendingin balik dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu.

b. Digesti

Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 - 50°C.

c. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat khusus (soklet) dimana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel. d. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit.


(1)

2.9.1 Trombositopenia dan trombositosis ... 23

2.9.2 Hemofilia ... 24

2.9.3 Penyakit Von Willebrand ... 24

2.9.4 Defisiensi faktor plasma didapat ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 26

3.1 Lokasi Penelitian ... 26

3.2 Jenis Penelitian .. ... 26

3.3 Alat ... 26

3.4 Bahan ... 27

3.5 Hewan Percobaan ... 27

3.6 Pengambilan dan Pengolahan Tumbuhan ... 27

3.6.1 Pengumpulan tumbuhan ... 27

3.6.2 Identifikasi tumbuhan ... 28

3.6.3 Pembuatan simplisia ... 28

3.6.4 Pembuatan ekstrak etanol daun kelor ... 28

3.7 Karakterisasi Simplisia ... 29

3.7.1 Pemeriksaan makroskopik ... 29

3.7.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 29

3.7.3 Penetapan kadar air ... 29

3.7.4 Penetapan kadar sari larut dalam air ... 30

3.7.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol ... 30

3.7.6 Penetapan kadar abu total ... 31


(2)

xi

3.8.1 Pemeriksaan alkaloid ... 31

3.8.2 Pemeriksaan flavonoid ... 32

3.8.3 Pemeriksaan glikosida ... 33

3.8.4 Pemeriksaan tanin ... 33

3.8.5 Pemeriksaan saponin ... 33

3.8.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoid ... 33

3.9 Pembuatan Larutan dan Suspensi Bahan Uji ... 34

3.9.1 Pembuatan suspensi CMC-Na 0,5 % ... 34

3.9.2 Pembuatan larutan EDTA 15 % ... 34

3.9.3 Pembuatan larutan heparin 100 IU/ml ... 34

3.9.4 Pembuatan suspensi asam traneksamat 10 % ... 35

3.9.5 Pembuatan suspensi ekstrak etanol daun kelor (EEDK) 1 % ... 35

3.9.6 Penentuan konsentrasi ekstrak etanol daun kelor dengan prinsip titrasi dosis ... 35

3.10 Uji Aktivitas Koagulan ... 36

3.10.1 Uji aktivitas koagulan secara in vitro ... 36

3.10.1.1 Waktu koagulasi dengan metode Lee-White .... 36

3.10.1.2 Koagulasi secara mikroskopik dengan teknik Eustrek (hapusan darah) ... 37

3.10.2 Uji aktivitas koagulan secara in vivo ... 38

3.10.2.1 Waktu perdarahan dengan metode Duke ... 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 39

4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia Daun Kelor ... 39


(3)

4.3 Hasil Skrining Fitokimia ... 40

4.4 Hasil Uji Aktivitas Koagulan Ekstrak Etanol Daun Kelor ... 41

4.4.1 Uji aktivitas koagulan secara in vitro ... 42

4.4.1.1 Hasil waktu koagulasi dengan metode Lee-White .. 42

4.4.1.2 Hasil koagulasi secara mikroskopik dengan teknik Eustrek (hapusan darah) ... 44

4.4.2 Uji aktivitas koagulan secara in vivo ... 48

4.4.2.1 Hasil waktu perdarahan dengan metode Duke ... 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1 Kesimpulan ... 55

5.2 Saran ... ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56


(4)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Faktor-Faktor Pembekuan Darah ... 19 Tabel 4.1 Hasil karakterisasi serbuk simplisia daun kelor ... 39 Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak etanol daun

kelor ... 41 Tabel 4.3 Waktu pembekuan darah tikus secara in vitro ... 42 Tabel 4.4 Hasil pengamatan bentuk sel darah secara mikroskopik

dengan 4 jenis perlakuan berbeda ... 45 Tabel 4.5 Hasil waktu perdarahan tikus secara in vivo ... 49


(5)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian ... 6

Gambar 2.1 Rumus kimia asam traneksamat ... 15

Gambar 2.2 Rumus kimia heparin ... 17

Gambar 2.4 Proses koagulasi darah ... 22

Gambar 4.1 Waktu pembekuan darah secara in vitro ... 44

Gambar 4.2 Bentuk mikroskopik sel darah ... 46


(6)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Hasil persetujuan etik penelitian ... 59

Lampiran 2 Hasil identifikasi tumbuhan ... 60

Lampiran 3 Karakteristik tumbuhan daun kelor (Moringa oleifera Lam.) 61 Lampiran 4 Hasil pemeriksaan mikroskopik daun kelor ... 63

Lampiran 5 Perhitungan hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia ... 65

Lampiran 6 Bagan kerja penelitian ... 70

Lampiran 7 Bagan pembuatan ekstrak ... 71

Lampiran 8 Bagan alur uji in vitro terhadap koagulasi darah tikus ... 72

Lampiran 9 Bagan alur uji in vivo terhadap waktu perdarahan tikus ... 74

Lampiran 10 Alat, bahan, dan objek yang digunakan ... 75

Lampiran 11 Contoh perhitungan ... 82

Lampiran 12 Contoh gambar spesimen darah tikus perbesaran 10 x 100.. 85

Lampiran 13 Data waktu perdarahan tikus ... 86

Lampiran 14 Hasil uji normalitas waktu pembekuan secara in vitro dan waktu perdarahan secara in vivo ... 87

Lampiran 15 Hasil analisis ANOVA waktu pembekuan secara in vitro ... 88

Lampiran 16 Hasil analisis Post Hoc waktu pembekuan secara in vitro ... 89

Lampiran 17 Hasil analisis ANOVA waktu perdarahan secara in vivo ... 91

Lampiran 18 Hasil analisis Post Hoc waktu perdarahan secara in vivo .... 93