Efektifitas Sociall Skill Training (SST) untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa SD akselerasi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

Penyesuaian Sosial

1.

Pengertian Penyesuaian Sosial
Hurlock (1999) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai

keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada
umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Menurut Anantasri (1997)
penyesuaian sosial merupakan proses individu atau suatu kelompok mencapai
keseimbangan sosial dalam arti tidak mengalami konflik dengan lingkungan,
dengan demikian individu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai kemampuan atau
kapasitas yang dimiliki individu untuk bereaksi secara efektif dan wajar terhadap
realita, situasi, dan hubungan sosial sehingga tuntutan hidup bermasyarakat
terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan.

Senada dengan pandangan Schneiders, Kartono (1989) menyatakan bahwa
penyesuaian sosial adalah kesanggupan untuk mereaksi secara efektif dan
harmonis terhadap realitas sosial dan situasi sosial, bisa mengadakan reaksi sosial
yang sehat, bisa menghargai hak-hak sendiri di dalam masyarakat, bisa bergaul
dengan orang lain dan membina persahabatan yang kekal sehingga rasa
permusuhan, iri hati, persaingan, dengki dan emosi negatif dapat terkikis.
Sedangkan Gerungan (1996) menyatakan bahwa penyesuaian sosial merupakan

11

12

usaha yang dilakukan individu untuk mengubah diri dan keinginan agar sesuai
dengan keadaan lingkungan atau kelompok.
Berdasarkan pengertian diatas, peneliti peneliti mengartikan bahwa
penyesuaian sosial adalah kemampuan individu untuk bereaksi dengan efektif dan
wajar sesuai dengan situasi dan harapan lingkungan agar tercapai keseimbangan
sosial.
2.


Aspek-aspek Penyesuaian Sosial
Menurut Schneider (1964) aspek – aspek penyesuaian sosial adalah sebagai

berikut:
a.

Penyesuaian sosial terhadap keluarga
Penyesuaian sosial yang baik terhadap lingkungan keluarga memiliki ciri –

ciri sebagai berikut:
1) Adanya hubungan yang sehat antar anggota keluarga, tidak ada penolakan
(rejection) orang tua terhadap anak – anaknya, tidak ada permusuhan, rasa
benci atau iri hati antar anggota keluarga.
2) Adanya penerimaan otoritas orang tua, hal ini penting untuk kestabilan
rumah tangga dan anak wajib menerima disiplin orang tua secara logis.
3) Kemampuan untuk mengemban tanggung jawab dan penerimaan terhadap
pembatasan atau larangan yang ada di dalam peraturan keluarga.
4) Adanya kemauan saling membantu antara anggota keluarga baik secara
perorangan maupun kelompok.
5) Kebebasan


dari

ikatan

menumbuhkan rasa mandiri.

secara

emosional

secara

bertahap

dan

13

b.


Penyesuaian sosial terhadap lingkungan sekolah
Penyesuaian sosial yang baik terhadap lingkungan sekolah memiliki ciri –

ciri sebagai berikut:
1) Adanya perhatian, penerimaan, minat dan partisipasi terhadap fungsi dan
aktivitas sekolah.
2) Adanya hubungan yang baik dengan komponen sekolah seperti guru, dan
teman sebaya.
c.

Penyesuaian sosial terhadap lingkungan masyarakat
Penyesuaian sosial yang baik terhadap lingkungan masyarakat memiliki ciri

– ciri sebagai berikut :
1) Mengenal dan menghormati orang lain di sosial
2) Bergaul dengan orang lain dan mampu mengembangkan sifat bersahabat,
keduanya diperlukan untuk penyesuaian sosial yang efektif.
3) Penyesuaian sosial yang menarik dan dukungan untuk kesejahteraan orang
lain.

4) Bersikap hormat terhadap hukum, tradisi, dan adat istiadat. Adanya
kesadaran untuk mematuhi dan menghormati peraturan dan tradisi yang
berlaku dilingkungan maka ia akan dapat diterima dengan baik
dilingkungannya
Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa terdapat tiga aspek
penyesuaian sosial dalam kehidupan seseorang, yaitu penyesuaian sosial individu
terhadap

keluarganya,

disekitarnya.

lingkungan

sekolah,

dan

lingkungan


masyarakat

14

3.

Kriteria Penyesuaian Sosial
Hurlock (1999) mengatakan terdapat empat kriteria dalam menentukan

sejauh mana penyesuaian sosial individu mencapai ukuran baik, yaitu sebagai
berikut :
a.

Penampilan nyata melalui sikap dan tingkah laku yang nyata
Perilaku sosial individu sesuai dengan standar kelompok atau memenuhi

harapan kelompok maka individu akan diterima sebagai anggota kelompok.
Bentuk dari penampilan nyata adalah sebagai berikut:
1) Aktualisasi diri yaitu proses menjadi diri sendiri, mengembangkan sifatsifat dan potensi diri,
2) Keterampilan menjalin hubungan antar manusia yaitu kemampuan

berkomunikasi, kemampuan berorganisasi, dan
3) Kesediaan untuk terbuka pada orang lain, yang mana sikap terbuka adalah
sikap untuk bersedia memberikan dan sikap untuk bersedia menerima
pengetahuan atau informasi dari pihak lain.
b.

Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok
Individu dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap berbagai kelompok,

baik kelompok teman sebaya maupun kelompok orang dewasa. Bentuk dari
penyesuaian diri adalah sebagai berikut:
1) Kerja sama dengan kelompok yaitu proses beregu (berkelompok) yang
mana anggota-anggotanya mendukung dan saling mengandalkan untuk
mencapai suatu hasil mufakat,

15

2) Tanggung jawab yaitu sesuatu yang harus kita lakukan agar kita menerima
sesuatu yang dinamakan hak, dan
3) Setia kawan yaitu saling berbagi, saling memotivasi dalam kebaikan.

c.

Sikap sosial
Individu dapat menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain,

terhadap partisipasi sosial, serta terhadap perannya dalam kelompok maka
individu akan menyesuaikan diri dengan baik secara sosial. Bentuk dari sikap
sosial adalah ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial di masyarakat, berempati,
dapat menghormati dan menghargai pendapat orang lain.
d.

Kepuasan pribadi
Individu harus dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial, merasa

puas terhadap kontak sosialnya dan terhadap peran yang dimainkannya dalam
situasi sosial. Bentuk dari kepuasan pribadi adalah kepercayaan diri, disiplin diri
dan kehidupan yang bermakna dan terarah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa individu dianggap
memiliki penyesuaian sosial yang baik apabila individu tersebut memiliki kriteria
penyesuaian sosial sebagai berikut: memiliki sikap dan tingkah laku yang sesuai

dengan standar atau harapan kelompok; mampu menyesuaikan diri terhadap
berbagai kelompok, baik kelompok teman sebaya kelompok orang dewasa;
memiliki sikap social; dan merasa puas atau bahagia terhadap peran dan hubungan
sosialnya.

16

4.

Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial erat kaitannya

dengan penyesuaian diri karena penyesuaian sosial merupakan bagian dari
penyesuaian diri. Schneiders (1964) mengelompokan faktor-faktor yang
mempengaruhi penyesuaian diri sebagai berikut:
a.

Kondisi Fisik atau Jasmaniah
Meliputi pengaruh pembawaan dan struktur jasmaniah, kesehatan dan


kondisi jasmaniah
b.

Perkembangan dan kematangan
Perkembangan dan kematangan mempunyai hubungan yang erat dengan

proses penyesuaian diri, dalam arti bahwa proses penyesuaian diri itu akan banyak
tergantung pada tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapai. Dalam
proses perkembangan, respon anak berkembang dari respon yang bersifat
instingtif menjadi respon yang diperoleh melalui belajar dan pengalaman. Dengan
bertambahnya usia, anak juga matang untuk melakukan respon, proses ini
menentukan pola-pola penyesuaian sosial.
c.

Kondisi psikologis
Banyak sekali faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi penyesuaian

diri. Diantaranya adalah faktor pengalaman, frustasi, konflik, iklim psikologis dan
lain-lain. Proses belajar merupakan suatu dasar yang fundamental dalam
penyesuaian diri, karena melalui proses belajar ini akan berkembang pola-pola

respon yang akan membentuk kepribadian individu.

17

d.

Kondisi lingkungan
1) Pengaruh rumah dan keluarga
Lingkungan rumah dan keluarga merupakan faktor lingkungan yang paling
besar pengaruhnya terhadap penyesuaian diri individu. Hal ini karena
keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan
individu.
2) Pengaruh masyarakat.
Lingkungan masyarakat merupakan tempat individu bergerak, bergaul dan
melakukan peran sosial. Sehingga individu sedikit banyak akan
terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Pengaruh masyarakat merupakan
kondisi-kondisi yang menentukan proses dan pola-pola penyesuaian diri.
3) Pengaruh sekolah
Sekolah mempunyai peran yang penting dalam menentukan pola
penyesuaian seseorang, karena sekolah mempunyai peran sebagi medium
untuk mempengaruhi kehidupan intelektual, sosial, dan moral siswa
sehingga individu diharapkan mampu mengembangkan kemampuan
menyesuaikan diri.

e.

Budaya dan agama
Faktor kebudayaan mempunyai pengaruh terhadap pembentukan watak dan

tingkah laku individu yang diperoleh melalui media pendidikan dalam keluarga,
sekolah, dan masyarakat secara bertahap dipengaruhi oleh faktor-faktor
kebudayaan. Budaya yang sehat dalam suatu lingkungan masyarakat akan
memberikan pengaruh yang baik kepada anggota masyarakat, begitu pula

18

sebaliknya budaya yang tidak sehat akan mempengaruhi perilaku anggota yang
ada di lingkungan tersebut.
Pengaruh agama. Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan, dan polapola tingkah laku yang akan memberikan arti, tujuan, dan kestabilan hidup kepada
umat manusia. Agama memberikan suasana psikologis tertentu dalam mengurangi
konflik, frustasi dan ketegangan lainnya kemudian memberikan suasana tenang
dan damai.
Selain faktor yang dikemukakan oleh Schneiders, Doyle dan Moretti (2000)
menyatakan bahawa proses penyesuaian sosial pada anak dipengaruhi oleh
beberapa hal yaitu keterlibatan orangtua, kontrol perilaku yang dihubungkan
dengan kompetensi sosial, sikap positif yang berkaitan dengan sekolah dan
pekerjaan, self esteem dan prestasi akademik. Kompetensi sosial itu sendiri
merupakan keahlian individu dalam bidang sosial. Menurut Elksnin dan Elksnin
(1999) ketrampilan sosial merupakan bagian dari kompetensi sosial. Artinya
untuk dapat dikatakan memiliki kompetensi sosial, individu harus memiliki
ketrampilan sosial. Hurlock (1999) menyatakan bahwa penyesuaian diri yang baik
dipengaruhi oleh ketrampilan sosial seperti:
a. Kemampuan untuk menjalin hubungan secara diplomatis dengan orang
lain,
b. Kemampuan menjalin hubungan baik terhadap teman maupun orang yang
tidak dikenal,
c. Kemampuan menjalin hubungan baik sehingga sikap orang lain terhadap
mereka menyenangkan.

19

Berdasarkan faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial yang telah
dijelaskan dapat disimpulkan bahwa penyesuaian sosial individu dipengaruhi oleh
kondisi fisik, perkembangan dan kematangan individu, kondisi psikologis, kondisi
lingkungan individu saat beraktivitas sehari-hari, dan keterampilan sosial dalam
berinteraksi.

B.

Social Skill Training (SST)

1.

Pengertian Social Skill Training (SST)
Social Skill Training (selanjutnya disingkat SST) adalah salah satu

intervensi dengan teknik modifikasi perilaku yang didasarkan pada prinsip-prinsip
bermain peran, praktek, dan umpan balik guna meningkatkan kemampuan
individu dalam menyelesaikan masalah pada individu depresi, schizophrenia ,
individu yang sulit berinteraksi, mengalami social phobia , dan individu yang
mengalami kecemasan (Stuart, 2009; Vacarolis, 2010; Kneisl, 2004). Menurut
Cartledge dan Milbun (1995) dan Chen (2006), SST adalah kemampuan yang
dapat dipelajari oleh seseorang sehingga memungkinkan orang tersebut
berinteraksi dengan memberikan respon positif terhadap lingkungan dan
mengurangi respon negatif yang mungkin hadir pada dirinya. Kneisl (2004)
menyatakan bahwa SST adalah metode yang didasarkan pada prinsip-prinsip
sosial pembelajaran dan menggunakan teknik perilaku bermain peran, praktik dan
umpan balik untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah.
SST merupakan modalitas pendidikan dan klinis yang digunakan secara
luas dalam mengatur kesehatan mental, keluarga, pernikahan, dan konseling

20

perceraian, pelatihan orangtua, dan sekolah. SST termasuk pelatihan untuk
keterampilan komunikasi secara asertif, psikososial atau pelatihan keterampilan
antar pribadi, keterampilan berhubungan secara sosial, independen dan
keterampilan hidup bermasyarakat, dan pemecahan masalah sosial (Cornish dan
Ross, 2004).
SST didasarkan pada keyakinan bahwa keterampilan dapat dipelajari oleh
karena itu dapat diajarkan pada seseorang yang tidak memilikinya (Stuart &
Laraia, 2008). SST dirancang untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasih
dan keterampilan sosial bagi seseorang yang mengalami kesulitan dalam
berinteraksi meliputi keterampilan memberikan pujian, mengeluh karena tidak
setuju, menolak permintaan orang lain, tukar menukar pengalaman, menuntuk hak
peribadi, memberi saran pada orang lain, memecahkan masalah yang dihadapi,
dan bekerja sama dengan orang lain (MqQuaid, 2000).
SST juga berhubungan dengan kemampuan untuk mengendalikan
perilaku anak dan memenuhi aturan sosial yang berlaku (Cotugno, 2009).
Disamping itu SST juga dapat mengajar persepsi sosial secara akurat, termasuk
mengajarkan mengenai norma-norma, aturan dan harapan sosial dalam
berinteraksi (Cornish dan Ross, 2004). Sementara itu menurut Cotugno (2009)
SST dapat digunakan untuk memberikan intervensi kepada anak berkebutuhan
khusus dan anak normal yang memiliki tingkat intelektual rata-rata sampai di atas
rata-rata. Hal ini terkait dengan kemampuan anak untuk menggunakan regulasi
emosi, keterampilan dasar yang sudah ada, dan kemampuan rekognitif terhadap

21

objek lebih baik, sehingga program yang diberikan mudah dipahami dan
diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa SST adalah
suatu metode yang berfokus pada pembangunan perilaku positif, membentuk
perilaku baru, atau menghilangkan perilaku yang tidak baik dalam tujuan
meningkatkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam kontek sosial
yang dapat diterima dan berperilaku sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di
masyarakat. Hal ini melibatkan kemampuan untuk memulai dan menjaga interaksi
positif dan saling menguntungkan.
2.

Konsep Teori dalam Program SST
Teori behavior dan cognitive merupakan dasar dari social skill training .

Teori ini menjelaskan bahwa perilaku dapat dipelajari. Menurut Cornish dan Ross
(2004) tingkah laku hanya dapat diubah dan dikontrol dengan mengubah
lingkungan. Ada dua klasifikasi tipe perilaku, yaitu:
a.

Perilaku responden (Respondent Behavior) yaitu respon yang dihasilkan
(elicited) organisme untuk menjawab stimulus secara spesifik berhubungan

dengan respon tersebut. Respon refleks termasuk dalam kelompok ini,
seperti mengeluarkan air liur saat melihat makanan, mengelak dari pukulan,
merasa takut waktu ditanya guru atau merasa malu waktu dipuji.
b.

Perilaku operan (Operant Behavior), yaitu respon yang dimunculkan
(emitted) organisme tanpa adanya stimulus spesifik yang berlangsung

memaksa terjadinya respon itu. Terjadinya proses pengikatan stimulus baru
dengan respon yang baru. Organisme dihadapkan pada pilihan-pilihan

22

respon mana yang akan dipakainya untuk menanggapi suatu stimulus.
Keputusan respon mana yang dipilih tergantung kepada efeknya terhadap
lingkungan (yang tertuju padanya) atau konsekuensi yang mengikuti respon
tersebut. Menurut Cornish & Ross (2004), prinsip yang menentukan
perkembangan tingkah laku di lingkungan objek in-animate dan lingkungan
sosial

ternyata

sama

saja.

Individu

tersebut

berinteraksi

dengan

lingkungannya menerima reinforcement positif atau negatif dari tingkah
lakunya. Respon sosial dan penguatnya terkadang sukar diidentifikasi tetapi
prinsip hukum dasar tingkah laku berlaku sama untuk kedua kasus tersebut.
Gambaran ciri kepribadian itu dapat diterjemahkan dalam sekelompok
respon spesifik yang cenderung diasosiasikan dengan situasi tertentu. Ketika
orang

berinteraksi

reinforcerment

dengan

untuk

orang

melakukan

lain,
tingkah

orang
laku

tersebut

menerima

dominan.

Semua

dikembalikan kepada riwayat reinforcement yang pernah diterima oleh
seseorang. Dalam ranah terapi, behaviorisme berkembang luas dalam
bentuk modifikasi perilaku (behavior modification). B-Mod (sebutan untuk
behavior modification) adalah senjata atau strategi untuk mengubah tingkah

laku bermasalah.
Beberapa teknik berikut merupakan teknik yang dikemukakan oleh Skinner
tetapi juga dikembangkan atau disempurnakan dari ide pakar lain Miltenberger &
Raymond (2008), teknik yang digunakan antara lain:

23

a.

Modelling

Perubahan perilaku merupakan hasil dari observasi pada orang lain yang
ditunjuk secara khas disebut modeling. Prosedur modeling berisi seorang
individu yang disebut sebagai model (contohnya guru, pembantu, orangtua,
teman sebaya, atau therapist) dan seorang yang disebut observer (misalnya
anak yang berkebutuhan khusus). Ada 2 macam modeling, pertama, live
modeling yang melibatkan kejadian sebenarnya atau menunjukkan secara

langsung akan perilaku yang diharapkan ketika anak mengobservasi. Kedua,
symbolic modeling yang melibatkan dengan menunjukkan model melalui
film, video tape, atau membayangkan. Biasanya pada anak yang

berkebutuhan khusus, biasanya lebih sering menggunakan modeling
langsung daripada symbolic modeling.
b.

Shaping
Shaping digunakan untuk mengembangkan target perilaku seseorang.
Shaping menggunakan reinforcement untuk mencapai sasaran perilaku yang

diinginkan (Miltenberger, 2008).
c.

Chaining

Metode chaining merupakan metode yang digunakan dengan membuat
urutan stimulus dan adanya keterkaitan antara satu urutan ke urutan lainnya.
Menurut Miltenberger (2008) chaining merupakan sebuah perilaku yang
terdiri dari banyak komponen perilaku yang terjadi bersama-sama secara
berurutan seperti rantai disebut dengan chaining. Chaining merupakan cara
yang digunakan untuk membentuk suatu perilaku yang sudah pernah dilatih

24

sebelumnya

sehingga

anak memiliki

kemampuan dasar mengenai

keterampilan tertentu. Chaining terdiri atas tiga metode antara lain, total
task presentation, backward chainig, dan forward chaining.

d.

Hadiah Atau Hukuman Secara Selektif (selective reward/punishment)
Strategi terapi ini untuk memperbaiki tingkah laku anak dengan melibatkan
figur di sekeliling anak sehari-hari khususnya orangtua dan guru. Terapis
meneliti klien dalam seting aktual, bekerjasama dengan orang tua dan guru
untuk memberi hadiah ketika anak melakukan tingkah laku yang
dikehendaki dan menghukum kalau tingkah laku yang tidak dikehendaki
muncul. Tingkah laku dan bentuk hadiah atau hukuman direncanakan secara
teliti, dipilih yang paling memberi dampak efektif

e.

Latihan Keterampilan Sosial (Social Skill Training)
Terapi dapat digunakan untuk membantu atau melatih seseorang untuk
meningkatkan keterampilan sosialnya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa social skill

training didadarkan pada teori behavior oleh Skinner, namun semakin

berkembangnya ilmu pengetahuan, maka Skinner menganggap bahwa manusia
memiliki pikiran, perasaan, dan lingkungan sosial yang membantunya dalam
mempelajari perilaku tertentu. Sebaliknya Perilaku dapat dibentuk berdasarkan
lingkungan sosial yang membentuk, pikiran, dan perasaan seseorang.

25

3.

Tujuan SST
SST berfokus pada pembangunan perilaku positif dengan menggunakan

metode non-aversif. Pelatihan ini dirancang agar anak menunjukkan perubahan
perilaku atau menghilangkan perilaku yang tidak baik. Menurut Eikens (2000)
SST bertujuan, yaitu:
a.

Meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengekspresikan apa yang
dibutuhkan dan diinginkan,

b.

Mampu menolak dan menyampaikan adanya suatu masalah,

c.

Mampu memberikan respon yang tepat saat berinteraksi sosial,

d.

Mampu memulai interaksi

e.

Mampu mempertahankan interkasi yang telah terbina
Sementara itu, menurut Landeen (2001, dalam Kneisl, 2004) SST bertujuan

untuk meningkatkan keterampilan interpersonal pada subjek dengan gangguan
hubungan interpersonal dengan melatih keterampilan subjek yang selalu
digunakan dalam hubungan dengan orang lain dan lingkungan.
4.

Tahapan Pelaksanaan SST
Menurut Cornish&Ross (2004) social skill training dilakukan dengan

memperhatikan tahapan pelaksanaannya. Hal ini dilakukan untuk mempermudah
dan membantu terapis untuk pelaksanaan terapi kepada subjek.
a.

Melakukan keterampilan sosial checklist
Pada tahapan ini terapis memantau perkembangan keterampilan sosial anak
dengan memberikan checklist untuk menentukan perilaku yang harus

26

ditangani. Perilaku yang dipilih adalah perilaku yang sangat menganggu
situasi sosial dan anak.
b.

Melakukan Observasi
Tahapan ini berfungsi untuk melihat seberapa sering munculnya perilaku,
pada saat kapan munculnya perilaku, apa yang membuat munculnya
perilaku, siapa yang berada di sekitar anak ketika munculnya perilaku.

c.

Wawancara
Mencari data dari orang terdekat anak yaitu guru dan terapis, jika
memungkinkan melakukan wawancara kepada anak dengan menggunakan
bahasa yang mudah dimengerti anak. Tujuan wawancara untuk menentukan
alasan apa yang membuat anak melakukan perilaku tersebut dan
menanyakan perkembangan anak selama ini.

d.

Menentukan Perilaku yang ingin diintervensi
Pada tahap ini peneliti melakukan screening dan observasi perilaku di
situasi sosial anak. Setelah dilakukan screening dan observasi peneliti akan
memiliki catatan perilaku keterampilan sosial anak.

e.

Menentukan tahapan program
Kegiatan ini dilakukan sesuai dengan komponen keterampilan sosial dan
teknik lainnya.
Sementara itu Stuart (2009) menyatakan ada 4 tahapan dalam SST, yaitu:

a.

Mengambarkan perilaku baru yang akan dipelajari dengan cara memberikan
bimbingan

kepada

interpersonal,

subjek

yang

mengalami

gangguan

hubungan

27

b.

Mengajarkan perilaku baru dengan menggunakan bimbingan dan demostrasi

c.

Mempraktekkan perilaku baru dengan memberikan umpan balik

d.

Memindahkan perilaku baru dalam lingkungan.
Menurut Ramdhani (2002) pelaksanaan SST dilakukan melalui 4 tahapan,

yaitu:
a.

Modelling, yaitu penyajian model dalam melakukan suatu keterampilan

yang dilakukan oleh terapis,
b.

Role play, yaitu tahap bermain peran dimana subjek mendapat kesempatan

untuk memerankan kemampuan yang telah dilakukan oleh terapis
sebelumnya,
c.

Performance feedback, yaitu tahap pemberian umpan balik. Umpan balik

harus diberikan segera setelah subjek mencoba memerankan seberapa baik
menjalankan latihan,
d.

Transfer training , yakni tahap pemindahan keterampilan yang diperoleh

subjek ke dalam praktek sehari-hari.
Pada pelaksanaannya, SST dapat dilakukan secara individual atau kelompok
(Chen, 2006; Stuart, 2009; Kingsep dan Nathan, 2004). Menurut Hapsari (2010)
pendekatan kelompok dalam SST dapat diberikan dalam format pendek
(workshop format) dan dalam format panjang. Format pendek ditujukan bagi
subjek dengan fungsi sosial yang tidak terlalu rendah atau bermasalah. Sedangkan
format panjang efektif bagi subjek dengan sifat pemalu yang sangat ekstrim atau
individu dengan permasalahan gangguan anxietas social. Pada kelompok kecil
biasanya terdiri dari 3 sampai 8 orang. Dalam hal waktu pelaksanaannya, SST

28

dilakukan 1-2 jam perhari dalam 10-12 kali pertemuan untuk subjek yang
mengalami defisit keterampilan sosial yang ekstrim dan penurunan kemampuan
berinteraksi. Untuk subjek yang hanya ingin meningkatkan keterampilan sosial
atau ingin menambah pengalaman dapat dilaksanakan 1-2 hari saja (Prawitasari,
2002).
Berdasarkan tahapan-tahapan yang telah dijelaskan, pada penelitian ini akan
dikembangkan modul SST pada siswa SD kelas akselerasi yang mengalami
masalah dalam penyesuaian sosial dengan tahapan pelaksanaan SST mengacu
pada pendapan Ramdhani (2002), yaitu melatih keterampilan sosial dengan
tahapan modelling, role play, feed back, dan transfer training.
5.

Keterampilan Sosial

a.

Pengertian Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial merupakan kemampuan penting yang harus dimiliki

seseorang untuk membantu menjalankan aktivitas di lingkungan sosial yang
ditentukan dari proses belajar, tingkat intelektual untuk menghindari perilaku
maladaptif, dan permasalahan sosial (Smiroldo & Bamburg, dalam Matson 2002).
Sementara itu Riggio (1986) menyatakan bahwa keterampilan sosial adalah
sekelompok kemampuan yang digunakan dalam mengingat, mengirim, dan
mengatur informasi verbal dan non verbal dalam melakukan interaksi sosial yang
positif dan adaptif.
Berdasarkan pengertian tersebut, definisi keterampilan yang digunakan
dalam

penelitian

ini

adalah

sejumlah

keterampilan

untuk

dapat

mengkomunikasihkan pesan pada orang lain, menginterpretasikan pesan dari

29

orang lain, dan mengelola aktivitas tersebut agar dapat berinteraksi sosial yang
positif dan adaptif.
b.

Dimensi dan Aspek Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial terdiri atas 2 dimensi yakni emotional (nonverbal) dan

sosial (verbal). Kedua dimensi tersebut akan dievaluasi berdasarkan 3 aspek,
yakni (Riggio & Carney, 2003):
1)

Expressivity: keterampilan individu dalam mengkomunikasihkan atau

menyampaikan pesan kepada orang lain.
2)

Sensitivity: keterampilan individu dalam menerima dan menginterpretasikan

pesan yang dikomunikasihkan oleh orang lain.
3)

Control: keterampilan individu dalam meregulasi dan mengolah proses

komunikasih.
c.

Domain Keterampilan Sosial
Berdasarkan kombinasi aspek dan dimensi keterampilan sosial, berikut 6

domain keterampilan sosial (Riggio, 1986; Riggio & Carney, 2003):
1)

Emotional Expressivity (EE)

Keterampilan individu berkomunikasih secara non verbal, khususnya dalam
mengirimkan pesan emosional. Domain ini juga meliputi ekspresi non
verbal dari sikap, dominasi, dan orientasi interpersonal. Individu mampu
mengekspresikan kondisi emosional yang sedang dirasakan secara spontan
dan tepat. Individu yang mampu mengekspresikan emosinya dengan baik
adalah individu yang antusias, bersemangat, serta mampu menstimulasi dan
menginspirasi orang lain dari kemampuannya menyalurkan perasaan.

30

2)

Emotional Sensitivity (ES)

Keterampilan individu menerima dan menginterpretasi komunikasi non
verbal dari orang lain. Individu yang memiliki sensitivitas emosional
memperhatikan dan menginterpretasikan sinyal emosional terselubung yang
ditunjukkan orang lain dengan cara akurat. Individu yang sensitivitas
emosionalnya tinggi umumnya membuka diri untuk mendapatkan pengaruh
emosional dari orang lain karena ia mampu menginterpretasikan komunikasi
emosional dengan cepat dan efisien. Dengan kata lain mereka bersedia
untuk berempati terhadap kondisi emosisonal yang dirasakan orang lain. Di
sisi lain, ia juga sangat waspada terhadap sinyal emosional non verbal dari
orang lain.
3)

Emotional Control (EC)

Keterampilan individu untuk mengontrol dan meregulasi tampilan non
verbal dan emosional yang dimilikinya. Individu yang memiliki control
emosional yang tinggi adalah actor emosional yang baik. Ia mampu
menunjukkan sinyal emosi tertentu dan menyembunyikan perasaan
sebenarnya pada saat diperlukan. Sebagai contoh, ia menertawakan lelucon
dengan tepat, atau tetap menampilkan wajah ceria dibalik kesedihannya saat
ia berada dalam situasi interpersonal tertentu. Control emosional adalah
sebuah

keterampilan

yang

penting

untuk

dikombinasikan

dengan

keterampilan lain. Individu yang memiliki control emosional tinggi akan
cederung untuk meredakan tampilan emosi yang sebenarnya kuat ia rasakan.
Ia juga kemudian akan lebih menahan tampilnya sinyal emosional bersifat

31

spontan dan ekstrim. Individu yang memiliki control emosional sangat
tinggi akan cenderung untuk selalu menahan diri agar tidak memperlihatkan
kondisi emosi diri yang sebenarnya.
4)

Social Expressitivity (SE)

Keterampilan individu dalam ekspresi verbal dan kemampuan mangajak
orang lain terlibat dalam percakapan. Individu yang memiliki ekspresivitas
sosial tinggi ditunjukkan dengan lancar berbicara, mudah bergaul, serta
terampil memulai dan mengarahkan pembicaraan dengan topic apapun.
Individu yang ekspresivitas sosialnya sangat tinggi sementara control
sosialnya rendah, dapat berbicara dengan spontan tanpa memonitor isi
pembicaraannya.
5)

Social Sensitivity (SS)

Keterampilan individu dalam menginterpretasi komunikasi verbal yang
disampaikan orang lain. Hal ini turut berarti individu menunjukkan
sensitivitas dan pemahaman dengan menampilkan perilaku yang dinilai
tepat dalam aturan sosial. Individu yang memiliki sensitivitas sosial akan
memperhatikan perilaku sosial orang lain dan juga kesesuaian respon
perilakunya sendiri. Ia dapat menjadi penonton dan pendengar yang baik.
Sensitivitas sosial yang terlalu tinggi sementara ekspresivitas dan kontrol
terbilang moderat atau bahkan rendah, dapat menyebabkan kewaspadaan
berlebihan yang menghambat partisipasi dalam interaksi sosial. Hal ini turut
dapat membuat ia mengalami kecemasan sosial.

32

6)

Social Control (SC)

Keterampilan individu dalam bermain peran yang berarti ia mampu
mempresentasikan social self-nya. Individu yang memiliki kontrol sosial
terlihat ahli, diplomatis, dan percaya diri dalam situasi sosial. Ia dapat
menyesuaikan diri dengan nyaman pada berbagai situasi sosial dan mampu
memaminkan berbagai peran sosial. Kontrol sosial turut penting dalam
mengarahkan komunikasi dalam interaksi sosial. Kontrol yang terlalu kuat
dapat menghambat individu baik dalam aspek kognitif maupun hubungan
interpersonal keran ia tidak dapat lagi diri secara spontan.
Secara keseluruhan keterampilan sosial tidak hanya melihat pada dimensi
mana seorang individu berkembang. Hal yang penting adalah keseimbangan
antara setiap dimensi tersebut. Setiap diemnsi sebaiknya tidak ada yang terlalu
tinggi ataupun terlalu rendah karena justru dapat mengembangkan pola interaksi
yang tidak efektif dan disfungsional (Riggio & Carney, 2003). Oleh karena itu
dimensi keterampilan sosial tidak dapat berdiri sendiri dan justru harus
dikombinasikan antara satu dengan yang lainnya secara seimbang untuk membina
hubungan sosial.

C.

Akselerasi

1.

Pengertian Akselerasi
Tim Direktorat PSLB (2009) menyatakan bahwa program akselerasi adalah

program percepatan belajar yang direncanakan oleh Menteri Pendidikan Nasional
sebagai bentuk pemberian layanan pendidikan peserta didik yang memiliki

33

potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk menyelesaikan program regular
dalam jangka waktu yang lebih singkat dibandingkan teman-temannya yang tidak
mengambil program tersebut. Artinya peserta didik pada program ini dapat
menyelesaikan pendidikan di SD/MI dalam jangka waktu lima tahun, di
SMP/MTs atau SMA/MA dalam waktu dua tahun.
Sebaliknya, akselerasi dalam cakupan kurikulum atau program berarti
meningkatkan kecepatan waktu dalam menguasai materi yang dimiliki seseorang,
yang dilakukan dalam kelas khusus, kelompok khusus atau sekolah khusus, dalam
waktu tertentu. Bentuk yang disebut telescoping ini, mencakup pengertian bahwa
anak

yang seharusnya

menyelesaikan

studi

dalam

waktu

dua

tahun,

menyelesaikan materi kurikulum dalam waktu 1 tahun (Semiawan, 1997). Secara
singkat akselerasi adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjalani
kurikulum yang ada dengan lebih cepat (Heward, 1996).
Menurut Heward (1996) akselerasi adalah suatu respon dalam menjawab
kebutuhan belajar dengan lebih cepat yang dimiliki oleh anak-anak berbakat.
Penelitian menunjukkan bahwa ketika akselerasi dijalankan dengan tepat, maka
ketertarikan siswa terhadap sekolah akan meningkat, mencapai level prestasi
akademis yang lebih tinggi, memiliki perhatian terhadap prestasi, dan
menyelesaikan level pendidikan yang lebih tinggi dalam waktu singkat, yang akan
meningkatkan waktu untuk berkarir di akhir sekolah.
Berdasarkan definisi tersebut, program akselerasi dalam penelitian ini
diartikan sebagai suatu program percepatan belajar bagi siswa yang memiliki
potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa yang tergabung dalam kelas khusus

34

untuk menyelesaikan kurikulum dengan lebih cepat, yaitu materi kurikulum dalam
waktu dua tahun diselesaikan dalam waktu 1 tahun dengan jumlah jam belajar di
sekolah yang lebih lama daripada siswa di kelas umum.
2.

Keuntungan Program Akselerasi
Menurut Somantri (2006), bagi siswa berbakat dengan kapasitas intelektual

di atas rata-rata, program akselerasi ini memberikan beberapa keuntungan, antara
lain:
a.

Terpenuhinya kebutuhan kognisi siswa akan pelajaran yang lebih
menantang

b.

Meningkatkan efisiensi dan efektivitas siswa dalam belajar

c.

Memberikan kesempatan untuk memiliki “intellectual peers”

d.

Menambah rasa percaya diri dan meningkatkan motivasi siswa

e.

Memberi

kesempatan

untuk

menghemat

waktu

dalam

menempuh

pendidikan, sehingga lebih banyak waktu untuk mengembangkan minat,
spesialisasi, dan karir.
Southern dan Jones (1991) menyebutkan beberapa keuntungan dari
dijalankannya program akselerasi bagi anak berbakat yaitu:
a.

Meningkatkan efisiensi
Siswa yang telah siap dengan bahan-bahan pengajaran dan menguasai
kurikulum pada tingkat sebelumnya akan belajar lebih baik dan lebih
efisien.

35

b.

Meningkatkan efektivitas
Siswa yang terikat belajar pada tingkat kelas yang dipersiapkan dan
menguasai keterampilan-keterampilan sebelumnya merupakan siswa yang
paling efektif.

c.

Meningkatkan waktu untuk karier
Adanya pengurangan waktu belajar akan meningkatkan produktivitas siswa,
penghasilan, dan kehidupan pribadinya pada waktu yang lain.

d.

Membuka siswa pada kelompok barunya
Dengan program akselerasi, siswa dimungkinkan untuk bergabung dengan
siswa lain yang meiliki kemampuan intelektual dan akademis yang sama.

e.

Keuntungan Ekonomis
Karena berkurangnya waktu pendidikan akan memberikan keuntungan
financial bagi siswa program akselerasi.
Program

akselerasi

membawa

siswa

pada

tantangan

yang

berkesinambungan yang akan menyiapkan mereka menghadapi kekakuan
pendidikan selanjutnya dan produktivitas selaku orang dewasa. Melalui program
akselerasi ini, siswa diharapkan akan memasuki dunia profesional pada usia yang
lebih muda dan memperoleh kesempata-kesempatan untuk bekerja produktif
(Hawadi, 2004).
3.

Kelemahan Program Akselerasi
Southern dan Jones (1991) menyebutkan empat hal yang berpotensi negatif

dalam proses akselerasi bagi anak berbakat, yaitu:

36

a.

Segi Akademis
1) Bahan ajar yang diberikan terlalu tinggi bagi siswa akseleran. Hal ini akan
membuat mereka menjadi siswa yang tertinggal di belakang kelompok
teman barunya, dan akan menjadi siswa yang berprestasi sedang-sedang
saja, bahkan siswa akseleran yang gagal.
2) Bisa jadi kemampuan siswa akseleran yang terlihat melebihi teman
sebayanya hanya bersifat sementara. Dengan bertambah usianya, kecepatan
prestasi siswa menjadi biasa-biasa saja dan sama dengan teman sebayanya.
Hal ini menyebabkan kebutuhan akselerasi menjadi tidak perlu lagi dan
siswa akseleran lebih baik dilayani dalam kelompok kelas reguler.
3) Meskipun memenuhi persyaratan dalam bidang akademis, siswa akseleran
kemungkinan imatur secara sosial, fisik, dan emosional dalam tingkatan
kelas tertentu.
4) Proses akselerasi menyebabkan siswa akseleran terikat pada keputusan
karier lebih dini. Agar siswa dapat berprestasi baik, dibutuhkan pelatihan
yang mahal dan tidak efisien untuk dirinya sebagai pemula. Bisa jadi
kemungkinan buruk yang terjadi adalah karier tersebut tidak sesuai bagi
dirinya.
5) Siswa akseleran mungkin mengembangkan kedewasaan yang luara biasa
tanpa adanya pengalaman yang dimiliki sebelumnya.
6) Pengalaman-pengalaman yang sesuai untuk anak seusianya tidak dialami
oleh siswa akseleran karena tidak merupakan bagian dari kurikulum.

37

7) Tuntutan sebagai siswa sebagian besar pada produk akademik konvergen
sehingga siswa akseleran akan kehilangan kesempatan mengembangkan
kemampuan berpikir kreatif dan divergen.
b.

Segi Penyesuaian Sosial
1) Karena siswa didorong untuk berprestasi dalam bidang akademiknya
sehingga mereka kekurangan waktu beraktivitas dengan teman sebaya.
Siswa yang didorong untuk belajar lebih cepat akan mengorbankan masa
kanak-kanaknya demi kemajuan akademis.
2) Siswa akan kehilangan kesempatan untuk melakukan aktivitas sosial
penting yang tepat usianya. Hal ini menyebabkan mereka kehilangan
kesempatan tersebut dan akan mengarahkannya dalam social maladjustment
selaku orang dewasa kelak. Mereka akan mengalami hambatan dalam
bergaul dengan teman sebayanya.
3) Akselerasi akan mengurangi jumlah dan frekuensi pertemuan dengan
teman-temannya.
4) Siswa akan kehilangan kesempatan dalam mengembangkan keterampilan
kepemimpinan yang dibutuhkannya dalam pengembangan karier dan
sosialnya di masa depan.

c.

Penyesuaian Emosional
1) Siswa akseleran pada akhirnya akan mengalami burn out di bawah tekanan
yang ada dan kemungkinan menjadi underachiever.
2) Siswa akseleran akan mudah frustasi dengan adanya tekanan dan tuntutan
berprestasi. Siswa yang mengalami sedikit kesempatan untuk membentuk

38

persahabatan pada masanya akan menjadi terasing atau agresif terhadap
orang lain.
3) Adanya tekanan untuk berprestasi membuat siswa akseleran kehilangan
kesempatan untuk mengembangkan hobi.
Hawadi (2004) menyebutkan beberapa ciri yang diatribusikan pada siswa
akseleran, yaitu bosan, fobia sekolah, dan kekurangan hubungan teman sebaya.

D.

Efektifitas

Social

Skill

Training

(SST)

dalam

Meningkatkan

Kemampuan Penyesuaian Sosial Siswa SD Akselerasi
Program akselerasi yang merupakan salah satu layanan khusus untuk anak
cerdas dan atau berbakat istimewa dalam hal pendidikan sejogyanya menjadi
program yang sangat menguntungkan bagi siswa yang tergabung dalam kelas
tersebut, yakni siswa dapat menyelesaikan masa studi lebih cepat dari teman
sebayanya (Tim Direktorat PSLB, 2009). Dalam hal pencapaian prestasi
akademik tentunya bagi siswa cerdas dan atau berbakat istimewa ini tidak akan
menjadi masalah. Akan tetapi adanya percepatan masa studi siswa dengan
tuntutan akademik yang tinggi dimana siswa diharusnya menyelesaikan materi
kurikulum untuk 2 tahun menjadi 1 tahun tentunya akan membuat sebagian besar
waktu siswa program akselerasi harus untuk belajar. Hal ini membuat kesempatan
siswa akseleran untuk belajar keterampilan sosial menjadi terbatas.
Menurut Southern dan Jones (1991), ada beberapa hal yang membuat siswa
akseleran memiliki keterampilan sosial yang rendah. Pertama, tuntutan siswa
akseleran untuk berprestasi dalam bidang akademik tentunya akan membuat

39

mereka kekurangan waktu untuk beraktivitas dengan teman sebaya. Dengan kata
lain tuntutan belajar lebih cepat akan mengorbankan masa kanak-kanaknya demi
kemajuan akademis. Kedua, siswa akseleran akan kehilangan kesempatan untuk
melakukan aktivitas sosial penting yang tepat pada usianya. Hal ini menyebabkan
mereka kehilangan kesempatan tersebut dan akan mengarahkannya dalam social
maladjustment selaku orang dewasa kelak. Mereka akan mengalami hambatan

dalam bergaul dengan teman sebayanya. Ketiga, Siswa yang mengalami sedikit
kesempatan untuk membentuk persahabatan pada masanya akan menjadi terasing
atau agresif terhadap orang lain.
Keterampilan sosial merupakan kemampuan penting yang harus dimiliki
seseorang untuk membantu menjalankan aktivitas di lingkungan sosial yang
ditentukan dari proses belajar, tingkat intelektual untuk menghindari perilaku
maladaptif, dan permasalahan sosial (Smiroldo & Bamburg, dalam Matson 2002).
Siswa yang memiliki keterampilan sosial yang baik akan mampu mengingat,
mengirimkan, dan mengatur informasi-informasi verbal dan non verbal dalam
melakukan interaksi sosial yang positif dan adaptif (Riggio, 1986).
Social Skill Training (SST) adalah salah satu intervensi dengan teknik

modifikasi perilaku yang didasarkan pada prinsip-prinsip bermain peran, praktek,
dan umpan balik guna meningkatkan keterampilan sosial bagi individu yang sulit
berinteraksi, dan mengalami social phobia (Stuart, 2009; Vacarolis, 2010; Kneisl,
2004). SST merupakan modalitas pendidikan yang telah digunakan secara luas di
sekolah. SST termasuk pelatihan untuk keterampilan komunikasi secara asertif,
psikososial atau pelatihan keterampilan antar pribadi, keterampilan berhubungan

40

secara sosial, independen dan keterampilan hidup bermasyarakat, dan pemecahan
masalah sosial (Cornish & Ross, 2004). Keterampilan sosial siswa akselerasi akan
mempengaruhi kemampuan siswa

akselerasi

tersebut

dalam melakukan

penyesuaian sosial (Hurlock, 1999; Allen dan Hauser, dalam Doyle dan Moretti,
2000; Elksnin dan Elksnin, dalam Adiyanti, 1999).
Penyesuaian sosial penting bagi siswa dalam menjalani tantangan hidup
bermasyarakat bahkan pada dunia kerja kelak saat siswa akseleran dewasa.
Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai kemampuan atau
kapasitas yang dimiliki individu untuk bereaksi secara efektif dan wajar terhadap
realita, situasi, dan hubungan sosial sehingga tuntutan hidup bermasyarakat
terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Dengan kata lain
dengan penyesuaian sosial yang baik, individu akan mampu hidup bermasayarakat
dengan seimbang dan harmonis. Namun tidak semua individu memiliki
kemampuan penyesuaian sosial yang baik. Kemampuan penyesuaian sosial
seseorang dipengaruhi oleh proses perkembangan, dimana seseorang belajar polapola penyesuaian sosial melalui belajar dan pengalaman (Schneiders, 1964).
Lingkungan masyarakat dan teman sebaya merupakan tempat individu bergerak,
bergaul dan melakukan peran sosial yang akan menjadi sarana bagi individu untuk
belajar menyesuiankan diri dan memahani harapan-harapan lingkungan. Selain
itu, sekolah juga mempunyai peran yang penting dalam menentukan pola
penyesuaian siswa. Sekolah adalah lingkungan sosial yang kedua yang banyak
berdampak pada siswa. Namun bagi siswa akseleraran yang dituntut secara
akademis maka sekolah hanyalah tempat belajar untuk mencapai nilai akademis

41

saja dan kesempatan siswa kaseleran untuk berinteraksi juga sangat terbatas.
Apalagi adanya pelabelan sebagai kelas khusus, yaitu kelas akselerasi membuat
mereka hanya berinteraksi dengan teman-teman sekelasnya.
E.

Paradigma Penelitian
Siswa SD
Akselerasi

Kekurangan
waktu
beraktivitas
dengan
teman
sebaya

Kehilangan
aktivitas sosial
yang penting
dalam usia
sebenarnya

Sedikit
kesempatan
untuk
membentuk
persahabatan

Penyesuaian Sosial Rendah

Intervensi
Social Skill Training (SST)
1. Emotional
Expressivity
(EE)
2. Emotional Sensitivity (ES)
3. Emotional Control (EC)
4. Social Expressivity (SE)
5. Social Sensitivity (SS)
6. Social Control (SC)

Apakah SST efektif dalam
meningkatkan kemampuan
penyesuaian sosial siswa SD
Akselerasi

Gambar 2.1 Paradikma Penelitian

42

F.

Hipotesis
Berdasarkan penjelasan di atas maka hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini adalah Social Skill Training (SST) efektif untuk meningkatkan
kemampuan penyesuaian sosial siswa SD Akselerasi.