Social Skill Training (SST) Untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Pada Anak Autistic Spectrum Disorder (ASD)
SOCIAL SKILL TRAINING (SST) UNTUK MENINGKATKAN
KETERAMPILAN SOSIAL PADA ANAK AUTISTIC
SPECTRUM DISORDER (ASD)
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Magister Psikologi Profesi
Oleh
WINIDA MARPAUNG
117029015
MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI
KEKHUSUSAN KLINIS ANAK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh
Nama : Winida Marpaung
NIM : 117029015
Kekhususan : Psikologi Klinis Anak
Judul Tesis : Social Skill Training (SST) Untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Pada Anak Autistic Spectrum Disorder (ASD).
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada kekhususan Psikologi Klinis Anak Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, dihadapan para dewan penguji
DEWAN PENGUJI
Penguji I/ Pembimbing : Elvi Andriani, M.Si, psikolog [ ] NIP 196405232000032001
Penguji II : Eka Ervika, M.Si, psikolog [ ] NIP 197710142002122001
Medan, 14 Mei 2014
Koordinator Program Pasca Sarjana Dekan Fakultas Psikologi USU Fakultas Psikologi USU
Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si, psikolog Prof. Dr. Irmawati, psikolog
(3)
LEMBAR PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sesungguh-sungguhnya bahwa tesis yang saya susun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Psikologi dari Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara adalah hasil karya saya sendiri.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis saya yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam tesis ini, saya bersedia menerima sanksi lainnya dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, 8 Mei 2014
Winida Marpaung NIM 117029015
(4)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan atas kuasa dan penyertaanNya kepada penulis dalam mengerjakan dan menyelesaikan tesis ini. Peyusunan tesis dengan judul “Social Skill Training (SST) Untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Pada Anak Autistic Spectrum Disorder (ASD)” dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Ucapan terimakasih yang tidak ternilai kepada kedua orangtua Ir. Selwin Marpaung dan Parida Panggabean atas doa, dukungan moril dan materil, serta bimbingan yang diberikan kepada saya dalam proses pengerjaan tesis ini. Juga kepada kedua adik yang sangat saya sayangi Virdoan Marpaung, SP dan Lia Pontina Marpaung, Amd yang terbagi waktunya untuk menemani saya dalam mengerjakan tesis ini. Dukungan dan doa yang diberikan memberi kekuatan dan semangat bagi penulis.
Penulis menyadari bahwa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa awal perkuliahan hingga pada penyusunan tesis ini, sehingga penulis ingin berterima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M. Si selaku dekan Fakultas Psikologi.
2. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, Psikolog selaku koordinator program Magister Psikologi Profesi dan selaku dosen Departemen Klinis Anak atas ilmu dan bimbingan untuk dapat menyelesaikan tesis ini sebaik-baiknya.
(5)
3. Ibu Elvi Andriani, M.Si, Psikolog selaku dosen pembimbing atas ilmu, saran, bantuan, nasehat, dan dukungan dalam mengerjakan tesis ini, serta berbagai kesempatan yang diberikan di luar bangku kuliah dalam mengaplikasikan ilmu.
4. Ibu Eka Ervika, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing akademik dan penguji tesis, terimakasih atas saran, ilmu dan dorongan yang diberikan kepada saya.
5. Ibu Etty Rahmawaty, M.Si selaku dosen psikometri dan statistika yang memberi masukan dan bimbingannya.
6. Keluarga besar saya kedua Oppung yang masih memberikan doa dan dukungannnya di tengah-tengah kondisi kesehatan yang kurang baik. Kepada Bou Trisna terimakasih atas arahan dan bantuannya mengerjakan tesis ini, serta Bou Helmina yang sudah disibukkan untuk membantu mencari informasi mengenai subjek penelitian. Serta kepada Pak tua, Mak tua, Pak uda dan inanguda, Bou Nur, Dame, dan Bou Man, Tante, Tulang dan Nantulang atas dukungan dan bimbingan yang diberikan.
7. Rahmat Putra Warman Girsang yang menjadi kekasih dan teman berbagi banyak hal dan berjuang bersama. Terimakasih buat semangat, doa, ilmu, dan bimbingan selama proses perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini. Tetap semangat dan optimis mengerjakan tesis dan cita-citanya, Tuhan menyertaimu.
(6)
8. Sahabat terdekatku Eva, Tutik, Grace, Ichin, Fenny, May, dan Joselin terimakasih buat waktu yang kalian berikan serta memberikan semangat untuk mengerjakan tesis ini.
9. Alm. Citra Mustika yang telah menjadi kakak yang baik dan pengertian, penuh semangat dan teladan baik lainnya. Terimakasih kakak buat kebersamaan yang pernah kita rasakan.
10. Teman-teman KLAbers angkatan 2011 ada Kak Nila Anggreiny yang sudah memberikan waktu untuk memperhatikan kami, mengontrol, memberi semangat dan nasihat untuk kebaikan penulis dan pengerjaan tesis, Yulinda Septiani Manurung yang menjadi teman berbagi selama perkuliahan dan pengerjaan tesis, serta teladan baik yang dapat dijadikan contoh bagi penulis. Ayu Wardani yang membantu dengan keceriaan, kesabaran, dan kelembutannya, Rahma Mutiah sebagai teman berbagi, pemberi semangat, dan bimbingan, Septi Mayang Sari dengan keuletan dan semangat yang besar memberi pengaruh yang baik kepada kami, serta Bang Nasri Zulhaidi sebagai abang yang memberi arahan dan semangat buat adik-adiknya. Terimakasih sudah menjadi bagian dari hidup penulis, berbagi keceriaan dan kesedihan, menceritakan mimpi dan cita-cita bersama. Kiranya Tuhan menyertai kita semua di dunia profesi nantinya. 11. Teman-teman MP2 angkatan 2011 Kak Ema, Ulfa, Kiki, Bang Irvan,
David terimakasih untuk kebersamaannya. Tetap semangat mengejar mimpinya.
(7)
12. Terimakasih buat Yustian Sinaga yang menjadi teman penulis untuk diskusi mengenai metode penelitian tesis. Terimakasih atas ilmu dan dukungan yang diberikan.
13. Terimakasih buat teman-teman dan adik-adik yang membantu dalam mengambil data penelitian tesis. Dini Lestari sebagai observer yang membantu penelitian ini dengan kelembutan dan kreativitasnya, Lia Susanti dan Susi Bancin dengan semangat, doa, dan sarannya. Terimakasih buat kerjasamanya dan kebersamaan selama proses pengambilan data. 14. Adik-adik UKM KMK USU Fakultas Psikologi, Erni, Tetty, Vivin, Rani
Monika, Hitler, Rini, Ita dan adik-adik lainnya. Terimakasih buat doa dan dukungan yang diberikan. Terimakasih juga buat teman KTB Bang Frans Judea, Sam Oliver, Yoland, dan Floreni terimakasih buat waktu berbagi selama perkuliahan dan doa dalam penyelesaian tesis ini.
15. Semua klien dan orang tua klien mulai dari penyelesaian kasus hingga tesis yang sangat memberikan pelajaran berarti bagi penulis berusaha pantang menyerah dan bersyukur terhadap semua kelebihan dan keterbatasan yang diberikanNya.
16. Terima Kasih juga penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas dukungan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Akhir kata, penulis berharap agar Tuhan dapat membalas segala kebaikan saudara-saudara semuanya. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum cukup sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
(8)
untuk kesempurnaan penelitian ini serta penulis berharap kiranya hasil dari penelitian ini nantinya akan bermanfaat bagi perkembangan dunia psikologi khususnya di bidang klinis anak.
Medan, 8 Mei 2014 Penulis Winida Marpaung
(9)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
ABSTRAK ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Manfaat Penelitian ... 13
E. Sistematika Penelitian ... 15
BAB II LANDASAN TEORI ... 16
A. Keterampilan Sosial. ... 16
1. Defenisi Keterampilan Sosial ... 16
2. Ciri Keterampilan Sosial Anak Autistic Spectrum Disorder (ASD) ... 17
3. Aspek Keterampilan Sosial Anak ASD ... 18
B. Autistic Spectrum Disorder (ASD... 21
1. Pengertian Autistic Spectrum Disorder (ASD) ... 21
2. Kriteria Diagnostik ASD ... 24
3. Perkembangan Anak ASD ... 26
4. Jenis Terapi Untuk Anak ASD ... 28
C. Social Skill Training (SST) ... 30
1. Pengertian SST ... 30
2. Konsep Teori Dalam Program SST ... 33
(10)
4. Tahapan Pelaksanaan SST ... 38
D. Paradigma... 40
E. SST Untuk Membentuk keterampilan Sosial Anak ASD ... 41
F. Hipotesa ... 44
BAB III METODE PENELITIAN ... 45
A. Rancangan Penelitian ... 45
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 46
C. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 46
D. Subjek Penelitian Dan Lokasi ... 47
1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 47
2. Lokasi Penelitian ... 48
3. Metode Pengumpulan Data ... 48
E. Tahap Penelitian ... 51
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 51
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 53
F. Kriteria Keberhasilan Program Intervensi ... 59
BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 61
A. Pemaparan Subjek I ... 61
1. Data Diri Subjek ... 61
2. Deskripsi Subjek 1 ... 61
3. Hasil Wawancara ... 63
4. Analisi Data Fase Baseline ... 65
a. Tempat, Waktu, dan Jumlah pengambilan Baseline ... 65
b. Hasil Pelaksanaan Baseline subjek I ... 66
5. Perbandingan Perkembangan Keterampilan Sosial Pada pretest, intervensi, dan posttest ... 75
B. Pemaparan Subjek II ... 86
1. Identitas Subjek II ... 86
2. Deskripsi Subjek 1 ... 86
3. Hasil Wawancara ... 90
(11)
a. Tempat, Waktu, dan Jumlah pengambilan Baseline ... 92
b. Hasil Pelaksanaan Baseline subjek II ... 93
5. Perbandingan Perkembangan Keterampilan Sosial Pada pretest, intervensi, dan posttest subjek II ... 101
C. Pembahasan ... 116
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 124
A. Kesimpulan ... 124
B. Saran ... 126
DAFTAR PUSTAKA ... 128
LAMPIRAN ... 132
Lampiran A ... 132
Lampiran B. Tabel Perbandingan Pre Test, Treatment, dan post test 140 Lampiran C. Latihan ... 155
(12)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Paradigma ... 40
Gambar 2: Gambaran Hasil Baseline dari subjek I ... 74
Gambar 3: Gambaran Subjek I Setelah Intervensi ... 85
Gambar 4: Gambaran Hasil Baseline dari subjek II ... 100
(13)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Level Klasifikasi ASD ... 22
Tabel 2.2 Perbedaan Perkembangan anak ASD ... 26
Tabel 3.3 Metode Pemgumpulan Data ... 49
Tabel 3.4 Pelaksanaan Program Social Skill Training (SST) ... 55
Tabel 3.5 Kegiatan Yang dilakukan kepada Orangtua dan guru ... 57
Tabel 3.6 Kegiatan SST meningkatkan keterampilan sosial anak ASD ... 57
Tabel 4.7 Data Diri Subjek I ... 61
Tabel 4.8 Hasil Baseline subjek I ... 72
Tabel 4.9 Data Diri Subjek II ... 86
(14)
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1: Perbandingan Perkembangan keterampilan sosial subjek I ... 75 Grafik 2: Perbandingan Perkembangan keterampilan sosial subjek II ... 101
(15)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semua orangtua mendambakan agar anaknya dapat terlibat aktif di lingkungan sosial bersama teman-teman sebaya. Banyak aktivitas sosial yang mereka dapat lakukan, seperti bermain bersama, menyelesaikan permasalahannya secara bersama, memiliki sahabat dekat yang dapat memberi dukungan ketika ia mendapat masalah, atau melakukan hobi. Kegiatan tersebut pastinya sangat menyenangkan bagi semua anak, namun apa yang dipikirkan atau dirasakan anak ketika ia tidak dapat melakukan aktivitas sosial tersebut seperti anak normal lainnya. Mereka tidak ingin menghindar atau menolak orang lain untuk bermain, atau membiarkan temannya menangis, tidak memberi perlawanan ketika teman-temannya membully, dan ciri lainnya yang muncul begitu saja dalam aktivitas mereka sehari-hari. Secara umum kondisi di atas menunjukkan sebagian kecil gambaran mengenai anak autistic spectrum disorder (ASD). Gambaran tersebut menimbulkan banyaknya pertanyaan dan tanggapan masyarakat umum terkait permasalahan anak autistic spectrum disorder (ASD).
Secara terminologi autistic spectrum disorder (ASD) disebut pervasive developmental disorder jika berdasarkan Diagnostic and statistical Manual Of Mental (DSM) Disorder IV TR (APA 2004). Beberapa ciri terlihat pada anak yang mengalami gangguan pervasive Developmental Disorder (PDD), seperti terhambatnya kemampuan keterampilan interaksi sosial atau munculnya perilaku
(16)
stereotype, memiliki ketertarikan terbatas pada objek, dan aktivitas tertentu. Adapun jenis gangguan yang berhubungan dengan pervasive developmental disorder, antara lain; Autistic Spectrum Disorder, Ret’s Disorder, Childhood Disintegrative Disorder, Asperger Disorder, dan Pervasive Developmental Disorder NOS (PDD NOS). Perbedaan gangguan ditentukan berdasarkan munculnya keterhambatan perkembangan di setiap usia dan kriteria perkembangan anak. PDD dapat terlihat jelas di tahun pertama usia anak dan sering dihubungkan dengan mental retardation. Hal ini disebabkan karena anak PDD sama dengan anak normal lainnya yaitu memiliki perbedaan kapasitas intelektual (APA, 2004).
Sebutan Pervasive developmental disorder (PDD) menjadi autistic spectrum disorder berubah sejak dilakukannya revisi terhadap Diagnostic and statistical Manual Of Mental (DSM) Disorder IV TR (APA, 2004) menjadi Diagnostic and statistical Manual Of Mental (DSM) Disorder V (Atchison, Ben J & Dirett, 2012). Semua yang termasuk ke dalam golongan PDD, yaitu Autistic Spectrum Disorder, Ret’s Disorder, Childhood Disintegrative Disorder, Asperger Disorder, dan Pervasive Developmental Disorder NOS (PDD NOS) disatukan menjadi satu spektrum, yaitu autistic spectrum disorder (ASD). Berdasarkan DSM V, ASD didiagnosa ke dalam dua ranah yaitu mengalami keterhambatan komunikasi sosial (deficit in social communication), minat yang terbatas, dan perilaku berulang (Fixated interest and repetitive behavior). Melihat tingkat keparahan ASD, diagnosa ASD juga ditentukan berdasarkan kontinum derajat keparahan ASD yang terdiri dari level 1 hingga level 3, yaitu bergerak dari tingkat
(17)
gangguan ringan hingga gangguan berat. Tingkatan ini disesuaikan dengan sejauh mana anak membutuhkan dukungan orang lain dalam melakukan tugas perkembangannya, berdasarkan kemampuan komunikasi sosial, serta berdasarkan perilaku anak. Tingkatan ini menunjukkan bahwa ada anak dengan tingkat ASD ringan dan ada pula dengan tingkat gangguan lebih berat (APA, 2013).
Perkembangan ASD begitu pesat sehingga menjadi perhatian khusus masyarakat umum dan profesional. Hingga saat ini belum ada data yang pasti mengenai jumlah anak autistic spectrum disorder di Indonesia. Persentase terlahirnya anak laki-laki dengan ASD lebih besar daripada anak perempuan dengan perbandingan 4:1, anak perempuan terlahir dengan ASD memiliki tingkat keparahan lebih tinggi daripada anak laki-laki. Data dari UNESCO pada tahun 2011, dalam DetikHealth (2012), menjelaskan bahwa terdapat 35 juta orang penyandang ASD di seluruh dunia, sedangkan di Amerika Serikat terdapat 11 dari 1000 orang atau dari 100 kelahiran didiagnosa ASD, seorang diantaranya mengalami ASD. Hal ini menyebabkan di Amerika ASD dikatakan sebagai national alarming. Sementara itu anak dengan ciri-ciri ASD di Indonesia terdiri dari 8 dari 1000 orang anak yang lahir didiagnosa ASD (DetikHealth, 2012). Peningkatan ASD di berbagai negara membuat banyak peneliti yang mencari penyebab utama terjadinya ASD. Walaupun hasilnya masih belum ditemukan penyebab yang jelas mengenai munculnya ASD.
Terdapat beberapa penyebab ASD antara lain; faktor genetik, faktor lingkungan, psikologis, dan faktor neurologis. Faktor genetik diyakini memiliki peranan yang besar bagi penyandang ASD, salah satunya kembar identik atau
(18)
hubungan saudara kandung atau hubungan darah menjadi penyebab utama secara genetik. Faktor neurologis di otak termasuk ketidakseimbangan biokimia. Selain itu berdasarkan teori medis dan penelitian yang dilakukan pada otak orang dengan ASD menunjukkan bahwa adanya ketidakfungsian antara bagian-bagian otak yang disebut korteks serebral, amigdala dan sistem limbik yang menyebabkan anak ASD mengalami respon emosional yang ekstrim ketika rencana atau kegiatan mereka tidak sesuai dengan rutinitas. Faktor lainnya adalah lingkungan. Seseorang dilahirkan dengan kerentanan terhadap ASD, tetapi kondisi berkembang hanya jika orang yang terkena pemicu lingkungan tertentu. Beberapa faktor lingkungan termasuk yang lahir sebelum 35 minggu kehamilan (lahir prematur) dan paparan alkohol atau obat-obatan seperti sodium valproate (obat kadang-kadang digunakan untuk mengobati epilepsi) selama kehamilan
Menurut Diagnostic and statistical Manual Of Mental (DSM) Fifth Edition (DSM V, dalam APA 2013), ASD memiliki ciri mendasar yaitu terhambatnya dalam masalah komunikasi dan interaksi sosial, terhambatnya masalah perilaku, gejala yang muncul mempengaruhi fungsi dalam pekerjaan, sekolah, dan lingkungan sosial lainnya (APA, 2013). Ciri-ciri ini akan dilihat secara nyata dari pengalaman remaja penyandang ASD, seperti yang dialami J ketika merefleksikan caranya yang berbeda dalam berkomunikasi dan berperilaku di masa lampau. J menceritakan pengalamannya dalam suasana menyenangkan, . Selain itu masalah psikologis yaitu adanya kemampuan seseorang untuk memahami keadaan mental orang lain, mengakui bahwa setiap orang memiliki keinginan personal, keyakinan, perasaan suka dan tidak suka (dalam Choise, NHS 2014).
(19)
yaitu setelah bernyanyi dan tertawa bersama atau bercerita sambil melihat koleksi foto miliknya di ipad. Ia mengambil posisi tubuh yang nyaman sebelum mulai bercerita;
“Waktu masih kecil mama yang mengajar J berbicara. Memulainnya dengan belajar bahasa Inggris. Mama mengatakan bahasa Inggris struktur kalimatnya lebih mudah dimengerti dan jelas. Setelah J bisa berbicara, mama mengajarkannya bahasa Indonesia. J senang jika ada teman yang minta ajak sharing, memberikan pendapat, saran, dan mendengarkan. Dalam hal mengungkapkan perasaan J mengalami kesulitan untuk mengungkapkan perasaan sedih. J hanya akan menggambar di kertas. Jika mengungkapkan perasaan lainnya J lebih mudah mengungkapkannya misalnya marah, tidak suka, atau menginginkan sesuatu. Sedangkan perasaan sedih, sakit, atau bosan belum bisa mengatakannya secara langsung (Komunikasi interpersonal, Juli 2013).
Selain itu J tidak mampu menggunakan kata nonbaku. J akan sulit mengartikan kata “muka” dengan “wajah” ketika konteks pembicaraan mengenai pembersih wajah. Selain itu J akan sulit mengartikan kata “buatin” (dalam bahasa nonbaku) yang artinya adalah membuat. Pemahaman mereka mengenai kata “membuat” pada kata “buatin” akan diartikan oleh J sebagai panggilan kepada “bu Atin”. Mengulang kata (echollali) akan muncul pada J jika ia sedang melanggar diet, pada saat pemulihan dari sakit demam, atau sedang cemas (Observasi, Oktober 2013).
Kemampuan komunikasi J tergolong rata-rata, ia memiliki perbendaharaan kata yang cukup baik dan pola bahasa yang mudah dimengerti orang lain. Walaupun mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia nonbaku. J lebih mudah berbicara jika menggunakan bahasa daerah, Mandarin, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia yaitu menggunakan kata baku. J lebih mudah melakukan komunikasi ekspresif, seperti mengungkapkan perasaan takut,
(20)
marah, atau senang secara langsung dan spontan tanpa melihat situasi sosial. Berbeda halnya ketika J mengungkapkan perasaan sedih, bosan, dan sakit. Biasanya J akan mengungkapkan perasaannya dengan perilaku impulsif, misalnya jalan berulang-ulang, menggigit tangan, tidak makan ketika sedih, bersembunyi jika takut, dan menggunakan gesture ketika sakit dan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan perasaan sedih, sakit, dan bosan. Berdasarkan komunikasi N (inisial nama pengasuh J), mengungkapkan bagaimana ia sulit mengatakan bahwa ia sedang merasa sedih;
“Ms, J sudah 3 hari ini menangis kalau tidur sambil memanggil “aunt...aunt..” dibangunin J gak mau bangun. J pulas sekali tidurnya. Sepertinya J mimpi. Kemarin saya tanya kepada J, katanya “aunt meninggal karena Leukimia” begitu saja. Tapi wajahnya datar aja Ms, tidak kelihatan sedih hanya saja marah karena J tidak diberitahu jika aunt sakit” (komunikasi interpersonal, 12 oktober).
Berdasarkan komunikasi di atas menunjukkan bahwa J merasakan kehilangan, sedih, dan ia memahami konsep meninggal. J paham meninggal adalah pergi kepada Tuhan dan tidak akan bertemu dengan manusia di dunia. J tidak dapat mengekspresikan perasaan sedih yang ia rasakan secara spontan seperti anak lainnya. J hanya mampu merasakan kesedihan di dalam hatinya. Selain masalah kemampuan komunikasi, ciri lain yang terlihat pada anak ASD adalah kemampuan interaksi sosial. Anak ASD mengalami kesulitan untuk melakukan interaksi dengan orang lain seperti anak normal lainnya. Hal ini dapat terlihat dari komunikasi interpersonal yang dilakukan kepada J:
“ Sewaktu SD teman J ada yang menangis, lalu J tertawa karena melihat wajahnya yang lucu. Teman J menjadi marah dan tambah menangis. J tertawa karena wajahnya lucu dan matanya kena cabe (maksudnya adalah karena mata terlihat merah dan mengeluarkan air mata). Guru marah
(21)
memiliki empati dengan orang lain miss? (sambil melihat ke arah peneliti). Besoknya J minta maaf kepada teman J dan mengatakan kamu lucu ketika menangis, tidak perlu menangis lagi ya” (Komunikasi personal, Oktober 2013).
Kesulitan memahami emosi orang lain merupakan salah satu komponen keterampilan sosial. Pada kasus J, ia mengalami kesulitan memahami bahwa ketika melihat orang bersedih reaksi yang ia tunjukan adalah tidak menertawainya melainkan ikut merasakan kesedihannya. J kurang paham mengenai dampak perilakunya ketika ia menertawai orang yang sedang menangis, seperti marah atau kecewa. Situasi tersebut bisa saja muncul pada situasi lainnya yang tidak memahami kondisi J sehingga menimbulkan permasalahan baru bagi orang disekitarnya.
Keterbatasan keterampilan sosial anak ASD berkaitan dalam memproses informasi emosi sosial, seperti ekspresi emosi, suara, dan ekspresi wajah. Perbedaan antara tuntutan sosial dan informasi yang mereka miliki akan memberi arti yang berbeda, seperti mengatakan “beruang” pada orang yang memiliki bentuk tubuh yang gemuk. Ia tidak menyadari jika mengatakan “beruang” akan membuat orang lain marah atau berkecil hati. Mereka mengalami kesulitan untuk memahami makna kata “tersinggung” secara normal, sehingga efeknya tidak membuat mereka merasa bersalah ketika melakukan kesalahan kepada orang lain. Istilah di atas disebut sebagai processing social-emotional information, yaitu mengalami kesulitan untuk melakukan proses informasi yang berkaitan dengan hubungan sosial dan emosional (Bellini, 2011).
Keterampilan sosial berpengaruh terhadap keterampilan hidup seseorang, dengan kata lain keterhambatan sosial lebih besar daripada kognitif, artinya bahwa
(22)
“tingginya kemampuan kognitif tidak menentukan bahwa kemampuan sosial berfungsi lebih baik”. Perbedaan antara keterampilan kognitif dan sosial dapat dilihat pada kemampuan anak ASD berdasarkan tingkat keparahan anak (McConnel, dalam Feng 2008)
Kesamaan antara visual scan ketika melihat adegan sosial dan mengidentifikasi emosi, maka akan muncul kembali ingatan tersebut baik dalam bentuk perilaku maupun ekspresi wajah. Sebagai contoh, seorang anak ASD pernah melihat film animasi, dimana salah satu pemeran film melempar pizza dan menyentuh wajah temannya. Anak ASD yang melihatnya akan tertawa tidak henti-hentinya. Setelah menonton film anak akan tertawa walaupun tanpa menonton film tersebut. Di hari yang berbeda anak akan melempar pizza kepada temannya tanpa merasa bersalah dan rasa takut. Ia menonton dan mempraktekkan kepada teman-temannya karena adanya disfungsi kognitif yang terbentuk walaupun tidak berfungsi baik dalam penerapannya secara sosial (Feng, H 2008).
. Menurut DSM V (APA, 2013) anak ASD memiliki tingkatan keberfungsian yang lebih baik digolongkan ke dalam level 1. Anak memiliki kemampuan dasar keterampilan sosial, seperti terhambatnya komunikasi sosial anak, kesulitan mengawali interaksi sosial, sulit mempertahankan hubungan, dan tampak penurunan minat dalam interaksi sosial. Jelas bahwa anak ASD level 1 akan menerima manfaat untuk meningkatkan fungsi sosial kognitif dengan melatih dan membangun hubungan sosial secara positif
Disfungsi kognitif mengacu pada kesulitan aktivitas memori, perhatian, perencanaan, fleksibilitas mental, atau self-monitoring adalah permasalahan yang
(23)
terjadi pada bagian kognitif ASD. Berdasarkan disfungsi ini muncul perasaan malu dan mental yang relatif lebih kaku pada anak ASD yang menyebabkan munculnya perilaku dan emosi yang tidak dapat terkendali, dan perilaku repetitif (berulang-ulang), terbatasnya komunikasi sosial, dan kemampuan sosial yang tidak tepat (Sparks & B.F & Friedman, 2007). Perilaku yang muncul ketika berada di situasi sosial, seorang anak ASD sulit mengontrol emosi dan perilaku ketika melihat wanita memiliki berat badan gemuk. Di bawah ini akan digambarkan bagaimana J (yang merupakan remaja ASD) tidak dapat menyesuaikan perilakunya dengan baik (Observasi yang dilakukan kepada J);
Ketika melihat postur tubuh yang demikian J mengatakan bahwa “Wanita itu seperti balon dan perutnya seperti membawa helm” di dekat orang yang bersangkutan. Selain itu J tidak mengetahui bagaimana menempatkan diri ketika bertemu dengan orang lain yang memiliki tahi lalat besar dipipinya dan dengan spontan mengatakan “ ibu kenapa wajahnya dicoret-coret memakai spidol?”, “Ibu harus pulang segera ke rumah dan hapus coretan yang dipipi ibu!” (Observasi, Juli 2013).
J akan marah jika tidak memenangkan permainan atau gagal. Ia akan memukul ipad atau melempar barang yang ada di tangannya. Jika ia salah menjawab, J juga akan menggigit tangan atau memukul kepalanya dengan kuat. J akan berusaha hingga ia dapat memenangkan permainan dengan baik.
Perilaku J menunjukkan bagaimana ia mengalami kesulitan ketika menstrukturisasikan pikiran menjadi perilaku sesuai dengan aturan sosial yang berlaku. Hal ini juga menyebabkan anak ASD sulit untuk mendemonstrasikan keinginannya, sulit untuk mengontrol emosi, dan perilakunya pada situasi yang tepat. Kesulitan untuk menerima kekalahan dan berusaha mengerjakan tugas hingga berhasil. Salah satu faktor utamanya adalah adanya perilaku repetitif dan impulsif, yaitu mendorong anak untuk bertindak sesuai dengan keinginannya.
(24)
Menurut Vollmer, Barrero, Lalli, Daniel (dalam Matson, 2011) menemukan bahwa adanya hubungan antara perilaku impulsif dengan kontrol diri yang berpengaruh terhadap fungsi sosial anak. Beberapa aktivitas sosial yang dilakukan masyarakat pada umumnya tidak memiliki pedoman yang jelas, sering dilakukan secara spontan, imajinatif, abstrak dan tidak terorganisir. Sementara anak-anak dengan permasalahan ASD memiliki cara yang berbeda. Mereka akan mengalami kebingungan bermain ketika aturan permainan diubah, anak akan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan aturan baru dan mengakibatkan muncul perilaku negatif seperti menyakiti diri sendiri dan orang lain (Phimley, 2007).
Pemahaman situasi sosial dan reaksi emosi anak ASD dengan kemampuan kognitif rata-rata sampai superior memiliki kemampuan visual scan terhadap objek dan kejadian yang mereka amati dengan baik, sehingga setiap perilaku terekam dengan baik di kognitif. Tanpa memperhatikan penyebab perilaku, objek, ataupun emosi yang muncul. Sulitnya memahami komunikasi reseptif menyebabkan mereka sulit melakukan self monitoring sehingga memberi dampak negatif pada interaksi sosial anak ASD. Walaupun kenyataannya anak ASD dapat menunjukkan perubahan perilaku berdasarkan pelatihan atau intervensi yang diberikan kepada mereka dengan baik (Brereton, 2005). Intervensi yang tepat diberikan kepada anak ASD terdiri dari beberapa terapi, seperti memberikan terapi okupasi, biomedical, terapi komunikasi, terapi perilaku seperti social skill training yang diperuntukkan untuk memberikan penanganan permasalahan sosial anak. Oleh karena itu, social skill training merupakan aspek penting dari perencanaan
(25)
intervensi yang disesuaikan dengan perkembangan anak untuk melatih keterampilan sosial yang lebih kompleks (dalam Turkington & Anan 2007)
Adapun tujuan social skill training adalah untuk membantu anak melakukan keterampilan sosial di keluarga, sekolah, dan lingkungan umum lainnya, membantu anak dalam melakukan pemecahan masalah, dan mengembangkan intelektual emosional fisik yang diperlukan untuk hidup, belajar, dan bekerja di masyarakat. SST salah satu pendekatan yang efektif untuk melatih kemampuan keterampilan sosial anak ASD (McConnel, dalam Feng 2008). Dimana SST memiliki komponen instruksi yang penting, terdiri dari pembukaan dan defenisi keterampilan, identifikasi keterampilan secara rasional, menggunakan modeling, panduan praktis, memiliki feedback, dan aplikasi keterampilan dalam situasi kehidupan nyata yang sesuai dengan kondisi anak ASD (Bauminger, 2002; Roeyers, 1996; Webb Miller et all, dalam Feng 2008).
Secara umum SST terdiri dari berbagai keterampilan sosial yang kompleks antara lain kemampuan komunikasi, kemampuan memecahkan masalah, asertif, hubungan dengan teman sebaya, interaksi dalam kelompok, dan kemampuan manajemen diri (Kolb & Hanley-Maxwell, 2003, dalam Gooding 2011). Beberapa penelitian mengadopsi keterampilan sosial yang sama hanya saja diformulasikan ke dalam bentuk yang berbeda, namun memiliki arti yang sama yaitu social reciprocity, social participation, detrimental behavior sosial.
Program SST menunjukkan efektivitas yang tinggi yaitu berkisar antara 60-70% tingkat keberhasilannya untuk meningkatkan keterampilan sosial (Ang&Hughes, 2001, Beelman et al, 1994, dalam Gooding 2011). Pada literatur
(26)
Gresham, Cook, Crews, dan Kern (2004) menemukan 2-3 anak dari 5 anak dengan emotional dan behavior disorder berhasil ditangani dengan menggunakan SST. SST dapat digunakan untuk menangani gangguan emosional, perilaku di sekolah dan sosial, perilaku conduct, anak dengan emotional distress, meningkatkan kepercayaan diri anak social phobia, membantu anak handicape berfungsi dengan baik di lingkungan sosial, dan salah satunya penanganan kepada anak dengan masalah perkembangan pervasif. Selain itu SST memiliki ruang lingkup yang luas, selain berguna untuk bidang klinis, SST juga bermanfaat di bidang medis, industri, dan pendidikan. Berdasarkan penjelasan di atas, SST memiliki manfaat yang besar bagi banyak orang dan telah diuji efektivitasnya.
Ada beberapa metode intervensi yang dapat dilakukan dengan menggunakan social skill training antara lain; social stories, peer-mediated interventions, scripts and script fading, social skills group, video modeling (Gray, dalam Matson 2011). SST merupakan salah satu jenis intervensi yang digunakan untuk melatih kemampuan interaksi sosial khususnya community skill. Menurut Matson (2011), Community skill terdiri dari conversational skill, play skill, understanding emotions, dealing with conflict, dan friendship skill. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya menjelaskan bahwa social skill training dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan sosial ASD (Sparrow, dalam Reichow 2010). Hasil meta analisis dalam kajian ini menunjukkan bahwa subjek dengan kelompok keterampilan sosial mengalami peningkatan dalam kompetensi sosial, memiliki hubungan persahabatan yang lebih baik, dan mengalami interaksi
(27)
sosial. Hal inilah yang mendasari penelitian ini yaitu ingin melihat apakah social skill training dapat meningkatkan keterampilan sosial anak ASD.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan fenomena pada latar belakang masalah, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana Social Skill Training dalam meningkatkan Keterampilan Sosial Anak Autistic Spectrum Disorder (ASD)?”
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka tujuan dari penelitian adalah:
1. Melihat Efektivitas Social Skill Training dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial Anak Autistic Spectrum Disorder (ASD).
2. Memperoleh gambaran perkembangan keterampilan sosial berdasarkan dimensi keterampilan sosial anak ASD, yaitu conversational skill, play skill, friendship skill, understanding emotion, dan dealing with conflict.
D. Manfaat Penelitian
1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Psikologi Klinis Anak
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai aplikasi nyata psikologi klinis anak terkait penerapan program Social Skill Trainingdalam upaya untuk meningkatkan keterampilan sosial anak, khususnya pada anak Autistic spectrum Disorder (ASD).
(28)
2. Perkembangan Pelayanan Psikologi
Hasil penelitian social Skill Training (SST) ini kiranya dapat menjadi acuan atau program terapi untuk membantu dalam penanganan anak Autistic Spectrum Disorder (ASD) sebagai cara untuk meningkatkan keterampilan sosial anak.
3. Dunia Pendidikan
Hasil penelitian social skill training (SST) dapat berguna untuk mengembangkan keterampilan sosial anak sekolah melalui rancangan program pendidikan atau kurikulum sekolah. Selain itu menggunakan acuan penelitian ini untuk menerapkan metode belajar inklusi di sekolah serta menanamkan rasa persahabatan dan penerimaan anak normal kepada anak berkebutuhan khusus.
4. Perkembangan Riset Psikologi
Manfaat penelitian lainnya adalah sebagai dasar pengembangan riset psikologi. Penelitian ini akan menghasilkan gambaran efektivitas social skill training pada anak dengan masalah pada keterampilan sosial. pengembangan riset psikologi yang dilakukan akan meningkatkan kemampuan dan keterampilan psikolog dalam memberikan arahan dan bimbingan kepada para orangtua atau terapis anak Autistic Spectrum Disorder (ASD) untuk meningkatkan keterampilan sosial anak. Selain itu dapat digunakan sebagai terapi dalam penanganan keterampilan sosial anak Autistic Spectrum Disorder (ASD).
(29)
E. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan
Berisikan uraian mengenai latarbelakang permasalahan, perumusan, masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Kajian yang diperoleh dari penelaaan pustaka meliputi kajian literatur dan hal-hal yang terkait Social Skill Training Autistic Spectrum Disorder (ASD), dan keterampilan sosial.
Bab III Metode Penelitian
Pada bab ini diuraikan tentang desain penelitian, gambaran subjek penelitian, dan rancangan program intervensi social skill training.
Bab IV Pelaksanaan dan Hasil Penelitian
Berisikan pelaksanaan intervensi, hasil penelitian serta pembahasan hasil penelitian efektivitas Social Skill Training dalam meningkatkan keterampilan sosial. Selanjutnya akan dibahas pula tentang keterbatasan penelitian.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan akan dibahas pula tentang bagaimana implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan dan penelitian
(30)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Keterampilan Sosial
1. Defenisi Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial merupakan kemampuan penting yang harus dimiliki seseorang untuk membantu menjalankan aktivitas di lingkungan sosial yang ditentukan dari proses belajar, tingkat intelektual untuk menghindari perilaku maladaptif, dan permasalahan sosial (Smiroldo&Bamburg, dalam Matson 2002). Sementara itu menurut Weiss & Harris (dalam Matson 2011) keterampilan sosial merupakan cara untuk membangun hubungan yang bermakna dengan orang lain dan memberikan kesuksesan kepada setiap orang dalam bidang sosial, emosional, serta perkembangan kognitif.
Selain itu keterampilan sosial adalah kemampuan khusus yang menyebabkan seseorang dapat mengerjakan tugas sosial khusus secara kompeten (cakap atau terampil). Keterampilan sosial secara umum dapat dipahami sebagai perilaku-perilaku yang diperkuat sesuai dengan usia individu dan situasi sosial yang mengakibatkan penerimaan dan penilaian positif dari orang lain serta tidak mengakibatkan pengaruh buruk bagi perkembangan anak. Keterampilan sosial merupakan keterampilan dengan menggunakan pendekatan kognitif dan behavior, dengan kata lain keterampilan sosial bukan kemampuan yang dibawa lahir melainkan dipelajari (Cotugna, 2009).
(31)
Sementara itu menurut (Keenan et all, 2006) menjelaskan bahwa lingkungan sosial menginginkan setiap orang memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah, membaca situasi, bereaksi dengan tepat, menghasilkan solusi alternatif, dan mempertimbangkan kemungkinan yang terjadi. Keterampilan sosial juga merupakan kompetensi sosial dengan keterampilan sosial yang terukur pada perilaku interpersonal, misalnya membangun kontak mata, tersenyum, bergiliran, dan membangun kompetensi sosial.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial adalah keterampilan penting yang harus dimiliki oleh seseorang untuk membantu menjalankan aktivitas di lingkungan sosial, serta cakap atau terampil mengerjakan tugas sosial yang ditentukan dari proses belajar, kapasitas intelektual, dan permasalahan sosial. Selain itu keterampilan sosial tersebut bertujuan untuk membentuk perilaku spesifik, inisiatif, agar mampu berinteraksi dengan orang lain untuk menunjukkan perilaku positif sesuai dengan konteks sosial, menjauhi perilaku yang tidak disukai oleh lingkungan, memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah, memahami situasi, dan bereaksi dengan tepat, menghasilkan solusi alternatif, dan mempertimbangkan kemungkinan yang terjadi.
2. Ciri Keterampilan Sosial Pada Anak ASD
Menurut Phimley (2007) ciri keterampilan sosial anak ASD dimana mereka lebih suka melakukan aktivitas individu, sikap acuh tak acuh, ketidakpedulian terhadap orang lain, lebih menunjukkan sikap spontan, penerimaan pasif terhadap kontak sosial, kurang empati, gagal untuk menghargai
(32)
orang lain, rendahnya pemahaman terhadap aturan-aturan sosial, dan tidak dapat mencari kenyamanan di saat tertekan. Ciri keterampilan sosial yang ditampilkan anak ASD berbeda dengan anak normal lainnya. Selain itu Keterampilan sosial merupakan kemampuan sosial anak ASD yang menyebabkan anak berfungsi secara independen dan tidak disebabkan oleh keterbelakangan mental melainkan disebabkan karena kriteria ASD. Anak ASD mengalami keterhambatan komunikasi dan kecenderungan munculnya kemampuan adaptif sosial lebih besar terjadi daripada kemampuan komunikasi. Keterhambatan pada masalah komunikasi menyebabkan anak ASD mengalami masalah dalam menjalin interaksi sosial dengan orang lain (Matson, 2011).
3. Aspek Keterampilan Sosial Anak ASD
Standard Keterampilan sosial pada anak ASD berbeda dengan anak normal lainnya. Menurut Drew&Hardman (dalam Matson 2011) terdapat tiga aspek keterampilan sosial yang dibutuhkan anak ASD antara lain domestic skill, self care skill, dan community skill. Berdasarkan perkembangan masing-masing anak ASD seperti mengajarkan community skill agar anak dilatih untuk dapat berfungsi dengan baik di lingkungan sosial.
Menurut Kroeger & Sorensen Burnworth (dalam Matson 2011) menjelaskan bahwa anak ASD perlu mendapatkan latihan community skill seperti mengajarkan anak menolong orang lain ketika melihat orang lain mengalami masalah atau terjatuh, terluka, atau kesulitan untuk mengikuti pelajaran di sekolah, dan selain itu anak dilatih safety skill. Ketika dalam masyarakat individu dengan ASD menghadapi banyak ancaman yang berisiko terhadap keselamatan
(33)
anak. Ada beberapa hal yang harus dilatih antara lain mengenalkan anggota keluarga terdekat dan teman sekolah. Selebihnya mengajarkan anak tidak berbicara kepada anggota keluarga dan orang lain yang belum dikenal. Keterampilan lainnya adalah mengajarkan sikap anak ketika berbelanja, sikap ketika berada di angkutan umum, di sekolah, di rumah sakit. Ada tahapan yang harus diperhatikan ketika akan melatih keterampilan community skill antara lain mendeteksi usia anak untuk menyesuaikan kebutuhan yang paling mendasar untuk dilatih, tetapkan tujuan atau target dari yang termudah sampai tersulit, menyiapkan metode yang diperlukan untuk menjadi media belajar anak.
Menurut Matson (2011) community skill pada anak ASD memiliki variasi dalam berinteraksi, seperti pada aktivitas anak untuk bermain, berkomunikasi, menjalin persahabatan, memahami emosi seseorang, dan kemampuan dalam mengatasi permasalahan. Keterampilan sosial anak ASD berhubungan dengan kemampuan anak dalam melakukan hubungan dengan orang lain (social reciprocity), seperti berkomunikasi, menjalin hubungan dengan teman sebaya. Selain itu berpartisipasi dengan lingkungan sosial (social participation), seperti melakukan permainan dan mengikuti kegiatan terstruktur dan tidak terstruktur. Kemampuan untuk menyesuaikan perilaku (detrimental behavior social) dengan tuntutan lingkungan sosial juga merupakan salah satu keterampilan sosial yang perlu dipahami oleh anak ASD.
Keterampilan sosial oleh Matson (2011) berkembang ke dalam bentuk dimensi yang lebih spesifik, antara lain adalah:
(34)
a. Conversational skill seperti kemampuan anak mengucapkan salam, ikut serta dalam percakapan, kemampuan verbal, kemampuan mendengar, mampu menentukan topik pembicaraan, mengerti batasan pribadi orang lain, dan mampu mengakhiri percakapan
b. Play skill keterampilan sosial yang terdiri dari kemampuan observasi, kemampuan berbagi, kompromi, mencari solusi dalam penyelesaian masalah, menentukan coping, memiliki kemampuan bermain timbal balik, dan kemampuan mengakhiri permainan.
c. Understanding emotions, seperti mampu membaca ekspresi wajah, mengetahui bahasa tubuh, kualitas suara, tekanan suara, kecepatan berbicara, dan mengatur kata-kata yang tepat sesuai dengan kondisi lingkungan, misalnya menyesuaikan pembicaraan pada situasi sedih atau senang.
d. Dealing with conflict, seperti memiliki kemampuan untuk memanajemen kemarahan, memiliki kemampuan self-regulation, memiliki kemampuan komunikasi seperti kemampuan untuk menolong, kemampuan untuk tetap menjalani situasi stres, bersikap asertif namun tidak agresif, menghindari terjadinya perlakuan bullying.
e. Friendship skill, seperti mengetahui mengenai kondisi teman, berkembangnya kemampuan untuk berbagi dengan teman, dan dapat menghadapi tekanan dalam hubungan berteman.
Berdasarkan penjelasan di atas keterampilan sosial berhubungan dengan kemampuan anak dalam berinteraksi dengan teman-temannya. Adapun
(35)
kemampuan keterampilan sosial yang diperlukan adalah conversational skill (kemampuan mendengar, mampu menentukan topik pembicaraan dan sebagainya), play skill (kemampuan menyelesaikan masalah, menentukan coping, dan memiliki kemampuan bermain timbal balik), understanding emotions (membaca ekspresi wajah, mengetahui bahasa tubuh), dealing with conflict (seperti kemampuan untuk memanajemen kemarahan, kemampuan untuk menolong), friendship skill (kemampuan untuk mengetahui kondisi teman). Setiap anak bisa saja mampu pada salah satu dimensi keterampilan sosial tanpa menguasai dimensi lainnya. Hal ini sesuai dengan proses belajar anak dan kemampuan yang ia miliki.
B. Autistic Spectrum Disorder (ASD)
1. Pengertian Autistic Spectrum Disorder (ASD)
Menurut anak dengan ASD menunjukkan keterlambatan dalam perkembangan. Beberapa anak menunjukkan permasalahan dari proses kelahiran, seperti melakukan kontak mata daripada anak lainnya. Meskipun dalam kasusnya karakteristik ASD dapat dideteksi antara 12 dan 36 bulan dari usia perkembangan dengan alasan, anak dengan ASD progresnya lebih lambat pada beberapa area perkembangan daripada perkembangan khusus anak, kesenjangan keterampilan terajadi ketika anak normal memiliki kemampuan bahasa dan kemampuan sosial (Atcinson, J & Dirett, 2012). Selain itu kerusakan pada otak merupakan salah satu penyebab yang mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensoris, dan kemampuan belajar pada anak.
(36)
Biasanya gejala sudah mulai tampak pada usia di bawah 3 tahun. Selain itu ASD adalah sindrom yang terdiri dari satu set perkembangan dan perilaku yang akan didiagnosis. Ciri ASD mencakup interaksi sosial, keterhambatan komunikasi, bermain dan perilaku (terbatas repetitif dan stereotip pola perilaku, minat, dan aktivitas. Biasanya mereka berperilaku dengan hati-hati dan fokus pada aturan perilaku yang dapat diterima (Brereton, 2002). Berdasarkan Diagnostic and statistical Manual Of Mental (DSM) Disorder V edition (APA, 2013) kapasitas pengelompokan anak ASD tergolong ke dalam level 1 hingga level 3.
Tabel 2.1. Level Untuk Autistic Spectrum Disorder (ASD)
Tingkat
Keparahan Komunikasi Sosial
Perilaku berulang terbatas Level 3 “memerlukan dukungan sangat substansial”
Keterhambatan yang tergolong parah. Sulit dalam keberfungsian komunikasi verbal dan non-verbal yang menyebabkan gangguan komunikasi, keinginan mengawali interaksi sosial yang sangat terbatas, dan tanggapan minimal terhadap ajakan bersosialisasi dari pihak lain. Sebagai contoh, seseorang yang berbicara dengan jelas dengan sedikit kata, jarang megawali interaksi, dan apabila hal tersebut dilakukannya, ia melakukannya dengan cara yang tak lazim untuk pemenuhan kebutuhannya, dan tanggapan hanya pada pendekatan sosial yang sangat langsung.
Perilaku yang tidak fleksibel, kesulitan ekstrim menghadapi perubahan, atau perilaku-perilaku
berulang terbatas jelas
sekali tampak mengganggu
keberfungsian pada semua bidang. Kesulitan besar merubah perhatian dan
(37)
Level 2 “memerlukan dukungan substansial”
Tergolong pada kemampuan menengah. Kemampuan komunikasi verbal dan non-verbal; gangguan sosial yang nyata walaupun mendapat dukungan di tempat; keterbatasan mengawali interaksi sosial; respon yang sedikit atau abnormal terhadap ajakan bersosialisasi dari pihak lain. Sebagai contoh, seseorang yang berbicara kalimat sederhana, yang interaksinya terbatas pada minat tertentu, dan yang tampak jelas keganjilan komunikasi nonverbal.
Perilaku yang tidak fleksibel, kesulitan menghadapi perubahan, atau perilaku-perilaku
berulang terbatas lainnya. Cukup sering terjadi sehingga tampak jelas oleh pengamat yang biasa dan mengganggu
keberfungsian pada konteks yang beragam. Kesulitan merubah perhatian dan tindakan.
Level 1
“memerlukan dukungan”
Tanpa pemberian dukungan, terhambat dalam hal melakukan komunikasi sosial menimbulkan gangguan yang berarti. Kesulitan mengawali interaksi sosial dan contoh yang jelas dari respon yang tidak normal atau tidak sukses terhadap ajakan dari pihak lain. Mungkin tampak penurunan minat dalam interaksi sosial. Sebagai contoh, seseorang yang dapat berbicara dengan kalimat yang utuh dan mampu terlibat dalam komunikasi, namun gagal dalam percakapan dua arah dengan orang lain, dan yang memiliki cara-cara yang ganjil dan gagal dalam berteman.
Perilaku yang tidak fleksibel menyebabkan
pengaruh yang signifikan dalam keberfungsian pada satu
konteks atau lebih. Kesulitan mengalihkan diantara beberapa aktivitas. Permasalahan dalam mengorganisir dan merencanakan sesuatu menghalangi kemandirian.
(38)
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa ASD adalah salah satu defisit perkembangan yang memiliki ciri terhambatnya komunikasi dan bahasa, interaksi sosial misalnya berhubungan dan perilaku minat terbatas dan berulang. Tingkatan keparahan anak ASD disesuaikan dengan kapasitas kemampuan anak yaitu membaginya ke dalam tingkatan level 1 hingga level 3.
2. Kriteria Diagnostik Autistic Spectrum Disorder (ASD) Berdasarkan DSM V
Menurut American Psychiatric Association dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fifth Edition Text Revision (APA, 2013) kriteria diagnostik dari gangguan ASD adalah sebagai berikut:
A. Terhambatnya dalam komunikasi dan interaksi sosial yang bersifat menetap pada berbagai konteks, seperti;
a) Kekurangan dalam kemampuan komunikasi sosial dan emosional. Contohnya pendekatan sosial yang tidak normal dan kegagalan untuk melakukan komunikasi dua arah; kegagalan untuk berinisiatif atau merespon pada interaksi sosial.
b) Terganggunya perilaku komunikasi non-verbal yang digunakan untuk interaksi sosial. Integrasi komunikasi verbal dan non-verbal yang sangat parah, hilangnya kontak mata, bahasa tubuh dan ekspresi wajah. c) Kekurangan dalam mengembangkan, mempertahankan hubungan. Contohnya kesulitan menyesuaikan perilaku pada berbagai konteks
(39)
sosial, kesulitan dalam bermain imajinatif atau berteman, tidak adanya ketertarikan terhadap teman sebaya.
B. Perilaku yang terbatas, pola perilaku yang repetitive, ketertarikan, atau aktivitas yang termanifestasi minimal dua dari perilaku berikut:
a) Pergerakan motor repetitif atau stereotype, penggunaan objek-objek atau bahasa, misalnya: perilaku stereotype yang sederhana, membariskan mainan-mainan atau membalikkan objek.
b) Perhatian yang berlebihan pada kesamaan, rutinitas yang kaku atau
pola perilaku verbal atau non-verbal yang diritualkan, contohnya stress ekstrim pada suatu perubahan yang kecil, kesulitan pada saat adanya proses perubahan, pola pikir yang kaku.
c) Kelekatan dan pembatasan diri yang tinggi pada suatu ketertarikan yang abnormal. Contoh: kelekatan yang kuat atau preokupasi pada objek-objek yang tidak biasa, pembatasan yang berlebihan atau perseverative interest.
d) Hiperaktivitas/hipoaktivitas pada input sensori atau ketertarikan yang
tidak biasa pada aspek sensori pada lingkungan. Contoh, sikap tidak peduli pada rasa sakit atau temperature udara, respon yang berlawanan pada suara atau tekstur tertentu, penciuman yang berlebihan atau sentuhan dari objek, kekaguman visual pada cahaya atau gerakan. C. Gejala-gejala harus muncul pada periode perkembangan awal (tapi
(40)
melebihi kapasitas yang terbatas, atau mungkin tertutupi dengan strategi belajar dalam kehidupannya).
D. Gejala-gejala menyebabkan gangguan yang signifikan pada kehidupan sosial, pekerjaan atau situasi penting lain dalam kehidupan.
E. Gangguan-gangguan ini lebih baik tidak disebut dengan istilah ketidakmampuan intelektual (intellectual disability) atau gangguan perkembangan intelektual atau keterlambatan perkembangan secara global.
4. Perkembangan Anak Autistic Spectrum Disorder (ASD)
Menurut DSM V (APA, 2013) ASD berkembang pada 30 bulan pertama dalam hidup, saat dimensi dasar dari keterkaitan antar manusia dibangun periode perkembangan yang dibahas akan dibagi menjadi masa infant dan toddler. Di bawah ini akan dijelaskan bagaimana perkembangan anak ASD dibandingkan dengan anak normal.
Tabel 2.2. Perbedaan Perkembangan Anak Normal dan Anak Autis
No Usia Perkembangan anak ASD Ciri Perkembangan anak ASD
1 Usia 12-24 Bulan Keterhambatan awal yaitu kemampuan komunikasi dan interaksi sosial pada anak di usia 12 bulan jika gejala yang ditunjukkan lebih berat. Selain itu usia 24 bulan jika gejala yang ditunjukkan lebih ringan.
2 Pada usia 2 tahun lebih Mengalami penurunan atau regresi pada kemampuan bahasa dan perilaku sosial.
3 Usia 2 tahun lebih Gejala pertama yang dapat dilihat dari anak ASD adalah, terlambatnya perkembangan
(41)
bahasa, disertai dengan terhambatnya keteratarikan atau keinginan untuk berinteraksi sosial, pola bermain yang kaku (membawa mainannya berkeliling tetapi tidak memainkannya atau bermain dengan anak lain) dan kemampuan komunikasi yang kaku atau terpola (mengetahui alfabet tetapi tidak memberi respon ketika namanya dipanggil). Perilaku aneh dan berulang-ulang dan tidak adanya memiliki preferensi yang kuat dan menikmati pengulangan (misalnya makanan yang selalu sama dan menonton film yang sama).
4 Usia balita Sulit membedakan diagnostik perilaku stereotype dan mrelakukan perilaku berulang-ulang. Perbedaan klinis didasarkan pada jenis, frekuensi, dan intensitas perilaku contohnya, anak dengan rutinitasnya selama berjam-jam bersama objek tertentu dan sangat tertekan jika item apapun dipindahkan. Selain itu anak juga akan emosi dan marah ketika kegiatan yang dilakukan tidak sesuai dengan rutinitas.
ASD bukan gangguan degeneratif dan merupakan ciri khas dan kompensasi sepanjang hidup. Gejala yang paling sering terlihat pada anak usia dini dan sekolah awal tahun. Perkembangan khas anak di beberapa daerah (peningkatan minat dalam interaksi sosial) bahkan individu tetap menunjukkan permasalahan sosial, mengalami kesulitan dalam hubungan masyarakat, menderita
(42)
stres dan tetapi adanya usaha untuk mempertahankan hubungan agar diterima secara sosial.
5. Jenis Terapi Untuk Anak ASD
Menurut Newsom (dalam Wolfe 2005) dan Turkington, Carol & Anan, Ruth (2007). Ada beberapa intervensi untuk meningkatkan keterampilan sosial anak yang mengalami anak ASD antara lain adalah:
a. Teaching Appropriate Communication Skill
Dengan menggunakan operant speech training (verbal imitiation, receptive labelling, expressive teaching, incidental training), language training. Hampir semua anak dengan ASD mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu ASD kemampuan non-verbal atau berbicaranya sangat kurang. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai kemampuannya untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain. dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa sangat menolong.
b. Family Intervention
Behavioral parent training, parent conseling. Terapi ini digunakan untuk mengintervensi keluarga agar dapat mendidik dan mengajar anak. Intervensi ini juga berhubungan dengan bagaimana orangtua dapat menyikapi kondisi anak dan memberikan penerimaan dengan baik.
c. Early Intervention
Intervensi ini diberikan pada usia awal anak yang akan masuk ke sekolah dasar. Mengajarkan anak mengenal pola-pola dasar, pendidikan dasar, selain
(43)
itu melatih anak bermain dengan teman-temannya. Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak ASD membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.
d. Educational Intervention
Intervensi ini diberikan kepada anak ASD melalui pendidikan formal maupun informal yang diberikan oleh terapis.
e. Psychopharmacological/somatic intervention
Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN (Defeat ASD Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak ASD. Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu anak ASD diperiksa secara intensif seperti pemeriksaan darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan agar segera diatasi. Ternyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dalam tubuh sendiri (biomedis).
f. Teaching Appropriate Social Behavior
Mengajarkan imitasi dan mempelajari ekspresi afeksi, social play, peer mediates intervention (peer initiated procedures, child initiated procedures), sibling mediated procedure dan social skill training salah satunya adalah social skill group. Kekurangan yang paling mendasar bagi individu ASD
(44)
adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam keterampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan bermain bersama ditempat bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-caranya. Hal inilah yang mendasari pentingnya pemberian social skill training kepada anak ASD. Adapun tujuan dari Social skill training adalah untuk meningkatkan keterampilan sosial di lingkungan sosialnya.
6. Social Skill Training (SST) A. Pengertian SST
SST merupakan metode atau cara yang dilakukan untuk memberikan gambaran perubahan perilaku setiap individu dalam mengerjakan fungisnya dengan tepat, baik di sekolah, di rumah maupun di lingkungan tempat tinggalnya. SST merupakan bagian penting yang digunakan untuk memahami perkembangan dan perilaku orang lain. Hal ini penting dimiliki oleh anak ASD sehingga dapat berperilaku sesuai dengan standard aturan sosial yang berlaku. Bagaimana menyapa orang lain, apa yang dikatakan ketika bertemu dengan orang lain, apa yang tidak boleh dilakukan, dan cara terbaik untuk berinteraksi dengan orang lain. SST juga berhubungan dengan kemampuan untuk mengendalikan perilaku anak dan memenuhi aturan sosial yang berlaku. Merubah perilaku dapat dipengaruhi oleh konsekuensinya, seperti memberi pujian atau penghargaan ketika anak mencoba keterampilan sosial dengan baik. SST melibatkan kemampuan untuk mengendalikan emosi dan pola berpikir yang salah, sehingga anak mampu
(45)
memecahkan masalah atau mengendalikan diri. SST bertujuan untuk mengajarkan anak secara tepat dan akurat dalam pengelolaan informasi termasuk ke dalam restrukturisasi kognitif (Cotugno, 2009).
Sementara itu menurut Ozonoff (dalam Cotugno, 2009) SST dapat digunakan untuk memberikan intervensi kepada anak ASD, berkebutuhan khusus lainnya, dan anak normal yang memiliki tingkat intelektual rata-rata sampai di atas rata-rata. Hal ini terkait dengan kemampuan anak untuk menggunakan regulasi emosi, keterampilan dasar yang sudah ada, dan kemampuan rekognitif terhadap objek lebih baik, sehingga program yang diberikan mudah dipahami dan diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari. Adapun program SST untuk anak ASD yang high functioning sesuai dengan dimensi keterampilan sosial yang terdiri dari conversational skill, play skill, friendship skill, understanding emotion, dan dealing with conflict.
SST merupakan modalitas pendidikan dan klinis yang digunakan secara luas dalam mengatur kesehatan mental, keluarga, pernikahan, dan konseling perceraian, pelatihan orangtua, dan sekolah. SST termasuk pelatihan untuk komunikasi secara asertif, psikososial atau antarpribadi pelatihan keterampilan, pelatihan dalam komunikasi keterampilan atau hubungan sosial, independen dan keterampilan hidup masyarakat, dan pemecahan masalah sosial. Dalam psikiatri, SST telah digunakan sebagai pengobatan primer atau tambahan untuk disfungsi sosial dalam berbagai macam gangguan anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Selain itu SST juga digunakan sebagai modalitas rehabilitasi yang bisa meningkatkan keberfungsian anak (Cornish&Ross, 2004).
(46)
Dasar teori SST berasal dari teori belajar sosial dan pengkondisian operan teknik yang telah dicoba dan diuji efektif untuk berbagai macam pembelajaran manusia dan terapi perilaku. Secara khusus, prinsip-prinsip yang mendasari SST menekankan pentingnya menetapkan ekspektasi yang jelas dengan petunjuk khusus dan menggunakan pemodelan atau perwakilan identifikasi, melibatkan individu dalam bermain peran atau latihan perilaku, dan memberikan reinforcement positive atau penguatan untuk perbaikan kecil dalam perilaku sosial. SST juga termasuk mengajar persepsi sosial secara akurat, termasuk mengajarkan mengenai norma-norma, aturan dan harapan sosial dalam berinteraksi. Mampu mengenali ekspresi emosi yang ditunjukkan oleh orang lain selama interaksi sosial adalah salah satu contoh dari tujuan persepsi sosial yang melekat pada SST (Cornish&Ross, 2004).
Menurut Bellini (dalam DeMatteo, 2012) SST berfokus pada pembangunan perilaku positif dengan menggunakan metode non-aversif. Pelatihan ini dirancang agar anak menunjukkan perubahan perilaku atau menghilangkan perilaku yang tidak baik. SST bertujuan; 1) meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengekspresikan apa yang dibutuhkan dan diinginkan, 2) mampu menolak dan menyampaikan adanya suatu masalah, 3) mampu memberikan respon saat berinteraksi sosial, 4) melakukan interaksi. SST merupakan salah satu intervensi dengan teknik modifikasi perilaku yang dapat diberikan kepada klien depresi, skizoprenia, dan anak yang mengalami gangguan perilaku.
(47)
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa SST adalah suatu metode yang digunakan untuk memberikan gambaran perubahan perilaku untuk mengurangi permasalahan dalam masyarakat dan berperilaku sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Selain itu SST berfokus pada pembangunan perilaku positif, membentuk perilaku baru, atau menghilangkan perilaku yang tidak baik. Selain itu SST dapat diberikan kepada anak yang memiliki kemampuan intelektual rata-rata sampai di atas rata-rata. Adapun program yang dimaksud terdiri dari dimensi yang mencakup dimensi keterampilan sosial untuk anak ASD.
B. Konsep Teori dalam Program Social Skill Training
Teori behavior dan cognitive merupakan dasar dari social skill training. Teori ini menjelaskan bahwa perilaku dapat dipelajari. Menurut Skinner (dalam Cornish&Ross, 2004) tingkah laku hanya dapat diubah dan dikontrol dengan mengubah lingkungan. Oleh karena itu, Skinner lebih tertarik dengan aspek yang berubah-ubah dari kepribadian bukan pada struktural dari kepribadian. Unsur kepribadian yang dipandangnya relatif tetap adalah tingkah laku itu sendiri. Ada dua klasifikasi tipe perilaku, yaitu:
a. Perilaku responden (Respondent Behavior) yaitu respon yang dihasilkan (elicited) organisme untuk menjawab stimulus secara spesifik berhubungan dengan respon tersebut. Respon refleks termasuk dalam kelompok ini, seperti mengeluarkan air liur saat melihat makanan, mengelak dari pukulan, merasa takut waktu ditanya guru atau merasa malu waktu dipuji.
(48)
b. Perilaku operan (Operant Behavior), yaitu respon yang dimunculkan (emitted) organisme tanpa adanya stimulus spesifik yang berlangsung memaksa terjadinya respon itu. Terjadinya proses pengikatan stimulus baru dengan respon yang baru. Organisme dihadapkan pada pilihan-pilihan respon mana yang akan dipakainya untuk menanggapi suatu stimulus. Keputusan respon mana yang dipilih tergantung kepada efeknya terhadap lingkungan (yang tertuju padanya) atau konsekuensi yang mengikuti respon tersebut.
Menurut Skinner (dalam Cornish&Ross, 2004), prinsip yang menentukan perkembangan tingkah laku di lingkungan objek in-animate dan lingkungan sosial ternyata sama saja. Individu tersebut berinteraksi dengan lingkungannya menerima reinforcement positif atau negatif dari tingkah lakunya. Respon sosial dan penguatnya terkadang sukar diidentifikasi tetapi prinsip hukum dasar tingkah laku berlaku sama untuk kedua kasus tersebut. Bagi Skinner (dalam Cornish&Ross, 2004), gambaran ciri kepribadian itu dapat diterjemahkan dalam sekelompok respon spesifik yang cenderung diasosiasikan dengan situasi tertentu. Ketika orang berinteraksi dengan orang lain, orang tersebut menerima reinforcerment untuk melakukan tingkah laku dominan. Semua dikembalikan kepada riwayat reinforcement yang pernah diterima oleh seseorang. Dalam ranah terapi, behaviorisme berkembang luas dalam bentuk modifikasi perilaku (behavior modification). B-Mod (sebutan untuk behavior modification) adalah senjata atau strategi untuk mengubah tingkah laku bermasalah.
(49)
Beberapa teknik berikut merupakan teknik yang dikemukakan oleh Skinner tetapi juga dikembangkan atau disempurnakan dari ide pakar lain Miltenberger, Raymond G (2008), teknik yang digunakan antara lain:
a. Modeling
Perubahan perilaku merupakan hasil dari observasi pada orang lain yang ditunjuk secara khas disebut modeling (Bandura 1969; Bandura & Walters 1963, dalam Morris 1985). Prosedur modeling berisi seorang individu yang disebut sebagai model (contohnya guru, pembantu, orangtua, teman sebaya, atau therapist) dan seorang yang disebut observer (misalnya anak yang berkebutuhan khusus). Ada 2 macam modeling, pertama, live modeling yang melibatkan kejadian sebenarnya atau menunjukkan secara langsung akan perilaku yang diharapkan ketika anak mengobservasi. Kedua, symbolic modeling yang melibatkan dengan menunjukkan model melalui film, video tape, atau membayangkan. Biasanya pada anak yang berkebutuhan khusus, biasanya lebih sering menggunakan modeling langsung daripada symbolic modeling.
b. Shaping
Shaping digunakan untuk mengembangkan target perilaku seseorang. Shaping menggunakan reinforcement untuk mencapai sasaran perilaku yang diinginkan (Miltenberger, 2008).
c. Behavioral Chaining
Metode chaining merupakan metode yang digunakan dengan membuat urutan stimulus dan adanya keterkaitan antara satu urutan ke urutan lainnya. Menurut Miltenberger (2008) chaining merupakan sebuah perilaku yang terdiri
(50)
dari banyak komponen perilaku yang terjadi bersama-sama secara berurutan seperti rantai disebut dengan chaining.
d. Hadiah Atau Hukuman Secara Selektif (selective
reward/punishment)
Chaining merupakan cara yang digunakan untuk membentuk suatu perilaku yang sudah pernah dilatih sebelumnya sehingga anak memiliki kemampuan dasar mengenai keterampilan tertentu. Chaining terdiri atas tiga metode antara lain, total task presentation, backward chainig, dan forward chaining.
Strategi terapi ini untuk memperbaiki tingkah laku anak dengan melibatkan figur di sekeliling anak sehari-hari khususnya orangtua dan guru. Terapis meneliti klien dalam seting aktual, bekerjasama dengan orang tua dan guru untuk memberi hadiah ketika anak melakukan tingkah laku yang dikehendaki dan menghukum kalau tingkah laku yang tidak dikehendaki muncul. Tingkah laku dan bentuk hadiah atau hukuman direncanakan secara teliti, dipilih yang paling memberi dampak efektif.
e. Latihan Keterampilan Sosial (Social Skill Training)
Terapi dapat digunakan untuk membantu atau melatih seseorang untuk meningkatkan keterampilan sosialnya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa social skill training merupakan teori dasar dari behavior oleh Skinner, namun semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, maka Skinner menganggap bahwa manusia memiliki pikiran, perasaan, dan lingkungan sosial yang membantunya dalam mempelajari perilaku tertentu. Sebaliknya Perilaku dapat dibentuk berdasarkan
(51)
lingkungan sosial yang membentuk, pikiran, dan perasaan seseorang. Salah satunya adalah latihan keterampilan sosial.
C. Metode Pelaksanaan Social Skill Training
1. Social stories memiliki tujuan untuk membantu anak memahami situasi sosial dan membuat penilaian tentang situasi sosial tersebut. Cerita berkesinambungan dari awal sampai akhir cerita. Cerita dapat ditulis, atau direkam dalam bentuk video atau kaset agar mereka dapat membacanya.
Gray (dalam Matson, 2011) telah mengembangkan pendekatan untuk membantu remaja ASD mengenai keterampilan sosial dengan menghormati kemampuan orang lain, dan dapat mengendalikan perilaku merusak. Adapun komponen-kompenen keterampilan sosial yang dimaksud adalah:
2. Comic strip conversation digunakan untuk memperjelas interaksi dan menggambarkan perilaku sosial yang tepat melalui penggunaan gambar sederhana.
3. Social review merupakan ulasan dari situasi yang sebenarnya, rekayasa kejadian untuk melihat reaksi dan respon anak ketika memperoleh stimulus tertentu, demonstrasi langsung, role play sesuai dengan situasi dan permasalahan yang terjadi. Berbagi informasi secara akurat dan memberikan kesempatan untuk mengidentifikasikan perilaku yang sesuai dengan aturan sosial.
4. Keterampilan sosial group termasuk keterlibatan terapis untuk mengajarkan keterampilan interaksi sosial. Kegiatan role play dan menggunakan kaset untuk mengajar atau mempraktekkan situasi sosial secara kelompok. Selain
(52)
itu dapat menggunakan konsep drama untuk memerankan karakter tertentu sesuai script yang digunakan.
5. Script picture adalah gambar yang mewakili situasi sosial dan membantu anak untuk berlatih menangani permasalahan situasi sosial tersebut dengan menggunakan gambar yang mirip dengan situasi sebenanrnya (Stone, W 2010).
Berdasarkan penjelasan di atas maka cara yang digunakan dalam pelaksanaan SST kepada anak ASD dengan menggunakan metode visual, antara lain social story, script picture, comic strip conversation, social review, dan keterampilan sosial group.
D. Tahapan Pelaksanaan Social Skill Training
Menurut Cornish&Ross (2004) social skill training dilakukan dengan memperhatikan tahapan pelaksanaannya. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dan membantu terapis untuk pelaksanaan terapi kepada subjek.
a. Melakukan keterampilan sosial checklist
Pada tahapan ini terapis memantau perkembangan keterampilan sosial anak dengan memberikan checklist untuk menentukan perilaku yang harus ditangani. Perilaku yang dipilih adalah perilaku yang sangat menganggu situasi sosial dan anak.
b. Melakukan Observasi
Tahapan ini berfungsi untuk melihat seberapa sering munculnya perilaku, pada saat kapan munculnya perilaku, apa yang membuat munculnya perilaku, siapa yang berada di sekitar anak ketika munculnya perilaku. Pada tahapan ini
(53)
juga ingin dilihat apa yang disukai dan tidak disukai anak, bagaimana ciri ASD yang dialami anak.
c. Wawancara
Mencari data dari orang terdekat anak yaitu guru dan terapis, jika memungkinkan melakukan wawancara kepada anak dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti anak. Tujuan wawancara untuk menentukan alasan apa yang membuat anak melakukan perilaku tersebut dan menanyakan perkembangan anak selama ini.
d. Menentukan Perilaku yang ingin diintervensi
Pada tahap ini peneliti melakukan screening dan observasi perilaku di situasi sosial anak. Setelah dilakukan screening dan observasi peneliti akan memiliki catatan perilaku keterampilan sosial anak.
e. Menentukan tahapan program
Kegiatan ini dilakukan sesuai dengan komponen keterampilan sosial (script picture, social stoies, comic strip conversation, social review, dan social group) dan teknik lainnya.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pemberian social skill training pada anak ASD harus dilakukan dengan tahapan pelaksanaan, yaitu dimulai dari melakukan keterampilan sosial checklist, observasi, wawancara, menentukan perilaku yang ingin diintervensi, dan menentukan tahapan program yang akan dilakukan sesuai dengan komponen social story, script picture, comic strip conversation, social review, dan keterampilan group social.
(54)
E.
Paradigma
Gambar 2.1: Paradigma Penelitian
Domestic skill Self help Skill Community skill
Autistic Spectrum Disorder (ASD)
Kapasitas ASD level 1
Memiliki kendala dalam komunukasi sosial, mempertahankan dan memulai hubungan sosial.
Keterampilan Sosial Conversational skill
Play skill
Understanding emotions
Dealing with conflict
Friendship skill
Intervensi
Social skill training (SST) Script picture
Comic strip conversation Social stories
Social review Social group
Apakah SST dapat meningkatkan keterampilan sosial ASD?
(55)
E. Social Skill Training Untuk Membentuk Keterampilan Sosial Anak ASD
Berdasarkan DSM V autistic spectrum disorder (ASD) memiliki tiga kriteria umum, antara lain adanya gangguan pada hubungan interpersonal, perkembangan bahasa dan kebiasaan untuk melakukan pengulangan atau melakukan tingkah laku yang sama secara berulang-ulang (Repetitif) dan stereotype yaitu menunjukkan perilaku kaku anak. Anak ASD memiliki perkembangan kognitif yang sama dengan anak normal lainnya, yaitu dimulai dari rentang mental retardation sampai tingkat superior. Kapasitas intelektual anak ASD tersebut mempengaruhi keberfungsian sosial anak dan kemandiriannya. Berdasarkan perkembangan komunikasi, perilaku repetitif anak ASD terbagi ke dalam level 1 hingga level 3. Berdasarkan kapasitas kemampuan yang mereka miliki, anak ASD level 1 memiliki ciri kesulitan untuk melakukan komunikasi sosial, memulai hubungan sosial, dan mempertahankan hubungan. Ciri ini memberi tingkat pencapaian bagi masing-masing anak ASD antara lain, self care dan komunikasi dasar bagi anak ASD. Kemampuan komunikasi yang kompleks, interaksi sosial, dan keterampilan lain yang berhubungan dengan aktivitas sekolah, pekerjaan, dan rumah tangga bagi anak.
Perubahan fisiologis anak memberi pengaruh terhadap perkembangan perilaku mereka. Jika tidak ada yang memahami kebutuhan dan melatih kemampuan anak, maka akan memberi pengaruh terhadap perkembangan anak ASD ke tahapan selanjutnya ketika ia berada di lingkungan sosial. Hal inilah yang menjadi dasar pentingnya pendidikan keterampilan sosial bagi anak ASD yang mengalami keterhambatan sosial. Gangguan tersebut muncul selama awal masa
(56)
kanak-kanak dan bertahan hingga dewasa atau selama mereka sudah memiliki keinginan untuk bermain dengan teman sebaya. Salah satu kebutuhan anak ASD level 1, yaitu memiliki kontak sosial dengan teman sebaya. Keinginan tersebut menjadi masalah karena sulitnya anak ASD memulai hubungan sesuai aturan sosial yang baik, sehingga cendrung mereka memiliki hubungan persahabatan yang buruk karena keterbatasan pemahaman sosial emosional. Menurut Brereton (2005), anak ASD yang tergolong level 1 memiliki pemahaman komunikasi reseptif yang lebih baik walaupun secara ekspresif masih terhambat sehingga berpengaruh terhadap kemampuan sosial anak. Selain itu terbatasnya kemampuan anak untuk menentukan solusi yang tepat, kemampuan mengontrol emosi dan perilaku, dan kemampuan komunukasi dua arah merupakan bagian kecil gambaran keterampilan sosial anak ASD.
Salah satu ciri dari anak ASD adalah kelainan dalam hubungan interpersonal, seperti kurang dalam hal memberi respon atas kepentingan masyarakat, penampilan yang acuh tak acuh, terhambat untuk berhubungan dengan orang lain, cenderung tidak terlibat dealam imitasi sosial, jarang mengembangkan perasaan empati atau kemampuan untuk memahami orang sesuai dengan usia mereka dengan perasaan. Semua anak ASD menunjukkan gangguan sosial, namun sifat gangguan ini dapat bervariasi dan dapat termodifikasi beriring bertambahnya usia. Beberapa anak ASD juga mengalami peningkatan minat berhubungan dengan orang lain dan berkembangnya beberapa keterampilan sosial seiring belajar secara mekanis dan fleksibel (Brereton, 2005)
(57)
Selama masa anak sebagian besar penyandang ASD cenderung membutuhkan beberapa tingkat dukungan, seperti melatih mereka untuk menemukan solusi menyelesaikan masalahnya, kemandirian, dan memiliki beberapa kontak sosial dan persahabatan. Anak ASD memiliki kecemasan tinggi dan gangguan suasana hati dan perilaku yang mengganggu, egois, serta gangguan komunikasi dan masalah yang berkaitan dengan masalah sosial, seperti membakar gudang jerami di peternakan karena ia menikmati pemandangan, suara dan bau api walaupun secara sosial perilakunya bertentangan dengan aturan sosial yang berlaku. Selain itu mereka juga rentan dengan perilaku disruptive misalnya ketika di sekolah mereka menganggu teman lainnya atau suasana belajar di dalam kelas. Anak ASD memilik tingkat kemampuan kognitif, usia, sifat menganggu, atau melakukan kerusakan. Walaupun secara sadar mereka tidak dapat mengontrol atau mengetahui dengan pasti apa yang menyebabkan perilaku tersebut. Mereka hanya melakukan trial error terhadap perilaku yang mereka lakukan (DeMatteo, 2012)
Keterampilan sosial ASD merupakan hal dasar yang harus dilatih, mereka harus memahami tidak boleh berteriak, mengganggu orang lain ketika di temapt umum, atau larangan untuk tidak menyentuh anggota tubuh orang lain. Pendidikan yang demikian merupakan bagian dari perkembangan social skill anak. Kemampuan domestic skill, self help skill, dan community Skill akan berkembang seiring bertambahnya usia anak. Perkembangan kemampuan anak tidak terlepas dari perkembangan fisiologis anak dan pengalaman yang ia peroleh ketika bertambahnya usia yang sering membuat anak sulit mengontrol perilaku dan emosinya (Matson, 2011). Pada anak ASD yang tergolong level 1 memiliki .
(58)
target pencapaian yaitu memiliki keterampilan sosial dalam hal community skill antara lain cornversational skill, play skill, understanding emotions, dealing with conflict, dan friendship skill.
Keterampilan sosial dapat dipelajari seseorang yang tidak memilikinya. Proses belajar untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial yang dapat diterima dan dihargai secara sosial merupakan salah satu tujuan dari pelaksanaan social skill training (SST). Adapun metode yang digunakan antara lain script picture, social stories, comic script conversation, social review, dan social group yang mencakup pemberian role play individu dan kelompok, rekayasa kejadian, dan demontrasi secara langsung. Kegunaan metode ini untuk mempermudah pemberian intervensi SST yang diberikan bagi anak ASD.
F. Hipotesa
Berdasarkan penjelasan di atas maka hipotesa penelitian adalah ada hubungan positif antara intervensi social skill training terhadap keterampilan sosial anak ASD Spectrum Disorder (ASD), dengan kata lain semakin tinggi hasil intervensi social skill training yang diberikan maka semakin tinggi keterampilan sosial anak ASD.
(59)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimen, dimana small design yang menggunakan desain penelitian repeated measure Single Subject design (X1-O1-X2-02-X3-03). Desain ini digunakan untuk mengukur efektivitas dari suatu program berdasarkan pemberian perlakuan dan evaluasi secara berulang menjawab pertanyaan penelitian dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul selama proses penelitian (Barlow, et all 2009). Eksperimen yang dilakukan dilihat berdasarkan perbedaan waktu atau pada perlakuan yang berbeda. Penelitian ini menggunakan desain tersebut karena bertujuan untuk mengetahui Social Skill Training (SST) dalam meningkatkan keterampilan sosial pada anak ASD. Perilaku setiap sesi akan dibandingkan perkembangannya.
Penelitian ini akan mengukur performance pada variabel yang sama selama intervensi atau sebelum dan sesudah dilakukan intervensi, menggunakan pengukuran berdasarkan waktu terjadinya perilaku dan pemberian intervensi. Pada penelitian ini, pengukuran akan dilakukan di setiap sesi, kemudian pengukuran berdasarkan dimensi keterampilan sosial, dan dilanjutkan dengan pengukuran tahap keseluruhan setelah semua sesi diberikan. Skor atau nilai yang diperoleh akan dibandingkan berdasarkan perkembangan keterampilan sosial sesuai waktu dilaksanakannya program terapi. Pemberian latihan melalui orangtua dan guru serta memberikan test di setiap sesi membantu proses evaluasi kemampuan
(60)
subjek. Tujuannya adalah ingin melihat apakah pemberian intervensi di setiap sesi dan pada setiap dimensi efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial anak ASD.
B.Identifikasi Variabel Penelitian
Pada penelitian ini, untuk memudahkan pemahaman variabel yang dikaji maka dapat dijelaskan variabel yang digunakan, yaitu :
1. Variabel Tergantung : Keterampilan sosial 2. Variabel Bebas : Social skill training
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Keterampilan sosial
Keterampilan sosial adalah kemampuan anak menjalankan aktivitas di lingkungan sosial dengan baik yang berguna untuk memulai hubungan dan mempertahankan hubungan sosial. Keterampilan sosial pada penelitian ini akan diukur dengan menggunakan behavior chart yang terdiri dari dimensi keterampilan sosial pada anak ASD, yaitu conversational skill, play skill, friendship skill, understanding emotion, dan dealing with conflict pada anak ASD. Behavior chart behavior modification terdiri dari score system, yaitu pemberian nilai prompt, 0=anak melakukan keterampilan sosial tanpa prompt, 1= melakukan keterampilan sosial dengan prompt gesture, 2=melakukan keterampilan sosial dengan prompt verbal, 3=melakukan keterampilan sosial dengan prompt physical, 4=anak tidak melakukan keterampilan sosial. Semakin banyak keterampilan sosial
(61)
yang dilakukan tanpa prompt maka SST efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial anak ASD.
2. Social skill training (SST)
Social skill training (SST) adalah suatu terapi yang digunakan untuk membentuk keterampilan sosial sesuai dengan aturan sosial yang berlaku dengan melibatkan pendekatan perilaku dan faktor-faktor kognitif terkait dengan keterampilan sosial anak ASD.
D. Subjek Penelitian dan Lokasi Penelitian 1. Karakteristik Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah subjek yang homogen, yaitu:
a. Didiagnosa autistic spectrum diseorder (ASD) oleh Psikolog. Hasil yang diperoleh juga menunjukkan deskripsi kriteria diagnostik anak ASD.
b. Memiliki perkembangan komunikasi dan perilaku level 1, yaitu mengalami keterhambatan komunikasi sosial, menjalin hubungan sosial, dan sulitnya mempertahankan hubungan sosial.
c. Sudah mengalami kemajuan dalam hal bantu diri (daily living skill), komunikasi cukup baik secara ekspresif dan reseptif pada kapasitas golongan usia dan perkembangan anak. Selain itu tidak mengalami masalah dalam hal akademik, yaitu mudah memahami materi pelajaran, dan memahami instruksi sederhana.
(62)
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan kesepakatan antara peneliti dengan subjek penelitian. Penelitian dilakukan di dua tempat yaitu tempat terapi anak dan rumah subjek.
3. Metode Pengumpulan Data
Penelitan social skill training (SST) berkaitan dengan pelaksanaan metode modifikasi perilaku. Selain menggunakan alat ukur di atas, peneliti juga menggunakan metode-metode pengumpulan data sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data Menggunakan “Behavior Chart”
Metode pengambilan data setelah pelaksanaan “Baseline” dan pelaksanaan intervensi dengan memberikan skor harian anak. Jika skor yang diperoleh semakin tinggi maka keterampilan sosial anak semakin rendah atau kurang mampu melakukannya. Sebaliknya jika skor yang diperoleh semakin rendah maka
keterampilan sosial semakin tinggi atau sudah mampu melakukannya. Prompt
yang digunakan bertujuan untuk meningkatkan kemungkinan bahwa seseorang akan terlibat perilaku yang benar pada waktu yang tepat. Cara menggunakannya, perilaku yang ingin dicapai dimasukkan ke dalam tabel SDS dan hasil observasi
ditandai pada kolom dua dengan memberikan skor sesuai dengan jenis prompt
(63)
Tabel 3.3. Pengumpulan Data SST Tugas : keterampilan sosial
Subjek
score system:
Diberi skor 0 : Jika tanpa ada prompt skor 1 : Jika anak di gesture prompt
skor 2 : Verbal prompt skor 3 : physical prompt skor 4 : tidak dilakukan
SDS Prompt
b. Wawancara
Menurut Stewart & Cash (2000), wawancara adalah proses komunikasi antara dua pihak, dimana paling tidak salah satu pihak memiliki tujuan tertentu dan di dalamnya terdapat pertanyaan dan menjawab pertanyaan. Data yang diperoleh dari wawancara digunakan sebagai data pendukung untuk membantu memperoleh data yang lebih mendalam mengenai kondisi anak khususnya kemampuan keterampilan sosial anak (Poerwandari, 2007). Adapun pedoman wawancara yang digunakan adalah dengan menggunakan skala ASSP (Autistic Social Scale Profile). ASSP yang disusun oleh Scott Bellini (2006) dan sudah teruji validitas dan reliabilitasnya dengan baik. Pertanyaan diberikan kepada orangtua dan hasilnya digunakan untuk menggambarkan keterampilan sosial anak ASD sebagai perwakilan subjek yang lebih memahami kondisi keterampilan sosial anak. Melalui skala ini orangtua akan terbantu untuk menjelaskan kemampuan keterampilan sosial anak dengan lebih jelas. Selain kepada orangtua,
(64)
wawancara juga akan dilakukan kepada guru, guru sekolah minggu, dan guru terapi anak untuk melihat keterampilan sosial anak di berbagai aktivitas kegiatan.
c. Observasi Perilaku
Patton (dalam Poerwandari, 2001) menegaskan bahwa observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian. Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktifitas-aktifitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang tidak relevan (Poerwandari, 2007). Beberapa alat observasi yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah check list behavior dan catatan berkala selama lima hari dilaksanakannya informal tes.
Pada tahap ini juga akan dilakukannya screening, yaitu tahap pengambilan data yang bertujuan memperjelas permasalahan yang ada dan menentukan siapa yang berwenang untuk mendapat penanganan sesuai dengan kriteria subjek. Selain itu pada tahap ini juga akan diketahui perilaku anak dalam berinteraksi sosial dan kemampuan yang lain guna untuk mempersiapkan metode dan alat intervensi yang akan dilakukan.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi, wawancara, dan pemberian assestment. Pengumpulan data dalam penelitian ilmiah dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang relevan, akurat dan memadai. Pentingnya prosedur adalah baik buruknya penelitian tergantung pada teknik-teknik pengumpulan datanya (Hadi, 2000).
(1)
BUKU PENGHUBUNG ORANGTUA DAN GURU
Kegiatan
Penilaian
Tugas anak
Tugas untuk
Orangtua dan
Guru
Pelaksaaan Social
(2)
(3)
(4)
Contoh
Social Story
(
Social Story
berada pada Modul
(5)
LAMPIRAN C
(6)