Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion)”.(Studi Empiris pada KPP Pratama Binjai)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBENTUKAN HIPOTESIS
2.1.Intensitas Pemeriksaan Pajak (Tax Audit)
2.1.1. Pengertian Pemeriksaan Pajak
Beberapa pengertian dan definisi yang perlu diketahui yang
berkaitan dengan pemeriksaan pajak (Hidayat, 2013 : 1) adalah sebagai
berikut :
a. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah
data, keterangan, dan/bukti audit yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan
lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan PerundangUndangan.
b. Pemeriksaan lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan ditempat
kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerja bebas, tempat tinggal
Wajib Pajak, atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jendral
Pajak.
c. Pemeriksaan kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan di Kantor
Direktorat Jenderal Pajak.
d. Pemeriksa pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk

melaksanakan pemeriksaan.

14
Universitas Sumatera Utara

Intensitas pemeriksaan pajak merupakan sesuatu yang sangat
penting untuk dilakukan untuk menilai kepatuhan Wajib Pajak. Hal ini
dapat dilihat dari segi kejujuran, kemauan untuk membayar pajak, dan
bahkan menjadikan bahan pertimbangan apa yang menyebabkan Wajib
Pajak tidak mau melakukan pembayaran pajak. Berbagai penelitian telah
dilakukan untuk memahami apa yang menyebabkan Wajib Pajak sangat
sulit untuk mematuhi Undang-Undang Perpajakan. Beberapa ahli telah
meneliti dampak pada pelaporan SPT pada tahun setelah dilakukan
pemeriksaan dengan menggunakan sumber data pemeriksaan internal
Revenue Service di Amerika Serikat atas Wajib Pajak pada suatu tahun
yang selanjutnya akan menjadi obyek pemeriksaan selanjutnya di tahun
berikutnya.
Hasil

penelitian


menunjukkan

adanya

proporsi

perbaikan

kepatuhan yang substansial dibandingkan hasil pemeriksaan pajak
sebelumnya.Namun, sangatlah sulit menentukan keefektifan ukuran
kinerja pemeriksaan. Pada tataran konsep, pengukuran hasil pemeriksaan
yang paling bernilai dan tajam adalah manakala pemeriksaan pajak
menghasilkan kewajiban pajak yang benar-benar harus dibayar dan juga
mampu mempengaruhi Wajib Pajak agar secara suka rela mematuhi dan
memenuhi kewajiban perpajakannya di masa mendatang. Tidak ada cara
empiris untuk memastikan apa yang telah dibayar Wajib Pajak sesuai
dengan seharusnya, sekaligus merupakan kemustahilan untuk mengetahui
apakah setelah diperiksa akan mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak
dimasa selanjutnya.


15
Universitas Sumatera Utara

Berhubungan dengan etika penggelapan pajak, maka intensitas
pemeriksaan pajak memiliki hubungan yang sangat erat. Dimana,
dianalogikan ketika pemeriksaan pajak dapat dilakukan dengan sistem dan
disiplin yang baik, maka Wajib Pajak akan takut ataupun enggan untuk
melakukan penggelapan pajak. Hal ini dapat di pahami, karena Wajib
Pajak akan merasa lebih di kontrol, takut terhadap sanksi yang akan
diberikan jika mereka tidak mematuhi Undang-Undang Perpajakan, dan
bahkan mereka cenderung melaksanakan kewajibannya untuk membayar
pajak karena segala strategi yang mereka lakukan untuk menggelapkan
pajak, akan dapat diketahui dan diselidiki oleh pihak fiskus.
2.1.2. Pemeriksaan Pajak Yang Telah Di Terapkan
Penelitian mengenai kepatuhan Wajib Pajak sudah sangat sering
sekali dilakukan diantaranya adalah Penelitian dilakukan dengan memilih
Wajib Pajak yang telah mengalami pemeriksaan pajak oleh Karikpa
Mataram sebanyak tiga kali sejak tahun 1993 hingga 2005 baik WP Badan
maupun WP OP dan terkumpul sebanyak 52 Wajib Pajak. Kepatuhan

Wajib Pajak per jenis pajaknya diukur dari proporsi jumlah koreksi pajak
dengan jumlah pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.Uji t digunakan
untuk mengetahui apakah hasil dari dua frekuensi pemeriksaan pajak yang
berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan.Uji F digunakan untuk
melihat perbedaan secara serentak pada ketiga frekuensi pemeriksaan yang
berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk jenis PPh Badan/Op,
PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 hanya sedikit sekali yang menunjukan
peningkatan kepatuhan setelah tiga kali dilakukan pemeriksaan pajak.

16
Universitas Sumatera Utara

Demikian juga ternyata hubungan/korelasi antara hasil dari ketiga
frekuensi pemeriksaan juga lemah.Kondisi yang lebih baik ditunjukkan
dari hasil pemeriksaan atas PPN.Banyak hal yang dapat diasumsikan
mengenai pemeriksaan pajak ini, karena mungkin saja sistem perpajakan
yang diterapkan di Indonesia juga sangat lemah.Kesimpulan yang dapat
diambil adalah ternyata sangat sedikit sekali jumlah Wajib Pajak yang
menunjukan


peningkatankepatuhan

sekalipun

diiringi

dengan

perbandingan frekuensi pemeriksaan pajak.Seluruh kepatuhan Wajib Pajak
pada berbagai perbandingan frekuensi yang berbeda, baik secara
berpasangan maupun serentak, atas seluruh jenis pajak tidak menunjukkan
perbedaan hasil yang signifikan.Keeratan korelasi antara berbagai
kepatuhan Wajib Pajak pada berbagai jenis pajak dalam setiap
perbandingan frekuensi pemeriksaan menunjukkan hasil yang lemah dan
tidak bermakna.
2.1.3. Dasar Hukum Pemeriksaan Pajak
Beberapa dasar hukum yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak
adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terahir dengan UU No. 16

Tahun 2009.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan UndangUndang Nomor 6 Tahun 1993 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

17
Universitas Sumatera Utara

Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2009.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tanggal 28 Desember 2007 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-130/PMK.03/2009 Tanggal
18 Agustus 2009 tentang Tata Cara Penghentian Penyidikan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara.
e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-201/PMK.03/2007 tanggal
28 Pihak-Pihak yang Terikat atas Kewajiban Merahasiakan.
f. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-199/PMK.03/2007 Tanggal
28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.

g. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-198/PMK.03/2007 Tanggal
28 Desember 2007 tentang Tata Cara Penyegelan Dalam Rangka
Pemeriksaan di Bidang Perpajakan.
h. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-202/PMK.03/2007 Tanggal
28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan
Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
i. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2010 Tanggal 01
Maret 2010 tentang Standar Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

18
Universitas Sumatera Utara

2.1.4. Kebijakan Umum Pemeriksaan Pajak
Menurut Hidayat (2013 : 11), pedoman pelaksanaan pemeriksaan
pajak, Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan beberapa kebijakan
umum yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Setiap wajib pajak mempunyai peluang yang sama untuk diperiksa.
b. Setiap pemeriksaan yang dilaksanakan harus dilengkapi dengan surat
perintah pemeriksaan pajak yang mencantumkan tahun pajak yang

diperiksa.
c. Pemeriksaan dapat dilaksanakan oleh kantor pusat Direktorat Jenderal
Pajak, kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak, kantor pemeriksaan
dan penyidikan pajak atau kantor pelayanan pajak.
d. Pemeriksaan ulang terhadap jenis dan tahun pajak yang sama, tidak
diperkenankan, kecuali dalam hal seperti berikut :
1. Terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak diduga telah atau sedang
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;
2. Terdapat data baru dan atau data semula belum terungkap,
mengakibatkan

penambahan

jumlah

pajak

terutang

atau


mengurangi kerugian yang dapat dikompensasikan.
e. Buku-buku, catatan-catatan dan dokumen lain yang akan dipinjam dari
Wajib Pajak dalam pelaksanaan pemeriksaan tidak harus yang asli,
dapat juga misalnya fotokopi yang sesuai dengan aslinya.
f. Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor pemeriksaan (yaitu untuk
pemeriksaan sederhana kantor) atau di tempat Wajib Pajak (untuk
pemeriksaan sederhana lapangan atau pemeriksaan lengkap).

19
Universitas Sumatera Utara

g. Jangka waktu pemeriksaan terbatas.
h. Dapat dilakukan perluasan pemeriksaan, baik untuk tahun-tahun
sebelumnya maupun tahun sesudahnya, yaitu dalam hal:
1. SPT tahunan, wajib pajak orang pribadi atau badan menyatakan
adanya kompensasi kerugian dari tahun-tahun sebelumnya yang
belum dilakukan pemeriksaan.
2. Sebab-sebab lain berdasarkan instruksi direktur pemeriksaan,
penyidikan, dan penagihan pajak.

i. Setiap hasil pemeriksaan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak
secara tertulis, yaitu mengenai hal-hal yang berbeda antara surat
pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak dan hasil pemeriksaan, dan
selanjutnya untuk ditanggapi oleh Wajib Pajak.
2.2.Kepatuhan Wajib Pajak (Tax Compliance)
2.2.1. Pengertian Kepatuhan Perpajakan
Kepatuhan Wajib Pajak dikemukakan oleh Nowak (dalam Zain,
2004) sebagai “Suatu iklimkepatuhan dan kesadaran pemenuhan
kewajibanperpajakan, tercermin dalam situasi dimana:
 WajibPajakpahamatauberusahauntukmemahamisemuaketentuan
Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan,
 Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas,
 Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar,
 Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
Menurut

Keputusan

Menteri


Keuangan

No.544/KMK.04/2000,bahwa kriteria kepatuhan Wajib Pajak adalah :

20
Universitas Sumatera Utara

 Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak
dalam 2 tahun terakhir.
 Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak,
kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak.
 Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.
 Dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam
hal terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi
pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak
yang terutang paling banyak 5%.
 Wajib Pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir
diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat wajar tanpa
pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak
mempengaruhi laba rugi fiskal.
2.2.2. Kepatuhan Wajib Pajak Meningkatkan Penerimaan Pajak
Setiap Negara mengharapkan bahwa setiap Wajib Pajak yang
terdaftar akan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi. Kepatuhan
Wajib Pajak tidak terlepas dari bagaimana setiap Wajib Pajak mampu
memperoleh ataupun menikmati berbagai fasilitas milik negara yang
merupakan hasil dari pengelolaan dana perpajakan. Maka dari itu
setiap Wajib Pajak akan mematuhi Undang-Undang Perpajakan dan
taat untuk melakukan pembayaran pajak jika mereka mampu

21
Universitas Sumatera Utara

memahami bahwa pajak yang dipungut oleh pemerintah memiliki
tujuan yang sangat baik.
Kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi akan mampu meningkatkan
penerimaan negara di bidang perpajakan. Hal ini selaras dengan
sebuah penelitian yang telah di lakukan bahwa kepatuhan Wajib Pajak
akan meminimalisir etika penggelapan pajak. Tetapi harus dipahami
bahwa setiap Wajib Pajak yang memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi
tentunya juga memiliki pengetahuan yang tinggi pula mengenai
perpajakan.Penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh Suryani
(2013), tidak menggunakan variabel kepatuhan Wajib Pajak sebagai
alat ukur untuk menilai tindakan etika penggelapan pajak. Tetapi dapat
dianalogikan bahwa setiap Wajib Pajak yang patuh, maka tidak akan
melakukan penggelapan pajak dan tentunya mereka sangat berperan
aktif di dalam meningkatkan penerimaan negara di sektor perpajakan.
2.2.3. Pentingnya Kepatuhan Wajib Pajak
MasalahkepatuhanWajibPajakadalahmasalahpentingdiseluruhd
unia,baikbaginegaramajumaupundinegara

sedang

berkembang.KarenajikaWajibPajaktidakpatuhmakaakanmenimbulkank
einginanuntukmelakukantindakanpenghindaran,pengelakan,penyelund
upandanpelalaian

pajak.

Padaakhirnyatindakantersebutakanmenyebabkanpenerimaanpajaknegar
aakanberkurang.Setiap Wajib Pajak diharapkan memiliki tingkat
kepatuhan yang tinggi untuk melakukan pembayaran pajak.Hal ini

22
Universitas Sumatera Utara

dikarenakan negara sangat membutuhkan pembayaran pajak yang
dilakukan oleh Wajib Pajak sebagai penerimaan bagi negara.
Dari pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebuah
negara yang memiliki rakyat yang mampu melakukan pembayaran
pajak secara teratur, maka penerimaan negaranya dari sektor
perpajakan akan sangat meningkat. Namun demikian, pemerintah juga
harus mampu menarik kepercayaan masyarakat ataupun Wajib Pajak
bahwa setiap pajak yang mereka setorkan akan dimanfaatkan sebaikbaiknya untuk kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan bersama. Jadi, hal yang paling diharapkan oleh Wajib
Pajak adalah dana perpajakan tersebut dapat terealisasi dengan baik
sesuai dengan tujuan pemerintah untuk memakmurkan rakyat.
2.3.Pengetahuan Wajib Pajak (Tax Knowledge)
2.3.1.Pengertian Pengetahuan Wajib Pajak
Pengetahuan Wajib Pajak mengenai perpajakan secara keseluruhan
merupakan sesuatu yang sangat diharapkan. Palil (2005) dalam Witono
(2008) menemukan bahwa pengetahuan Wajib Pajak tentang pajak yang
baik akan dapat memperkecil adanya tax evasion. Hal senada juga
ditemukan oleh Kassipillai (2006), ia mengatakan pengetahuan tentang
pajak merupakan hal yang sangat penting bagi berjalannya SAS.
Pengetahuan tentang peraturan pajak akan mempengaruhi sikap Wajib
Pajak terhadap kewajiban pajak.

23
Universitas Sumatera Utara

Mereka menemukan bahwa pengetahuan pajak akan bertambah
dengan panjangnya masa pendidikan yang dilakukan dan kursus,
walaupun secara tidak langsung tidak ditemukan adanya kaitan dengan
sikap Wajib Pajak (dalam Palil, 2005), dikemukakan hasil penelitian
bahwa semakin tinggi pengetahuan akan peraturan pajak, semakin tinggi
pula nilai etika terhadap pajak. Palil (2005) menyatakan bahwa
pengetahuan tentang peraturan pajak akan mempengaruhi tax fairness.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan
setiap Wajib Pajak mengenai perpajakan, mulai dari sistem perpajakan
sampai dengan Undang-Undang Perpajakan, akan memberikan motivasi
untuk menjadi seorang Wajib Pajak yang patuh dalam membayar pajak.
Maka dari itu, setiap Wajib Pajak berhak memperoleh pemahaman yang
sama dan mendalam mengenai sistem perpajakan di Indonesia. Hal ini
menjadi kewajiban juga bagi Pemerintah untuk memberikan pemahaman
kepada Wajib Pajak, mulai dari melakukan berbagai penyuluhan,
sosialisasi dan penataran lainnya. Setiap Wajib Pajak yang mampu
memahami perpajakan secara mutlak, maka akan memahami pula bahwa
penggelapan pajak itu tidak boleh dilakukan. Dengan demikian,
pemahaman mengenai perpajakan ini akan memperkecil pelaksanaan tax
evasion dan tax fraud juga akan di minimalisir.
2.3.2.Pengetahuan Wajib Pajak Sebagai Ukuran Kepatuhan
Berbagai

sosialisasi

mengenai

perpajakan

akan

mampu

meningkatkan pengetahuan Wajib Pajak di bidang perpajakan. Tidak
dapat dipungkiri bahwa setiap Wajib Pajak yang mampu memahami

24
Universitas Sumatera Utara

secara mutlak mulai dari penerapan Undang-Undang Perpajakan, tujuan
pemungutan pajak, dan pengalokasian dana perpajakan akan memiliki
pengetahuan yang lebih baik dan meningkatkan kepatuhannya untuk
membayar pajak
Dalam

penelitian

Rahayu

(2010)

pengetahuan

pajak

mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak secara signifikan yang
dilakukan pada 107 Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan pada KPP
Surakarta.Penelitian – penelitian terdahulu tersebut telah dilakukan silih
berganti dengan populasi dan smapel yang berbeda-beda pula. Dapat
ditarik sebuah pemikiran sederhana bahwa ketika Wajib Pajak memiliki
pengetahuan tentang pajak dengan baik, maka etika penggelapan pajak
akan semakin rendah dan enggan untuk dilaksanakan. Tetapi, pada
kenyataannya pengetahuan pajak ini bukanlah sesuatu hal yang merata
untuk dapat diberikan kepada seluruh Wajib Pajak.
2.4.Sistem Perpajakan (Tax System)
2.4.1.Sistem Perpajakan Berkontribusi Terhadap Penerimaan Pajak
Sebuah sistem perpajakan akan mempengaruhi Wajib Pajak untuk
melakukan pembayaran pajak. Sistem perpajakan yang cenderung rumit,
akan membuat Wajib Pajak enggan melakukan pembayaran pajak.
Suryani (2013) telah melakukan sebuah penelitian untuk mengukur
apakah sistem perpajakan memiliki hubungan yang erat dengan etika
penggelapan

pajak.Hasilnya

adalah

sistem

perpajakan

memiliki

hubungan yang negatif dengan penggelapan pajak.Hasil penelitian ini
konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Suminarsasi (2011)

25
Universitas Sumatera Utara

menyatakan bahwa sistem perpajakan memiliki korelasi negatif
signifikan terhadap penggelapan pajak.
Semakin baik, mudah dan terkendali prosedur sistem perpajakan
yang diterapkan, maka tindak penggelapan pajak dianggap suatu yang
tidak etis bahkan mampu meminimalisir perilaku tindak penggelapan
pajak. Hal ini dapat dianalogikan bahwa setiap Wajib Pajak merupakan
pihak yang akan menyetorkan uang mereka maka dari itu pihak
pemerintah selaku pemungut pajak, harus membuat sebuah sistem
perpajakan yang cenderung praktis namun efektif dan efisien. Sistem
perpajakan memiliki kontribusi terhadap penerimaan pajak, dimana jika
sistem perpajakan yang diterapkan baik maka Wajib Pajak akan
melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak. Jika sistem
perpajakannya cenderung rumit, maka Wajib Pajak malas untuk
membayarkan pajak dan penerimaan pajak akan menurun karena
tingginya tingkat penggelapan pajak yang dilakukan.
2.4.2.Asas-Asas Pemungutan Pajak
Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh
Adam Smith dalam buku An Inquiri into the Nature and Cause of the
Wealth of Nations menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya
didasarkan pada asas-asas berikut :
a. Equality
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak
dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan
kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan

26
Universitas Sumatera Utara

manfaat yang diterima.Adil dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak
menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding
dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta.
b. Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang.Oleh karena
itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya
pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu
pembayaran.
c. Convenience
Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai
dengan asas-asas yang tidak menyulitkan Wajib Pajak. Sebagai
contoh: pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem
pemungutan ini disebut pay as you earn.
d. Economy
Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban
pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian
pula beban yang ditanggung Wajib Pajak.
2.4.3.Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Purwono (2011 : 12), hingga saat ini ada 3 sistem yang
diaplikasikan dalam pemungutan pajak, diantaranya adalah sebagai
berikut:

27
Universitas Sumatera Utara

a. Official Assesment System
Melalui sistem ini banyak pajak ditentukan oleh fiskus dengan
mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP Rampung).Jadi, dapat
dikatakan bahwa Wajib Pajak bersifat pasif.Tahapan-tahapan dalam
menghitung dan memperhitungkan pajak yang terutang ditetapkan
oleh fiskus yang terutang dalam SKP.Selanjutnya Wajib Pajak baru
aktif ketika melakukan penyetoran pajak terutang berdasarkan
ketetapan SKP tersebut. Indonesia pernah menggunakan sistem ini
pada kurun waktu awal kemerdekaan dengan mengadopsi atau tetap
memberlakukan beberapa peraturan perpajakan buatan Belanda
hingga tahun 1997, ketika diperkenalkan sitem Menghitung Pajak
Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang lain (MPO) yang oleh
sebahagian ahli disebut dengan Semi Self Assesment System.
b. Self Assesment System
Sistem ini mulai diaplikasikan bersamaan dengan reformasi
perpajakan tahun 1983 setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984. Dalam memori
penjelasan Undang-Undang tersebut bahwa anggota masyarakat
Wajib

Pajak

diberi

kepercayaan

untuk

melaksanakan

kegotongroyongan melalui sistem menghitung, memperhitungkan,
dan membayar sendiri pajak yang terutang (self assesment), sehingga
melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat
dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah

28
Universitas Sumatera Utara

dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.Selain itu, Wajib
Pajak juga diwajibkan untuk melaporkan secara teratur jumlah pajak
yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana yang ditentukan
dalam

Peraturan

Perundang-Undangan

Perpajakan.Pemerintah,

dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya
berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan
terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan
ketentuan yang digariskan dalam Peraturan Perundang-Undangan
Perpajakan.
c. Withholding Tax System
Dengan sistem ini pemungutan dan pemotongan pajak dilakukan
melalui pihak ketiga.Untuk waktu sekarang, sistem ini tercermin
pada

pelaksanaan

Pertambahan

pengenaan

Nilai.

Pajak

Contohnya

penghasilan

adalah

dan

Pajak

pemotongan

Pajak

Penghasilan Pasal 21 dan Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh pihak lain,
atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pajak Pertambahan
Nilai.
Apabila dicermati dengan seksama, ketiga sistem ini digunakan
secara terintegrasi pada pemungutan sistem pemungutan pajak di
Indonesia.Self

Assesment

System

berlaku

ketika

Wajib

Pajak

melaksanakan administrasi perpajakan yang menjadi kewajibannya
(menghitung, memperhitungkan, dan menyetor pajak terutang).Pada saat
yang bersamaan, jika posisi Wajib Pajak adalah pemungut atau
pemotong karena berkedudukan sebagai pemberi kerja atau pihak yang

29
Universitas Sumatera Utara

berwenang memungut pajak, maka Withholding Tax System juga
digunakan. Sedangkan Official Assesment System berlaku ketika fiskus
melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan pajak (SKP)
atas laporan Wajib Pajak. Namun demikian, hingga saat ini Indonesia
menerapkan Self Assesment System dalam pemungutan pajak.
2.5.Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan (Fiscal Fraud)
2.5.1.Kecurangan Dalam Bidang Perpajakan
Berikut ini adalah beberapa pengertian kecurangan menurut para
ahli:
Pengertian fraud menurut Pusdiklatwas BPKP (2008:11) adalah
sebagai berikut:
“Dalam istilah sehari-hari, fraud dimaknai sebagai
ketidakjujuran.Dalam terminologi awam fraud lebih ditekankan
pada aktivitas penyimpangan perilaku yang berkaitan dengan
konsekuensi hukum, seperti penggelapan, pencurian dengan tipu
muslihat, fraud pelaporan keuangan, korupsi, kolusi, nepotisme,
penyuapan, penyalahgunaan wewenang, dan lain-lain”.
Adapun kecurangan didefinisakan oleh Hiro Tugiman (2006:63)
adalah sebagai berikut:
“Fraud mencakup perbuatan melanggar hukum dan pelanggaran
terhadap peraturan dan perundang-undangan lainnya yang
dilakukan dengan niat untuk berbuat curang.Perbuatan tersebut
dilakukan dengan sengaja demi keuntungan atau kerugian suatu
organisasi oleh orang dalam atau juga oleh orang luar di luar
organisasi tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kecurangan
merupakan suatu kesalahan yang disengaja, dilakukan oleh seseorang
untuk mendapatkan suatu manfaat keuangan secara tidak jujur sehingga
mengakibatkan suatu kerugian materil bagi korban.

30
Universitas Sumatera Utara

Kecurangan dalam bidang perpajakan dapat dilakukan dengan
cara penggelapan pajak, transfer pricing, tidak memiliki NPWP, tidak
melakukan penyetoran SPT, memanipulasi laba, memperbesar beban,
melakukan mark up terhadap aset, memindah bukukan beban, dan lain
sebagainya. Sangat banyak cara yang dilakukan untuk menerapkan
penggelapan pajak. Bahkan pihak Ditjen pajak terlalu sering kecolongan
untuk mengatasi penggelapan pajak yang sering dilakukan oleh Wajib
Pajak.Dengan demikian, kemungkinan terdeteksinya penggelapan pajak
dapat dilakukan dengan menerapkan pemeriksaan pajak, tidak adanya
diskriminasi,

menerapkan

keadilan

dan

senantiasa

memupuk

pengetahuan Wajib Pajak mengenai perpajakan.
Kecurangan dalam bidang perpajakan sebenarnya sangat mudah
dilakukan, dan setiap Wajib Pajak Badan terutama yang memiliki
kewajiban untuk membayar pajak dalam jumlah yang besar, sering
melakukan manipulasi dalam bidang perpajakan.Hal ini dikarenakan
selalu ada celah antara bidang perpajakan dengan penerapan pencatatan
ataupun pengakuan pendapatan dan beban yang diterapkan oleh bidang
akuntansi.Maka dari itu, Undang-Undang Perpajakan juga dapat menjadi
celah dalam penerapan manipulasi perpajakan ini.
2.5.2. Kemungkinan

Terdeteksinya

Kecurangan

Akan

Mengurangi Penggelapan Pajak
Penelitian

terdahulu

telah

membuktikan

bahwa

ketika

kemungkinan terdeteksinya kecurangan di dalam bidang perpajakan
semakin baik, maka penggelapan pajak akan semakin berkurang.

31
Universitas Sumatera Utara

Penelitian ini dilakukan oleh seorang Mahasiswi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013 lalu.Dia melakukan sebuah
penelitian di beberapa KPP di Jakarta, dimana terdapat perbandingan
yang

bersifat

negatif

di

dalam

hasil

penelitiannya

mengenai

kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap persepsi Wajib Pajak
mengenai etika penggelapan pajak.
Penelitian

tersebut

menjelaskan

bahwa

kemungkinan

terdeteksinya kecurangan akan menyebabkan Wajib Pajak semakin
patuh untuk membayar pajak. Dimana, kemungkinan terdeteksinya
kecurangan tersebut sangat erat kaitannya dengan pemeriksaan pajak
yang dilakukan oleh pihak Ditjen pajak, kontrol yang tinggi, dan bahkan
penerapan sanksi yang membuat Wajib Pajak akan takut jika mereka
melakukan penggelapan pajak. Dengan demikian, mereka akan lebih
mematuhi dan lebih taat untuk membayar pajak, jika kemungkinan
terdeteksinya kecurangan tersebut semakin tinggi. Maka dari itu, hasil
penelitiannya menyatakan bahwa hubungan keduanya adalah berbanding
negatif.
Hal ini relevan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Suryani (2013) Jika Wajib Pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak,
itu sama saja membiasakan untuk selalu melanggar Undang-Undang.
Jika Wajib Pajak menggelapkan pajak, maka Wajib Pajak mendapatkan
keuntungan bersih yang lebih besar. Jika perbuatannya melangggar
Undang-Undang tidak diketahui oleh fiskus, maka dia akan senang
karena tidak terkena sangsi dan menimbulkan keinginan untuk

32
Universitas Sumatera Utara

mengulangi perbuatannya itu lagi pada tahun-tahun berikutnya dan
diperluas lagi tidak hanya pada pelanggaran Undang-Undang Pajak,
tetapi juga Undang-Undang yang lainnya.
2.6.Etika
2.6.1.Pengertian Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno.Bentuk tunggal
kata “etika” yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha.Ethos
mempunyai banyak arti yaitu: tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang,

kebiasaan/adat,

akhlak,watak,

perasaan,

sikap,

cara

berpikir.Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.Arti dari bentuk
jamak inilah yang melatarbelakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh
Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara
etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa
yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan(K.Bertens, 2004).
2.6.2.Jenis-jenis Etika
Untuk menganalisis arti etika, menurut Bertens etika dibedakan
menjadi dua, yaitu (Syopiansyah, 2009:4):
a. Etika Sebagai Praktis
1. Nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh yang dipraktekkan atau
justru tidak dipraktekkan walaupun seharusnya dipraktekkan.
2. Apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai
dan norma moral.

b. Etika Sebagai Refleksi

33
Universitas Sumatera Utara

1. Pemikiran moral berpikir tentang apa yang dilakukan dan
khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh
dilakukan.
2. Berbicara tentang etika sebagai praktis atau mengambil praktis
etik sebagai objeknya.
3. Menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku seseorang.
Selain itu, kita menggunakan istilah akuntansi ketika mengacu
pada

seperangkat

aturan

yang

mengatur

tindakan

professional

akuntan.Untuk makna yang kedua, etika adalah “kajian moralitas” Hal
ini berarti etika berkaitan dengan moralitas. Meskipun berkaitan, etika
tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalahsemacam penelaahan
(baik aktivitas penelaahan maupun hasil-hasil penelaahan itu sendiri),
sedangkan moralitas merupakan pedoman yang dimiliki individu atau
kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau baik dan jahat
(Suminarsasi, 2011:4).
2.7.Penggelapan Pajak (Tax Evasion)
2.7.1.Pengertian Penggelapan Pajak (Tax Evasion)
Masri(2012:5), menjelaskan pembahasan mengenaipenggelapan
pajak (tax evasion) adalah sebagai berikut:“Usaha-usaha memperkecil
jumlah pajak dengan melanggar ketentuan-ketentuan pajak yang
berlaku”.

34
Universitas Sumatera Utara

Menurut Trihastuti (2009) penggelapan pajak (tax evasion) adalah:
Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan
pajak. Hal ini perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang
berlaku.Penggelapan pajak (tax evasion) secara umum bersifat
melawan hukum (illegal) dan mencakup perbuatan sengaja tidak
melaporkan secara lengkap dan benar objek pajak atau
perbuatan melanggar hukum (fraud) lainnya.Penggelapan pajak
terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud
melepaskan diri dari pajak/mengurangi dasar penetapan pajak
dengan cara menyembunyikan sebagian dari penghasilannya.
Penggelapan pajak, cenderung dilakukan oleh Wajib Pajak yang
memiliki penghasilan dalam jumlah yang tidak besar dan umumnya
adalah Wajib Pajak orang pribadi. Hal ini dilakukan karena :
a. Tidak punya kemampuan untuk mencari celah Undang-Undang
Pajak.
b. Apabila dokter/profesional bebas menyembunyikan sebahagian
pendapatannya, kecil kemungkinan diketahui oleh fiskus kerena
pencatatan penghasilannya dilakukan oleh pihak Wajib Pajak itu
sendiri.
c. Penghasilan para profesional bebas sulit dilacak oleh fiskus
karena biaya yang dibayar oleh pasien kepada dokter tidak
mengurangi penghasilan kena pajak seseorang. Biaya tersebut
dianggap sebagai konsumsi.
2.7.2.Dampak Melakukan Penggelapan Pajak
a. Dalam Bidang Keuangan
Pengelakan pajak merupakan pos kerugian bagi kas negara
karena dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara anggaran

35
Universitas Sumatera Utara

dan konsekuensi-konsekuensi lain yang berhubungan dengan
itu.Seperti kenaikan tarif pajak, keadaan inflasi, dan lain-lain.
b. Dalam bidang ekonomi
Penggelapan pajak sangat mempengaruhi persaingan sehat
diantara para pengusaha, maksudnya pengusaha yang melakukan
penggelapan pajak dengan cara menekan biayanya secara tidak
wajar.

Sehingga

memperoleh

perusahaan

keuntungan

yang

yang

mengelakkan

lebih

besar

pajak

dibandingkan

pengusaha yang jujur. Walaupun dengan usaha dan produktifitas
yang sama, si pengelak pajak mendapat keuntungan yang lebih
besar dibandingkan dengan pengusaha yang jujur. Pengelakan
pajak menyebabkan stagnasi (macetnya) pertumbuhan ekonomi
atau perputaran roda ekonomi. Jika mereka terbiasa melakukan
pengelakan pajak atau penggelapan pajak, maka mereka tidak
akan mampu meningkatkan produktivitas mereka. Untuk
memperoleh laba yang lebih besar, mereka akan melakukan
pengelakan pajak. Langkanya modal karena Wajib Pajak
berusaha menyembunyikan penghasilan agar tidak diketahui
fiskus.Sehingga mereka tidak berani menawarkan uang hasil
pengelakan pajak tersebut ke pasar modal.
c. Dalam bidang psikologi
Jika Wajib Pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu
sama saja membiasakan untuk selalu melanggar UndangUndang. Jika Wajib Pajak menggelapkan pajak, maka Wajib

36
Universitas Sumatera Utara

Pajak mendapatkan keuntungan bersih yang lebih besar. Jika
perbuatannya melanggar Undang-Undang tidak diketahui oleh
fiskus, maka dia akan senang karena tidak dikenakan sanksi dan
menimbulkan keinginan untuk mengulangi perbuatannya itu lagi
pada tahun-tahun berikutnya dan diperluas lagi tidak hanya pada
pelanggaran Undang-Undang pajak, tetapi juga Undang-Undang
yang lainnya.
Dari berbagai dampak penggelapan pajak yang telah dijelaskan
diatas, maka dapat dipahmi bahwa penggelapan pajak pada dasarnya
merupakan suatu aktivitas yang sangat berbahaya dilakukan.

37
Universitas Sumatera Utara

2.8. Penelitian Terdahulu
Table 2.1
Penelitian Terdahulu
Penelitian
(Tahun)
Irma
Suryani
Rahman
(2013)

Nickerson,

Judul
Penelitian
Pengaruh
keadilan, sistem
perpajakan,
diskriminasi,
dan
kemungkinan
terdeteksinya
kecurangan
terhadap
persepsi Wajib
Pajak Mengenai
Etika
Penggelapan
Pajak (Tax
Evasion).

Presenting The

1.
2.

3.
4.

5.

Variabel
Penelitian
Keadilan (X1)
Sistem
Perpajakan
(X2)
Diskriminasi
(X3)
Kemungkinan
Terdeteksinya
Kecurangan
(X4)
Etika
Penggelapan
Pajak (Y)

Variabel

Metode Penelitian
Persamaan
Perbedaan
1. Variabel
1. Ruang lingkup
independen yang
pengambilan
sama yaitu
sampel dalam
Sistem
penelitian ini pada
Perpajakan, dan
KPP di Jakarta dan
Kemungkinan
lebih dari satu KPP.
Terdeteksinya
2. Variabel
Kecurangan.
Independen lebih
2. Proses
kompleks jika
pengambilan
dibandingkan
sampel dengan
dengan penelitian
metode
terdahulu.
convenience
nonprobability
sampling.
3. Menggunakan
skala likert untuk
pengukuran
variable.
1. Variabel

1. Ruang lingkup

Hasil Penelitian
Penggelapan pajak merupakan sesuatu yang
seharusnya dapat diatasi. Variabel
independen dari penelitian ini berpengaruh
terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai
etika penggelapan pajak, terkecuali sistem
perpajakan dan kemungkinan terdeteksinya
kecurangan memiliki pengaruh
negatif.Penelitian ini memberikan banyak
pertimbangan untuk mengatasi berbagai
penggelapan pajak.

Hasil penelitian menunjukkan tingkat

38
Universitas Sumatera Utara

Barry
University,
Larry
Pleshko,
Kuwait
University,
(2010)

Dimensionality
of An Ethics
Scale Pertaining
to Tax Evasion

Fadjar O.P.
Siahaan
Expert
Staff in
Indonesian
Supreme
Audit
Institution
Airlangga
University
Surabaya
Indonesia
(2012)
Suminarsas
i dan
Supriyadi
(2011)

The Influence
Variabel
of Tax Fairness Independen :
1. Tax Fairness
and
Communication 2. Communication
3. Trust
on Voluntary
Compliance:
Variabel
Trust as an
Dependen:
1. Tax Compliance
Intervening
Variable

Pengaruh
Keadilan,
Sistem
Perpajakan, dan
Diskriminasi
terhadap
Persepsi Wajib

Independen:
Fairness, Tax
System, and
Discrimination
Variabel
Dependen:
Tax Evasion

1. Keadilan (X1)
2. Sistem
Perpajakan (X2)
3. Diskriminasi
(X3)
4. Etika
Penggelapan

Independen Tax
System.
2. Variabel
Dependen Tax
Evasion.

Terdapat variabel
independen yang
sama yaitu Tax
Compliance.

penelitian ini
dilakukan di enam
Negara, yaitu
Argentina,
Guatemala, Poland,
Romania, United
Kingdom dan USA.

penilaian di masing-masing Negara berbedabeda. UK memiliki nilai rata-rata terendah
sebesar 4.15 yang mengindikasikan
rendahnya perlawanan terhadap tindak
penggelapan pajak, USA memiliki skor ratarata tertinggi sebesar 5.62.

Terdapat variabel
independen yang
berbeda yaitu Tax
Fairness,
Communication,
and Trust.
Lokasi penelitian
berbeda.

Hasil dari penelitian ini adalah terdapat
pengaruh yang langsung dan signifikan yang
tampak pada variabel independen Tax
fairness terhadap kepatuhan Wajib Pajak
(Tax Compliance), dan tidak terdapat
pengaruh langsung dan signifikan yang
tampak pada variabel independen
Communication terhadap Kepatuhan Wajib
Pajak.

1. Ruang lingkup
pengambilan
sampel dalam
penelitian ini pada
KPP di Jakarta.
2. Variable
independen yaitu

Penggelapan pajak dipandang sebagai suatu
hal yang etis dan juga tidak etis, hasil dari
penelitian ini hanya mendukung dua dimensi
saja, yaitu sistem perpajakan dan
diskriminasi, sehingga variable keadilan
belum bisa dibuktikan.

1.

2.

1. Variabel
independen yang
sama yaitu
Sistem
Perpajakan.
2. Proses
pengambilan

39
Universitas Sumatera Utara

Pajak Mengenai
Etika
Penggelapan
Pajak.

Ayu dan
Hastuti
(2009)

Persepsi Wajib
Pajak: Dampak
Pertentangan
Diametral Pada
Tax Evasion
Wajib Pajak
Dalam Aspek
Kemungkinan
Terdeteksinya
Kecurangan,
Keadilan,
Ketepatan
Pengalokasian,
Teknologi
SistemPerpajak
an dan
Kecenderungan
Personal

Pajak (Y)

Variabel
Independen:
Kecurangan,
Keadilan,
Ketepatan
Pengalokasian,
dan Teknologi
Informasi Sistem
Perpajakan
Variabel
Dependen:
Penggelapan
Pajak (Tax
Evasion)

sampel dengan
metode
convenience
nonprobability
sampling.
3. Menggunakan
skala likertuntuk
pengukuran
variabel.
1. Variabel
Independen yaitu
Kemungkinan
Terdeteksi
Kecurangan.
2. Variabel
Dependen
Penggelapan
Pajak (Tax
Evasion).
3. Data dianalisis
dengan Analisis
Regresi Linier
Berganda.

Kecenderungan
Personal.

1. Ruang lingkup
penelitian ini
dilakukan Pada
Wajib Pajak di
Kantor Pelayanan
Pajak se Jogjakarta.

Berdasarkan pengujian yang dilakukan
dengan regresiliner ditemukan bahwa
kemungkinan terdeteksinya kecurangan
terhadap tax evasion mempunyai
koefisien negatif (-0.501 ) yang signifikan
(.00), Hasil pengujian juga menunjukan
bahwa pengaruh ketepatan pemanfaatan
hasil pajak berpengaruh secara negatif (0.28
6) dan signifikan (.003) terhadap tax
evasion.Sedangkan persepsi terhadap
keadilan, penggunaan teknologi dan
kecenderungan tax evasion seseorang
ternyata tidak
berpengaruh secara signifikan pada tingkat
tax evasion.

40
Universitas Sumatera Utara

(Studi
Wajib Pajak
Orang Pribadi).
Ayu (2011) Persepsi
Efektivitas
Pemeriksaan
Pajak Terhadap
Kecenderungan
Melakukan
Perlawanan
Pajak.

Variabel
Independen:
Wajib Pajak,
Fiskus dan
Pemeriksaan
Pajak
Variabel
Dependen:
Penggelapan
Pajak

Mcgee,
Simon S.M
Ho, and
Annie
(2008)

Variabel
Independen:
Ethics, Tax,
Hongkong, The
US, Cultural
differecnes
Variabel
Dependen:

A Comparative
Study on
Perceived,
Ethics of Tax
Evasion:
Hongkong Vs
the United
States

1. Variabel
independen
Pemeriksaan
pajak.
2. Variabel
Dependen
Penggelapan
Pajak.

1. Variabel
Dependen Tax
Evasion.

1. Ruang lingkup
penelitian ini
dilakukan di Wajib
Pajak Orang Pribadi
yang mempunyai
usaha, yang
berlokasi di
Semarang.
2. Metode penentuan
sample dalam
penelitian ini adalah
quota sampling.
3. Anlisis data dengan
regresi linier
sederhana.

Hasil pengujian dengan menggunakan
regresi linear sederhana menunjukan hasil
bahwa persepsi terhadap kemungkinan
terdeteksinya kecurangan berpengaruh
negatif terhadap tax evasion. Persentase
kemungkinan suatu pemeriksaan pajak
dilakukan sesuai dengan aturan perpajakan
dapat mendeteksi kecurangan yang
dilakukan Wajib Pajak sehingga
berpengaruh pada Tax Evasion.

1. Ruang lingkup
penelitian ini
dilakukan
Hongkong dan US.
2. Populasi dalam
penelitian adalah 90
mahasiswa bisnis di
Universitas Baptist

Hasil penelitian menunjukkan penelitian di
dua Negara tersebut bahwa penggelapan
pajak adalah etis atau tidak etis, tergantung
dari beberapa keadaan dimana pemerintah
yang korup, performa pemerintahan yang
buruk, adanya ketidakadilan, lemahnya
hukum, perbedaan kebudayaan dan motif
keegoisan.

41
Universitas Sumatera Utara

Tax
Evasion

Inge
Nickerson,
Barry
University
Larry
Pleshko,
Kuwait
University
Robert W.
McGee,
Florid
a
Internation
al
University
(2009)

Presenting The
Dimensionality
Of An Ethics
Scale Pertaining
To Tax
Evasion.

Variabel
Independen :
1. Fairness
2. Tax System
3. Discrimination
Variabel
Dependen :
1. Tax Evasion

di Hongkong dan
273 mahasiswa
bisnis di US.
3. Teknik
pengumpulan data
melalui survey.
Terdapat variabel
Independen yang
sama dengan
penelitian-penelitian
sebelumnya, yaitu
Tax System.

Pengambilan sampel
yang dilakukan hingga
120 individu, dan dari
6 negara yang
berbeda. Penelitian ini
juga dilakukan dengan
kegiatan analisis,
diskusi dan studi
pustaka.

Hasil penelitian ini adalah fairness memiliki
hubungan ataupun pengaruh positif terhadap
tax evasion, sedangkan discrimination
memiliki hubungan negatif dan Tax system
juga memiliki hubungan negatif dalam
mempengaruhi etika penggelapan pajak.

42
Universitas Sumatera Utara

2.9.

Keterkaitan Antar Variabel Dengan Hipotesis
2.9.1. Intensitas Pemeriksaan Pajak Dengan Etika Penggelapan
Pajak
Intensitas pemeriksaan pajak merupakan suatu hal yang sering
dianggap sebagai momok bagi setiap Wajib Pajak, terutama WP
Badan. Dimana pemeriksaan pajak menurut Ditjen Pajak adalah
“serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,
dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kebutuhan perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam
rangka

melaksanakan

ketentuan

peraturan

perundang-undangan

perpajakan”.
Adanya korelasi antara intensitas pemeriksaan pajak dengan
penggelapan pajak adalah bahwa ketika pemeriksaan pajak dilakukan
secara intensif ataupun dalam suatu periode yang teratur, maka
penggelapan pajak akan semakin kecil. Penggelapan pajak banyak
dilakukan oleh Wajib Pajak karena kurangnya pengawasan yang
dilakukan oleh Ditjen pajak, maka dari itu perlu adanya intensitas
pemeriksaan pajak yang lebih intensif.Pemeriksaan pajak dapat
dilakukan sebagai alat evaluasi penerapan berbagai Peraturan
Perundang-Undangan Perpajakan yang seharusnya dapat diaplikasikan
dengan baik.Untuk menghindari terjadinya penggelapan pajak, maka
para Wajib Pajak harus lebih di kontrol untuk mengukur tingkat

43
Universitas Sumatera Utara

kepatuhannya. Maka semakin tinggi tingkat intensitas pemeriksaan
pajak yang dilakukan oleh Ditjen pajak, maka akan semakin rendah
tingkat penggelapan pajak yang dilakukan. Hipotesis pertama adalah
sebagai berikut :
Ha1 : Intensitas pemeriksaan pajak berpengaruh negatif terhadap etika
penggelapan pajak.
2.9.2. Kepatuhan Wajib Pajak Dengan Etika Penggelapan Pajak
Definisi

kepatuhan

perpajakan

menurut

James

(dalam

Anggraeni 2013 : 5) menyatakan bahwa:
Kepatuhan pajak (Tax Compliance) Berarti bahwa Wajib Pajak
mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya
sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya
pemeriksaan.Investigasi sesama (obtrusive investigation),
peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum
maupun administrasi.
Menurut Nurmantu (dalam Anggraeni 2013 : 86), terdapat dua
macam kepatuhan yaitu kepatuhan materil dan kepatuhan formal.
Kepatuhan materil adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara
substantif memenuhi semua ketentuan materil perpajakan, yakni sesuai
isi

dan

jiwa

Undang-Undang

Perpajakan.Sedangkan

yang

dimaksudkan kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib
Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan
ketentuan

Peraturan

Perundang-Undangan

Perpajakan.Kewajiban

perpajakan formal diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun
2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

44
Universitas Sumatera Utara

Korelasi

antara

kepatuhan

Wajib

Pajak

dengan

etika

penggelapan pajak adalah setiap Wajib Pajak yang memiliki tingkat
kepatuhan yang tinggi tidak akan melakukan penggelapan pajak.
Kepatuhan Wajib Pajak yang baik akan dapat dilihat dari
keteraturannya untuk menyetorkan pajak. Kepatuhan Wajib Pajak di
dasarkan pada adanya kesadaran secara mutlak untuk turut serta dalam
pelaksanaan pembangunan nasional.Dengan demikian kepatuhan
Wajib Pajak sangat erat hubungannya dengan etika penggelapan pajak.
Hipotesis kedua adalah :
Ha2 : Kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh negatif terhadap etika
penggelapan pajak.
2.9.3. Pengetahuan Wajib Pajak Dengan Etika Penggelapan
Pajak
Dalam penelitian Rahayu (2010) pengetahuan pajak dan
keadilan mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak secara
signifikan yang dilakukan pada 107 Wajib Pajak pribadi dan badan
pada

KPP

Surakarta.Setiap

Wajib

Pajak

diharapkan

mampu

memperoleh pengetahuan mengenai perpajakan secara baik. Menurut
Hidayat (2013 : 358), untuk meningkatkan pengetahuan Wajib Pajak
maka harus dilakukan sosialisasi secara luas, yang diharapkan dapat
dijangkau oleh seluruh WP, sehingga WP tahu hak dan kewajibannya.
Dimana,

analoginya

sebenarnya

Direktorat

Jenderal

Pajak

membutuhkan Wajib Pajak untuk taat pajak, bukan Wajib Pajak yang

45
Universitas Sumatera Utara

butuh membayar pajak. Dengan demikian, melalui sosialisasi
perpajakan maka Wajib Pajak akan memiliki pengetahuan yang lebih
baik, mereka juga akan memiliki kesadaran yang lebih tinggi untuk
membayar pajak.
Korelasi antara pengetahuan Wajib Pajak dengan etika
penggelapan pajak adalah setiap Wajib Pajak yang memiliki
pengetahuan pajak yang sempurna dia akan menyadari posisinya
sebagai seorang Wajib Pajak. Maka, Wajib Pajak tersebut akan
melakukan pembayaran pajak dengan baik, dia tidak akan merasa
dirugikan dengan melakukan pembayaran pajak tersebut. Pengetahuan
Wajib Pajak yang baik, akan meminimalisir terjadinya penggelapan
pajak. Hal ini dikarenakan setiap Wajib Pajak akan melaksanakan
kewajibannya sebagaimana mestinya, setiap Wajib Pajak yang
merupakan para akademisi, ataupun praktisi akan lebih mampu
memahami kewajibannya tanpa harus memungkiri dengan cara
melakukan penggelapan pajak. Hipotesis ketigaadalah :
Ha3 : Pengetahuan Wajib Pajak berpengaruh negatif terhadap etika
penggelapan pajak.
2.9.4. Sistem Perpajakan Dengan Etika Penggelapan Pajak
Sistem perpajakan di Indonesia menerapkan Self Assesment
System yaitu suatu sistem pemungutan yang Wajib Pajaknya boleh
menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang
harus disetor. Dalam sistem ini, Wajib Pajak bersifat aktif, sedangkan

46
Universitas Sumatera Utara

fiskus (pemerintah) hanya mengawasi.Oleh karena itu, Wajib Pajak
harus mengetahui kapan mulainya suatu kewajiban pajak dan kapan
berakhirnya kewajiban-kewajiban yang menyertainya.
Dalam penelitian Suryani (2013 : 96) menunjukkan sistem
perpajakan mempunyai tingkat pengaruh signifikasi sebesar 0,036 dan
nilai t sebesar - 2,115. Hal ini berarti Ha2 diterima sehingga dapat
dikatakan bahwa sistem perpajakan berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap penggelapan pajak karena tingkat signifikasi yang dimiliki
variabel sistem perpajakan < 0,05 (0,036 < 0,05) dan nilai t hitung >
1,97 (-2,115 > 1,97). Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian
Suminarsasi (2011) menyatakan bahwa sistem perpajakan memiliki
korelasi negatif signifikan terhadap penggelapan pajak.
Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh
Nickerson (2009) yang menemukan dimensi skala etis dalam
penggelapan pajak, salah satunya adalah dimensi sistem perpajakan.
Peneliti berargumen bahwa pengelolaan uang pajak yang dapat
dipertanggungjawabkan, petugas pajak yang kompeten dan tidak
korup, dan juga prosedur perpajakan yang tidak berbelit-belit akan
membuat Wajib Pajak enggan untuk menggelapkan pajak. Akan tetapi,
apabila pengelolaan uang pajak tidak jelas, ditambah lagi petugas
pajaknya justru mengkorupsi uang pajak, maka para Wajib Pajak
enggan untuk melaporkan kewajibannya dengan jujur, mereka akan
cenderung untuk menggelapkan pajak. Hipotesis keempatadalah :

47
Universitas Sumatera Utara

Ha4 : Sistem Perpajakan berpengaruh negatif terhadap etika
penggelapan pajak.
2.9.5. Kemungkinan

Terdeteksi

Kecurangan

Dengan

Etika

Penggelapan Pajak
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Suryani (2013 : 133), dapat dinyatakan bahwa “variabel kemungkinan
terdeteksinya kecurangan memiliki pengaruh negatif terhadap etika
penggelapan pajak”. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian
variabel kemungkinan terdeteksi kecurangan mempunyai tingkat
signifikasi sebesar 0,000 dan nilai t sebasar -4,490. Hal ini berarti Ha4
diterima sehingga dapat dikatakan bahwa kemungkinan terdeteksi
kecurangan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan
pajak karena tingkat signifikasi yang dimiliki variabel kemungkinan
terjadinya kecurangan < 0,05 (0,000 < 0,05) dan nilai thitung> 1,97 (4,490 > 1,97).
Ketika Wajib Pajak menganggap bahwa persentase terhadap
kemungkinan terdeteksinya kecurangan adalah tinggi yaitu dengan
dilakukannya pemeriksaan pajak. Hal ini berarti bahwa adanya rasa
khawatir yang dimiliki Wajib Pajak bahwa kemungkinan terdeteksinya
kecurangan akan menyebabkan mereka lebih mematuhi peraturan
perpajakan dan bahkan penggelapan pajak akan menjadi lebih rendah.
Analoginya, Wajib Pajak akan sangat takut terjerat hukum, jika mereka
melakukan penggelapan pajak yang nantinya mereka akan memperoleh

48
Universitas Sumatera Utara

sanksi atau bahkan denda yang lebih besar. Hal ini tentunya akan
meminimalisir penggelapan pajak yang mungkin terjadi. Hipotesis
kelima dan keenamadalah :
Ha5 :

Kemungkinan terdeteksinya kecurangan berpengaruh negatif
terhadap etika penggelapan pajak.

Ha6:

Intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), kepatuhan Wajib Pajak
(tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak (tax knowledge),
sistem

perpajakan

(tax

system)

dan

kemungkinan

terdeteksinya kecurangan (fiscal fraud) berpengaruh secara
simultan terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika
penggelapan pajak (Tax Evasion).

49
Universitas Sumatera Utara

2.10.

Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual ini memaparkan keterkaitan antara variabel-

variabel independen terhadap variabel dependen.

Intensitas Pemeriksaan Pajak
(tax audit)
(X1)
Ha1
Kepatuhan Wajib Pajak (tax
compliance)
(X2)

Ha2

Pengetahuan Wajib Pajak (tax
knowledge)
(X3)

Ha3
Ha4

Sistem Perpajakan (tax system)
(X4)

Persepsi Wajib Pajak
Mengenai Etika
Penggelapan Pajak (Tax
Evasion)
(Y)

Ha5

Kemungkinan Terdeteksinya
Kecurangan (fiscal fraud)
(X5)

Ha6
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual

50
Universitas Sumatera Utara

2.11. Kerangka Operasional Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka secara
skematis dapat dipaparkan kerangka pemikiran sebagai berikut:

Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) Pratama Binjai

Persepsi Etika Penggelapan
Pajak (Y)

Intensitas
Pemeriksaan
Pajak (X1)

Kepatuhan Wajib
Pajak
(X2)

Pengetahuan
Wajib Pajak
(X3)

Sistem
Perpajakan
(X4)

Kemungkinan
Terdete

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion)”.(Studi Empiris pada KPP Pratama Binjai)

11 62 145

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion)”.(Studi Empiris pada KPP Pratama Binjai)

0 1 14

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion)”.(Studi Empiris pada KPP Pratama Binjai)

0 0 2

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion)”.(Studi Empiris pada KPP Pratama Binjai)

0 0 14

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion)”.(Studi Empiris pada KPP Pratama Binjai)

0 0 3

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion)”.(Studi Empiris pada KPP Pratama Binjai)

0 0 20

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion). (studi empiris di kpp pratama medan-polonia)

1 1 15

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion). (studi empiris di kpp pratama medan-polonia)

0 0 2

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion). (studi empiris di kpp pratama medan-polonia)

1 1 17

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion). (studi empiris di kpp pratama medan-polonia)

1 3 52