Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kontrak Bisnis dengan Orang Asing T2 322011012 BAB IV

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian Penulis, maka akan ditarik kesimpulan
dan saran. Adapun kesimpulan dimaksud adalah dalam hukum
positif di Indonesia, terdapat pengaturan mengenai kontrak bisnis
dengan orang asing, walaupun tidak diatur ke dalam undang-undang
tersendiri, yaitu diatur dalam Pasal 1173 KUHPerdata, yang
menyatakan bahwa tidak boleh atau tidak dibenarkan berdasarkan
suatu persetujuan yang dibuat di suatu negeri asing, dilakukan
pembukuan hipotik atas benda-benda yang terletak di wilayah
Indonesia, kecuali apabila di dalam sesuatu traktat telah ditentukan
sebaliknya. Juga, terdapat pula dalam yurisprudensi No. 1695
K/Pdt/1984 tanggal 23 Mei 1986 dan yurisprudensi No. 641
K/Pdt/1993 tanggal 27 Juni 1996, yang secara tegas menyatakan
bahwa: “Perjanjian antara Warga Negara Indonesia dengan orang
asing tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum
yang obyeknya berada di wilayah Indonesia.”
Berbeda halnya dengan negara Skotlandia yang mengatur
secara tersendiri mengenai kontrak bisnis dengan orang asing,


Skotlandia mempunyai the Trading with the Enemy Act and Royal
Proclamation. Pernah Hakim yang bernama Lord Skerrington dan
Lord Anderson pada Court of Session Skotlandia menerapkan
prinsip hukum berdagang dengan orang asing. Para Penggugat
memiliki sebuah perusahaan yang menjalankan usaha dengan nama
Gebruder van Uden, yang berkedudukan di Duisberg, Jerman,
mereka berkontrak dengan seorang pemilik kapal di Glasgow. Jika
Penggugat merupakan pengusaha yang menjalankan usahanya di
Duisberg, Jerman, kemudian mereka melakukan usaha di negara
musuh, dalam arti mereka harus tunduk pada the Trading with the
Enemy Act and Royal Proclamation Skotlandia. Maka, mereka tidak
punya hak untuk meminta bantuan Pengadilan di Skotlandia untuk
menegakkan hak-hak sipil mereka. Karena mereka musuh asing,
proses tersebut harus selesai sampai akhir perang.
Hasil perbandingan antara sistem hukum Indonesia dengan
sistem hukum Skotlandia, seperti telah disinggung di muka bahwa
Indonesia tidak mempunyai suatu undang-undang khusus mengenai
transaksi bisnis dengan orang asing (khususnya pada saat perang
atau


dalam

keadaan

damai),

sedangkan

Skotlandia

sudah

mempunyai undang-undang tersebut. Hal ini dapat dimaklumi

bahwa mengingat Indonesia baru merdeka pada tahun 1945, dan
itupun diperoleh bukan dari kemenangan atas perang, tetapi karena
penjajahan.
Saran Penulis adalah, seharusnya Indonesia mengikuti
penerapan prinsip hukum yang berlaku di Skotlandia, dengan
argumentasi bahwa sistem hukum Skotlandia sudah lebih maju

dibandingkan dengan sistem hukum di Indonesia. Hal ini terlihat
dalam kasus antara PT. Saprotan vs. Ny. R. A. Moniek Sriwidjajanti,
dkk., dalam putusan MA No. 1080 K/Pdt/1998. Dalam kasus ini
Mahkamah Agung menyatakan persetujuan batal demi hukum (null
and void) karena adanya economic duress. Terlihat bahwa hakim
tersebut tidak mempermasalahkan antara perbedaan sistem hukum
civil law dan common law, inilah saran Penulis selanjutnya. Hakikat
pertentangan antara sistem hukum civil law dan common law sudah
banyak digaungkan oleh para sarjana hukum di Indonesia,
sebenarnya pendapat mereka kurang tepat menurut Penulis, karena
sebenarnya perbedaan itu tidak ada, sebab civil law adalah common
law yang dipositifkan, atau dengan kata lain, semua civil law
sebenarnya adalah common law.

Kasus di atas pernah diberi catatan oleh Sogar Simamora, dia
berpendapat bahwa terdapat dua kekeliruan disini, pertama dari segi
terminologi yang digunakan tercermin inkonsintensi. Kata “null and
void“ and “economic duress” tidak tepat diterapkan dalam kasus a
quo. Kedua, economic duress merupakan salah satu bentuk undue
influence dalam common law dengan akibat kontrak voidable.

Dengan demikian secara subtansial penerapan prinsip ini tidak tepat.
Lebih lanjut, Sogar Simamora mengatakan bahwa putusan
ini jelas menunjukkan pengaruh kuat dari hukum kontrak common
law. Situasi seperti ini di antaranya karena secara subtansial Hukum
Perdata kita terutama yang menyangkut Hukum Perikatan tidak lagi
memadai dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hukum dalam
masyarakat,

terutama

dalam

lapangan

perekonomian

yang

berkembang penuh dinamika. BW kita harus diakui telah
ketinggalan jaman (out of date) dan bagi salah satu ahli Hukum

Kontrak terkemuka, instrumen hukum yang demikian ini dapat
dikategorikan sebagai bad law.1
Terlihat Sogar Simamora membentengi antara civil law dan common
law seperti pendapatnya di atas, tetapi di satu sisi beliau mengakui
bahwa secara subtansial Hukum Perdata kita terutama yang
menyangkut Hukum Perikatan tidak lagi memadai dalam memenuhi
1

P.S. Atiyah, Law and Modern Society, Loc. Cit.

tuntutan kebutuhan hukum dalam masyarakat, terutama dalam
lapangan perekonomian yang berkembang penuh dinamika. BW
diakui telah ketinggalan jaman (out of date). Lalu mengapa dia
menyangkal hakim yang memakai kaidah hukum yang katanya
common law, toh hukum kita sudah ketinggalan jaman?