Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Migran dalam Bingkai Orang Papua T2 092011007 BAB IV

Bab Empat
Keberagaman Kegiatan Ekonomi M igran di
Distrik Nabire Barat

Pengantar
Para migran dari berbagai daerah yang ada di Distrik Nabire
Barat menggeluti jenis kegiatan ekonomi yang berbeda-beda. M igran
dari Nusa Tenggara Timur (NTT) lebih memilih kegiatan ekonomi di
sektor pertanian padi, perkebunan coklat, jeruk manis, dan olah kayu.
Di Papua olah kayu biasa disebut kerja sensor sedangkan orang yang
melakukan kegiatan olah kayu mulai dari proses kegiatan tebang
sampai pada tahap akhir disebut operator sensor. Dari ketiga jenis
kegiatan ekonomi, migran Nusa Tenggara Timur (NTT) lebih banyak
pada pertanian, migran dari Bugis M akassar mulai dari awal bermigrasi
ke Distrik Nabire Barat hanya menekuni kegiatan pertanian padi dan
olah kayu. Dari kedua jenis kegiatan ekonomi ini migran Bugis
M akassar lebih banyak menggeluti kegiatan olah kayu. Sampai
sekarang pun migran Bugis M akassar masih tetap menekuni kegiatan
olah kayu, kalau pun ada kegiatan ekonomi lain seperti bisnis ataupun
jualan di pasar itu pun tidak seberapa.
M igran Jawa lebih banyak pada kegiatan pertanian, terutama

padi. Selain pertanian mereka juga melakukan kegiatan ekonomi yang
lain seperti peternakan, toko, kios dan proyek. M igran Jawa lebih
menguasai sumberdaya ekonomi di Distrik Nabire Barat dibandingkan
migran yang lain. Dari ketiga kelompok migran ini baik yang berstatus
sebagai transmigran lokal maupun transmigran luar mempunyai cerita
45

yang berbeda-beda tentang kegiatan ekonomi yang ditekuninya.
Berikut ini akan dibahas masing-masing kegiatan migran tersebut.

M igran Jawa
Pertanian padi oleh migran Jawa dilakukan secara teliti mulai
dari penggarapan lahan sampai penanaman. Penggarapan lahan biasa
disebut dengan penggemburan lahan. Pada tahap ini migran Jawa
terkadang tidak melakukan pembersihan lahan dari sisa-sisa akar padi
yang selesai dipanen tetapi mereka langsung melakukan penggemburan lahan. M ereka percaya akar yang membusuk bisa menambah
kesuburan lahan. Sampai tahap ini migran Jawa masih menggunakan
tenaga manusia, namun pada umumnya sudah menggunakan tenaga
sapi dan traktor untuk melakukan penggemburan lahan, sehingga
pekerjaannya cepat selesai dalam beberapa hari. M ereka membutuhkan

waktu kerja sekitar 1 sampai 2 hari tergantung cuaca. Luas lahan yang
digarap sekitar 0.5 hektar bisa 1 hari, sedangkan jika 1 hektar kadang
bisa lebih dari 1 hari. Untuk membuka lahan baru biasa membutuhkan
waktu sekitar 3 sampai 4 hari kerja, karena tahap ini masih menggunakan tenaga manusia untuk membersihkan sisa-sisa kayu dan rumput
dari lahan. Setelah bersih baru dilakukan penggemburan dengan
menggunakan tenaga sapi atau traktor. Tentu dengan tenaga sapi atau
traktor hasilnya lebih merata, rapi dan bersih. Pada tahap ini mereka
sudah mulai memberikan pupuk.
Tenaga Sapi atau Traktor yang digunakan ada yang disewa, ada
juga milik pribadi. Beberapa informan mengatakan bahwa untuk sewa
traktor atau sapi biasanya ada yang dihitung berdasarkan luas lahan,
ada juga yang dihitung per hari kerja. Kalau luas lahan 0,5 hektar
biasanya dibayar sekitar Rp. 750.000,-. Jadi untuk satu hektar, petani
mengeluarkan Rp. 1.500.000,- untuk penggarapan atau penggemburan.
Sedangkan perhitungan per hari juga sama yaitu satu hari kerja yang
punya lahan harus mengeluarkan sekitar Rp.750.000,- namun ini
bukan standar harga yang baku. Dalam proses kerjanya terkadang
langsung ditangani pemilik traktor atau pemilik sapi.

46


Pada tahap pekerjaan awal ini sudah ada kerja sama antara lakilaki dan perempuan, sekalipun laki-laki begitu berperan. Karena tahap
ini dirasa berat apabila belum menggunakan tenaga sapi atau traktor,
maka istri tidak begitu dilibatkan pada pekerjaan tersebut. Berdasarkan
pengamatan peneliti, perempuan migran Jawa selalu aktif membantu
suami di ladang. Sekalipun istri hanya melakukan pekerjaan tertentu
seperti membersihkan rumput di sekitar lahan. Ada juga yang melakukan pekerjaan lain seperti jualan di pasar pada pagi hari, sore
harinya bisa membantu suami di ladang. Ada juga sebaliknya laki-laki
melakukan pekerjaan lain, namun tetap membantu istri di ladang.
Tetapi hanya pada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang membutuhkan
tenaga laki-laki, sedangkan selebihnya dikerjaan istri. Pekerjaan
tertentu seperti saat panen dan mengangkut hasil panen ke rumah
dengan menggunakan sepeda, sepeda motor dan gerobak. Namun pada
umumnya pertanian padi yang dikakukan migran Jawa selalu ada kerja
sama antara suami istri mulai dari penggarapan lahan sampai hasil
akhir menjadi beras.
Lahan yang digunakan oleh migran Jawa pada umumnya lahan
yang sudah disiapkan lewat program transmigrasi, yang diperuntukkan
bagi transmigran awal baik yang berstatus sebagai migran lokal
maupun migan dari luar, dan disiapkan juga lahan untuk anak pertama

atau anggota keluarga dari transmigran awal yang disebut dengan
istilah pemecahan KK. Artinya anak-anak atau keluarga dari transmigran awal ini yang sudah berkeluarga diberikanlah tanah tersebut.
Ada juga sebagian migran Jawa yang mempunyai hubungan baik
dengan orang Papua, namun belum sampai pada pemberian lahan
secara cuma-cuma. Kemungkinan ada semacam membeli lahan tetapi
dengan harga yang lebih murah dari harga biasanya. Bisa terjado orang
Papua yang punya lahan namun sedang membutuhkan uang, sehingga
ia jual kepada migran Jawa dengan harga yang sedikit miring. Harga
biasa yang dimaksud adalah dimana harga tanah yang posisinya di
pinggir jalan poros itu sekitar puluhan sampai ratusan juta rupiah,
apalagi bila tanah mempunyai posisi strategis nilai jualnya lebih tinggi.

47

Pembibitan benih padi migran Jawa yaitu mulai dari persiapan
sampai waktu pembibitan. Tahap persiapan bibit yang diambil dari
padi yang dianggap sudah matang kemudian direndam dalam air
dengan menggunakan tempayan selama 24 jam. Setelah itu diambil
yang tenggelam dan ditabur pada tanah yang sudah gembur dan
diberikan pupuk serta diawasi selama proses pembibitan. Proses ini

membutuhkan waktu sekitar dua minggu lebih dan pada umumnya
tempat persemaian bibit berdekatan dengan lahan yang akan ditanami
padi, agar memudahkan proses penanaman. Selain itu bibit atau benih
padi dalam kondisi yang masih segar dan kuat di saat penanaman.
Ukuran tempat yang digunakan untuk persemaian pembibitan tidak
menentu mulai dari satu meter hingga 3 meter tergantung besarnya
lahan yang akan ditanami. Yang terlihat di saat penelitian, tempat
pembibitan migran Jawa pada umumnya berkisar antara dua sampai
dua setengah meter, namun di dalam ukuran tersebut dibuat kotakkotak, sesuai dengan jenis padi yang ingin ditanam, pada tahap
pembibitan ini migran Jawa sudah menggunakan pupuk.
Peneliti memperoleh informasi tentang jenis-jenis bibit padi
yang biasa ditanam oleh petani adalah jenis padi Sendani, IR 36, dan
M embramo. Tiga jenis padi ini mempunyai bentuk dan kualitas yang
berbeda dimana jenis padi Sendani ukurannya tinggi-tinggi, bersih
berasnya, dan mempunyai hasil yang agak banyak sekitar dua sampai
tiga ton lebih per hektar, dan membutuhkan waktu sekitar tiga bulan
lebih. Jenis padi IR 36 ukurannya berbeda, hasilnya tidak terlalu
banyak dan berasnya biasa-biasa saja, membutuhkan waktu sekitar tiga
bulan. Sedangkan jenis padi membramo ukurannya tinggi, berasnya
bersih dan bijinya agak besar-besar, hasilnya sekitar satu sampai dua

ton per hektar, membutuhkan waktu sekitar tiga bulan lebih dan
kualitasnya di atas semua jenis padi yang lain, sehingga mempunyai
harga yang sedikit beda apabila dijual ke luar kota. Namun demikian
harga di sekitar lokasi penelitian yaitu di Distrik Nabire Barat berkisar
antara Rp. 9.000,- sampai Rp. 10.000,- per kilogram dari semua jenis
padi yang ada. Hasil per hektar tersebut tidak menentu tergantung
kondisi dan cuaca.

48

W aktu penanaman umumnya dilakukan pada sore hari agar
cuaca tidak terlalu panas. Pada saat proses penanaman migran Jawa
selalu memperhitungkan jarak tanam yaitu diatur antara dua baris
tanaman padi diselingi dengan satu baris kosong. Begitu pun sudah
memperhatikan pembersihan rumput yang tumbuh di sekitar lahan,
dan bedeng yang digunakan sebagai pembatas antara petak sawah
sekaligus sebagai tempat menyeberang ke ladang yang dibuat agak
tinggi dan lebar serta tidak tertutup oleh padi dan rumput sehingga
tidak mempersulit proses pengangkutan hasil. M igran Jawa juga telaten
dalam masalah hama dan jenis pupuk yang digunakan untuk pembersihan hama, mereka juga memperhatikan irigasi dengan baik. Pada

tahap ini migran Jawa sudah bisa memperhitungakan hasil yang akan
diperoleh, dan waktu kerja biasa dua kali sehari yaitu pagi dan sore.
Pagi mulai dari sekitar jam tujuh sampai jam sebelas, siang mereka
pulang setelah itu sekitar jam tiga sore mereka kembali ke ladang
sampai sekitar jam lima sore baru mereka pulang. Pada umumnya
mereka menggunakan sepeda, motor, dan ada juga yang hanya berjalan
kaki.
Tahap penanaman biasanya dilakukan secara gotong-royong
terutama tetangga dan keluarga. Untuk migran Jawa dalam pekerjaan
ini tidak begitu sulit karena begitu kuatnya hubungan antara migran
Jawa dengan migran Jawa yang lain, juga dengan migran lain terutama
migran Bugis M akassar dan sebagian orang Papua yang ada di daerah
transmigrasi. Hal ini mempercepat proses dalam penanaman dan
diusahakan pekerjaannya harus selesai atau habis ditanam pada hari itu
juga. Hal ini dilakukan agar proses pematangannya seragam sehingga di
saat panen juga dilakukan serentak. Kemudian pada saat panen ada juga
sistem kerja gotong-royong, namun hanya berjalan dalam beberapa
hari, satu hari pertama dilakukan secara bersama-sama baik keluarga,
tetangga maupun migran lainnya, sedangkan untuk hari-hari berikut
dilakukan oleh keluarga. Pada tahap ini migran Jawa tidak terlalu

mengalami persoalan karena sudah terbiasa serta memaksimalkan
pekerjaannya. M aksimal di sini adalah menyangkut dengan ketepatan
waktu kerja, baik yang membantu maupun yang mempunyai keperluan, semua sudah siap sesuai dengan waktu yang ditentukan serta alat49

alat yang dibutuhkan, namun biasanya untuk panen masing-masing
orang sudah membawa alat atau sabit dari rumah, sebagaimana
penuturan informan berikut ini:
Untuk Panen dan tanam sudah terbiasa tidak ada masalah
tegantung kita dan itu biasa kerja gotong royong jadi pagi hari
sudah siap, bisa kerja sore tapi kalau panen bagus itu pagi karena
biasa dilanjutkan dengan proses pemisahan kalau tidak sore baru
kembali lagi tapi tanam biasanya sore hari tapi tergantung cuaca
juga.

Dari pengakuan informan ini tentang pekerjaan panen dan tanam
padi tidak menjadi masalah selama pengaturan dan ketepatan waktu
menjadi perhatian. Hal ini agar pekerjaan yang dilakukan atau panen
padi bisa selesai tepat waktu karena dikerjakan oleh banyak orang,
kecuali ada hambatan lain seperti cuaca yang tidak mendukung atau
kurang tenaga kerja. Pembagian waktu kerja antara panen dan tanam

di mana panen dilakukan pada pagi hari karena ada pekerjaan lanjutan.
Setelah selesai panen misalnya dilakukan proses pemisahan padi dari
tangkainya dan pengumpulan hasil panen di satu tempat yang dekat
dengan alat yang digunakan untuk pemisahan padi, sedangkan waktu
tanam yang dilakukan pada sore hari karena hanya satu kerja. Selain
itu dengan pertimbangan kalau tanam sore bibit padi tidak begitu kena
terik matahari yang berlebihan, sehingga bibit dalam kondisi kuat,
apalagi di Nabire pada sore hari sering turun hujan.
Berdasarkan pengamatan peneliti, migran Jawa selalu menggunakan sabit untuk memotong padi, kalau sabit hasil pemotongnya agak
cepat, rapi dan ketajamannya bertahan serta kurang menggugurkan
atau menjatuhkan padi. Setelah itu dilakukan proses pemisahan padi
dari tangkainya yaitu dengan memukul atau membanting padi di atas
sebuah kuda-kuda yang dibuat dari kayu. Kuda-kuda ini biasanya lebih
dari satu dan proses pemukulan padi dilakukan oleh laki-laki maupun
perempuan. Di bawah kuda-kuda tadi dialaskan terpal dan proses ini
dilakukan di lokasi panen. Padi yang sudah dipisahkan dimasukkan ke
dalam karung yang rata-rata berukuran 50 kilogram, kemudian dibawa
ke rumah. Proses pemisahan padi dari hampa-hampa disebut pengipasan yang biasa dilakukan di lokasi panen atau di rumah dan
50


kebanyakan menggunakan tenaga perempuan. Di rumah dilakukan
proses pengeringan yaitu penjemuran di panas matahari sampai
menjadi kering. Setelah kering kemudian dimasukkan kembali ke
dalam karung dan dilakukan proses penumbukan. Pekerjaan ini
dianggap agak sedikit ribet atau susah karena apabila padi belum kering
akan rusak dan hancur bersama sekam dan tidak bisa dimakan. Pada
tahap ini padi sudah siap dibawa ke tempat pengilingan untuk diproses
menjadi beras.
Dari beberapa informasi yang peneliti peroleh, untuk ukuran
lahan 75 x 100 bisa menghasilkan dua ton beras, kadang bisa lebih
kadang juga kurang, tergantung hasil panen yang diperoleh. Dari hasil
panen tersebut sebagian dimakan dan sebagian dijual, jaringan
penjualannya hanya sebatas kios dan koperasi yang dihargai dengan
Rp. 8.000,- sampai Rp. 10.000,- per kilogram. Harga ini bisa mengalami
perubahan naik atau turun tergantung kondisi panen. Sebagaimana
penuturan informan berikut ini:
Ya hasilnya sebagian untuk makan sebagian dijual Biasanya di
jual dikios atau dikoperasi dengan harga Rp 8.000 sampai
Rp I0.000, harga ini bisa mengalami perubahan naik atau turun.
Kalau naik berarti jumlah hasil panen berkurang sehingga

mengakibatkan harga mahal. Dan sebaliknya jika harga turun
berarti jumlah panen melimpah.

Dengan demikian pertanian padi yang dilakukan oleh migran
Jawa merupakan pekerjaan yang sudah terbiasa mereka lakukan
sehingga mulai dari proses awal sampai pada hasil dilakukan secara
telaten dan didukung dengan pengalaman yang cukup. Terlihat hasil
akhir yang diperoleh pun berbeda dengan pertanian padi yang
dilakukan oleh migran lain yang ada didaerah transmigrasi.
Peternakan sapi merupakan bagian dari kegiatan ekonomi
migran Jawa yang dilakukan secara pribadi dan kelompok. Kebanyakan
migran Jawa melakukan peternakan hanya pada satu jenis ternak yaitu
sapi, namun itu pun dilakukan secara pribadi dimana pembibitannya
diperoleh dengan cara membeli. Informasi yang peneliti terima dari
informan, bahwa satu ekor sapi betina harganya berkisar antara

51

Rp. 5.000.000,- - Rp. 7000.000,- lebih, sedangkan jantan harganya agak
murah karena tidak sulit mendapatkannya. Biasanya ada yang membeli
langsung satu pasang, tapi ada juga yang hanya betina. Proses
pemiliharaannya dilakukan dengan membuat kandang di pingir rumah
tapi ada juga yang hanya mengikat dekat rumah atau di tempat yang
dianggap aman. Umumnya pada pagi hari sekitar jam tujuh sapi dilepas
dan dibawa ke padang rumput untuk diberi makan, kemudian pada
sore harinya dibawa pulang ke rumah dengan menyiapkan rumput
untuk makan malam. Ada juga dengan cara melepas untuk mencari
makan, namun cara ini terkadang mengganggu kenyamanan lalu lintas,
dan kotorannya juga mengotori jalan serta merusak hasil tanaman
tetangga atau orang lain. Dari hal-hal sepele ini terkadang menimbulkan kesalahanpahaman yang bisa berakhir dengan konflik.
Usia sapi betina yang sudah siap dikawinkan adalah pada usia
antara 16 bulan sampai 18 bulan. Pada tahap ini seorang peternak yang
hanya mempunyai satu ekor sapi betina melakukannya dengan cara
menitipkan pada peternak lain yang mempunyai sapi jantan untuk
dilakukan proses perkawinan. Setelah selesai proses perkawinan, sapi
betina dibawa pulang oleh pemiliknya, begitu seterusnya sampai hamil.
Dalam proses ini biasanya ada pembicaraan antara pemilik sapi betina
dan pemilik sapi jantan yaitu setelah sapi betina melahirkan apakah
pada kelahiran pertama atau kelahiran kedua akan diberikan satu ekor
anak sapi kepada pemilik sapi jantan sebagai imbalan.
Ternak sapi yang dilakukan migran Jawa secara kelompok di
Distrik Nabire Barat ini dimulai antara tahun 2010 dan 2011, dimana
sapinya diberikan oleh pemerintah pusat dalam bentuk bantuan kepada
warga transmigran di Distrik Nabire Barat, dan di Distrik W anggar.
Khusus di Distrik Nabire Barat informasi yang peneliti terima, bahwa
bantuan ini hanya dibagi pada beberapa tempat yaitu Satuan Pemukiman Satu (SP I) dan Satuan Pemukiman Tiga (SP 3), masing-masing
tempat menerima seratus dua puluh ekor yang terbagi dalam dua
kelompok, yaitu satu kelompok khusus migran dari Jawa dan satu
kelompok lagi untuk migran lokal Papua, baik Papua gunung maupun
pantai dengan jumlah sapi masing-masing kelompok 65 ekor, yang

52

terbagi lagi jantan 30 ekor dan betina 30 dua ekor. Dalam prosesnya,
dari dua tempat ini yang dianggap berhasil dalam beternak sapi adalah
di Satuan Pemukiman Tiga (SP3). Secara kelompok yang dianggap
kurang berkembang adalah kelompok ternak sapi migran Papua karena
kurang dikelola secara baik sehingga ada yang mati dan ada yang
hilang.
Hasil dari peternakan sapi ini akan terjual dengan cara pembeli
yang datang mencari sapi di daerah transmigrasi termasuk di Distrik
Nabire Barat. Per ekor bisa terjual dengan harga sekitar sepuluh sampai
lima belas juta rupiah lebih, tergantung ukuran sapi yang akan dibeli.
Kebanyakan para pembeli adalah para pedagang daging sapi di
beberapa pasar yang ada di kota Nabire, yaitu Pasar Kalibobo dan Pasar
Sore KPR. Para pembeli dan penjual daging sapi ini kebanyakan berasal
dari suku Buton, Bugis dan M akassar (BBM ). Dua pasar ini mempunyai
waktu aktivitas yang berbeda, pasar Kalibobo aktivitasnya mulai jam
lima pagi sampai jam lima sore dan waktu padatnya mulai jam enam
pagi sampai dua belas siang, sedangkan dari jam dua belas sampai sore
kegiatan pasar sudah mulai berkurang karena para penjual sudah pada
pulang. Kebanyakan para penjual tidak menetap di sekitar pasar tetapi
mereka ada yang tinggal di daerah SP maupun tempat lain yang ada di
kota. Istilah pasar sore digunakan karena waktu kegiatan hanya
dilakukan pada sore hari, mulai dari jam dua sampai jam enam sore,
dan waktu padatnya mulai dari jam dua sampai jam lima kurang. Para
penjual di pasar sore ini pada umumnya dari luar dan yang ada di
sekitar KPR. Namun bedanya yang peneliti amati di saat belanja di
pasar sore ini lebih banyak mama dari Papua, baik Papua gunung
maupun Pantai yang berjualan di pasar ini, dibandingkan di pasar
Kalibobo. Kebanyakan mereka berjualan hasil kebun mulai dari sayur
sampai buah-buahan. Pada tataran hasil jualan ini mama-mama dari
Papua lebih menguasai dibanding mereka yang dari luar Papua.
Kegiatan olah kayu merupakan bagian dari kegiatan ekonomi
yang dilakukan oleh migran di Distrik Nabire Barat. Dua bentuk
kegiatan olah kayu yang dilakukan oleh migran Jawa yaitu dilakukan
secara kelompok yang biasa disebut Sommwel (Usaha Kayu), dan yang

53

dilakukan secara pribadi. Bentuk usaha kayu secara kelompok ini
dilakukan bersama antara dua orang yang mempunyai modal untuk
menjalankan usaha kayu tersebut, namun secara operasionalnya
dilakukan dan ditangani oleh satu orang. Proses usaha sommwel ini
dilakukan dengan cara membeli lokasi dan mengolahnya sendiri, atau
membeli dari hasil operator yang dilakukan secara pribadi. Dari hasilhasil tersebut kemudian diolah sesuai dengan ukuran-ukuran standar
yang umum dibutuhkan oleh masyarakat. Untuk mendapatkan lokasi
kayu dilakukan negosisasi dengan pemilik hak ulayat tentang harga
yang akan disepakati antara pembeli dan pemilik hak ulayat. Peneliti
memperoleh informasi bahwa harga lokasi kayu biasa disebut dengan
blok, jadi untuk satu bloknya seorang pengusaha harus mengeluarkan
Rp. 20.000.000,-. Harga ini bukan harga standar tetapi sewaktu-waktu
akan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan nilai kayu di
masyarakat.
Setelah lahan atau lokasi diperoleh maka dilakukan pengolahan.
Proses pengolahan pada umumnya seorang pengusaha mencari tenagatenaga operator sensor. Sebelum pekerjaan dimulai pembicaraan per
kubik dihargai berapa, tergantung kesepakatan antara operator dengan
majikan. M enurut informan, dua bentuk harga per kubik berbeda, yang
pertama untuk satu kubik kayu merbau dihargai satu juta rupiah
sedangkan jenis kayu putih satu kubik dihargai delapan ratus ribu
rupiah. Kemudian yang kedua untuk kayu merbau atau besi dihargai
enam ratus ribu rupiah dan kayu putih lima ratus ribu rupiah, harga ini
baru ongkos kerja, namun kalau dihitung-hitung, hasil akhirnya akan
sama dengan standar harga pertama, dan rata-rata seorang operator
sudah memiliki mesin sensor secara pribadi. Seluruh proses hasil dari
hutan sampai ke tempat penjualan atau sommwel merupakan
tanggungjawab majikan. Perbedaan harga antara kayu merbau (besi)
dan kayu selain merbau disebabkan karena proses kerja yang berbeda,
dimana kayu merbau proses kerjanya sedikit lama karena keras
sehingga satu hari belum tentu seorang operator mendapatkan satu
kubik. Selain itu kayu merbau agak sulit diperoleh dan letaknya
semakin jauh ke dalam hutan, sedangkan kayu yang lain tidak begitu
sulit karena proses kerjanya sedikit cepat, sehingga dalam satu hari
54

seorang operator bisa memperoleh satu kubik bahkan bisa lebih
tergantung situasi dan kondisi mesin yang digunakan.
Kegiatan olah kayu yang dilakukan secara pribadi dan hasilnya
dijual ke sommwel atau pesanan orang, seorang operator melakukannya sendiri. Biasanya lahan yang digunakan untuk olah kayu
mereka minta ijin di pemilik ulayat. Sesuai informasi yang peneliti
peroleh, seorang kepala suku bersedia memberikan kesempatan kepada
operator siapa saja yang mau bekerja di lahannya dengan tujuan untuk
kebutuhan keluarga. Ukuran kayu untuk pesanan pada umumnya
berukuran 5.5 dengan jumlah 100 batang dihitung satu kubik dengan
harga sekitar 2 sampai 3 juta lebih. Jika beli dari sommwel harganya
Rp. 4.500.000,-, ada juga ukuran 5.10 dengan jumlah 50 batang
sedangkan 10.10 dengan jumlah 25 batang dengan harga yang sama
yaitu 4 juta lebih. Jual ke sommwel atau pesanan sekitar 2 sampai 3
juta per kubik. Perbedaan harga jual dan beli di sommwel karena di
sommwel sudah dilakukan pembersihan sehingga harganya beda.
Ukuran yang dijual ke sommwel misalnya 10.10 cm panjang empat
meter harus dibuat 13.13 cm, karena di sommwel dilakukan pembersihan lagi sehingga dari 13 cm menjadi 12 sampai 11 cm. Untuk
pekerjaan olah kayu secara pribadi ini migran Jawa juga cukup banyak.
Kegiatan ekonomi lain yang sebagian besar dilakukan atau
dikuasai oleh migran Jawa Distrik Nabire Barat cukup bervariasi, mulai
dari jualan di pasar, kios, toko, rumah makan, warung, bengkel,
mebeller, sopir taxi, tukang, APM S dan kontraktor. Dari keragaman
kegiatan ekonomi migran Jawa ini menandakan bahwa migran Jawa
lebih ulet dan cepat membaca peluang-peluang kegiatan ekonomi. Bisa
saja satu orang migran Jawa bisa melakukan beberapa kegiatan
ekonomi sekaligus. Berdasarkan pengamatan di saat penelitian, sebagian kegiatan bengkel ditekuni oleh remaja-remaja yang masih duduk di
bangku SM A, ada yang sudah tamat, ada juga yang putus sekolah.
M ereka lebih bersemangat dalam melakukannya dengan mengandalkan kemampuan dan pengalaman yang mereka miliki. Sekalipun
terlihat dari alat-alat yang mereka gunakan tidak selengkap bengkelbengkel lain, namun jaringannya lebih banyak terutama anak-anak

55

muda, dan sebagian masyarakat. Tempat yang digunakan untuk
kegiatan bengkel pada umumnya dekat rumah dan ada kios. Untuk
ukuran toko sekitar enam buah toko yang terdiri dari satu pemiliki
orang Cina, lima yang lain adalah migran Jawa. Dari lima migran Jawa
yang terlihat cukup lengkap penyediaan tokonya adalah Hj Sutrisno,
mulai dari pulsa, pengisiaan air galon, foto copy, tempat pencucian
kendaraan, pangkalan pengisian bahan bakar, bensin, solar dan minyak
tanah, bahkan oli. Di samping itu juga perlengkapan pertanian, dan
bahan-bahan bangunan serta barang pecah belah. Dari segi harga toko
Hj Sutrisno memberi harga agak miring, sehingga terlihat banyak
pembeli yang berbelanja di tokonya. Dari beberapa kegiatan ekonomi
pak Sutrisno ini, semua terletak di sekitar lingkungan toko, yang
kebetulan pak Sutrisno dan istrinya terlibat langsung proses kegiatannya. Pada umumnya kegiatan ekonomi migran Jawa menggunakan
vasilitas pribadi terutama tempat yang digunakan untuk kegiatan
ekonomi tersebut.
Untuk usaha angkutan taxi antar kota dan beberapa tempat di
Distrik Nabire Barat, yaitu Satuan Pemukiman Tiga (SP3) dan Satuan
Pemukiman Dua (SP2) dan berakhir di Satuan Pemukiman Satu (SP1).
Dari beberapa kendaraan yang digunakan terlihat sebagian sudah tidak
layak dioperasikan, karena sering mengalami kerusakan atau mogok di
saat dalam perjalanan, dan sebagian lain masih bagus dan layak untuk
digunakan. Sopirnya rata-rata orang migran Jawa yang tinggal di
daerah transmigrasi SP 1, 2, dan 3 di Distrik Nabire Barat. Untuk
mendapatkan penumpang harus antri, setelah mobil pertama penuh
baru diganti dengan mobil berikutnya dan harus penuh dulu baru
jalan, sehingga untuk cepat jalan harus memilih pada pagi hari karena
banyak penumpang, begitu seterusnya. Adapun tarif yang digunakan
pada penumpang sekitar Rp. 4.000 sekali jalan, sedangkan untuk pelajar
sekitar mempunyai tarif beda sekitar Rp. 3.000,-.
Untuk kegiatan ekonomi yang bergerak di bidang kontraktor
atau pemborong baru satu orang migran Jawa yang melakukannya.
Kegiatan ekonomi ini dimulai sekitar tahun 2011 dan kegiatan ini
memerlukan dana yang besar. Peneliti memperoleh informasi bahwa

56

untuk mengurus administrasi perusahan saja mengeluarkan dana
sekitar tiga ratus juta termasuk biaya transportasi dan uang saku selama
pengurusan. Setelah semua administrasi diperoleh dan perusahaan
sudah berjalan, kegiatan yang dilakukan adalah penyewaan beberapa
alat-alat berat seperti traktor untuk kegiatan pengairan pertanian dan
pembersihan lokasi pertanian di beberapa tempat di daerah transmigrasi di Kabupaten Nabire, seperti Topo, W anggar dan Distrik
Nabire Barat.
Untuk Distrik Nabire Barat biliau sendiri yang terlibat langsung
menanganinya, sehingga terlihat perkembangan pengairan ke sawahsawah sudah mulai bagus dan dirasakan oleh semua petani. Pekerjaan
ini akan terus dilakukan karena merupakan tanggungjawab yang
diberikan oleh pemerintah kepada beliau (pak Simirin) dalam membantu lembaga pertanian untuk bersama-sama memperhatikan perkembangan pertaniaan di daerah transmigrasi, karena beliau mempunyai pengalaman dalam mengelola pertanian. Selain itu beliau juga
dikenal sebagai sesepuh migran Jawa di Distrik Nabire Barat. Beliau
juga mempunyai hubungan baik dengan orang penting di pemerintahan baik di Kabupaten maupun Provinsi. Di masyarakat beliau juga
mempunyai hubungan baik dan dikenal orang Papua, bahkan beberapa
kepala suku di Distrik Nabire Barat.

M igran Bugis M akassar
Pertanian padi merupakan bagian dari kegiatan ekonomi migran
Bugis M akassar di Distrik Nabire Barat. Cara bertani padi migran Bugis
M akasar mirip dengan migran Jawa yaitu mulai dari penggarapan lahan
sampai penanaman. Penggarapan lahan yang biasanya disebut dengan
penggemburan lahan, pada tahap ini migran Bugis M akassar juga
melakukan pembersihan lahan dari sisa-sisa akar padi yang selesai
dipanen, setelah itu baru dilakukan penggemburan lahan. Untuk tahap
ini migran Bugis M akassar sudah menggunakan tenaga sapi dan traktor
sehingga pekerjaannya cepat selesai. M ereka hanya membutuhkan
waktu kerja sekitar 1 sampai 2 hari kerja tergantung cuaca dan luas

57

lahan yang digarap, kalau setengah hektar biasanya 1 hari sedangkan 1
hektar kadang bisa lebih dari 1 hari.
Umumnya di Distrik Nabire Barat harga sewa tenaga sapi atau
traktor yang digunakan petani padi berlaku sama. Beberapa informan
di saat penelitian mengatakan bahwa untuk sewa traktor atau sapi
biasanya ada yang dihitung berdasarkan luas lahan yang mau digarap,
ada juga yang dihitung perhari kerja. Kalau luas lahan setengah hektar
biasanya dibayar sekitar Rp.750.000,- sehingga satu hektar petani bisa
mengeluarkan Rp. 1.500.000,- untuk penggarapan atau penggemburan.
Sedangkan perhitungan per hari juga sama yaitu satu hari kerja yang
punya lahan harus mengeluarkan sekitar Rp. 750.000,-, namun ini
bukan standar harga yang baku.
Pada tahap pekerjaan awal laki-laki migran Bugis Makassar lebih
berperan dibandingkan perempuan atau istri. Pada tahap ini pekerjaannya agak berat dan membutuhkan tenaga yang kuat sehingga istri
tidak begitu dilibatkan dalam pekerjaan. Berdasarkan pengamatan pada
migran Bugis M akassar, ada keterlibatan istri ada juga yang tidak.
Keterlibatan istri hanya pada pekerjaan tertentu seperti pembersihan
rumput di sekitar lahan. Ada yang hanya mengantar makanan setelah
itu ia pulang, ada pula yang membantu suami. Ini biasanya terjadi pada
laki-laki yang kawin dengan migran Jawa, yang tidak mempunyai
pekerjaan lain, atau sebaliknya laki-laki melakukan pekerjaan lain
sambil membantu istri di ladang tetapi hanya pada pekerjaan-pekerjaan
tertentu yang membutuhkan tenaga laki-laki, selebihnya dikerjakan
istri. M ereka yang kawin sesama suku biasanya istri atau perempuan
memilih melakukan pekerjaan lain seperti jualan di pasar atau di
rumah melakukan usaha kios. Terkadang juga membantu suami
menjemur hasil panen namun keterlibatannya terbatas sekali dalam
pekerjaan ini.
Lahan yang digunakan migran Bugis M akassar merupakan lahan
yang sudah disiapkan lewat program transmigrasi, yang diperuntukkan
bagi transmigran awal baik yang berstatus sebagai migran lokal (Papua
dan NTT) maupun migan dari luar. Ada juga sebagian migran Bugis
M akassar yang mempunyai hubungan baik dengan sebagian orang

58

Papua, namun belum sampai pada pemberian lahan secara cuma-cuma.
Paling tidak mereka membeli lahan tetapi dengan harga yang lebih
murah dari biasanya. Terkadang orang Papua yang punya lahan
membutuhkan uang sehingga ia jual kepada migran Bugis M akassar
dengan harga yang sedikit murah. Harga biasa dimaksudkan adalah
dimana harga tanah yang posisinya di pingir jalan poros itu sekitar
puluhan sampai ratusan juta rupiah, apalagi tanah yang mempunyai
posisi strategis nilai jualnya sangat tinggi.
Tahap pembibitan benih padi yang dilakukan migran Bugis
M akassar sama dengan migran Jawa, yaitu mulai dari persiapan bibit
sampai waktu pembibitan. Tahap persiapan bibit yaitu diambil dari
padi yang dianggap sudah matang kemudian ditancap ke dalam tanah
gembur dan diberikan pupuk serta diawasi selama proses pembibitan.
Proses ini membutuhkan waktu sekitar dua minggu lebih dan pada
umumnya tempat persemaian bibit berdekatan dengan lahan yang
akan ditanami padi, agar memudahkan proses penanaman. Selain itu
bibit atau benih padi dalam kondisi yang masih segar dan kuat di saat
penanaman. Ukuran tempat yang digunakan untuk persemaian pembibitan tidak menentu, mulai dari satu meter sampai 3 meter tergantung besarnya lahan yang akan ditanami. Tempat pembibitan migran
Bugis M akassar berkisar antara dua sampai dua setengah meter, namun
di dalam ukuran tersebut dibuat kotak-kotak, sesuai dengan jenis padi
yang ingin ditanam.
Peneliti memperoleh informasi tentang jenis-jenis bibit padi
yang biasa ditanam oleh petani adalah jenis padi Sendani, IR 36, dan
M embramo. Tiga jenis padi ini mempunyai bentuk dan kualitas yang
berbeda dimana jenis padi Sendani ukurannya tinggi-tinggi, bersih
berasnya dan mempunyai hasil yang agak banyak sekitar 2 sampai 3
ton lebih per hektar yang membutuhkan waktu sekitar tiga bulan
lebih. Untuk jenis padi IR 36 ukurannya pendek-pendek hasilnya tidak
terlalu banyak dan berasnya biasa-biasa saja, membutuhkan waktu
sekitar tiga bulan. Sedangkan untuk jenis padi membramo ukurannya
tinggi, berasnya bersih dan bijinya agak besar-besar, hasilnya sekitar 3
sampai 4 ton per hektar, membutuhkan waktu sekitar tiga bulan lebih

59

dan kualitasnya di atas semua jenis padi yang lain sehingga mempunyai
harga yang sedikit beda apabila di jual keluar kekota. Namun harga di
sekitar lokasi penelitian yaitu di distrik Nabire Barat berkisar antara
Rp.9.000,- sampai 10.000,- per kilogram dari semua jenis padi yang ada.
W aktu penanaman umumnya dilakukan pada sore hari agar
cuaca tidak terlalu panas. Pada proses penanamannya peneliti amati
migran Bugis M akassar sudah memperhitungkan jarak tanam yaitu
diatur antara dua baris tanaman padi diselingi dengan satu baris
kosong. Begitu pun sudah memperhatikan pembersihan rumput yang
tumbuh di sekitar padi. Bedeng yang digunakan sebagai pembatas
antara petak sawah sekaligus sebagai tempat penyeberangan ke ladang
atau antar petak ke petak dibuat agak tinggi dan lebar serta tidak
tertutup oleh padi dan rumput sehingga tidak mempersulit proses
pengangkutan hasil. M ereka juga telaten dalam masalah hama dan
menggunakan jenis pupuk yang berfungsi memberihkan hama. M ereka
memperhatikan irigasi dengan baik sehingga pada tahap ini migran
Bugis M akassar bisa memperoleh hasil yang baik. W aktu kerja biasa 2
kali sehari yaitu pagi dan sore. Pagi biasa mulai dari sekitar jam 06.00
sampai jam 11.00 siang mereka pulang. Setelah itu sekitar jam 03.00
sore mereka kembali ke ladang sampai sekitar jam 5 sore baru mereka
pulang. Pada umumnya mereka menggunakan sepeda, atau sepada
motor, atau terkadang berjalan kaki.
Tahap penanaman biasanya dilakukan secara gotong-royong
terutama bersama tetangga dan keluarga. Untuk migran Bugis M akassar
dalam hal gotong-royong tidak begitu sulit karena begitu kuatnya
hubungan antara migran Bugis dengan migran lain terutama migran
Jawa dan sebagian orang Papua yang ada di daerah transmigrasi,
sehingga mempercepat proses penanaman yang diusahakan harus
selesai atau habis ditanam pada hari itu juga. Hal ini dilakukan agar
proses pematangannya merata agar mengurangi resiko hama. Kemudian pada saat panen ada juga sistem kerja gotong-royong namun hanya
berjalan dalam beberapa hari. Satu hari pertama dilakukan secara
bersama-sama baik keluarga, tetangga maupun migran lainnya, untuk
hari-hari berikutnya dilakukan oleh keluarga. Pada tahap ini migran

60

Bugis M akassar tidak terlalu mengalami persoalan karena sudah terbiasa serta memaksimalkan pekerjaannya, artinya menyangkut ketepatan waktu kerja, baik mereka yang membantu maupun yang
mempunyai keperluan, semua sudah siap sesuai dengan waktu yang
ditentukan dengan alat-alat yang dibutuhkan. Biasanya pada waktu
panen masing-masing orang sudah membawa alat atau sabit dari
rumah, sebagaimana penuturan informan berikut ini:
Panen dan tanam tidak ada masalah tegantung kita dan itu kerja
banyak orang jadi pagi hari sudah siap. Bisa kerja sore tapi ada
yang punya halangan ini halangan itu jadi kita panen pagi tanam
sore biasanya begitu.

Dari pengakuan informan ini tentang pekerjaan panen dan
tanam padi tidak menjadi masalah selama pengaturannya dan ketepatan waktu diperhatikan. Panen padi bisa selesai tepat waktu karena
dikerjakan oleh banyak orang, kecuali ada hambatan lain seperti cuaca
yang kurang mendukung atau kurang tenaga kerja. M ereka bagi waktu
kerja antara panen dan tanam. W aktu panen dilakukan pada pagi hari
karena ada pekerjaan lanjutan setelah selesai panen misalnya dilakukan
proses pemisahan padi dari tangkainya dan pengumpulan hasil panen
disatukan di satu tempat yang dekat dengan alat yang digunakan untuk
pemisahan padi. Setelah itu hasil pemisahan padi di bawa ke rumah.
Kemudian waktu tanam dilakukan pada sore hari karena hanya satu
kali, artinya tidak mengerjakan pekerjaan lain. Selain itu ada pertimbangan kalau tanam sore bibit padi tidak kena panas matahari,
sehingga bibit tetap dalam kondisi kuat.
Berdasarkan pengamatan peneliti, para migran Bugis M akassar
hanya menggunakan sabit untuk memotong padi. Kalau sabit hasil
pemotongnya agak cepat, rapi dan ketajamannya bertahan serta tidak
menggugurkan padi atau menjatuhkan padi. Setelah penuaian dilakukan, proses pemisahan padi dari tangkainya yaitu dengan memukul
atau membanting padi di atas sebuah kuda-kuda yang dibuat dari kayu.
Kuda-kuda ini biasanya lebih dari satu dan proses pemukulan dilakukan laki-laki maupun perempuan. Di bawah kuda-kuda dialaskan
terpal agar biji padi tidak jatuh ke tanah dan mudah untuk di-

61

kumpulkan. Proses ini biasa dilakukan di lokasi panen.
Padi yang sudah dipisahkan dimasukkan ke dalam karung yang
berukuran 25 sampai 50 kilogram untuk dibawa ke rumah, dan
selanjutkan dilakukan proses pemisahan padi dari hampa-hampa.
Proses ini disebut pengipasan yang biasa dilakukan di lokasi panen atau
di rumah. Kebanyakan proses ini melibatkan tenaga perempuan. Di
rumah dilakukan proses pengeringan yaitu penjemuran padi di panas
matahari, setelah kering dimasukkan kembali ke dalam karung dan
dilakukan proses penumbukan. Pekerjaan ini dianggap sedikit sulit atau
susah karena apabila padi belum kering akan rusak dan hancur bersama
sekam sehingga tidak bisa dimakan. Pada tahap ini padi sudah siap
dibawa ke tempat penggilingan untuk diproses menjadi beras.
Dari beberapa informan, untuk lahan ukuran 75 x 100 m2 bisa
menghasilkan 2 ton beras, kadang bisa lebih atau bahkan kadang
kurang, tergantung hasil panen yang diperoleh. Dari hasil panen
tersebut sebagian dimakan dan sebagian dijual. Jaringan penjualannya
hanya sebatas kios dan koperasi yang dihargai dengan Rp. 8.000,sampai Rp.10.000,- per kilogram. Harga ini bisa mengalami perubahan
naik atau turun tergantung kondisi panen, sebagaimana penuturan pak
Yeri berikut ini:
Dari hasil Panen sebagian untuk makan sendiri sebagian dijual
Biasanya kami jual di kios atau di koperasi dengan harga Rp
8.000 sampai Rp I0.000, harga ini bisa mengalami perubahan
naik atau turun.

Dengan demikian pertanian padi oleh migran Bugis M akassar
tidak melalui proses yang sulit, karena pertanian padi merupakan salah
satu pertanian yang sebelumnya telah mereka tekuni di kampung
halamannya. M eskipun demikian harga dan pemasarannya tidak begitu
jelas artinya harga dan tempat pemasarannya belum tetap. Selama ini
jaringan pemasaran hasil panen masih dilakukan secara pribadi yaitu
pada tetangga, kios, dan koperasi. Dari ketiga jaringan pemasaran
utama ini yang tetap adalah koperasi, sedangkan jaringan tetangga dan
kios hanya di saat mereka butuh. Harga juga tidak begitu memuaskan
petani padi, namun mereka tetap menekuninya karena dari hasil panen
62

sebagian digunakan untuk kebutuhan keluarga. W alaupun sebenarnya
harga beras di Papua cukup tinggi, khusus di Kab. Nabire Papua 1 kilo
gram beras jenis bĂȘtet seharga Rp.12.000,- Harga satu karung 25 kilo
gram berkisar Rp 275.000,- sampai Rp. 300.000,-.
Kegiatan olah kayu menjadi pilihan migran Bugis M akassar di
Distrik Nabire Barat. Kegiatan olah kayu ini mereka geluti sejak
bermigrasi (pindah) ke sini, dan mereka geluti sampai sekarang.
Namun posisi mereka dalam kegiatan ini bukan sebagai penjual atau
pengusaha kayu tetapi hanya sebagai pekerja biasa yang disebut
operator sensor. Artinya mereka bisa bekerja dengan orang lain yang
mempunyai modal, atau lokasi, dan juga yang kerja secara pribadi yang
hasilnya dijual ke sommwel atau untuk pesanan orang. Kerja dengan
pemilik modal, posisi sebagai seorang operator sensor yang dibayar
berdasarkan hasil kerja. Cara perhitungan memakai sistem kubikasi.
Satu kubik kayu merbau dihargai Rp. 1.000.000,-, sedangkan untuk
kayu selain kayu besi dihargai satu kubik Rp. 800.000,-. Pada umumnya seorang operator sensor paling tidak sudah mempunyai mesin
sendiri, kalau tidak hasil yang diperoleh dibagi dengan pemilik sensor.
Besaran pembagiannya tidak menentu tergantung kesepakatan antara
pemilik sensor dan operator. Selain itu ada pembagian lagi antara
pemilik modal dengan operator yaitu menyangkut kebutuhan selama
kerja dan dipotong semua biaya kebutuhan selama operasi berlangsung,
setelah itu sisanya baru diterima operator sensor.
Umumnya kegiatan olah kayu mempunyai dua standar harga
yang berbeda dilihat dari jenis dan proses kerjanya. Untuk kayu besi
dalam satu hari belum tentu seorang operator mendapatkan satu kubik,
karena kayu besi keras sehingga kerjanya lama. Selain itu kayu besi
agak jauh masuk ke dalam hutan dan berada pada posisi yang agak
sulit, sedangkan untuk kayu putih, dalam 1 hari seorang operator bisa
memperoleh 1 kubik lebih tergantung kondisi mesin dan cuaca. Kalau
kondisi mesin tidak macet-macet bisa mendapat 1 sampai 2 kubik,
begitu juga ketika hujan, kerja tidak bisa maksimal.
Kegiatan olah kayu yang dilakukan secara pribadi hasilnya dijual
ke sommwel atau pesanan orang. Pada pekerjaan ini seorang operator

63

melakukannya sendiri, biasanya lahan yang digunakan untuk olah
kayu mereka minta ijin di pemilik Ulayat. Peneliti memperoleh
informasi dari seorang kepala suku yang bersedia memberikan kesempatan kepada operator siapa saja yang mau bekerja di lahannya dengan
tujuan untuk kebutuhan keluarga. Ukuran kayu untuk pesanan pada
umumnya sekitar 5.5 dengan jumlah 100 batang dihitung satu kubik
dengan harga sekitar 2 sampai 3 juta lebih, sedangkan beli dari
sommwel dengan harga sekitar Rp. 4.500.000,-. Ada juga ukuran 5.10
dengan jumlah 50 batang, dan 10.10 dengan jumlah 25 batang, dengan
harga yang sama yaitu Rp. 4.000.000,- lebih. Apabila di jual ke
sommwel atau pesanan harganya sekitar Rp. 2.000.000,- sampai Rp.
3.000.000,- per kubik. Perbedaan harga jual dan beli karena di
sommwel sudah dilakukan pembersihan sehingga harganya berbeda.
Ukuran yang harus dijual ke sommwel misalnya 10.10 cm panjang
empat meter, maka pemotongan kayu harus dibuat 13.13 cm, karena di
sommwel dilakukan pembersihan lagi sehingga dari 13 cm menjadi 12
sampai 11 cm.
Peneliti amati ada alasan lain migran Bugis M akassar tetap
menggeluti kegiatan olah kayu dan memilih sebagai tenaga operator
dari pada penjual atau pengusaha. Kemungkinan pertama mereka
migran Bugis M akassar tidak mau repot dengan proses-proses yang
begitu ribet terutama berurusan dengan pemilik hak ulayat yang
terkadang bisa menimbulkan kerugian dan masalah. M asalah yang
sering di alami pengusaha kayu adalah terkadang lahan atau lokasi
sudah dibayar belum beroperasi atau kerja sudah diusir pemilik hak
ulayat. Selain itu ada juga yang mengaku bahwa lokasi itu ia punya.
Sementara pengusaha kayu sudah terlanjur bayar lokasi pada orang
pertama. Ini dilema yang dialami oleh pengusaha kayu di Distrik
Nabire Barat.
Alasan kedua migran Bugis M akassar mempertimbangkan
masalah modal. Untuk melakukan kegiatan olah kayu membutuhkan
modal yang cukup besar, mulai pembayaran lokasi kayu, yang berkisar
antara 20 juta sampai 50 juta. Biaya operasional kegiatan mulai dari
penebangan sampai pemindahan atau pengangkutan hasil ke tempat

64

penjual (sommwel), semua membutuhkan uang besar. Di samping itu
ada resiko-resiko lain yang tidak terduga, misalnya kecelakan yang
dialami tenaga kerja. M edan yang sulit sehingga hasil kayu di hutan
tidak bisa dikeluarkan ke pantai atau ke pingir jalan untuk dibawa ke
sommwel. Dengan demikian modal usaha yang dikeluarkan tidak bisa
kembali alias mati. Tentu pengusaha merasa rugi, dan inilah yang
merupakan bagian dari resiko sebuah usaha.
Alasan ketiga migran Bugis M akassar tidak mempunyai peluang
melakukan kegiatan usaha kayu. Berdasarkan pengamatan peneliti,
pengusaha kayu di Distrik Nabire Barat dikuasai oleh migran Jawa dan
Cina yang kawin dengan perempuan migran Jawa. M enurut beberapa
informan bahwa orang Cina yang kawin dan tinggal di daerah
transmigrasi awalnya tinggal di kota. Selain itu sumber ekonomi yang
lain di Distrik Nabire Barat dikuasai migran Jawa, mulai dari pasar,
rumah makan, bengkel, kios-kios, mebel, toko sembako, toko pakaian,
usaha angkut taxi, kontraktor dan konstruksi bangunan (tukang).
Sekalipun ada sebagian orang Bugis M akassar berjualan di pasar dan
membuat kios, namun bersaing dengan migran Jawa dari segi jumlahnya tentu akan berpengaruh terhadap tingkat konsumen atau pembeli.
M igran Jawa akan lebih memilih berbelanja di kios atau toko yang
pemiliknya sesama Jawa.
Suasana persaingan ini bukan hanya dirasakan oleh migran Bugis
M akassar saja tetapi sesama migran Jawa pun ikut merasakan. Suasana
ini disebabkan sebagian besar penduduk migran Jawa melakukan jenis
kegiatan ekonomi yang sama. Penduduk di daerah transmigrasi
mayoritas petani yang tingkat penghasilannya tidak menentu dan
boleh dikatakan hanya berada pada tingkat yang cukup untuk mempertahankan pola konsumsi keluarga, sehingga berpengaruh terhadap
aktivitas belanja warga. Selain itu lembaga finansial yang ada turut
membantu memberikan kemudahan bagi kredit usaha, sehingga cara
ini juga dianggap turut memacu tingkat persaingan di antara pengusaha
yang mempunyai jenis kegiatan ekonomi yang sama. Sisi lain dari
persaingan ini juga akan memaksa para kelompok jenis kegiatan
ekonomi yang sama berpikir lebih kreatif agar tetap eksis dalam
mempertahankan kegiatan ekonominya.
65

Berikut ini penuturan Pak Hj. M as Sutrisno:
Usaha sudah mulai mundur saya kurangi karyawan satu persatu
karena persaingan, sehingga berpengaruh terhadap pendapatan,
dan saya juga menjual beberapa trek karena saya merasa tidak
menguntungkan apalagi supirnya tidak lincah dalam mencari
muatan, di sini yang penting barangnya laku persoalan untungnya berapa saja tidak jadi masalah, kalo dikota kita masih
mendapatkan untung di atas 5-15% apalagi di sini sudah ada
BANK yang memberikan kemudahan bagi masyarakat yang
ingin membutuhkan modal, ini yang berpengaruh terhadap
kondisi ekonomi yang ada di sini terutama pada harga barang
yang masih jauh dari yang ada di kota (murah).

Informasi di atas memberikan gambaran kepada kita tentang
suasana kegiatan ekonomi warga di daerah transmigrasi yang begitu
ketat. Ada pertanyaan bagaimana proses kegiatan ekonomi tetap
berjalan sekalipun dalam kegiatan ekonomi tersebut keuntungan tidak
sebanding dengan modal yang dikeluarkan untuk membeli barangbarang jualan tersebut, dan perbandingan antara melakukan kegiatan
ekonomi di kota dengan di daerah transmigrasi.
Alasan keempat adalah kedekatan migran Bugis M akassar dengan
sebagian orang Papua. Kondisi ini tentu akan menjadi sebuah hubungan yang memberikan peluang saling membutuhkan dan sekaligus
memudahkan jalan dalam mempertahankan kegiatan ekonomi yang
ditekuninya. Berikut ini penuturan Pak Tadius Badii:
Ia tinggal di sini jalur 7 namanya pak Musa sebelah kiri jalan
besar nomor rumah kedua, saya dulu itu bantunya ke pak Musa
orang Bugis itu, makan minum di situ, jaga dia (Pak Musa) pun
anak juga, saya di situ, jadi saya sudah anggap dia (Pak Musa)
orang tua saya.

Ini merupakan pengakuan salah satu informan Papua gunung
tentang hubungan yang dekat dengan migran Bugis M akassar, yang
sudah tinggal bersama dan dianggap sebagai keluarga seperti antara
anak dengan orang tua.

66

M igran Nusa Tenggara Timur (NTT)
Pertanian padi merupakan kegiatan ekonomi yang umum
dilakukan migran yang ada di Distrik Nabire Barat. Cara bertani padi
migran NTT melalui proses yang hampir mirip dengan migran Jawa
yaitu mulai dari penggarapan lahan sampai pada penanaman. Penggarapan lahan yang biasanya disebut dengan penggemburan lahan pada
tahap ini migran NTT dan Papua masih menggunakan tenaga manusia,
padahal pekerjaan ini agak sedikit berat karena melalui tahap
pembersihan lahan dari sisa-sisa akar padi yang selesai dipanen, setelah
itu baru dilakukan penggemburan lahan. Proses pekerjaan yang dilakukan pada lahan lama yang sudah pernah ditanami padi menggunakan
alat cangkul parang atau sabit dengan waktu kerja sekitar 3 sampai 4
hari tergantung luas lahan yang digarap serta tenaga kerja yang dipakai.
Sedangkan lahan yang baru digarap pekerjaannya melalui pembersihan
lahan dari tuar dan akar kayu serta tunas-tunasnya dengan menggunakan alat kampak, parang dan linggis dengan membutuhkan waktu
kerja sedikit lama, sekitar satu minggu tergantung lahan dan tenaga
kerja. Kalau lahan luas dan tenaga kerja sedikit bisa lebih dari satu
minggu, setelah itu baru dilakukan penggemburan.
Di saat penelitian, peneliti mengamati satu keluarga Papua yang
baru melakukan pembersihan sekaligus penggemburan lahan dengan
cara mengijak-injak lahan, sehingga hasil penggemburan lahan tidak
begitu bersih dan rapi.
Pada tahap pekerjaan awal laki-laki migran NTT lebih berperan
dibandingkan perempuan atau istri, karena pada tahap ini pekerjaan
agak berat dan membutuhkan tenaga yang kuat sehingga istri tidak
begitu dilibatkan dalam pekerjaan ini. Berbeda dengan migran Papua,
peneliti menjumpai satu keluarga Papua sedang menggarap lahan padi,
yang berkerja saat itu tiga laki-laki dan seorang ibu. Di saat bekerja
terlihat perempuan atau ibu ini lebih berperan dibandingkan laki-laki.
Hal ini bisa terlihat pada pakaian kerja seorang ibu yang begitu basa
dan berlumpur dari pada pekerja laki-laki.

67

Perbedaan ini terjadi karena ada tradisi pembagian tugas antara
laki-laki dan perempuan di sebagian suku-suku di Papua terutama pada
suku-suku di pedalaman Papua, yaitu tugas seorang laki-laki Papua
gunung adalah mengurus persoalan di masyarakat seperti perang,
menjaga keamanan kampung, mengantar dan menjaga perempuan di
kebun, mengurus upacara adat, menyiapkan ladang baru, dan mencari
kayu bakar, dan berburu. Sedangkan perempuan mempunyai tugas
mencari makan di kebun, menyiapkan makanan bagi keluarga,
mengurus ternak babi, mengurus anak-anak dan pekerjaan rumah
tangga serta membantu laki-laki dalam menyiapkan upacara adat.
Namun saat ini dengan adanya kontak budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, maka sebagian besar peran laki-laki mulai berkurang
dan hilang, seperti urusan perang, berburu, dan menjaga keamanan..
Berdasarkan pengamatan peneliti saat ini pada sebagian besar laki-laki
tidak mempunyai kegiatan yang jelas, mereka banyak waktu luang atau
santai dibandingkan dengan kaum perempuan.
Lahan yang digunakan oleh migran NTT merupakan lahan yang
sudah disiapkan lewat program tranmigrasi yang diperuntukkan bagi
transmigran awal, baik yang berstatus sebagai migran lokal (Papua dan
NTT) maupun migan dari luar. Di samping untuk para transmigran,
disiapkan juga lahan untuk anak pertama atau anggota keluarga dari
transmigran awal yang disebut dengan istilah pemecahan KK, artinya
anak pertama dari transmigran awal ini yang sudah berkeluarga, mendapat bagian tanah tersebut. Ada juga lahan pemberian dari migran
Papua. Pemberian ini biasa diterima oleh migran NTT yang sudah lama
tinggal dan berinteraksi dengan orang Pap