Hubungan Polimorfisme ABCB1 C3435T Dengan Derajat Neutropenia Pada Pasien Kanker Payudara yang Mendapat Kemoterapi Mengandung Regimen Doksorubisin-Taksan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kanker payudara
Kanker payudara merupakan kanker tersering yang diderita oleh wanita di

seluruh dunia dan merupakan pembunuh kedua setelah kanker paru (Ih, 2013).
Faktor resiko terjadinya kanker payudara adalah multifaktorial meliputi usia, ras,
diet, aktivitas fisik, paparan terhadap estrogen, indeks masa tubuh, depresi,
riwayat keluarga (Ostad & Parsa, 2011). Kanker payudara

merupakan suatu

tumor ganas yang berasal dari sel-sel payudara. Kanker payudara ini umumnya
ditemui pada wanita, sangat jarang pada pria. Sel-sel kanker dapat tumbuh dan
menginvasi jaringan sekitarnya hingga bermetastasis ke organ lain yang jauh dari
tempat tumbuhnya sel-sel kanker tersebut.(ACS, 2011) Umumnya, kanker
payudara berasal dari sel-sel epitel yang terletak di duktus, sebagian yang lain
berasal dari sel-sel epitel yang terletak di lobulus maupun jaringan sekitarnya.


Gambar 2.1: Struktur anatomi payudara

8
Universitas Sumatera Utara

Terdapat beberapa jenis kanker payudara, berdasarkan atas histologinya
adalah ductal carsinoma in situ (DCIS, dikenal juga sebagai karsinoma
intraduktus), lobular carsinoma in situ, invasive/infiltrating ductal carsinoma,
invasive/infiltrating lobular carsinoma.
Pada DCIS, terjadi perubahan pada sel-sel epitel yang terletak di duktus
yang menyerupai sel kanker, DCIS juga dianggap sebagai pre-kanker karena dapat
berpotensi menjadi kanker invasif. Pada lobular carsinoma in situ (LCIS),terdapat
perubahan pada sel-sel epitel yang terletak pada lobulus, dianggap sama seperti
DCIS sebagai bentuk kanker non invasif, namun berbeda dalam hal LCIS tidak
memiliki potensi menjadi bentuk invasif. invasive/infiltrating ductal carsinoma
merupakan jenis yang paling umum pada kanker payudara, perubahan sel-sel
bermula dari duktus yang kemudian dapat berkembang hingga ke jaringan lemak
pada payudara. Jenis kanker ini dapat bermetastasis melalui sistem limfatik
ataupun aliran darah. Pada invasive/infiltrating lobular carsinoma, perubahan selsel bermula dari lobulus yang kemudian dapat bermetastasis juga melalui sistem

limfatik ataupun aliran darah. (ACS, 2011)
Menentukan

tingkatan

(staging)

merupakan

suatu

proses

untuk

menentukan sudah sejauh mana sel-sel kanker itu berkembang. Tingkatan (stage)
ditentukan berdasarkan invasif atau non-invasif, ukuran tumor, keterlibatan
kelenjar limfe dan sudah terjadi metastasis atau tidak. Stage kanker merupakan
salah satu faktor yang penting untuk menentukan prognosis dan pilihan terapi.
Sistem untuk menentukan tingkatan kanker itu adalah sistem TNM yang dibuat

oleh American Joint Committe on Cancer (AJCC). Berikut ini adalah staging dari
kanker payudara (Moss, 1997)

9
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Staging Tumor Payudara berdasarkan AJCC
Semua stadium dapat diobati termasuk pada stadium IV, terapi yang
dilakukan pada pasien kanker payudara stadium IV bersifat paliatif. Semua
stadium memiliki resiko yang sama untuk mengalami kekambuhan/rekurensi yang
dapat mengganggu kualitas hidup penderita.

10
Universitas Sumatera Utara

2.2

Terapi pada kanker payudara
Terdapat


beberapa

jenis

terapi

pada

kanker

payudara

meliputi

pembedahan, radioterapi, kemoterapi, terapi hormon, targeted therapy dan bonedirected therapy. Pembedahan dan radioterapi dianggap sebagai terapi lokal yang
bertujuan untuk menghilangkan sel kanker tanpa mempengaruhi bagian tubuh lain
yang tidak terkena sedangkan kemoterapi, terapi hormon, targeted therapy dan
bone-directed therapy merupakan terapi sistemik yang diberikan bisa secara
peroral atau langsung melalui aliran darah untuk mencapai sel-sel kanker yang
terdapat dimana-mana dalam tubuh (ACS, 2011) Kombinasi terapi /terapi

multimodalitas yaitu gabungan antara pembedahan, radioterapi, kemoterapi/terapi
hormonal juga biasa dipergunakan (Moss, 1997)
Pasien yang sudah tidak terdeteksi memiliki sel-sel kanker setelah
pembedahan biasanya akan diberikan terapi tambahan untuk mencegah sel-sel
kanker tumbuh kembali. Terapi ini dikenal dengan istilah terapi ajuvant (adjuvant
therapy). Baik terapi sistemik seperti kemoterapi, terapi hormon, targeted therapy
,bone-directed therapy dan radiasi dapat digunakan sebagai terapi ajuvant.
Beberapa pasien diberikan terapi, apakah kemoterapi atau terapi hormon yang
dikenal dengan terapi neoajuvan (neoadjuvant therapy), terapi ini bertujuan untuk
menyusutkan tumor sebelum dilakukan tindakan pembedahan. (ACS, 2011)

2.3

Kemoterapi pada kanker payudara
Kemoterapi adalah terapi dengan pemberian obat-obatan sitostatika yang

bertujuan untuk membunuh sel-sel kanker yang dapat diberikan secara peroral
ataupun intravena. Kemoterapi diberikan dalam siklus yang berlangsung hingga

11

Universitas Sumatera Utara

beberapa bulan. Kemoterapi dapat diberikan sebagai terapi ajuvant ataupun terapi
neoajuvant. Pemberian kemoterapi sebagai ajuvant berguna untuk mematikan selsel kanker yang masih ada namun tidak terlihat. Pemberian kemoterapi sebagai
terapi neoajuvant

berguna bukan hanya untuk menyusutkan ukuran tumor

sehingga ukuran tumor lebih kecil pada saat dilakukan tindakan pembedahan
namun juga berguna bagi dokter untuk melihat respon terapi dilihat dari ukuran
tumor yang berkurang dan toksisitas yang terjadi serta berperan untuk membunuh
sel-sel kanker yang mikrometastasis. (ACS, 2011)
Terdapat berbagai macam obat-obatan yang bekerja sebagai agen
kemoterapi (Plana, 2011). Beberapa agen kemoterapi tersebut terdiri dari
golongan:
1. Agen pengalkilasi: bekerja dengan cara mengikatkan gugus alkil ke dalam
struktur DNA. Yang termasuk dalam agen pengalkilasi adalah nitrogen mustard
(mechloretamine,

melphalan,


siklofosfamid,

ifosfamide,

chlorambucil),

nitrosoureas( lomustine, streptozotocin, dacarbazine, procarbazine)
2. Antibiotik antitumor: merupakan produk alami yang diperoleh dari fermentasi
mikroba. Termasuk dalam golongan ini adalah doksorubisin, mitoxantrone,
dactinomysin.
3. Golongan antimetabolit: bekerja dengan cara menghambat penggunaan
metabolit sel untuk pertumbuhan dan pembelahan sel. Yang termasuk dalam
golongan ini adalah cytarabine, metotreksate, gemcitabine, 5-fluorourasil
4. Golongan antimikrotubulus: bekerja dengan cara mengintervensi polimerasi
atau depolimerasi mikrotubulus yang berperan untuk pembelahan sel. Yang

12
Universitas Sumatera Utara


termasuk golongan ini adalah taksan (paclitaksel dan docetaxel), alkaloid vinka
(vinblastine da vincristine).
5. Golongan penghambat topoisomerase (Topoisomerase inhibitor): bekerja
dengan menghambat baik topoisomerase I maupun II yang berperan dalam proses
replikasi dan traskripsi. Yang termasuk golongan ini adalah epidopolitoxin
(etoposide dan teniposide)
6. Golongan lain: platinum (carboplatin dan cisplatin), hidroksiurea, L-asparagine,
(Gustafson & Page, 2013)
Diketahui bahwa kemoterapi mengandung regimen doksorubisin lebih
efektif dibandingkan dengan regimen tidak mengandung doksorubisin terutama
bila dibandingkan dengan regimen CMF (Siklofosfamide, Methotreksate, 5fluorourasil) (Goldhirsch, Glick, Gelber, & Coates, 2001). Doksorubisin juga
paling banyak digunakan sebagai agen kemoterapi pada kanker payudara selain
golongan taksan. (Society, 2011)
Umumnya, agen kemoterapi bersifat sitotoksik dan memiliki indeks terapi
yang sempit serta adanya interindividual variabilitas berkaitan dengan respon
terapi yang melibatkan baik efikasi dan toksisitas yang dapat timbul menyebabkan
pemberian kemoterapi berbasis individu menjadi suatu hal yang penting
(Gasparini et al., 2006)

2.4


Farmakologi doksorubisin

2.4.1

Struktur kimia doksorubisin
Doksorubisin merupakan golongan antrasiklin pertama yang diproduksi

dari produk pigmen suatu varian Streptomyces peucetius (var.caesius) pada awal

13
Universitas Sumatera Utara

tahun 1960 (Minotti et al. 2004). Doksorubisin memiliki kerja dengan spektrum
luas dengan aktivitas antitumor dan digunakan secara luas pada limfoma,
leukemia, kanker payudara, kanker paru, kanker ovarium, kanker lambung dan
tiroid (Vávrová et al., 2011)
Doksorubisin memiliki gugus gula dan aglikone. Gugus aglikone terdiri
dari cincin tetrasiklin dengan grup quinone-hidroquinone berdekatan pada cincin
C-B, substitusi methoksi pada C-4 di cincin D dan suatu rantai samping pendek

dengan karboksil pada C-13. Gugus gula, yang disebut daunosamine, berdekatan
dengan ikatan glikosidik ke C-7 pada cincin A dan terdiri dari 3-amino-2,3,6trideoxy-L-fucosyl (Minotti et al., 2004). Doksorubisin memiliki cincin
poliaromatic dengan adanya struktur quinone yang dihubungkan dengan ikatan Oglikosidic terhadap gula amino (Monneret, 2001). Doksorubisin dikarakteristikkan
dengan adanya fungsi difenol pada cincin B pada aglikone dan rantai samping
yang terasetilasi pada cincin A. Doksorubisin berwarna merah orange dan sensitif
terhadap cahaya, menyerap cahaya pada rentang UV (254 nm), memiliki berat
molekul 580 kDa dan biasanya digunakan dalam bentuk hidrochloric yang larut
dalam air dan dalam pelarut yang polar. Sebagai alkaloid lemah, doksorubisin
menjadi lebih polar, molekul bermuatan pada pH yang rendah, yang kemudian
berkontribusi pada retensi selektif dalam suasana asam, lingkungan hipoksia yang
merupakan karakteristik pada tumor padat.(Bartoszek, 2002)
Rantai

samping

doksorubisin

terdiri

atas


alkohol

primer

yang

menyebabkan perbedaan aktivitas kerja dengan daunorubisin yang terdiri atas
metil pada rantai sampingnya. Perbedaan rantai samping ini menyebabkan
doksorubisin efektif untuk kanker payudara, tumor padat pada anak, sarkoma

14
Universitas Sumatera Utara

jaringan lunak dan limfoma yang agresif sedangkan daunorubisin memiliki
aktivitas pada limfoblastik akut atau leukemia myeloblastik.(Minotti et al., 2004).
Berikut ini adalah gambar struktur kimia doksorubisin dan struktur yang
membedakannya

dengan

turunannya

yaitu

daunorubicin

dan

carminomycin.(Preobrazhenskaya, Tevyashova, & Olsufyeva, 2006)

Gambar 2.2: Struktur Kimia Doksorubisin dan Turunannya
2.4.2. Absorbsi
Doksorubisin diberikan secara intravena dengan dosis 35-70 mg/m2,
secara pemberian infus untuk mencegah terjadinya ekstravasasi (Puma et al.,
2008). Konsentrasi doksorubisin di dalam plasma menurun dengan cepat sesuai
dengan distribusi obat ke dalam jaringan dan berpenetrasi dan bertahan ke dalam
sel-sel yang memiliki inti sel (Sugunan, 2008)
Doksorubisin diketahui memasuki sel secara difusi pasif, dan akumulasi
intrasel terjadi di dalam sel dengan konsentrasi berkisar antara 10-500 kali lebih
hebat dibandingkan dari level ekstraselular. Di dalam sel, konsentrasi
15
Universitas Sumatera Utara

doksorubisin adalah 50 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam sitoplasma,
mempresentasikan bahwa 1 molekul doksorubisin menginterkalasi 5 pasang basa
DNA (Sugunan, 2008). Doksorubisin yang bebas adalah sangat rendah (hanya
0,2% dari total obat intraseluler) dan secara heterogen didistribusikan ke lisosom,
mitokondria dan apparatus Golgi (Peterson & Trouet, 1978). Konsentrasi
doksorubisin mencapai 25% dari plasma level setelah 75 menit selang pemberian
dan dapat mencapai konsentrasi plasma setelah 2 jam (Bressolle, Jacquet, Galtier,
Jourdan, & Donadio, 1992). Konsentrasi signifikan doksorubisin juga dapat
dideteksi pada cairan pleural dan asites pasien kanker setelah pemberian (Lazo &
Schwartzt, 1985).

2.4.3. Distribusi
Doksorubisin dapat ditemukan di hati, ginjal, usus kecil dan besar, sel-sel
endotelial di otak, ovarium, testis, juga di sel-sel hematopoietik.(Ambudkar,
Kimchi-Sarfaty, Sauna, & Gottesman, 2003). Doksorubisin berikatan dengan
plasma protein berkisar antara 50%-80% dan memiliki volume distribusi (Vd)
berkisar antara 500-800 L/m2 (Danesi, Fogli, Gennari, Conte, & Tacca, 2002).
Akumulasi tertinggi doksorubisin terdapat pada jaringan hati sedangkan
konsentrasi doksorubisin di sel-sel darah putih dan sumsum tulang berkisar antara
200-500 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang di plasma. Doksorubisin
tidak melintasi sawar darah otak tapi doksorubin dapat melewati sawar plasenta
dan dapat dijumpai di air susu (Sugunan, 2008).

2.4.4. Metabolisme

16
Universitas Sumatera Utara

Metabolisme doksorubisin adalah kompleks dan melibatkan berbagai
variasi enzim seperti carbonyl reductase, NADH dehydrogenase, NADPHdependent cytochrome P450 reductase (P450R) (Westbrook & Stearns, 2013).
Doksorubisin terutama dimetabolisme di hati oleh carbonyl reduktase,
menghasilkan metabolit utama yaitu doksorubisinol. Doksorubisinol diperoleh
dengan reduksi keton pada C-13 dari doksorubisin (Joerger, Huitema, Meenhorst,
Schellens, & Beijnen, 2005). Doksorubisinol tetap memiliki aktivitas antitumor
dan dimetabolisme juga oleh P450R yang memotong ikatan glikosida dan
melepaskan metabolit yaitu 7-deoxydoxorubicinolone (Danesi et al., 2002).
P450R juga mengkatalisis reduksi deglikosilasi pada doksorubisin sehingga
dihasilkan metabolit 7-deoxydoxorubicinone (Riddick et al., 2005)
Selain metabolit doksorubisinol yang tetap memiliki aktivitas antitumor,
doksorubisin juga menghasilkan metabolit semiquinone melalui katalisis reduksi
satu elektron oleh P450R. Pada suasana aerob, metabolit semiquinone ini melalui
siklus reduksi oksidasi dapat menimbulkan terbentuknya spesies oksigen reaktif
seperti anion superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil. Mekanisme
stres oksidatif ini dipercaya berkontribusi pada kemampuan doksorubisin
menyebabkan kematian sel (Riddick et al., 2005)

17
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3: Metabolit semiquinone menghasilkan spesies oksigen reaktif
2.4.5.Ekskresi
Klirens doksorubisin sebagian besar terjadi di jalur hepatobilier dengan
lebih dari 50% obat diekskresikan dalam empedu dalam 7 hari setelah terapi
Sekitar 10-20% dan 40-50% dosis diekskresikan dalam feses dalam 24 hingga 150
jam secara berturut-turut (Danesi et al., 2002). Klirens di ginjal dari doksorubisin
adalah rendah, dan sekitar 12% dari total dosis ditemukan pada kencing setelah 6
hari setelah terapi. Doksorubisin mengalami 3 waktu paruh yang berbeda yang
dikenal dengan trifasik yaitu waktu paruh awal (t1⁄βα) sekitar 5 menit, t1⁄β
sekitar γ jam dan waktu paruh akhir (t1⁄β ) sekitar γ0 jam (Shi, Moon, Dawood,
McManus, & Liu, 2011)
Waktu paruh inisial pertama yang pendek menunjukkan bahwa
doksorubisin terdistribusi secara cepat ke dalam jaringan sedangkan waktu paruh
terminal yang lama menunjukkan eliminasi yang lambat dari jaringan.
18
Universitas Sumatera Utara

Konsentrasi plasma doksorubisinol meningkat secara cepat dan menurun secara
paralel pada doksorubisin pada pemberian bolus (Callies et al., 2003). Selama
pemberian infus doksorubisin, konsentrasi doksorubisinol mungkin bisa
meningkat. Doksorubisinol berkontribusi pada 23% ekskresi bilier dimana sisanya
terdiri dari metabolit-metabolit lain (Sugunan, 2008). Peningkatan konsentrasi
plasma dari doksorubisinol telah diobservasi 4-8 jam setelah pemberian
doksorubisin menunjukkan adanya eksistensi resirkulasi enterohepatik (Bressolle
et al., 1992).
Oleh karena doksorubisin diekskresikan melalui jalur hepatobilier, maka
pemberian harus hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati.(Shi et al.,
2011). Pengurangan yang signifikan pada klirens doksorubisin dan peningkatan
signifikan pada doksorubisinol telah diobservasi pada pasien-pasien hemodialisa.
Klirens doksorubisin menurun kurang lebih 17% pada dosis > 50 mg/m 2 (Rudek
et al., 2004)
Klirens doksorubisin di ginjal adalah rendah dan sekitar 12% dari total
obat ditemukan pada urin setelah 6 hari setelah terapi sedangkan klirens hepatik
adalah tinggi, dengan 50% obat diekskresikan pada empedu dalam 7 hari setelah
terapi. Sekitar 10-20% dan 40-50% dosis obat diekskresikan pada feses dalam 24
dan 150 jam berturut-turut. Sekitar 50% dari obat yang diekskresikan melalui
empedu

merupakan bentuk obat yang tidak berubah sedangkan 23% adalah

doksorubisinol dan sisanya terdiri dari metabolit yang lain.(Danesi et al., 2002).
Kurang lebih 50% pemberian doksorubisin dalam bentuk infus diekskresikan
dalam bentuk utuh (Westbrook & Stearns, 2013)

19
Universitas Sumatera Utara

2.4.6

Mekanisme kerja doksorubisin
Mekanisme utama dari kerja doksorubisin dalam menimbulkan efek

sitotoksisitas adalah dengan interkalasi DNA dan merusak DNA melalui inhibisi
enzim topoisomerase II (Goto et al., 2001). Selain kedua mekanisme diatas,
diketahui terdapat beberapa mekanisme kerja lain dari doksorubisin yang
menimbulkan efek sitotoksik yaitu dengan pembentukan spesies oksigen reaktif
dan peroksidasi lipid (Riddick et al., 2005)
Doksorubisin masuk ke dalam sel hingga menembus nukleus. (Garattini,
2006). Interkalasi DNA dilakukan dengan memasukkan gugus tertentu dari
struktur doksorubisin ke dalam susunan pasangan basa dari DNA yang akan
menyebabkan terhentinya proses replikasi dari sel-sel kanker.(Simůnek et al.,
2009). Masuknya gugus tertentu dari struktur doksorubisin ke dalam susunan
pasangan basa DNA diketahui melalui lekukan kecil (minor groove) DNA (Lei,
Wang, & Wu, 2012)
Enzim topoisomerase berfungsi memodifikasi topologi DNA tanpa
merubah struktur dan susunan /sekuense dari DNA (Minotti et al., 2004). Struktur
molekul DNA yang terletak dalam sel selalu berada dalam keadaan dinamis,
terkadang molekul DNA berada pada fase relaxed, pada fase yang lain, molekul
DNA berada pada keadaan terpillin (supercoiled). Keadaan berpilin ini
merupakan bagian sangat penting dalam proses pengemasan DNA (Yuwono,
β005). Pada keadaan berpilin, struktur heliks akan mengalami proses “pemutaran”
(twist) lebih lanjut. Proses pemutaran ini melibatkan enzim topoisomerase.
Topoisomerase dibagi menjadi topoisomerase I yang berfungsi untuk
menghilangkan struktur pilinan pada DNA dan topoisomerase II yang berfungsi

20
Universitas Sumatera Utara

untuk membentuk konformasi pilinan negatif. Pilinan negatif terbentuk dengan
cara DNA diputar ke arah berkebalikan dari arah pemutaran heliksnya yang
berupa heliks ganda putar-kanan (right-handed double helix) (Minotti et al. 2004;
Yuwono, 2005)

Gambar 2.4: pilinan DNA
Enzim topoisomerase II bekerja dengan cara memutar DNA lingkar
sehingga sebagian molekul terletak diatas bagian lain DNA yang sama.
Topoisomerase II selanjutnya melakukan pemotongan pada kedua untaian DNA
yang terletak diatas bagian lain molekul yang sama. Bagian yang terpotong
tersebut kemudian disambung lagi pada sisi yang lain dari bagian molekul DNA
yang utuh (Yuwono 2005). Doksorubisin bekerja menstabilisasi reaksi yang
memperantarai untaian DNA yang dipotong dan secara kovalen berhubungan
dengan residu tirosin pada topoisomerase II, secepatnya merintangi pembentukan
kembali DNA yang akhirnya akan menyebabkan kerusakan DNA dan
mengaktifkan jalur apoptosis (Panaretakis et al., 2005); (Buchholz et al., 2002).

21
Universitas Sumatera Utara

Dalam

pembentukan

spesies

oksigen

reaktif,

diketahui

bahwa

doksorubisin dalam proses metabolismenya dapat mengalami oksidasi yang
menyebabkan timbulnya semiquinone, suatu metabolit tidak stabil yang dalam
prosesnya kembali dalam bentuk doksorubisin dengan melepaskan berbagai
spesies oksigen reaktif seperti anion superoksida, hidrogen peroksida dan radikal
hidroksil. Spesies oksigen reaktif inilah yang dapat menimbulkan peroksidasi lipid
dan kerusakan DNA hingga akhirnya memicu jalur apoptosis dari kematian sel
(Thorn et al., 2011)
Pengikatan doksorubisin terhadap berbagai

variasi

membran sel

menyebabkan perubahan stabilitas membran. Perubahan pada permeabilitas
terhadap berbagai variasi ion dan kemampuannya untuk mengkelasi berbagai
variasi metal seperti tembaga, zink dan besi, berkontribusi terhadap sitotoksisitas
dari doksorubisin (Gewirtz, 1999)

2.4.7. Toksisitas
Penggunaan doksorubisin memiliki beberapa efek samping, diantaranya
adalah kardiotoksisitas yang disebabkan baik secara langsung maupun tidak
langsung akibat adanya penghambatan pada replikasi DNA, transkripsi RNA dan
sintesis protein, serta terbentuknya radikal bebas yang menyebabkan kerusakan
pada DNA dan peroksidasi membran lipid serta toksisitas seluler akibat
pembentukan metabolit-metabolit dari doksorubisin (Yusuf, Ilias-Khan, &
Durand, 2011). Antrasiklin menghasilkan spesies oksigen reaktif dan juga
merusak jalur perbaikan DNA. Bersamaan, mekanisme ini berkontribusi terhadap
pembentukan stres oksidatif, yang menyebabkan kerusakan ireversibel pada

22
Universitas Sumatera Utara

myocardiosite yang memiliki kemampuan terbatas untuk memperbaharui diri
(Chargari et al., 2011). Doksorubisin diketahui dapat menyebabkan kerusakan
mitokondria dari kardiomiosit. Beberapa enzim mitokondria seperti NADH
dehydrogenase, sitokrom P-450 reduktase dan xanthine oksidase terlibat dalam
pembentukan spesies oksigen reaktif. (Chatterjee, Zhang, Honbo, & Karliner,
2010)
Toksisitas akut utama lainnya yang dapat terjadi adalah mielosupresi yang
mana

kejadian

neutropenia

lebih

umum

terjadi

dibandingkan

dengan

trombositopenia. Toksisitas lainnya yang dapat terjadi adalah stomatitis, alopesia,
mual dan muntah (Katzung, 2003)
Terdapat dua parameter yang telah diadopsi untuk melihat efek
mielotoksik pada obat yaitu pengukuran dari jumlah neutrofil yang turun sebelum
dan sesudah terapi. Pemberian doksorubisin mempengaruhi sel-sel progenitor
hematopoietik dan mengganggu kemampuan mereka untuk menghasilkan sel-sel
nonproliferasi, berdiferensiasi yang mana kelangsungan hidup dan rentang hidup
leukosit pada darah tepi tidak dipengaruhi oleh terapi. Interval antara pemberian
doksorubisin dan pengurangan jumlah neutrofil dibawah nilai normal berlangsung
kurang lebih 10 hari dan 4-6 hari lebih jauh untuk mencapai titik nadir, dengan
total kurang lebih 2 minggu. Pematangan stem sel granulosit menjadi neutrofil
matang membutuhkan waktu 10 hari dan setelah mencapai sirkulasi, granulosit
tetap bertahan sekitar 8-12 jam(Danesi et al., 2002)
2.5 Farmakologi Taksan
2.5.1 Struktur Kimia taksan

23
Universitas Sumatera Utara

Golongan taksan dibagi menjadi dua yaitu paclitaksel dan docetaxel
Paclitaksel diisolasi dari cemara Pasifik (Taxus brevifolia) pada tahun 1971 dan
docetaxel, suatu semisintetis analog taksan diisolasi dari cemara Eropa (Taxus
baccata), docetaxel lebih bersifat larut air bila dibandingkan dengan paclitaksel.
Baik paclitaksel maupun docetaxel terdiri dari cincin kompleks taksan yang
berhubungan dengan gugus ester pada posisi C-13. Sebagian rantai samping posisi
C-β’ dan C-γ’ serta C-13 berhubungan dengan aktivitas antimikrotubulusnya
(Rowinsky, 1997a)

Gambar 2.5: Struktur golongan Taksan,(A)Paclitaksel (B) Docetaxel
2.5.2 Absorpsi
Sebagai agen tunggal, paclitaxel diberikan secara intravena dengan dosis
130-170 mg/m2 selama 3 atau 24 jam setiap 3-4 minggu. Docetaxel diberikan
secara intravena dengan dosis 100 mg/m2 selama 1 jam setiap 3 minggu.

24
Universitas Sumatera Utara

Paclitaxel berikatan dengan protein plasma lebih dari 95% sedangkan docetaxel
lebih dari 90%. (Rowinsky, 1997b)
2.5.3 Distribusi
Paclitaksel didistribusikan secara luas dalam tubuh terkecuali pada sistem
syaraf pusat dan testis sedangkan docetaxel didistribusikan secara luas kecuali
pada sistem syaraf pusat. Volume distribusi paclitaksel adalah sekitar 182 L/m 2
dan docetaxel adalah 74 L/m2.(Rowinsky, 1997b)
2.5.4 Metabolisme
Baik paclitaksel maupun docetaxel dimetabolisme di hati oleh enzim
sitokrom P-450.
2.5.5 Ekskresi
Klirens paclitaksel sebagian besar terjadi di jalur hepatobilier dengan lebih
dari 80% obat diekskresikan dalam feses.(Katzung, 2003). Klirens docetaxel juga
sama seperti paclitaksel dengan klirens di ginjal adalah minor, berkisar kurang
dari 5- 10% (Rowinsky, 1997b). Waktu paruh paclitaksel berkisar antara 7- 20
jam sedangkan waktu paruh docetaxel adalah 12-13 jam.
2.5.6 Mekanisme Kerja
Paclitaksel memiliki aktivitas signifikan pada berbagai jenis tumor solid
meliputi kanker ovarium, kanker payudara tahap lanjut, kanker sel kecil dan nonsel kecil pada paru, kanker kepala dan leher, kanker esofagus, kanker prostat dan
kanker kandung kemih. Docetaxel diketahui memiliki aktivitas signifikan pada
kanker payudara tahap lanjut, kanker non-sel kecil pada paru (Katzung, 2003)
Aktivitas antitumor taksan terutama dihasilkan dari ikatan obat dengan
subunit beta dari tubulin yang menyebabkan stabilisasi dari polimerisasi tubulin.

25
Universitas Sumatera Utara

Stabilisasi ini menyebabkan tertahannya siklus sel pada fase G2/M yang
kemudian menyebabkan terhambatnya mitosis. Docetaxel dan paclitaksel berbeda
pada molekular farmakologinya yang secara potensial menjelaskan perbedaan
aktivitas dan toksisitas. Docetaxel memiliki afinitas lebih kuat pada

-tubulin,

mempengaruhi organisasi sentrosom dan bekerja pada tiga fase pada siklus sel
(S/G2/M)

sedangkan

paclitaksel

menyebabkan

kerusakan

sel

dengan

mempengaruhi siklus sel pada fase G2 dan M.
Docetaxel diketahui masuk ke dalam sel-sel tumor dalam jumlah yang
banyak sedangkan mengalami efluks secara lambat dari sel-sel tumor hal ini akan
menyebabkan waktu retensi yang lebih lama. Berikut ini adalah perbedaan dalam
mekanisme kerja docetaxel dengan paclitaksel.
Tabel 2.2 Perbedaan mekanisme docetaxel dan paclitaxel ((Gligorov & Lotz,
2004a)
Docetaxel
Paclitaxel
Keterangan
Ikatan
kuat 1.9
1.0
Konsentrasi obat intraseluler
dengan
betalebih
tinggi
berhubungan
tubulin
dengan semakin tingginya sel
yang mati dan penghambatan
pertumbuhan
Konsentrasi obat 0.2 µM
0.4 µM
Docetaxel dua kali lebih kuat
yang
dalam
menghambat
menyebabkan
depolimerisasi mikrotubulus
polimerisasi
maksimum
Target
Sentrosome Kumparan
Docetaxel
mempengaruhi
mikrotubulus
mitosis
organisasi sentrosome pada fase
(mitotic
S menyebabkan mitosis tidak
spindle)
sempurna dan kematian sel,
Spesifisitas
S, G2, M
G2, M
siklus sel

Mikrotubulus merupakan komponen sel yang berfungsi sebagai rangka
bagi sel. (Gligorov & Lotz, 2004a). Mikrotubulus disintesa melalui polimerisasi
subunit α dan

tubulin, dengan pertumbuhannya terjadi di kutub positif akhir (+)
26
Universitas Sumatera Utara

dan berdegradasi di kutub negatif (-) akhir yang akhirnya subunit α dan

tubulin

akan dilepas ke sitosol. Proses penyatuan dan pelepasan mikrotubulus ini berada
dalam keadaan yang dinamis (dynamic instability) yang menyebabkan
pemanjangan dan pemendekan mikrotubulus terjadi. Taksan bekerja dengan cara
berikatan dengan

tubulin yang telah menyatu dalam mikrotubulus. Hal ini

menyebabkan stabilisasi mikrotubulus dan mencegah terjadinya degradasi
sehingga akhirnya mikrotubulus menumpuk dalam sel dan tentu saja menghambat
terjadinya proses pembelahan sel.(Amerongen & Berns, 2006)

Gambar 2.6: mekanisme kerja taksan
2.5.7 Farmakogenetik pada terapi kanker payudara
27
Universitas Sumatera Utara

Saat ini, kemajuan terapi untuk penanganan pasien kanker payudara
berkembang sangat pesat namun sering dihalangi dengan adanya kejadian
resistensi obat dan toksisitas akibat penggunaan obat terutama agen kemoterapi.
Adanya respon interindividual dan interetnis yang berbeda tidak dapat dimengerti
dengan jelas sehingga diyakini bahwa terdapat

pengaruh genetik yang

mempengaruhi efikasi dan toksisitas agen kemoterapi. (Tan, Lee, & Goh, 2008).
Gen ATP-Binding Cassette (ABC) yang mengkode protein transporter
merupakan salah satu gen yang diteliti berperan dalam menimbulkan perbedaan
respon serta toksisitas akibat agen kemoterapi, salah satunya adalah doksorubisin
dan taksan.(Mary Ameyaw & McLeod, 2006)

2.6

Keluarga protein transporter ATP-Binding Cassette (ABC)
Superfamili dari transporter ATP-binding cassette (ABC) merupakan salah

satu keluarga protein terbesar dalam biologi. Transporter ABC merupakan protein
yang terletak pada sitoplasma di dalam bakteri dan terletak pada plasma membran
dan membran organela pada eukariotik (Sharom, 2008). Pada membran organela
eukariotik umumnya dijumpai pada membran mitokondria, peroksisom, retikulum
endoplasma dan membran vakuola.(Biemans-Oldehinkel, Doeven, & Poolman,
2006) Umumnya, protein transporter yang bekerja sebagai pompa efluks termasuk
dalam keluarga protein transporter ABC. Adanya pompa efluks mempengaruhi
konsentrasi sejumlah komponen di dalam sel. (Cascorbi, 2006). Pada mamalia,
transporter ABC diekspresikan secara dominan di hati, ginjal, BBB, plasenta dan
ginjal, barrier darah-otak. Protein transport ABC mentransport sejumlah substrat
endogen, termasuk anion inorganic, ion metal, peptida, asam amino, gula dan

28
Universitas Sumatera Utara

sejumlah komponen hidrofobik dan metabolit melintasi plasma membran dan juga
membran intraseluler (Huang, 2007). Protein transporter ABC dipercaya berperan
dalam proteksi dari substrat xenobiotic. (Franke, Gardner, & Sparreboom, 2010)
Gen manusia mengandung 49 gen ABC, tersusun dalam 8 subfamili dan
diberi nama melalui evolusi yang beragam. Transporter ABC juga berpartisipasi
pada perpindahan beberapa obat dan metabolit, mereka melintasi permukaan sel
dan organela membran sel. Oleh karena itu, defek gen ini dapat berperan penting
pada terapi kanker, farmakokinetik dan gangguan farmakogenetik (Vasiliou,
Vasiliou, & Nebert, 2009)
Transporter

dapat bersifat pasif maupun aktif. Pada transporter aktif,

untuk memindahkan suatu molekul dari luar ke dalam ataupun sebaliknya,
memerlukan ATP. Transporter yang bersifat aktif salah satunya adalah pompa
terikat ATP (ATP-binding cassette). Pompa ini menggunakan energi yang
dihasilkan dari hidrolisis ATP untuk memindahkan substrat melintasi membran
ke dalam dan keluar sel dengan melawan gradien elektrokimia. Pompa protein
ABC terdiri dari superfamili yang luas. Kebanyakan gen ABC mengkode protein
terikat membran yang juga dikenal sebagai nucleotide-binding domain
(NBD)(Sparreboom et al., 2003).
NBD mengandung beberapa motif termasuk sekuensi Walker A dan
Walker B, motif signature ABC, lengkung H dan lengkung Q (H loop and Q
loop). Transporter ABC juga mengandung transmembrane domain (TMDs),
setiap dari masing-masing terdiri dari beberapa heliks hidrofobik.
Inti transporter terdiri empat domain, 2 NBDs dan 2 TMDs. Dua NBDs
bersama terikat dan menghidrolisis ATP ( oleh karenanya menyediakan energi

29
Universitas Sumatera Utara

dorongan untuk transport) sedangkan TMDs berpartisipasi pada pengenalan
substrat dan translokasi melintasi membran lipid. Beberapa gen ABC mengkode
protein yang bersifat setengah transporter “half transporter” terdiri dari dua
subunit berikatan sebagai homodimer atau heterodimer dimana yang lain bersifat
“full transporter” (Vasiliou et al., 2009). Berikut ini adalah struktur klan dari
protein transporter ABC, yang terdiri dari 7 subfamili, mulai dari subfamili
ABCA-ABCG, dengan masing-masing subfamili terdiri dari beberapa gen. Salah
satu yang paling banyak disoroti dan dipelajari terutama adalah gen ABCB1 yang
termasuk dalam subfamili B dari keluarga protein transporter ABC.

30
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.7: Struktur famili protein transporter ABC
2.6.1 Gen ABCB1 dan Protein P-glicoprotein (P-gp)
Gen ABCB1 terdiri dari 28 ekson dengan panjang ukuran berkisar antara
49-587 bp (Taheri, Mahjoubi, & Omranipour, 2010). ABCB1 dahulu dikenal
dengan nama ABCB1 terletak pada kromosom 7q21, terdiri atas 28 ekson dan 27
intron mengkode 1280 asam amino polipeptida (170kDa) (Franke et al., 2010).
ABCB1 merupakan anggota dari subfamili ABC kelas B yang mengkode Pglycoprotein (P-gp) dan merupakan suatu transporter ABC yang telah dikenali
dengan baik sejak diisolasi pada tahun 1976 (Zhou & Zhang, 2012). P-gp
31
Universitas Sumatera Utara

diekspresikan di kelenjar adrenal, ginjal, hati, kolon, jejunum, pankreas dan pada
sel endotel kapiler di testis, sawar darah otak, jaringan payudara, sel-sel
hematopoietik dan sel-sel leukosit (Fung & Gottesman, 2009b)
P-gp merupakan suatu protein transporter yang bekerja sebagai pompa
effluks dengan menggunakan energi (Vasiliou et al., 2009). Protein ini dikodekan
oleh gen ABCB1.(Patel & Tannock, 2009). P-gp ditemukan di banyak organ dan
jaringan termasuk brush border dari sel-sel luminal saluran pencernaan bagian
bawah, hati, tubulus proksimal ginjal, sel-sel endotelial pada sawar darah otak dan
plasenta, testis, juga di payudara dan sel-sel hematopoietik(Sissung et al., 2006).
P-gp ditemukan pada jaringan tersebut di atas membuktikan bahwa protein
ini berfungsi untuk mengekskresikan zat-zat yang berpotensi toksik atau
xenobiotik yang tidak penting dan metabolit-metabolit dari sel. (Cizmarikova et
al., 2009). Xenobiotik yang diekskresikan meliputi obat-obat antineoplastik
(doksorubisin, vinca alkaloid, epipodophyllotoxins, actinomycin D dan golongan
taxane juga obat-obatan antiretroviral (Calado, Falcao, Garcia, & Gabellini, 2002)
Protein transporter Pgp memiliki berat molekul 170 Kd (Taheri et al.,
2010) dengan 12 segmen transmembran dan dua domain terikat ATP (ATP
binding domains) inrasitoplasmik (Fung & Gottesman, 2009b). Segmen
transmembran
terletak

membentuk

sebuah pori dan tempat berikatan dengan obat

pada pori. Beberapa motif telah diidentifikasi meliputi Walker A,

Walker-B, lengkung A, lengkung H, lengkung D, lengkung Q,dan ATP-Binding
Domain. ATP-Binding Domain berfungsi sebagai ATPase yang menghidrolisis
ATP menjadi ADP. (Fung & Gottesman, 2009b)

32
Universitas Sumatera Utara

Akses obat melalui transporter terjadi melalui sitoplasma dan berdifusi
dalam membran. Proses efluks obat dimediasi dengan konversi ATP menjadi
ADP. Proses efluks terjadi dengan perubahan struktur protein sehingga
membentuk aksi “flippase”, yang mengeluarkan obat ke dalam lingkungan
ekstraseluler dan bersifat seperti vakum cleaner (membrane vacuum cleaner) yang
mengakses obat masuk melalui membran plasma.(Ambudkar et al., 2003)

Gambar 2.8: Struktur protein P-gp (Gillet, Efferth, & Remacle, 2007)

33
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.9: Struktur protein P-gp beserta tempat berikatan ATP
2.6.2 Polimorfisme pada gen ABCB1 dan doksorubisin
Saat ini, >100 varian pada gen ABCB1 telah dilaporkan. Terdapat 3 SNP
yang umum pada ABCB1 yang mempengaruhi ekspresi ABCB1 dan ditemukan
memiliki impikasi farmakokinetik dan farmakodinamik berbagai obat yaitu
1236C>T, 2667G>T/A dan 3435C>T(Sissung et al., 2006). Dari berbagai macam
variasi tersebut, single nucleotide polymorphism (SNP) yang berlokasi di exon 26
(C3435T)

telah

ditemukan

berhubungan

dengan

fungsi

P-gp

yang

berubah(Cizmarikova et al., 2009).
SNP pada ABCB1 diketahui dapat meningkatkan efluks dari obat
antineoplastik atau meningkatkan eliminasinya dari tubuh, sehingga menyebabkan
penurunan konsentrasi obat dalam plasma yang akhirnya mempengaruhi efikasi
obat, bentuk homozigot varian dari P-gp menyebabkan ekspresi P-gp menurun
(Chang et al., 2008). Prevalensi untuk polimorfisme ini termasuk tinggi, dengan
frekuensi alel 40-50% untuk Kaukasia, dengan proporsi sekitar 20-25% pada
34
Universitas Sumatera Utara

varian varian homozigot dan prevalensi lebih rendah pada ras Afrika dan AfrikaAmerika. (Robert, Morvan, Smith, Pourquier, & Bonnet, 2005)
SNP didefinisikan sebagai variasi pada satu nukleotida yangmana satu
alel dipresentasikan lebih dari 1% populasi studi (Wiechec & Hansen, 2009).
Studi analisis menunjukkan bahwa ABCB1 sangat polimorfik dan sudah
digunakan secara luas untuk menginvestigasi hubungan struktur-fungsi P-gp. Dari
keseluruhan 28 ekson, termasuk regio promoter dan batas ekson-intron berada
pada rentang 49-587. Beberapa dari polimorfisme ABCB1 adalah “silent” dan
tidak menyebabkan perubahan asam amino. Ada yang bersifat non synonym yang
tidak mengubah asam amino dan terletak pada domain transmembran, ada yang
terletak sangat dekat pada ATP-binding site. Empat SNP terletak pada posisi
“wobble” dengan tidak ada perubahan asam amino. Perhatian banyak terfokus
pada ABCB1 C3435T di ekson 26 yang sejauh ini merupakan silent polimorfisme
yang paling banyak diamati untuk melihat hubungannya dengan ekspresi P-gp
pada jaringan manusia yang berbeda dan ras yang berbeda (Yan-hong, Yong-hua,
Yan, & Ling, 2006)
Pada beberapa keadaan yang mana terjadi stres seluler sebagai contoh
adanya paparan terhadap radiasi dan kemoterapi, diketahui telah meningkatkan
ekspresi P-gp (Gottesman, 2002). Walaupun banyak faktor seperti diet, ras,
lingkungan dan status penyakit dapat mempengaruhi interindividual variabilitas
pada farmakokinetik substrat obat P-gp dan hasil keluaran pada penyakit tertentu
yang diterapi dengan obat, polimorfisme genetik ABCB1 juga dianggap
merupakan faktor penentu.

35
Universitas Sumatera Utara

Adanya presentasi alel T pada C3435T menyebabkan penurunan level Pgp pada ras Kaukasia, Cina, Filipina, Portugisa dan Saudi Arabia. (Ambudkar et
al., 2003). Terdapat 3 polimofisme ABCB1 yang paling umum yaitu C1236T,
G2677A/T dan C3435T yang mana polimorfisme ABCB1 C3435T merupakan
yang paling sering dipelajari.(Franke et al., 2010). Walaupun ABCB1 C3435T
merupakan sinonim, namun diketahui terjadi penurunan level P-gp 2 kali lipat
pada orang yang memiliki homozigot alel T (genotipe TT) dibandingkan dengan
tipe normal / wild-type (genotipe CC).(Franke et al., 2010)
Perubahan pada fungsi protein disebabkan oleh polimorfisme sinonim
tidak dapat dijelaskan dari sekuensi asam amino dari protein, oleh karena
perubahan alel C homozigot (CC) menjadi homozigot/heterozigot alel T (TT/CT)
tetap mengkode asam amino yang sama yaitu isoleusin. Oleh karenanya, pelipatan
protein memprediksikan bahwa konformasi ABCB1 yang alami (wild-type) dan
ABCB1 varian seharusnya identik karena sekuensi asam aminonya juga identik
(Yan-hong et al. 2006). Namun, baik secara observasi in vitro dan in vivo pada
ABCB1 , polimorfisme C3435T menunjukkan bahwa polimorfisme “silent” ini
merubah pelipatan dan fungsi ABCB1.
Terdapat beberapa mekanisme yang menjelaskan polimorfisme “silent” ini
merubah pelipatan dan fungsi ABCB1 yakni hal ini dapat disebabkan karena
adanya kodon yang jarang (wooble) yang bertanggung jawab menimbulkan
perubahan pada proses translasi.(Fung & Gottesman, 2009b).
Proses translasi merupakan proses penerjemahan urutan nukleotida pada
molekul MRNA menjadi rangkaian asam-asam amino yang membentuk
polipeptida / protein. (Tsai et al., 2008). Translasi terdiri dari proses inisiasi,

36
Universitas Sumatera Utara

pemanjangan (elongasi) dan terminasi (Kimchi-sarfaty et al). Pada proses inisiasi,
regio 5’ dari mRNA berinteraksi dengan faktor inisiasi translasi yang
membutuhkan kompleks ribosom. Kompleks ini berjalan sepanjang mRNA dan
mulai untuk mensintesa polipeptida saat kodon metionine pertama dideteksi
(AUG). Fase berikutnya, elongasi, pada fase ini terdapat tiga tahapan yaitu
pengikatan aminoasil-tRNA pada sisi A yang ada di ribosom, pemindahan rantai
polipeptida yang tumbuh dari tRNA yang ada pada sisi P (peptidil) ke arah sisi A
(aminoasil) dengan membentuk ikatan peptida dan translokasi ribosom sepanjang
mRNA ke posisi kodon selanjutnya yang ada di sisi A (Yuwono 2005). Pada akhir
translasi, kompleks ribosom menghentikan produksi polipeptida/protein saat satu
dari tiga kodon terminasi (UAA/UAG/UGA) yang ada pada mRNA mencapai
posisi A pada ribosom.(Tsai et al., 2008)
Pada awal translasi, tRNA inisiator (tRNA yang berikatan dengan
metionin) berikatan dengan sisi P kemudian aminoasil tRNA (tRNA yang
berikatan dengan asam amino) akan mampu memasangkan kodon pada mRNA
yang tiba pada sisi A. Kompleks ribosom akan bergerak oleh satu kodon yang
akan mendorong tRNA dari sisi P menuju sisi E dan sesudah itu akan lepas dari
unit besar kompleks ribosom. Aksi ini akan menyebabkan sisi A kosong sehingga
mampu untuk ditempati oleh aminoasil-tRNA baru dan formasi asam amino baru
pada rantai polipeptida yang mulai timbul. Sebagaimana ribosom membutuhkan
tRNA untuk bergerak sepanjang MRNA, elongasi translasi dapat dipengaruhi oleh
dua faktor ini. Pada mRNA, mutasi nukleotida dapat mengubah kodon yang
mempengaruhi waktu yang dibutuhkan oleh aminoasill-tRNA untuk masuk pada
sisi A. Secara alternatif, mutasi nukleotida dapat mempengaruhi struktur sekunder

37
Universitas Sumatera Utara

mRNA yang membangkitkan atau mengeliminasi struktur sekunder yang baru
sebagai contoh hairpins atau pseudoknots. Berbagai bentuk perubahan ini dapat
mengelakkan ribosom dan mempengaruhi translasi. (Fung & Gottesman, 2009b)

Gambar 2.10: Proses translasi
Jika polimorfisme ABCB1 C3435T SNP mengubah kecepatan kompleks
ribosom selama translasi, terdapat beberapa konsekuensi, yang pertama
penghentian ribosom dapat menyebabkan disosiasi tRNA dari ribosom, diikuti
oleh perekrutan aminoasil-tRNA yang sama dari tRNA dan melanjutkan translasi.
Yang kedua, kompleks ribosom dapat semakin lambat berjalan kemudian terhenti.
Ketiga, suatu ribosom terkadang terhenti (ribosom stalling) dan mengenali kodon
baru dengan menggerakkan satu nukleotida, yang dikenal dengan istilah
frameshifting. Yang terakhir adalah saat ribosom stalling beraksi sebagai sinyal
stop. Kompleks ribosom akan berhenti berjalan sepanjang translasi dan sesudah
38
Universitas Sumatera Utara

itu akan terpisah dari mRNA cetakan (template). Penundaan translasi yang
signifikan akan menginterupsi interaksi protein chaperon dan menghasilkan
produksi protein dengan bentuk yang sedikit berbeda (Fung & Gottesman, 2009b)

Gambar 2.11: proses penundaan translasi
Polimorfisme gen ABCB1 terdiri dari homozigot wildtype (CC),
heterozigot varian (CT) dan homozigot varian (TT). Pada bentuk wildtype CC ,
tidak terjadi perubahan struktur dan fungsi pada protein P-glikoprotein yang
dikodekan oleh gen ABCB1 sedangkan pada bentuk homozigot varian (TT)
terjadi perubahan struktur protein P-gp karena pelipatan protein (protein folding)
yang tidak sempurna disebabkan karena adanya penghentian ribosom secara tibatiba (ribosom stalling). Protein P-gp yang tidak sempurna bisa didegradasi oleh
proteasome sehingga level P-gp menurun. (Fung & Gottesman, 2009a)
2.6.3 Polimorfisme ABCB1 3435C>T dan neutropenia
Jaringan hematolimfoid normal kurang memiliki pertahanan yang baik
terhadap xenobiotik, dengan adanya pengecualian pada beberapa subtipe tertentu
yaitu sel Natural Killer dan sel-sel stem hematopoietik (Dean, Fojo, & Bates,
2005). P-gp ditemukan diekspresikan pada sel-sel darah terutama pada leukosit

39
Universitas Sumatera Utara

dan berfungsi untuk melindungi sel dari zat yang bersifat toksik (Oswald, Grube,
Siegmund, & Kroemer, 2007)
Dari penelitian yang dilakukan Sissung dkk (2006) diketahui bahwa varian
homozigot (TT) C3435T mengalami 1,5 kali penurunan jumlah absolut neutrofil
lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang mengandung varian normal
(CC). (Sissung et al., 2006). Data ini juga sejalan dengan observasi terdahulu yang
berhubungan dengan ABCB1 Alel T yang berhubungan dengan ekspresi yang
menurun pada ABCB1 di hati dan penurunan aktivitas sel CD56+, suatu efek
yang diketahui berhubungan dengan stabilitas mRNA yang menurun berhubungan
dengan SNP ini.(Wang, Johnson, Papp, Kroetz, & Abcb, 2005). SNP pada
ABCB1 dapat meningkatkan efluks dari doksorubisin dan meningkatkan eliminasi
dari tubuh, menghasilkan penurunan pada konsentrasi plasma, dan selanjutnya
mempengaruhi efikasi terapi.(Chang et al., 2008). Level mRNA pada 3435CC
menunjukkan dua sampai tiga kali lebih tinggi dibandingkan level mRNA pada
sampel dengan 3435TT homozigot. (Wang et al., 2005)

2.6.4 Polimorfisme ABCB1 pada pasien kanker Payudara
Kemoterapi menjadi pilihan utama pada pasien kanker payudara dalam
tahap locally advanced (Evans et al., 2005) Konsentrasi P-gp ditemukan tinggi
pada plasma membran sel-sel kanker yang mana menyebabkan obat semakin
banyak dikeluarkan dari dalam sel. (Tandon et al., 2006). Ekspresi ABCB1 yang
cukup tinggi pada jaringan payudara baik yang mengalami neoplasia maupun
yang tidak menyebabkan polimorfisme gen ini diduga berhubungan erat dengan

40
Universitas Sumatera Utara

kejadian efikasi terapi pada pasien yang mendapatkan obat kemoterapi yang
menjadi substrat bagi P-gp. (Cizmarikova et al., 2009).
Doksorubisin diketahui memiliki respon interindividual yang bervariasi.
Pasien kanker payudara di Cina yang diterapi dengan doksorubisin diketahui
mengalami kejadian neutropenia lebih sering dibandingkan dengan pasien ras
Kaukasia (Tan et al., 2008). Taksan (docetaxel) ternyata juga memiliki respon
interindividual yang bervariasi, pasien dengan polimorfisme C3435T dalam hal
ini varian (TT) memiliki daerah di bawah kurva (area under the curve / AUC)
lebih tinggi dibandingkan dengan CC(Fajac et al., 2010)

41
Universitas Sumatera Utara

2.7 Kerangka Konsep

Pasien kanker payudara

Doksorubisin

Taksan

Difusi pasif ke dalam
sel kanker payudara

Interkalasi

Inhibisi

Pembentukan

Peroksidasi

Stabilisasi

DNA

Topoisomerase II

radikal bebas

lipid

mikrotubulus

Efluks obat oleh P-gp

Polimorfisme ABCB1 C3435T

Ekspresi P-gp menurun
Konsentrasi doksorubisinJumlah P-gp

taksan intraseluler meningkat

menurun

Kematian sel kanker

Mielotoksisitas

payudara meningkat

Neutropenia

42
Universitas Sumatera Utara

Ket:
: Variabel yang diteliti
Variabel independen : polimorfisme ABCB1 3435C>T
Variabel dependen

: neutropenia

43
Universitas Sumatera Utara