Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Kanker Payudara di Instalasi Rawat Inap RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2011 – 2012

(1)

IDENTIFIKASI

DRUG RELATED PROBLEMS

(DRPs) PADA

PASIEN KANKER PAYUDARA DI INSTALASI RAWAT INAP

RSU Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2011 – 2012

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

YOGI SATRYA PARADA SIHOMBING

NIM 101501036

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

IDENTIFIKASI

DRUG RELATED PROBLEMS

(DRPs) PADA

PASIEN KANKER PAYUDARA DI INSTALASI RAWAT INAP

RSU Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2011 – 2012

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

YOGI SATRYA PARADA SIHOMBING

NIM 101501036

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

IDENTIFIKASI

DRUG RELATED PROBLEMS

(DRPs) PADA

PASIEN KANKER PAYUDARA DI INSTALASI RAWAT INAP

RSU Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2011 – 2012

OLEH:

YOGI SATRYA PARADA SIHOMBING

NIM 101501036

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 7 Februari 2015

Medan, Maret 2015 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara a.n. Dekan

Wakil Dekan I,

Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 195807101986012001

Pembimbing I,

Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb., M.Si., Apt. NIP 197506102005012003

Pembimbing II,

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195301011983031004

Panitia Penguji,

Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 195103261978022001

Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb., M.Si., Apt NIP 197506102005012003

Dr. Wiryanto, M.S., Apt. NIP 195110251980021001

Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt. NIP 195111021977102001


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena limpahan rahmat kasih dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul ”Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Kanker

Payudara di Instalasi Rawat Inap RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2011 – 2012”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas selama masa pendidikan, Ibu Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb., M.Si., Apt., dan Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan dan nasehat selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini, Bapak Drs. Suryadi Achmad, M.Sc., Apt., selaku penasehat akademik yang memberikan bimbingan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi. Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik selama perkuliahan, Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., Bapak Dr. Wiryanto, M.S., Apt., dan Ibu Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang memberikan masukan, kritik, arahan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis juga ingin mempersembahkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Edward Sihombing dan Ibunda Lis Yunita Pohan atas doa dan


(5)

v

pengorbanannya dengan tulus dan ikhlas, untuk abang Ronny Sahputra Sihombing, dan teman-teman Farmasi Klinis dan Komunitas 2010 serta Sains dan Teknologi Farmasi 2010 yang selalu setia memberi doa, dorongan dan semangat.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya, oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak guna perbaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang farmasi.

Medan, Maret 2015 Penulis,

Yogi Satrya Parada Sihombing NIM 101501036


(6)

vi

IDENTIFIKASI

DRUG RELATED PROBLEMS

(DRPs) PADA

PASIEN KANKER PAYUDARA DI INSTALASI RAWAT INAP

RSU Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2011 – 2012

ABSTRAK

Pengobatan untuk kanker payudara dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah dengan kemoterapi. Pengobatan kanker payudara dengan kemoterapi umumnya secara kombinasi obat, sehingga ada kemungkinan terjadi interaksi obat. Selain itu, kemoterapi dapat menimbulkan banyak efek samping, sehingga diperlukan terapi penunjang kemoterapi. Pasien kanker payudara yang menjalani rawat inap dapat mengalami peningkatan ataupun penurunan kualitas hidup. Penurunan kualitas hidup pasien kanker payudara dapat terjadi karena kanker yang semakin parah atau karena adanya masalah terkait penggunaan obat.

Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi masalah terkait penggunaan obat pada pasien kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2011 – 2012 yang meliputi interaksi obat, pemberian obat yang salah dan ketiadaan terapi tambahan bagi pasien. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, pengambilan data secara retrospektif terhadap data rekam medik dan evaluasi dilakukan secara teoritik berdasarkan literatur. Kriteria subjek penelitian meliputi pasien perempuan dengan diagnosis kanker payudara dengan/tanpa penyakit penyerta, yang dirawat inap di Ruang Mawar (Ruang Bedah Wanita) RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada Januari 2011 sampai dengan bulan Desember 2012.

Interaksi obat yang terjadi meliputi interaksi antara obat kemoterapi dengan obat kemoterapi, yaitu antara siklofosfamid dengan doksorubisin dan antara kapesitabin dengan tamoksifen, serta antara obat kemoterapi dengan obat penunjang, yaitu antara siklofosfamid dengan deksametason, antara siklofosfamid dengan ondansetron dan antara sisplatin dengan ondansetron. Pemberian obat yang salah yang ditemukan pada penelitian ini adalah pemberian asam mefenamat pada pasien yang menjalani kemoterapi regimen CA (siklofosfamid dan doksorubisin). Ketiadaan terapi tambahan yang ditemukan adalah ketiadaan terapi

granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) pada pasien geriatri.


(7)

vii

IDENTIFICATION OF DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) OF HOSPITALIZED BREAST CANCER PATIENTS AT RSU Dr. H. ABDUL

MOELOEK BANDAR LAMPUNG DURING 2011 - 2012 ABSTRACT

Medication for breast cancer can be done in various ways, one of them is by chemotherapy. Medication for breast cancer often given as a drug combination, therefore there is a probability for drug interaction to occurs. Moreover, chemotherapy can cause many side effects, therefore supportive therapy is needed. Hospitalized breast cancer patient’s quality of life may experience improvement or degeneration. Degeneration of hospitalized breast cancer patient’s quality of life can be caused by increased malignancy or by drug related problem.

Based on statement mentioned above, the research about identification of drug related problems (DRPs) of hospitalized breast cancer patient, included drug interaction, wrong drug and absence of additional therapy, is held. This study was conducted with descriptive design, the data acquired retrospectively for medical record and evaluation is conducted theoritically based on literature. The patient's criteria as a subject in this study were hospitalized in Ruang Mawar (Ruang Bedah Wanita) in RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung from January 2011 until December 2012.

Drug interactions that occured are drug interactions between chemotherapy drugs including cyclophosphamide with doxorubicin and capecitabine with tamoxifen, as well as drug interactions between chemotherapy drug and supportive drug including cyclophosphamide with dexamethasone, cyclophosphamide with ondansetron and cisplatin with ondansetron. Wrong drug that has been administered is mefenamic acid which has been administered after CA (cyclophosphamide and doxorubicin) regimen chemotherapy. The absence of additional therapy that occurred is the absence of granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) therapy for management of cancer in older patient.


(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 5

1.4 Hipotesis ... 6

1.5 Tujuan Penelitian ... 6

1.6 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Proliferasi Sel ... 8

2.1.1 Siklus Sel ... 8

2.1.2 Pengaturan Proliferasi Sel ... 10


(9)

ix

2.2.1 Etiologi dan Patogenesis ... 13

2.2.2 Klasifikasi ... 14

2.3 Kemoterapi ... 17

2.4 DRPs ... 19

2.4.1 Definisi DRPs ... 19

2.4.2 Klasifikasi DRPs ... 20

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Jenis Penelitian ... 23

3.2 Populasi dan Sampel ... 23

3.2.1 Populasi ... 23

3.2.2 Sampel ... 23

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

3.4 Definisi Operasional ... 24

3.5 Instrumen Penelitian ... 25

3.5.1 Sumber Data ... 25

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data ... 26

3.5.3 Analisis Data ... 26

3.6 Bagan Alur Penelitian ... 27

3.7 Langkah Penelitian ... 27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 29

4.2 Jumlah Pasien yang Memulai Kemoterapi Kanker Payudara pada Tahun 2011 Berdasarkan Kelompok Usia ... 30

4.3 Penggunaan Obat Kemoterapi ... 31


(10)

x

4.5 Identifikasi Drug Related Problems(DRPs) ... 38

4.5.1 Interaksi Obat ... 40

4.5.1.1 Siklofosfamid dengan Doksorubisin ... 43

4.5.1.2 Kapesitabin dengan Tamoksifen ... 51

4.5.1.3 Siklofosfamid dengan Deksametason ... 53

4.5.1.4 Siklofosfamid dengan Ondansetron ... 55

4.5.1.5 Sisplatin dengan Ondansetron ... 58

4.6.2 Pemberian Obat yang Salah ... 61

4.6.3 Ketiadaan Terapi Tambahan ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

5.1 Kesimpulan ... 69

5.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Efek samping kemoterapi ... 18 Tabel 4.1 Jumlah pasien yang memulai kemoterapi kanker payudara

pada tahun 2011 berdasarkan kelompok usia ... 30 Tabel 4.2 Obat-obat kemoterapi yang banyak digunakan untuk terapi

kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 – 2012 ... 32 Tabel 4.3 Obat-obat penunjang kemoterapi yang banyak digunakan

untuk terapi kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 – 2012 ... 34 Tabel 4.4 Pasien-pasien rawat inap kanker payudara dengan

kombinasi obat kemoterapi dan obat penunjang kemoterapi yang berbeda-beda antara satu pasien dengan yang lain di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun

2011 – 2012 ... 39 Tabel 4.5 Gambaran penggunaan obat dan kejadian interaksi obat

pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di

RSUAM Bandar Lampung ... 41 Tabel 4.6 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara

siklofosfamid dengan doksorubisin (kasus I) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar

Lampung ... 44 Tabel 4.7 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara

siklofosfamid dengan doksorubisin (kasus II) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung... 45 Tabel 4.8 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara

siklofosfamid dengan doksorubisin (kasus III) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar

Lampung ... 46 Tabel 4.9 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara

siklofosfamid dengan doksorubisin (kasus IV) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung... 47


(12)

xii

Tabel 4.10 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara kapesitabin dengan tamoksifen pada pasien kanker payudara

di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung ... 51 Tabel 4.11 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara

siklofosfamid dengan deksametason (kasus I) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung... 53 Tabel 4.12 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara

siklofosfamid dengan deksametason (kasus II) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar

Lampung ... 54 Tabel 4.13 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara

siklofosfamid dengan ondansetron (kasus I) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung... 56 Tabel 4.14 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara

siklofosfamid dengan ondansetron (kasus II) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung ... 57 Tabel 4.15 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara sisplatin

dengan ondansetron (kasus I) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung ... 59 Tabel 4.16 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara

sisplatin dengan ondansetron (kasus II) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung ... 60 Tabel 4.17 Gambaran kejadian pemberian obat yang salah pada pasien

kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung... 62 Tabel 4.18 Terjadi pemberian obat yang salah pada pasien kanker

payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung... 63 Tabel 4.19 Gambaran kejadian ketiadaan terapi tambahan pada pasien

kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung ... 66 Tabel 4.20 Terjadi ketiadaan terapi tambahan pada pasien kanker

payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung ... 67


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dengan variabel terikat ... 5 Gambar 2.1 Siklus sel ... 9 Gambar 3.1 Gambaran pelaksanaan penelitian ... 27


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Data Pengobatan Pasien ... 77 Lampiran 2. Guideline dari National Comprehensive Cancer Network

untuk Manajemen Kanker pada Pasien Lanjut Usia ... 126 Lampiran 3. Surat Permohonan Izin Penelitian di RSU Dr. H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung ... 127 Lampiran 4. Surat Izin Melakukan Penelitian di RSU Dr. H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung ... 128 Lampiran 5. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Kegiatan

Penelitian di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar


(15)

vi

IDENTIFIKASI

DRUG RELATED PROBLEMS

(DRPs) PADA

PASIEN KANKER PAYUDARA DI INSTALASI RAWAT INAP

RSU Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2011 – 2012

ABSTRAK

Pengobatan untuk kanker payudara dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah dengan kemoterapi. Pengobatan kanker payudara dengan kemoterapi umumnya secara kombinasi obat, sehingga ada kemungkinan terjadi interaksi obat. Selain itu, kemoterapi dapat menimbulkan banyak efek samping, sehingga diperlukan terapi penunjang kemoterapi. Pasien kanker payudara yang menjalani rawat inap dapat mengalami peningkatan ataupun penurunan kualitas hidup. Penurunan kualitas hidup pasien kanker payudara dapat terjadi karena kanker yang semakin parah atau karena adanya masalah terkait penggunaan obat.

Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi masalah terkait penggunaan obat pada pasien kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2011 – 2012 yang meliputi interaksi obat, pemberian obat yang salah dan ketiadaan terapi tambahan bagi pasien. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, pengambilan data secara retrospektif terhadap data rekam medik dan evaluasi dilakukan secara teoritik berdasarkan literatur. Kriteria subjek penelitian meliputi pasien perempuan dengan diagnosis kanker payudara dengan/tanpa penyakit penyerta, yang dirawat inap di Ruang Mawar (Ruang Bedah Wanita) RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada Januari 2011 sampai dengan bulan Desember 2012.

Interaksi obat yang terjadi meliputi interaksi antara obat kemoterapi dengan obat kemoterapi, yaitu antara siklofosfamid dengan doksorubisin dan antara kapesitabin dengan tamoksifen, serta antara obat kemoterapi dengan obat penunjang, yaitu antara siklofosfamid dengan deksametason, antara siklofosfamid dengan ondansetron dan antara sisplatin dengan ondansetron. Pemberian obat yang salah yang ditemukan pada penelitian ini adalah pemberian asam mefenamat pada pasien yang menjalani kemoterapi regimen CA (siklofosfamid dan doksorubisin). Ketiadaan terapi tambahan yang ditemukan adalah ketiadaan terapi

granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) pada pasien geriatri.


(16)

vii

IDENTIFICATION OF DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) OF HOSPITALIZED BREAST CANCER PATIENTS AT RSU Dr. H. ABDUL

MOELOEK BANDAR LAMPUNG DURING 2011 - 2012 ABSTRACT

Medication for breast cancer can be done in various ways, one of them is by chemotherapy. Medication for breast cancer often given as a drug combination, therefore there is a probability for drug interaction to occurs. Moreover, chemotherapy can cause many side effects, therefore supportive therapy is needed. Hospitalized breast cancer patient’s quality of life may experience improvement or degeneration. Degeneration of hospitalized breast cancer patient’s quality of life can be caused by increased malignancy or by drug related problem.

Based on statement mentioned above, the research about identification of drug related problems (DRPs) of hospitalized breast cancer patient, included drug interaction, wrong drug and absence of additional therapy, is held. This study was conducted with descriptive design, the data acquired retrospectively for medical record and evaluation is conducted theoritically based on literature. The patient's criteria as a subject in this study were hospitalized in Ruang Mawar (Ruang Bedah Wanita) in RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung from January 2011 until December 2012.

Drug interactions that occured are drug interactions between chemotherapy drugs including cyclophosphamide with doxorubicin and capecitabine with tamoxifen, as well as drug interactions between chemotherapy drug and supportive drug including cyclophosphamide with dexamethasone, cyclophosphamide with ondansetron and cisplatin with ondansetron. Wrong drug that has been administered is mefenamic acid which has been administered after CA (cyclophosphamide and doxorubicin) regimen chemotherapy. The absence of additional therapy that occurred is the absence of granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) therapy for management of cancer in older patient.


(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Radikal bebas merupakan molekul-molekul yang sangat reaktif di dalam tubuh. Ketika radikal bebas tidak dapat didestruksi secara bertahap, akumulasinya di dalam tubuh menghasilkan fenomena yang disebut stres oksidatif. Proses ini berperan besar dalam perkembangan penyakit degeneratif, salah satunya kanker. Banyak sekali sumber radikal bebas yang dapat masuk dan terbentuk di dalam tubuh, di antaranya melalui pernapasan, lingkungan yang tidak sehat dan akibat mengonsumsi makanan yang berlemak ataupun yang tidak sehat. Karsinogenesis merupakan suatu proses yang memberikan hasil suatu transformasi sel normal menjadi neoplastik yang disebabkan oleh perubahan genetik yang menetap atau mutasi. Tumor tumbuh dari sel tunggal yang mengalami transformasi oleh penumpukan atau akumulasi proses mutasi. Berdasarkan estimasi Globocan,

International Agency for Research on Cancer (IARC) 2012, insiden kanker

payudara sebesar 40 per 100 ribu perempuan, kanker leher rahim 17 per 100 ribu perempuan, kanker paru 26 per 100 ribu laki-laki, kanker kolorektal 16 per 100 ribu laki-laki. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi tumor atau kanker di Indonesia adalah 1,4 per 1000 penduduk atau sekitar 330.000 orang. Kanker tertinggi di Indonesia pada perempuan adalah kanker payudara dan kanker leher rahim, sedangkan pada laki-laki adalah kanker paru-paru dan kanker kolorektal (Rasjidi, 2009; Robby, 2014; Ulilalbab, 2012).


(18)

2

Kanker payudara menempati peringkat kelima penyebab kematian akibat kanker (522.000 kematian) dan sementara itu merupakan penyebab paling sering kematian akibat kanker pada wanita di daerah-daerah yang kurang berkembang (324.000 kematian, 14,3% dari total), juga merupakan penyebab kedua kematian akibat kanker di daerah-daerah yang lebih berkembang (198.000 kematian, 15,4% dari total) setelah kanker paru-paru. Kanker payudara adalah kanker yang umum kedua di dunia, dan sejauh ini, merupakan kanker yang paling sering dijumpai pada wanita dengan perkiraan sebanyak 1,67 juta kasus kanker baru yang terdiagnosis pada tahun 2012 (25% dari seluruh kanker). Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2009, kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di seluruh rumah sakit di Indonesia 21,69%, disusul kanker leher rahim 17%. Laporan kanker dunia memperkirakan angka kejadian kanker akan meningkat menjadi 15 juta kasus baru di tahun 2020 (Ashton, et al., 2009; IRCA, 2012; Rasjidi, 2009).

Kanker payudara adalah neoplasma ganas yaitu suatu pertumbuhan jaringan payudara abnormal dengan pertumbuhan berlebihan dan tidak ada koordinasi dengan pertumbuhan jaringan normal, tumbuh infiltratif dan destruktif serta dapat bermetastase dan akan tetap tumbuh dengan cara yang berlebihan setelah stimulus yang menimbulkan pertumbuhan itu berhenti. Neoplasma merupakan kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel normal yang mengalami proliferasi, tumbuh terus-menerus secara tidak terbatas, tidak berkoordinasi dengan jaringan sekitarnya. Kanker payudara terjadi karena hilangnya kontrol atas proliferasi sel payudara dan apoptosis sehingga sel payudara berproliferasi secara terus menerus tanpa adanya batas kematian.


(19)

3

Hilangnya fungsi apoptosis menyebabkan ketidakmampuan mendeteksi kerusakan sel akibat kerusakan DNA (Indrati, 2005).

Pada dasarnya regimen kemoterapi FAS (fluorourasil, adriamisin, siklofosfamid) dapat menyebabkan lesi pada deoxyribonucleic acid (DNA)

melalui mekanisme yang berbeda. Lesi tersebut akan menyebabkan kerusakan DNA. Kerusakan DNA yang tidak dapat diperbaiki dapat menginduksi apoptosis. Kerusakan DNA akibat pemberian kemoterapi FAS akan merangsang gen p53 menginduksi apoptosis. Sel yang mempunyai mutasi p53 akan resisten terhadap stimuli apoptosis kemoterapi. Kejadian mutasi p53 pada karsinoma payudara dihubungkan dengan sifat agresif dan buruknya ketahanan hidup. Mutasi p53 akan menyebabkan gangguan stabilitas serta integritas genom dan sel akan terus berproliferasi (Muhartono, 2012).

Samuel (2011) mengatakan bahwa pasien kanker seringkali tidak patuh terhadap pengobatan dengan berbagai alasan, antara lain masalah biaya, ingin mencoba pengobatan alternatif serta tidak tahan terhadap efek samping seperti kerontokan rambut, daya tahan tubuh yang menurun, sariawan, mual dan muntah. Di samping itu, proses pengobatan kanker yang memakan waktu tidak sebentar, takut akan kematian serta tidak adanya dukungan keluarga seringkali juga membuat pasien frustasi dan akhirnya berhenti berobat (drop-out).

Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diinginkan

yang dialami oleh pasien, yang melibatkan, atau dicurigai melibatkan, terapi obat, dan mengganggu pencapaian tujuan terapi yang diinginkan. Masalah yang dialami oleh pasien yang melibatkan pengobatan dapat dikategorikan ke dalam salah satu dari tujuh tipe masalah terapi obat, meliputi efek samping, reaksi-reaksi toksik,


(20)

4

kesalahan-kesalahan tindakan, atau kebutuhan akan pengobatan tambahan, sinergis, atau preventif, serta masalah ketidakpatuhan (Strand, et al., 1990).

DRPs pada pasien kanker payudara yang pernah dipublikasikan adalah DRPs pada pasien kanker payudara di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2004 – Juni 2005. Dari 25 kasus yang diteliti, terdapat 11 kasus yang mengalami DRPs, dengan perincian 4 kasus butuh terapi obat tambahan (need for additional therapy), 1 kasus tidak perlu terapi obat (unnecessary drug therapy), 6 kasus dosis kurang atau dosis terlalu rendah (dosage too low), dan 1

kasus dosis terlalu tinggi (dosage too high) (Damayanti, 2006).

Sejauh yang diketahui penulis, penelitian tentang DRPs pada pasien kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi DRP pada pasien kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2011 – 2012 yang meliputi interaksi obat, kesalahan pemberian obat (wrong drug) dan tidak adanya terapi tambahan (adjuvant) bagi pasien.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk penerapan farmasi klinis di Instalasi Farmasi RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dalam penanganan obat sitostatika (handling of cytotoxic drugs).

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang identifikasi DRPs pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2011 – 2012. Dalam penelitian ini, obat-obat yang tercatat dalam rekam medis pasien kanker payudara merupakan variabel bebas (independent variable)


(21)

5

dan DRPs kategori interaksi obat, pemberian obat yang salah dan ketiadaan terapi tambahan sebagai variabel terikat (dependent variable). Hubungan kedua variabel

tersebut digambarkan dalam kerangka pikir penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dengan variabel terikat

1.3.1 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

a.apakah terjadi DRP kategori interaksi obat secara farmakologi pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung?

b.apakah terjadi DRP kategori pemberian obat yang salah pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung?

c.apakah terjadi DRP kategori ketiadaan terapi tambahan pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung?

Obat-obat yang tercatat dalam rekam

medis pasien kanker payudara

DRPs

Kategori: 1. Interaksi obat

2. Pemberian obat yang salah 3. Ketiadaan terapi tambahan

Telaah dan analisis


(22)

6

1.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis pada penelitian ini adalah:

a.terjadi DRP kategori interaksi obat secara farmakologi pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

b.terjadi DRP kategori pemberian obat yang salah pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

c.terjadi DRP kategori ketiadaan terapi tambahan pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

a.mengetahui adanya interaksi obat pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

b.mengetahui adanya pemberian obat yang salah pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

c.mengetahui adanya ketiadaan terapi tambahan pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.


(23)

7

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk:

a. peneliti, dapat menambah pengetahuan peneliti tentang DRPs.

b.masyarakat, dapat memperoleh gambaran kejadian DRPs pada penyakit kanker payudara.

c. rumah sakit, diharapkan dari hasil penelitian dapat digunakan untuk bahan evaluasi bagi pihak rumah sakit mengenai pelaksanaan pengobatan kanker payudara dalam praktik di rumah sakit tersebut.

d.penelitian ini diharapkan dapat mendorong minat mahasiswa atau peneliti lain untuk meneliti lebih lanjut tentang kejadian DRPs pada penyakit lainnya.


(24)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proliferasi Sel

Proliferasi sel menghasilkan dua sel yang berasal dari satu sel. Keadaan ini membutuhkan pertumbuhan sel yang kemudian diikuti oleh pembelahan (divisi) sel. Pertumbuhan sel yang tidak terkendali merupakan ciri khas kanker. Sel kanker secara umum berisi biomolekul yang diperlukan untuk bertahan, proliferasi, diferensiasi, kematian sel dan ekspresi tipe sel dengan fungsi khusus (specific functions). Kegagalan regulasi fungsi inilah yang menghasilkan perubahan fenotip

dan kanker (Brody dan Rudel, 2003; Tan, 2001).

Pada jaringan normal, proliferasi sel mengarah kepada penambahan jaringan di mana jumlah sel tidak hanya tergantung kepada proliferasi sel tetapi juga oleh kematian sel. Kematian sel terprogram (apoptosis) adalah proses dikeluarkannya sel-sel yang rusak. Keseimbangan antara produksi sel baru dan kematian sel itulah yang mempertahankan sel yang tepat pada jaringan (homeostasis) (Brody dan Rudel, 2003).

2.1.1 Siklus Sel

Divisi sel terdiri dari dua proses yang berurutan, terutama ditandai dengan repikasi DNA dan segregasi kromosom yang bereplikasi menjadi dua sel yang terpisah. Secara umum sel divisi terbagi dua tahap: mitosis (M) yaitu proses divisi inti, dan interfase yaitu fase selingan diantara dua fase M. Tahap mitosis dibagi atas profase, metafase, anafase dan telofase. Tahap interfase terdiri dari G1, S dan G2. Replikasi DNA terjadi pada fase S. Fase S didahului oleh suatu gap yang


(25)

9

disebut G1. Pada fase ini, sel bersiap-siap untuk sintesis DNA dan diikuti dengan gap yang disebut G2, yaitu fase ketika sel siap untuk mitosis. Sel pada G1, sebelum berkomitmen replikasi DNA, akan memasuki fase istirahat disebut G0. Sel pada G0 berada pada keadaan tidak tumbuh atau sel tidak berproliferasi (Kissane, 1990).

Siklus sel dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Siklus Sel

(Sumber: Pathologic Basis of Disease 7th ed., 2005. Kumar, Abbas, Fausto)

Siklus sel adalah suatu proses yang tertata amat teratur untuk menggandakan dan menebarkan informasi genetik dari satu generasi sel ke generasi yang berikutnya. Selama proses ini berjalan, DNA harus digandakan secara tepat dan salinan kromosom harus dibagikan tepat sama jumlah pada kedua

Pertumbuhan dalam jumlah besar

Sel-sel labile yang bergilir secara

terus menerus (misalnya epidermis, epitelium saluran pencernaan)

Sel-sel permanen (misalnya neuron,

miosit kardiak) Sel-sel stabil

(misalnya hepatosit)

SIKLUS SEL Duplikasi

Pemeriksaan kerusakan DNA (cekpoin G1/S)

Titik restriksi Duplikasi sentrosom

Pembelahan sel

Pemeriksaan kerusakan DNA atau DNA yang belum

terduplikasi (cekpoin G2/M) Mitosis


(26)

10

sel anak yang terbentuk. Siklus sel dapat dibedakan menjadi beberapa tahap yang terpisah jelas yaitu:

Fase G1 Suatu interval atau celah antara mitosis (fase M) dan sintesis DNA

(fase S), selama fase ini sel dapat mengalami stimulasi dari berbagai mitogen dan faktor pertumbuhan (growth factor) ekstraselular

Fase S Pada fase ini, DNA digandakan dengan cara membuat salinan

komplemennya (complementary copy)

Fase G2 Suatu interval atau celah antara penyempurnaan sintesis DNA (fase S)

dan mitosis (fase M)

Fase M Pada fase ini, terjadi pembentukan benang-benang mitotik yang

terpisah pada kedua kutub sel, pemisahan khromatid menjadi dua bagian yang sama persis dalam kualitas dan kuantitas (two sister chromatids) dan pembelahan sel (Karsono, 2009).

2.1.2 Pengaturan Proliferasi Sel

Dalam pengaturan proliferasi sel tahap G1/S memegang peranan

terpenting. Pada lebih kurang sepertiga akhir fase G1 terdapat suatu periode yang

disebut titik restriksi. Titik restriksi sebenarnya hanya merupakan salah satu dari cekpoin yang terdapat dalam siklus sel. Peraturan siklus sel menetapkan bahwa harus dapat dipastikan semua langkah dalam setiap fase sudah benar-benar sempurna selesai pada waktu memasuki fase berikutnya. Untuk itu, beberapa cekpoin pemantau keutuhan DNA ditempatkan secara strategis di akhir fase G1

dan pada ambang peralihan fase G2/M guna mencegah gerak maju atau

perambatan siklus pada sel yang mengalami mutasi atau kerusakan. Titik restriksi ini dikawal oleh protein RB (pRB, retinoblastoma). pRB bertindak memantau


(27)

11

keutuhan DNA. Dalam keadaan tidak terfosforilasi, pRB mengikat protein lain yaitu E2F. E2F adalah suatu faktor transkripsi. Bila DNA dalam keadaan utuh maka terjadi fosforilasi pRB oleh CDK4/CDK6 (cyclin dependent kinase). Akibat

fosforilasi pRB, maka pRB tidak dapat lagi mengikat E2F. E2F yang terlepas akan menyebabkan transkripsi beberapa gen termasuk di antaranya gen untuk cyclin E. Cyclin E dibutuhkan sel untuk menembus titik restriksi. Beberapa protein dapat

menghambat fosforilasi pRB, antara lain p53, p16INK4a, p19ARF dan p21. p53 bekerja mengaktifkan p21 dan pada gilirannya p21 menghambat CDK4/6. p19ARF bekerja dengan cara menginaktivasi MDM2. Inaktif MDM2 tidak dapat menghambat p53 sehingga p53 dapat mengaktifkan p21. p16INK4a bekerja langsung menginaktivasi CDK4/6 sehingga tidak dapat memfosforilasi pRB. Apabila terjadi kerusakan DNA, maka siklus sel akan dihambat terutama di G1.

Bila kerusakan DNA tak mungkin diperbaiki maka sel akan melakukan apoptosis (Karsono, 2009).

Sinyal-sinyal yang berasal dari TGF-β (transforming growth factor β)

mengendalikan berbagai proses selular seperti proliferasi, identifikasi, diferensiasi, apoptosis dan pembentukan dalam embriogenesis. Umumnya sinyal-sinyal dari TGF-β mempunyai efek negatif terhadap pertumbuhan sel, oleh karena

itulah tidak mengherankan bila inaktivasi jalur sinyal TGF-β berperan dalam tumor genesis. Ikatan TGF-β sebagai ligand terhadap reseptornya akan

mengakibatkan hetero-dimerisasi reseptor TGF-β. Selanjutnya reseptor ini akan memfosforilasi Smad4, Smad4 terfosforilasi akan membentuk dimer dengan Smad4 inaktif dan tertranslokasi ke inti sel. Di dalam inti sel dimer Smad4 akan bekerja menghambat ekspresi c-myc dan meningkatkan ekspresi protein-protein


(28)

12

inhibitor siklus sel baik dari keluarga INK maupun dari keluarga KIP (Karsono, 2009).

Proses apoptosis dapat terjadi melalui beberapa jalur. Salah satu jalur yang mempunyai kaitan erat dengan kanker adalah melalui induksi apoptosis oleh protein p53. Protein p53 merespon kerusakan DNA atau stres sel yang meliputi aktivitas onkogen (gen pendorong terbentuknya tumor), hipoksia (kekurangan oksigen dalam sel), erosi telomerase (pemendekan DNA akibat non-aktif-nya enzim telomerase) dan stres sel yang lain (Stokloza dan Golab, 2005)

Aktivitas transkripsi dari p53 bergantung pada pembentukan tetramer dari protein tersebut yang berinteraksi dengan DNA dengan urutan yang spesifik (sequence-specific). Tiap subunit p53 terdiri dari 4 domain yang berbeda

fungsinya. Residu 1 sampai residu 44 merupakan ujung N yang sedikit terlipat sebagai domain pengaktif transkripsi. Domain inti merupakan bagian yang berinteraksi dengan DNA dan berawal dari residu 102 sampai residu 292. Residu 320 sampai residu 356 bertanggung jawab atas pembentukan tetramer, sedangkan residu 356 sampai residu 393 merupakan domain regulator (Zhao et al., 2001).

Kurang lebih 55% sel tumor pada manusia kehilangan fungsi p53 akibat mutasi. Hilangnya fungsi p53 menyebabkan kerusakan DNA atau kecacatan pada sel yang lain yang tidak diikuti dengan penghentian penggandaan dan/atau proses apoptosis meskipun terjadi kenaikan konsentrasi p53 (Bykov et al., 2002; Joerger et al., 2005).


(29)

13

2.2 Kanker Payudara

2.2.1 Etiologi dan Patogenesis

Ada 3 pengaruh penting pada kanker payudara: a. Faktor genetik

Faktor genetik berpengaruh dalam peningkatan terjadinya kanker payudara. Pada percobaan tikus dengan galur sensitif kanker, melalui persilangan genetik didapatkan tikus yang terkena kanker. Ada faktor turunan pada suatu keluarga yang terkena kanker payudara. Kelainan ini diketahui terletak di lokus kecil di kromosom 17q21 pada kanker payudara yang timbul saat usia muda (Restifo dan Wunderlich, 2001). b. Hormon

Kelebihan hormon estrogen endogen atau lebih tepatnya terjadi ketidakseimbangan hormon terlihat sangat jelas pada kanker payudara. Banyak faktor resiko yang dapat disebutkan seperti masa reproduksi yang lama, nulipara, dan usia tua saat mempunyai anak pertama akan meningkatkan estrogen pada siklus menstruasi. Wanita pasca menopause dengan tumor ovarium fungsional dapat terkena kanker payudara karena adanya hormon estrogen berlebihan. Suatu penelitian menyebutkan bahwa kelebihan jumlah estrogen di urin, frekuensi ovulasi, dan umur saat menstruasi dihubungkan dengan meningkatnya resiko terkena kanker payudara (Bast, 1985; Sobin dan Wittekind, 2002). Epitel payudara normal memiliki reseptor estrogen dan progesteron. Kedua reseptor ditemukan pada sebagian besar kanker payudara. Berbagai bentuk growth promoters (transforming growth


(30)

14

factor-alpha/epitehlial growth factor, platelet-derived growth factor), fibroblast growth factor dan growth inhibitor disekresi oleh sel kanker

payudara manusia. Banyak penelitian menyatakan bahwa growth promoters terlibat dalam mekanisme autokrin dari tumor. Produksi GF

tergantung pada hormon estrogen, sehingga interaksi antara hormon disirkulasi, reseptor hormon pada sel kanker dan GF autokrin merangsang sel tumor menjadi lebih progresif (Restifo dan Wunderlich, 2001; Junqueira, et al., 1995; Whiteside dan Haberman, 2003).

c. Faktor lingkungan dan gaya hidup

Pengaruh lingkungan diduga karena berbagai faktor antara lain alkohol, diet tinggi lemak, dan infeksi virus. Hal tersebut mungkin mempenga-ruhi onkogen dan gen supresi tumor dari kanker payudara (Restifo dan Wunderlich, 2001).

2.2.2 Klasifikasi

Berdasarkan gambaran histologis, WHO membuat klasifikasi kanker payudara sebagai berikut (Sobin dan Wittekind, 2002; Junqueira, et al., 1995; Robbin, et al., 1994).

a. Kanker payudara non invasif

i. Karsinoma intraduktus non invasif

Karsinoma intraduktus adalah karsinoma yang mengenai duktus disertai infiltrasi jaringan stroma sekitar. Terdapat 5 subtipe dari karsinoma intraduktus, yaitu komedokarsinoma, solid, kribriformis, papiler, dan mikrokapiler. Komedokarsinoma ditandai dengan sel-sel yang berproliferasi cepat dan memiliki derajat keganasan tinggi.


(31)

15

Karsinoma jenis ini dapat meluas ke duktus ekskretorius utama, kemudian menginfiltrasi papilla dan areola, sehingga dapat menyebabkan penyakit Paget pada payudara.

ii. Karsinoma lobular in situ

Karsinoma ini ditandai dengan pelebaran satu atau lebih duktus terminal dan/atau tubulus, tanpa disertai infiltrasi ke dalam stroma. Sel-sel berukuran lebih besar dari normal, inti bulat kecil dan jarang disertai mitosis.

b. Kanker payudara invasif i. Karsinoma duktus invasif

Karsinoma jenis ini merupakan bentuk paling umum dari kanker payudara. Karsinoma duktus infiltratif merupakan 65 – 80% dari karsinoma payudara. Secara histologis, jaringan ikat padat tersebar berbentuk sarang. Sel berbentuk bulat sampai poligonal, bentuk inti kecil dengan sedikit gambaran mitosis. Pada tepi tumor, tampak sel kanker mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitar seperti sarang, kawat atau seperti kelenjar. Jenis ini disebut juga sebagai

infiltrating ductus carcinoma not otherwise specified (NOS), scirrhous carcinoma, infiltrating carcinoma atau carcinoma simplex.

ii. Karsinoma lobular invasif

Jenis ini merupakan karsinoma infiltratif yang tersusun atas sel-sel berukuran kecil dan seragam dengan sedikit pleimorfisme. Karsinoma lobular invasif biasanya memiliki tingkat mitosis


(32)

16

rendah. Sel infiltratif biasanya tersusun konsentris disekitar duktus berbentuk seperti target. Sel tumor dapat berbentuk signet ring,

tubuloalveolar, atau solid (Chapoval, et al., 1998). iii. Karsinoma musinosum

Pada karsinoma musinosum ini didapatkan sejumlah besar mukus intraseluler dan ekstraseluler yang dapat dilihat secara makroskopis maupun mikroskopis. Secara histologis, terdapat 3 bentuk sel kanker. Bentuk pertama, sel tampak seperti pulau-pulau kecil yang mengambang dalam cairan musin basofilik. Bentuk kedua, sel tumbuh dalam susunan kelenjar berbatas jelas dan lumennya mengandung musin. Bentuk ketiga terdiri dari susunan jaringan yang tidak teratur berisi sel tumor tanpa diferensiasi, sebagian besar sel berbentuk signet ring.

iv. Karsinoma meduler

Sel berukuran besar berbentuk poligonal atau lonjong dengan batas sitoplasma tidak jelas. Diferensiasi dari jenis ini buruk, tetapi memiliki prognosis lebih baik daripada karsinoma duktus infiltratif. Biasanya terdapat infiltrasi limfosit yang nyata dalam jumlah sedang di antara sel kanker, terutama dibagian tepi jaringan kanker. v. Karsinoma papiler invasif

Komponen invasif dari jenis karsinoma ini berbentuk papiler. vi. Karsinoma tubuler

Pada karsinoma tubuler, bentuk sel teratur dan tersusun secara tubuler selapis, dikelilingi oleh fibrous stroma. Jenis seperti ini


(33)

17

merupakan karsinoma dengan diferensiasi tinggi (Abbas, et al., 2005).

vii. Karsinoma adenokistik

Jenis ini merupakan karsinoma invasif dengan karakteristik sel yang berbentuk kribriformis. Sangat jarang ditemukan pada payudara.

viii. Karsinoma apokrin

Karsinoma ini didominasi dengan sel yang memiliki sitoplasma eosinofilik, sehingga menyerupai sel apokrin yang mengalami metaplasia. Bentuk karsinoma apokrin dapat ditemukan juga pada jenis karsinoma payudara yang lain.

2.3 Kemoterapi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan terapi kanker payudara, antara lain stadium kanker, usia, ukuran dari tumor, menopause dan apakah sel-sel kanker memiliki reseptor terhadap hormon tertentu (misalnya estrogen) atau protein-protein khusus pada permukaan reseptor (Anonimb, 2013).

Kemoterapi adalah suatu pengobatan sistemik yang melibatkan penggunaan obat antikanker atau obat-obat sitotoksik yang biasanya diberikan melalui injeksi ataupun secara oral. Kemoterapi seringkali digunakan sebagai terapi tambahan pada perawatan yang lain, seperti pembedahan atau terapi radiasi. Kemoterapi biasanya diberikan 1 – 2 minggu setelah operasi. Namun, untuk tumor yang lebih besar, sebaiknya dilakukan kemoterapi pra-operasi (Damayanti, 2006).


(34)

18

Pengobatan kanker dengan kemoterapi telah dibuktikan lebih efektif jika digunakan secara kombinasi dua atau lebih jenis obat. Obat-obat yang digunakan secara kombinasi hendaknya telah menunjukkan efektivitas ideal pada penggunaan tunggal, memiliki mekanisme yang berbeda satu dengan yang lain, dan memiliki profil toksisitas yang berbeda sehingga dapat digunakan pada dosis optimal (Damayanti, 2006).

Resiko penggunaan obat-obat sitotoksik adalah obat-obat ini dapat menyebabkan proliferasi pada jaringan yang normal. Efek samping ini dapat menurunkan kualitas hidup pasien tersebut. Pada Tabel 2.1 disajikan keterangan mengenai efek samping dari pengobatan kanker dengan kemoterapi yang umum terjadi berdasarkan skala waktu kejadian efek samping tersebut (Damayanti, 2006).

Tabel 2.1 Efek samping kemoterapi

Waktu Kejadian Efek Samping

Kemoterapi Efek Samping Kemoterapi

Immediate (terjadi dalam hitungan jam)

Plebitis, hyperuricaemia, mual/muntah, gagal ginjal akut, anafilaksis, iritasi kulit,

demam

Awal (terjadi dalam hitungan hari) Ototoksisitas, hipomagnesemia, diare, stomatitis, konjungtivitis, alopecia, myelotoxicity

Tertunda (terjadi dalam hitungan minggu) hiperpigmentasi, Fibrosis pulmo, hepatocellular toxicityneurophaty perifer, , anemia

Lambat (terjadi dalam hitungan bulan/


(35)

19

2.4 DRPs

2.4.1 Definisi DRPs

DRPs adalah adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome yang

diinginkan pasien. Suatu kejadian dapat disebut DRPs apabila terdapat dua kondisi, yaitu: (a) adanya kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien, kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosa penyakit, ketidakmampuan (disability) yang merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultur

atau ekonomi; dan (b) adanya hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat (Strand, et al., 1990).

2.4.2 Klasifikasi DRPs

Jenis-jenis DRPs dan penyebabnya menurut Cipolle, et al. (2004) disajikan sebagai berikut:

a. Membutuhkan terapi tambahan obat

i. Pasien mempunyai kondisi medis baru yang membutuhkan terapi awal pada obat.

ii. Pasien mempunyai penyakit kronik yang membutuhkan terapi obat berkesinambungan.

iii. Pasien mempunyai kondisi kesehatan yang membutuhkan farmakoterapi kombinasi untuk mencapai efek sinergisme atau potensiasi.

iv. Pasien dalam keadaan resiko pengembangan kondisi kesehatan baru yang dapat dicegah dengan penggunaan pencegah penyakit melalui terapi obat dan/atau tindakan pramedis.


(36)

20 b. Terapi obat yang tidak perlu

i. Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan yang tidak tepat indikasi pada waktu itu.

ii. Pasien yang tidak sengaja maupun sengaja menerima sejumlah racun dari obat atau bahan kimia, sehingga menyebabkan rasa sakit pada waktu itu.

iii. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol, dan rokok. iv. Kondisi kesehatan pasien lebih baik diobati dengan terapi tanpa obat. v. Pasien yang mendapatkan beberapa obat untuk kondisi yang mana

hanya satu terapi obat yang terindikasi.

vi. Pasien yang mendapatkan terapi obat yang tidak tepat dihindarkan dari reaksi efek samping yang disebabkan oleh pengobatan lainnya. c. Terapi obat salah

i. Pasien menerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan.

ii. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan.

iii. Bentuk sediaan obat tidak tepat. d. Dosis terlalu rendah

i. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon kepada pasien.

ii. Konsentrasi obat dalam darah pasien di bawah batas terapetik yang diharapkan.


(37)

21

iii. Selang waktu pemberian obat terlalu jarang sehingga tidak menghasilkan respon yang diinginkan.

e. Reaksi obat yang merugikan

i. Pasien memperoleh reaksi alergi dalam pengobatan.

ii. Ketersediaan obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau makanan pasien.

iii. Penggunaan obat menyebabkan terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki yang tidak terkait dengan dosis.

iv. Penggunaan obat yang kontraindikasi. f. Dosis terlalu tinggi

i. Dosis terlalu tinggi untuk memberikan respon kepada pasien.

ii. Pasien dengan konsentrasi obat di dalam darah di atas batas teurapetik obat yang diharapkan.

iii. Obat, dosis, rute atau perubahan formulasi tidak tepat untuk pasien. iv. Dosis dan frekuensi pemberian tidak tepat untuk pasien.

g. Kepatuhan

i. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan, pengobatan, pemberian atau pemakaian).

ii. Pasien tidak patuh dengan aturan yang diberikan untuk pengobatan. iii. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya

mahal.

iv. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena kurang mengerti.


(38)

22

v. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena sudah merasa sehat.


(39)

23

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif yaitu penelitian dengan mengkaji informasi atau mengambil data yang telah lalu (Strom dan Kimmel, 2006).

3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2011 sampai dengan tahun 2012.

3.2.2 Sampel

Pada penelitian ini, sebagai subjek adalah data pengobatan pasien rawat inap kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2011 sampai dengan tahun 2012, yaitu rekam medis pasien rawat inap pasien kanker payudara serta hasil wawancara dengan apoteker pelaksana penanganan obat kemoterapi. Pengambilan sampel dilakukan dengan memperhatikan kombinasi obat kemoterapi beserta obat penunjangnya sehingga didapat pasien-pasien dengan kombinasi obat kemoterapi dan obat penunjang kemoterapi yang


(40)

24

berbeda-beda antara satu pasien dengan yang lain. Subjek yang diambil harus memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang dapat diikutsertakan ke dalam penelitian. Adapun yang menjadi kriteria inklusi adalah:

a.pasien dengan diagnosis kanker payudara dengan/tanpa penyakit penyerta, yang dirawat inap di Ruang Mawar (Ruang Bedah Wanita) RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada Januari 2011 sampai dengan bulan Desember 2012.

b.perempuan.

Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek tidak dapat diikutsertakan. Adapun yang menjadi kriteria eksklusi adalah:

a. data pasien yang tidak lengkap (tidak memuat informasi dasar yang dibutuhkan dalam penelitian).

b. data tidak jelas terbaca.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada bulan Mei 2014 – Juni 2014.

3.4 Definisi Operasional

a.Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang data subjektif pasien, data objektif pasien, penatalaksanaan dan pelayanan lain kepada pasien di sarana pelayanan kesehatan.


(41)

25

b.Data subjektif pasien adalah data yang diperoleh langsung dari pasien melalui anamnese berdasarkan sudut pandang pasien.

c.Data objektif pasien adalah data yang diperoleh melalui suatu pengukuran dan pemeriksaan yang memenuhi standar yang diakui.

d.Penatalaksanaan adalah tindakan, proses dan cara pelayanan kesehatan yang diberikan pada pasien untuk menangani suatu fenomena kesehatan, dalam penelitian ini adalah kanker payudara.

e.DRPs adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi obat dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome yang diinginkan

pasien.

f. Kategori DRPs antara lain interaksi obat, obat salah dan ketiadaan terapi tambahan.

g.Interaksi obat adalah pasien mempunyai kondisi medis akibat interaksi obat-obat, obat-makanan dan obat-hasil laboratorium.

h.Obat salah adalah pasien mendapatkan obat yang tidak aman, tidak paling efektif dan kontraindikasi dengan kondisi pasien tersebut.

i. Ketiadaan terapi tambahan adalah pasien tidak mendapatkan terapi tambahan untuk menunjang terapi yang sedang dijalankan.

3.5 Instrumen Penelitian 3.5.1 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu data sekunder berupa rekam medis pasien kanker payudara rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2011 sampai dengan tahun 2012.


(42)

26

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengambilan data dilakukan dengan mengumpulkan rekam medis pasien kanker payudara rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2011 sampai dengan tahun 2012. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

a.pengelompokan data rekam medis berdasarkan kriteria inklusi.

b.pengelompokan identitas, pengobatan yang diberikan, data klinis dan data laboratorium pasien.

c.identifikasi DRPs berdasarkan studi literatur.

3.5.3 Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis secara deskriptif. Data kuantitatif disajikan dalam bentuk tabel sedangkan data kualitatif disajikan dalam bentuk uraian.

3.6 Bagan Alur Penelitian


(43)

27

Gambar 3.1 (Lanjutan)

3.7 Langkah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat melakukan penelitian di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

b.menghubungi Direktur Utama RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data dengan membawa surat rekomendasi dari fakultas.

c.mengumpulkan data berupa rekam medis yang tersedia di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Rekam medis pasien Pengelompokan data berdasarkan kriteria

inklusi

Penentuan ketiadaan terapi tambahan

Penarikan kesimpulan Analisis data Identifikasi DRPs Penentuan interaksi obat


(44)

28

d.menganalisis data dan informasi yang diperoleh sehingga didapatkan kesimpulan dari penelitian.


(45)

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek pada mulanya merupakan Rumah Sakit Onderneming Pemerintahan Hindia Belanda yang didirikan pada tahun 1914 untuk buruh perkebunan. Saat itu bangunan Rumah Sakit masih semi permanen dengan kapasitas 100 tempat tidur. Setelah Indonesia merdeka RSUD Dr. H. Abdul Moeloek menjadi RSU Pemerintah Sumatera Selatan tahun 1950 – 1964 untuk selanjutnya menjadi RSU Tanjung Karang - Teluk Betung saat Lampung menjadi provinsi sendiri. Setelah menjadi RSUD Provinsi Lampung pada tahun 1965, sesuai SK Gubernur Lampung, pada tanggal 7 Agustus 1984, Rumah Sakit ini berubah nama menjadi RSUD Dr. H. Abdul Moeloek hingga saat ini.

Sesuai SK Menkes RI Nomor 1163/Menkes/SK/XII/1993, RSUD Dr. H. Abdul Moeloek dikategorikan menjadi RSUD Kelas B Non Pendidikan. Berdasarkan Peraturan daerah Provinsi Lampung No. 8 tahun 1995, pada tanggal 27 Februari 1995, RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Daerah Tingkat I Lampung disahkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan surat keputusan No. 139 Tahun 1995. Kemudian RSUD Dr. H. Abdul Moeloek ditetapkan menjadi Rumah Sakit Unit Swadana Daerah berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung No. 12 Tahun 2000. Selanjutnya seiring berjalannya waktu perkembangan terakhir menjadi RSUD Tipe B Pendidikan tepatnya tanggal 23 Juli 2008 dan RSUD-PPK- BLUD dengan status penuh melalui Pergub Lampung Nomor 605 G/V/HK 2009,


(46)

30

pada tanggal 24 September 2009. RSUD Dr. H. Abdul Moeloek merupakan Rumah Sakit Rujukan tertinggi di provinsi Lampung. Dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan yang bermutu, efektif, efisien dan optimal, pada tahun 2000 dilakukan relokasi kelas perawatan dan jumlah tempat tidur yang sebelumnya 555 tempat tidur dikurangi menjadi 400. Pada tahun 2005, kapasitas ditambah menjadi 460 tempat tidur mengingat jumlah pasien yang terus meningkat.

4.2 Jumlah Pasien yang Memulai Kemoterapi Kanker Payudara pada Tahun 2011 Berdasarkan Kelompok Usia

Berdasarkan hasil pengamatan dari buku catatan rekam medis di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung periode Januari 2011 – Desember 2012 diperoleh seluruh data pasien kanker payudara yang memulai kemoterapi kanker payudara pada tahun 2011 di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung sebanyak 252 pasien. Untuk mengetahui jumlah pasien yang memulai kemoterapi kanker payudara pada tahun 2011 berdasarkan kelompok usia secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Jumlah pasien yang memulai kemoterapi kanker payudara pada tahun

2011 berdasarkan kelompok usia

No Usia (Tahun) Jumlah Pasien %

1 < 30 tahun 16 6,35

2 30 – 50 tahun 147 58,33 3 > 50 tahun 89 35,32


(47)

31

Pada Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa dari 252 pasien, jumlah pasien yang memulai kemoterapi kanker payudara pada tahun 2011 paling banyak terdapat pada kelompok usia 30 – 50 tahun, yaitu sebanyak 147 pasien atau 58,33%. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa kejadian kanker payudara paling banyak terjadi pada wanita berusia di atas 30 tahun (Chandrasoma dan Taylor, 1995).

4.3 Penggunaan Obat Kemoterapi

Obat sitotoksik yang merupakan golongan obat dari kelas terapi antineoplastik dan imunomodulator diberikan kepada pasien kanker payudara sebagai agen kemoterapi. Obat-obat kemoterapi yang banyak digunakan untuk terapi kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 – 2012 ditunjukkan pada Tabel 4.2.


(48)

32

Tabel 4.2Obat-obat kemoterapi yang banyak digunakan untuk terapi kanker

payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 - 2012

Tingkatan Penyebaran Kanker Regimen Kemoterapi

Early Breast Cancer (Stadium I dan

II) Dosetaksel Doksorubisin Siklofosfamid Doksorubisin Siklofosfamid Dosetaksel

Locally Advanced Breast Cancer

(Stadium III) Paklitaksel Doksorubisin Siklofosfamid Siklofosfamid 5-Fluorourasil Dosetaksel Doksorubisin Siklofosfamid 5-Fluorourasil Paklitaksel Trastuzumab Rituksimab

Metastatic Breast Cancer (Stadium

IV) Dosetaksel Sisplatin Paklitaksel Siklofosfamid Doksorubisin Siklofosfamid Dosetaksel Siklofosfamid Metotreksat 5-Fluorourasil Doksorubisin Siklofosfamid Paklitaksel Doksorubisin Metotreksat 5-Fluorourasil

Pada Tabel 4.2 ditunjukkan bahwa untuk setiap tingkatan penyebaran kanker, regimen kemoterapi yang digunakan tidak selalu sama. Sisplatin lebih sering diberikan kepada pasien kanker payudara dengan tingkatan penyebaran


(49)

33

kanker yang lebih lanjut. Doksorubisin adalah obat golongan antibiotik sitotoksik, siklofosfamid dan sisplatin adalah obat golongan alkilator, sedangkan 5-fluorourasil dan metotreksat adalah obat golongan antimetabolit. Paklitaksel dan dosetaksel merupakan obat-obat golongan taksan yang diindikasikan untuk kanker payudara. Trastuzumab dan rituksimab adalah antibodi monoklonal yang memiliki selektivitas relatif untuk jaringan tumor dan memiliki toksisitas yang relatif rendah (Calabresi dan Chabner, 2003).

Obat-obat sitotoksik sebagai agen kemoterapi diberikan baik secara injeksi intravena maupun secara oral. Obat-obat sitotoksik memiliki efek samping spesifik pada saluran cerna yaitu mual dan muntah. Masing-masing obat dapat menyebabkan mual-muntah dengan bermacam-macam tipe. Obat-obat tersebut dapat menginduksi mual-muntah karena merangsang atau memberikan stimulus pada chemoreceptor trigger zone (CTZ) pada medulla, korteks serebral dan pada

periferal di saluran cerna. Reseptor lain yang berhubungan dengan kejadian mual-muntah adalah dopamin, serotonin, histamin, opioid dan asetilkolin (Calabresi dan Chabner, 2003).

4.4 Penggunaan Obat Penunjang Kemoterapi

Pasien kanker payudara tidak hanya menggunakan obat-obat sitotoksik, tetapi juga menggunakan obat-obat lain yang berguna mengatasi efek samping akibat kemoterapi, radioterapi, pembedahan, dan juga untuk mempertahankan leukosit dalam batas normal, mengobati infeksi, mengatasi anemia, perdarahan, memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi, dan lain-lain untuk menunjang kemoterapi. Terapi penunjang sama pentingnya dengan kemoterapi. Sebagai tambahan, dukungan keluarga dan kerabat juga dapat meringankan beban


(50)

34

psikologik pasien. Untuk lebih jelas, obat-obat penunjang kemoterapi yang banyak digunakan untuk terapi kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 – 2012 dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 4.3 Obat-obat penunjang kemoterapi yang banyak digunakan untuk terapi

kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 – 2012

No. Golongan Obat Jenis Obat

1 Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat

Antiemetik

Antagonis

5-HT3 Ondansetron

Lain-lain

Deksametason Difenhidramin-HCl Metoklopramid-HCl

Psikofarmaka Diazepam

2 Obat yang mempengaruhi gizi dan darah

Obat untuk anemia dan

kelainan darah lainnya Asam folat

Vitamin Vitamin B kompleks

3 Obat yang bekerja pada saluran cerna

Antitukak Antagonis reseptor H2

Ranitidin

Antidiare Atapulgit aktif

4 Obat yang bekerja pada saluran pernapasan

Antitusif Dekstrometorfan-HBr

Antihistamin Difenhidramin-HCl

5 Obat yang bekerja sebagai analgesik Analgesik opioid Tramadol-HCl Analgesik non-opioid Parasetamol 6

Obat yang digunakan untuk penyakit pada sistem

kardiovaskular

Antihipertensi Kaptopril

7 Obat antiinflamasi Kortikosteroid Metilprednisolon 8 Obat yang digunakan untuk pengobatan

infeksi Antibakteri

Metronidazol Seftriakson Siprofloksasin

Pada Tabel 4.3 nampak bahwa obat yang digunakan sebagai penunjang kemoterapi dapat digolongkan menjadi 8 kelas terapi obat. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat adalah obat golongan antiemetik dan psikofarmaka. Menurut Katzung (2001), ondansetron, antagoris 5-HT3, diterima untuk digunakan


(51)

35

mencegah mual dan muntah yang berhubungan dengan operasi dan pemberian kemoterapi kanker. Obat ini digunakan baik secara oral maupun secara injeksi intravena dengan infus yang diberikan sebelum kemoterapi.

Obat jenis metoklopramid-HCl, difenhidramin-HCl dan deksametason biasa digunakan sebagai kombinasi dengan antagonis serotonin untuk mencapai efek yang optimal. Metoklopramid-HCl yang merupakan suatu obat kolinergik dapat mengatasi mual-muntah secara sentral maupun perifer. Secara sentral, obat ini akan mempertinggi ambang rangsang chemoreceptor trigger zone (CTZ),

sedangkan secara perifer obat ini dapat menurunkan kepekaan viseral yang menghantarkan rangsang aferen dari saluran cerna ke pusat muntah di otak. Deksametason merupakan kortikosteroid yang secara luas digunakan untuk mengatasi mual-muntah akibat kemoterapi. Penggunaan obat antimual lebih efektif bila diberikan secara kombinasi (Damayanti, 2006).

Pada pasien yang mengalami gangguan susah tidur, diberikan obat jenis diazepam yang termasuk dalam golongan obat psikofarmaka. Gangguan susah tidur ini dapat disebabkan perasaan subjektif yang dirasakan pasien pada saat berada di rumah sakit. Pada sebagian pasien, berada di rumah sakit dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman seperti kecemasan dan kegelisahan. Perasaan gelisah antara lain dapat disebabkan oleh adanya efek samping kemoterapi seperti mual dan muntah yang mengganggu yang dialami pasien tersebut (Damayanti, 2006).

Gangguan keseimbangan nutrisi dapat memperburuk kondisi pasien saat berada di rumah sakit. Selain dari makanan yang sudah disediakan di rumah sakit, pemberian obat untuk gizi dan darah dapat menunjang kebutuhan pasien pada


(52)

36

kasus kanker payudara akan gizi yang diperlukan untuk menjaga kesehatannya. Obat gizi dan darah diberikan kepada pasien kanker payudara untuk memberi asupan vitamin dan mineral tambahan untuk menjaga organ tubuh agar tetap berfungsi secara optimal. Obat ini dapat mengatasi gejala kekurangan nutrisi, mengatasi kelelahan dan menambah tenaga pada pasien kanker payudara. Obat untuk anemia dan kelainan darah lainnya diberikan pada pasien untuk mengatasi gejala kurang darah pada pasien kanker payudara. Terjadinya anemia pada penderita kanker dapat disebabkan karena aktivasi sistem imun tubuh dan sistem inflamasi. Aktivasi tersebut menghasilkan beberapa sitokin yang merangsang terjadinya anemia. Selain itu, kanker yang menginvasi sumsum tulang dapat meningkatkan proses fibrosis yang akan mengurangi volume rongga sumsum tulang sehingga menyebabkan gangguan pelepasan sel darah yang matang dari sumsum tulang (Kar, 2005).

Obat yang bekerja pada saluran cerna digunakan untuk mengatasi keluhan pada saluran cerna yang dialami pasien kanker payudara pascakemoterapi. Obat golongan antitukak antagonis reseptor H2 seperti ranitidin dapat membantu

mengatasi mual-muntah. Berdasarkan literatur, yaitu Informatorium Obat Nasional Indonesia (2000), ranitidin dapat menghambat reseptor histamin (H2)

sehingga rangsangan mual-muntah tidak dihantarkan atau tidak sampai ke otak. Sel-sel kanker dapat menyebar ke organ lain, salah satunya adalah ke paru-paru. Penyebaran (metastasis) pada paru-paru akan mengganggu fungsi normal sel paru sehingga pasien seringkali mengeluhkan adanya penyakit pada paru-paru, seperti batuk dan keluhan sesak napas. Untuk mengatasi keluhan tersebut, diberikan obat untuk saluran napas bagi pasien kanker payudara yang memiliki


(53)

37

penyebaran sel kanker pada paru-paru. Antitusif diberikan kepada pasien yang mengalami batuk kering untuk menekan batuk ataupun untuk mengurangi frekuensi batuk (Damayanti, 2006).

Obat antihistamine H1 sering digunakan sebagai obat pilihan pertama

untuk mencegah atau mengobati gejala reaksi alergi. Difenhidramin adalah obat

antihistamine yang mempunyai sedikit efek sedatif dan dapat mencegah motion sickness. Obat-obat hormonal golongan kortikosteroid seperti metilprednisolon

juga diberikan kepada pasien dengan tujuan untuk mengatasi alergi yang diderita oleh pasien (Katzung, 2001).

Analgesik diberikan pada pasien untuk mengatasi keluhan nyeri yang dialami pasien. Pasien kanker payudara seringkali mengalami nyeri pada payudaranya karena desakan sel kanker yang mencapai jaringan di sekitarnya sehingga dapat menstimulasi pusat nyeri di otak. Analgesik golongan non-opioid diberikan kepada pasien yang mengalami nyeri ringan atau sakit kepala, sedangkan golongan opioid diberikan kepada pasien yang mengalami nyeri berat yang tidak teratasi dengan penggunaan obat analgesik non-opioid (Damayanti, 2006).

Obat-obat untuk penyakit kardiovaskular diberikan kepada pasien kanker payudara yang memiliki riwayat hipertensi. Kaptopril menghambat enzim pengonversi peptidyl dipeptidase yang menghidrolik angiotensin I ke angiotensin

II dan menyebabkan inaktivasi bradykinin. Aktivitas hipotensi kaptopril terjadi

baik dari efek hambatan pada sistem angiotensin renin dan efek stimulasi pada sistem kinin-kallikrein (Katzung, 2001).


(54)

38

Obat yang digunakan untuk pengobatan infeksi diberikan pada pasien untuk tujuan mencegah dan mengatasi terjadinya infeksi. Infeksi dapat terjadi pada pasien yang memiliki luka operasi pada payudaranya, yang pernah dijalaninya, oleh karena itu untuk mencegah adanya infeksi diberikan antiinfeksi. Obat untuk mengobati infeksi juga digunakan untuk mencegah infeksi nosokomial yang mungkin terjadi. Selain itu, obat untuk mengobati infeksi digunakan sebagai terapi kuratif untuk menyembuhkan infeksi yang diderita pasien (Damayanti, 2006).

4.5 Identifikasi DRPs

Pasien-pasien rawat inap kanker payudara yang diidentifikasi DRPs-nya adalah pasien-pasien rawat inap kanker payudara yang mendapat kombinasi obat kemoterapi dan obat penunjang kemoterapi yang berbeda-beda antara satu pasien dengan yang lain di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung, yang ditunjukkan pada Tabel 4.4.


(55)

39

Tabel 4.4 Pasien-pasien rawat inap kanker payudara dengan kombinasi obat

kemoterapi dan obat penunjang kemoterapi yang berbeda-beda antara satu pasien dengan yang lain di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 – 2012

No. Data

Pasien Jumlah Kemoterapi (hari) Regimen Kemoterapi Injeksi Regimen Kemoterapi Oral Obat Penunjang Kemoterapi

1 2 3 4 5 6

1 No. RM: L (55)

132007 4

Siklofosfamid Metotreksat

5-Fluorourasil -

Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl

Parasetamol Ranitidin

2 No. RM: T (45)

145011 3

Paklitaksel Doksorubisin

Siklofosfamid -

Metronidazol Seftriakson Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Tramadol Ranitidin

3 No. RM: R (44) 133406 219 (214 hari kemoterapi oral) Doksorubisin Siklofosfamid 5-Fluorourasil Paklitaksel Tamoksifen Metilprednisolon Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Ranitidin Vitamin B kompleks

4 No. RM: KC (41) 147018 40 (29 hari kemoterapi oral) Paklitaksel Doksorubisin

Siklofosfamid Tamoksifen

Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Ranitidin Siprofloksasin Vitamin B kompleks

5 J (44) No. RM: 033279 164 (155 hari kemoterapi oral) Paklitaksel Sisplatin

Tamoksifen Deksametason Ondansetron Metoklopramid-HCl Parasetamol Ranitidin Seftriakson Asam folat Tamoksifen Kapesitabin

6 No. RM: R (65)

123178 5

Doksorubisin

Siklofosfamid -

Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl

Parasetamol Ranitidin


(56)

40

Tabel 4.4 (Lanjutan)

1 2 3 4 5 6

7 No. RM: A (53)

127462 6

Paklitaksel

Sisplatin -

Metilprednisolon Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Ranitidin Difenhidramin-HCl Dekstrometorfan-HBr 8 No. RM: A (53)

067892 524 (519 hari kemoterapi oral) Epirubisin

Siklofosfamid Anastrozol

Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl

Parasetamol Ranitidin

9 No. RM: G (60) 119864 547 (540 hari kemoterapi oral) Doksorubisin

Siklofosfamid Tamoksifen

Kaptopril Diazepam Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Asam mefenamat Ranitidin Atapulgit aktif 10 R (42) No. RM: 116590 249 (239 hari kemoterapi oral) Doksorubisin Siklofosfamid 5-Fluorourasil Paklitaksel Tamoksifen Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Ranitidin Vitamin B kompleks

Pada Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa sebanyak 10 pasien rawat inap kanker payudara mewakili 10 kombinasi obat kemoterapi dan obat penunjang kemoterapi kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 – 2012. Pada penelitian ini, ditemukan 3 jenis DRP, yaitu interaksi obat, pemberian obat yang salah dan ketiadaan terapi tambahan.

4.5.1 Interaksi Obat

Gambaran kejadian interaksi obat pada pasien kemoterapi kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 – 2012 ditunjukkan pada Tabel 4.5.


(57)

41

Tabel 4.5 Gambaran penggunaan obat dan kejadian interaksi obat pada pasien

kemoterapi kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 – 2012

No. Data Pasien Jumlah Kemo- terapi (hari) Obat yang Digunakan Kombinasi Obat yang Terjadi Interaksi Frekuensi Pemberian Kombinasi Obat (hari) Persentase Interaksi (%)

1 2 3 4 5 6 7

1 L (55) No. RM: 132007 4 Siklofosfamid Metotreksat 5-Fluorourasil Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Ranitidin Doksorubisin

Siklofosfamid 4 100

Siklofosfamid

Ondansetron 4 100

Siklofosfamid

Deksametason 4 100

2 T (45) No. RM: 145011 3 Paklitaksel Doksorubisin Siklofosfamid Metronidazol Seftriakson Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Tramadol Ranitidin Doksorubisin

Siklofosfamid 3 100

Siklofosfamid

Ondansetron 3 100

Siklofosfamid

Deksametason 3 100

3 R (44) No. RM: 133406 219 (214 hari kemo-terapi oral) Doksorubisin Siklofosfamid 5-Fluorourasil Paklitaksel Tamoksifen Metilprednisolon Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Ranitidin Vit. B kompleks

Doksorubisin

Siklofosfamid 5 2,283

Siklofosfamid

Ondansetron 5 2,283

Siklofosfamid

Deksametason 5 2,283

4 KC (41) No. RM: 147018 40 (29 hari kemo-terapi oral) Paklitaksel Doksorubisin Siklofosfamid Tamoksifen Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Ranitidin Siprofloksasin Vit. B kompleks

Doksorubisin

Siklofosfamid 7 17,5

Siklofosfamid

Ondansetron 7 17,5

Siklofosfamid

Deksametason 7 17,5


(58)

42

Tabel 4.5 (Lanjutan)

1 2 3 4 5 6 7

5 J (44) No. RM: 033279 164 (155 hari kemo-terapi oral) Paklitaksel Sisplatin Tamoksifen Kapesitabin Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Ranitidin Seftriakson Asam folat Doksorubisin

Siklofosfamid 1 0,610

Kapesitabin

Tamoksifen 148 90,244

Siklofosfamid

Ondansetron 1 0,610

Siklofosfamid

Deksametason 1 0,610

Sisplatin

Ondansetron 8 4,878

6 R (65) No. RM: 123178 5 Doksorubisin Siklofosfamid Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Ranitidin Doksorubisin

Siklofosfamid 5 100

Siklofosfamid

Ondansetron 5 100

Siklofosfamid

Deksametason 5 100

7 A (53) No. RM: 127462 6 Paklitaksel Sisplatin Metilprednisolon Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Ranitidin Difenhidramin-HCl Dekstrometorfan-HBr Sisplatin

Ondansetron 6 100

8 A (53) No. RM: 067892 524 (519 hari kemo-terapi oral) Epirubisin Siklofosfamid Anastrozol Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Ranitidin Siklofosfamid

Ondansetron 5 0,954

Siklofosfamid

Deksametason 5 0,954

9 G (60) No. RM: 119864 547 (540 hari kemo-terapi oral) Doksorubisin Siklofosfamid Tamoksifen Kaptopril Diazepam Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Asam mefenamat Ranitidin Atapulgit aktif Doksorubisin

Siklofosfamid 7 1,279

Siklofosfamid

Ondansetron 7 1,279

Siklofosfamid


(59)

43

Tabel 4.5 (Lanjutan)

1 2 3 4 5 6 7

10 No. RM: R (42) 116590

249 (239

hari

kemo-terapi oral)

Doksorubisin Siklofosfamid 5-Fluorourasil Paklitaksel Tamoksifen Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl

Parasetamol Ranitidin Vit. Bkompleks

Doksorubisin

Siklofosfamid 4 1,606

Siklofosfamid

Ondansetron 4 1,606

Siklofosfamid

Deksametason 4 1,606

Pada Tabel 4.5 ditunjukkan bahwa interaksi obat yang terjadi pada pasien kanker payudara antara obat kemoterapi dengan obat kemoterapi, yaitu antara siklofosfamid dengan doksorubisin dan antara kapesitabin dengan tamoksifen, dan antara obat kemoterapi dengan obat penunjang, yaitu antara siklofosfamid dengan deksametason, antara siklofosfamid dengan ondansetron dan antara sisplatin dengan ondansetron. Interaksi-interaksi tersebut adalah interaksi obat level

moderate, yang artinya tindakan diperlukan untuk mengurangi risiko interaksi

berbahaya yang tidak diinginkan. Monitor terapi obat perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan efek terapi yang mungkin terjadi. Dapat juga dilakukan penggantian obat untuk mencegah terjadinya interaksi.

4.5.1.1 Siklofosfamid dengan Doksorubisin

Gambaran kejadian interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan doksorubisin pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung ditunjukkan pada Tabel 4.6, 4.7, 4.8 dan 4.9.


(60)

44

Tabel 4.6 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan

doksorubisin (kasus I) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung

Subjektif:

Nama (Inisial): G Usia: 60 tahun

No. Rekam Medis: 119864 Diagnosis: Ca Mammae Dextra

Dirawat tanggal 17-19 Maret 2011 untuk kemoterapi pada tanggal 18 Maret 2011. Setelah kemoterapi mengeluh mual dan muntah.

Objektif:

Parameter Hasil pemeriksaan

(19/3/2011) Nilai normal Hb 12,8 g/dl (12 – 18) g/dl Leukosit 8400 sel/mm3 (4500 – 10000) sel/mm3

Trombosit 467000 sel/mm3 (150000 – 400000) sel/mm3

Suhu tubuh 36,2°C

Tekanan darah 110/80 mmHg Nadi 70 kali per menit Frekuensi pernapasan 20 kali per menit

Penatalaksanaan:

Sebelum kemoterapi mendapat infus NaCl 0,9%, ondansetron 8 mg iv dan deksametason 5 mg iv. Untuk kemoterapi mendapat doksorubisin 80 mg iv dan siklofosfamid 800 mg iv. Setelah kemoterapi mendapat metoklopramid-HCl 3 x 10 mg, parasetamol 3 x 500 mg dan ranitidin 2 x 150 mg.


(61)

45

Tabel 4.7 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan

doksorubisin (kasus II) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung

Subjektif:

Nama (Inisial): R Usia: 44 tahun

No. Rekam Medis: 133406 Diagnosis: Tumor Mammae

Dirawat tanggal 23-25 Maret 2011 untuk kemoterapi pada tanggal 24 Maret 2011. Pada saat keluar rumah sakit, pasien mengeluh nyeri kadang berdenyut pada payudara kanan.

Objektif:

Parameter Hasil pemeriksaan (25/3/2011)

Nilai normal

Hb Normal (12 – 18) g/dl

Leukosit 11000 sel/mm3 (4500 – 10000) sel/mm3 Trombosit 7000 sel/mm3 (150000 – 400000) sel/mm3 Suhu tubuh 36,6°C

Tekanan darah 120/90 mmHg Nadi 82 kali per menit Frekuensi

pernapasan

22 kali per menit

Penatalaksanaan:

Sebelum kemoterapi mendapat infus NaCl 0,9%, ondansetron 8 mg iv, deksametason 5 mg iv dan metilprednisolon 3 x 4 mg. Untuk kemoterapi mendapat doksorubisin 80 mg iv, siklofosfamid 800 mg iv dan 5-fluorourasil 750 mg iv. Setelah kemoterapi mendapat metoklopramid-HCl 3 x 10 mg, parasetamol 3 x 500 mg dan ranitidin 2 x 150 mg.


(62)

46

Tabel 4.8 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan

doksorubisin (kasus III) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung

Subjektif:

Nama (Inisial): T Usia: 45 tahun

No. Rekam Medis: 145011

Dirawat tanggal 7-12 Mei 2011 untuk kemoterapi pada tanggal 9 & 10 Mei 2011. Mengeluh nyeri pada payudara kiri. Diagnosis sebelum kemoterapi: Ca Mammae Sinistra, ada luka pada payudara kiri. Diagnosis setelah kemoterapi: Ca Mammae Sinistra, susp. metastasi subpleural sinistra dengan ulkus.

Objektif:

Parameter Hasil pemeriksaan

7/5/2011 12/5/2011 Tekanan darah 130/80 mmHg 130/80 mmHg Nadi 78 kali per menit 100 kali per menit Frekuensi pernapasan 20 kali per menit 22 kali per menit

Penatalaksanaan:

Pada saat masuk RS mendapat tramadol-HCl 3 x 50 mg dan parasetamol 3 x 250 mg. Sebelum kemoterapi mendapat deksametason 1 ampul (5 mg), ondansetron 1 ampul (8 mg), infus NaCl 0,9% dan difenhidramin-HCl. Untuk kemoterapi mendapat paklitaksel 210 mg iv (9 Mei 2011), doksorubisin 70 mg iv dan siklofosfamid 800 mg iv (10 Mei 2011). Setelah kemoterapi mendapat seftriakson 1 g, metoklopramid-HCl 3 x 10 mg, ranitidin 2 x 150 mg dan parasetamol 3 x 500 mg.


(63)

47

Tabel 4.9 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan

doksorubisin (kasus IV) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung

Subjektif:

Nama (Inisial): G Usia: 60

No. Rekam Medis: 119864

Dirawat tanggal 19-22 Mei 2011 untuk mendapat kemoterapi pada tanggal 20 Mei 2011. Diagnosis sebelum kemoterapi: Ca Mammae Dekstra. Diagnosis

setelah kemoterapi: Ca Mammae Dextra dan anemia. Objektif:

Parameter Hasil pemeriksaan (22/5/2011) Nilai normal

Hb 8,8 g/dl (12 – 18) g/dl

Suhu tubuh 36,4°

Tekanan darah 120/80 mmHg Nadi 80 kali per menit Frekuensi pernapasan 18 kali per menit

Penatalaksanaan:

Sebelum kemoterapi mendapat infus NaCl 0,9%, ondansetron 8 mg iv, deksametason 5 mg iv, dan ranitidin 25 mg iv. Untuk kemoterapi mendapat doksorubisin 80 mg iv dan siklofosfamid 800 mg iv. Setelah kemoterapi mendapat metoklopramid-HCl 3 x 10 mg, parasetamol 3 x 500 mg dan ranitidin 2 x 150 mg.

Berdasarkan Tabel 4.6, 4.7, 4.8 dan 4.9, dapat diketahui bahwa doksorubisin dan siklofosfamid digunakan secara bersamaan. Menurut Albariyah (2009), jenis interaksi yang terjadi antara kedua obat tersebut adalah interaksi farmakodinamik yang sinergis (additive). Doksorubisin dan siklofosfamid

sama-sama mempunyai efek samping kardiotoksik sehingga jika kedua jenis obat ini dikombinasi, efek kardiotoksik dari doksorubisin akan meningkat dengan adanya siklofosfamid.

Doksorubisin dikenal sebagai salah satu obat yang aktif untuk kanker payudara, tetapi kegunaan klinisnya terbatas karena miopati kardiak yang bergantung terhadap dosis kumulatifnya yang dapat mengarah ke gagal jantung kongestif fatal secara potensial. Mekanisme kardiotoksisitas doksorubisin melibatkan formasi kompleks stabil obat dengan logam besi yang bereaksi dengan


(1)

47

Lampiran 1. (Lanjutan)

1 2 3 4

Pernapasan = 20 kali per menit T = 37,1°C

Post-kemoterapi:

Metoklopramid 3 x 10 mg, parasetamol 3 x 500 mg, ranitidin 2 x 150 mg 27-6-2011 Diagnosa: Ca Mammae (S)

Timbul benjolan di payudara sinistra 29-6-2011 Pre-kemoterapi:

Infus NaCl 0,9%, ondansetron 8 mg, deksametason 5 mg, ranitidin 25 mg iv Kemoterapi:

Paklitaksel 210 mg iv

30-6-2011 Diagnosa: Ca Mammae Sinistra Vital sign = normal

Hb = 14,8 g/dl

Leukosit = 7400 sel/mm3 Trombosit = 294000 sel/mm3

Post-kemoterapi: Metoklopramid 3 x 10 mg, parasetamol 3 x 500 mg, ranitidin 2 x 150 mg, Neurodex (vitamin B kompleks) 1 x 1

19-7-2011 Diagnosa: Ca Mammae Sinistra, timbul benjolan di payudara kiri Hb = 19,1 g/dl

Leukosit = 6600 sel/mm3 Trombosit = 393000 sel/mm3 Pre-kemoterapi:

Infus NaCl 0,9%, ondansetron 8 mg iv, deksametason 5 mg iv, ranitidin 25 mg iv Kemoterapi:

Paklitaksel 210 mg iv 20-7-2011 Post-kemoterapi:

Metoklopramid 3 x 10 mg, parasetamol 3 x 500 mg, ranitidin 2 x 150 mg, Neurodex (vitamin B kompleks) 1 x 1


(2)

48

Lampiran 1. (Lanjutan)

1 2 3 4

8-8-2011 Diagnosa: Ca Mammae (S) Pemeriksaan lab  normal 9-8-2011 Diagnosa: Ca Mammae (S)

K.U. = baik

TD = 110/70 mmHg Nadi = 72 kali per menit Pernapasan = 20 kali per menit T = 36,1°C

Pemeriksaan lab  normal Pre-kemoterapi:

Infus NaCl 0,9%, ondansetron 8 mg iv, deksametason 5 mg iv, ranitidin 25 mg iv Kemoterapi:

Paklitaksel 210 mg iv 10-8-2011 Post-kemoterapi:

Metoklopramid 3 x 10 mg, parasetamol 3 x 500 mg, ranitidin 2 x 150 mg 11-8-2011

s/d 9-9-2011

Kemoterapi:

Tamoksifen 20 mg (sehari 1 kali) 10-9-2011 Pre-kemoterapi:

Infus NaCl 0,9%, ondansetron 8 mg iv, deksametason 5 mg iv, ranitidin 25 mg iv Kemoterapi:

Paklitaksel 210 mg iv 11-9-2011 Post-kemoterapi:

Metoklopramid 3 x 10 mg, parasetamol 3 x 500 mg, ranitidin 2 x 150 mg 12-9-2011

s/d 9-10-2011

Kemoterapi:

Tamoksifen 20 mg (sehari 1 kali) 10-10-2011 Pre-kemoterapi:


(3)

49

Lampiran 1. (Lanjutan)

1 2 3 4

Kemoterapi:

Paklitaksel 210 mg iv 11-10-2011 Post-kemoterapi:

Metoklopramid 3 x 10 mg, parasetamol 3 x 500 mg, ranitidin 2 x 150 mg 12-10-2011

s/d 9-11-2011

Kemoterapi:

Tamoksifen 20 mg (sehari 1 kali) 12-12-2011

s/d 1-1-2012

Kemoterapi:

Tamoksifen 20 mg (sehari 1 kali) 11-1-2012

s/d 8-2-2012

Kemoterapi:

Tamoksifen 20 mg (sehari 1 kali) 9-2-2012

s/d 9-3-2012

Kemoterapi:

Tamoksifen 20 mg (sehari 1 kali) 10-3-2012

s/d 9-4-2012

Kemoterapi:

Tamoksifen 20 mg (sehari 1 kali)

Keterangan:

: interaksi obat

: pemberian obat yang salah

: ketiadaan terapi tambahan


(4)

1

Pasien berusia

Pasien berusia

Kadar hemoglobin dalam darah harus dipertahankan sekitar 12 g/dL

Pemakaian lebih utama agen-agen dengan profil toksisitas yang rendah,

termasuk doksorubisin liposomal terpegilasi, kapesitabin, gemsitabin dan

golongan taksan pemakaian mingguan dianjurkan

- Dosis obat disesuaikan dengan klirens kreatinin pasien

- Penggunaan profilaksis filgastrim atau pegfilgastrim dianjurkan sebelum menjalani

Perlu penilaian geriatrik

Lampiran 2.

Guideline

dari

National Comprehensive Cancer Network

untuk


(5)

2

Lampiran 3

. Surat Permohonan Izin Penelitian di RSU Dr. H. Abdul Moeloek


(6)

3

Lampiran 4

. Surat Izin Melakukan Penelitian di RSU Dr. H. Abdul Moeloek