Tren Busana Jemaat Kristen Dalam Kebaktian di Gereja GKPI Padang Bulan Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Teori Tindakan Sosial Max Weber
Tindakan sosial menurut Max Weber adalah suatu tindakan individu

sepanjang tindakan itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan
diarahkan kepada tindakan orang lain. Suatu tindakan individu yang diarahkan
kepada benda mati tidak masuk dalam kategori tindakan sosial. Suatu tindakan
akan dikatakan sebagai tindakan sosial ketika tindakan tersebut benar-benar
diarahkan kepada orang lain.
Weber membedakan tindakan sosial ke dalam empat tipe yaitu:
1

Tindakan rasionalitas instrumental (berorientasi tujuan)
Tindakan ini merupakan suatu tindakan sosial yang dilakukan seseorang
didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan
tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk
mencapainya. Tindakan ini dilakukan untuk mencapai tujuan dengan

pertimbangan rasional.

2. Tindakan rasional nilai (berorientasi nilai/berdasarkan nilai)
Tindakan rasional nilai memiliki sifat bahwa alat-alat yang ada hanya
merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuantujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang
bersifat absolut. Tindakan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan nilai
etika, adat maupun nilai lainnya.

8
Universitas Sumatera Utara

3. Tindakan afektif / Tindakan yang dipengaruhi emosi
Tipe tindakan sosial ini lebih didominasi perasaan atau emosi tanpa
refleksi intelektual. Tindakan afektif sifatnya spontan, kurang rasional, dan
merupakan ekspresi emosional dari individu.
4. Tindakan tradisional / Tindakan karena kebiasaan
Dalam tindakan ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena
kebiasaan yang diperoleh dari diri sendiri maupun orang lain, tanpa refleksi
yang sadar atau perencanaan yang matang.


2.2

Teori Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif Talcott Parsons
Pengaruh pemikiran Weber berpengaruh terhadap teori Parsons. Dalam

analisisnya,

Parsons

menggunakan

kerangka

alat

tujuan

(means

ends


framework) yang intinya:


Tindakan itu diarahkan pada tujuannya atau memiliki suatu tujuan.



Tindakan terjadi suatu situasi, di mana beberapa elemennya sudah pasti,
sedangkan elemen-elemen lainnya digunakan oleh yang bertindak sebagai alat
untuk mencapai tujuan tersebut.



Secara normatif tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan
tujuan. Dalam arti bahwa tindakan itu dilihat sebagai satuan kenyataan sosial
yang paling kecil dan paling fundamental. Elemen-elemen dasar dari suatu
tindakan adalah tujuan, alat, kondisi dan norma.
Dalam teori ini, orientasi terbagi menjadi dua elemen dasar yaitu:


1. Orientasi Motivasional, menunjuk pada keinginan individu yang bertindak
untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan. Satu segi dari

9
Universitas Sumatera Utara

permasalahan ini adalah ikhtiar untuk menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan
langsung yang memberikan kepuasan dengan tujuan-tujuan jangka panjang.
Orientasi motivasional terbagi menjadi 3 dimensi, yaitu:
a. Dimensi kognitif, dalam orientasi motivasional pada dasarnya menunjuk
pada pengetahuan orang yang bertindak berdasarkan situasi nya,
khususnya apabila dihubungkan dengan kebutuhan dan tujuan-tujuan
pribadi. Dimensi ini mencerminkan kemampuan dasar manusia untuk
membedakan antara rangsangan-rangsangan yang berbeda dan membuat
generalisasi dari satu rangsangan terhadap rangsangan lainnya.
b. Dimensi katektik, dalam orientasi motivasional menunjuk pada reaksi
afektif atau emosional dari orang yang bertindak terhadap situasi atau
berbagai aspek di dalamnya. Ini juga mencerminkan kebutuhan dan tujuan
individu. Umumnya, orang memiliki suatu reaksi emosional positif
terhadap elemen-elemen dalam suatu lingkungan yang memberikan

kepuasan atau dapat digunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan dan
reaksi yang negatif terhadap aspek-aspek dalam suatu lingkungan yang
mengecewakan.
c. Dimensi evaluatif, dalam orientasi motivasional menunjuk pada dasar
pilihan seseorang antara orientasi kognitif atau kalektik secara alternatif.
Orang selalu memiliki banyak kebutuhan dan tujuan, dan untuk
kebanyakan atau kalau bukan semua situasi, ada kemungkinan banyak
interpretasi kognitif dan reaksi katektik.

10
Universitas Sumatera Utara

2. Orientasi Nilai, menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan
pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan
adanya kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda. Orientasi nilai
terdiri dari 3 dimensi, yaitu:
a. Dimensi kognitif (berhubungan dengan sistem kepercayaan budaya),
dalam orientasi nilai menunjuk pada standar-standar yang digunakan
dalam menerima atau menolak berbagai interpretasi kognitif mengenai
situasi.

b. Dimensi apresiatif (berhubungan dengan simbolisme ekspresif), dalam
orientasi nilai menunjuk pada standar yang tercakup dalam pengungkapan
perasaan atau keterlibatan afektif.
c. Dimensi moral (berhubungan dengan sistem budaya), dalam orientasi nilai
menunjuk pada standar-standar abstrak yang digunakan untuk menilai
tipe-tipe tindakan alternatif menurut implikasinya terhadap sistem itu
secara keseluruhan (baik individual maupun sosial) dimana tindakan itu
berakar.
Keenam dimensi yang disebutkan tadi memiliki kesamaan, tetapi
Parsons mempertahankan pembedaan itu dengan mengatakan bahwa meskipun
ada saling ketergantungan, dimensi-dimensi itu bisa berdiri sendiri. Perbedaan
prinsip nya adalah, orientasi nilai menunjuk pada standar normatif umum,
sedangkan orientasi motivasional menunjuk kepada keputusan-keputusan dengan
orientasi tertentu. (Doyle, 1986 : 114-115)

11
Universitas Sumatera Utara

2.3


Teori Post-modern
Post modernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern.

Post modernisme bukanlah faham tunggal sebuat teori, namun justru menghargai
teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak tokohtokoh yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme.
Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner,post
modernisme adalah pemutusan secara total dari modernisme.
Menurut Jackson & Sorensen (1999) postmodernisme adalah suatu
paham yang menolak anggapan tentang realita, kebenaran, dan pemikiran bahwa
ada pengetahuan yang terus meluas tentang dunia manusia. Berdasarkan asal usul
kata, Post-modern-isme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya faham (isme),
yang berkembang setelah (post) modern. Istilah ini muncul pertama kali pada
tahun 1930 pada bidang seni oleh Federico de Onis untuk menunjukkan reaksi
dari modernisme. Kemudian pada bidang Sejarah oleh Toyn Bee dalam bukunya
Study of History pada tahun 1947. Setelah itu berkembang dalam bidang-bidang
lain dan mengusung kritik atas modernisme pada bidang-bidangnya sendirisendiri.
Post modernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang
yang termasuk dalam budaya. Ciri pemikiran di era postmodern ini adalah
pluralitas berpikir dihargai, dimana setiap orang boleh berbicara dengan bebas
sesuai pemikirannya. Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab

setiap teori punya tolak pikir masing-masing.

12
Universitas Sumatera Utara

2.3.1

Gaya Hidup Post-Modern
Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu

individu dengan individu yang lainnya sesuai dengan konsep dirinya (Chaney,
2004). Pola-pola kehidupan ini kadang diartikan orang sebagai budaya, yang
artinya keseluruhan gaya hidup suatu masyarakat, kebiasaan / adat istiadat, sikap
dan nilai-nilai mereka serta pemahaman yang sama yang menyatukan mereka
sebagai suatu kelompok masyarakat. Gaya hidup lebih pada seperangkat praktik
dan sikap yang masuk akal dalam konteks tertentu, atau cara-cara terpola dalam
menginvestasikan aspek-aspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial
atau simbolik. Tegasnya, gaya hidup adalah cara bermain dengan identitas.
Gaya hidup dalam post-modern juga semakin beragam karena semakin
beragamnya pemikiran dan ide manusia post modern itu sendiri. Chaney (2004)

menjelaskan juga gaya hidup adalah projek kreatif dari manusia terkait
lingkungan masyarakat dan hal tersebut adalah bentuk pendeklarasian yang
memuat penilaian aktor-aktor dalam menggambarkan lingkungan. Sementara itu,
cara hidup (way of life) ditampilkan dengan ciri-ciri seperti norma, ritual, polapola tatanan sosial, dialek atau cara berbicara yang khas. Ciri nyata yang pokok
dari gaya hidup postmodern adalah kecenderungannya melakukan perayaanperayaan gaya hidup tertentu. Budaya tubuh atau budaya cita rasa yang
merupakan ciri gaya hidup postmodern itu dapat diamati dari sudut pandang
penampakan luar (surfaces). Warna dan gaya rambut, cara berpakaian, kendaraan
yang dipakai atau makanan yang dikonsumsi dapat mengidentifikasikan seseorang
dengan suatu ikon budaya cita rasa tertentu. Maka gaya hidup secara tidak

13
Universitas Sumatera Utara

langsung mampu menunjukkan identitas maupun status sosial dari individu
tertentu.
Chaney (2004) melihat bahwa tampilan desain benda, kehidupan
metropolitan yang gemerlapan, petunjuk visual seperti citraan iklan (advertising
imagery), berdirinya bangunan komersial dan publik, carut marut aksesori jalan,
dan ikonografi publik lainnya merupakan suatu tontonan visual (visual spectacle)
yang menghasilkan suatu citraan visual (visual imagery) yang menjadi prasyarat

menentukan kehidupan sehari-hari bagi budaya postmodern. Gaya hidup ini juga
turut mempengaruhi kebiasaan manusia, termasuk dalam hal berbusana. Industri
fashion yang sudah semakin maju dengan beragam pilihan dan aliran telah
menjadi candu bagi beberapa individu dan menjadi identitas individu tertentu
dalam berbusana. Pluralitas ide dalam masyarakat di era postmodern menjadikan
beberapa hal yang dianggap tabu dan aneh menjadi hal yang lumrah dalam
masyarakat.

2.4

Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian Risnawaty (2014) dengan judul Busana Mencerminkan

Kepribadian oleh menyatakan bahwa kepribadian seseorang dapat dilihat dari tata
cara berbusana dan berdandan, jenis dan warna pakaian yang dikenakan serta tata
karma yang sopan mencerminkan kepribadian seseorang. Unsur penampilan
sangat mempengaruhi kepribadian seseorang, busana yang tepat, rapi, memberi
keindahahan, keserasian serta keselarasan memberikan citra diri positif seseorang.
Sebaliknya seseorang yang berbusana semrawut dengan asesoris yang berlebihan
memberikan kesan citra negatif bagi pemakainya.


14
Universitas Sumatera Utara

Kepribadian seseorang tercermin pada personal image / citra pribadi
yang merupakan integrasi intelektualitas, watak, perilaku, karya dan penampilan
seseorang di depan umum. Oleh karena itu untuk menimbulkan kesan pertama
yang mempesona dalam pergaulan atau beraktivitas dalam masyarakat, seseorang
harus memperhatikan cara berbusananya serta pakaian yang dikenakan.
Penelitian oleh Ifa Handayani (2015) dengan judul Etika Berbusana
dalam Pergaulan Mahasiswa menunjukkan bahwa beberapa mahasiswa memiliki
pandangan tersendiri terhadap busana dan kurang setuju dengan peraturan yang
mengekang kebebasan berbusana. Banyak mahasiswa yang sangat tidak terbiasa
dengan busana formal dan tidak setuju jika dipaksa mengenakan busana formal
ketika mengikuti perkuliahan di kampus. Namun sebagian mahasiswa juga setuju
dengan penggunaan busana formal karena lebih terkesan sopan dan nantinya akan
membiasakan mahasiswa berpenampilan sopan di masyarakat. Busana yang cocok
atau pantas dipakai seseorang belum tentu yang harga bahannya mahal, tetapi
yang praktis, serasi, memberi rasa tenang, dan nyaman bagi pemakainya.
Penampilan yang baik tidak berarti busana dan asesoris yang dikenakan harus
lengkap, mahal atau bermerk, melainkan harus rapi, bersih, juga sesuai dengan
situasi dan kondisi aktivitas yang dilakukan. Oleh karena itu dalam
mengekspresikan kepribadian seseorang dapat dilihat dari penampilannya dalam
berbusana, tutur kata, sikap serta perilakunya.
Dalam penelitian Diah Andarini (2012) dengan judul Busana Sebagai
Identitas, mahasiswa Pendidikan Sosiologi dan Antropologi FKIP UNS cukup
mengikuti tren fashion karena mengikuti perkembangan jaman itu sendiri dan juga

15
Universitas Sumatera Utara

untuk menarik perhatian lawan jenis. Mahasiswa mengikuti perkembangan tren
fashion melalui majalah, televisi, dan keberadaan mall / butik. Lingkungan
keluarga dan pertemanan sangat mempengaruhi sikap mahasiswa dalam
memandang fashion. Dalam penelitian selanjutnya berjudul Pakaian Sebagai
Penanda oleh Herman Jusuf (2001), dikatakan setiap bentuk dan jenis pakaian
apapun yang mereka kenakan baik secara gamblang maupun samar-samar akan
menyampaikan penanda sosial (social signals) tentang si pemakainya. Orang yang
berpakaian asal-asalan karena tidak menyukai perhatian orang lain tertuju pada
pakaiannya, sekalipun tanpa mereka sadari telah menunjukkan peran sosial dan
kode-kode sosial yang dianutnya terhadap budaya dimana mereka berada.
Dalam penelitian ini juga dikemukakan bahwa kecenderungan cara
berpakaian masa kini seringkali dianggap mengarah kepada ketidakformalan
(informality) tersebut tidaklah tepat, karena pada kenyataannya yang kita hadapi
sekarang ternyata keformalan (formality) dalam berpakaian tidaklah hilang sama
sekali, melainkan mengalami perubahan atau pergeseran dari keformalan lama
menjadi keformalan baru. Hal ini tentu sejalan dengan perubahan budaya
masyarakat tersebut. Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa pakaian turut
menentukan status seseorang, umur, profesi, dan juga kelompok dalam
masyarakat.
2.5

Definisi Konsep

1. Pakaian
Pakaian merupakan alat penutup tubuh yang akan memberikan kepantasan,
kenyamanan serta keamanan. Pakaian adalah bagian dari busana. Busana

16
Universitas Sumatera Utara

mempunyai cakupan yang lebih luas dibandingkan pakaian, karena busana
menyangkut semua yang dikenakan manusia dari ujung kepala sampai ujung
kaki, sedangkan pakaian meliputi baju, kaos, rok, celana, dan lainnya.
2. Busana
Istilah busana berasal dari bahasa sanskerta yaitu bhusana dalam bahasa
Indonesia yang dapat diartikan pakaian. Namun demikian pengertian busana
dan pakaian terdapat sedikit perbedaan, dimana busana mempunyai konotasi
pakaian yang bagus atau indah yaitu pakaian yang serasi, harmonis, selaras,
cocok dengan pemakai serta sesuai dengan kesempatan. Sedangkan pakaian
adalah bagian dari busana itu sendiri.
Busana dalam pengertian luas adalah segala sesuatu yang dipakai mulai
dari kepala sampai ujung kaki yang memberi kenyamanan dan menampilkan
keindahan bagi sipemakai. Secara garis besar busana meliputi :
a. Busana mutlak yaitu busana yang tergolong busana pokok seperti baju,
rok, kebaya, blus, dan lain-lain, termasuk pakaian dalam seperti singlet,
bra, celana dalam dan lain sebagainya.
b. Milineris yaitu pelengkap busana yang sifatnya melengkapi busana
mutlak, serta mempunyai nilai guna disamping juga untuk keindahan
seperti sepatu, tas, topi, kaus kaki, kaca mata, selendang, scraf, shawl, jam
tangan dan lain-lain.
c. Aksesoris yaitu pelengkap busana yang sifatnya hanya untuk menambah
keindahan sipemakai seperti cincin, kalung, leontin, bross dan lain
sebagainya.

17
Universitas Sumatera Utara

Dari uraian di atas jelaslah bahwa busana tidak hanya terbatas
pada pakaian seperti rok, blus atau celana saja, tetapi merupakan kesatuan dari
keseluruhan yang kita pakai mulai dari kepala sampai ke ujung kaki, baik yang
sifatnya pokok maupun sebagai pelengkap yang bernilai guna atau untuk
perhiasan.
3. Tren
Tren dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) bermakna gaya
mutakhir dan bisa juga diartikan dengan sesuatu yang sedang di bicarakan
oleh banyak orang saat ini dan kejadiannya berdasarkan fakta. Istilah Tren
dalam kehidupan sehari-sehari sering digunakan untuk mengungkapkan
keadaan dimana suatu hal yang sedang digemari atau sedang menjadi
perhatian kebanyakan orang. Kata Trend bersinonim dengan kata tendensi
dimana tendensi bermakna kecerendungan ataupun kecondongan pada suatu
hal tertentu.
4. Jemaat
Jemaat dalam KBBI bermakna sehimpunan umat dimana istilah ini sering
digunakan sebagai himpunan ataupun kumpulan dari orang- orang Kristen.
Jemaat yang menjadi objek penelitian merupakan para jemaat di Gereja GKPI
Padang Bulan di Kota Medan.
5. Kebaktian
Kebaktian adalah suatu pelayanan dan bentuk ibadah kepada Allah dan
dilakukan di tempat dan waktu tertentu. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh

18
Universitas Sumatera Utara

umat Kristiani secara bersama-sama di Gedung Gereja maupun tempat lainnya
yang telah disepakati.
6. Nilai
Nilai adalah ukuran- ukuran, anggapan-anggapan, keyakinan-keyakinan,
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat serta dianut oleh banyak orang
dalam lingkungan masyarakat mengenai apa yang baik untuk dilakukan. Nilainilai sosial merupakan aktualisasi dari kehendak masyarakat mengenai segala
sesuatu yang dianggap benar dan baik. Pada intinya, adanya nilai sosial dalam
masyarakat bersumber pada tiga hal yaitu dari Tuhan, masyarakat, dan
individu.

19
Universitas Sumatera Utara