Perbedaan kadar pepsin dari saliva pada penderita Refluks laringofaring (LPR) dan non-LPR yang didiagnosis berdasarkan Reflux Symptom Index (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS)”

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Refluks Laringofaring
Penyakit Refluks laringofaring (LPR) disebabkan adanya aliran balik
asam lambung ke daerah laring dan faring yang menimbulkan kontak
dengan

jaringan

pada traktus

aerodigestif

atas

laringofaring serta saluran napas bagian atas

dan jejas

pada


dengan manifestasi

penyakit-penyakit oral, faring, laring dan paru. Refluks laringofaring
disebut

juga

extraesophageal

reflux,

supraesophageal

reflux,

gastroesophagopharyngeal reflux, reflux laryngitis, silent reflux, atypical
reflux disease. Diduga

LPR


berperan

pada patogenesis sejumlah

kelainan pada laring, termasuk stenosis subglotik, karsinoma laring,
laryngeal contact ulcers, laringospasme, dan vokal nodul pada pita suara
(Belafsky, 2007; Yunizaf, 2007; Andriani, 2011).
Berbeda

dengan

Gastroesophageal

reflux

disease

(GERD)


merupakan satu terminologi klinis yang berarti aliran balik isi lambung
kedalam esophagus. GERD bisa merupakan suatu proses fisiologis, dan
dapat terjadi sampai 50 episode sehari, timbul hampir setiap selesai
makan, dan dianggap satu proses normal, akan tetapi episode refluk
laringo-faring 3 kali dalam seminggu dapat menyebabkan kerusakan
jaringan (Diamond, 2005; Franco, 2006; Postma, 2009; Makmun, 2011).
GERD
(esofagitis)

yang

berlebihan

menyebabkan

kerusakan

jaringan

atau menimbulkan gejala klinis heartburn. Terkadang


bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual
atau regurgitasi dan rasa pahit dilidah. Walau demikian derajat berat
ringannya keluhan ternyata tidak berkolerasi dengan temuan endoskopik.
Terkadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan keluhan
pada serangan angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan

5
Universitas Sumatera Utara

makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang
berkembang dari Barret’s esophagus. Odinofagia (rasa sakit pada waktu
menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang
berat (Makmun, 2011).
Penderita LPR memiliki perbedaan gejala dan patofisiologi dari
penderita GERD.

Secara umum perbedaan yang signifikan pada LPR

tidak adanya gejala esofagitis dan rasa terbakar didada. Beberapa

penelitian mengungkapkan bahwa keluhan rasa terbakar di dada
ditemukan kurang dari 40% pada kasus LPR sedangkan gejala esofagitis
mencapai 25%. Pada LPR refluks bersifat intermiten dengan motilitas
esofagus yang normal sedangkan GERD refluks bersifat lebih lama
dengan gangguan motilitas esofagus sering ditemukan. Refluks pada LPR
sering terjadi pada siang sedangkan kasus GERD, refluks biasanya
malam hari. Defek sfingter esofagus bawah dijumpai pada GERD
sedangkan pada LPR terjadi disfungsi sfingter atas esophagus, dari segi
pengobatan kedua penyakit ini mirip namun medikamentosa LPR lebih
lama dan agresif dibandingkan penanganan GERD (Koufman, 2002;
Diamond, 2005; Postma, 2009).
2.1.1 Komponen refluks
Komponen refluks yang berperan menyebabkan kelainan patologi di
daerah laring adalah asam, pepsin, asam empedu dan tripsin. Pepsin
dengan asam telah diketahui menjadi komponen yang paling berbahaya
yang berhubungan erat dengan kejadian lesi di daerah laring. Pada
percobaan pada hewan secara in vitro menunjukkan pepsin menjadi aktif
dan menyebabkan trauma pada sel-sel laring sampai pH 6. Refluks dapat
berbentuk gas, cair , atau campuran gas dan cairan (Andersson, 2009).
Mayoritas dari refluks faringeal berbentuk gas, tanpa penurunan pH

yang sama pada orang normal dan pasien laringitis. Refluks yang
berbentuk campuran gas dan cairan, serta refluks yang berbentuk gas

Universitas Sumatera Utara

dengan penurunan pH yang signifikan lebih sering pada penderita
penyakit refluks laringofaring (Andersson, 2009).
2.1.2. Mekanisme Proteksi
Terdapat 4 barrier fisiologis sebagai proteksi dari refluks yaitu sfingter
bawah esofagus (Lower Esophageal Sphincter), acid clearance melalui
fungsi motorik dan esofagus dan gaya gravitasi, resistensi mukosa
esofagus, sfingter atas esofagus atau Upper Esophageal Sphincter yang
disingkat dengan UES ( Ford, 2005).
Mukosa esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu membran mukosa, lamina
propria dan mukosa muskularis. Membran mukosa dilapisi oleh epitel
berlapis gepeng non keratinisasi (non keratinizing stratified squamous
epithelium) yang merupakan kelanjutan dari epitel di faring dan melapisi
seluruh permukaan esofagus bagian dalam kecuali pada daerah
pertemuan esofagus dan lambung yang dibentuk oleh epitel skuamus dan
kolumnar. Lamina propria merupakan jaringan ikat yang terdiri dari serat

kolagen dan elastin serta pembuluh darah dan saraf. Mukosa muskularis
adalah lapisan tipis otot polos yang terdapat pada seluruh bagian
esofagus, semakin ke proksimal semakin tipis dan semakin ke distal
semakin tebal, seperti dijelaskan di gambar 2.1 tentang mukosa esofagus
(Falerina, 2001;Dingra 2014).

Gambar 2.1. Mukosa Esofagus (Falerina, 2001)

Universitas Sumatera Utara

Didalam esofagus, katalisasi dari hidrasi karbondioksida berupa
carbonic anhidrase akan menghasilkan ion bikarbonat yang berada di intra
dan ekstrasel.

Esofagus

sebagai

bentuk


mekanisme pertahanan,

kemudian esofagus akan mengaktifkan pompa ion bikarbonat ke ruang
ekstra sel untuk menetralisir asam lambung. Akibat adanya peningkatan
pH, maka carbonic anhidrase akan menurunkan aktifitas kerja pepsin.
Terdapat 11 jenis katalisator isoenzym yang berbeda cara kerja,
kerentanan dan letak maupun lokasi di jaringan serta 4 jenis karbonik
anhidrase yang terekspresi didalam epitel esofagus (Falerina, 2001; Ford,
2005; Koufman, 2006; Bulmer, 2010).
Ekspresi dari karbonik anhidrase secara fisiologis sangat penting, sebab
akan merangsang sekresi dari ion bikarbonat untuk meningkatkan pH
refluks dari asam lambung sebesar 2,5 poin mendekati nilai normal. Sekresi
ion bikarbonat pada keadaan normal tidak ditemukan pada epitel laring,
oleh karena ekspresi karbonik anhidrase III dengan kadar tinggi tidak
didapat pada epitel laring, namun pada keadaan refluks laringofaring terjadi
penurunan karbonik anhidrase yang signifikan di epitel korda vokalis akibat
peningkatan karbonik anhidrase di epitel komisura posterior. Hal ini
disebabkan oleh karena epitel korda vokalis dan komisura posterior
berbeda sehingga saat terjadi refluks asam lambung ke laring, mekanisme
pertahanan karbonik anhidrase pada komisura posterior yang akan

meningkat untuk menghindari kerusakan epitel (Falerina, 2001; Ford, 2005;
Koufman, 2006; Bulmer, 2010).
2.1.3 Epidemiologi
Makmun (2011) menyatakan bahwa hampir

50% orang dewasa

menderita GERD dan diperkirakan 4-10% dijumpai adanya kelainan laring
kronis non spesifik di klinik THT yang berhubungan dengan penyakit
refluks. Tidak ditemukan predileksi ras pada penyakit refluks. Namun
prevalensi pria dibandingkan wanita meningkat yaitu 55%:45% dan
meningkat pada usia lebih dari 44 tahun. Belafsky et al (2002)

Universitas Sumatera Utara

mendapatkan

rata-rata umur penderita refluks laringofaring 57 tahun

dengan rata-rata nilai RSI 20,9± 9,6 dimana 56% adalah pria (Belafsky et

al, 2002; Makmun, 2011).
Berbeda dengan Carrau et al (2004) mendapatkan rerata umur
penderita LPR adalah 48 tahun, dijumpai jenis kelamin yang terbanyak
adalah perempuan (66,7%). Febriyanti (2014) di RSUP H.Adam Malik
Medan mendapatkan penderita dengan refluks laringofaring rata-rata
umur 45-64 tahun, dimana (65%) adalah perempuan, rata-rata nilai RSI
18,2 ± 4,25 dan RFS 10,48±3,11 (Carau, 2004; Febriyanti, 2014).
2.1.4 Etiologi
Penyebab LPR adalah adanya refluks secara retrograd dari

asam

lambung atau isinya seperti pepsin kesaluran esofagus atas dan
menimbulkan cedera mukosa karena trauma langsung. Sehingga terjadi
kerusakan silia yang menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas gerakan
mendehem (throat clearing) dan batuk kronis. Lama kelamaan akan
menyebabkan lesi pada mukosa (Koufman, 2002; tokashiki, 2005).
2.1.5 Faktor risiko yang berhubungan dengan refluks laringofaring
Beberapa faktor risiko yang potensial untuk terjadinya LPR antara lain
usia, jenis kelamin, gaya hidup seperti kebiasaan mengkomsumsi teh,

kopi, coklat dan riwayat merokok. Indeks massa tubuh (BMI), serta
penggunaan rutin aspirin dan penggunaan obat anti-inflamasi non steroid
merupakan bagian dari faktor risiko terjadinya LPR ( Nilson, 2004; Chen,
2012) .
Festi (2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan BMI dengan LPR
dan GERD, bila dibandingkan dengan orang yang tidak overweight dan
tidak obesitas, gejala LPR lebih banyak dialami oleh orang yang
overweight. Peningkatan berat badan pasien yang mempunyai BMI
normal juga berhubungan dengan munculnya gejala GERD dan LPR.
Locke (1999) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa semakin besar
indeks massa tubuh seseorang semakin besar proporsi gejala LPR, Carau
(2004) menyatakan bahwa tingginya gejala refluks pada populasi di

Universitas Sumatera Utara

negara Barat diduga disebabkan karena faktor diet dan meningkatnya
obesitas (Nilson, 2004;Carau, 2004;Festi, 2009; Chen, 2012).
2.1.6 Fisiologi dan patofisiologi
Fisiologi LPR terjadi karena adanya tekanan antara intra-abdominal
positif dan tekanan negatif didalam hipofaring. Koufman menunjukkan
bahwa pharingolaryngeal dan gastroesophageal refluks berbeda dimana
masing-masing

tempat menunjukkan

simtomatologi spesifik,

Ia juga

mengamati bahwa epitel laring lebih rentan terhadap cedera jaringan
dari pada epitel esophagus (Andersson, 2009; Negro, 2014 ).
Pada orang normal, upper esophageal sphincter (UES) dan lower
esophageal sphincter (LES) bekerja secara bersama untuk mencegah
terjadinya refluks laringofaring. Karenanya patologi utama penyebab LPR
berhubungan dengan disfungsi sfingter esophagus terutama UES. Upper
Esophageal Sphincter (UES) terdiri dari cricopharingeus, thyropharyngeus
dan proksimal cervical esophagus dan menempel pada kartilago tiroid dan
krikoid yang membentuk seperti huruf C (C-shape), yang membungkus
daerah sekitar esophagus servikal dan mendapat persarafan dari pleksus
farinngeal.Ketika upper esophageal sphincter (UES) lemah mengalami
refluks dan

menyebabkannya kontak dengan segmen laringofaringeal,

asam lambung dan pepsin yang teraktivasi dapat menyebabkan
kerusakan langsung pada mukosa laring. Hal ini mengakibatkan
gangguan klirens mukosilier yang menyebabkan stasis lendir yang dapat
memperburuk terjadinya iritasi mukosa dan berkontribusi terhadap gejala
yang dialami pasien misalnya postnasal drip, throat clearing dan globus
sensation (Andersson, 2009; Negro, 2014 ).
Komponen refluks yang berperan menyebabkan kelainan patologi di
daerah laring adalah asam, pepsin, asam empedu dan tripsin. Pepsin
dengan asam telah diketahui menjadi komponen yang paling berbahaya
yang berhubungan erat dengan kejadian lesi di daerah laring. Pada

Universitas Sumatera Utara

percobaan pada hewan secara in vitro menunjukkan pepsin menjadi aktif
dan menyebabkan trauma pada sel-sel laring sampai pH 6. Pada
penderita GERD, aliran balik cairan lambung kedalam esofagus
menyebabkan kerusakan jaringan atau esofagitis dan rasa panas didada.
Sedangkan penderita LPR aliran balik cairan lambung ketenggorok
menyebabkan iritasi dan perubahan mukosa dilaring, seperti dijelaskan
digambar 2.2 dibawah ini (Andersson, 2009; Negro, 2014 ).

Gambar 2.2. Kiri: Penderita dengan GERD, kanan: penderita dengan LPR
(Anderson,2009)
Pada akhir-akhir ini terdapat penelitian yang menyebutkan teori dari
patofisiologi LPR yaitu adanya fungsi proteksi dari enzim carbonic
anhydrase, dimana enzim ini akan menetralisir asam pada cairan refluks.
Pada keadaan epitel laring normal kadar enzim ini tinggi. Terdapat
hubungan yang jelas antara kadarpepsin di epitel laring dengan
penurunan kadar protein yang memproteksi laring yaitu enzim carbonic
anhydrase dan squamous epithelial stress protein Sep70. Pasien LPR
menunjukkan kadar penurunan enzim ini 64% ketika dilakukan biopsi
jaringan laring (Groome, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.1.7 Diagnosis penyakit refluks laringofaring
Berdasarkan patofsiologinya, LPR terjadi akibat adanya refluks dari isi
lambung ke daerah laringofaringeal maka untuk menegakkan LPR melalui
anamnese tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan
laringoskopi

serta

menentukan

adanya

refluks

asam

lambung

kelaringofaring (Andriani, 2011).
a. Anamnese dan Gejala klinis
Manfestasi klinis LPR yang umum berupa suara serak (71%), batuk
kronik (51%), sering mengeluarkan lendir dari tenggorok/ throat clearing/
berdehem (42%), sakit tenggorok (35%), sensasi globus faringeus (47%),
dan granuloma pita suara. Keluhan lainnya dapat berupa rasa terbakar
didaerah bukal, halitosis, otalgia, stridor dan kehilangan rasa pengecapan.
Penderita LPR lebih sering mengalami refluk pada siang hari atau pada
posisi berdiri, berbeda dengan pasien GERD biasanya menderita refluk
pada malam dan posisi berbaring (Koufman, 2002).
Penilaian atas gejala klinis pasien LPR berdasarkan Belafsky, terdapat
sembilan komponen indeks gejala yang dikenal dengan Reflex Symptom
index (RSI) atau indeks gejala refluks yang mudah dilaksanakan serta
mempunyai reabilitas dan validitas yang baik dan dapat diselesaikan
dalam waktu kurang dari satu menit. Skala untuk setiap komponen
bervariasi dari nilai 0 (tidak mempunyai keluhan) sampai dengan nilai 5
(keluhan berat) dengan skor total maksimum 45 dan RSI dengan nilai > 13
dicurigai sebagai penyakit refluks laringofaring ( tabel 1). Tanda klinis
yang sering ditemukan pada penyakit refluks laringofaring adalah laringitis
posterior dengan eritema, edema dan penebalan dinding posterior dari
glottis. Tanda-tanda lain adalah granuloma pita suara, contact ulcer,
stenosis subglottis, seperti dijelaskan pada tabel 2.1 tentang penilaian
RSI dibawah ini ( Belafsky, 2002; Andersson, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Reflux Symptom Index (RSI)
Dalam 1 bulan terakhir, apakah kamu
menderita
1

Suara serak/ problem suara

0 = tidak,
5 = sangat berat
0

1

2

3

4

5

0

1

2

3

4

5

Clearing your throat (mendehem)
2
3

Mukus berlebih /PND

0

1

2

3

4

5

4

Kesukaran menelan

0

1

2

3

4

5

5

Batuk setelah makan / berbaring

0

1

2

3

4

5

6

Kesukaran bernafas / chocking

0

1

2

3

4

5

7

Batuk yang mengganggu

0

1

2

3

4

5

8

Rasa mengganjal di tenggorok

0

1

2

3

4

5

9

Heartburn, rasa nyeri di dada,
gangguan pencernaan, regurgitasi
asam

0

1

2

3

4

5

Tabel 2.1 Reflux Symptom Index (Belafsky et al,2002)
Berdasarkan keluhan yang dirasakan oleh penderita

LPR

diklasifikasikan menjadi 4 tingkatan menurut skala Likert yakni :
0:
1:
2:

tidak ada keluhan
ringan (keluhan minimal yang dirasakan dapat ditoleransi)
sedang (keluhan dirasakan mengganggu namun dapat
ditoleransi)
3 : berat (keluhan dirasakan sangat menggangu aktifitas dan tidak
dapat ditoleransi).
Keluhan faring laring dapat dikelompokkan menjadi keluhan mayor dan
minor. Perubahan suara, rasa mengganjal, nyeri tenggorok, batuk,
tersedak dan disfagia merupakan keluhan mayor, sedangkan lendir
mengalir ketenggorok, nyeri dada dan keluhan dimalam hari merupakan
keluhan minor. Perubahan patologi tidak umum ditemukan pada pasien
LPR, refluk patologis proksimal pada pH metri ditemukan hanya pada 1/3
pasien dan secara endoskopi esofagitis erosif

hanya pada ¼ pasien.

Kombinasi 3 gejala atipikal seperti suara serak, throat clearing dan globus
faringeus meningkatkan rasio risiko LPR sebesar 59,7 kali. Suara serak
idiopatik sebagai gejala tunggal meningkatkan risiko LPR sebesar 85 kali.

Universitas Sumatera Utara

Sering tidak ditemukannya hubungan antara gejala dengan tanda klinis
yang ada, dan adanya kelainan laring tidak selalu diperlukan dalam
menegakkan diagnosis LPR (Belafsky, 2002).
Untuk memeriksa keadaan patologis laring setelah terjadinya refluks
laringofaring, Belafsky juga memperkenalkan skor refluks yaitu Reflux
Finding Score (RFS)

merupakan delapan skala penilaian dalam

menentukan beratnya gambaran kelainan laring yang dilihat dari
pemeriksaan nasofaringolaringoskopi serat optik lentur. Nilai skala
minimal 0 (tidak ada keluhan) dan nilai maksimal 26 (nilai terburuk).
Kedelapan tanda klinis tersebut adalah edema subglotis, obliterasi
ventrikular, eritema/hiperemis, edem pita suara, edem laring difus,
hipertrofi komisura posterior, granuloma/jaringan granulasi, dan mukus
endolaring seperti dijelaskan pada tabel 2.2 berikut ini (Belafsky, 2002).

Reflux Finding Score (RFS)
Edema Subglotik / pseudosulcus 0 = tidak ada
vokalis
2 = ada
2 = parsial
Ventrikular obliterasi
4 = komplit
2 = hanya aritenoid
Eritema / hyperemia
4 = difus
1 = ringan
Edema pita suara
2 = moderat
3 = berat
1 = ringan
2 = moderat
Edema laring difus
3 = berat
4 = obstructing
1 = ringan
2 = moderat
Hipertrofi komisura posterior
3 = berat
4 = obstructing
0 = tidak ada
Granula / jaringan granulasi
2 = ada
0 = tidak ada
Mukus kental endolaring
2 = ada
tabel 2.2 Reflux Finding Score (RFS) (Belafsky, 2002)

Universitas Sumatera Utara

Nilai RFS >7 dianggap LPR dengan tingkat keyakinan 95%.
Frekuensi yang tinggi pada gambaran RFS menurut penelitian Belafsky
(2001) adalah hipertrofi komisura posterior sebesar 85%. Koufman (2000)
yang dikutip oleh Belafsky (2001) pertama kali menyebutkan edema
subglotis dengan sebutan pseudosulcus vokalis dimana edema subglotis
tersebut menyebar hingga ke daerah komisura posterior laring (Belafsky,
2001). .
Obliterasi ventrikel

ditemukan pada 80% kasus. Penilaiannya

menjadi parsial atau komplit. Pada obliterasi parsial ditemukan gambaran
pemendekan jarak ruang ventrikel dan batas pita suara palsu memendek.
Sedangkan pada keadaan komplit ditemukan pita suara asli dan palsu
seperti bertemu dan tidak terlihat adanya ruang ventrikel (Belafsky, 2001).
Eritema atau laring yang hiperemis merupakan gambaran LPR
yang tidak spesifik. Sangat tergantung kualitas alat endoskopi seperti
kualitas sumber cahaya, monitor video dan kualitas endoskop fleksibel
sendiri jadi kadang-kadang sulit terlihat. Edema pita suara dinilai
tingkatannya. Gradasi ringan (nilai 1) jika hanya ada pembengkakan
ringan, nilai 2 jika pembengkakan nyata dan gradasi berat dengan nilai 3
jika ditemukan pembengkakan yang lebih berat dan menetap sedangkan
nilai 4 (gradasi sangat berat) jika ditemukan degenerasi polipoid pita
suara. Edema laring yang difus dinilai dari perbandingan antara ukuran
laring dengan ukuran jalan nafas, penilaian mulai nari nol sampai nilai 4
(obstruksi). Hipertrofi komissura posterior gradasi ringan (nilai 1) jika
komissura posterior terlihat seperti “kumis”, nilai 2 (gradasi sedang) jika
komisura posterior bengkak sehingga seperti membentuk garis lurus pada
belakang laring. Gradasi berat (nilai 3) jika terlihat penonjolan laring
posterior kearah jalan nafas dan gradasi sangat berat apabila terlihat ada
obliterasi ke arah jalan nafas, dan bentuk pita suara sudah tidak halus
atau polypoid degeneration maka skor penilaian menjadi 4. Terakhir

Universitas Sumatera Utara

gambaran yang dijumpai dari RFS adalah granuloma/granulasi jaringan
dan mukus kental endolaring (Belafsky, 2001).
Ackah (2002) dalam Journal of Singing menyatakan bahwa granuloma
sering dihubungkan dengan LPR. Iritasi kronik dari laring oleh asam
lambung menyebabkan inflamasi kronik

dari posterior laring. Inflamasi

yang terus menerus akan membentuk granuloma/ jaringan granulasi.
Letak granulasi bisa dijumpai dibagian 2/3 posterior pita suara, regio
supraglotic laring. Gambaran laring dapat dilihat dari gambar 2.3-2.10
dibawah ini (Belafsky, 2001; Ackah, 2002; Koufman, 2002).

Gambar 2.3 Edema subglotik (Pham,2009)

Gambar 2.4. Ventrikular obliterasi(Pham,2009)

Gambar 2.5. Eritema/hyperemia (Pham,2009)

Gambar 2.6. Edema pita suara(Pham,2009)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.7. Edema laring difus(Pham,2009)

Gambar 2.8. Hipertrofi komisura
posterior(Pham,2009)

Gambar 2.9. Granula/jaringan granulasi

Gambar 2.10. Mukus kental endolaring

(Isabel,2016)

(Isabel,2016)

Suara serak sangat berhubungan dengan edem pita suara, edem
laring difus dan thick endolaryngeal mucus. Berdehem (throat clearing)
berhubungan dengan thick endolaryngeal mucus dan edem pita suara.
Rasa mengganjal ditenggorok berhubungan dengan eritema dan hipertrofi
komisura posterior (Belafsky, 2007).
b. Pemeriksaan pH
Dengan pemeriksaan ambulatory 24 hour double-probe (pharyngeal
and esophageal)

pH

monitoring yang merupakan gold standard untuk

mendiagnosis LPR. Dimana dua buah elektroda dimasukkan secara
intranasal dan diletakkan 5 cm diatas sfingter bawah esofagus dan 0,5-2
cm diatas sfingter atas esofagus dengan bantuan manometri (Andersson
2009; Andriani, 2011; Deganello, 2015).
Namun pemeriksaan ini masih jauh dari kriteria ideal oleh karena
sensitivitas pH- metri yang dilaporkan hanya 50% sampai 80%, sekitar
12% dari pasien THT tidak dapat mentoleransi prosedur ini, modifikasi
diet (untuk standarisasi prosedur) dapat menghasilkan false-negative dan

Universitas Sumatera Utara

biaya pemeriksaan pH-metri masih mahal serta tidak semua pusat
pelayanan menyediakan alat ini (Andriani, 2011).
c. Tes PPI
Terapi empirik dengan proton pump inhibitor(PPI) disarankan sebagai
tes yang ideal untuk penyakit refluks laringofaring dan merupakan cara
diagnostik yang tidak invasif, simpel dan juga dapat memberikan efek
terapi. Tes PPI dengan pemberian omeprazole 40 mg perhari selama 14
hari

mempunyai sensitivitas

dan

spesifitas

yang sama dengan

pemeriksaan pH metri 24 jam ( Vaezi, 2006;Tamin, 2008).
d. Deteksi pepsin pada laring
Penelitian terbaru untuk mendeteksi LPR adalah dengan menentukan
ada tidaknya pepsin pada laring dengan metode immunoasssay (ELISA).
Karena pepsin tidak disintesis oleh sel tipe apapun dalam saluran napas,
maka adanya pepsin pada saluran napas merupakan bukti nyata bahwa
pepsin tersebut berasal dari refluks isi lambung ke laringofaring,
sehingga pengukuran
menjadi

petanda

pepsin

pada

sekret

saluran napas dapat

diagnostik yang sensitif pada LPR (Belafsky, 2001;

Jhonston, 2003; Knight, 2005; Printza, 2007).
Pepsin juga dapat dideteksi dilaring pada pasien kanker laring, tetapi
tidak dijumpai pada pasien tanpa gejala klinik dari LPR. Pepsin merupakan
enzimatis aktif pada pH normal (pH7), dan secara aktif diambil oleh laring
dan

sel-sel

epitel

hypopharyngeal

dilingkungan

nonasidosis

oleh

endositosis dengan cara reseptor dimediasi dan masih dipertahankan
dalam vesikel intraselluler pH rendah dimana aktifitas enzim proteolitik
dapat distabilkan, dimana sampel (saliva) diletakkan pada satu wadah
khusus,

sebuah

diaplikasikan

antibodi

diatas

spesifik

terkait

permukaannya

dengan

sehingga

enzim
bisa

khusus
mengikat

antigen(pepsin). Zat yang mengandung substrat enzim ditambahkan.
Reaksi selanjutnya akan terdeteksi sinyal dalam bentuk perubahan warna

Universitas Sumatera Utara

dalam substrat, konsentrasi pepsin dalam saliva diukur dalam pg/ml
(Belafsky, 2001; Jhonston, 2003; Knight, 2005; Bahar, 2015).
2.1.8 Penatalaksanaan
Meliputi medikamentosa dengan obat-obatan anti refluks, perubahan
gaya hidup dengan modifikasi diet serta secara bedah dengan operasi
funduplikasi (Belafsky,2001; Pham,2009).
a) Modifikasi diet dan gaya hidup
Pasien dengan gejala LPR dianjurkan melakukan pola diet yang tepat
agar terapi berjalan maksimal. Penjelasan kepada pasien mengenai
pencegahan refluks cairan lambung merupakan kunci pengobatan LPR.
Pasien akan mengalami pengurangan keluhan dengan perubahan diet
dan gaya hidup sehat. Misalnya pola diet yang dianjurkan pada pasien
seperti makan terakhir 2-4 jam sebelum berbaring, pengurangan porsi
makan, hindari makanan yang menurunkan tonus otot sfingter esofagus
seperti makanan berlemak, gorengan, kopi, soda, alkohol, mint, coklat
buahan dan jus yang asam, cuka, mustard dan tomat menganjurkan pola
diet bebas asam atau rendah asam (A strict low acid or acid free) dalam
penelitiannya ada manfaat yang nyata pada perbaikan RSI dan RFS pada
populasi yang diteliti. Anjuran lain seperti menurunkan berat badan jika
berat badan pasien berlebihan, hindari pakaian yang ketat, stop rokok,
tinggikan

kepala

sewaktu

berbaring

10-20cm

dan

mengurangi

stress(Koufman, 2001;Diamond, 2005;Pham, 2009).
b.

Medikamentosa
Proton Pump Inhibitor (PPI)

atau penghambat pompa proton

merupakan terapi LPR yang utama dan paling efektif dalam menangani
kasus refluks. Cara kerja PPI dengan menurunkan kadar ion hidrogen
cairan refluks tetapi tidak dapat menurunkan jumlah dan durasi refluks.
PPI dapat menurunkan refluks asam lambung sampai lebih dari 80%.

Universitas Sumatera Utara

Akan tetapi efektifitas obat terhadap LPR tidak seoptimal efektifitasnya
pada kasus GERD. Akan tetapi pengobatan PPI ternyata cukup efektif
dengan catatan harus menggunakan dosis yang lebih tinggi dan
pengobatan lebih lama dibandingkan GERD. Rekomendasi dosis adalah 2
kali dosis GERD dengan rentang waktu 3 sampai 6 bulan. (Koufman,
2002;Diamond, 2005;Pham, 2009).
c. Terapi Pembedahan
Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/ barier pada
daerah pertemuan esofagus dan gaster sehingga dapat mencegah refluks
seluruh isi gaster kearah esofagus. Keadaan ini dianjurkan pada pasien
yang harus terus menerus minum obat atau dengan dosis yang makin
lama makin tinggi untuk menekan asam lambung. Sekarang ini tindakan
yang sering dilakukan adalah funduplikasi laparoskopi yang kurang
invasif. Akan tetapi tindakan ini bukannya tanpa komplikasi, perlu dokter
yang berpengalaman dan mengerti mengenai anatomi esofagus serta
menguasai teknik funduplikasi konvensional agar angka komplikasi dapat
ditekan Sehingga operasi ini bukan pilihan pertama pada kasus LPR
(Koufman, 2002;Diamond, 2005;Pham, 2009).
2.1.9 Komplikasi
LPR dapat merupakan faktor pencetus munculnya penyakit seperti
faringitis, sinusitis, asma, pneumonia, batuk di malam hari, penyakit gigi
dan keganasan laring. Salah satu komplikasi yang patut diwaspadai dan
mengancam nyawa adalah stenosis laring. Riwayat LPR ditemukan pada
75% pasien stenosis laring dan trakea (Belafsky, 2001; Tauber,
2002;Diamond, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.1.10 Prognosis
Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan
catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya
hidup. Dari salah satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan
pada pasien dengan laringitis posterior berat sekitar 83% setelah
diberikan terapi 6 minggu dengan omeprazol. Dan sekitar 79% kasus
alami kekambuhan setelah berhenti berobat. Prognosis keberhasilan
dengan menggunakan Lansoprazole 30 mg 2 kali sehari selama 8 minggu
memberikan angka keberhasilan 86% (Koufman, 2011; Ford, 2005).

2.2 Pepsin sebagai penanda diagnostik pada refluks laringofaring
(LPR)
Pepsin merupakan enzim yang disintesa pertama kali oleh sel chief
dilambung sebagai pepsinogen zimogen dan diubah menjadi pepsin yang
aktif melalui autolysis asam lambung serta

berperan penting dalam

sistem pencernaan. Pepsin biasanya dijumpai dilambung, namun bila
terjadi LPR pepsin dapat dideteksi didaerah laringopharingeal. Ekspresi
pepsin pada mukosa laring dapat digunakan sebagai marker dari LPR dan
juga sebagai monitor pada pasien yang diterapi dengan PPI (Samuel,
2010; Jiang, 2011).
Pemeriksaan immunologik untuk deteksi enzim pepsin adalah dengan
ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) disebut juga enzyme
immunoassay, pada ELISA, antigen difiksasi sebagai platform yaitu plat
polystyrene microtiter atau membran nitrosellulose. Antibodi spesifik dicuci
untuk mengikat antigen yaitu peroxidase. Sensitifitas dan spesifitas dari
pepsin ELISA tergantung dari kekuatan dan spesifitas dari antibodi.
indirect ELISA antigen (circle, hexagon, square,triangle) yang nonspesifik
terikat platform (misalnya, polistiren piring mikrotiter), dimana antibodi
dapat berkonjugasi
lingkaran

cahaya,

dengan enzim yang dapat mengubah substrat
untuk

warnanya

membentuk

produk.

Enzim-

Universitas Sumatera Utara

terkonjugasi antibodi sekunder dengan afinitas untuk wilayah dari antibodi
primer

yang dapat

digunakan untuk

mengkonversi substrat

dan

mendeteksi produk. Selama berlangsung ELISA, antibodi spesifik diserap
ke peron kemudian antigen dicuci di atas piring dan diikuti oleh kedua
antigen antibodi spesifik, terakhir terjadi pengikatan oleh enzim yang telah
terkonjugasi antibodi, seperti dijelaskan digambar 2.11 (Samuel et al,
2010).

Gambar 2.11. Pemeriksaan ELISA secara indirect dan direct (Samuel
et al, 2010).
Analisa pepsin dapat diambil melalui saliva dan sputum, pemeriksaan
pepsin mempunyai keuntungan karena dapat dideteksi langsung dari
bagian refluks. Pepsin juga dijumpai ditrakea, paru, sinus, telinga tengah
(Samuel et al, 2010).
2.2 Kadar pepsin pada penderita refluks laringofaring (LPR) yang
didiagnosis berdasarkan reflux symptom index (RSI) dan reflux
finding score (RFS)
Pepsin menunjukkkan aktivitas maksimal pada pH 2,0 dan tidak aktif
pada pH > 6,5, dan berperan dalam pembentukan LPR yang dapat
mencakup kedalam esofagus, orofaringeal dan mukosa trakea, epitel
laring terbukti lebih sensitif terhadap kerusakan yang disebabkan oleh
pepsin dari epitel esofagus. Berdasarkan penelitian Ocak (2015)

Universitas Sumatera Utara

menyatakan bahwa pepsin dapat digunakan sebagai penanda diagnostik,
dimana saliva dikumpulkan sekali, dan dapat diketahui bahwa pepsin
berperan penting dalam kerusakan jaringan di LPR yaitu kerusakan
mukosa (Ocak, 2015).
Pemeriksaan pepsin sendiri meskipun merupakan pemeriksaan
dengan sensitivitas

100%

dan

spesifisitas

89% untuk LPR, namun

karena pepsin mudah mengalami kerusakan dan pemeriksaannya masih
terbatas pada sarana laboratorium tertentu

serta

biaya

pemeriksaan

yang mahal sehingga masih sulit diaplikasikan di semua daerah selain di
daerah yang maju dan lengkap sarana kesehatannya. Pepsin juga bukan
merupakan satu satunya enzim yang terdapat pada refluksat yang dapat
mengakibatkan kerusakan mukosa laring namun adanya pepsin pada
saliva menunjukkan adanya refluks asam lambung ke laringofaring
(Andriani, 2011).
Penelitian Knight (2005) menyatakan bahwa deteksi pepsin dari saliva
sensitif untuk non invasif diagnostik bagi LPR, dengan sampel pepsin ratarata pH 4,44. Oleh karena itu pepsin berperan dalam kerusakan laring dan
saluran nafas, sehingga deteksi pepsin pada saluran nafas sangat baik
untuk menegakkan LPR (Knight, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.4 Kerangka Teori

Upper eshopageal Sphinter (UES)

Lower eshopageal Sphinter (LES)

Mencegah terjadinya Refluks
lemah

Kontak dengan cairan lambung: asam,
pepsin,asam empedu,tripsin

Teraktivasi

Kerusakan langsung pada mukosa
laring

Stasis lendir

PND, Throat Clearing dan globus sensation

Universitas Sumatera Utara

2.5 Kerangka Konsep
Refluks laringofaring

Gejala Klinis (RSI):
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Tanda patologis laring (RFS) :

Suara serak
Throat clearing
Mucus berlebih / post nasal drip
Kesukaran menelan
Batuk setelah makan/ berbaring
Kesukaran bernafas/ chocking
Batuk yang mengganggu
Rasa mengganjal di tenggorok
Heartburn, rasa nyeri didada,
gangguan pencernaan, regurgitasi
asam



1. Edema subglotik/
pseusdosulcus vocalis
2. Ventricular obliterasi
3. Eritemia / hyperemia
4. Edema pita suara
5. Edema laring difus
6. Hipertrofi komisura posterior
7. Granuloma/ jaringan granulasi
8. Mukus kental endolaring

pH metry
Deteksi pepsin dari saliva

Penyakit Refluks laringofaring

Variabel Penelitian

2.6 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah: ada perbedaan kadar pepsin pada
penderita LPR dan Non LPR di RSUP Haji Adam Malik Medan

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Korelasi Antara Reflux Symptom Index (RSI) Dan Reflux Finding Score (RFS) Pada Penderita Dengan Gejala Refluks Laringofaring Di Poliklinik THT- KL RSUP. H. Adam Malik Medan

7 86 110

Perbedaan kadar pepsin dari saliva pada penderita Refluks laringofaring (LPR) dan non-LPR yang didiagnosis berdasarkan Reflux Symptom Index (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS)”

0 0 14

Perbedaan kadar pepsin dari saliva pada penderita Refluks laringofaring (LPR) dan non-LPR yang didiagnosis berdasarkan Reflux Symptom Index (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS)”

0 0 2

Perbedaan kadar pepsin dari saliva pada penderita Refluks laringofaring (LPR) dan non-LPR yang didiagnosis berdasarkan Reflux Symptom Index (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS)”

0 0 4

Perbedaan kadar pepsin dari saliva pada penderita Refluks laringofaring (LPR) dan non-LPR yang didiagnosis berdasarkan Reflux Symptom Index (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS)” Chapter III VI

0 0 32

Perbedaan kadar pepsin dari saliva pada penderita Refluks laringofaring (LPR) dan non-LPR yang didiagnosis berdasarkan Reflux Symptom Index (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS)”

0 5 8

Perbedaan kadar pepsin dari saliva pada penderita Refluks laringofaring (LPR) dan non-LPR yang didiagnosis berdasarkan Reflux Symptom Index (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS)”

0 0 19

Deteksi pepsin pada penderita refluks laringofaring yang didiagnosis berdasarkan reflux symptom index dan reflux finding score

1 1 7

1. Peneliti Utama - Korelasi Antara Reflux Symptom Index (RSI) Dan Reflux Finding Score (RFS) Pada Penderita Dengan Gejala Refluks Laringofaring Di Poliklinik THT- KL RSUP. H. Adam Malik Medan

0 1 38

Korelasi Antara Reflux Symptom Index (RSI) Dan Reflux Finding Score (RFS) Pada Penderita Dengan Gejala Refluks Laringofaring Di Poliklinik THT- KL RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 15