Pendidikan Berbasis Karakter Budaya Kaji

Pendidikan Berbasis Karakter Budaya:
Kajian Historis Sistem Pendidikan di Awal Kebangkitan Nasional dan Masa Kini
Oleh: Subandi Rianto1
(Artikel Mendapat Penghargaan Peringkat II dalam Kompetisi Esai Se-Jawa, Bali
dan Kalimantan dalam Program PHKI Batch B Departemen Sejarah Univ. Airlangga
Tahun 2011)

Pendahuluan
“Ada keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan, masyarakat dan kebudayaan”
(Theodore Brameld, Antropolog Pendidikan)2

Ada pertanyaan tersendiri dalam benak para pendidik saat Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan berganti nama menjadi Kementerian Pendidikan Nasional.
Masalahnya bukan hanya pada pergantian nama saja. Melainkan sektor “kebudayaan”
kemudian berpindah ke domain baru yang dinamakan Kementerian Negara Kebudayaan
dan Pariwisata. Ada semacam tendensi baru bahwa kebudayaan nasional menjadi jualan
baru pemerintah. Setelah pendapatan dalam sektor pajak semakin tidak potensial. Begitu
juga migas, menjadi pos pemasukan APBN selanjutnya yang semakin tidak menentu
hasilnya bagi negara. Maka, tak ada jalan lain. Selain menjadikan budaya sebagai salah
satu komoditi “alternatif” untuk meningkatkan pendapatan negara. Salah satu konstruksi
selanjutnya dapat dilihat dengan menjadikan cagar budaya sebagai konsep-konsep

pariwisata. Tidak hanya berhenti disitu saja, selain bentuk material budaya fisik, budaya
nilai dan norma juga menjadi bahan komoditas. Lihat saja kasus komersialisasinya
upacara-upacara adat di Jogja, Bali dan belahan nusantara lainnya. Semakin menjadi
objek komersial. Bukan lagi menjadi subjek pelestarian budaya dan pendidikan karakter
bagi generasi bangsa mendatang.
Tak cukup hanya itu saja, ternyata kebudayaan nasional yang berbentuk adat
istiadat (nilai tata dan norma) juga lepas begitu saja dari Kementerian Pendidikan
Nasional. Terbukti dengan semakin berkurangnya jam pelajaran PPKN (Pendidikan
1
2

Mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah Angkatan 2009
Theodore Brameld, Cultural Foundations of Education, 1957

Pancasila dan Kewarganegaran), Muatan Lokal Budaya serta Ilmu Sejarah. Semuanya
memang didesain dalam kurikulum-kurikulum terbaru yang berbasiskan daya saing
global. Orientasi utama memang membentuk SDM-SDM bangsa yang bisa bersaing
dalam ranah global. Membekali mereka dengan segenap kemampuan yang dibutuhkan
dunia kerja. Sayang sekali, pola sistem yang terbaru tersebut malah menafikan sistem
pendidikan nasional terdahulu. Dimana sistem yang ada dibentuk untuk mendidik

generasi berkarakter dengan kepribadian bangsa melalui pendidikan budaya. Sistem
yang ada sekarang hanya membentuk manusia-manusia produk unggulan yang akan
disalurkan ke sektor industri.3
Esai ini akan membahas perubahan sistem pendidikan di Indonesia sejak zaman
penjajahan Belanda. Sejak munculnya sistem pengkelasan kolonial yang ternyata
berefek pada sistem pendidikan yang ada. Hingga awal-awal masa kebangkitan
nasional, saat para intelektual bangsa mendobrak sistem pendidikan kolonial. Salah
satunya reformasi yang dirintis Ki Hajar Dewantara dalam merumuskan sistem
pendidikan nasional berbasis kebudayaan. Berpuluh tahun sesudahnya, hingga kini
sistem pendidikan ternyata jauh berbeda. Bahkan jauh dari cita-cita para founding father
peletak dasar sistem pendidikan. Saat kurikulum sekarang sengaja dirancang untuk
menjadikan pendidikan sebagai alat sektor industri. Maka, muncul pendidikan dengan
standar-standar yang telah ditetapkan sektor industri. Tidak ada lagi pendidikan karakter
yang menghargai bakat tiap anak. Tidak ada lagi pendidikan yang menghargai
kecerdasan berbeda para peserta didik. Yang ada standardisasi kecerdasan,
homogenisasi karakter serta sederet segregasi dalam pendidikan. Ada sekolah standar
nasional, standar internasional. Hingga pendidikan khusus orang kaya saja. Alhasil
selain sistem pendidikan yang ada semakin jauh dari cita-cita pendiri bangsa, juga
menyalahi amanat konstitusi. Dimana setiap warga negara berhak memperoleh
pendidikan.


Fase Awal Sistem Pendidikan di Hindia Belanda ( Netherlandsch-Indies)

3

Wawancara dengan Prof. Daniel Rosyid, Ketua Dewan Pakar Pendidikan dari ITS, Ketua Dewan
Pendidikan Surabaya. Oktober 2011

Ketika

menjajah

Hindia-Belanda,

Pemerintah

kolonial

Hindia-Belanda


menerapkan kebijakan segregasi bagi masyarakat Eropa, Timur Asing ( Vremde
Oosterlingen) dan pribumi (inlander ). Peraturan yang sengaja dibuat untuk

memudahkan pihak kolonial mengawasi pergerakan masyarakat multikultural tersebut.
Selain juga motif utama membentuk mentalis pribumi agar menjadi masyarakat kelas
bawah dan tidak terpengaruh gagasan-gagasan kemerdekaan,

kemajuan dan

nasionalisme. 4 Selain itu, dibentuk pengawasan yang lebih ketat terhadap golongan
Vremde Oosterlingen dengan peraturan Wijkenstelsel dan Passenstelsel. Wijkenstelsel

merupakan peraturan yang menginstruksikan bahwa orang-orang timur asing harus
bertempat tinggal pada wilayah tertentu sesuai dengan komunitasnya. Passenstelsel
merupakan peraturan surat jalan, maksudnya adalah jika orang-orang timur asing mau
keluar dari kampung tempat tinggalnya maka harus izin dahulu untuk mendapat surat
jalan.
Maka, efek dari kebijakan segregasi pemerintah kolonial tersebut juga
berpengaruh kepada pelayanan masyarakat. Mulai muncul kebijakan-kebijakan publik
yang bernada SARA. Sekolah-sekolah didirikan khusus untuk orang Eropa dan

bangsawan Jawa. Sementara pribumi ( inlander ) hanya cukup mengenyam pendidikan
sekolah rakyat dan sekolah ongko loro. Bahkan dalam sebuah kesempatan, kata-kata
pribumi yang jamak disebut inlander disamakan dengan anjing. Muncul pemeo
cemohan bahwa anjing dan inlander dilarang masuk ditempat-tempat khusus Vremde
Oosterlingen. Jelas sudah, selain kebijakan-kebijakan negara yang dibuat untuk

mendiskriminasikan pribumi. Pemerintah kolonial juga membuat serangkaian kebijakan
pendidikan yang bertujuan merubah arah pendidikan yang ada. Seperti munculnya
peraturan guru (goeroe ordonantie) dan peraturan pesantren (pesantren ordonantie).5
Peraturan Pesantren merupakan salah satu kebijakan yang menarik untuk dikaji.
Salah satu isinya merupakan larangan dari pemerintah kolonial kepada pesantrenpesantren agar tidak mengajarkan bahasa arab kepada santri-santrinya. Kebijakan itu
bermula dari peraturan haji (ordonantie haji) dimana ada hubungan antara tingkat
penguasaan bahasa arab dan keinginan masyarakat untuk berhaji. Sementara tempat
4

Kompas, Jum’at 19 September 1980.

tujuan berhaji di Saudi Arabia merupakan pusat perkembangan Madzab Islam Wahabi.
Pemerintah Kolonial ketakutan dengan membengkaknya jamaah haji dapat membawa
pengaruh wahabi (fundamentalis) bagi pemeluk Islam di Hindia-Belanda. Bisa jadi

pengaruh tersebut malah menyuburkan rasa nasionalisme untuk merdeka. 6
Segala kebijakan dan peraturan pendidikan yang ada. Sengaja didesain untuk
membuat kaum bangsawan semakin loyal dengan penjajah. Serta menjadikan pribumi
sebagai buruh-buruh kapitalisme dan kepentingan penjajah. Praktis, rakyat hanya
diperkenankan menempuh pendidikan setingkat buruh, atau dengan kata lain pendidikan
yang mencetak buruh-buruh bagi penjajah kolonial. Fase-fase awal penjajahan kolonial
Belanda di Hindia-Belanda membutuhkan

sistem pendidikan yang mendukung

eksistensi penjahan. Seperti mendidik mentalitas pribumi menjadi buruh, melarang
berpikiran maju serta menjauhkan mereka dari gagasan nasionalisme dan kemerdekaan.
Sistem pendidikan yang demikianlah yang sangat berorientasi pada kepentingan
penjajah. Hingga pada masa awal kebangkitan nasional, ketika para intelektulitas
menengah (baca: rakyat kelas menengah) mulai sadar akan gagasan-gagasan kemajuan
dan nasionalisme. Maka, dari golongan menegah inilah sistem pendidikan mengalami
reformasi pada moemen yang tepat. Yaitu kebangkitan nasional.

Fase Kebangkitan Nasional dan Munculnya Konsepsi Sistem Pendidikan Nasional
Ketika ide Politik Etis ditulis oleh Van Deventer dalam surat kabar berbahasa

Belanda dengan judul sangat mencengangkan “Een Ereschuld” (utang Kehormatan).
Maka, kondisi parlemen di negeri Belanda mengalami kegoncangan. Parlemen melihat
bahwa ada yang tidak beres dalam pengelolaan di negara jajahan. Banyak bukti bahwa
rakyat negara jajahan hanya diperas untuk kepentingan pembangunan negeri Belanda.
Sementara kondisi kesejahteraan di negara jajahan sangat terpuruk. Saat isu politik etis
semakin bergulir di Parlemen Belanda, bertepatan dengan pihak parlemen pro-sosialis
memenangi hak mayoritas suara dalam pemungutan kebijakan. Tentu saja, parlemen
akhirnya menghendaki adanya perbaikan kesejahteraan di negara jajahan. Terutama di
Hindia-Belanda, tempat kabar tersebut muncul untuk pertama kalinya.

6

Riklefs, Sejarah Modern Indonesia , 1992

Gubernur Jenderal Van Heutz akhirnya melaksanakan perintah parlemen dengan
merusmuskan perbaikan kesejahteraan meliputi tiga hal yaitu: imigrasi, edukasi dan
irigasi. Setelah van Heutz mengetuk kebijakan politik balas budi tersebut, dimulailah
pembangunan besar-besaran irigasi di pertanian rakyat. Serta digalakkan adanya
transmigrasi


bagi

penduduk

yang

kondisi

tanahnya

tidak

subur.

Mereka

ditransmigrasikan ke Sumatra, dan Kalimantan. Namun, ada sedikit masalah ketika
pemerintah kolonial berbicara mengenai masalah edukasi. Pokok permasalahan inilah
yang menyebabkan antara Van Deventer dan Van Heutz mengalami perbedaan
pendapat. Jika Van Deventer berpendapat bahwa edukasi berhak dinikmati oleh

penduduk dari golongan manapun. Sementara Van Heutz, karena pola pemikiran
kolonialnya masih berjalan. Ia hanya memberikan hak pendidikan dari hasil poltik etis
kepada kaum bangsawan dan raja. Maksud dari Van Heutz sudah sangat jelas, yakni
mempertahankan keloyalan kaum bangsawan terhadap kolonial. Dengan memberikan
balas jasa berupa porsi-porsi pendidikan.
Ketika zaman pergerakan dan kesadaran nasionalime mulai meningkat.
Muncullah organisasi pertama bentukan pribumi yaitu Budi Utomo. Ketika Budi Utomo
dideklarasikan pada tahun 1908, orientasi organisasi hanya sebatas pada tujuan sosial.
Yakni memberikan pengajaran atau pendidikan kepada kaum bangsawan serta beasiswa
pendidikan barat bagi kaum priyayi pribumi rendahan. Sama sekali belum berbicara
pada arti fundamental mengenai perubahan sistem pendidikan. Budi Utomo hanya
mengulang sistem pendidikan kolonial. Seperti yang dilakukan oleh sang pendirinya Dr.
Wahidin Sudirohusodo. Memberikan pendidikan barat bagi priyayi agar tidak terseret
dalam kemerosotan dan kebodohan.7
Perubahan mendasar mengenai sistem pendidikan di mulai oleh seorang
bangsawan Kraton Pakualaman, RM. Suwardi Suryaningrat. RM. Suwardi Suryaningrat
kemudian berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Dilahirkan pada tahun xxx di
Yogyakarta. Ki Hajar Dewantara mempelopori pondasi berdirinya sistem pendidikan
yang pro pribumi, berkarakter lokal serta sesuai dengan kepribadian bangsa.
Sebelumnya, Ki Hajar Dewantara sempat berkecipung dalam politik bersama Douwes

Dekker dan dr Cipto Mangunkusumo dengan mendirikan Indische Partij. Pergerakan
7

Ibid, hal 249

yang dibangun dalam Indische Partij tersebut adalah dengan mengusulkan kepada
pemerintah kolonial mengenai negara otoritas atau persemakmuran Hindia serta
penghapusan penyebutan inlander bagi penduduk pribumi.
Kontribusi besar Ki Hajar Dewantara terlihat lebih besar saat Indische Partij
dibubarkan. Saat organisasi politik tidak berpihak lagi kepadanya. Maka, pada 3 Juli
1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa. Dilandasi keprihatinan
akan sistem pendidikan yang tidak berpihak pada keberagaman kecerdasan peserta
didik. Ki Hajar Dewantara menginisiasi sistem pendidikan layaknya taman bermain,
taman yang bebas semua orang berkarya. Diapresiasi karya dan kreativitasnya. Berpihak
pada keanekaragaman kecerdasan dan karakter serta membumikan budaya lokal dalam
sistem pendidikan nasional
Pada tahun 1934, Perguruan Taman Siswa mengadakan konggres. Ki Hajar
Dewantara dalam konggres tersebut memberikan orasi panjang mengenai landasan baru
sistem pendidikan nasional. Reformasi bagi sistem pendidikan nasional kedepannya.
Berbasis karakter budaya serta mengedepankan ruang-ruang kreatifitas bagi peserta

didik berkarya. Diapresiasi hasil karya dan kecerdasan mereka yang berbeda. Pidato Ki
Hajar kemudian dijadikan landasan bagi pengembangan Perguruan Taman Siswa.
Dijadikan buku pegangan untuk membentuk generasi-generasi terdidik yang sesuai
dengan basis karakter budaya bangsa. 8 Selain memberikan landasan sistem pendidikan.
Beliau juga meletakkan formula motivasi bagi para pendidik kedepannya. Yaitu Ing
Ngarso sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, serta Tut Wuri Handayani. 9 Karena
beliau memahami betul bahwa keberhasilan seorang peserta didik selain ditentukan oleh
kemampuan dan kemampuan dirinya. Juga tidak lepas dari para guru dan pengajar yang
membangkitkan potensi besar para siswanya.
Sistem pendidikan nasional yang digagas Ki Hajar Dewantara bertumpu pada
konsep sistem among dan paguron yang berdasarkan hidup kekeluargaan untuk
mempersatukan pengajaran pengetahuan dan dengan pengajaran budi pekerti
(pendidikan karakter). Sistem pengajaran tersebut diambil dari sejarah kebudayaan
8

Het Niews Van Den Dag: Voor Nederlandsch Indie edisi 11 Desember 1934

Ing Narso sung Tuladha bermakna “yang didepan member contoh”, Ing Madya Mangun Karsa
bermakna ‘ yang ditengah memberikan motivasi dan Tut Wuri Handayani bermakna “yang dibelakang
memberikan dorongan”

9

bangsa yang dinamakan sistem asrama, kemudian pada zaman Islam disebut pondok
pesantren. Pandangan yang integralistik mengenai kebudayaan tersebut melihat proses
pengajaran dan sebagai suatu konsep yang utuh. Pendidikan sebagai konsep kebudayaan
bukan saja memajukan kecerdasan batin, juga untuk melancarkan kehidupan pada
umumnya.10

Sistem Pendidikan Indonesia Masa Kontemporer
Profesor Daniel Rosyid dalam bagian awal bukunya berjudul “Pendidikan
Nasional di Era Reformasi Mau kemana?” 11 membeberkan sistem pendidikan nasional
di era reformasi yang sudah melenceng jauh dari cita-cita pendidikan karakter. Ada 4
indikator utama hasil evaluasi yang mesti diperhatikan sebagai faktor kegagalan sistem
pendidikan nasional sekarang. Mulai dari disorientasi pada indikator ujian nasional
hingga ujian semester sekolah-sekolah. Peserta didik bukan lagi diarahkan orientasinya
untuk menuntut ilmu demi kepentingan masa depan. Kepentingan peningkatan kualitas
pribadi dan karakter dirinya. Namun, yang ada malahan proses standardisasi ujian dan
sertifikasi sama halnya dengan yang berlaku di sistem industri. Kedua, Resentralisasi
Pendidikan yang meliputi semakin banyaknya kewenangan Jakarta dibagikan ke daerahdaerah. Dalam artian berkaitan erat dengan kebijakan sistem kurikulum terbaru KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang mewajibkan daerah memegang otonomi
penuh atas pengaturan pendidikan di wilayahnya. Mulai dari akreditasi, kurikulum dan
standardiasi perlahan-lahan diawasi langsung oleh daerah. Sayangnya, regulasi dari
pusat menjadi mengendor dan menjadikan segala kebijakan pengawasan di daerah
semakin tidak karuan. Akreditasi terseok-seok begitu juga dengan wacana muluk-muluk
akan standardisasi rintisan sekolah bertaraf internasional. Yang terjadi malah justru
sebaliknya, sekolah-sekolah yang ingin distandardisasi malah pentaan manajemennya
amburadul tidak karuan, belum lagi dengan sistem penataan keuangannya.
Ketiga, Kehancuran profesi guru yang dipicu dengan kebijakan Ujian Nasional.
Kebijakan Ujian Nasional yang mengharuskan siswa wajib lulus, membuat beberapa
guru melakukan tindakan tidak terpuji demi mengejar sertifikasi sekolah dan akreditasi
10
11

H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia , 2002
Daniel Rosyid, Pendidikan Nasional di Era Reformasi, Mau dibawa kemana?, 2008

sekolah. Dengan pra-syarat ujian nasional lulus semua, maka peluang membesarnya
tindakan tersebut akan semakin menggerogoti integritas guru. Keempat, Reposisi Ujian
Nasional. Hingga kini pemerintah masih berketetapan sistem ujian nasional dan ujian
EBTANAS merupakan salah satu cara untuk untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Penutup
Sistem pendidikan nasional yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara pada medio
1934 rupanya sudah menghilang dalam sistem pendidikan nasional kita. Lihat saja,
sistem pendidikan nasional semakin garang dalam memberikan standar-standar
pendidikan yang formatnya mengejar mutu. Jika hasil akhir hanya dinilai dengan
standar mutu, maka kemudian perangkat-perangkat pengujinya dipersiapkan melalui
serangkaian kurikulum-kurikulum berbasis ujian. Pengingkaran atas konstitusi dengan
hanya memberikan kesempatan pendidikan pada golongan tertentu semakin jamak
ditemui. Begitu juga dengan sistem pendidikan nasional yang semakin berbasis pada
industri, mulai melupakan pondasi awal sistem pendidikan nasional yang digagas para
founding father dengan meletakkan kebudayaan sebagai basis pendidikan pembentukan

karakter sumber daya manusia Indonesia. Tampaknya, para pemegang kebijakan dunia
Pendidikan Indonesia perlu menelaah lagi gagasan Ki Hajar Dewantara dalam mengatur
sistem pendidikan nasioanl. Setidaknya mereka bisa membuat konsep pendidikan
dengan induk gagasan-gagasan kebudayaan nasional sebagai pembentukan karakter.
Bukan lagi sekedar mengejar industri dan materi belaka.

Daftar Pustaka
Brameld, Brameld. Cultural Foundations of Education. 1957
Het Niews Van Den Dag: Voor Nederlandsch Indie edisi 11 Desember 193

Riklefs, Sejarah Modern Indonesia , 1992
Rosyid, Daniel. Pendidikan Nasional di Era Reformasi, Mau dibawa kemana?.2008. Surabaya: Penerbit
SIC
Tilaar, H.A.R. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia . 2002. Bandung:
Rosdakarya.
Kompas, Jum’at 19 September 1980.