Fakta Disproporsionalitas dalam Sistem P

Fakta Disproporsionalitas dalam Sistem Pemilu Indonesia
Rendra Permana
ABSTRACT
Proportional electoral system as the practice of democracy in Indonesia appreared to show
disproportionality which is very worrying. Determination of the election that is not transparent
and the use of a quota calculation can cause harms against proportional system and
representativeness of the election.
Keywords: electoral system, democracy, district magnitude, disproportionality
representativeness.
Pendahuluan
Praktek demokrasi perwakilan (representative democracy) mensyaratkan adanya
pemilihan umum (pemilu) guna memilih personal yang menjadi wakil (representator) untuk
duduk di parlemen. Oleh karenanya pemilu merupakan instrument kritis bagi demokrasi.
Sebagimana dirgumentasikan Hanna F. Pitkin bahwa perhatian kita pada pemilu dan mesin
pemilihan, terutama apakah pemilu itu bebas dan asli (genuine) disebabkan dari keyakinan kita
bahwa mesin tersebut diperlukan guna memastikan responsitas yang efektif 1. Lebih dari itu,
pemilu itu berfungsi bukan untuk membuat sebuah demokrasi menjadi lebih demokratis, tapi
untuk membuatnya mungkin2. Dalam konteks inilah prinsip jujur (free) dan adil (fair) sebuah
pemilu penting dan fundamental bagi banguan demokrasi. Sampai sejauh mana sebuah pemilu
itu jujur dan adil adalah hal signifikan bagi evaluasi kemajuan yang dihasilkan demokratisasi.
Karena hasil pemilu legislatif (pileg) di Indonesia telah diumumkan 9 Mei 2009, maka

sudah layak dan etis momentumnya untuk melakukan evaluasi terkait pelaksanaan pemilu 2009.
Mencermati fakta yang berkembang dan muncul ke permukaan, tak bisa dipungkiri lagi dalam
pelaksaan pileg kali ini terdapat sekian banyak catatan pelanggaran atas dua prinsip pemilu di
atas. Jika jujur dan adil diartikan sebagai “akses universal dan sama pada proses pemilihan dan
surat suara secara rahasia dan bebas yang mensyaratkan ketiadaan kecurangan dan intimidasi”,
maka akan tampak jelas temuan apa saja yang melanggar prisip jujur dan adil.

1 Hanna F Pitkin, The Concept of Representation, London: University of California Press, 1967
2 Giovanni Santori, Democratic Theory, (New York: Praeger, 1965)

Dari sekian temuan pelanggaran prinsip pemilu, masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT),
tampak memiliki ranking pertama. Kekacauan Daftar Pemilih Tetap (DPT), membuat banyak
pihak merasa sangat terusik. Terutama dari kalangan partai politik, tak terhitung reaksi yang
muncul

baik berupa kecaman atau ancaman. Kalangan media pun gencar mengulas dan

menginformasikan kepada publik. Hanya saja arti atas jujur dan adil di atas sebenarnya belum
selesai dideskripsikan. Masih terusnya, yakni “suara yang diberikan ditranslasikan secara adil
pada kursi-kursi legislatif dengan cara transparan dan sesuai dengan hukum”. Ironisnya untuk

yang terakhir ini terasa ada “mantera” kuat yang menyihir kebanyakan di antara kita. Apakah
kita yakin semua suara yang diberikan ditranslasikan secara adil pada kursi-kursi legislatif
dengan cara transparan dan sesuai hukum? Apakah suara yang diberikan dengan segala
pengorbanan dan keyakinan di bilik suara lantas diproses secara fair hingga jelas terwakili atau
tidaknya pada kursi legislatif?
Soal Proporsional dan Keterwakilan
Pertanyaan di atas menyiratkan sebuah keharusan untuk mengkaji hal-hal terkait soal
sistem pemilu. Sistem pemilu secara umum dapat dibagi menjadi 2 (dua) tipe utama didasarkan
bagaiman sistem itu mengkonversi suara terhadap kursi. Pertama adalah sistem mayoritas
(majoratian system), yang lebih dikenal di Indonesia dengan sebuatn sistem distrik. Sistem
mayoritas ini didesain untuk menghasilkan baik pluralitas (satu atau lebih suara pemilih
dibanding suara kontestan lain) atau mayoritas absolut di mana pemenang perlu mendapat
kemenangan 50 persen plus satu dari semua sura pemilih. Dengan kata lain yang berhak
mendapat kursi adalah mereka yang memmperoleh sura pemilih terbanyak (the winner takes all).
Sistem mayoritas ini memungkinkan satu partai menguasai kursi mayoritas di parlemen dan
kemudian dapat membentuk pemerintahan yang kuat dan stabil. Kedua, sistem proporsional.
Sistem ini berupaya untuk memberikan “ekspresi legislatif” pada perbedaan suara mayoritas dan
minoritas. Tujuannya adalah untuk mereflesikan semua sudut pandang politik masyarakat.
Presentase kursi yang diraih mencerminkan presentasi suara pemilih. Sistem ini membuat
kemungkinan satu partai menjadi mayoritas jadi lebih kecil, dan biasanya diasosiasikan dengan

sistem multi partai dan keharusan untuk membangun koalisi pemerintahan.
Sistem pemilu di Indonesia menjalankan prinsip proporsionalitas. Tidak lain itu berarti
harus ada perimbangan secara wajar antara suara yang diberikan dengan kursi legislatif atau
antara penduduk dan jumlah yang mewakilinya. Rasio ideal sistem proposional adalah 1:1.

Namun, problematika skala besar penduduk dan luas wilayah, efisiensi dan efektivitas fungsi
perwakilan serta anggaran membuat rasio ideal menjadi tidak mungkin. Oleh karenanya
diupayakan agar sistem proporsional tetap memiliki derajat proporsionalitas yang tinggi dan
reliable. Pukelsheim menegaskan prinsip proporsional ini tidak sekedar “one man one vote” yang
berati adil, tapi juga “one man one food” yang berarti sama3.
Derajat proporsionalitas sebuah sistem proporsional ditentukan dari dua hal. Pertama,
besar daerah pemilihan (district magnitude). Penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi
legislatif pada daerah pemilihan adalah elemen penting di sini. Daerah pemilihan sebenarnya hal
yang sangat sensitif. Karena ia berpengaruh pada satu sistem pemilu, hubungan antara suara
dengan kursi, keseimbangan wajar alokasi kursi untuk satu daerah pemilihan bila dihubungkan
dengan jumlah penduduk, dan peluang partai untuk meraih kursi. Saking sensitifnya daerah
pemilihan, di beberapa negara bahkan dibuat komisi khusus. Seperti di Jerman dengan
“Waehlerkommision” dan di Inggris dengan “Boundary Commision ”. Ini dikarenakan secara
politis, daerah pemilihan adalah hal yang kerap dipersoalkan. Bahwa daerah pemilihan bisa
disilumankan, dapat dilihat dari jurus ”gerry-mandering” yakni satu cara membagi daerah

pemilihan sedemikian rupa, agar kandidat jagoan memperoleh peluang untuk terpilih4.
Kedua, cara menghitung suara hingga menjadi kunci legislatif. Cara perhitungan kursi
legislatif berpengaruh pada perolehan jumlah kursi parpol, keseimbangan wajar antara jumlah
kursi yang didapat dengan jumlah suara pemilih diraih, dan juga peluang partai mendapatkan
kursi. Cara perhitungan suara terbagi dalam dua kelompok5:
a. Cara Kuota, atau cara perhitunganberdasarkan suara sisa ternayak (lagerst remainders).
Bilangan Pembagi (BP) cara kuota tidak tetap, tergantung pada jumlah penduduk atau
pemilih atau perolehan suara.
b. Cara Divisor, atau cara perhitungan berdasarkan rata-rata angka tertinggi (highest
average). Bilangan Pembagi (BP) cara divisor tetap, tidak tergnatung pada jumlah
penduduk /pemilih /perolehan suara.

3Pukelsheim, dalam Pipit R. Kartawidjadaja, Alokasi Kursi: Kadar Perwakilan Penduduk dan Pemilih Elsam:
Jakarta, 2003

4Pipit R. Kartawidjadaja, Alokasi Kursi: Kadar Perwakilan Penduduk dan Pemilih Elsam: Jakarta, 2003
5 Muhammad Asfar, Model-model Sistem Pemilihan di Indonesia, PuSDEHAM: Surabaya, 2002

Cara perhitungan di atas bersifat “lintas batas” yakni dapat digunakan baik dalam sistem
pemilu pemilu proporsional ataupun mayoritas.

Fakta Disproporsionalitas di Indonesia
Terhitung sejak pemilu 1999 hingga 209 kemarin, sisitem pemilu di Indonesia
mengadopsi hal-hal yang diuraikan di atas. Kesemuanya dituangkan dalam produk perundangundangan (terakhir dengan UU 10 Tahun 2008 tentang Pemilu) dan aturan teknis Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Namun demikian sejak pemilu legislatif 2004 dan berulang pada
pemilu legislatif 2009, terjadi pelanggaran serius terhadap asas jujur dan adil terutama dilihat
dari sudut pandang proporsionalitas dan keterwakilan. Tegasnya, sistem pemilu kita sudah
melenceng jauh dari asas proporsionalitas cukup tinggi dalam hal penentuan besar daerah
pemilihan dan cara penghitungan suara.
Fakta disproporsionalitas dapat ditelusuri sebagai berikut. Pertama, pada pileg 2009,
terjadi perubahan daerah pemilihan (redistricting). Hal ini dikarenakan perubahan alokasi kursi
DPR RI per dapil yang semula 3-12 kursi menjadi 3-10 kursi. Total jumlah kursi DPR yang
diperebutakan naik 10 kursi dari semula 550 menjadi 560 kursi. Propinsi Jawa Barat kebagian
jatah 91 kursi, atau naik satu kursi dari pemilu 2004. Ada keanehan tersendiri dalam perubahan
daerah pemilihan (redistricting) di propinsi Jabar. Dapil 4 (Kota Bogor dan Kabupaten Bogor)
yang di pemilu 2004 berkuris 11 diubah. Kabupaten Bogor ditetapkan tersendiri menajdi dapil
Jabar 5 dengan alokasi 9 kursi. Sementara Kota Bogor digabung ke Kabupaten Cianjur menjadi
dapil Jabar 3 dengan alokasi 9 kursi. Entah apa yang melatarbelakanginya. Yang jelas Kota
Bogor dan Kabupaten Cianjur itu secara geografis letaknya tidak berhimpitan, karena Kota
Bogor letaknya justru ada di tengah Kabupaten Bogor. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam
tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1
Perbandingan Dapil dan Alokasi Kursi Pemilu 2004 dengan Pemilu 2009 Propinsi Jawa Barat
NAMA KOTA/KAB
Kota Bandung,
Kota Cimahi
Kabupaten Bandung
Kab. Sukabumi,
Kota Sukabumi,
Kab. Cianjur

2004
DAPIL KURSI
1
6
2

10

3


11

NAMA KOTA/KAB
Kota Bandung,
Kota Cimahi
Kabupaten Bandung,
Bandung Barat
Kab. Cianjur,
Kota Bogor

2009
DAPIL KURSI
1
7
2

10

3


9

Kota Bogor,
Kab. Bogor
Kota Depok,
Kab. Bekasi,
Kota Bekasi
Kab. Karawang,
Kab. Purwakrata

4

11

5

12

6


6

Kab. Indaramayu,
Kab. Cirebon,
Kota Cirebon
Kab. Subang,
Kab. Sumedang,
Kab. Majalengka
Kab. Kuningan,
Kab.Ciamis,
Kota Banjar
Kab. Garut,
Kab. Tasikmalaya,
Kota Tasikmalaya

7

9

8


8

9

7

10

10

Kab. Sukabumi,
Kota Sukabumi
Kab. Bogor,
Kota Bekasi,
Kota Depok
Kab. Purwakrta,
Kab. Karawang,
Kab. Bekasi
Kab. Indaramayu,

Kab. Cirebon,
Kota Cirebon.
Kab. Subang,
Kab. Sumedang,
Kab. Majalengka
Kab. Kuningan,
Kab.Ciamis, Kota Banjar

4

6

5

9

6

6

7

10

8

9

9

8

Kab. Garut,
Kab. Tasikmalaya,
Kota Tasikmalaya

10

7

Penetapan alokasi sebanyak 9 kursi pun sangat ajaib, mengingat penduduk Kota Bogor
ditambah Kabupaten Cianjur per 2008 adalah 3.015.155 jiwa (data Suseda 2007: BPS).
Bnadingkan dengan dapil 6 Jabar (Kota Bekasi dan Kota Depok) yang penduduknya lebih
banyak, yakni 3.497.603 jiwa (data Suseda 2007: BPS) yang hanya dialokasikan sebanyak 6
kursi saja. Dari sudut kepadatan penduduk, dapil Jabar 3 (Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur)
rata-rata 4.334,26 /km2, sedang dapil 6 Jabar (Kota Bekasi dan Kota Depok) rata-rata 8.302,79
/km2.
Data dalam Tabel 1 di atas dapat ditelaah lebih lanjut guna mengetahui apakah prinsip
proporsionalitas digunakan dalam penentuan daerah pemilihan dan pengalokasian kursi
legislatifnya. Untuk itu sebuah konsep yang dinamakan “Kadar Keberhasilan” atau faire shared
dilansir oleh Friederich Pukelshiem, guru besar Matematika di Universitas Augsburg Jerman.
Kadar keberhasilan adalah perbandingan jumlah penduduk dan jumlah kursi yang tersedia.
“Kadar Keberhasilan” tadi dapat difomulasikan ke dalam dalil matematika dengan rumus6:
(ni / N) : (ai / A) = 1

6 Pukelsheim, op cit

Dimana:
ai

: Jumlah penduduk suatu daerah atau jumlah perolehan suara satu parpol. Daerah-daerah
pemilihan atau parpol yang berlaga di arena pemilu diurutkan I = 1, 2, dst.

A

: Total jumlah penduduk /total perolehan suara parpol.

ni

: Jumalah kursi satu daerah atau parpol.

N

: Total jumlah kursi.
Tabel 2
Kadar Keberhasilan (Fair Shared) Pemilu 2009 Propinsi Jawa Barat
NAMA
KOTA/KAB

Kota Bandung,
Kota Cimahi
Kab. Bandung,
Bandung Barat
Kab. Cianjur,
Kota Bogor
Kab. Sukabumi,
Kota Sukabumi
Kab. Bogor
Kota Bekasi,
Kota Depok
Kab. Purwakarta,
Kab. Karawang,
Kab. Bekasi
Kab.
Indaramayu,
Kab. Cirebon,
Kota Cirebon
Kab. Subang,
Kab. Sumedang,
Kab. Majalengka
Kab. Ciamis,
Kab. Kuningan,
Kota Banjar
Kab. Garut,
Kab.Tasikmalaya
Kota
Tasikmalaya
*)

JUMLAH
PENDUDUK*

2009
DAPIL KURSI

(ni / N)

(ai / A)

(ni / N)
(ai / A)

Presentase
Selisih
Terhadap
Angka 1

2.883.297

1

7

0,07692

0,06950

1,107

11%

4.531.263

2

10

0,10989

0,10923

1,006

1%

3.015.155

3

9

0,09890

0,07268

1,361

36%

2.558.947

4

6

0,06593

0,06169

1,069

7%

4.316.236

5

9

0,09890

0,10405

0,951

-5%

3.497.603

6

6

0,06593

0,08431

0,782

-22%

4.903.636

7

10

0,10989

0,11821

0,930

-7%

4.248.466

8

9

0,09890

0,10241

0,966

-3%

3.775.792

9

8

0,08791

0,09102

0,966

-3%

2.907.597

10

7

0,07692

0,07009

1,097

10%

4.845.737

11

10

0,10989

0,11681

0,941

-6%

Total
41.483.729
91
Berdasarkan Suseda 2007, Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat

Formulasi matematik di atas menyiratkan bahwa perbandingan jumlah penduduk
terhadap total jumlah penduduk (ai / A) dengan perbandingan jumlah kursi terhadap total jumlah kursi
dikatakan “unbiased” jika hasilnya sama dengan 1 (satu).
Hasil perhitungan menunjukan dapil Jabar 3 (Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur) menunjukan
jumlah selisih presentase terhadap angka 1 (satu) sebesar 36%. Ini menunjukan alokasi kursi di dapil
Jabar 3 sangat berlebihan. Sedang dapil Jabar 6 (Kota Bekasi dan Kota Depok) menunjukan besaran
minus 22% yang bearrti aloksai kursinya sangat kekurangan. Singkat kata, penentuan daerah pemilihan
dan alokasi kursi DPR RI di Jawa Barat mengandung bias yang sangat tinggi.
Kedua, masih digunakannya cara perhitungan kouta. Ciri khas perhitungan ini adalah terletak
pada suara sisa terbesar (the largest remainders) . problema yang terkait cara perhitungan kouta adalah
bahwa perhitungan ini memiliki bias yang tinggi. Di Amerika Serikat cara perhitungan model ini sudah
lama ditinggalkan karena menyipan sejumlah paradox yakni “Alabama Paradox”, “New State
Paradox”,”Population Paradox”.
Sebuah hipotesa yang sangat terkenal terkait cara perhitungan kuota dilansir oleh Michael L.
Balinski dan H Peyton Young. Menurut mereka “setiap cara perhitungan suara yang tidak melanggar cara
kuota, haruslah menciptakan padadoks. Dan sebaliknya, setiap cara perhitungan suara yang tidak
menciptakan paradoks, haruslah melanggar dalil kuota”. 7
Aturan pemilu Indonesia seperti dapat dilihat dalam Undang-undang Pemilu 10/2008 Bab XIII
Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih, mengindikasikan pengunaan cara perhitungan kuota.
Untuk membuktikan perhitungan kuota memiliki bias tinggi, bisa kita lihat data perhitungan hasil pemilu
2004 untuk kursi DPRD Propinsi Jawa Barat pada Tabel 3.

Tabel 3
Perhitungan Hasil Pemilu 2004 Untuk Kursi DPRD Propinsi Jabar
%
%
HASIL
KURSI
SUARA KURSI
SUARA
PBB
612.735
1
2,96%
1,00%
PPP
2.186.373
13
10,56%
13,00%
DEMOKRAT
1.610.093
9
7,77%
9,00%
GOLKAR
5.787.935
28
27,95%
28,00%
PDI-P
3.640.703
19
17,58%
19,00%
PKB
1.080.554
7
5,22%
7,00%
PAN
1.064.257
7
5,14%
7,00%
PKS
2.407.975
14
11,63%
14,00%
PKPB
431.842
1
2,09%
1,00%
PDS
242.466
1
1,17%
1,00%
PEMILIH
20.711.617 100
Tidak semua data hasil parpol peserta pemilu 2004 ditampilkan
PARTAI

(ni / N)

(ai / A)

0,01
0,13
0,09
0,28
0,19
0,07
0,07
0,14
0,01
0,01

0,03
0,11
0,08
0,28
0,18
0,05
0,05
0,12
0,02
0,01

7 Balinski, Michael L and H.Peyton Young, Fair Representation, Washington DC, 2001

Kadar
Keberhasilan
(ni / N):(ai / A)
0,34
1,23
1,16
1,00
1,08
1,34
1,36
1,20
0,48
0,85

Selisih
Terhadap
1
-0,66
0,23
0,16
0,00
0,08
0,34
0,36
0,20
-0,52
-0,15

Sumber data: KPUD Provinsi Jawa Barat

Data pada tabel 3 menunjukan partai-partai yang diuntungkan dan dirugikan. Hanya 1
(satu) partai saja yang menunjukan proporsi ideal yakni Partai Golkar. Disproporsionalitas
tertinggi oleh Partai Bulan Bintang (PBB). Dengan meraih 2,96% suara pemilih, PBB dihitung
hanya meraih 1% kursi. Hal yang sama dialami oleh PKPB yang meraih 2,09% suara pemilih,
tapi hanya terwakili 1%. Sedangkan PAN, PKB, PPP, PKS tampak diuntungkan.
Solusi Disproporsionalitas
Pemilu hakekatnya adalah untuk memilih wakil (representatif) yang akan duduk di
lembaga legislative. Disamping itu pemilu juga ajang kontestasi atau perlombaan politik. Dalam
perlombaan pasti ada yang menang ataupun kalah. Artinya pilihan yang dilakukan rakyat akan
menghasilkan seorang wakil yang duduk di lembaga legislatif. Ini konsekuensi dianutnya
demokrasi perwakilan. Namun, selama hal tadi dilaksanakan secara jujur (free) dan adil (fair)
tentu tidak akan ada masalah.
Oleh karenanya agar keterwakilan dan proporsionalitas terjaga, harus dilakukan upayaupaya serius agar besar dapil dan cara perhitungan ditentukan secara transparan. Kesatu, DPR
yang notabene kontestan pemilu harus handsoff dari penentuan dapil dan alokasi kursi. Tidak
perlu membentuk komisi wilayah seperti ada di beberapa negara. Cukup diserahkan saja pada
KPU, dengan catatan KPU membuka gambling prosesnya pada pihak-pihak berkepentingan.
Kedua, tinggalkan cara perhitungan suara sistem kuota. Karena ada cara lain yang lebih netral
yakni cara perhitungan suara system divisor. Ketiga, pelibatan ahli matematika dan statistik pada
KPU harus dipertimbangkan dengan serius. Ini disebabkan proses translasi suara pemilih
membutuhkan berbagai teknis matematik dan statistik yang memadai agar asas keterwakilan dan
proporsionalitas sistem pemilu tetap terjaga.

Daftar Pustaka
Asfar, Muhammad. Model-model Sistem Pemilihan di Indonesia, PuSDEHAM: Surabaya,
2002.
Balinski, Michael L and H.Peyton Young, Fair Representation, Washington DC, 2001.

Kartawidjadja, Pipit R. Alokasi Kursi: Kadar Keterwakilan Penduduk dan Pemilih, Elsam:
Jakarta, 2003.
Pikin, Hanna F. The Concept of Representation, London, University of California Press: 1967.
Sartori, Giovanni. Democratic Theory, New York, Praeger, 1965.