Komunikasi antar budaya ( 3 )
Untuk apa kita mempelajari Komunikasi Antar Budaya?
Samovar dan Porter (2003) mengatakan bahwa usia komunikasi antar budaya nyaris setua usia
kemanusiaan itu sendiri. Agama yang sekarang kita anut, apakah itu Islam, Katolik, Kristen,
Hindu, atau Buddha pada dasarnya adalah hasil dari Komunikasi Antar Budaya dari para
penyebarnya di masa lalu. Agama Buddha pernah tersebar dari India, Yunani, Afghanistan,
kawasan Asia Timur hingga sampai ke Indonesia. Islam pun, di masa jayanya pernah merambah
Afrika, Eropa, hingga kawasan Rusia. Tidak banyak yang tahu, bahwa jauh sebelum Islam
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, konon agama Yahudi sudah masuk ke Indonesia melalui
pedagang rempah dari Iran. Artinya, manusia senantiasa berkomunikasi dengan manusia lain
untuk memenuhi tujuannya. Apakah untuk berdagang, untuk menjajah, untuk menguasai, atau
untuk menyebarkan agama. Apapun itu. Di sinilah pertukaran budaya terjadi, melalui
komunikasi.
Hubungan Kebudayaan dan Komunikasi
Manusia adalah mahluk sosial budaya yang memperoleh perilakunya melalui belajar. Dari semua
aspek belajar manusia, komunikasi merupakan aspek terpenting dan paling mendasar. Proses
yang dilalui individu – individu untuk memperoleh aturan – aturan (budaya) komunikasi dimulai
pada masa awal kehidupan. Melalui proses sosialisasi dan pendidikan. Pola-pola budaya
ditanamkan kedalam system saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku kita
(Gudykust,Opcit:137). Berbagai macam definisi mengenai kebudayaan telah diungkapkan para
ahli lainnya, salah satunya Clyde Kluckhon mendefinisikan kebudayaan sebagai “ keseluruhan
cara hidup suatu bangsa, warisan sosial, yang di dapat individu dari kelompoknya
(Koentjaraningrat,2000:130). Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti
budaya adalah komunikasi, karena budaya sering muncul melalui komunikasi. Akan tetapi pada
gilirannya budaya yang tercipta pun mempengaruhi cara berkomunikasi anggota budaya yang
bersangkutan. Hubungan antar budaya
dan komunikasi adalahh timbal balik.Budaya takkan eksis tanpa komunikasi dan komunikasi
takkan eksis tanpa budaya.Godwin C. Chu mengatakan bahwa setiap pola budaya dan setiap
tindakan melibatkan komunikasi. Untuk dapat dipahami , keduanya harus dipelajari bersama –
sama. Budaya takkan dapat dipahami tanpa mempelajari komunikasi, dan komunikasi hanya
dapat dipahami dengan memahami budaya yang mendukungnya (Deddy Mulyana,Opcit:14)
1. Kasus Ahmadiyah Merupakan Satu Fenomena Komunikasi Antar-Budaya
Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama dalam Intercultural Communication in Context
menyatakan bahwa identitas religius dapat menjadi satu dimensi penting dari identitas banyak
orang, juga menjadi lahan penting konflik antarbudaya. Identitas religius pun kerap tumpang
tindih dengan identitas rasial atau etnis. Keadaan itu membuat kita makin sulit untuk melihat
identitas religius sebagai bagian dari agama tertentu saja.
Perbedaan agama kerap menjadi akar konflik, misalnya di Timur Tengah, Irlandia Utara, India,
Pakistan, hingga Bosnia-Herzegovina. Kini pun, misalnya, hal serupa terjadi di mana segelintir
orang Arab-Amerika hidup di bawah kecurigaan, bahkan penghambatan, masyarakat di
sekelilingnya sejalan dengan upaya pemerintah AS untuk menekan terorisme.
Dalam kasus Ahmadiyah, yang terjadi memang bukan konflik antaragama seperti yang terjadi di
Poso atau Ambon, tapi tetap merupakan kasus konflik antar-identitas religius karena Ahmadiyah
memiliki identitas religius yang berbeda dengan identitas religius Muslim arus utama di
Indonesia. Perbedaan itu didasarkan pada adanya pandangan yang cukup fundamental dalam
keyakinan Ahmadiyah yang dianggap sangat berbeda dibandingkan Islam arus utama. Menurut
sudut pandang umumnya umat Islam, ajaran Ahmadiyah (Qadian) dianggap melenceng dari
ajaran Islam sebenarnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi yaitu Isa Al
Masih dan Imam Mahdi, hal yang bertentangan dengan pandangan umumnya kaum muslim yang
mempercayai Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, walaupun masih menunggu kedatangan Isa
as dan Imam Mahdi (http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah).[*]
Dalam satu negara di mana kebebasan beragama dijamin, konflik tetap muncul ketika keyakinan
religius sekelompok orang membuat tidak nyaman orang-orang yang tidak memiliki keyakinan
yang sama. Perbedaan fundamental yang menyangkut soal posisi Muhammad sebagai nabi
terakhir itulah yang membuat umat Islam arus utama merasa bahwa identitas religius mereka
berbeda dengan Ahmadiyah, bahkan mereka meminta Ahmadiyah tidak menyatakan diri sebagai
Islam.* Perasaan bahwa ada ketidaksamaan identitas itu selanjutnya merasa terganggu jika
Ahmadiyah tetap menyatakan diri sebagai Islam. Jika umat Islam secara keseluruhan merupakan
satu kelompok budaya, maka Ahmadiyah dianggap tidak memiliki shared and learned patterns of
belief and perception* yang sama dengan kelompok Islam arus utama. Jadi jelas masalah utama
dalam kasus Ahmadiyah ini adalah identitas religius.
Ada hubungan yang erat antara identitas, stereotipe, dan prasangka. Untuk memahami begitu
banyaknya informasi yang diterima, kita biasanya melakukan kategorisasi dan generalisasi,
kadang mengandalkan stereotipe—satu kepercayaan yang dipercaya secara luas tentang satu
kelompok tertentu. Stereotipe ini membantu kita untuk mengetahui apa yang kita harapkan dari
orang lain, bisa positif, bisa pula negatif. Meski begitu, stereotipe positif pun bisa berdampak
negatif karena memunculkan harapan-harapan yang tidak realistis dari individu.
Dalam kasus Ahmadiyah ini, stereotipe kelompok agama yang menyimpang melekat erat pada
diri Ahmadiyah dan pada pikiran sebagian besar anggota umat Islam lain. Karena ada
pengalaman di masa lalu bahwa kelompok Islam yang menyimpang kerap melahirkan masalah,
seperti Negara Islam Indonesia misalnya, maka ekspektasi yang muncul dalam kepala umat
Islam arus utama pun tentang Ahmadiyah didasarkan pada pengalaman tersebut *.
Stereotipe menjadi sangat destruktif ketika sifatnya negatif dan sangat diyakini. Penelitian
membuktikan bahwa jika sudah dipercayai, stereotipe akan sangat sulit dihilangkan. Bahkan
orang cenderung mengingat informasi yang mendukung stereotipe tersebut, tapi melupakan
informasi yang menentangnya. Begitu juga dengan kasus Ahmadiyah. Imbauan dan pembelaan
dari tokoh-toko Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Gus Dur * tetap tidak dapat memupus stereotipe
yang ada dalam benak umat Islam main stream tentang Ahmadiyah. Stempel ajaran sesat yang
mesti dibasmi tetap melekat.
Kita mendapatkan stereotipe melalui berbagai cara, termasuk dari media: berita, film, dsb. Kita
juga dapat mengetahui stereotipe dari keluarga atau teman. Selain itu, pengalaman negatif pun
dapat memunculkan stereotipe. Saat mengalami interaksi yang tidak menyenangkan dengan
orang lain, kita akan menyimpulkan bahwa keadaan tak menyenangkan itu berasal dari seluruh
kelompok tersebut, apa pun karakteristik yang kita perhatikan dari kelompok itu.
Selanjutnya ada prasangka atau prejudice, yaitu sikap negatif terhadap satu kelompok budaya
tertentu berdasarkan sedikit pengalaman atau bahkan tanpa pengalaman sama sekali. Newberg
menyatakan bahwa jika stereotipe menyatakan pada kita seperti apa sebuah kelompok, prasangka
menyatakan bagaimana perasaan yang mungkin kita miliki terhadap kelompok tersebut. Menurut
Hecht, prasangka dapat muncul dari kebutuhan pribadi untuk memiliki perasaan positif tentang
kelompok kita sendiri dan perasaan negatif tentang kelompok lain, atau dapat muncul dari
ancaman, baik yang nyata maupun yang bersifat dugaan. Dalam kasus Ahmadiyah, kebutuhan
umat Islam arus utama akan perasaan bahwa agama yang mereka anut tidak ternodai dapat
dianggap sebagai pemicu sikap anti-Ahmadiyah, yang merupakan prasangka terhadap kelompok
tersebut. Umat Islam mayoritas, termasuk Majelis Ulama Indonesia dan Menteri Agama RI,
merasa bahwa Ahmadiyah merupakan ancaman bagi ajaran Islam dan umat Islam secara umum.
*
Walter Stephan dan Cookie Stephan menyatakan bahwa ketegangan antara kelompok-kelompok
budaya, dibarengi ketidaksetaraan status dan dugaan ancaman, dapat memunculkan prasangka.
Mengapa orang berprasangka? Richard Brislin menyatakan bahwa saat stereotipe muncul dari
fungsi kognitif normal, prasangka menjalani fungsi-fungsi yang dapat kita pahami. Fungsi-fungsi
ini tidak bisa dijadikan sebagai pembenaran prasangka memang, namun hal itu membantu kita
memahami bagaimana prasangka bisa begitu tersebar.
Ada empat fungsi yang dimaksud di atas. Yang pertama adalah fungsi utilitarian. Orang punya
prasangka karena prasangka tersebut bisa mendatangkan imbalan tertentu. Penerimaan kelompok
dapat menjadi salah satu bentuk imbalan yang dimaksud. Yang kedua adalah fungsi egodefensive. Orang memiliki prasangka karena mereka tidak mau meyakini ada hal-hal yang tidak
menyenangkan pada diri mereka. Fungsi ketiga adalah fungsi value-expressive. Orang
berprasangka karena prasangka tersebut memperkuat aspek-aspek kehidupan yang mereka
junjung tinggi. Yang terakhir ialah fungsi pengetahuan. Orang memiliki prasangka karena sikap
itu memungkinkan mereka untuk menyusun dunia mereka menjadi satu bentuk yang dapat
mereka pahami—sama seperti stereotipe membantu kita menyusun dunia kita.
Berkenaan dengan Ahmadiyah, dapat dilihat bagaimana keempat fungsi tersebut mendasari
prasangka yang muncul; dari umat Islam mayoritas terhadap Ahmadiyah. Banyak orang Islam
ikut mengutuk Ahmadiyah walaupun tidak tahu apa kesalahan kelompok itu karena akan ada
reward dari kelompoknya bahwa ia memang sama dengan anggota lain dalam kelompoknya.
Fungsi ego-defensive mungkin tidak tampak dari kasus ini secara makro, namun dapat dilihat
dari fragmen-fragmen pergesekan antara umat Islam mayoritas dengan Ahmadiyah, misalnya
yang terjadi di Cianjur, NTB, atau Cirebon. Dalam tiap aksi penyerangan, kelompok Islam
mayoritas kerap meneriakkan takbir. Fenomena itu dapat dilihat sebagai salah satu wujud fungsi
ego-defensive sekaligus value-expressive (bersama dengan keinginan untuk menjaga kemurnian
agama Islam). Selanjutnya, konflik dengan Ahmadiyah dapat dilihat sebagai upaya umat Islam
mayoritas untuk membuat peta dalam kepala mereka tentang posisi Islam, yaitu berada di antara
ancaman “kelompok sesat” dan agama lain, seperti Kristen*.
Lalu, perilaku apa yang muncul sebagai konsekuensi stereotipe dan prasangka? Diskriminasi.
Diskriminasi dapat muncul berdasarkan berbagai jenis identitas: ras, etnis, agama, dll. Bentuk
diskriminasi bervariasi, mulai dari perilaku nonverbal yang halus--seperti jarangnya ada kontak
mata atau peminggiran dari percakapan--, penghinaan verbal dan penyisihan dari pekerjaan dan
kesempatan-kesempatan ekonomis, hingga kekerasan fisik dan penyisihan yang dilakukan secara
sistematis. Maluso menyatakan bahwa diskriminasi dapat dilakukan secara interpersonal,
kolektif, atau institusional. Saat ini, diskriminasi kolektif dan institusional secara konsisten kerap
terjadi. Para individu secara sistematis dipinggirkan dari partisipasi setara dalam masyarakat atau
akses yang sama untuk mendapatkan hak-hak formal dan informal.
Karena adanya semua stereotipe dan prasangka tentang Ahmadiyah, berbagai jenis diskriminasi
pun muncul, baik yang interpersonal, kolektif, maupun institusional. Itu bisa dilihat dari berbagai
penyerangan fisik dan kekerasan yang terjadi di berbagai daerah, seperti Cianjur, NTB, dan
Cirebon, misalnya, hingga pernyataan Menteri Agama RI tentang Ahmadiyah, yang menyatakan
bahwa kelompok itu tak boleh mengaku sebagai Islam* , hingga fatwa yang dikeluarkan MUI*
dan pernyataan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono *.
Dari berbagai uraian di atas, terlihat jelas bahwa kasus Ahmadiyah ini merupakan fenomena
komunikasi antarbudaya. Unsur identitas religius menjadi dasar munculnya konflik. Stereotipe
dan prasangka muncul dalam pikiran umat Islam main stream terhadap Ahmadiyah, yang
selanjutnya memunculkan diskriminasi terhadap kelompok ini. Bahkan diskriminasi yang
muncul telah mencapai bentuk diskriminasi institusional.
2. Pentingnya Komunikasi Lintas Budaya dalam dunia Bisnis Disney in
France Disney sebagai perusahaan yang mengembangkan konsep taman hiburan dalam
bisnisnya telah berhasil meraih keuntungan di Amerika Serikat dan Jepang. Langkah selanjutnya
yang dilakukan Disney adalah mencoba memasuki pasar Eropa, dalam hal ini Paris sebagai
target utamanya. Mengapa Paris yang dijadikan kota yang akan dibangun taman hiburan
berikutnya? Mengapa tidak memilih kota yang lain? Disney berargumen bahwa Paris dipilih
karena beberapa alasan, pertama sekitar 17 juta orang eropa tinggal kurang dari dua jam
perjalanan menuju Paris, dan sekitar 310 juta dapat terbang ke Paris pada waktu yang sama.
Kedua, besarnya perhatian pemerintah kota paris yang menawarkan lebih dari satu milyar dollar
dalam berbagai insentif, dan ekspektasi bahwa proyek ini akan menciptakan 30000 lapangan
pekerjaan. Namun apa yang terjadi? Dalam pelaksanaanya Disney mengahadapi beberapa
masalah antara lain berupa boikot acara pembukaan oleh menteri kebudayaan Perancis, dan
kegagalan Disney untuk memperoleh target pengunjung yang datang dan pendapatan yang
diharapakan. Mengapa bisa? Hal ini disebabkan karena Disney kesalahan asumsi terhadap selera
dan pilihan dari konsumen di Perancis. Ini disebabkan karena perbedaan budaya, Disney
menganggap pola budaya perusahaan yang telah berhasil dijalankan di Amerika Serikat dan
Jepang akan berhasil pula di Perancis, ternyata tidak. Sebagai contoh,pertama, kebijakan disney
untuk tidak menyediakan minuman alkohol di taman hiburan, berakibat buruk karena di Paris
sudah menjadi kebiasaan untuk makan siang dengan segelas wine. Kedua asumsi bahwa hari
jumat akan lebih ramai dari hari minggu, ternyata berkebalikan. Ketiga, Disney tidak
menyediakan sarapan pagi berupa bacon dan telur seperti yang dinginkan oleh konsumen, tapi
malah menyediakan kopi dan Croissant. Begitu juga dengan model kerja tim yang diterapkan,
disney mencoba menerapakan model kerja tim yang serupa dilakukan di USA dan Jepang, yang
tidak dapat diterima oleh karyawan Disney di Paris. Juga kesalahan perkiraan Disney bahwa
orang Eropa akan menghabiskan waktu lam di taman mereka, ternyata keliru. Kegagalan dan
kesalahan pola budaya perusahaan yang dilakukan Disney di Paris, disebabkan oleh adanya
kesalahan penafsiran budaya. Disney beranggapan bahwa apa yang diterapakan dan sukses di
USA dan jepang akan sukses pula di Perancis. Disney seharusnya mengadakan riset dahulu
tentang bagaimana budaya orang Perancis agar pola budaya perusahaan dapat disesuaikan
dengan kultur setempat dan diterapkan di Perancis. Dan setelah Disney merubah strateginya
yaitu dengan merubah nama perusahaannya menjadi Disney land Paris, merubah makanan dan
pakaian yang ditawarkan sesuai pola budaya setempat, harga tiket dipotong sepertiganya,
terbukti jumlah pengunjung Disney di Paris mengalami kenaikan
Make Money at : http://bit.ly/copy_win
3. Mencermati Kasus Konflik Etnis di Kalimantan Barat : Tantangan Untuk
Mempertahankan Perdamaian Berkesinambungan
Peristiwa ketegangan antar warga di kawasan Tanjungpura Pontianak yang hampir saja
membuahkan amuk massa atau kekerasan komunal pada hari kamis (6/12) kemarin tentu saja
sangat kita sayangkan. Meskipun sudah dilakukan pertemuan perdamaian antar tokoh
keduabelah etnis, hampir saja kekerasan komunal terjadi lagi. Untunglah kepolisian bisa
bertindak sigap dan tegas sehingga gosip dan sentimen tidak menyebar. Namun sampai kapan
polisi sanggup memainkan perannya sebagai pemadam kebakaran konflik yang ada di
Kalimantan Barat jika isu-isu utama yang menjadi akar konflik tersembunyi tetap tidak
terselesaikan ?
Tak pelak lagi kasus perselisihan warga yang hampir menyeret konflik etnis tersebut telah
mengusik ingatan kita tentang kasus konflik etnis antara tahun 1997-1999. Semua konflik yang
melibatkan komunal selalu dimulai oleh permasalahan-permasalahan yang terkesan sepele, yang
kadang tidak ada hubungannya dengan masalah etnis sekalipun. Namun dengan cepat ia
membakar sentimen keetnisan warganya dengan cepat, hingga menjadi tidak terkendali.
Kasus Konflik Yang Terulang
Menilik kasus-kasus konflik etnis di Kalimantan Barat, ini bukanlah kasus perselisihan warga
berbuah kekerasan komunal etnis yang pertama. Jika melihat kebelakang kasus-kasus konflik
etnis di Kalbar, kita akan melihat pola kasus etnis yang serupa dan berulang. Meskipun dengan
variasi keterlibatan etnis yang berbeda. Tercatat misalnya pada masa Hindia Belanda ada
beberapa kasus konflik yang melibatkan etnis Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Kemudian pada
masa setelah kemerdekaan pada tahun 1950’an yang melibatkan etnis Tionghoa dan Melayu.
Dan puncaknya memang kasus konflik etnis tahun 1997- 1999 yang melibatkan etnis Madura,
Melayu, dan Dayak. Konflik etnis yang menelan jiwa hingga ribuan nyawa melayang dan jutaan
orang kehilangan tempat tinggal dan hartanya. Sedikit banyak fakta ini menunjukkan bahwa
Kalbar memang rawan terhadap potensi-potensi konflik yang bersifat keetnisan.
Isu konflik etnis sendiri dalam banyak kasus hanyalah bungkusan dari isu-isu marginalitas dari
rasa ketidakadilan dan ketidaksejajaran, baik dalam domain politik, ekonomi, maupun sosial
budaya. Banyak sudah penelitian yang membahas hal itu di Kalbar. Saya tidak berpretensi untuk
mengulasnya lebih jauh. Namun apabila permasalahan-permasalahan tersebut tidak diagendakan
untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah di Kalbar, maka dapat dipastikan konflik etnis yang
ada di Kalbar suatu saat akan muncul kembali dalam wujud ketidakpuasan yang berbeda. Etnis
dalam hal ini menjadi sentimen yang sangat mudah dipicu untuk memwujudkan afiliasi-afiliasi
politik seseorang.
Penyelesaian Konflik Yang Tidak Pernah Selesai
Seperti layaknya kasus-kasus konflik yang melibatkan kekerasan komunal lainnya, konflik etnis
di Kalbar juga membawa dampak luar biasa pada masyarakatnya. Dampak tersebut telah banyak
membawa perubahan yang sungguh luar biasa dalam masyarakat Kalimantan Barat. Sendi-sendi
kehidupan masyarakat Kalimantan Barat secara nyata tercapik-capik. Masyarakat Kalimantan
Barat yang tadinya dikenal harmonis dan tolerant berubah menjadi masyarakat yang penuh
kecurigaan kepada masing etnis.Sayangnya pemerintah nampaknya tidak mempunyai cukup
perhatian untuk bagaimana menata perdamaian agar dapat berkesinambungan. Kalaupun ada
biasanya hanya sampai sekedar slogan, atau tertinggal dalam kebijakan yang tidak tahu kapan
bagaimana mengimplementasikannya. Seperti penyelesaian kasus-kasus konflik lainnya di
Indonesia, pemerintah selalu menganggap bahwa permasalahan konflik akan selesai ketika
kesepakatan damai telah tercapai dimeja perundingan oleh para eli-elit kelompok dan
penyelesaian untuk permaslahan pengungsi telah diatasi. Simak saja beberapa kasus
penyelesaian konflik yang ada di Indonesia. Misalnya kasus Poso dan Maluku. Jalannya
perdamaiannya tampak terhenti ditangan pemerintah ketika kesepakatan damai antar relit telah
ditandatangani dan penyelesaian pengungsi, dengan pembangunan pemukiman dan pembagian
jatah hidup, telah terselesaikan. Persoalan-persoalan bagaimana menjaga perdamaian agar
berkesinambungan ini yang menurut hemat saya lebih banyak dimaintain oleh kalangan CSO
(Civil Society Organization), berikut kalangan agamawan, dengan ide-ide pluralism dan
multiculturalism, serta pendidikan perdamaiannya.
Dalam konteks Kalbar, pemerintah menganggap konflik telah selesai ketika para pengungsi
akibat konflik telah dipindah lokasi pemukiman baru Tebang Kacang. Mereka tidak melihat
bahwa perasaan-perasaan curiga, stereotype, dan prasangka antara etnis masih berkembang
ditingkat masyarakat Kalbar. Masih adanya penolakan oleh kelompok etnis tertentu kepada
kelompok etnis yang lain di Kalbar untuk kembali ke asalnya hingga kini masih terjadi.
Permasalahan-permasalahan kejelasan hak para pengungsi dan korban konflik etnis, terutama
bagi etnis yang kalah, hingga kini masih buram. Pemerintah daerah tidak mau secara terbuka
membicarakan kasus-kasus tersebut secara terbuka. Dilain sisi muncul dugaan bahwa pemerintah
daerah mencoba untuk membatasi ruang dialog antar etnis pada isu-isu tertentu karena alasan
sensitivitas isu yang ditakutkan akan menganggu stabilitas keamanan.
Salah satu dampak yang timbul ditingkat publik adalah adanya penolakan-penolakan dan
keengganan sebagian masyarakat di Kalbar untuk membicarakan isu-isu etnis secara terbuka
untuk mencari penyelesaiannya. Atau misalnya penolakan masyarakat Melayu diSambas yang
hingga kini menolak kembalinya masyarakat Madura di wilayah Sambas. Oleh pemerintah
sendiri kasus konflik antar sukubangsa ini dinyatakan telah selesai dengan dipindahkannya para
pengungsi ke tempat pemukiman baru (Tebang Kacang). Namun permasalahannya tidak
sesederhana itu. Banyak persoalan dilapangan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Seperti
misalnya bagaimana hak-hak milik para pengungsi di daerah asal (Sambas) yang telah
ditinggalkan dan pemulihan kehidupan mereka dilokasi pengungsian yang menurut mereka lebih
menyerupai lokasi pengucilan dari kelompok masyarakat lainnya.
Ketakutan akan mengganggu stabilitas keamanan yang juga akhirnya membentuk pola pikir
sebagian elit etnis dan pemerintah daerah setempat dalam menyelesaikan konflik etnis yang akan
timbul. Elit etnis segera didatangkan untuk menenangkan massanya segera ketika ada kasuskasus yang kadang tidak berkaitan dengan etnis sekalipun. Namun berapa cepat dan sanggupkah
para elit tersebut mengontrol massanya ketika mulai menunjukkan keberangusan ? sangat susah
untuk diukur memang keberhasilannya.
Menatap Masa Depan
Salah satu kunci membina perdamaian yang berkesinambungan adalah bagaimana membangun
kepercayaan yang ada ditingkat grassroot. Dengan membangun kepercayaan yang ada ditingkat
grassroot, permasalahan-permasalahan sepele akan dapat segera diselesaikan ditingkat lokal
tanpa melibatkan pihak yang diatasnya, masyarakat dapat segera mandiri dapat menyelesaikan
konfliknya dengan cara-cara yang tentu saja menjadi kesepakatan umum dan hukum.
Kemandirian warga dalam menyelesaikan konfliknya tak lepas dari seberapa berdayanya
kekuatan institusi-institusi local yang ada di masyarakat local dan aliran hokum dapat berfungsi
dengan baik.
Membina kepercayaan ditingkat grassroot bukanlah pekerjaan yang mudah, harus mesti dimulai
dari hal-hal atau kegiatan yang sederhana, namun dapat menjangkau kelompok etnis yang
bersangkutan. Disinilah sesungguhnya harapan yang besar kepada pemerintah untuk bekerja
bersama dengan berbagai komponen masyarakat dalam menyelesaikan agenda-agenda
perdamaian. Penuntasan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sempat tertunda
adalah salah satu upaya untuk memperkuat kepercayaan masyarakat atas niat baik pemerintah
pusat untuk mambantu menyelesaikan konflik komunal secara tuntas.
Langkah berikutnya adalah dengan bagaimana visi menjaga perdamaian agar dapat
berkesinambungan menjadi mainstream program pembangunan di Kalbar, yang diterjemahkan
dalam kebijakan dan operasional program yang sifatnya integrative dan komprehensif. Harus ada
ukuran-ukuran yang jelas dan kompeten untuk menunjukkan perdamaian di Kalbar. Sampai
dalam tahapan mana perubahan-perubahan telah terjadi. Seperti apa yang disarankan oleh John
Paul Lederach(2003) dalam konsepnya tentang Transformasi Konflik (Conflict Transformation)
dimana setiap proses untuk mencapai perdamaian yang berkesinambungan sebaiknya dapat
menyentuh 4 dimensi perubahan yang signifikan, yaitu dimensi perubahan yang ada tingkat
personal, relasional, structural, dan yang paling ideasional adalah tingkatan cultural, atau
perubahan yang ada ditingkat pengetahuan budaya yang menjadi acuan bagi kelompok dalam
bertindak.
Jadi tidak mudah memang karena tidak ada jalan singkat dan instant untuk membangun
perdamaian. Perlu kesabaran dan upaya terus-menerus dari kesemua pihak. Semoga insiden
Pontianak baru-baru ini menyadarkan kita kembali bahwa perjalanan kita untuk mencapai
perdamaian yang berkesinambungan masih jauh dari akhir.
Samovar dan Porter (2003) mengatakan bahwa usia komunikasi antar budaya nyaris setua usia
kemanusiaan itu sendiri. Agama yang sekarang kita anut, apakah itu Islam, Katolik, Kristen,
Hindu, atau Buddha pada dasarnya adalah hasil dari Komunikasi Antar Budaya dari para
penyebarnya di masa lalu. Agama Buddha pernah tersebar dari India, Yunani, Afghanistan,
kawasan Asia Timur hingga sampai ke Indonesia. Islam pun, di masa jayanya pernah merambah
Afrika, Eropa, hingga kawasan Rusia. Tidak banyak yang tahu, bahwa jauh sebelum Islam
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, konon agama Yahudi sudah masuk ke Indonesia melalui
pedagang rempah dari Iran. Artinya, manusia senantiasa berkomunikasi dengan manusia lain
untuk memenuhi tujuannya. Apakah untuk berdagang, untuk menjajah, untuk menguasai, atau
untuk menyebarkan agama. Apapun itu. Di sinilah pertukaran budaya terjadi, melalui
komunikasi.
Hubungan Kebudayaan dan Komunikasi
Manusia adalah mahluk sosial budaya yang memperoleh perilakunya melalui belajar. Dari semua
aspek belajar manusia, komunikasi merupakan aspek terpenting dan paling mendasar. Proses
yang dilalui individu – individu untuk memperoleh aturan – aturan (budaya) komunikasi dimulai
pada masa awal kehidupan. Melalui proses sosialisasi dan pendidikan. Pola-pola budaya
ditanamkan kedalam system saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku kita
(Gudykust,Opcit:137). Berbagai macam definisi mengenai kebudayaan telah diungkapkan para
ahli lainnya, salah satunya Clyde Kluckhon mendefinisikan kebudayaan sebagai “ keseluruhan
cara hidup suatu bangsa, warisan sosial, yang di dapat individu dari kelompoknya
(Koentjaraningrat,2000:130). Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti
budaya adalah komunikasi, karena budaya sering muncul melalui komunikasi. Akan tetapi pada
gilirannya budaya yang tercipta pun mempengaruhi cara berkomunikasi anggota budaya yang
bersangkutan. Hubungan antar budaya
dan komunikasi adalahh timbal balik.Budaya takkan eksis tanpa komunikasi dan komunikasi
takkan eksis tanpa budaya.Godwin C. Chu mengatakan bahwa setiap pola budaya dan setiap
tindakan melibatkan komunikasi. Untuk dapat dipahami , keduanya harus dipelajari bersama –
sama. Budaya takkan dapat dipahami tanpa mempelajari komunikasi, dan komunikasi hanya
dapat dipahami dengan memahami budaya yang mendukungnya (Deddy Mulyana,Opcit:14)
1. Kasus Ahmadiyah Merupakan Satu Fenomena Komunikasi Antar-Budaya
Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama dalam Intercultural Communication in Context
menyatakan bahwa identitas religius dapat menjadi satu dimensi penting dari identitas banyak
orang, juga menjadi lahan penting konflik antarbudaya. Identitas religius pun kerap tumpang
tindih dengan identitas rasial atau etnis. Keadaan itu membuat kita makin sulit untuk melihat
identitas religius sebagai bagian dari agama tertentu saja.
Perbedaan agama kerap menjadi akar konflik, misalnya di Timur Tengah, Irlandia Utara, India,
Pakistan, hingga Bosnia-Herzegovina. Kini pun, misalnya, hal serupa terjadi di mana segelintir
orang Arab-Amerika hidup di bawah kecurigaan, bahkan penghambatan, masyarakat di
sekelilingnya sejalan dengan upaya pemerintah AS untuk menekan terorisme.
Dalam kasus Ahmadiyah, yang terjadi memang bukan konflik antaragama seperti yang terjadi di
Poso atau Ambon, tapi tetap merupakan kasus konflik antar-identitas religius karena Ahmadiyah
memiliki identitas religius yang berbeda dengan identitas religius Muslim arus utama di
Indonesia. Perbedaan itu didasarkan pada adanya pandangan yang cukup fundamental dalam
keyakinan Ahmadiyah yang dianggap sangat berbeda dibandingkan Islam arus utama. Menurut
sudut pandang umumnya umat Islam, ajaran Ahmadiyah (Qadian) dianggap melenceng dari
ajaran Islam sebenarnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi yaitu Isa Al
Masih dan Imam Mahdi, hal yang bertentangan dengan pandangan umumnya kaum muslim yang
mempercayai Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, walaupun masih menunggu kedatangan Isa
as dan Imam Mahdi (http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah).[*]
Dalam satu negara di mana kebebasan beragama dijamin, konflik tetap muncul ketika keyakinan
religius sekelompok orang membuat tidak nyaman orang-orang yang tidak memiliki keyakinan
yang sama. Perbedaan fundamental yang menyangkut soal posisi Muhammad sebagai nabi
terakhir itulah yang membuat umat Islam arus utama merasa bahwa identitas religius mereka
berbeda dengan Ahmadiyah, bahkan mereka meminta Ahmadiyah tidak menyatakan diri sebagai
Islam.* Perasaan bahwa ada ketidaksamaan identitas itu selanjutnya merasa terganggu jika
Ahmadiyah tetap menyatakan diri sebagai Islam. Jika umat Islam secara keseluruhan merupakan
satu kelompok budaya, maka Ahmadiyah dianggap tidak memiliki shared and learned patterns of
belief and perception* yang sama dengan kelompok Islam arus utama. Jadi jelas masalah utama
dalam kasus Ahmadiyah ini adalah identitas religius.
Ada hubungan yang erat antara identitas, stereotipe, dan prasangka. Untuk memahami begitu
banyaknya informasi yang diterima, kita biasanya melakukan kategorisasi dan generalisasi,
kadang mengandalkan stereotipe—satu kepercayaan yang dipercaya secara luas tentang satu
kelompok tertentu. Stereotipe ini membantu kita untuk mengetahui apa yang kita harapkan dari
orang lain, bisa positif, bisa pula negatif. Meski begitu, stereotipe positif pun bisa berdampak
negatif karena memunculkan harapan-harapan yang tidak realistis dari individu.
Dalam kasus Ahmadiyah ini, stereotipe kelompok agama yang menyimpang melekat erat pada
diri Ahmadiyah dan pada pikiran sebagian besar anggota umat Islam lain. Karena ada
pengalaman di masa lalu bahwa kelompok Islam yang menyimpang kerap melahirkan masalah,
seperti Negara Islam Indonesia misalnya, maka ekspektasi yang muncul dalam kepala umat
Islam arus utama pun tentang Ahmadiyah didasarkan pada pengalaman tersebut *.
Stereotipe menjadi sangat destruktif ketika sifatnya negatif dan sangat diyakini. Penelitian
membuktikan bahwa jika sudah dipercayai, stereotipe akan sangat sulit dihilangkan. Bahkan
orang cenderung mengingat informasi yang mendukung stereotipe tersebut, tapi melupakan
informasi yang menentangnya. Begitu juga dengan kasus Ahmadiyah. Imbauan dan pembelaan
dari tokoh-toko Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Gus Dur * tetap tidak dapat memupus stereotipe
yang ada dalam benak umat Islam main stream tentang Ahmadiyah. Stempel ajaran sesat yang
mesti dibasmi tetap melekat.
Kita mendapatkan stereotipe melalui berbagai cara, termasuk dari media: berita, film, dsb. Kita
juga dapat mengetahui stereotipe dari keluarga atau teman. Selain itu, pengalaman negatif pun
dapat memunculkan stereotipe. Saat mengalami interaksi yang tidak menyenangkan dengan
orang lain, kita akan menyimpulkan bahwa keadaan tak menyenangkan itu berasal dari seluruh
kelompok tersebut, apa pun karakteristik yang kita perhatikan dari kelompok itu.
Selanjutnya ada prasangka atau prejudice, yaitu sikap negatif terhadap satu kelompok budaya
tertentu berdasarkan sedikit pengalaman atau bahkan tanpa pengalaman sama sekali. Newberg
menyatakan bahwa jika stereotipe menyatakan pada kita seperti apa sebuah kelompok, prasangka
menyatakan bagaimana perasaan yang mungkin kita miliki terhadap kelompok tersebut. Menurut
Hecht, prasangka dapat muncul dari kebutuhan pribadi untuk memiliki perasaan positif tentang
kelompok kita sendiri dan perasaan negatif tentang kelompok lain, atau dapat muncul dari
ancaman, baik yang nyata maupun yang bersifat dugaan. Dalam kasus Ahmadiyah, kebutuhan
umat Islam arus utama akan perasaan bahwa agama yang mereka anut tidak ternodai dapat
dianggap sebagai pemicu sikap anti-Ahmadiyah, yang merupakan prasangka terhadap kelompok
tersebut. Umat Islam mayoritas, termasuk Majelis Ulama Indonesia dan Menteri Agama RI,
merasa bahwa Ahmadiyah merupakan ancaman bagi ajaran Islam dan umat Islam secara umum.
*
Walter Stephan dan Cookie Stephan menyatakan bahwa ketegangan antara kelompok-kelompok
budaya, dibarengi ketidaksetaraan status dan dugaan ancaman, dapat memunculkan prasangka.
Mengapa orang berprasangka? Richard Brislin menyatakan bahwa saat stereotipe muncul dari
fungsi kognitif normal, prasangka menjalani fungsi-fungsi yang dapat kita pahami. Fungsi-fungsi
ini tidak bisa dijadikan sebagai pembenaran prasangka memang, namun hal itu membantu kita
memahami bagaimana prasangka bisa begitu tersebar.
Ada empat fungsi yang dimaksud di atas. Yang pertama adalah fungsi utilitarian. Orang punya
prasangka karena prasangka tersebut bisa mendatangkan imbalan tertentu. Penerimaan kelompok
dapat menjadi salah satu bentuk imbalan yang dimaksud. Yang kedua adalah fungsi egodefensive. Orang memiliki prasangka karena mereka tidak mau meyakini ada hal-hal yang tidak
menyenangkan pada diri mereka. Fungsi ketiga adalah fungsi value-expressive. Orang
berprasangka karena prasangka tersebut memperkuat aspek-aspek kehidupan yang mereka
junjung tinggi. Yang terakhir ialah fungsi pengetahuan. Orang memiliki prasangka karena sikap
itu memungkinkan mereka untuk menyusun dunia mereka menjadi satu bentuk yang dapat
mereka pahami—sama seperti stereotipe membantu kita menyusun dunia kita.
Berkenaan dengan Ahmadiyah, dapat dilihat bagaimana keempat fungsi tersebut mendasari
prasangka yang muncul; dari umat Islam mayoritas terhadap Ahmadiyah. Banyak orang Islam
ikut mengutuk Ahmadiyah walaupun tidak tahu apa kesalahan kelompok itu karena akan ada
reward dari kelompoknya bahwa ia memang sama dengan anggota lain dalam kelompoknya.
Fungsi ego-defensive mungkin tidak tampak dari kasus ini secara makro, namun dapat dilihat
dari fragmen-fragmen pergesekan antara umat Islam mayoritas dengan Ahmadiyah, misalnya
yang terjadi di Cianjur, NTB, atau Cirebon. Dalam tiap aksi penyerangan, kelompok Islam
mayoritas kerap meneriakkan takbir. Fenomena itu dapat dilihat sebagai salah satu wujud fungsi
ego-defensive sekaligus value-expressive (bersama dengan keinginan untuk menjaga kemurnian
agama Islam). Selanjutnya, konflik dengan Ahmadiyah dapat dilihat sebagai upaya umat Islam
mayoritas untuk membuat peta dalam kepala mereka tentang posisi Islam, yaitu berada di antara
ancaman “kelompok sesat” dan agama lain, seperti Kristen*.
Lalu, perilaku apa yang muncul sebagai konsekuensi stereotipe dan prasangka? Diskriminasi.
Diskriminasi dapat muncul berdasarkan berbagai jenis identitas: ras, etnis, agama, dll. Bentuk
diskriminasi bervariasi, mulai dari perilaku nonverbal yang halus--seperti jarangnya ada kontak
mata atau peminggiran dari percakapan--, penghinaan verbal dan penyisihan dari pekerjaan dan
kesempatan-kesempatan ekonomis, hingga kekerasan fisik dan penyisihan yang dilakukan secara
sistematis. Maluso menyatakan bahwa diskriminasi dapat dilakukan secara interpersonal,
kolektif, atau institusional. Saat ini, diskriminasi kolektif dan institusional secara konsisten kerap
terjadi. Para individu secara sistematis dipinggirkan dari partisipasi setara dalam masyarakat atau
akses yang sama untuk mendapatkan hak-hak formal dan informal.
Karena adanya semua stereotipe dan prasangka tentang Ahmadiyah, berbagai jenis diskriminasi
pun muncul, baik yang interpersonal, kolektif, maupun institusional. Itu bisa dilihat dari berbagai
penyerangan fisik dan kekerasan yang terjadi di berbagai daerah, seperti Cianjur, NTB, dan
Cirebon, misalnya, hingga pernyataan Menteri Agama RI tentang Ahmadiyah, yang menyatakan
bahwa kelompok itu tak boleh mengaku sebagai Islam* , hingga fatwa yang dikeluarkan MUI*
dan pernyataan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono *.
Dari berbagai uraian di atas, terlihat jelas bahwa kasus Ahmadiyah ini merupakan fenomena
komunikasi antarbudaya. Unsur identitas religius menjadi dasar munculnya konflik. Stereotipe
dan prasangka muncul dalam pikiran umat Islam main stream terhadap Ahmadiyah, yang
selanjutnya memunculkan diskriminasi terhadap kelompok ini. Bahkan diskriminasi yang
muncul telah mencapai bentuk diskriminasi institusional.
2. Pentingnya Komunikasi Lintas Budaya dalam dunia Bisnis Disney in
France Disney sebagai perusahaan yang mengembangkan konsep taman hiburan dalam
bisnisnya telah berhasil meraih keuntungan di Amerika Serikat dan Jepang. Langkah selanjutnya
yang dilakukan Disney adalah mencoba memasuki pasar Eropa, dalam hal ini Paris sebagai
target utamanya. Mengapa Paris yang dijadikan kota yang akan dibangun taman hiburan
berikutnya? Mengapa tidak memilih kota yang lain? Disney berargumen bahwa Paris dipilih
karena beberapa alasan, pertama sekitar 17 juta orang eropa tinggal kurang dari dua jam
perjalanan menuju Paris, dan sekitar 310 juta dapat terbang ke Paris pada waktu yang sama.
Kedua, besarnya perhatian pemerintah kota paris yang menawarkan lebih dari satu milyar dollar
dalam berbagai insentif, dan ekspektasi bahwa proyek ini akan menciptakan 30000 lapangan
pekerjaan. Namun apa yang terjadi? Dalam pelaksanaanya Disney mengahadapi beberapa
masalah antara lain berupa boikot acara pembukaan oleh menteri kebudayaan Perancis, dan
kegagalan Disney untuk memperoleh target pengunjung yang datang dan pendapatan yang
diharapakan. Mengapa bisa? Hal ini disebabkan karena Disney kesalahan asumsi terhadap selera
dan pilihan dari konsumen di Perancis. Ini disebabkan karena perbedaan budaya, Disney
menganggap pola budaya perusahaan yang telah berhasil dijalankan di Amerika Serikat dan
Jepang akan berhasil pula di Perancis, ternyata tidak. Sebagai contoh,pertama, kebijakan disney
untuk tidak menyediakan minuman alkohol di taman hiburan, berakibat buruk karena di Paris
sudah menjadi kebiasaan untuk makan siang dengan segelas wine. Kedua asumsi bahwa hari
jumat akan lebih ramai dari hari minggu, ternyata berkebalikan. Ketiga, Disney tidak
menyediakan sarapan pagi berupa bacon dan telur seperti yang dinginkan oleh konsumen, tapi
malah menyediakan kopi dan Croissant. Begitu juga dengan model kerja tim yang diterapkan,
disney mencoba menerapakan model kerja tim yang serupa dilakukan di USA dan Jepang, yang
tidak dapat diterima oleh karyawan Disney di Paris. Juga kesalahan perkiraan Disney bahwa
orang Eropa akan menghabiskan waktu lam di taman mereka, ternyata keliru. Kegagalan dan
kesalahan pola budaya perusahaan yang dilakukan Disney di Paris, disebabkan oleh adanya
kesalahan penafsiran budaya. Disney beranggapan bahwa apa yang diterapakan dan sukses di
USA dan jepang akan sukses pula di Perancis. Disney seharusnya mengadakan riset dahulu
tentang bagaimana budaya orang Perancis agar pola budaya perusahaan dapat disesuaikan
dengan kultur setempat dan diterapkan di Perancis. Dan setelah Disney merubah strateginya
yaitu dengan merubah nama perusahaannya menjadi Disney land Paris, merubah makanan dan
pakaian yang ditawarkan sesuai pola budaya setempat, harga tiket dipotong sepertiganya,
terbukti jumlah pengunjung Disney di Paris mengalami kenaikan
Make Money at : http://bit.ly/copy_win
3. Mencermati Kasus Konflik Etnis di Kalimantan Barat : Tantangan Untuk
Mempertahankan Perdamaian Berkesinambungan
Peristiwa ketegangan antar warga di kawasan Tanjungpura Pontianak yang hampir saja
membuahkan amuk massa atau kekerasan komunal pada hari kamis (6/12) kemarin tentu saja
sangat kita sayangkan. Meskipun sudah dilakukan pertemuan perdamaian antar tokoh
keduabelah etnis, hampir saja kekerasan komunal terjadi lagi. Untunglah kepolisian bisa
bertindak sigap dan tegas sehingga gosip dan sentimen tidak menyebar. Namun sampai kapan
polisi sanggup memainkan perannya sebagai pemadam kebakaran konflik yang ada di
Kalimantan Barat jika isu-isu utama yang menjadi akar konflik tersembunyi tetap tidak
terselesaikan ?
Tak pelak lagi kasus perselisihan warga yang hampir menyeret konflik etnis tersebut telah
mengusik ingatan kita tentang kasus konflik etnis antara tahun 1997-1999. Semua konflik yang
melibatkan komunal selalu dimulai oleh permasalahan-permasalahan yang terkesan sepele, yang
kadang tidak ada hubungannya dengan masalah etnis sekalipun. Namun dengan cepat ia
membakar sentimen keetnisan warganya dengan cepat, hingga menjadi tidak terkendali.
Kasus Konflik Yang Terulang
Menilik kasus-kasus konflik etnis di Kalimantan Barat, ini bukanlah kasus perselisihan warga
berbuah kekerasan komunal etnis yang pertama. Jika melihat kebelakang kasus-kasus konflik
etnis di Kalbar, kita akan melihat pola kasus etnis yang serupa dan berulang. Meskipun dengan
variasi keterlibatan etnis yang berbeda. Tercatat misalnya pada masa Hindia Belanda ada
beberapa kasus konflik yang melibatkan etnis Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Kemudian pada
masa setelah kemerdekaan pada tahun 1950’an yang melibatkan etnis Tionghoa dan Melayu.
Dan puncaknya memang kasus konflik etnis tahun 1997- 1999 yang melibatkan etnis Madura,
Melayu, dan Dayak. Konflik etnis yang menelan jiwa hingga ribuan nyawa melayang dan jutaan
orang kehilangan tempat tinggal dan hartanya. Sedikit banyak fakta ini menunjukkan bahwa
Kalbar memang rawan terhadap potensi-potensi konflik yang bersifat keetnisan.
Isu konflik etnis sendiri dalam banyak kasus hanyalah bungkusan dari isu-isu marginalitas dari
rasa ketidakadilan dan ketidaksejajaran, baik dalam domain politik, ekonomi, maupun sosial
budaya. Banyak sudah penelitian yang membahas hal itu di Kalbar. Saya tidak berpretensi untuk
mengulasnya lebih jauh. Namun apabila permasalahan-permasalahan tersebut tidak diagendakan
untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah di Kalbar, maka dapat dipastikan konflik etnis yang
ada di Kalbar suatu saat akan muncul kembali dalam wujud ketidakpuasan yang berbeda. Etnis
dalam hal ini menjadi sentimen yang sangat mudah dipicu untuk memwujudkan afiliasi-afiliasi
politik seseorang.
Penyelesaian Konflik Yang Tidak Pernah Selesai
Seperti layaknya kasus-kasus konflik yang melibatkan kekerasan komunal lainnya, konflik etnis
di Kalbar juga membawa dampak luar biasa pada masyarakatnya. Dampak tersebut telah banyak
membawa perubahan yang sungguh luar biasa dalam masyarakat Kalimantan Barat. Sendi-sendi
kehidupan masyarakat Kalimantan Barat secara nyata tercapik-capik. Masyarakat Kalimantan
Barat yang tadinya dikenal harmonis dan tolerant berubah menjadi masyarakat yang penuh
kecurigaan kepada masing etnis.Sayangnya pemerintah nampaknya tidak mempunyai cukup
perhatian untuk bagaimana menata perdamaian agar dapat berkesinambungan. Kalaupun ada
biasanya hanya sampai sekedar slogan, atau tertinggal dalam kebijakan yang tidak tahu kapan
bagaimana mengimplementasikannya. Seperti penyelesaian kasus-kasus konflik lainnya di
Indonesia, pemerintah selalu menganggap bahwa permasalahan konflik akan selesai ketika
kesepakatan damai telah tercapai dimeja perundingan oleh para eli-elit kelompok dan
penyelesaian untuk permaslahan pengungsi telah diatasi. Simak saja beberapa kasus
penyelesaian konflik yang ada di Indonesia. Misalnya kasus Poso dan Maluku. Jalannya
perdamaiannya tampak terhenti ditangan pemerintah ketika kesepakatan damai antar relit telah
ditandatangani dan penyelesaian pengungsi, dengan pembangunan pemukiman dan pembagian
jatah hidup, telah terselesaikan. Persoalan-persoalan bagaimana menjaga perdamaian agar
berkesinambungan ini yang menurut hemat saya lebih banyak dimaintain oleh kalangan CSO
(Civil Society Organization), berikut kalangan agamawan, dengan ide-ide pluralism dan
multiculturalism, serta pendidikan perdamaiannya.
Dalam konteks Kalbar, pemerintah menganggap konflik telah selesai ketika para pengungsi
akibat konflik telah dipindah lokasi pemukiman baru Tebang Kacang. Mereka tidak melihat
bahwa perasaan-perasaan curiga, stereotype, dan prasangka antara etnis masih berkembang
ditingkat masyarakat Kalbar. Masih adanya penolakan oleh kelompok etnis tertentu kepada
kelompok etnis yang lain di Kalbar untuk kembali ke asalnya hingga kini masih terjadi.
Permasalahan-permasalahan kejelasan hak para pengungsi dan korban konflik etnis, terutama
bagi etnis yang kalah, hingga kini masih buram. Pemerintah daerah tidak mau secara terbuka
membicarakan kasus-kasus tersebut secara terbuka. Dilain sisi muncul dugaan bahwa pemerintah
daerah mencoba untuk membatasi ruang dialog antar etnis pada isu-isu tertentu karena alasan
sensitivitas isu yang ditakutkan akan menganggu stabilitas keamanan.
Salah satu dampak yang timbul ditingkat publik adalah adanya penolakan-penolakan dan
keengganan sebagian masyarakat di Kalbar untuk membicarakan isu-isu etnis secara terbuka
untuk mencari penyelesaiannya. Atau misalnya penolakan masyarakat Melayu diSambas yang
hingga kini menolak kembalinya masyarakat Madura di wilayah Sambas. Oleh pemerintah
sendiri kasus konflik antar sukubangsa ini dinyatakan telah selesai dengan dipindahkannya para
pengungsi ke tempat pemukiman baru (Tebang Kacang). Namun permasalahannya tidak
sesederhana itu. Banyak persoalan dilapangan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Seperti
misalnya bagaimana hak-hak milik para pengungsi di daerah asal (Sambas) yang telah
ditinggalkan dan pemulihan kehidupan mereka dilokasi pengungsian yang menurut mereka lebih
menyerupai lokasi pengucilan dari kelompok masyarakat lainnya.
Ketakutan akan mengganggu stabilitas keamanan yang juga akhirnya membentuk pola pikir
sebagian elit etnis dan pemerintah daerah setempat dalam menyelesaikan konflik etnis yang akan
timbul. Elit etnis segera didatangkan untuk menenangkan massanya segera ketika ada kasuskasus yang kadang tidak berkaitan dengan etnis sekalipun. Namun berapa cepat dan sanggupkah
para elit tersebut mengontrol massanya ketika mulai menunjukkan keberangusan ? sangat susah
untuk diukur memang keberhasilannya.
Menatap Masa Depan
Salah satu kunci membina perdamaian yang berkesinambungan adalah bagaimana membangun
kepercayaan yang ada ditingkat grassroot. Dengan membangun kepercayaan yang ada ditingkat
grassroot, permasalahan-permasalahan sepele akan dapat segera diselesaikan ditingkat lokal
tanpa melibatkan pihak yang diatasnya, masyarakat dapat segera mandiri dapat menyelesaikan
konfliknya dengan cara-cara yang tentu saja menjadi kesepakatan umum dan hukum.
Kemandirian warga dalam menyelesaikan konfliknya tak lepas dari seberapa berdayanya
kekuatan institusi-institusi local yang ada di masyarakat local dan aliran hokum dapat berfungsi
dengan baik.
Membina kepercayaan ditingkat grassroot bukanlah pekerjaan yang mudah, harus mesti dimulai
dari hal-hal atau kegiatan yang sederhana, namun dapat menjangkau kelompok etnis yang
bersangkutan. Disinilah sesungguhnya harapan yang besar kepada pemerintah untuk bekerja
bersama dengan berbagai komponen masyarakat dalam menyelesaikan agenda-agenda
perdamaian. Penuntasan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sempat tertunda
adalah salah satu upaya untuk memperkuat kepercayaan masyarakat atas niat baik pemerintah
pusat untuk mambantu menyelesaikan konflik komunal secara tuntas.
Langkah berikutnya adalah dengan bagaimana visi menjaga perdamaian agar dapat
berkesinambungan menjadi mainstream program pembangunan di Kalbar, yang diterjemahkan
dalam kebijakan dan operasional program yang sifatnya integrative dan komprehensif. Harus ada
ukuran-ukuran yang jelas dan kompeten untuk menunjukkan perdamaian di Kalbar. Sampai
dalam tahapan mana perubahan-perubahan telah terjadi. Seperti apa yang disarankan oleh John
Paul Lederach(2003) dalam konsepnya tentang Transformasi Konflik (Conflict Transformation)
dimana setiap proses untuk mencapai perdamaian yang berkesinambungan sebaiknya dapat
menyentuh 4 dimensi perubahan yang signifikan, yaitu dimensi perubahan yang ada tingkat
personal, relasional, structural, dan yang paling ideasional adalah tingkatan cultural, atau
perubahan yang ada ditingkat pengetahuan budaya yang menjadi acuan bagi kelompok dalam
bertindak.
Jadi tidak mudah memang karena tidak ada jalan singkat dan instant untuk membangun
perdamaian. Perlu kesabaran dan upaya terus-menerus dari kesemua pihak. Semoga insiden
Pontianak baru-baru ini menyadarkan kita kembali bahwa perjalanan kita untuk mencapai
perdamaian yang berkesinambungan masih jauh dari akhir.