T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Perempuan Malam (Pemandu Karaoke) di Hiburan Malam Sari Rejo T1 BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  Bab ini berisi tentang kepustakaan yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian hukum ini. Uraian menyangkut hakekat Perjanjian tertulis dan tidak tertulis sebagai suatu kontrak. Selanjutnya akan dikemukakan pula tinjauan mengenai sejarah Hukum Perburuhan dan juga pengertian Pemandu Karaoke. Sedikit mengenai hakekat suatu perseroan sebagai pengusaha.

  Tujuan dari kajian pustaka ini adalah untuk menjawab rumusan permasalahan skripsi ini. Juga nanti akan dipergunakan untuk melakukan analisa hasil penelitian di Bab III.

A. Hakekat Kontrak

  Pengertian Kontrak sebagai nama Ilmu Hukum adalah:

  “It is the group of kinds of obligations all concerned with legal duties undertaken by persons, by promises to, or agreement with, another, to give or do or refrain from doing something to or for another, or with legal duties imposed by law to give or do something to or for another where justice requires is though there is no promise.” (Artinya: Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain, apabila keadilan menghendaki, meskipun

  tidak diperjanjikan sebelumnya.) 1

  1 Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 2, dalam Thesis berjudul: A Comparative Study of the Indonesian Law of Leases with Reference to the Scottish Law of Leases as a Model for Reform of Its

  Indonesian Counterparts, June 2005, Faculty of Law and Financial Studies University of Glasgow, Scotland.

  Segenap kewajiban yang harus dilakukan, sebagaimana dimaksud dalam pengertian atau definisi Kontrak di atas; baik kewajiban yang lahir karena perjanjian (promise), ataupun segenap kewajiban yang lahir karena kesepakatan (agreement), maupun kewajiban yang lahir karena hukum (the Law), dan kewajiban karena ada tuntutan keadilan (justice), seringkali disederhanakan atau dianalogikan sebagai suatu sistem kewajiban (obligations) atau

  perikatan yang harus dilakukan oleh setiap orang. 2

  Beberapa peristilahan sering digunakan secara paralel dengan istilah kontrak dengan pengertian yang relatif sama. Istilah kontrak sering disamakan pengertiannya dengan konsep

  “obligation” atau kewajiban. Dalam literatur, para penulis hukum di Indonesia 3 kadangkala menyamakan kontrak atau perjanjian dengan kata perikatan. Sedangkan dalam literatur di

  negara-negara common law, perkataan obligation dapat samakan artinya dengan hubungan hukum, atau kewajiban, dan perikatan itu digunakan pula konsep 4 debt atau hutang, duty on a

  debtor atau kewajiban seorang debitur atau obligor. Konsep terakhir ini berhubungan dengan hak perorangan atau klaim (claim) yang bersifat personal (in personam).

  2 Ibid., hlm. 3. 3 Ibid., hlm. 5. Tidak banyak penulis hukum Indonesia yang Jeferson Kameo kategorikan sebagai penulis hukum

  pionir. Subekti, satu dari si pionir yang dimaksudkan itu, dalam buku berjudul Hukum Perjanjian, Cetakan ke

  IX (cetakan pertama buku itu diterbitkan tahun 1963), Penerbit Intermasa, 1984, hlm. 1., mengatakan: “Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan pada perjanjian atau persetujuan tertulis.” Dalam buku itu, Subekti berusaha membedakan kontrak dengan konsep-konsep seperti: perikatan, perjanjian, dan persetujuan. Sedangkan Koesoemadi Poedjosewodjo, dalam buku berjudul Sistematik Kuliah Asas-Asas Hukum Perdata, Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, 1960, memakai istilah perutangan sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda untuk perikatan (verbintenis). Dalam buku Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, diminta perhatian pembaca untuk tidak kemudian menjadi berasumsi bahwa Kontrak yang dimaksudkan sebagai nama Ilmu Hukum itu adalah KUHPerdata, buku hukum yang isinya ditulis kembali dalam berbagai buku penulis-penulis pionir itu. Tidak! Tetapi, bahwa faktanya, tak terhindarkan (niscaya) isi dari KUHPerdata dan istilah yang dipergunakan di sana hampir jatuh sama dengan isi Kontrak sebagai nama Ilmu Hukum. Hanya saja, kontrak atau perikatan atau apapun istilah yang dipergunakan untuk menjelaskan isi dan ruh KUHPerdata, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, hanya mengenai satu buku atau satu undang-undang saja. Kontrak sebagai nama Ilmu Hukum lebih dahsyat dari KUHPerdata, sudah ada jauh sebelum KUHPerdata, memerintah KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan yang datang setelah KUHPerdata.

  4 Kembali Jeferson Kameo meminta perhatian pembaca untuk melihat Keputusan Mahkamah Agung RI No. 536KPid2005. Menurut Keputusan tersebut, suatu konsep tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

  Jika konsep saja tidak mengikat, maka teori hukum pun berarti tidak mengikat. Sementara itu, kalau melanggar konsep bukan melanggar hukum, namun melanggar asas adalah melanggar hukum. Mahkamah Agung RI dalam putusan perkara Tata Usaha Negara No. 213KTUN2007, mengatakan bahwa Pejabat TUN melanggar asas- asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kecermatan dan asas kehati-hatian.

  Sering pula ditemui istilah seperti dokumen atau surat untuk kontrak. Masih berkaitan dengan hal itu, orang juga menggunakan istilah bond atau surat pertanggungan atau surat perikatan, atau suatu deed atau surat akta yang mencantumkan, atau berisi (constituting) atau

  untuk membuktikan (evidencing) 5 adanya suatu kewajiban kontraktual.

  Secara populer (colloquial) perikatan atau perjanjian berarti suatu kewajiban dalam pengertian kewajiban untuk membayar, atau suatu hutang yang harus ditunaikan oleh obligor. Dalam kaitan dengan itu, kewajiban adalah merupakan counterpart atau sisi lain dari suatu

  hak yang timbul karena adanya suatu hubungan hukum yang bersifat personal. 6

  1. Definisi Kontrak Istilah kontrak selain memiliki makna yang sama dengan nama ilmu hokum, sering

  atau umum dipahami berasal dari kata “contract” dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Perancis “contrat”, dan dalam bahasa Belanda “overeenkomst”, sekalipun kadang-kadang

  juga digunakan istilah “contract”. 7 Dalam bahasa Indonesia istilah kontrak sama pengertiannya dengan perjanjian. Kedua istilah ini merupakan terjemahan dari

  “contract”,”overeenkomst”, atau “contrat”. Istilah kontrak lebih menunjukkan pada nuansa bisnis atau komersial dalam hubungan hukum yang dibentuk, 8 sedangkan istilah perjanjian

  cakupannya lebih luas. Dengan demikian pembedaan dua istilah ini bukan pada bentuknya.

  5 Ibid., hlm. 6. Mengenai hal ini, belakangan, dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ditegaskan bahwa selama ini bentuk tertulis identik dengan

  informasi danatau dokumen yang tertuang di atas kertas semata. Padahal, hakikatnya informasi danatau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan, sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya. Kecuali, seperti yang diatur oleh Pasal 5 ayat (4) dan Penjelasannya, bahwa: “Ketentuan mengenai Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah, itu tidak berlaku untuk surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, yang meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan aturan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara.” Ditambah dengan surat beserta dokumen lainnya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Suatu requirement of writing.

  6 Ibid. 7 Misalnya dalam istilah “contractsoverneming” yang terdapat dalam Bagian 3 Bab 2 Buku 6 NBW. 8 Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Loc. Cit.

  Tidak tepat jika kontrak diartikan sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis, sebab kontrak pun dapat dibuat secara lisan. 9

  Terdapat dua fungsi penting dalam kontrak, yaitu: pertama, untuk menjamin terciptanya harapan atas janji yang telah dipertukarkan; dan kedua, mempunyai fungsi konstitutif untuk memfasilitasi transaksi yang direncanakan dan memberikan aturan bagi

  kelanjutannya ke depan. 10 Semakin kompleks suatu transaksi akan semakin tinggi kebutuhan mengenai perencanaan dan semakin rinci pula ketentuan-ketentuan (dalam kontrak) yang

  dibuat. Dalam kaitan dengan fungsi kontrak bagi perencanaan transaksi, perlu diperhatikan pada empat hal, yaitu:

  a. Kontrak pada umumnya menetapkan nilai pertukaran (the value of exchange);

  b. Dalam kontrak terdapat kewajiban timbal balik dan standar pelaksanaan kewajiban;

  c. Kontrak membutuhkan alokasi pengaturan tentang resiko ekonomi (economic risk) bagi para pihak; dan

  d. Kontrak dapat mengatur kemungkinan kegagalan dan konsekusensi hukumnya. 11

  2. Status Subjek Hukum dalam Kontrak

  Menurut Mochtar Kusumaatmaja yang dikutip dalam Chaidir Ali, hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat. Hukum meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) demi proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah ini dalam kenyataan. Hal ini diperkuat

  lagi oleh Cicero yang mengatakan: “dimana ada masyarakat, disana ada hukum.” 12

  Hukum hidup dan dibutuhkan oleh masyarakat. Hukum bukan hanya seperangkat aturan, namun termasuk juga di dalamnya lembaga-lembaga (institusi) dalam proses-proses yang menyebabkan terjadinya kaidah-kaidah tersebut.

  9 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Loc. Cit.

  10 J. Beatson, Op. Cit., p. 3. 11 Ibid. 12 Chaidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1999), hlm. 1.

  Sebagai bagian dari masyarakat, tiap-tiap orang adalah pembawa hak. Dalam artian, tiap orang memiliki hak dan kewajiban. Sehingga, tiap-tiap orang disebut sebagai subyek hukum (subjetcum juris).

  Menurut C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, subjek hukum ialah: “Siapa yang dapat mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum, atau dengan kata lain siapa yang

  cakap menurut hukum untuk bertindak.” 13

  Adalah merupakan suatu yang sangat mendasar, dan oleh sebab itu harus ada dalam suatu perikatan konvensional, perjanjian atau suatu kontrak, apa yang disebut dalam Kontrak sebagai nama Ilmu Hukum sebagai pihak atau para pihak. Dalam setiap perikatan konvensional, selalu ada dua atau lebih pihak (legal persons), atau apa yang di dalam sistem hukum di Indonesia disebut dengan subyek hukum. Pihak itu berdiri sendiri-sendiri, tertentu, dan nyata. Paling sedikit harus ada satu pihak dalam tiap sisi dari perikatan itu, baik satu

  pihak di sisi kreditur, maupun satu pihak lagi di sisi debitur. 14

  Jeferson Kameo mengemukakan suatu maxim Latin yang telah sering dikutip berbagai jurists untuk menunjuk kepada prinsip hukum, yaitu: “Pactum, atau suatu pakta di dalam hukum, telah diartikan sebagai duorum pluriumve in idem placitum consensus atque convention… atau sepakat dari dua atau lebih pihak (orang) mengenai beberapa hal untuk dilaksanakan oleh masing-masing pihak. Baik hal itu dilaksanakan oleh satu pihak di satu

  sisi, maupun hal itu dilaksanakan oleh pihak lainnya di sisi yang lain.” 15

  Apabila maxim tersebut di atas diperhatikan secara selintas, maka orang mungkin saja bakal terjatuh dalam suatu pandangan bahwa seseorang tidak dapat membuat suatu perikatan

  atau suatu kontrak oleh dirinya sendiri. 16 Demikian pula, satu orang atau satu pihak tidak

  13 C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, (Jakarta, Harapan, 2002), hlm. 1. 14 Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 179, 15 Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum…. 16 Subekti, menerjemahkan Pasal 1315 KUHPerdata bahwa pada umumnya tiada seorangpun dapat mengikatkan

  diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri; yang disebut diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri; yang disebut

  sesuatu, atau sepakat untuk tidak melakukan sesuatu dengan dirinya sendiri. 17 Demikian pula satu orang saja tidak dapat menggunakan akta apapun untuk membuat suatu hutang kepada

  dirinya sendiri, dengan atau tanpa jaminan. 18 Lebih jauh, di dalam sistem hukum Inggris, telah diatur suatu ketentuan yang tidak benar, bahwa suatu perjanjian yang diadakan oleh

  seorang bernama (B) dengan (B) yang bersekutu dengan orang lain adalah batal. 19

B. Jenis-Jenis Kontrak

  Para ahli dibidang kontrak tidak ada kesatuan pandangan tentang pembagian kontrak. Ada ahli yang mengkaji dari sumber hukumnya, namanya, bentuknya, aspek kewajibannya, maupun aspek larangnnya. Salim H.S. memaparkan jenis perjanjian dengan cara yang sedikit berbeda dibandingkan dengan para sarjana. Salim H.S di dalam bukunya menyebutkan bahwa

  jenis kontrak atau perjanjian adalah: 20

  Kontrak Menurut Sumber Hukumnya. Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrak yang

  didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Perjanjian (kontrak) dibagi jenisnya menjadi lima macam, yaitu:

   Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan;  Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan

  hukum benda, misalnya peralihan hak milik;  Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;

  dengan privity of contract dalam sistem hukum Inggris, atau oleh sejumlah penerjemah KUHPerdata dinamakan asas kepribadian. Ibid., hlm. 180.

  17 Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum… 18 Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum…. 19 Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum… 20 Salim H.S,Hukum Kontrak, Sinar Grafika. Jakarta. 2005 hal 27-32

   Perjanjian

  yang disebut

  dengan bewijsovereenkomst;  Perjanjian

  yang disebut

  dengan publieckrechtelijke overeenkomst; Kontrak menurut namanya. Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam Pasal

  1319 BW dan Artikel 1355 NBW. Di dalam Pasal 1319 BW dan Artikel 1355 NBW hanya disebutkan dua macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak nominnat adalah kontrak yang dikenal dalam BW. Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian. Sedangkan kontrak innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal dalam BW. Yang termasuk dalam kontrak innominat adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain-lain. Namun, Vollmar mengemukakan kontrak jenis yang ketiga antara bernama dan tidak bernama, yaitu kontrak campuran. Kontrak campuran yaitu kontrak atau perjanjian yang tidak hanya diliputi oleh ajaran umum (tentang perjanjian) sebagaimana yang terdapat dalam title I, II, dan IV karena kekhilafan, title yang terakhir ini (title IV) tidak disebut oleh Pasal 1355 NBW, tetapi terdapat hal mana juga ada ketentuan-ketentuan khusus untuk sebagian menyimpang dari ketentuan umum. Contoh kontrak campuran, pengusaha sewa rumah penginapan (hotel) menyewakan kamar-kamar (sewa menyewa), tetapi juga menyediakan makanan (jual beli), dan menyediakan pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa). Kontrak campuran disebut juga dengan contractus sui generis, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengenai perjanjian khusus paling banter dapat diterapkan secara analogi (Arrest HR

  10 Desember 1936) atau orang menerapkan teori absorpsi (absorptietheorie), artinya diterapkanlah peraturan perundangundangan dari perjanjian, dalam peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa yang paling menonjol, sedangkan dalam Tahun 1947 Hoge Raad menyatakan diri (HR, 21 Februari 1947) secara tegas sebagai penganut teori kombinasi.

  1. Kontrak menurut bentuknya. Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320 BW). Dengan adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Pembedaan ini diilhami dari hukum Romawi. Dalam hukum Romawi, tidak hanya memerlukan adanya kata sepakat, tetapi perlu diucapkan kata-kata dengan yang suci dan juga harus didasarkan atas penyerahkan nyata dari suatu benda. Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata. Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 BW). Kontrak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta autentik. Akta autentik terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak. Akta yang dibuat oleh Notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya, berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT. Akta yang dibuat di hadapan Notaris merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan Notaris. Di samping itu, dikenal juga pembagian menurut bentuknya yang lain, yaitu perjanjian 1. Kontrak menurut bentuknya. Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320 BW). Dengan adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Pembedaan ini diilhami dari hukum Romawi. Dalam hukum Romawi, tidak hanya memerlukan adanya kata sepakat, tetapi perlu diucapkan kata-kata dengan yang suci dan juga harus didasarkan atas penyerahkan nyata dari suatu benda. Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata. Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 BW). Kontrak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta autentik. Akta autentik terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak. Akta yang dibuat oleh Notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya, berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT. Akta yang dibuat di hadapan Notaris merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan Notaris. Di samping itu, dikenal juga pembagian menurut bentuknya yang lain, yaitu perjanjian

  2. Kontrak timbal balik. Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewa-menyewa. Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu timbal balik tidak sempurna dan yang sepihak.

   Kontak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi satu pihak,

  sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini tampak ada prestasi-prestasi seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan senantiasa berkewajiban untuk melaksanakan pesan yang dikenakan atas pundaknya oleh orang pemberi pesan. Apabila si penerima pesan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut telah mengeluarkan biaya-biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus menggantinya.

   Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan kewajiban-

  kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah perjanjian pinjam mengganti. Pentingnya pembedaan di sini adalah dalam rangka pembubaran perjanjian.

  1. Perjanjian cuma-cuma atau dengan alas hak yang membebani. Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian, yang menurut hukum hanyalah menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak. Contohnya, hadiah dan pinjam pakai. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian, disamping prestasi pihak yang satu senantiasa ada prestasi (kontra) dari pihak lain, 1. Perjanjian cuma-cuma atau dengan alas hak yang membebani. Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian, yang menurut hukum hanyalah menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak. Contohnya, hadiah dan pinjam pakai. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian, disamping prestasi pihak yang satu senantiasa ada prestasi (kontra) dari pihak lain,

  2. Perjanjian berdasarkan sifatnya. Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian, yang ditimbulkan hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan, hal demikian untuk memenuhi perikatan. Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan hak milik. Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para pihak. Disamping itu, dikenal juga jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang utama, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang, baik kepada individu maupun pada lembaga perbankan. Sedangkan perjanjian accesoir merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan atau fidusia.

  3. Perjanjian dari aspek larangannya. Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya merupakan penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak untuk membuat perjanjian yang bertentang dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Ini disebabkan perjanjian itu mengandung praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang dilarang dibagi menjadi tiga belas jenis, sebagaimana disajikan berikut ini.

   Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku

  usaha lainnya untuk secara bersama melakukan penguasaan produksi dan atau usaha lainnya untuk secara bersama melakukan penguasaan produksi dan atau

   Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan

  pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran pada pasar yang bersangkutan sama. Pengecualian dari ketentuan ini adalah; Suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan, dan suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.

   Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku-pelaku

  usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda.

   Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang dibuat antara

  pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga yang berada di bawah harga pasar, perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

   Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

  dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya. Tindakan ini dilakukan dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

   Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

  dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.

   Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yang dibuat pelaku

  usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk mengahalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usah yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.

   Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku

  usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

   Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha

  lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perseroan anggotanya. Perjanjian ini bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

   Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku

  usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

   Perjanjian integrasi vertikal, perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan

  pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu. Setiap rangkaian produksi itu merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu. Setiap rangkaian produksi itu merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang

   Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

  dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat. Dari berbagai perjanjian yang dipaparkan di atas, menurut Salim H.S., jenis atau pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu kontrak nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah perjanjian- perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun dari aspek hak dan kewajiban. Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah perjanjian konsensual, obligator dan lain-lain.

C. Hakekat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagai suatu kontrak dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

  Pada dasarnya, PKWT itu adalah salah satu jenis kontrak. Kontrak yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah kontrak sebagai nama dari Ilmu Hukum, yang mana telah Penulis pinjam untuk memberikan gambaran dalam penelitian ini dari Jeferson Kameo. Adapun

  definisi kontrak adalah: 21

  “Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat

  21 Lihat Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, tanpa tahun, hlmn., 2.

  sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya.”

  Ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan menetapkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerjaburuh. Adanya

  perjanjian demikian sangatlah esensial. 22

  Pemahaman di atas pada prinsipnya serupa dengan apa yang ada di Eropa. Di kebanyakan negara di Eropa, dasar atau landasan hukum perburuhan dapat ditemukan di dalam „perjanjian kerja‟. Di negara-negara di Eropa (baik di dalam peraturan perundang- undangan maupun dalam yurisprudensi), perjanjian kerja dipahami mencakup tiga elemen inti: pekerjaan, upah, dan otoritaskewenangan. Ini berarti bahwa perjanjian kerja adalah suatu kesepakatan dengan mana buruhpekerja mengikatkan diri sendiri untuk bekerja di

  bawah otoritaskewenangan majikan dengan menerima pembayaran upah. 23

  Hukum Indonesia tidak mendefinisikan perjanjian kerja dengan cara serupa. Namun, Undang-Undang Ketenagakerjaan mendefinisikan „pekerja‟ dan „majikan‟ sebagai berikut:

  “(3) Pekerjaburuh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. (4) Pemberi kerja (majikan) adalah orang perseorangan, persekutuan, badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan

  membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.” 24

  Bila kita bandingkan pengertian kontrak kerja Eropa dengan versi Indonesia di atas, maka dapat dikatakan keduanya identik berkenaan dengan dua elemen esensial, yaitu „kerja‟ dan „upahimbalan‟. Tetapi elemen ketiga, otoritas tidak secara eksplisit merupakan bagian

  22 Agusmidah dkk., Bab-Bab tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Edisi 1, Denpasar: Pustaka Larasan, Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, Editor: Guus Heerma van Voss dan Surya

  Tjandra, 2012, hlmn., 13-15.

  23 Ibid. 24 Pasal 1 UU Ketenagakerjaan.

  dari definisi kontrak kerja versi Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan dengan menyatakan bahwa pembuat undang-undang Indonesia kiranya hendak memberikan definisi dengan cakupan yang luas, sedemikian sehingga dapat mencakup segala bentuk kerja paruh waktu

  atau sementara sekalipun otoritas pemberi kerja tidak tampak serta-merta di dalamnya. 25

  Penggunaan istilah „imbalan‟ daripada sekadar „upah‟ dan „pekerja‟ bukan „buruh‟ juga mengindikasikan bahwa pembuat undang-undang hendak menghindari penggunaan definisi atau pengertian yang terlalu sempit. Dari sudut pandang kepentingan melindungi buruh yang berada dalam situasi ketergantungan ekonomi, hal di atas kiranya sangat

  menguntungkan. 26

  Pada lain pihak, salah satu kerugian ialah bahwa kemudian definisi yang diberikan menjadi terlalu kabur dan luas. Dalam banyak kasus di mana seseorang sebenarnya kurang lebih mempekerjakan diri sendiri, namun melakukan pekerjaan tersebut untuk orang lain, maka muncul persoalan apakah mereka juga dapat dianggap tercakup ke dalam pengertian pekerja menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan?

  Ketiadaan definisi Perjanjian Kerja di dalam undang-undang sama turut memperparah ambiguitas tersebut. Patut dicermati bahwa KUHPerdata, sebaliknya, memberikan definisi yang lebih tegas. Perjanjian tersebut dalam KUPerdata disebut sebagai „perjanjian perburuhan‟ (labour agreement). Tampaknya tidak ada kehendak untuk membedakan antara „perjanjian kerja‟ dari UU Ketenagakerjaan dengan „perjanjian perburuhan‟ di dalam KUHPerdata. 27

  Perjanjian perburuhan didefinisikan sebagai: “suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu.” (an agreement in which one party, the

  25 Agusmidah, Loc. Cit. 26 Ibid. 27 Ibid.

  labourer, agrees to render his services to the other party, the employer, for a specific term in return for remuneration). 28 Berbeda dengan bunyi naskah asli dalam bahasa Belanda,

  KUHPerdata sebagaimana diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tidak mensyaratkan bahwa buruh berada „dalam ikatan kerjamengabdi (in dienst), yang berarti bahwa buruh bekerja di bawah otoritas majikan. Dalam hal ini, naskah berbahasa Inggris dari KUHPerdata sama

  tidak kaburnya dengan Undang-undang Ketenagakerjaan. 29

  Persoalan lain berkenaan dengan frasa for a specific term dalam naskah berbahasa Inggris. Dalam naskah asli berbahasa Belanda, frasa yang sama berbunyi gedurende een zekere tijd yang dapat diterjemahkan sebagai “untuk atau selama (jangka) waktu yang tertentu”. Frasa “untuk jangka waktu tertentu” (for a certain period of time) mengesankan bahwa kontrak atau perjanjian kerja itu memiliki batas waktu tertentu. Ini kiranya merupakan terjemahan yang keliru, karena definisi di atas sesungguhnya hendak juga mencakup perjanjian atau kesepakatan tanpa batas waktu tertentu, dinamakan juga “kontrak terbuka” (openended contract). Di samping itu, KUHPerdata nyata membedakan perjanjian kerjaperburuhan dengan kontrak (pemborongan) kerja (contract for work): “perjanjian pemborongan kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikat diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga yang telah ditentukan.” (the contract for work is the agreement by which one party, the contractor, binds himself to the other party, the client, to carry out specific tasks for a

  specific price). 30

  Berkaitan dengan ini tampak bahwa KUHPerdata mengindikasikan adanya perbedaan antara perjanjian kerjaperburuhan dengan perjanjian pemborongan kerja. Perjanjian pemborongan kerja berkenaan dengan pekerjaan yang digambarkan dengan lebih rinci, dan

  28 Pasal 1601a KUHPerdata. 29 Agusmidah, Loc. Cit. 30 Pasal 1601b KUHPerdata.

  sebab itu pula berjangka waktu tertentu. Sebaliknya untuk perjanjian kerjaperburuhan, pekerjaan apa yang dilakukan tidak dirinci dan perjanjian bisa jadi dimaksudkan untuk jangka waktu tidak terbatas. Di dalam teori (hukum) Belanda, perbedaan dibuat antara kewajiban untuk menyerahkan tenaga (make effort) (perjanjian kerjaperburuhan) dengan kewajiban untuk menuntaskan atau mencapai target tertentu (reach a specific result; perjanjian pemborongan kerjacontract for work). Perjanjian pemborongan kerja digunakan oleh seseorang yang mempekerjakan diri sendiri (self-employed persons) yang umumnya menerima atau mengikatkan diri untuk melakukan sejumlah penugasan dari mitra kontrak yang berbeda-beda. Sedangkan perjanjian kerjaperburuhan dipergunakan oleh buruhpekerja yang mengabdikan diri bekerja di suatu perusahaan tertentu selama beberapa jam (dalam

  sehari). 31

  Terjemahan ke dalam bahasa Inggris dari UU Ketenagakerjaan menggunakan istilah perjanjian kerja waktu tertentu (agreements for a specified time), disingkat PKWT, sedangkan negara-negara lain lebih kerap menggunakan istilah fixed-term contracts (kontrak dengan jangka waktu tetap). Di dalam hukum perburuhan, jenis kontrak seperti ini seringkali dibatasi, yakni untuk mendorong penggunaan kontrak dengan waktu tidak tertentu. Kontrak kerja waktu tidak tertentu kiranya dalam jangka panjang memberikan jaminan perlindungan yang jauh lebih baik bagi pekerjaburuh. Pembatasan demikian dapat berbentuk pembatasan alasan untuk mana perjanjian untuk waktu tertentu dapat dibuat, jangka waktu yang diperkenankan bagi kontrak seperti ini ataupun jumlah perjanjian untuk waktu tertentu yang dibuat berturut-turut yang dapat ditutup. Hukum perburuhan Indonesia menggunakan ketiga

  macam pembatasan di atas. 32

  Berdasarkan ketentuan Pasal 59 UUKetenagakerjaan, perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan

  31 Agusmidah, Loc. Cit. 32 Agusmidah, Op. Cit., hlmn., 17-20.

  pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Selanjutnya ketentuan tersebut menjelaskan bahwa pekerjaan demikian mencakup:

  a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

  b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

  c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

  d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

  Ketentuan penjelasan dari Pasal ini menetapkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus didaftarkan di instansi pemerintah yang bertanggungjawab atas urusan ketenagakerjaan.

  Ketentuan ayat (2) dari Pasal 59 UU Ketenagakerjaan di atas secara tegas menyatakan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Hal ini kiranya sudah dapat disimpulkan dari ketentuan ayat terdahulu pasal ini. Penjelasan dari ketentuan di atas menerangkan bahwa pekerjaan yang bersifat tetap merujuk pada pekerjaan yang bersifat berlanjut, terus menerus atau tanpa jeda, yang terikat pada jangka waktu tertentu, dan merupakan bagian dari proses produksi dalam kegiatan atau pekerjaan yang tidak bersifat musiman. Pekerjaan tidak musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung pada cuacaiklim atau situasi-kondisi tertentu. Jika suatu pekerjaan bersifat terus menerus serta berlanjut, namun tidak terikat jangkakerangka waktu (timeframe) dan merupakan bagian dari proses produksi, tetapi terikattergantung pada cuacaiklim ataupun pekerjaan diadakan karena adanya situasi-kondisi tertentu, maka dikatakan bahwa pekerjaan demikian adalah pekerjaan musiman. Pekerjaan demikian tidak termasuk pekerjaan tetap dan sebab itu dapat ditundukkan pada ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi perjanjian kerja untuk waktu tertentu.

  Menurut ketentuan Pasal 59 ayat (3) UU Ketenagakerjaan di atas, perjanjian kerja waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. Perbedaan antara keduanya harus dikaitkan dengan upaya-upaya lain untuk membatasi penggunaan kontrak-kontrak kerja seperti ini. Kiranya dengan perpanjangan (extension) dimaksudkan bahwa perjanjian lama langsung diteruskan seketika berakhir. Pembaharuan (renewal) sebaliknya merujuk pada pengertian bahwa setelah lewat jangka waktu tertentu setelah perjanjian berakhir, dibuat

  perjanjian baru. 33

  Ketentuan Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama

  2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Satu syarat tambahan ialah bahwa pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu tersebut berakhir, harus telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada

  pekerjaburuh yang bersangkutan. 34

  Ketentuan Pasal 59 ayat (6) UU Ketenagakerjaan berkenaan dengan pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu. Pembaharuan hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari (sejak) berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama. Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.

  Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat kita temukan empat ketentuan tambahan berkenaan dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Pertama, hubungan kerja berakhir demi hukum, jika habis waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian atau dalam

  peraturan perundang-undangan atau jika semuanya itu tidak ada, menurut kebiasaan. 35

  33 Ibid. 34 Lihat Pasal 59 ayat (5) UU Ketenagakerjaan. 35 Lihat Pasal 1603e KUHPerdata.

  Sebagai akibatnya, KUHPerdata secara tegas menetapkan bahwa jika lamanya hubungan kerja tidak ditentukan, baik dalam perjanjian atau reglemen, maupun dalam peraturan perundang-undangan atau menurut kebiasaan, maka hubungan kerja itu dipandang diadakan

  untuk waktu tidak tentu. 36 Ketentuan kedua yang dapat kita temukan dalam KUHPerdata berkenaan dengan kapan pemberitahuan perihal pemutusan hubungan kerja disyaratkan

  dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu.

  Menurut ketentuan Pasal 1603e KUHPerdata yang sudah disebut di atas, pemberitahuan tentang pemutusan hubungan hanya akan disyarakatkan dalam hal-hal berikut ini:

  1. Jika hal itu dijanjikan dalam surat perjanjian atau dalam reglemen;

  2. Jika menurut peraturan perundang-undangan atau menurut hukum kebiasaan, juga dalam hal lamanya hubungan kerja ditetapkan sebelumnya, diharuskan adanya pemberitahuan tentang pemutusan itu dari kedua belah pihak, dalam hal yang diperbolehkan, tidak mengadakan penyimpangan dengan perjanjian tertulis atau dengan reglemen.

  Ketentuan ketiga berkenaan dengan situasi pekerjaburuh terus melanjutkan pekerjaan padahal jangka waktu telah lampau dan belum ada kesepakatan baru dibuat berkenaan dengan pelanjutan pekerjaan tersebut. Ketentuan Pasal 1603f KUHPerdata menetapkan bahwa jika hubungan kerja, setelah waktunya habis sebagaimana diuraikan pada alinea pertama Pasal 1603e diteruskan oleh kedua belah pihak tanpa bantahan, maka hubungan kerja itu dianggap diadakan lagi untuk waktu yang sama. Dalam hal hubungan kerja yang diperpanjang itu akan berlangsung untuk waktu kurang dari enam bulan maka hubungan kerja tersebut dianggap diadakan untuk waktu tidak tentu, hanya dengan syarat-syarat yang sama.

  Ketentuan di atas berlaku pula jika dalam hal-hal tersebut pada alinea kedua Pasal 1603e KUHPerdata, pemberitahuan pemutusan hubungan kerja tidak dilakukan pada waktu

  36 Lihat Pasal 1603g KUHPerdata.

  yang tepat. Dalam surat perjanjian atau dalam reglemen, akibat-akibat dari pemberitahuan pemutusan hubungan kerja yang tidak dilakukan tepat pada waktunya dapat diatur dengan cara lain, asal hubungan kerja diperpanjang untuk waktu sedikit-dikitnya enam bulan.

  Terakhir, dapat kita temukan aturan yang berlaku bagi kontrak waktu tertentu yang dibuat berkelanjutan (consecutive fixedterm contracts). Suatu perjanjian kerja baru yang diadakan seorang buruh dalam waktu empat minggu setelah berakhirnya hubungan kerja sebelumnya, tidak peduli apakah hubungan kerja yang lalu itu diadakan untuk waktu tertentu atau waktu tidak tentu, dengan majikan yang sama dan untuk waktu tertentu yang kurang dari

  enam bulan, dipandang diadakan untuk waktu tidak tentu. 37 Ketentuan terakhir ini tampaknya bertentangan dengan sistem perpanjangan maupun pembaharuan dalam Pasal 59 UU

  Ketenagakerjaan.

  Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

  Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100MENVI2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans 1002004”), pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) adalah perjanjian kerja antara pekerjaburuh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.

  PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib mendapatkan pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan, maka klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha dengan pekerja) adalah klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU Ketenagakerjaan.

  PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Selama masa percobaan pengusaha wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku.

  37 Lihat Pasal 1603i bis KUHPerdata.

  Menurut Pasal 15 Kepmenakertrans 1002004, PKWT dapat berubah menjadi PKWTT, apabila:

  1. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;

  2. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam jenis pekerjaan yang dipersyaratkan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;

  3. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan jangka waktu perpanjangan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan;

  4. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut;

  5. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam angka (1), angka (2), angka (3) dan angka (4), maka hak-hak pekerja dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan bagi PKWTT.

  Menurut pasal 54 UU No.132003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya harus memuat:

  a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha

  b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerjaburuh

  c. jabatan atau jenis pekerjaan

  d. tempat pekerjaan

  e. besarnya upah dan cara pembayarannya

  f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerjaburuh f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerjaburuh

  h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

  Perbedaan antara Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu(PKWT) paling terlihat :

  1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(PKWT) tidak boleh mensyaratkan masa Percobaan kerja sesuai dengan Pasal 58 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan.

  2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu(PKWTT) boleh mensyaratkan masa Percobaan kerja Paling lama 3(tiga) bulan, sesuai dengan Pasal 60 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan.

D. Perjanjian Tidak Tertulis atau Lisan

  Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menentukan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.

  2. Cakap untuk membuat perikatan.

  3. Sesuatu hal tertentu.

  4. Suatu sebab atau causa yang halal.

  Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek perjanjian.

  Sehubungan bahwa pernyataan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu tidak selalu sesuai dengan kehendak, maka timbullah persoalan bagaimanakah caranya untuk menentukan telah terjadinya kata sepakat.

  Ada beberapa teori yang digunakan untuk menentukan terjadinya kata sepakat,

  yaitu :

  a. Teori Penawaran dan penerimaan (offer and acceptance)