Alasan Untuk Mengurangi Konsumsi Produk
ALASAN UNTUK MENGURANGI KONSUMSI PRODUK GORENGAN
Dr Purwiyatno Hariyadi
Sumber : Kompas, Kamis, 11 Juli 2002
http://www.kompas.com/kesehatan/news/0207/11/205932.htm
Berita Mengejutkan dari Universitas Stockholm.
Anda sulit mengurangi konsumsi pangan gorengan? Sekarang, ada satu alasan lagi bagi Anda untuk
mengurangi konsumsi pangan gorengan, yaitu alasan yang diberikan oleh peneliti dari Universitas
Stockholm, Swedia.
Menurut laporan penelitian yang disampaikan dalam jumpa pers pekan lalu, ilmuwan Swedia
melaporkan bahwa beberapa jenis pangan olahan yang disukai oleh kebanyakan penduduk dunia,
ternyata diduga mempunyai kandungan senyawa yang bisa menyebabkan kanker (karsinogen) dalam
jumlah yang tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Jurusan Kimia Lingkungan Universitas Stockholm bekerja
sama dengan Badan Pengawas Makanan Nasional Swedia (The Swedish National Food
Administration, NFA) menunjukkan bahwa proses pengolahan suhu sangat tinggi, yaitu proses
pemanggangan dan penggorengan bahan pangan kaya karbohidrat-misalnya kentang-ternyata akan
menyebabkan pembentukan akrilamida.
Masalahnya adalah bahwa akrilamida-yang secara kimia disebut juga 2-Propenamide; ethylene
carboxamide; acrylic amide; atau vinyl amide-merupakan senyawa kimia yang dicurigai bersifat
karsinogenik (menyebabkan kanker) pada manusia.
Dalam bentuk murninya, akrilamida yang mempunyai rumus kimia CH2CHCONH2 dan berat
molekul 71 ini berupa senyawa tidak berwarna dan tidak berbau.
Secara keseluruhan, lebih dari 100 contoh makanan yang telah dianalisis NFA. Bahan pangan yang
dianalisis meliputi rerotian, pasta, beras, ikan, sosis, daging (terutama daging sapi dan babi), biskuit,
kukis, sereal sarapan, bir, dan beberapa makanan siap saji seperti pizza dan produk lainnya.
Hasil studi menunjukkan bahwa kandungan akrilamida dari produk pangan yang dianalisis
menunjukkan nilai yang bervariasi. Namun demikian, diketahui bahwa keripik kentang (potato crisps)
dan kentang goreng (french fries) umumnya mengandung akrialmida dalam jumlah yang tinggi
dibandingkan dengan jenis bahan pangan lainnya. Kandungan akrilamida rata-rata yang ditemukan di
keripik kentang adalah sekitar 1.000 mikrogram/kg dan di kentang goreng sekitar 500 mikrogram/kg.
Dari studi itu juga dilaporkan bahwa bahan pangan yang tidak mengalami proses penggorengan atau
pemanggangan ternyata hanya mengandung akrilamida dalam jumlah yang sangat sedikit sehingga
tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan, penelitian juga tidak mendeteksi adanya akrilamida pada produk
pangan mentah atau produk pangan yang direbus atau dikukus.
Heboh?
Publikasi hasil studi ini saat ini menghebohkan seluruh dunia, laporan ini menyatakan bahwa
beberapa bahan pangan yang telah mengalami pemanasan bisa mengandung akrilamida dalam jumlah
yang tinggi. Jumlah kandungan akrilamida yang dilaporkan pada studi ini sangat tinggi, jauh dari
dugaan banyak ahli.
Hal kedua yang juga menghebohkan adalah bahwa hasil kerja dari peneliti Swedia ini menunjukkan
bahwa akrilamida ternyata terbentuk pada bahan pangan kaya karbohidrat yang diproses dengan suhu
sangat tinggi.
Kedua hal ini sangat berbeda dengan dugaan umum para ahli sehingga sampai laporan studi ini
dipublikasikan, belum jelas benar bagaimana mekanisme pembentukan akrilamida pada bahan pangan
tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang mekanisme reaksi pembentukan
akrilamida sehingga bisa dicari metode atau cara pengendaliannya supaya tidak terbentuk.
Kehebohan dari publikasi hasil penelitian yang mengagetkan ini banyak disikapi secara hati-hati oleh
badan pengawas makanan di berbagai negara, termasuk WHO.
Badan pengawas makanan di Inggris (The UK Food Standards Agency) telah mengeluarkan
pendapatnya (24 April 2002) yang menyatakan bahwa akrilamida belum pernah ditemukan dalam
jumlah yang sedemikian tinggi di dalam bahan pangan, tetapi kita perlu mencermati hasil penelitian
ini dengan serius dan perlu mengambil langkah-langkah investigasi lebih lanjut. Sementara itu, tidak
ada keperluan bagi masyarakat untuk mengubah pola diet/makannya.
Pernyataan yang mirip juga dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Namun demikian,
WHO akan segera membentuk panel ahli untuk bia mengevaluasi dan menentukan sejauh mana risiko
kesehatan masyarakat yang diakibatkan oleh adanya akrilamida pada pangan.
Badan Pengawas Makanan Swedia sendiri juga bersikap hati-hati, tidak serta-merta mengampanyekan
perubahan medua diet secara drastis. Bahkan peneliti dari Swedia ini juga menyatakan bahwa sampai
saat ini penelitian-penelitian epidemiologi belum menunjukkan adanya korelasi antara paparan
akrilamida dan peningkatan angka penderita kanker pada manusia.
Namun demikian, hasil yang diperoleh ini menunjukkan betapa pentingnya untuk melakukan
penelitian secara lebih meluas dan menyeluruh. Dan, untuk melakukan harmonisasi dan meningkatkan
efektivitas dan efisiensi penelitian lanjut, perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional antar
badan-badan pengawas makanan di berbagai negara.
Respons para ahli dari Amerika-antara lain dari the Joint Institute for Food Safety and Applied
Nutrition di Universitas Maryland-juga mirip, perlu pengkajian dan pengumpulan informasi yang
menyeluruh, termasuk mengkaji dan mengevaluasi metode yang digunakan untuk menganalisis
akrilamida pada bahan pangan tersebut.
Hal ini terutama penting dilakukan mengingat bahwa metode yang digunakan untuk menganalisis
akrilamida pada bahan pangan merupakan metode baru. Metode kromatografi cair yang
dikombinasikan dengan dua tahap spektrometeri massa (LC-MS-MS) itu saat ini sedang dimintakan
validasi dan akreditasi pada The National Accreditation Authority SWEDAC.
Apa yang perlu dilakukan?
Sebagaimana berbagai badan pengawas makanan dunia, Indonesia semestinya juga bersikap pro-aktif
dan hati-hati. Upaya pengumpulan informasi dan sekaligus komunikasi kepada semua stakeholder
perlu segera dilakukan. Di samping itu, kerja sama regional dan internasional untuk melakukan
kajian-khususnya untuk produk gorengan dan panggang khas Indonesia-perlu dilakukan.
Secara umum, hal yang sangat signifikan dari hasil penelitian ilmuwan Swedia itu adalah bahwa suhu
tinggi akan mendorong proses pembentukan akrilamida pada bahan pangan. Laporan penelitian juga
menyatakan bahwa akrilamida tidak terdapat atau sangat sedikit jumlahnya pada produk pangan
mentah atau produk pangan yang direbus atau dikukus.
Sementara kejelasan belum diperoleh, maka konsumen tetap diminta tenang dan tidak perlu
melakukan perubahan menu dietnya secara drastis. Namun demikian, konsumen hendaknya
disarankan untuk lebih memperhatikan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS), terutama dengan
memperbanyak konsumsi buah, sayuran, dan mengurangi konsumsi produk gorengan yang kaya
lemak. Selanjutnya, sesuai dengan hasil penelitian ini juga, konsumen perlu kembali diingatkan
tentang saran umum yang telah sering diberikan, yaitu bahwa akan lebih baik dan sehat untuk
merebus atau mengukus makanan daripada menggoreng pada suhu yang tinggi.
Selanjutnya, karena semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu proses pemanasan akan semakin
memperbanyak kandungan akrilamida pada bahan pangan, maka kepada industri pangan perlu
disarankan untuk melakukan optimasi proses termal; sedemikian rupa sehingga pemanasan yang
dilakukan tidak berlebihan. Proses pengolahan pangan yang perlu diteliti dan dioptimasi dengan
cermat dalam aspek pembentukan akrilamida ini adalah proses penggorengan (baik penggorengan
biasa ataupun penggorengan rendam/deep-frying), pemanggangan (baik proses baking, broiling,
maupun grilling).
Sumber : Kompas, Kamis, 11 Juli 2002
http://www.kompas.com/kesehatan/news/0207/11/205932.htm
View publication stats
Dr Purwiyatno Hariyadi
Sumber : Kompas, Kamis, 11 Juli 2002
http://www.kompas.com/kesehatan/news/0207/11/205932.htm
Berita Mengejutkan dari Universitas Stockholm.
Anda sulit mengurangi konsumsi pangan gorengan? Sekarang, ada satu alasan lagi bagi Anda untuk
mengurangi konsumsi pangan gorengan, yaitu alasan yang diberikan oleh peneliti dari Universitas
Stockholm, Swedia.
Menurut laporan penelitian yang disampaikan dalam jumpa pers pekan lalu, ilmuwan Swedia
melaporkan bahwa beberapa jenis pangan olahan yang disukai oleh kebanyakan penduduk dunia,
ternyata diduga mempunyai kandungan senyawa yang bisa menyebabkan kanker (karsinogen) dalam
jumlah yang tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Jurusan Kimia Lingkungan Universitas Stockholm bekerja
sama dengan Badan Pengawas Makanan Nasional Swedia (The Swedish National Food
Administration, NFA) menunjukkan bahwa proses pengolahan suhu sangat tinggi, yaitu proses
pemanggangan dan penggorengan bahan pangan kaya karbohidrat-misalnya kentang-ternyata akan
menyebabkan pembentukan akrilamida.
Masalahnya adalah bahwa akrilamida-yang secara kimia disebut juga 2-Propenamide; ethylene
carboxamide; acrylic amide; atau vinyl amide-merupakan senyawa kimia yang dicurigai bersifat
karsinogenik (menyebabkan kanker) pada manusia.
Dalam bentuk murninya, akrilamida yang mempunyai rumus kimia CH2CHCONH2 dan berat
molekul 71 ini berupa senyawa tidak berwarna dan tidak berbau.
Secara keseluruhan, lebih dari 100 contoh makanan yang telah dianalisis NFA. Bahan pangan yang
dianalisis meliputi rerotian, pasta, beras, ikan, sosis, daging (terutama daging sapi dan babi), biskuit,
kukis, sereal sarapan, bir, dan beberapa makanan siap saji seperti pizza dan produk lainnya.
Hasil studi menunjukkan bahwa kandungan akrilamida dari produk pangan yang dianalisis
menunjukkan nilai yang bervariasi. Namun demikian, diketahui bahwa keripik kentang (potato crisps)
dan kentang goreng (french fries) umumnya mengandung akrialmida dalam jumlah yang tinggi
dibandingkan dengan jenis bahan pangan lainnya. Kandungan akrilamida rata-rata yang ditemukan di
keripik kentang adalah sekitar 1.000 mikrogram/kg dan di kentang goreng sekitar 500 mikrogram/kg.
Dari studi itu juga dilaporkan bahwa bahan pangan yang tidak mengalami proses penggorengan atau
pemanggangan ternyata hanya mengandung akrilamida dalam jumlah yang sangat sedikit sehingga
tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan, penelitian juga tidak mendeteksi adanya akrilamida pada produk
pangan mentah atau produk pangan yang direbus atau dikukus.
Heboh?
Publikasi hasil studi ini saat ini menghebohkan seluruh dunia, laporan ini menyatakan bahwa
beberapa bahan pangan yang telah mengalami pemanasan bisa mengandung akrilamida dalam jumlah
yang tinggi. Jumlah kandungan akrilamida yang dilaporkan pada studi ini sangat tinggi, jauh dari
dugaan banyak ahli.
Hal kedua yang juga menghebohkan adalah bahwa hasil kerja dari peneliti Swedia ini menunjukkan
bahwa akrilamida ternyata terbentuk pada bahan pangan kaya karbohidrat yang diproses dengan suhu
sangat tinggi.
Kedua hal ini sangat berbeda dengan dugaan umum para ahli sehingga sampai laporan studi ini
dipublikasikan, belum jelas benar bagaimana mekanisme pembentukan akrilamida pada bahan pangan
tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang mekanisme reaksi pembentukan
akrilamida sehingga bisa dicari metode atau cara pengendaliannya supaya tidak terbentuk.
Kehebohan dari publikasi hasil penelitian yang mengagetkan ini banyak disikapi secara hati-hati oleh
badan pengawas makanan di berbagai negara, termasuk WHO.
Badan pengawas makanan di Inggris (The UK Food Standards Agency) telah mengeluarkan
pendapatnya (24 April 2002) yang menyatakan bahwa akrilamida belum pernah ditemukan dalam
jumlah yang sedemikian tinggi di dalam bahan pangan, tetapi kita perlu mencermati hasil penelitian
ini dengan serius dan perlu mengambil langkah-langkah investigasi lebih lanjut. Sementara itu, tidak
ada keperluan bagi masyarakat untuk mengubah pola diet/makannya.
Pernyataan yang mirip juga dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Namun demikian,
WHO akan segera membentuk panel ahli untuk bia mengevaluasi dan menentukan sejauh mana risiko
kesehatan masyarakat yang diakibatkan oleh adanya akrilamida pada pangan.
Badan Pengawas Makanan Swedia sendiri juga bersikap hati-hati, tidak serta-merta mengampanyekan
perubahan medua diet secara drastis. Bahkan peneliti dari Swedia ini juga menyatakan bahwa sampai
saat ini penelitian-penelitian epidemiologi belum menunjukkan adanya korelasi antara paparan
akrilamida dan peningkatan angka penderita kanker pada manusia.
Namun demikian, hasil yang diperoleh ini menunjukkan betapa pentingnya untuk melakukan
penelitian secara lebih meluas dan menyeluruh. Dan, untuk melakukan harmonisasi dan meningkatkan
efektivitas dan efisiensi penelitian lanjut, perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional antar
badan-badan pengawas makanan di berbagai negara.
Respons para ahli dari Amerika-antara lain dari the Joint Institute for Food Safety and Applied
Nutrition di Universitas Maryland-juga mirip, perlu pengkajian dan pengumpulan informasi yang
menyeluruh, termasuk mengkaji dan mengevaluasi metode yang digunakan untuk menganalisis
akrilamida pada bahan pangan tersebut.
Hal ini terutama penting dilakukan mengingat bahwa metode yang digunakan untuk menganalisis
akrilamida pada bahan pangan merupakan metode baru. Metode kromatografi cair yang
dikombinasikan dengan dua tahap spektrometeri massa (LC-MS-MS) itu saat ini sedang dimintakan
validasi dan akreditasi pada The National Accreditation Authority SWEDAC.
Apa yang perlu dilakukan?
Sebagaimana berbagai badan pengawas makanan dunia, Indonesia semestinya juga bersikap pro-aktif
dan hati-hati. Upaya pengumpulan informasi dan sekaligus komunikasi kepada semua stakeholder
perlu segera dilakukan. Di samping itu, kerja sama regional dan internasional untuk melakukan
kajian-khususnya untuk produk gorengan dan panggang khas Indonesia-perlu dilakukan.
Secara umum, hal yang sangat signifikan dari hasil penelitian ilmuwan Swedia itu adalah bahwa suhu
tinggi akan mendorong proses pembentukan akrilamida pada bahan pangan. Laporan penelitian juga
menyatakan bahwa akrilamida tidak terdapat atau sangat sedikit jumlahnya pada produk pangan
mentah atau produk pangan yang direbus atau dikukus.
Sementara kejelasan belum diperoleh, maka konsumen tetap diminta tenang dan tidak perlu
melakukan perubahan menu dietnya secara drastis. Namun demikian, konsumen hendaknya
disarankan untuk lebih memperhatikan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS), terutama dengan
memperbanyak konsumsi buah, sayuran, dan mengurangi konsumsi produk gorengan yang kaya
lemak. Selanjutnya, sesuai dengan hasil penelitian ini juga, konsumen perlu kembali diingatkan
tentang saran umum yang telah sering diberikan, yaitu bahwa akan lebih baik dan sehat untuk
merebus atau mengukus makanan daripada menggoreng pada suhu yang tinggi.
Selanjutnya, karena semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu proses pemanasan akan semakin
memperbanyak kandungan akrilamida pada bahan pangan, maka kepada industri pangan perlu
disarankan untuk melakukan optimasi proses termal; sedemikian rupa sehingga pemanasan yang
dilakukan tidak berlebihan. Proses pengolahan pangan yang perlu diteliti dan dioptimasi dengan
cermat dalam aspek pembentukan akrilamida ini adalah proses penggorengan (baik penggorengan
biasa ataupun penggorengan rendam/deep-frying), pemanggangan (baik proses baking, broiling,
maupun grilling).
Sumber : Kompas, Kamis, 11 Juli 2002
http://www.kompas.com/kesehatan/news/0207/11/205932.htm
View publication stats