Analisis Hujan Lebat Menggunakan Model WRF-ARW di Wilayah Bali Pada Musim Hujan Tahun 2016
Analisis Hujan Lebat Menggunakan Model WRF-ARW di Wilayah Bali
Pada Musim Hujan Tahun 2016
1
Putu Pradiatma Wahyudi1, Andersen L. Panjaitan2
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta
2
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta
Email: wahyudi.bmkg@gmail.com
Abstrak
Curah hujan dengan intensitas yang tinggi dapat menyebabkan banjir di sekitar
wilayah Denpasar. Variabilitas kondisi atmosfer yang tinggi di daerah khatulistiwa
mengakibatkan kesulitan dalam simulasi cuaca. Salah satu model yang digunakan untuk
melakukan simulasi cuaca adalah model WRF-ARW. Pada penelitian ini dilakukan uji
parameterisasi mikrofisis untuk menganalisis kejadian hujan lebat pada musim hujan di
wilayah Bali tahun 2016. Parameterisasi mikrofisis yang digunakan adalah skema Kessler
dan WSM6, sementara parameterisasi cumulus yang digunakan adalah skema Betts-MillerJanjic (BMJ). Hasil dari uji parameterisasi mikrofisis didapat skema WSM6 merupakan
skema yang terbaik dan konsisten dalam melakukan analisis hujan lebat. Skema WSM6-BMJ
menunjukan nilai kelembapan yang tinggi pada kejadian hujan lebat yang didukung nilai
CAPE yang cukup tinggi pada lapisan permukaan. Kondisi ini mendukung proses
terbentuknya awan yang menyebabkan terjadinya hujan lebat.
Kata kunci : WRF-ARW, skema WSM6-BMJ, hujan lebat, analisis
Abstract
High intensity rainfall can cause flooding around the Denpasar region. The high
variability of atmospheric condition in equatorial region give impact in difficuly to simulate
weather in equatorial region. One of the weather models used to simulate the weather is
WRF-ARW model. In this research, the microphysics parameterization is tested for analysis
the rainfall in rainy season. Microphysics parameterization used is Kessler scheme and
WSM6 scheme, while cumulus parameterization used is BMJ scheme. The result from tested
microphysics parameterization obtained WSM6 scheme show the most consistent and best
results for analysis of rainfall. WSM6-BMJ to showing a high humidity value which was
supported by CAPE value on surface layer. These conditions to supports the formation of
clouds that caused the heavy rain.
Keywords : WRF-ARW, WSM6-BMJ scheme, heavy rain, analysis
1. PENDAHULUAN
Tingkat penyinaran matahari di wilayah
tropis yang sangat tinggi dan ketersediaan uap
air yang melimpah di wilayah Indonesia
mengakibatkan proses konvektifitas yang
sangat tinggi sehingga mempengaruhi siklus
hidup pertumbuhan awan yang sangat cepat
dan bersifat lokal. Jenis awan yang terbentuk
karena proses konvektifitas ini adalah awan
konvektif yang dapat menyebabkan terjadinya
hujan lebat dalam kurun waktu yang singkat.
Hujan berasal dari uap air di atmosfer,
sehingga bentuk dan jumlahnya dipengaruhi
oleh faktor klimatologi seperti angin,
temperatur dan tekanan atmosfer. Uap air
yang naik ke atmosfer disebabkan oleh proses
konveksi yang kemudian mendingin dan
terjadi kondensasi menjadi butir – butir air dan
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
kristal – kristal es yang akhirnya jatuh ke
permukaan bumi sebagai hujan (Triatmodjo,
2008).
Pengertian curah hujan adalah
ketinggian air hujan yang terkumpul
dalam tempat yang datar, tidak menguap,
tidak meresap, dan tidak mengalir. Satuan
curah hujan adalah millimeter (mm).
Curah hujan satu mm merupakan luasan
satu meter persegi pada tempat yang datar
tertampung air setinggi satu millimeter.
Sedangkan intensitas hujan adalah
banyaknya curah hujan selama selang
waktu hujan. Intensitas curah hujan dapat
dikategorikan menjadi beberapa macam,
yaitu (BMKG, 2010):
Tabel 1 Kategori intensitas curah hujan
Hujan
ringan
Hujan
sedang
Hujan
lebat
Hujan
sangat
lebat
1,0 – 5,0
mm/jam
5,0 – 10,0
mm/jam
10,0 – 20,0
mm/jam
> 20,0
mm/jam
5,0 – 20,0
mm/hari
20,0 – 50,0
mm/hari
50,0 – 100,0
mm/hari
> 100,0
mm/hari
Wilayah Bali memiliki pola curah hujan
monsunal yang berarti memiliki perbedaan
yang jelas antara periode musim hujan dan
periode musim kemarau. Pola ini dipengaruhi
oleh angin musiman (monsun), baik angina
baratan maupun angin timuran yang bertiup
akibat adanya perbedaan musim dibelahan
bumi utara dan belahan bumi selatan. Tipe
curah hujan ini bersifat unimodial yaitu
memiliki satu puncak musim hujan pada bulan
Desember, Januari, dan Februari (DJF)
sedangakn musim kemarau pada bulan Juni,
Juli, Agustus (JJA) (Aldrian, 2003).
Pada tanggal 1, 3, dan 12 Februari 2016
wilayah di wilayah Bali terjadi curah hujan
dengan intensitas yang tinggi, sehingga
menyebabkan banjir di beberapa titik
penelitian. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah
model cuaca yang dapat merepresentasikan
kondisi atmosfer sehingga dapat memberikan
prakiraan cuaca dan analisis suatu fenomena
meteorologi yang berdampak kepada
masyarakat. Model cuaca dapat dibedakan
berdasarkan skalanya, diantaranya model
skala global, model skala meso, dan model
skala lokal. WRF merupakan salah satu model
cuaca skala meso yang dikembangkan oleh
National Center for Atmospheric Research
(NCAR) yang bekerjasama dengan National
Centers for Environmental Prediction
(NCEP) Colorado USA, Forecast System
Laboratory of the NOAA (NOAA/FLS), Air
Force Weather Agency (AFWA) serta instansi
lainnya. (Widiatmoko dkk., 2006 dalam
Subarna, 2009). Weather Research and
Forecasting – Advanced Research WRF
(WRF-ARW) merupakan model generasi
lanjutan sistem cuaca numerik skala meso
yang mampu memberikan gambaran kondisi
atmosfer pada suatu wilayah.
Dalam model terdapat beberapa jenis
parameterisasi. Parameterisasi adalah cara
penyelesaian proses fisis dan dinamis yang
terjadi di atmosfer. Pengujian skema
parameterisasi sangat penting dilakukan
karena disetiap daerah memiliki karakteristik
cuaca yang berbeda dan diperlukan
parameterisasi
yang
sesuai
untuk
memprediksi dan menganalisis suatu
fenomena meteorologi.
Berdasarkan
penelitian
Wahyudi
(2017), mengenai Analisis Parameterisasi
Konvektif Dalam Model WRF-ARW di
Wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Penelitian
ini menggunakan data Final Analysis (FNL)
dengan metode simulasi dan komparatif
menggunakan 2 domain pada model dengan
resolusi 20 km dan 6 km di wilayah Bali dan
Nusa Tenggara yang kemudian dilakukan
perbandingan
parameterisasi
cumulus
dengan skema Kain-Fritsch (KF), skema
Betts-Miller-Janjic (BMJ), dan skema Grell
Devenyi (GD). Hasil dari penelitian ini
menunjukan bahwa skema BMJ merupakan
skema yang terbaik pada setiap musim di
wilayah Bali dalam menganalisis suatu
kejadian hujan. Pada penelitian ini digunakan
kombinasi skema yang terdapat dalam
parameterisasi mikrofisis, yaitu:
Tabel 2 Kombinasi skema mikrofisis
Mikrofisis Cumulus
Kessler
Betts-Miller Janjic (BMJ)
WSM6
Betts-Miller Janjic (BMJ)
Skema Kessler merupakan skema awan
hangat yang sederhana, meliputi uap air, tetes
2
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
hujan, dan hujan (Kessler, 1995; Skamarock,
2008).
Skema WSM6 merupakan skema
mikrofisis single moment dengan 6 jenis fase
uap air, awan cair, kristal es awan, salju,
hujan, dan graupel serta merupakan
pengembangan dari skema WSM5. Skema
single moment hanya memprediksi jumlah
mixing ratio dari satu jenis fase uap air
sehingga variabel yang dihitung pada skema
ini antara lain qv (uap air), qc (awan cair), qi
(kristal es awan), qs (salju), qr (hujan), dan
qg (graupel) (Skamarock, 2008; Hong, 2006)
Skema
Betts-Miller-Janjic
(BMJ)
merupakan skema yang mengansumsi nilai
CAPE tidak terlalu besar, parameter
downdraft convective tidak dimasukkan dan
batas mixing line kurang tepat dalam kasus
konvektif dan tidak langsung menimbulkan
skala tinggi dan rendah. Skema ini memiliki
struktur thermodinamika quasi-equilibrium
yang berarti lingkungannya berpindah akibat
konveksi (Skamarock, 2008).
2. DATA DAN METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data FNL. Data FNL merupakan data
model global yang digunakan oleh National
Centers for Enviromental Prediction (NCEP)
dengan resolusi grid 10 x 10 atau sama dengan
111 km x 111 km dengan interval tiap enam
jam. Kerja dari sistem ini adalah memasukan
nilai observasi kedalam model, data model
nantinya akan digunakan sebagai prakiraan
yang baru.
Data Global Satellite Mapping of
Precipitation (GSMaP) yang digunakan
sebagai pembanding hasil keluaran model
WRF-ARW pada parameter hujan. Data curah
hujan GSMaP memiliki resolusi sebesar 0,10
x 0,10 yang memiliki interval tiap jam.
Metode pengolahan data inputan model
yaitu data FNL dengan resolusi 10 x 10
dilakukan teknik downscaling menjadi
resolusi 0,10 x 0,10 dengan domain sebanyak
tiga domain dengan resolusi masing-masing
30 km, 10 km, dan 3 km. Data FNL tersebut
diproses dalam model WRF-ARW selama 48
jam pada waktu sebelum kejadian dan saat
kejadian. Untuk lebih jelasnya dapat melihat
konfigurasi fisis sesuai tabel 3.
Gambar 1 Domain penelitian
Tabel 4 Tabel kontingensi (Wilks, 2006)
Konfigurasi fisis
model WRFARW
Wilayah model WRF-ARW
Domain
1
30 km
Resolusi
1. Kessler
Mikrofisis
2. WSM6
Short
wave DUDHIA
radiation
RRTM
Long
wave
radiation
MM5
Surface layer
NOAH
Land surface
YSU
Planetary
Boundary Layer
BMJ
Cumulus
Parameterization
Domain
2
10 km
1. Kessler
2. WSM6
DUDHIA
Domain
3
3 km
1. Kessler
2. WSM6
DUDHIA
RRTM
RRTM
MM5
NOAH
YSU
MM5
NOAH
YSU
BMJ
BMJ
Verifikasi
pada
penelitian
ini
menggunakan metode dikotomus dengan
mengguanakn tabel kontingensi untuk
mengetahui tingkat akurasi dan sifat model
dalam melakukan prediksi kejadian hujan
terhadap data observasinya.
Tabel 4 Tabel kontingensi (Wilks, 2006)
Event
Event observed
forecast
Yes
No
Marginal
Total
Yes
No
Marginal
False
Forecast
Alarm
Yes
Correct
Forecast
Negative
No
Obs No
sum total
Hits
Misses
Obs Yes
Total
3
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Keterangan:
Hits
: Kejadian yang diprakirakan
terjadi benar terjadi
False Alarm
: Kejadian yang diprakirakan
terjadi, tidak terjadi
Misses
: Kejadian yang diprakirakan
tidak terjadi, terjadi
Correct Negative: Kejadian yang diprakirakan
tidak terjadi benar tidak
terjadi
Dari perhitungan table kontingensi diatas
hasil keluaran model WRF-ARW dengan
parameter hujan diverifikasi dengan data
estimasi curah hujan GSMaP untuk melihat
akurasi model terhadap data observasinya.
Hasil ini dibandingkan secara kuantitatif
menggunakan 3 indeks statistic, yaitu
Proportion Correct (PC), Frequency Bias
Index (FBI), False Alarm Ratio (FAR), dan
Probability of Detection (POD).
�ℎ�
+�
�
� ��
(1)
a. � =
� �
Nilai akurasi menunjukan hasil prediksi
model yang benar terhadap hasil observasi
secara keseluruhan baik hits maupun correct
negative. Rentang nilai PC antara 0 sampai 1,
nilai 1 merupakan prakiraan yang sempurna
(Wilks, 2006).
ℎ� + �
��
b.
�=
(2)
ℎ� + �
Nilai FBI merupakan perbandingan
antara kejadian “ya” dari prakiraan dan
kejadian “ya” dari observasi. Nilai sempurna
pada FBI adalah 1 yang berarti banyak
kejadian hasil prakiraan dengan hasil
observasi. Apabila nilai FBI > 1 maka hasil
prakiraan lebih banyak dari hasil observasi
(over forecasting), sementara nilai FBI < 1
maka hasil prakiraan lebih sedikit dari hasil
observasi (under forecasting) (Wilks, 2006).
c.
=
�
��
ℎ� + �
��
(3)
Nilai FAR digunakan untuk mengetahui
tingkat kesalahan model dalam memprediksi.
Rentang nilai FAR antara 0 – 1, nilai
sempurna adalah 0 (Wilks, 2006).
��
(4)
d. � = �� + �
Nilai POD digunakan untuk mengetahui
frekuensi kejadian hujan pada model terhadap
data observasinya. Nilai 1 merupakan nilai
yang sempurna (Wilks, 2006)
Diagram Taylor digunakan sebagai
verifikasi terhadap kecocokan hasil observasi
dengan hasil keluaran model. Diagram ini
dapat menunjukan nilai korelasi, standar
deviasi, serta RMSE (Root Mean Squared
Error) suatu nilai variabel hasil keluaran
model dalam satu tampilan (Taylor, 2001).
Gambar 2 Diagram Taylor (Taylor, 2001)
Standar deviasi merupakan ukuran
dari sebaran data terhadap nilai rata-ratanya.
= [ ∑�=
�
− ̅ ]
(5)
Sementara korelasi digunakan untuk melihat
kekuatan dan arah hubungan dari dua variabel.
=
[
�−
∑�
�=
�−
∑�
�= [
�−
̅ ]
⁄
�−
[
̅
�−
�− ̅
∑�
�=
]
�− ̅
]
⁄
(6)
RMSE digunakan untuk melihat rata-rata
selisih nilai model dengan observasinya.
Semakin besar nilai RMSE, maka semakin
besar penyimpangan nilai hasil model
terhadap nilai observasinya.
�
= [ ∑�=
Keterangan:
rxy
s
n
xi dan oi
yi
̅
̅
�
− �� ]
(7)
= koefisien
korelasi
= koefisien standar deviasi
= banyak data
= nilai variabel observasi
= nilai variabel keluaran
model
= nilai rata-rata observasi
= nilai rata-rata keluaran
model
Berikut merupakan diagram alir
penelitian yang dimulai dari identifikasi
masalah, kemudian melakukan pengolahan
4
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
data dan memverifikasi data model terhadap
data observasi yang pada akhirnya dilakukan
analisis fenomena atmosfer.
Tanggal
Intensitas
Curah Hujan
1 Februari 77 mm/hari
2016
3 Februari 146 mm/hari
2016
12 Februari 75 mm/hari
2016
1
Mulai
Identifikasi
waktu kejadian
Data
GSMaP
resolusi
0.1° x 0.1°
Tabel 5 Tanggal penelitian
No
2
Data FNL
resolusi
1° x 1°
Data
Observasi
3
Running model
WRF-ARW
Kessler-BMJ
WSM6-BMJ
Hasil keluaran model
WRF-ARW
GrADS
Hujan
Kelembapan
Udara
Streamline
Hasil verifikasi model terhadap data
observasi
Berdasarkan verifikasi spasial antara
model dengan data estimasi curah hujan dari
GSMaP didapat skema yang sesuai dan
memiliki nilai akurasi yang tinggi adalah
skema WSM6.
CAPE
1.0
Verifikasi
Analisis
Verifikasi
Kesimpulan
PC
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan tanggal penelitian
Berdasarkan kategori intensitas curah
hujan menurut BMKG yang menandakan
bahwa hujan lebat merupakan curah hujan
dengan intensitas diatas 50,0 mm/hari.
mm/hari
100
80
60
FAR
FBI
WSM6
KESLER
WSM6
KESLER
WSM6
Gambar 3 Diagram alir
KESLER
WSM6
0.0
KESLER
Selesai
POD
Gambar 5 Diagram perbandingan model di
wilayah Bali
Berdasarkan Gambar 5, terlihat bahwa
skema WSM6 memiliki nilai FAR yang sama
dengan skema Kessler, hal ini menunjukan
bahwa tingkat kesalahan model dalam
memprediksi antara skema WSM6 dengan
skema Kessler sama. Namun berdasarkan
nilai POD skema WSM6 memiliki nilai yang
lebih tinggi daripada skema Kessler, hal ini
menunjukan bahwa peluang model dalam
mendeteksi suatu kejadian hujan sangat besar.
40
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31
tanggal
jan feb
Gambar 4 Curah hujan wilayah Bali pada musim
hujan
Oleh sebab itu pemilihan tanggal
penelitian berdasarkan data curah hujan
Stasiun Meteorologi Ngurah Rai, Denpasar
pada tanggal 1, 3, dan 12 Februari 2016 telah
terjadi hujan lebat dengan intensitas diatas
50,0 mm/hari.
40.0
20.0
0.0
KESLER
WSM6
RMSE
Gambar 6 Nilai RMSE model di wilayah Bali
Berdasarkan Gambar 6 yang merupakan
nilai RMSE skema Kessler dengan skema
WSM6 dan memberikan hasil bahwa skema
5
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
WSM6 memiliki nilai error yang lebih rendah
daripad skema Kessler.
(a)
(b)
Gambar 8 Perbandingan spasial curah hujan
wilayah Bali (a) Model dan (b) GSMaP
Gambar 6 Diagram Taylor musim hujan wilayah
Bali
Berdasarkan diagram Taylor yang
ditunjukan oleh Gambar 6, memberikan arti
bahwa titik merah dengan simbol B yang
merupakan skema WSM6 memiliki jarak lebih
dekat dengan titik merah bersimbol O
daripada titik merah bersimbol A yang
merupakan skema Kessler. Oleh sebab itu
dalam verifikasi ini skema yang terbaik dalam
melakukan simulasi hujan lebat di wilayah
Bali pada musim hujan adalah skema WSM6
pada parameterisasi microphysics. Skema
WSM6 akan digunakan dalam menganalisis
suatu kejadian hujan diwilayah Bali dengan
kombinasi parameterisasi cumulus skema
Betts-Miller-Janjic (BMJ).
Studi Kasus 1 Februari 2016
Pada Gambar 7 terlihat nilai CAPE yang
sangat tinggi sebesar 1000 – 2000 J/Kg
disekitar wilayah Bali yang dapat
menyebabkan pertumbuhan awan konvektif
penghasil hujan.
Berdasarkan hasil perbandingan spasial
antara model (Gambar 8a) dengan data curah
hujan dari GSMaP (Gambar 8b) didapat nilai
akurasi model terhadap observasinya sebesar
99% dengan tingkat kesalahan model dalam
memprediksi sebesar 0% dan nilai POD
sebesar 100%.
Gambar 9 Nilai kelembapan udara tanggal 1
Februari 2016
Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa
kelembapan udara secara vertikal selama satu
hari pada tanggal 1 Februari 2016 memiliki
tingkat kebasahan yang sangat tinggi. Hal ini
Pada jam 12.00 UTC terdapat nilai RH sebesar
90 – 100% yang dapat menyebabkan
terjadinya hujan dengan intensitas yang
tinggi.
Studi Kasus 3 Februari 2016
Pada Gambar 10 terlihat nilai CAPE yang
terjadi pada jam 00.00 UTC sangat tinggi yang
menandakan terjadinya proses konveksi pada
pagi hari yang dapat menyebabkan hujan
selama sehari kedepan.
Gambar 7 Nilai CAPE jam 12.00 UTC
Berdasarkan
data
pengamatan
permukaan Stasiun Meteorologi Ngurah Rai
Denpasar hujan dimulai pada pukul 12.00
UTC yang berlangsung selama satu hari dan
terukur sebanyak 76,5 mm/hari.
Gambar 10 Nilai CAPE jam 00.00 UTC
6
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(a)
(b)
Gambar 11 Perbandingan spasial curah hujan
wilayah Bali (a) Model dan (b) GSMaP
Berdasarkan Gambar 11 terlihat pada
bagian (b) yang merupakan curah hujan dari
GSMaP memberikan nilai curah hujan yang
terjadi selama satu hari pada tanggal 3
Februari 2016 sebesar 60 mm/hari. Gambar 11
menunjukan nilai akurasi model terhadap data
observasinya sebesar 83% dengan tingkat
kesalahan model dalam melakukan prediksi
sebesar 16% dan nilai POD sebesar 100%.
Berdasarkan Gambar 14 terlihat pada
bagian (a) yang merupakan hasil keluaran
model memiliki nilai curah hujan yang over
estimate terhadap data observasinya. Curah
hujan pada lokasi penelitian terukur sebesar
100 mm/hari, namun berdasarakn data
pengamatan permukaan curah hujan yang
dimulai dari pukul 03.00 UTC terukur sebesar
75,1 mm/hari.
(a)
(b)
Gambar 14 Perbandingan spasial curah hujan
wilayah Bali (a) Model dan (b) GSMaP
Berdasarkan perhitungan indeks statistik
yang menampilkan nilai akurasi, model
memiliki akurasi sebesar 100% dengan
tingkat kesalahan model sebesar 0%. Nilai
POD sebesar 100%. Hasil pada model tanggal
12 Februari 2016 memiliki nilai error yang
tinggi sebesar 55%.
Gambar 12 Nilai kelembapan udara tanggal 3
Februari 2016
Berdasarkan nilai kelembapan udara
secara vertikal pada tanggal 3 Februari 2016
terlihat pada pukul 00.00 UTC wilayah Bali
memiliki tingkat kebasahan yang sangat tinggi
sebesar 90 – 100% yang dapat menyebabkan
terjadinya hujan dengan intensitas yang lebat
yang didukung dengan nilai CAPE yang
tinggi.
Studi Kasus 12 Februari 2016
Pada Gambar 13 terlihat nilai CAPE yang
terjadi di lokasi penelitian memiliki nilai yang
tinggi yaitu sekitar 1000 – 1500 J/Kg yang
menandakan terjadinya proses konveksi yang
tinggi sehingga dapat terbentuknya awan
penghasil hujan.
Gambar 15 Nilai kelembapan udara tanggal 12
Februari 2016
Berdasarkan nilai kelembapan udara
secara vertikal pada tanggal 12 Februari 2016
terlihat pada pukul 03.00 UTC hingga pukul
18.00 UTC memiliki nilai RH sebesar 80 –
100%. Hal ini menandakan bahwa tingkat
kebasahan pada wilayah Bali sangat tinggi
yang dapat menghasilkan hujan dalam
intensitas yang lebat.
4.KESIMPULAN
Gambar 13 Nilai CAPE jam 09.00 UTC
Secara umum, simulasi kondisi atmosfer
yang dilakukan oleh model WRF-ARW cukup
baik dan representatif walau terkadang
memiliki nilai yang over atau under estimate
terhadap data observasinya. Skema WSM6BMJ dianggap mampu memberikan hasil yang
baik dalam melakukan prediksi dan analisis
7
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
suatu kejadian hujan diwilayah Bali pada
musim hujan. Berdasarkan indeks statistik
seperti PC, FBI, FAR, POD, dan RMSE
mampu memberikan hasil yang baik, yaitu
mencapai >80%.
Perlu diadakan pengujian tingkat lanjut
terkait parameterisasi yang lainnya dan
menambah kasus agar memiliki hasil yang
lebih baik dari penelitian ini.
Wilks, D.S, 2006, Statistical Methods In The
Atmospheric Sciences, Vol. 91,
Elsevier, USA.
DAFTAR PUSTAKA
______, 2010, Keputusan No. 009 Tentang
Prosedur
Standar
Operasional
Pelaksanaan
Peringatan
Dini,
Pelaporan, dan Diseminasi Informasi
Cuaca Ekstrim, BMKG, Jakarta.
Aldrian, E., Susanto, R., 2003, Identification
of Three Domaint Rainfall Regions
Within
Indonesia
and
Their
Relationship
to
Sea
Surface
Temperature, International Journal of
Climatology, Vol. 23, pp 1435-1452.
Hong, S., Jeong-Ock, The WRF SingleMoment 6-Class Microphysics Scheme
(WSM6), Journal Of The Korean
Meteorological Society, No. 2, Vol 42,
pp 129-151.
Kessler, E., 1995, On The Continuity and
Distribution of Water Substance in
Atmospheric Circulations, Atmospheric
Research, Vol. 38, pp 109-145.
Skamarock, W.C., Klemp, J.B., Dudhia, J.,
Gill, D.O., Barker, D.M., Duda, M.G.,
Huang, X., Wang, W., Powers, J.G.,
2008, A Description of the Advanced
Research WRF Version 3, NCAR/TN475+STR, NCAR Technical note.
Subarna, D., 2009, Simulasi Hujan Front
dengan menggunakan Model WRF.
Prosiding
Seminar
Nasional
Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan
MIPA, Yogyakarta.
Taylor, K. E., 2001, Summarizing multiple
aspects of model performances in a
single diagram, Journal of Geophysical
Research, No. D7, Vol. 106, pp 71837192.
Triatmodjo, B., 2008, Hidrologi Terapan,
Beta Offset, Yogyakarta.
Wahyudi, P.P., 2017, Analisis Parameterisasi
Konvektif Dalam Model WRF-ARW di
Wilayah Bali dan Nusa Tenggara,
Skripsi, STMKG, Tangerang Selatan.
8
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Pada Musim Hujan Tahun 2016
1
Putu Pradiatma Wahyudi1, Andersen L. Panjaitan2
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta
2
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta
Email: wahyudi.bmkg@gmail.com
Abstrak
Curah hujan dengan intensitas yang tinggi dapat menyebabkan banjir di sekitar
wilayah Denpasar. Variabilitas kondisi atmosfer yang tinggi di daerah khatulistiwa
mengakibatkan kesulitan dalam simulasi cuaca. Salah satu model yang digunakan untuk
melakukan simulasi cuaca adalah model WRF-ARW. Pada penelitian ini dilakukan uji
parameterisasi mikrofisis untuk menganalisis kejadian hujan lebat pada musim hujan di
wilayah Bali tahun 2016. Parameterisasi mikrofisis yang digunakan adalah skema Kessler
dan WSM6, sementara parameterisasi cumulus yang digunakan adalah skema Betts-MillerJanjic (BMJ). Hasil dari uji parameterisasi mikrofisis didapat skema WSM6 merupakan
skema yang terbaik dan konsisten dalam melakukan analisis hujan lebat. Skema WSM6-BMJ
menunjukan nilai kelembapan yang tinggi pada kejadian hujan lebat yang didukung nilai
CAPE yang cukup tinggi pada lapisan permukaan. Kondisi ini mendukung proses
terbentuknya awan yang menyebabkan terjadinya hujan lebat.
Kata kunci : WRF-ARW, skema WSM6-BMJ, hujan lebat, analisis
Abstract
High intensity rainfall can cause flooding around the Denpasar region. The high
variability of atmospheric condition in equatorial region give impact in difficuly to simulate
weather in equatorial region. One of the weather models used to simulate the weather is
WRF-ARW model. In this research, the microphysics parameterization is tested for analysis
the rainfall in rainy season. Microphysics parameterization used is Kessler scheme and
WSM6 scheme, while cumulus parameterization used is BMJ scheme. The result from tested
microphysics parameterization obtained WSM6 scheme show the most consistent and best
results for analysis of rainfall. WSM6-BMJ to showing a high humidity value which was
supported by CAPE value on surface layer. These conditions to supports the formation of
clouds that caused the heavy rain.
Keywords : WRF-ARW, WSM6-BMJ scheme, heavy rain, analysis
1. PENDAHULUAN
Tingkat penyinaran matahari di wilayah
tropis yang sangat tinggi dan ketersediaan uap
air yang melimpah di wilayah Indonesia
mengakibatkan proses konvektifitas yang
sangat tinggi sehingga mempengaruhi siklus
hidup pertumbuhan awan yang sangat cepat
dan bersifat lokal. Jenis awan yang terbentuk
karena proses konvektifitas ini adalah awan
konvektif yang dapat menyebabkan terjadinya
hujan lebat dalam kurun waktu yang singkat.
Hujan berasal dari uap air di atmosfer,
sehingga bentuk dan jumlahnya dipengaruhi
oleh faktor klimatologi seperti angin,
temperatur dan tekanan atmosfer. Uap air
yang naik ke atmosfer disebabkan oleh proses
konveksi yang kemudian mendingin dan
terjadi kondensasi menjadi butir – butir air dan
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
kristal – kristal es yang akhirnya jatuh ke
permukaan bumi sebagai hujan (Triatmodjo,
2008).
Pengertian curah hujan adalah
ketinggian air hujan yang terkumpul
dalam tempat yang datar, tidak menguap,
tidak meresap, dan tidak mengalir. Satuan
curah hujan adalah millimeter (mm).
Curah hujan satu mm merupakan luasan
satu meter persegi pada tempat yang datar
tertampung air setinggi satu millimeter.
Sedangkan intensitas hujan adalah
banyaknya curah hujan selama selang
waktu hujan. Intensitas curah hujan dapat
dikategorikan menjadi beberapa macam,
yaitu (BMKG, 2010):
Tabel 1 Kategori intensitas curah hujan
Hujan
ringan
Hujan
sedang
Hujan
lebat
Hujan
sangat
lebat
1,0 – 5,0
mm/jam
5,0 – 10,0
mm/jam
10,0 – 20,0
mm/jam
> 20,0
mm/jam
5,0 – 20,0
mm/hari
20,0 – 50,0
mm/hari
50,0 – 100,0
mm/hari
> 100,0
mm/hari
Wilayah Bali memiliki pola curah hujan
monsunal yang berarti memiliki perbedaan
yang jelas antara periode musim hujan dan
periode musim kemarau. Pola ini dipengaruhi
oleh angin musiman (monsun), baik angina
baratan maupun angin timuran yang bertiup
akibat adanya perbedaan musim dibelahan
bumi utara dan belahan bumi selatan. Tipe
curah hujan ini bersifat unimodial yaitu
memiliki satu puncak musim hujan pada bulan
Desember, Januari, dan Februari (DJF)
sedangakn musim kemarau pada bulan Juni,
Juli, Agustus (JJA) (Aldrian, 2003).
Pada tanggal 1, 3, dan 12 Februari 2016
wilayah di wilayah Bali terjadi curah hujan
dengan intensitas yang tinggi, sehingga
menyebabkan banjir di beberapa titik
penelitian. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah
model cuaca yang dapat merepresentasikan
kondisi atmosfer sehingga dapat memberikan
prakiraan cuaca dan analisis suatu fenomena
meteorologi yang berdampak kepada
masyarakat. Model cuaca dapat dibedakan
berdasarkan skalanya, diantaranya model
skala global, model skala meso, dan model
skala lokal. WRF merupakan salah satu model
cuaca skala meso yang dikembangkan oleh
National Center for Atmospheric Research
(NCAR) yang bekerjasama dengan National
Centers for Environmental Prediction
(NCEP) Colorado USA, Forecast System
Laboratory of the NOAA (NOAA/FLS), Air
Force Weather Agency (AFWA) serta instansi
lainnya. (Widiatmoko dkk., 2006 dalam
Subarna, 2009). Weather Research and
Forecasting – Advanced Research WRF
(WRF-ARW) merupakan model generasi
lanjutan sistem cuaca numerik skala meso
yang mampu memberikan gambaran kondisi
atmosfer pada suatu wilayah.
Dalam model terdapat beberapa jenis
parameterisasi. Parameterisasi adalah cara
penyelesaian proses fisis dan dinamis yang
terjadi di atmosfer. Pengujian skema
parameterisasi sangat penting dilakukan
karena disetiap daerah memiliki karakteristik
cuaca yang berbeda dan diperlukan
parameterisasi
yang
sesuai
untuk
memprediksi dan menganalisis suatu
fenomena meteorologi.
Berdasarkan
penelitian
Wahyudi
(2017), mengenai Analisis Parameterisasi
Konvektif Dalam Model WRF-ARW di
Wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Penelitian
ini menggunakan data Final Analysis (FNL)
dengan metode simulasi dan komparatif
menggunakan 2 domain pada model dengan
resolusi 20 km dan 6 km di wilayah Bali dan
Nusa Tenggara yang kemudian dilakukan
perbandingan
parameterisasi
cumulus
dengan skema Kain-Fritsch (KF), skema
Betts-Miller-Janjic (BMJ), dan skema Grell
Devenyi (GD). Hasil dari penelitian ini
menunjukan bahwa skema BMJ merupakan
skema yang terbaik pada setiap musim di
wilayah Bali dalam menganalisis suatu
kejadian hujan. Pada penelitian ini digunakan
kombinasi skema yang terdapat dalam
parameterisasi mikrofisis, yaitu:
Tabel 2 Kombinasi skema mikrofisis
Mikrofisis Cumulus
Kessler
Betts-Miller Janjic (BMJ)
WSM6
Betts-Miller Janjic (BMJ)
Skema Kessler merupakan skema awan
hangat yang sederhana, meliputi uap air, tetes
2
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
hujan, dan hujan (Kessler, 1995; Skamarock,
2008).
Skema WSM6 merupakan skema
mikrofisis single moment dengan 6 jenis fase
uap air, awan cair, kristal es awan, salju,
hujan, dan graupel serta merupakan
pengembangan dari skema WSM5. Skema
single moment hanya memprediksi jumlah
mixing ratio dari satu jenis fase uap air
sehingga variabel yang dihitung pada skema
ini antara lain qv (uap air), qc (awan cair), qi
(kristal es awan), qs (salju), qr (hujan), dan
qg (graupel) (Skamarock, 2008; Hong, 2006)
Skema
Betts-Miller-Janjic
(BMJ)
merupakan skema yang mengansumsi nilai
CAPE tidak terlalu besar, parameter
downdraft convective tidak dimasukkan dan
batas mixing line kurang tepat dalam kasus
konvektif dan tidak langsung menimbulkan
skala tinggi dan rendah. Skema ini memiliki
struktur thermodinamika quasi-equilibrium
yang berarti lingkungannya berpindah akibat
konveksi (Skamarock, 2008).
2. DATA DAN METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data FNL. Data FNL merupakan data
model global yang digunakan oleh National
Centers for Enviromental Prediction (NCEP)
dengan resolusi grid 10 x 10 atau sama dengan
111 km x 111 km dengan interval tiap enam
jam. Kerja dari sistem ini adalah memasukan
nilai observasi kedalam model, data model
nantinya akan digunakan sebagai prakiraan
yang baru.
Data Global Satellite Mapping of
Precipitation (GSMaP) yang digunakan
sebagai pembanding hasil keluaran model
WRF-ARW pada parameter hujan. Data curah
hujan GSMaP memiliki resolusi sebesar 0,10
x 0,10 yang memiliki interval tiap jam.
Metode pengolahan data inputan model
yaitu data FNL dengan resolusi 10 x 10
dilakukan teknik downscaling menjadi
resolusi 0,10 x 0,10 dengan domain sebanyak
tiga domain dengan resolusi masing-masing
30 km, 10 km, dan 3 km. Data FNL tersebut
diproses dalam model WRF-ARW selama 48
jam pada waktu sebelum kejadian dan saat
kejadian. Untuk lebih jelasnya dapat melihat
konfigurasi fisis sesuai tabel 3.
Gambar 1 Domain penelitian
Tabel 4 Tabel kontingensi (Wilks, 2006)
Konfigurasi fisis
model WRFARW
Wilayah model WRF-ARW
Domain
1
30 km
Resolusi
1. Kessler
Mikrofisis
2. WSM6
Short
wave DUDHIA
radiation
RRTM
Long
wave
radiation
MM5
Surface layer
NOAH
Land surface
YSU
Planetary
Boundary Layer
BMJ
Cumulus
Parameterization
Domain
2
10 km
1. Kessler
2. WSM6
DUDHIA
Domain
3
3 km
1. Kessler
2. WSM6
DUDHIA
RRTM
RRTM
MM5
NOAH
YSU
MM5
NOAH
YSU
BMJ
BMJ
Verifikasi
pada
penelitian
ini
menggunakan metode dikotomus dengan
mengguanakn tabel kontingensi untuk
mengetahui tingkat akurasi dan sifat model
dalam melakukan prediksi kejadian hujan
terhadap data observasinya.
Tabel 4 Tabel kontingensi (Wilks, 2006)
Event
Event observed
forecast
Yes
No
Marginal
Total
Yes
No
Marginal
False
Forecast
Alarm
Yes
Correct
Forecast
Negative
No
Obs No
sum total
Hits
Misses
Obs Yes
Total
3
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Keterangan:
Hits
: Kejadian yang diprakirakan
terjadi benar terjadi
False Alarm
: Kejadian yang diprakirakan
terjadi, tidak terjadi
Misses
: Kejadian yang diprakirakan
tidak terjadi, terjadi
Correct Negative: Kejadian yang diprakirakan
tidak terjadi benar tidak
terjadi
Dari perhitungan table kontingensi diatas
hasil keluaran model WRF-ARW dengan
parameter hujan diverifikasi dengan data
estimasi curah hujan GSMaP untuk melihat
akurasi model terhadap data observasinya.
Hasil ini dibandingkan secara kuantitatif
menggunakan 3 indeks statistic, yaitu
Proportion Correct (PC), Frequency Bias
Index (FBI), False Alarm Ratio (FAR), dan
Probability of Detection (POD).
�ℎ�
+�
�
� ��
(1)
a. � =
� �
Nilai akurasi menunjukan hasil prediksi
model yang benar terhadap hasil observasi
secara keseluruhan baik hits maupun correct
negative. Rentang nilai PC antara 0 sampai 1,
nilai 1 merupakan prakiraan yang sempurna
(Wilks, 2006).
ℎ� + �
��
b.
�=
(2)
ℎ� + �
Nilai FBI merupakan perbandingan
antara kejadian “ya” dari prakiraan dan
kejadian “ya” dari observasi. Nilai sempurna
pada FBI adalah 1 yang berarti banyak
kejadian hasil prakiraan dengan hasil
observasi. Apabila nilai FBI > 1 maka hasil
prakiraan lebih banyak dari hasil observasi
(over forecasting), sementara nilai FBI < 1
maka hasil prakiraan lebih sedikit dari hasil
observasi (under forecasting) (Wilks, 2006).
c.
=
�
��
ℎ� + �
��
(3)
Nilai FAR digunakan untuk mengetahui
tingkat kesalahan model dalam memprediksi.
Rentang nilai FAR antara 0 – 1, nilai
sempurna adalah 0 (Wilks, 2006).
��
(4)
d. � = �� + �
Nilai POD digunakan untuk mengetahui
frekuensi kejadian hujan pada model terhadap
data observasinya. Nilai 1 merupakan nilai
yang sempurna (Wilks, 2006)
Diagram Taylor digunakan sebagai
verifikasi terhadap kecocokan hasil observasi
dengan hasil keluaran model. Diagram ini
dapat menunjukan nilai korelasi, standar
deviasi, serta RMSE (Root Mean Squared
Error) suatu nilai variabel hasil keluaran
model dalam satu tampilan (Taylor, 2001).
Gambar 2 Diagram Taylor (Taylor, 2001)
Standar deviasi merupakan ukuran
dari sebaran data terhadap nilai rata-ratanya.
= [ ∑�=
�
− ̅ ]
(5)
Sementara korelasi digunakan untuk melihat
kekuatan dan arah hubungan dari dua variabel.
=
[
�−
∑�
�=
�−
∑�
�= [
�−
̅ ]
⁄
�−
[
̅
�−
�− ̅
∑�
�=
]
�− ̅
]
⁄
(6)
RMSE digunakan untuk melihat rata-rata
selisih nilai model dengan observasinya.
Semakin besar nilai RMSE, maka semakin
besar penyimpangan nilai hasil model
terhadap nilai observasinya.
�
= [ ∑�=
Keterangan:
rxy
s
n
xi dan oi
yi
̅
̅
�
− �� ]
(7)
= koefisien
korelasi
= koefisien standar deviasi
= banyak data
= nilai variabel observasi
= nilai variabel keluaran
model
= nilai rata-rata observasi
= nilai rata-rata keluaran
model
Berikut merupakan diagram alir
penelitian yang dimulai dari identifikasi
masalah, kemudian melakukan pengolahan
4
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
data dan memverifikasi data model terhadap
data observasi yang pada akhirnya dilakukan
analisis fenomena atmosfer.
Tanggal
Intensitas
Curah Hujan
1 Februari 77 mm/hari
2016
3 Februari 146 mm/hari
2016
12 Februari 75 mm/hari
2016
1
Mulai
Identifikasi
waktu kejadian
Data
GSMaP
resolusi
0.1° x 0.1°
Tabel 5 Tanggal penelitian
No
2
Data FNL
resolusi
1° x 1°
Data
Observasi
3
Running model
WRF-ARW
Kessler-BMJ
WSM6-BMJ
Hasil keluaran model
WRF-ARW
GrADS
Hujan
Kelembapan
Udara
Streamline
Hasil verifikasi model terhadap data
observasi
Berdasarkan verifikasi spasial antara
model dengan data estimasi curah hujan dari
GSMaP didapat skema yang sesuai dan
memiliki nilai akurasi yang tinggi adalah
skema WSM6.
CAPE
1.0
Verifikasi
Analisis
Verifikasi
Kesimpulan
PC
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan tanggal penelitian
Berdasarkan kategori intensitas curah
hujan menurut BMKG yang menandakan
bahwa hujan lebat merupakan curah hujan
dengan intensitas diatas 50,0 mm/hari.
mm/hari
100
80
60
FAR
FBI
WSM6
KESLER
WSM6
KESLER
WSM6
Gambar 3 Diagram alir
KESLER
WSM6
0.0
KESLER
Selesai
POD
Gambar 5 Diagram perbandingan model di
wilayah Bali
Berdasarkan Gambar 5, terlihat bahwa
skema WSM6 memiliki nilai FAR yang sama
dengan skema Kessler, hal ini menunjukan
bahwa tingkat kesalahan model dalam
memprediksi antara skema WSM6 dengan
skema Kessler sama. Namun berdasarkan
nilai POD skema WSM6 memiliki nilai yang
lebih tinggi daripada skema Kessler, hal ini
menunjukan bahwa peluang model dalam
mendeteksi suatu kejadian hujan sangat besar.
40
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31
tanggal
jan feb
Gambar 4 Curah hujan wilayah Bali pada musim
hujan
Oleh sebab itu pemilihan tanggal
penelitian berdasarkan data curah hujan
Stasiun Meteorologi Ngurah Rai, Denpasar
pada tanggal 1, 3, dan 12 Februari 2016 telah
terjadi hujan lebat dengan intensitas diatas
50,0 mm/hari.
40.0
20.0
0.0
KESLER
WSM6
RMSE
Gambar 6 Nilai RMSE model di wilayah Bali
Berdasarkan Gambar 6 yang merupakan
nilai RMSE skema Kessler dengan skema
WSM6 dan memberikan hasil bahwa skema
5
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
WSM6 memiliki nilai error yang lebih rendah
daripad skema Kessler.
(a)
(b)
Gambar 8 Perbandingan spasial curah hujan
wilayah Bali (a) Model dan (b) GSMaP
Gambar 6 Diagram Taylor musim hujan wilayah
Bali
Berdasarkan diagram Taylor yang
ditunjukan oleh Gambar 6, memberikan arti
bahwa titik merah dengan simbol B yang
merupakan skema WSM6 memiliki jarak lebih
dekat dengan titik merah bersimbol O
daripada titik merah bersimbol A yang
merupakan skema Kessler. Oleh sebab itu
dalam verifikasi ini skema yang terbaik dalam
melakukan simulasi hujan lebat di wilayah
Bali pada musim hujan adalah skema WSM6
pada parameterisasi microphysics. Skema
WSM6 akan digunakan dalam menganalisis
suatu kejadian hujan diwilayah Bali dengan
kombinasi parameterisasi cumulus skema
Betts-Miller-Janjic (BMJ).
Studi Kasus 1 Februari 2016
Pada Gambar 7 terlihat nilai CAPE yang
sangat tinggi sebesar 1000 – 2000 J/Kg
disekitar wilayah Bali yang dapat
menyebabkan pertumbuhan awan konvektif
penghasil hujan.
Berdasarkan hasil perbandingan spasial
antara model (Gambar 8a) dengan data curah
hujan dari GSMaP (Gambar 8b) didapat nilai
akurasi model terhadap observasinya sebesar
99% dengan tingkat kesalahan model dalam
memprediksi sebesar 0% dan nilai POD
sebesar 100%.
Gambar 9 Nilai kelembapan udara tanggal 1
Februari 2016
Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa
kelembapan udara secara vertikal selama satu
hari pada tanggal 1 Februari 2016 memiliki
tingkat kebasahan yang sangat tinggi. Hal ini
Pada jam 12.00 UTC terdapat nilai RH sebesar
90 – 100% yang dapat menyebabkan
terjadinya hujan dengan intensitas yang
tinggi.
Studi Kasus 3 Februari 2016
Pada Gambar 10 terlihat nilai CAPE yang
terjadi pada jam 00.00 UTC sangat tinggi yang
menandakan terjadinya proses konveksi pada
pagi hari yang dapat menyebabkan hujan
selama sehari kedepan.
Gambar 7 Nilai CAPE jam 12.00 UTC
Berdasarkan
data
pengamatan
permukaan Stasiun Meteorologi Ngurah Rai
Denpasar hujan dimulai pada pukul 12.00
UTC yang berlangsung selama satu hari dan
terukur sebanyak 76,5 mm/hari.
Gambar 10 Nilai CAPE jam 00.00 UTC
6
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(a)
(b)
Gambar 11 Perbandingan spasial curah hujan
wilayah Bali (a) Model dan (b) GSMaP
Berdasarkan Gambar 11 terlihat pada
bagian (b) yang merupakan curah hujan dari
GSMaP memberikan nilai curah hujan yang
terjadi selama satu hari pada tanggal 3
Februari 2016 sebesar 60 mm/hari. Gambar 11
menunjukan nilai akurasi model terhadap data
observasinya sebesar 83% dengan tingkat
kesalahan model dalam melakukan prediksi
sebesar 16% dan nilai POD sebesar 100%.
Berdasarkan Gambar 14 terlihat pada
bagian (a) yang merupakan hasil keluaran
model memiliki nilai curah hujan yang over
estimate terhadap data observasinya. Curah
hujan pada lokasi penelitian terukur sebesar
100 mm/hari, namun berdasarakn data
pengamatan permukaan curah hujan yang
dimulai dari pukul 03.00 UTC terukur sebesar
75,1 mm/hari.
(a)
(b)
Gambar 14 Perbandingan spasial curah hujan
wilayah Bali (a) Model dan (b) GSMaP
Berdasarkan perhitungan indeks statistik
yang menampilkan nilai akurasi, model
memiliki akurasi sebesar 100% dengan
tingkat kesalahan model sebesar 0%. Nilai
POD sebesar 100%. Hasil pada model tanggal
12 Februari 2016 memiliki nilai error yang
tinggi sebesar 55%.
Gambar 12 Nilai kelembapan udara tanggal 3
Februari 2016
Berdasarkan nilai kelembapan udara
secara vertikal pada tanggal 3 Februari 2016
terlihat pada pukul 00.00 UTC wilayah Bali
memiliki tingkat kebasahan yang sangat tinggi
sebesar 90 – 100% yang dapat menyebabkan
terjadinya hujan dengan intensitas yang lebat
yang didukung dengan nilai CAPE yang
tinggi.
Studi Kasus 12 Februari 2016
Pada Gambar 13 terlihat nilai CAPE yang
terjadi di lokasi penelitian memiliki nilai yang
tinggi yaitu sekitar 1000 – 1500 J/Kg yang
menandakan terjadinya proses konveksi yang
tinggi sehingga dapat terbentuknya awan
penghasil hujan.
Gambar 15 Nilai kelembapan udara tanggal 12
Februari 2016
Berdasarkan nilai kelembapan udara
secara vertikal pada tanggal 12 Februari 2016
terlihat pada pukul 03.00 UTC hingga pukul
18.00 UTC memiliki nilai RH sebesar 80 –
100%. Hal ini menandakan bahwa tingkat
kebasahan pada wilayah Bali sangat tinggi
yang dapat menghasilkan hujan dalam
intensitas yang lebat.
4.KESIMPULAN
Gambar 13 Nilai CAPE jam 09.00 UTC
Secara umum, simulasi kondisi atmosfer
yang dilakukan oleh model WRF-ARW cukup
baik dan representatif walau terkadang
memiliki nilai yang over atau under estimate
terhadap data observasinya. Skema WSM6BMJ dianggap mampu memberikan hasil yang
baik dalam melakukan prediksi dan analisis
7
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
suatu kejadian hujan diwilayah Bali pada
musim hujan. Berdasarkan indeks statistik
seperti PC, FBI, FAR, POD, dan RMSE
mampu memberikan hasil yang baik, yaitu
mencapai >80%.
Perlu diadakan pengujian tingkat lanjut
terkait parameterisasi yang lainnya dan
menambah kasus agar memiliki hasil yang
lebih baik dari penelitian ini.
Wilks, D.S, 2006, Statistical Methods In The
Atmospheric Sciences, Vol. 91,
Elsevier, USA.
DAFTAR PUSTAKA
______, 2010, Keputusan No. 009 Tentang
Prosedur
Standar
Operasional
Pelaksanaan
Peringatan
Dini,
Pelaporan, dan Diseminasi Informasi
Cuaca Ekstrim, BMKG, Jakarta.
Aldrian, E., Susanto, R., 2003, Identification
of Three Domaint Rainfall Regions
Within
Indonesia
and
Their
Relationship
to
Sea
Surface
Temperature, International Journal of
Climatology, Vol. 23, pp 1435-1452.
Hong, S., Jeong-Ock, The WRF SingleMoment 6-Class Microphysics Scheme
(WSM6), Journal Of The Korean
Meteorological Society, No. 2, Vol 42,
pp 129-151.
Kessler, E., 1995, On The Continuity and
Distribution of Water Substance in
Atmospheric Circulations, Atmospheric
Research, Vol. 38, pp 109-145.
Skamarock, W.C., Klemp, J.B., Dudhia, J.,
Gill, D.O., Barker, D.M., Duda, M.G.,
Huang, X., Wang, W., Powers, J.G.,
2008, A Description of the Advanced
Research WRF Version 3, NCAR/TN475+STR, NCAR Technical note.
Subarna, D., 2009, Simulasi Hujan Front
dengan menggunakan Model WRF.
Prosiding
Seminar
Nasional
Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan
MIPA, Yogyakarta.
Taylor, K. E., 2001, Summarizing multiple
aspects of model performances in a
single diagram, Journal of Geophysical
Research, No. D7, Vol. 106, pp 71837192.
Triatmodjo, B., 2008, Hidrologi Terapan,
Beta Offset, Yogyakarta.
Wahyudi, P.P., 2017, Analisis Parameterisasi
Konvektif Dalam Model WRF-ARW di
Wilayah Bali dan Nusa Tenggara,
Skripsi, STMKG, Tangerang Selatan.
8
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika