Penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Terhadap Pelanggaran Lalu Lintas

9

BAB I
PENDAHULUAN

H. Latar Belakang
Lalu lintas merupakan salah satu sarana komunikasi masyarakat yang
memegang peranan sangat vital dalam memperlancar pembangunan yang kita
laksanakan. Masalah lalu lintas merupakan salah satu masalah yang berskala
nasional yang berkembang seirama dengan perkembangan masyarakat. Masalah
yang dihadapi dewasa ini adalah masih tingginya angka kecelakaan lalu lintas di
jalan raya.
Berbicara tentang masalah lalu lintas memang sedikit menimbulkan pro
dan kontra bukan saja karena permasalahan remeh dan klasik sehinggga timbul
satu sikap apatis (ketidak pedulian). Namun hal itu sebenarnya kurang beralasan
karena kenyataan tidak sedikit kejahatan yang kemudian berimplikasi dan
berakumulasi menjadi suatu tindak pidana yang cukup menyita perhatian publik
yang berawal dari permasalahan (pelanggaran) lalu lintas.
Masalah lalu lintas merupakan masalah yang sudah tak asing lagi
dikalangan masyarat khususnya di Kota Medan, pelanggaran lalu lintas sudah
membudaya dikaladngan masyarakat, sehingga setiap kali dilakukan operasi tertib

lalu lintas oleh Polantas, pasti banyak terjaring kasus pelanggaran lalu lintas.
Pelanggaran lalu lintas yang banyak dilakukan oleh pengguna kendaraan
bermotor antara lain mengemudi kendaraan bermotor tanpa dilengkapi surat tanda
nomor kendaraan bermotor, atau pun tidak memiliki surat izin mengemudi,
melanggar ketentuan rambu-rambu lalu lintas, tidak menggunakan helm standar

Universitas Sumatera Utara

10

bagi pengendara sepeda motor, mengemudikan kendaraaan bermotor dengan
kecepatan yang melampaui batas dan lain sebagainya. Hal ini membuktikan
bahwa masyarakat kita masih kurang kasadaran hukumnya, padahal aturan-aturan
tersebut dibuat demi keamanan dan kenyamanan dan keselamatan masyarakat
pada umumnya dan khususnya pengendara kendaraan bermotor.
Masalah lalu lintas seakan menjadi masalah yang tidak dapat terselesaikan
secara menyeluruh meskipun telah dilakukan berbagai macam cara untuk
mengatasi namun hal tersebut belum juga memberikan kontribusi hasil yang
memuaskan.
Ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan khususya

undang-undang lalu lintas seakan tidak memberikan efek jera pada masyarakat
terutama kepada pengguna

jalan raya atau pengendara kendaraan bermotor.

Bahkan setelah berlakunya Undang-undang (selanjutnya disingkat UU) No. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang memiliki sanksi yang
lebih berat dari undang- undang lalu lintas yang berlaku sebelumnya yaitu UU No.
14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun upaya tersebut
belumlah optimal, sanksi pidana denda yang berat ternyata belum juga membuat
jera pengguna jalan raya, jumlah pelanggaran lalu lintas tidak banyak mengalami
perubahan dari tahun-tahun sebelumnya bahkan malah meningkat, hal ini
menimbulkan banyak pertanyaan besar dan menjadi pekerjaan rumah bagi
Institusi Kepolisian yang sampai sekarang belum mampu dijawab dan
diselesaikan.

Universitas Sumatera Utara

11


Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat menjadi salah satu dari sekian
banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut sehingga masyarakat tidak
mengetahui berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dibidang
lalu lintas termasuk mengenai rambu-rambu lalu lintas selain itu hal ini juga
dikarenakan adanya faktor kesengajaan yang disebabkan kurangnya kesadaran
para pengendara dalam menaati berbagai peraturan lalu lintas jalan.
Lebih lanjut lagi akar dari permasalahan di bidang lalu lintas disebabkan
oleh masyarakat yang kurang peduli terhadap terciptanya ketertiban berlalu lintas
dan kurang paham mekanisme penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas yang
secara sadar maupun tidak sadar kurang melakukan pengawasan kepada setiap
kendaraan bemotor yang menyalahi aturan dan tidak mempunyai dokumen yang
lengkap sehingga layak untuk beredar di jalan raya. Banyak sekali dijumpai
permasalahan yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, mulai dari yang ringan
hingga yang berat. 1
Pelanggaran ringan yang kerap terjadi dalam permasalahan lalu lintas
adalah seperti tidak memakai helm, menerobos lampu merah, tidak memiliki SIM
atau STNK, tidak menghidupkan lampu pada siang hari, dan bonceng tiga
dianggap sudah membudaya di kalangan masyarakat dan anak-anak sekolah.
Pelanggaran lalu lintas seperti itu dianggap sudah menjadi kebiasaan bagi
masyarakat pengguna jalan, sehingga tiap kali dilakukan operasi tertib lalu lintas

di jalan raya oleh pihak yang berwenang, maka tidak sedikit yang terjaring kasus

1

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika
Aditama, 2003, hal 20

Universitas Sumatera Utara

12

pelanggaran lalu lintas dan tidak jarang juga karena pelanggaran tersebut kerap
menimbulkan kecelakaan lalu lintas.
Aparat penegak hukum (polisi lalu lintas) berperan sebagai pencegah
(politie toezicht) dan sebagai penindak (politie dwang) dalam fungsi politik. Di
samping itu polisi lalu lintas juga melakukan fungsi regeling (misalnya,
pengaturan tentang kewajiban bagi kendaraan bermotor tertentu untuk melengkapi
dengan segitiga pengaman) dan fungsi bestuur khususnya dalam hal perizinan
atau


begunstiging

(misalnya,

mengeluarkan

Surat

Izin

Mengemudi). 2

Mengendarai kendaraan secara kurang hati-hati dan melebihi kecepatan maksimal,
tampaknya merupakan suatu perilaku yang bersifat kurang matang. Walau
demikian, kebanyakan pengemudi menyadari akan bahaya yang dihadapi apabila
mengendarai kendaraan dengan melebihi kecepatan maksimal tersebut. Akan
tetapi di dalam kenyataannya tidak sedikit pengemudi yang melakukan hal itu,
khususnya anak sekolah sehingga dalam pelanggaran lalu lintas tersebut tidak
sedikit yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah lalu lintas dan

angkutan jalan raya tidaklah sepenuhnya sinkron dan ada ketentuan-ketentuan
yang sudah tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Namun demikian tidaklah
berlebih-lebihan untuk mengemukakan beberapa cara penegakan peraturan lalu
lintas yang menurut pengalaman akan lebih efisien.
Berkendara dengan menggunakan mobil maupun dengan sepeda motor di
kota-kota besar yang memiliki traffic lalu lintas super sibuk tentu saja bukan hal
2

Soerjono Soekanto 2, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah – Masalah
Sosial, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1989, hal 58

Universitas Sumatera Utara

13

yang mudah dan nyaman. Selain direpotkan oleh kemacetan yang semakin hari
semakin menjadi-jadi, kita juga sering disuguhi dengan sebagian aksi pengendara
“kuda besi” yang masih memiliki tingkat kesadaran keselamatan berkendara yang
rendah. Efek ini selain semakin menambah faktor kecelakaan lalu lintas, juga akan
memunculkan efek domino yang semakin hari dianggap sebagai kebiasaan lalu

lintas sehari-hari. Bahkan tak jarang, membuat kita menjadi tidak nyaman saat
berkendara di jalan raya. 3
Menurut data dari Kepolisian RI, pada tahun 2010 jumlah kematian akibat
kecelakaan di Indonesia mencapai 31.234 jiwa, yang berarti dalam setiap jam ada
3-4 orang meninggal akibat kecelakaan di jalan. Tingginya angka kecelakaan lalu
lintas merupakan bukti kurang kompetennya pengemudi di jalan. 4 Bahkan di
beberapa kota besar di Indonesia seakan tidak ada lagi celah yang aman pada saat
berkendaraan. Begitu besar resiko berkendaan sehingga pengemudi benar-benar
harus memiliki kompetensi yang memadai, yaitu memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan etika dalam mengemudikan kendaraan.
Mengingat pentingnya ketertiban lalu lintas serta besarnya peran
transportasi darat dalam mendukung setaip kegiatan manusia serta kelangsungan
hidup manusia maka suasana tertib berlalu lintas sangat diperlukan untuk
menciptakan suasana berkendaraan yang aman, nyaman, dan tertib. Untuk
mewujudkan hal tersebut tidak hanya dibutuhkan perangkat aturan lalu lintas yang
memadai tapi juga dibutuhkan sikap profesional dari aparat penegak hukum serta
semangat untuk menjaga ketertiban dan menghormati hak orang lain dalam
3

Rinto Raharjo, Tertib Lalu Lintas, Yogyakarta: Shafa Media, 2014, hlm. 5

http://indonesia-driversacademy.com/diskusi-membangun-kesadaran-masyarakatdalam-keselamatan-berlalu-lintas/diakses tanggal 1 Juni 2014
4

Universitas Sumatera Utara

14

berlalu lintas. Dengan demikan dapat diharapkan dapat memberikan suasana tertib
berlalu lintas.
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan penulis diatas, maka penulis
tertarik mengambil judul “Penerapan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas Terhadap Pelanggaran Lalu Lintas”.

I. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah
1. Bagaimanakah ketentuan hukum pidana Undang-undang Nomor 22 Tahun
2009 ?
2. Bagaimanakah Peran Polresta Medan Dalam Menanggulangi Pelanggaran
Lalu Lintas?
3. Bagaimanakah analisis kasus-kasus pelanggaran lalu lintas Undangundang Nomor 22 Tahun 2009 ?


J. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan
a. Untuk mengetahui ketentuan hukum pidana Undang-undang Nomor 22
Tahun 2009
b. Untuk mengetahui Peran Polresta Medan Dalam Menanggulangi
Pelanggaran Lalu Lintas
c. Untuk mengetahui analisis kasus-kasus pelanggaran lalu lintas
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009

Universitas Sumatera Utara

15

2. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian tentu mempunyai kegunaan dan manfaat, kegunaan
tersebut ada yang bersifat teoritis dan ada pula kegunaan yang bersifat
praktis, yaitu sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian hukum dalam bentuk skripsi ini secara ilmiah
dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu hukum secara
umum dan secara khusus bagi perkembangan ilmu hukum tentang
hukum pidana khususnya masalah Pelanggaran Lalu Lintas
b. Manfaat Praktis
Diharapakan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap
lembaga-lembaga khususnya pihak kepolisian lalu lintas yang menaruh
perhatian pula pada keadaan lalu lintas dan angkutan jalan raya
terhadap masalah pidana dalam Undang-undang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Raya.

K. Keaslian Penulisan
Penulisan Skripsi yang berjudul ” Penerapan Undang-undang Nomor 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Terhadap Pelanggaran Lalu Lintas ” adalah hasil
pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini menurut sepegetahuan penulis belum pernah
ada yang membuat. Kalaupun ada seperti beberapa judul skripsi yang diuraiakan
dibawah ini, penulis yakin bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan
demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah.


Universitas Sumatera Utara

16

Penulis juga telah melewati pengujian tentang kesamaan dan keaslian
judul yang diangkat di Perpustakaan Fakultas Hukum USU. Hal ini dapat
mendukung tentang keaslian penulisan.

L. Tinjauan Kepustakaan
1. Sejarah UU Lalu Lintas
Tidak dipungkiri hukum pidana di Indonesia merupakan produk dari barat.
KUHP di Indonesia mempunyai nama asli wetboek van strafrech voor
nederlandsch indie (W.v.S), merupakan titah raja atau Koninklijk Besluit (K.B),
pada 15 Oktober 1915. Titah raja tersebut berlaku di Indonesia ketika penjajahan
Belanda, sehingga dengan titah raja tersebut terjadi dualistis dalam sistem hukum
di Indonesia. Dualistis sistem yang terjadi mempunyai pengertian bahwa bagi
orang Eropa berlaku satu sistem hukum Belanda, yakni titah raja atau Koninklijk
Besluit (K.B), dan bagi orang bumi putra berlaku hukum pidana adat. Hukum
yang berlaku bagi orang Eropa tersebut merupakan aturan yang berasaskan hukum
Belanda kuno dan hukum Romawi. Kemudian hukum yang berlaku bagi orang
bumi putra sendiri merupakan hukum yang tertulis dan tidak tertulis, namun
sebagian besar tidak tertulis. 5
Pada 10 Februari tahun 1866 merupakan awal pengenalan kodifikasi Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia. Untuk bangsa Eropa
menggunakan Het Wetboek Van Srafrecht Voor Europeanen, berlaku mulai 1
januari 1867. Kemudian dari peraturan pemerintah (ordonansi) pada 6 Mei 1872
ditetapkan pula Het Wetboek Van Strafrech Voor Inlands en Daarmede
5

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hal 61

Universitas Sumatera Utara

17

Gelijkgestelde. Ordonansi tersebut merupakan aturan pidana yang diperuntukkan
bagi orang bumi putra, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1873.
Het Wetboek Van Strafrech Voor Inlands en Daarmede Gelijkgestelde
merupakan aturan yang telah disesuaikan dengan agama dan lingkungan hidup
bumi putra. Ada perbedaan mengenai kedua aturan tersebut, yakni mengenai
sanksi. Jika orang bumi putra melakukan perbuatan pidana sanksinya adalah kerja
paksa (rodi), sedangkan orang Eropa hanya dikenakan hukuman penjara atau
kurungan. 6
Dualistik sistem yang terjadi akhirnya berakhir setelah ditetapkannya
Koninklijk Besluit Van Srtafrech Voor Nederlandsh sebagai hukum pidana di
Hindia Belanda, dan berlaku pada 1 Januari 1918. Koninklijk Besluit Van
Srtafrech Voor Nederlandsh merupakan aturan pidana khusus bagi daerah jajahan
yang dibentuk pada tahun 1913. Pada mulanya dualistik hukum akan tetap
dipertahankan, yakni dengan membuat aturan bagi orang Belanda dan bumi putra.
Ketika kedua aturan tersebut telah diselesaikan, ternyata menteri daerah jajahan
ketika itu (Mr. Indenburg) berpendapat lain, bahwa harus ada satu saja hukum
pidana di Hindia Belanda.
Namun dari hasil kodifikasi tersebut tidak sama dengan apa yang berlaku di
negara asalnya, karena terdapat penyesuaian menurut kebutuhan dan keadaan
tertentu. Terdapat Pasal-Pasal yang dihapus guna menyesuaikan dengan kondisi

6

Ibid., hal 62

Universitas Sumatera Utara

18

dan misi kolonialisme. Akan tetapi asas-asas dan dasar filsafatnya tetap sama,
yakni dari masa liberal kapitalis. 7
Kodifikasi yang dilakukan Belanda ternyata sepenuhnya tidak didukung
oleh orang-orang Belanda sendiri, seperti Van Vollenhoven. Ia berpendapat
bahwa jika kodifikasi secara sepihak dilakukan maka tatanan masyarakat adat
akan hancur. Karena tidak benar pemberian hukum Belanda kepada orang bumi
putra akan memperkaya peradaban pribumi. Belanda hanya memberi ruang
kepada hukum adat ketika masyarakat adat benar-benar membutuhkannya. Selama
ini masyarakat adat telah terbiasa hidup dengan hukum apa adanya, baik tertulis
ataupun tidak tertulis 8
Terdapat persamaan sejarah berlakunya hukum pidana di Belanda dan
Indonesia, yakni sama-sama datang dari luar atau hasil dari kolonialisme. Berawal
ketika Prancis menjajah Belanda pada Tahun 1811, dengan membawa code penal
(kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte
menjadi penguasa. Pada tahun 1813 Prancis meninggalkan negeri jajahannya,
namun Belanda masih mempertahankan Code Penal Napoleon tersebut sampai
tahun 1886. Pada tahun 1886 mulai diberlakukan Wetboek Strfrecht sebagai
pengganti Code Penal Napoleon. Sebagaimana diketahui bahwa hukum pidana
berasal dari Belanda, maka terjadi ketimpangan dalam aplikasinya, tidak
memenuhi aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat, seperti yang paling krusial
adalah bahasa. Setelah proklamasi kemerdekaan, sesuai dengan Pasal II aturan

7

Sudarto, Hukum Pidana I, Jakarta: Rineka Cipta 1998 hal15
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, dinamika sosial
politik dalam perkembangan hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1994, hal
127
8

Universitas Sumatera Utara

19

peralihan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
(selanjutnya dalam tulisan ini disebut UUD 1945) menyatakan bahwa tetap
berlakunya Koninklijk Besluit Van Srtafrech Voor Nederlandsh Indie. Kemudian
dilahirkannya UU No. 1 tahun 1946, sebagai wahana penyesuaian terhadap situasi
dan kondisi masyarakat setempat. Dari Undang-undang tersebut maka nama
Wetboek Van Srtafrech Voor Nederlandsh Indie dapat disebut dalam bahasa
Indonesia, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Tidak hanya KUHP, undang-undang mengenai lalu lintas pun berasal dari
Belanda. Berawal dari revolusi industri pada abad 19 yang mempengaruhi kondisi
automotif dunia. Perusahaan yang berkembang saat itu adalah Benz pada tahun
1986, perusahaan tersebut merupakan pelopor dalam pembuatan mobil dan motor.
Oleh pemerintah Hindia Belanda, mobil dan motor tersebut dibawa ke Indonesia.
Karena banyaknya mobil dan motor ketika itu, oleh pemerintah Hindia Belanda
menilai perlu adanya peraturan yang mengatur guna menertibkan mobil dan motor
yang ada. Saat itu mulailah aktivitas lalu lintas di Indonesia.
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) merupakan hal yang sangat dekat
dekat masyarakat. Setiap waktu masyayarkat terus bergulat dengan Angkutan
Jalan dengan bermacam-macam kepentingan. Oleh karena itu disini warga negara
butuh agar hak-hak mereka dalam berlalulintas di jamin dan dilindungi oleh
Negara.

Negara

sebagai

sebuah

Organisasi

Tertinggi

dari

masyarakat

berkewajiban menjamin dan melindungi hak-hak warga negaranya di Jalan. 9

9

http://feriansyach.wordpress.com/2011/03/08/sejarah-singkat-regulasi-lalu-lintas-danangkutan-jalan-di-indonesia/diakses tanggal 1 Juni 2014

Universitas Sumatera Utara

20

Sejarah Lalu lintas dan Angkutan jalan di Indonesia telah melewati
berbagai masa sejak dari masa Pemerintahan Belanda sampai pada era refomasi
pada saat ini. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pun telah melewati berbagai kondisi
zaman dibarengi dengan berbagai kemajuan di Bidang Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi sampai perubahan pola tingkah Laku masyarakat.
Lalu lintas dan Angkutan Jalan ketika pada Masa Pemerintahan Hindia
Belanda di atur dalam Werverkeersordonnantie” (Staatsblad 1933 Nomor 86).
Perkembangan selanjutnya Weverkeersordonnantie tidak sesuai lagi dengan
tuntutan dan dirubah lagi dalam Staatsblad 1940 No. 72. Kemudian
Weverordinantei dirubah lagi setelah Indonenesia tepatnya pada tahun 1951
dengan UU No. 3 Tahun 1951 Perubahan Dan Tambahan Undang Undang Lalu
Lintas Jalan (Wegverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 no. 86)
Kemudian Selang 15 Tahun kemudian dari berlakunya UU no 15 Tahun
1951 Pemerintah Indonesia mengatur lagi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
kedalam Undang-Undang yang baru serta Mencabut peraturan sebelumnya
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Maka Lahirnya UU No. 3 Tahun 1965
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang pada waktu itu atas persetujuan
bersama antara Presiden Soekarno dengan DPR GR (Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong).Undang-undang No 3 Tahun 1965 ini bahwa ini adalah Undangundang pertama yang Mengatur LLAJ di Indonesia setelah Indonesia Merdeka.
Seiring dengan perkembangan zaman dan IPTEK pada 27 Tahun
kemudian diatur kembali LLAJ di Indonesia dengan Undang-Undang yang baru
yaitu Undang-Undang No 14 Tahun 1992. Ada hal yang menarik dari UU no 14

Universitas Sumatera Utara

21

Tahun 1992 ini bahwa Undang-undang ini sempat ditangguhkan selama setahun
melalui PERPU no 1 Tahun 1992 yang disahkan menjadi Undang-undang No 22
Tahun 1992.
Bahwa seiring dengan tujuan yang ingin diwujudkan sebagaimana tersbut
diatas, dan setelah mempertimbangkan segela sesuatunya dengan seksama, maka
untuk menjaga agar pelaksanaannya dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya
dipandang perlu untuk menangguhkan berlakunya Undnag-undang tersebut guna
memberi waktu yang lebih cukup lagi untuk meningkatkan pemahaman, persiapan
dan kesiapan segenap aparatur pemerintah yang bersangkutan serta masyarakat
pada umumnya mengenai Undang-Undang tersebut ”
Dengan lahirnya Undang-undang No 22 tahun 1992 makanya UU No 14
tahun 1992 ditangguhkan pelaksanaannya yang direncanakan pada 17 september
1992 menjadi 17 September 1993 karena berbagai pertimbangan dari pemerintah.
Selanjutnya UU mengenai LLAJ terkahir kali ditur di Indonesia dengan
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Jalan dengan
semangat reformasi dan semangat perubahan. 10
Pada 11 November 1899 ditetapkanlah peraturan mengenai lalu lintas, dan
dinyatakan berlaku pada 1 Januari 1900. Bentuk peraturan ini adalah peraturan
pemerintah (reglemen), yang disebut Reglement op Gebruik Van Automobilen
(Statblaad 1899 No. 301). Sepuluh tahun kemudian pada tahun 1910 dikeluarkan

10

Ibid

Universitas Sumatera Utara

22

lagi peraturan mengenai kendaraan, Motor Reglement (Statblaad 1910 No. 73). 11
Dengan demikian peraturan mengenai lalu lintas telah ada sejak penjajahan.
Begitu pula mengenai polisi lalu lintas, organ kepolisian tersebut telah ada
lebih awal sejak zaman VOC. Namun baru dipertegas susunannya pada masa
pemerintahan gubernur jenderal Stanford Rafles, pada masa pendudukan Inggris.
Polisi lalu lintas sendiri ada untuk mengimbangi perkembangan lalu lintas yang
terus meningkat, sehingga perlu diadakan spesifikasi tugas polisi, dalam hal ini
adalah di bidang lalu lintas.
Lahirnya UU No. 22 Tahun 2009 merupakan langkah maju di bidang
transportasi dan angkutan jalan. Sebelum diundangkannya undang-undang
tersebut, Indonesia telah memiliki UU No. 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas.
Namun seiring dengan zaman yang dinamis, ada tuntutan untuk menyesuaikan
peraturan dengan kondisi yang ada. Dengan demikian lahirnya UU No. 22 Tahun
2009 tersebut tidak lepas dari situasi dan kondisi transportasi yang ada.
Kemudian masuk kepada penjelasan mengenai salah satu kejahatan di jalan
raya, yang sering kita sebut dengan tabrak lari. Tindakan tidak bermoral tersebut
telah meresahkan masyarakat terutama pengguna jalan lain, yakni dengan
meninggalkan korban yang seharusnya mendapatkan pertolongan. Sehingga
urgensi Pasal tersebut sama dengan Pasal-Pasal lain yang ada dalam UU No. 22
Tahun 2009, yakni sebagai permasalahan sosial dalam bidang lalu lintas.
Peristiwa tabrak lari merupakan jenis pelanggaran baru, karena tidak dapat lepas
dari perkembangan kendaraan bermotor yang ada. Sehingga kecil kemungkinan

11

Ibid

Universitas Sumatera Utara

23

kecelakaan tersebut terjadi pada abad-abad 19, mengingat kendaraan bermotor
ketika itu tidak sebanyak sekarang. Peradaban sekarang merupakan peradaban
modern yang tidak dapat lepas dari kendaraan bermotor, maka seorang pengguna
jalan sangat mungkin terlibat dalam kecelakaan tersebut. 12
Tingkat kecelakaan lalu lintas (laka lantas) di wilayah Sumatera Utara
(Sumut) terus menurun dalam rentang waktu tiga tahun terakhir. Imbasnya
pemberian santunan kepada korban laka lantas yang diberikan PT. Jasa Raharja
(Persero) cabang Sumut juga ikut menurun dalam rentang waktu terakhir.
Penurunan tingkat kecelakaan disebabkan oleh berhasilnya sosialisasi keselamatan
berkendara dan sejumlah kebijakan terobosan yang dikeluarkan oleh Polda Sumut.
Menurut data laka lantas yang diberikan Dirlantas Polda Sumatera Utara, Kombes
Agus Sukamso, jumlah laka lantas pada tahun 2013 sebanyak 6.329 kasus, atau
mengalami penurunan jika dibandingkan pada 2012 yang sebanyak 8.188 kasus
laka lantas. Kemudian, lanjut Agus, pada kuartal I 2014 jumlah laka lantas
sebanyak 1.929 kasus, atau turun 3,84% jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya di periode yang sama yaitu 2.006 jumlah kasus. 13
Memperhatikan data-data ini, keselamatan jalan sudah sewajarnya menjadi
prioritas utama yang mendesak untuk segera diperbaiki dan menjadi perhatian
bersama. Karena permasalahan ini tidak hanya terjadi dalam skala nasional saja.
Namun sudah menjadi masalah global. Jika tidak ada langkah-langkah

12

Andrew R. Cecil, et. al., Traffic Law Enforcement, Terj. Hega Angayomi, Penegakan
Hukum Lalu Lintas, panduan bagi para polisi dan pengendara, Bandung: Nuansa, 2011, hal 99
13
Metrotvnews.com, jakarta: Jumlah Kasus Laka Lantas di Wilayah Sumatera Utara Mengalami
Penurunan, 22 Mei 2014, 08.32 WIB

Universitas Sumatera Utara

24

penanangan yang segera dan efektif diperkirakan korban kecelakaan akan
meningkat dua kali lipat setiap tahunnya.

2. Faktor-faktor terjadinya Pelanggaran Lalu Lintas
Kecelakaan di Indonesia hampir selalu terjadi setiap hari dikarnakan
kesalahan pengemudi itu sendiri. Kecelakan juga banyak terjadi karna faktor lain,
diantaranya adalah karna pengemudi tidak mematuhi peraturan lalu lintas untuk
menjaga keselamatan, keamanan dan juga kelancaran lalu lintasnya juga.
Masyarakat Indonesia masih banyak yang belum sadar atas pentingnya peraturan
lalu lintas dan hal ini yang harus diperhatikan oleh pihak yang bersangkutan
maupun pemerintah.
Faktor-faktor terjadinya pelanggaran lalu lintas yang sering sekali terjadi
di Indonesia : 14
a. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap peraturan lalu lintas
yang berlaku di Indonesia hal tersebut dikarenakan kurangnya
kesadaran masyarakat untuk mencari tahu peraturan lalu lintas atau
rambu-rambu lalu lintas.
b. Semenjak kecil seorang anak kecil sudah diperbolehkan membawa
kendaraan bermotor yang seharusnya umurnya belum mencukupi
untuk berkendara sehingga mereka sering melanggar peraturan lalu
lintas karna belum mengetahui peraturan-peraturan lalu lintas.

14

http://andriyanaade.blogspot.com/2013/01/pelanggaran-lalu-lintas.html, diakses tanggal
8 Maret 2014

Universitas Sumatera Utara

25

c. Hanya patuh ketika ada kabar bahwa akan ada rajia atau saat ada
polisi. Ini sudah hal biasa yang sering kita lihat dijalanan bahkan kita
sendiri sering melakukan ini.
d. Tidak memikirkan keselamatan pengendara lain atau masyarakat yang
ada di sekitar jalan. Contohnya pengendara motor tidak memakai
helm, kaca spion dan tidak menyalakan lampu disiang hari.
e. Bisa langsung mengurus pelanggaran lalu lintas di tempat atau kata
lain “damai”. Hal ini lah yang sering terjadi di setiap ada rajia polisi
atau pelanggaran lalu lintas, hal yang pertama yang dipikirkan oleh
pengendara saat terkena tilang karena melakukan pelanggaran lalu
lintas adalah jalan “damai”

3. Tujuan pemidanaan dalam Sanksi Pidana
Membicarakan tujuan dari hukum pidana, alangkah baiknya bila terlebih
dahulu membahas mengenai fungsi dari hukum pidana itu sendiri. Hal ini
dikarenakan, tanpa mengetahui fungsi dari hukum pidana tersebut kita tidak akan
mengetahui untuk apa sebenarnya tujuan dari adanya hukum pidana.
Hukum dibuat untuk dilaksanakan, yang berarti hukum itu bekerja di
dalam masyarakat. Bekerjanya hukum dalam masyarakat menunjukan bahwa
hukum itu mempunyai fungsi, dimana fungsi hukum secara umum adalah untuk
mengatur tata kehidupan dalam masyarakat. Hukum pidana yang masuk dalam
bagian hukum publik mempunyai fungsi yang sangat penting mengingat hukum
pidana mementingkan pada kepentingan masyarakat atau negara.

Universitas Sumatera Utara

26

Fungsi hukum pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu fungsi yang
umum dan fungsi yang khusus. Fungsi yang umum dan khusus dari hukum pidana
ini oleh Sudarto dalam buku Hukum Pidana Jilid 1 A-B dijelaskan sebagai
berikut:
a. Fungsi umum :
Fungsi umum dari hukum pidana sama dengan fungsi hukum pada
umumnya, karena hukum pidana merupakan sebagian keseluruhan lapangan
hukum, yaitu mengatur hidup atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat terjadi hubungan sosial diantara para anggota
masyarakat itu sendiri. Setiap anggota masyarakat mempunyai kepentingan yang
sering kali berlawanan dengan kepentingan anggota masyarakat yang lainnya,
sehingga sering menimbulkan konflik dan terjadi ketidakharmonisan dalam
masyarakat, hukum pidanalah sarana yang diterapkan dalam menyelesaikan
konflik tersebut.
b. Fungsi khusus :
Fungsi yang khusus dari hukum pidana adalah melindungi kepentingan
hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya dengan sanksi yang
berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang
terdapat dalam cabang-cabang hukum lainnya. Kepentingan-kepentingan hukum
(benda-benda hukum) ini boleh dari orang seorang dari badan atau dari kolektiva,
misalnya masyarakat atau negara. Sanksi yang tajam itu dapat mengenai harta
benda,

kehormatan,

badan

dan kadang-kadang

nyawa

seseorang

yang

Universitas Sumatera Utara

27

memperkosa benda-benda hukum itu. Dapat dikatakan, bahwa hukum pidana itu
memberi aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat. 15
Bentuk-bentuk dari adanya fungsi umum dan khusus dari hukum pidana
adalah dengan adanya penjatuhan sanksi. Mengenai penjatuhan sanksi ini Sudarto
menjelaskan lebih lanjut :
“Sanksi hukum pidana mempunyai pengaruh preventif (pencegahan)
terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran norma hukum. Pengaruh ini
tidak hanya ada apabila sanksi pidana itu benar-benar diterapkan terhadap
pelanggaran yang konkrit, akan tetapi sudah ada, karena sudah tercantum
dalam peraturan hukum (Theorie des psychischen Zwanges = ajaran
paksaan pyschis). Sebagai alat “social control” fungsi hukum pidana
adalah subsidier, artinya hukum pidana hendaknya baru diadakan, apabila
usaha-usaha lain kurang memadai. Selain dari pada itu, karena sanksi
hukum pidana adalah tajam, sehingga berbeda dengan sanksi yang terdapat
pada cabang hukum lainnya, maka hukum pidana harus dianggap sebagai
“ultimum remidium” (obat terakhir) apabila upaya pada cabang hukum
lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mempan, oleh karena itu
penggunaannya harus dibatasi, kalau masih ada jalan lain janganlah
menggunakan hukum pidana”. 16
Berdasarkan apa yang ada diatas dalam perkembangannya dapat kita lihat
bermunculan pendapat dari para sarjana tentang apa yang menjadi tujuan dari
hukum pidana tersebut. Menurut Wirjono Prodjodikoro tujuan dari hukum pidana
adalah untuk memenuhi rasa keadilan. 17 Menurut Tirtaamidjaja yang dikutip oleh
Bambang Poernomo, dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, maksud dari
hukum pidana ialah melindungi masyarakat. 18

15

Sudarto, Op.Cit.
Ibid.
17
Wirjono Prodjodikoro, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, Refika
Aditama, hal. 18
18
Bambang Poernomo, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Ghalia Indonesia,
hal. 23
16

Universitas Sumatera Utara

28

Pada umumnya di dalam membuat suatu uraian tentang tujuan hukum
pidana, sebagian besar penulis hukum pidana tidak mengadakan pemisahan antara
tujuan hukum pidana itu sendiri dengan tujuan diadakannya hukuman atau pidana.
Di antara para sarjana hukum, diutarakan bahwa tujuan hukum pidana
adalah : 19
1) Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik
secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secra
menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar
dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie);
2) Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan
suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya,
sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

M. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
sosiologis. Maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian juridis
sosiologis, yakni memberikan arti penting pada analisis yang bersifat empiris –
kuantitatif. Sehingga langkah-langkah dan disain-disain teknis penelitian hukum
yang sosiologis mengikuti pola penelitian ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologis
(sehingga di namakan socio-legal research). Oleh karena itu langkahnya adalah
dimulai dari perumusan permasalahan dan perumusan hipotetis, melalui penetapan

19

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 18

Universitas Sumatera Utara

29

sampel, pengukuran variable, pengumpulan data dan pembuatan disain analisis,
sedangkan seluruh proses berakhir dengan penarikan kesimpulan.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Data dapat dibagi menjadi 2 yaitu data primer dan data sekunder. Sumber
data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah mengunakan data sekunder.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan erat dengan
bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami
bahan hukum primer yang ada. Semua dokumen yang dapat menjadi sumber
informasi mengenai pidana dan pelanggaran lalu lintas, seperti hasil seminar atau
makalah dari pakar hukum, Koran, majalah, dan juga sumber-sumber lain yakni
internet yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang dibahas.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, adalah :
a.

Library

Research,

yaitu

penelitian

kepustakaan

seperti

melakukan

inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan, dan dokumen serta
literatur yang berkaitan dengan persoalan yang dikaji.
b.

Field Research, yaitu penelitian lapangan, yang dilakukan melalui wawancara
terhadap informan. Penulis melakukan wawancara di Poltabes Medan dengan
informan M.H Sitorus S.H. Kepala Urusan Pembinaan Operasional Polantas
Medan dan Benny S.H. Polisi lalu lintas di Poltabes Medan.

4. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan deskriptif kualitatif. Metode
deskriptif yaitu mengambarkan secara menyeluruh tentang apa yang menjadi

Universitas Sumatera Utara

30

pokok permasalahan. Kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompokkan
dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan
kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidahkaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban
atas permasalahan yang dirumuskan.

N. Sistematika Penulisan
Dalam menyusun skripsi ini, penulis menguraikan bab demi bab sebagai
berikut:
BAB I

PENDAHULUAN
Pada bab ini akan membahas tentang Latar Belakang, Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan,
Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan

BAB II

KETENTUAN HUKUM PIDANA UNDANG-UNDANG NOMOR
22 TAHUN 2009
Pada bab ini akan membahas tentang Ketentuan Pidana Dalam
Undang-undang No. 22 Tahun 2009 dan Prosedur tilang dalam
Undang-undang No. 22 Tahun 2009

BAB III

PERAN POLRESTAS MEDAN DALAM MENANGGULANGI
PELANGGARAN LALU LINTAS
Pada bab ini akan membahas tentang Gambaran Hukum Pelanggaran
Lalu Lintas di Kota Medan, Tugas dan Wewenang Polri dalam

Universitas Sumatera Utara

31

Menanggulangi Pelanggaran Lalu Lintas dan Asas-asas Dalam
Melaksanakan Tugas dan Wewenang Kepolisian
BAB IV

ANALISIS KASUS-KASUS PELANGGARAN LALU LINTAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009
Pada bab ini akan membahas tentang Kasus-kasus Pelanggaran dan
Pasal-Pasal yang dilanggar dan Analisis

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran dari seluruh rangkaian
bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini berisikan kesimpulan yang dibuat
berdasarkan uraian penelitian, kemudian dilengkapi dengan saran
yang mungkin bermanfaat di masa yang akan datang untuk penelitian
lanjutan.

Universitas Sumatera Utara