Analisis Hukum Mengenai Perlindungan Kebebasan Beragama Dalam Konstitusi Republik Indonesia

BAB II
PENGATURAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM KONSITUSI
REPUBLIK INDONESIA.

A. Sejarah Kehidupan Beragama Pada Masa Beberapa Kerajaan di Nusantara
Pra Kemerdekaan RI.
Sejarah mencatat bahwasanya kehidupan antar umat beragama prakteknya
berjalan pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara ini. Sebelum merdeka,
agama-agama yang ada pada saat ini khususnya agama-agama yang berasal dari luar
Indonesia juga keberadaannya mengalami banyak kemajuan karena raja-raja pada
masa sebelum kemerdekaan juga banyak menganut agama dan ajaran tersebut.
Didalam berhubungan dengan kerajaan lain juga, sering terlihat bagaimana masalah
agama tidak menjadi penghalang untuk mengadakan hubungan satu sama lain. Tidak
heran menemukan bahwa raja menikahi putri dari kerajaan yang berbeda dengan
perbedaan agama pula. Bahkan melalui perkawainan campuran tersebutlah terjadi
harmoni kehidupan beragama didalam kerajaannya. Belum lagi adanya kebebasan
bagi warga di kerajaannya untuk memeluk agama sesuai dengan pilihannya sendiri.
Kerajaan yang akan disinggung mengenai pelaksanaan kehidupan beragama, yakni:
Kerjaan Mataram Kuno, Kerjaan Majapahit, Kerjaan Demak,

dan Kerajaan


Sriwijaya.
Kerajaan Mataram kuno di perkirakan berdiri pada abad ke-8 dan berpusat di
Jawa tengah. Pada awal mula berdirinya, Mataram kuno adalah sebuah kerajaan

Universitas Sumatera Utara

hindu. Agama Hindu merupakan agama yang pertama kali tersebar di pulau Jawa.
Agama ini di bawa oleh para pedangang dan petualang-petualang dari India yang
melalang buana hingga terdampar di Pulau Jawa. Sebelum menganut agama Hindu,
nenek moyang yang di tinggal di pulau jawa adalah penganut kepercayaan animisme
dan dinamisme. Tidak berapa lama berselang, tersebar pula agama Budha yang di
bawa oleh para pedangang dari Cina. Maka secara garis besar ada dua agama utama
yang berkembang di tanah Jawa saat itu. Agama Hindu dan Budha. 60
Kebebasan memeluk agama sudah ada sejak zaman dahulu kala. Hal ini
terbukti dari betapa taatnya sang Raja Sanjaya pada agama yang di anutnya, beliau
tetap memberikan kebebasan kepada sanak keluarga dan rakyatnya untuk memeluk
agama Budha. Hal inilah yang menyebakan kerajaan Mataram kuno terpecah menjadi
dua keluarga atau yang di sebut dengan wangsa. Yaitu wangsa Sanjaya yang
menganut agama Hindu dan wangsa Sailendra yang menganut agama Budha. 61

Hubungan antarumat dan kebebasan beragama di Indonesia memiliki sejarah
yang panjang dan dapat ditelusuri sejak zaman purbakala atau sejak zaman kerajaan
Hindu- Budha di Jawa Tengah. Seiring dengan perjalanan sejarah, suksesi para rajaraja, pergeseran pusat kekuasaan, perubahan politik serta gelombang kedatangan
agama dan berbagai aliran/faham keagamaan baru. Hubungan antarumat beragama
mengalami pasang surut dari hubungan yang harmoni, sinkritis, hingga disharmoni
dan konflik. Peninggalan purbakala kompleks candi Plaosan yang terletak di sebelah
60

Babad Tanah Leluhur, http://diajengsurendeng.blogspot.com/2011, diakses tanggal 30 Juni

61

Ibid.

2012

Universitas Sumatera Utara

timur candi Prambanan menunjukkan adanya bukti-bukti hubungan antarumat yang
menarik untuk diungkap kembali. Komplek candi yang dibangun pada abad X zaman

kerajaan Mataram kuno itu, selain sebagai tempat pemujaan juga merupakan
kompleks vihara dan boarding school. Kiranya tidak berlebihan jika candi Plaosan
dijadikan sebagai lambing “cinta-kasih” karena Rakai Pikatan membangun candi
tersebut sebagai hadiah untuk isterinya, Sri Pramoda Wardhani. 62
Lebih dari itu, dibalik perkawinan Rakai Pikatan dengan Sri Pramoda
Wardhani, sebenarnya telah terjadi perkawinan yang lebih besar, yaitu perkawinan
antara dua dinasti penguasa wilayah Jawa Tengah, dinasti Sanjaya dan Syailendra.
Rakai Pikatan berasal dari dinasti Sanjaya, sedangkan Pramoda Wardhani berasal dari
dinasti Syailendra. Kedua dinasti ini menganut agama yang berbeda. Dinasti Sanjaya
menganut agama Hindu, sedangkan dinasti Syailendra menganut agama Buddha.
Perkawinan tersebut menunjukkan adanya hubungan yang harmoni antara dua dinasti
yang menganut agama yang berbeda. Keharmonisan hubungan antarumat terabadikan
dalam candi induk, dua panel relief menggambarkan kedatangan tamu kerajaan yang
mengenakan kufiyah (penutup kepala khas Persia). Hal ini menunjukkan bahwa,
kerajaan Mataram Kuno (Hindu-Buddha) meski berada di pedalaman merupakan
kerajaan yang terbuka. Pada masa kekuasaan Rakai Pikatan telah terjalin hubungan
dengan dunia Islam dari Timur Tengah.

63


62

Haidlor Ali Ahmad, Hubungan Antarumat dan Kebebasan BeragamaJurnal Multikultural &
Multireligius Harmoni: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang & Diklat Kementerian
Agama RIVolume IX, Nomor 36, Oktober - Desember 2010, hal. 5
63
Ibid. hal. 7

Universitas Sumatera Utara

Selain itu, dalam kerajaan Mataram kuno juga ditemukan suatu pura dengan
nama Pura Lingsar yang merupakan pura terbesar dan tertua yang dibangun sekitar
tahun 1714 M pada masa kejayaan Kerajaan Karangasem oleh Raja Anak Agung
Ngurah. Pura ini terletak di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok
Barat, Nusa Tenggara Barat, sekitar 15km dari ibukota Mataram. 64
Pura ini merupakan simbol kerukunan antar umat beragama. Hal ini
dikarenakan selain menjadi tempat ibadah umat Hindu, pura ini juga digunakan oleh
umat Islam suku Sasak yang beraliran Wetu Telu (Waktu Tiga), mereka hidup
berdampingan dan mengelola pura bersama-sama. Untuk menjaga kedamaian, di
larang memakan atau menyembelih binatang-binatang yang dianggap suci oleh

masing-masing agama di dalam dan di daerah sekitar pura. Bahkan sapi yang
dianggap suci oleh umat Hindu dilarang berkeliaran sampai dengan radius 2
kilometer dari Pura Lingsar. Ketika masuk ke dalam kawasan Pura ini, pengunjung
disarankan untuk menggunakan selendang yang diikatkan ke pinggang. pemakaian
selendang ini untuk menghormati Pura ini yang dianggap suci oleh umat Hindu dan
Islam. 65
Puncak dari refleksi mengenai prinsip universal Ketuhanan Yang Maha Esa
yang “beyond religions” (mengatasi agama-agama) ini terjadi pada era kejayaan
Majapahit. Majapahit adalah negara nasional kedua, yang jelas-jelas bukan negara
Hindu. Sekalipun sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu, tetapi Majapahit
64

Wenny Cristina, Melihat Kerukunan Antar Umat Beragama di Pura Lingsar Lombok.
http://wesajelajahindonesia.blogspot.com, diakses tanggal 30 Juni 2012.
65
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

tidak menjadikan hukum Hindu sebagai “hukum negara”. Pada era keemasan

Majapahit, prinsip Ketuhahan Yang Maha Esa itu disebut oleh Mpu Prapanca dan
Mpu Tantular sebagai Sri Parwatharaja, yang bukan Siwa dan bukan Buddha,
melainkan mengandung unsur-unsur prinsipil baik Siwa maupun Buddha. 66
Prinsip Ketuhanan yang lebih universal tersebut dapat dibaca dalam Kakawin
Sutasoma Pupuh 89,5 sebagai berikut: 67
Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena
parwanosen. Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal Bhinneka Tunggal
ika, Tan Hana dharma mangrwa. Artinya: “Disebutkan bahwa Sang Hyang
Buddha dan Sang Hyang Siwa adalah dua substansi yang berbeda. Keduanya
sungguh-sungguh berbeda, namun bagaimana mungkin mengenal sekilas
perbedaan keduanya. Karena hakikat Siwa dan hakikat Buddha adalah tunggal.
Berbeda-beda tetapi satu juga, dan tidak ada kebenaran yang mendua”.
Kebebasan beragama yang bersumber pada kesadaran holistic spirituality ini
hilang pada masa Demak dan Pajang, ketika prinsip negara nasional digantikan
dengan prinsip “negara agama” (theokrasi). Bukti bahwa prinsip “negara agama”
yang intoleran dan rawan memecah belah nusantara itu, antara lain ditunjukkan
dengan “pengadilan atas keyakinan yang berbeda” berdasarkan tafsir tunggal sebuah
(aliran) agama. Kasus hukuman mati atas Syekh Siti Jenar pada zaman kerajaan
Demak dengan jelas membuktikan kebangkrutan sebuah ideologi agama yang
bercorak “imperialisme doktriner” yang kurang memberi tempat pada keyakinan

iman yang berbeda-beda. 68

66

Sena Adiningrat,http://www.anbti.org/content/eksistensi-%E2%80%9Cagama-asli
indonesia%E2%80%9D-dan-perkembangannya-dari-masa-ke-masa, diakses tanggal 29 Juni 2012.
67
Ibid.
68
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Kaitannya dengan paham kebangsaan, Presiden Soekarno, dalam pidatonya
tanggal 1 Juni 1945 ketika mengusulkan dasar negara Pancasila, mengatakan bahwa
kita hanya memiliki dua kali negara nasional (Nationele Staat) sebelum NKRI, yaitu
Sriwijaya dan Majapahit. Karena keduanya bukan “negara agama”, maka keduanya
pernah berhasil mempersatukan Nusantara. Pada masa kedua “negara nasional”
sebelum NKRI ini tidak pernah ada orang yang berbeda dalam formula iman
dipidana, rumah-rumah ibadah dibakar apapun alasannya. Tetapi ketika Demak

menjadi “negara agama” dan filosofi Bhinneka Tunggal Ika diganti dengan Agama
Ageming Aji (agama raja, agama negara) barulah muncul kasus Syek Siti Jenar, dan
sejak Demak nusantara terpecah-pecah. Jangankan mempersatukan nusantara, sesama
Jawa saja tidak mau mengakui kedaulatan Demak. 69
Meninjau sejenak Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun
2006 dan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor
1/BER/MDN-MAG/1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan
Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Ada pihak yang
mempersoalkannya dengan dalih pengekangan kebebasan beragama, ternyata pada
zaman Majapahit, Prabu Rajasanagara telah membuat rambu-rambu yang mengatur
lalulintas penyiaran agama. Prof. Dr. Slamet Mulyono (1965) dalam bukunya Menuju
Puncak Kejayaan mengupas kitab Negara Kertagama peninggalan Mpu Prapanca,
antara lain mengatakan bahwa pada zaman pemerintahan Rajasanagara di Majapahit

69

Ibid.

Universitas Sumatera Utara


terdapat tiga macam aliran/agama, Siwa, Brahma dan Buddha (yang disebut
tripaksa). Rajasanagara mempunyai niat besar bagi tegaknya tripaksa, agar ketigatiganya hidup rukun (pupuh 81:1). Untuk menghindari persengketaan, Rajasanagara
mengadakan pembagian daerah (pupuh 16: 1-3). Aliran Siwa dianjurkan di manamana, sementara agama Buddha hanya boleh disiarkan di kerajaan bagian timur. 70
Prapanca menyatakan bahwa gerak para pendeta Buddha agak dikekang oleh
undang-undang (pupuh 16: 2). Menyiarkan agama Buddha secara leluasa tidak
diizinkan. Jawa sebelah barat adalah daerah larangan, dengan alasan di daerah
tersebut tidak ada penganut agama Buddha. Peraturan yang dibuat Rajasanagara ini
memberikan kesan agar tidak terjadi Buddhanisasi di wilayah yang penduduknya
sudah menganut agama Siwa. Pada era orde baru peraturan perundang-undangan
serupa sering dinyatakan dalam bentuk adagium “jangan menanam sayur di kebun
orang!”.

71

Setelah agama Islam datang, bentuk-bentuk sinkritisme baru pun muncul.
Pada masa awal penyebaran Islam di Indonesia tidak menekankan masalah teologi
maupun syariah (fiqh). Agama Islam disebarkan melalui penetrasi kebudayaan,
ditengarai antara lain dengan munculnya masjid-masjid yang menggunakan arsitektur
rumah adat setempat atau pengaruh arsitektur pra-Islam. Dalam konteks ini Dr. G. F.
Pijper mengatakan, menara masjid Kudus lebih menyerupai menara Kulkul di Bali.

Selain itu, cerita wayang, perayaan sekaten, selametan, kenduri, dan nyadran yang
70
71

Haidlor Ali Ahmad, Op.cit. hal 8.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

sarat dengan unsur-unsur sinkretisme antara Islam dengan Hindu/Buddha serta agama
lokal yang sudah ada sebelumnya. 72
Setelah kedatangan bangsa Eropa terutama Portugis yang

berhasil

menaklukkan Malaka pada tahun 1511, dan Belanda dengan kongsi dagangnya
(VOC), agama Kristen mulai dikenalkan kepada bangsa Indonesia. Misi Kristen
dipandang berhasil pada abad XIX, sebagaimana dikutip A. Syafi’i Mufid dari
Ricklefs (2005: 275), di Jawa Timur muncul komunitas Kristen yang dipimpin oleh
Kyai Tunggul Wulung. Di Jawa Tengah agama Kristen, berkembang dengan pesat di

bawah pimpinan Sadrach Surapranata (1835-1924), melampaui keberhasilan yang
dicapai oleh penginjil Eropa. Apalagi setelah diterapkannya “politik etis”, anak-anak
pribumi diberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan sebagai bagian dari
strategi asosiatif, wajah kebudayaan nusantara benar-benar semakin beragam
(multicultural). 73
Berkaitan dengan hubungan antar umat agama, menarik untuk dicermati di
sini bahwa penyebaran agama Kristen ke wilayah Papua dilakukan oleh para
misionaris Kristen. Para misionaris ini menginjakkan kakinya di Pulau Cenderawasih
(termasuk ke Manokwari) atas izin Sultan Tidore. Bahkan mereka diantar oleh tentara
(punggawa) kesultanan Islam itu. Yang perlu digarisbawahi dari catatan sejarah
hubungan antarumat beragama baik yang harmoni maupun disharmoni, semuanya
adalah pelajaran yang sangat berharga. Meski kondisi hubungan antarumat beragama
72
73

Ibid
Ibid

Universitas Sumatera Utara

yang harmoni yang dikehendaki oleh pemerintah dan para tokoh/pemuka agama
bukanlah hubungan antarumat beragama yang harmonis dan sinkritis, melainkan
hubungan antarumat yang masing-masing umat memiliki kualitas pengetahuan dan
pengamalan agama yang baik. Akan tetapi, mereka bisa hidup berdampingan penuh
toleran. 74
Uraian tersebut cukup membuktikan bahwa pada masa kerajaan-kerajaan di
nusantara juga mengalami pasang surut didalam pelaksanaan kerukunan atau
kebebasan menganut agama. Banyak hal yang membuktikan kerukunan dapat dicapai
dengan beberapa aksi nyata, namun ada juga, hal-hal yang terjadi yang juga
memasung kebebasan beragama itu sendiri. Hal ini membuktikan, masalah
pelaksanaan kebebasan beragama dan muncul keyakinan-keyakinan di kerajaankerajaan nusantara ini suatu hal yang berulang dari masa ke masa. Namun, tetap
pemimpin baik Raja maupun Pemerintah dalam konteks sekarang, memegang andil
yang besar didalam menjamin pelaksanaannya
B. Urgensi Materi HAM dalam Konstitusi
Secara teoritis, salah satu syarat bagi suatu negara hukum adalah adanya
jaminan

atas hak-hak asasi manusia (HAM).

75

HAM lazimnya diartikan sebagai

hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir, sebagai anugerah

74

Ibid.
Negara hukum ialah Negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada
warga negaranya. Secara lengkap unsur-unsur yang harus ada dalam suatu Negara hukum adalah:
1)Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, 2) Pemisahan Kekuasaan, 3) setiap tindakan
pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan, dan 4) Adanya peradilan
administrasi yang berdiri sendiri (lihat : Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia ,:Jakarta: (Pusat Studi HTN FH-UI), 1981, hal. 156.
75

Universitas Sumatera Utara

atau karunia dari Allah Yang Maha Kuasa, seperti hak hidup, hak selamat, hak
kebebasan dan kesamaan sifatnya tidak boleh dilanggar oleh siapapun. 76
Dalam perpektif yuridis formal, jaminan atas perlindungan HAM dalam suatu
negara hukum harus terbaca dan tertafsirkan dari konstitusi yang berlaku di negara
itu, atau setidak-tidaknya termaklumi dari praktik hukum dan ketatanegaraan seharihari. 77 Penegasan atas jaminan perlindungan HAM dalam konstitusi, erat kaitannya
dengan kedudukan dan fungsi konsititusi itu sendiri, yang dapat dirinci sebagai
berikut: 78
1. Konsitusi berfungsi sebagai dokumen nasional yang mengandung perjanjian
luhur, berisi kesepakatan tentang politik, hukum, pendidikan, kebudayaan,
ekonomi, kesejahteraan dan aspek fundamental yang menjadi tujuan negara;
2. Konstitusi berfungsi sebagai piagam kelahiran negara baru. Merupakan bukti
adanya pengakuan dari masyarakat internasional;
3. Konstitusi berfungsi sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara. Konsitusi
mengatur maksud dan tujuan terbentuknya suatu negara dengan sistem
administrasinya melalui adanya kepastian hukum yang terkandung dalam
pasal-pasalnya, unifikasi hukum nasional, kontrol sosial, dan memberikan
legitimasi atas berdirinya lembaga-lembaga negara termasuk pengaturan
tentang pembagian dan pemisahan kekuasaan antar organ eksekutif,
legislatif, dan yudikatif;
4. Konstitusi berfungsi sebagai indentitas nasional dan lambing persatuan.
Konsitusi menyatakan persepsi masyarakat dan pemerintah. Sehingga
memperlihatkan adanya nilai indentitas kebangsaan, persatuan dan kesatuan,
perasaan bangga dan kehormatan bangsa. Konsitusi dapat memberikan
pemenuhan atas harapan sosial, ekonomi, dan kepentingan politik. Konstitusi
tidak saja mengatur pembagian dan pemisahan kekuasaan dalam lembagalembaga politik, akan tetapi juga mengatur tentang penciptaan checks and
balances antara aparat pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
76

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. (Surabaya: PT. Bina
Ilmu), 1987, hal 39.
77
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung
: Mandar Maju), 2001, hal. 83
78
Tim, Naskah Akademik Kajian Komprehensif Tentang Perubahan UUD 1945, (Jakarta :
SekJen MPR-RI), 2004 hal 25-28

Universitas Sumatera Utara

5. Konsitusi berfungsi sebagai alat pembatas kekuasaan, mengendalikan
perkembagan dan situasi politik yang selalu berubah; dan
6. Konstitusi berfungsi sebagai pelindung hak-hak asasi manusia (HAM) dan
kebebasan-kebebasan warga negara.

Kedudukan dan fungsi konstitusi sebagaimana tersebut diatas, juga dapat
merupakan tuntutan bahwa konsitusi harus dapat menjawab persoalan-persoalan
pokok dalam sebuah negara, antara lain: 79
1. Konsitusi merupakan hukum dasar suatu negara;
2. Konsitusi merupakan sekumpulan aturan dasar yang menetapkan lembagalembaga penting dalam negara;
3. Konstitusi melakukan pengaturan kekuasaan dan hubungan keterkaitannya;
4. Konstitusi mengatur hak-hak dasar dan kewajiban warga negara dan
pemerintah;
5. Konstitusi harus dapat membatasi dan mengatur kekuasaan negara dan
lembaga-lembaganya;
6. Konstitusi merupakan ideologi elit penguasa; dan
7. Konstitusi menentukan hubungan materiil antara negara dengan masyarakat.
HAM sebagai salah satu materi muatan konsitusi menunjukkan dua makna
perlindungan yang dijamin oleh konstitusi itu sendiri, pertama, makna bagi penguasa
negara adalah agar dalam menjalankan kekuasaannya, penguasa dibatasi oleh adanya
hak-hak warga negaranya; kedua, makna bagi warga negara, adalah agar ada jaminan
perlindungan yang kuat dalam hukum dasar negara (konstitusi), sehingga warga
negara dapat menjadikan konsitusi sebagai instrument untuk mengingatkan penguasa
supaya tidak melanggar HAM yang telah tercantum dalam konstitusi dalam
79

Ibid, Hal 33-34

Universitas Sumatera Utara

menjalankan kekuasaannya. 80 Dengan demikian, urgensi pengaturan HAM dalam
pasal-pasal konsitusi suatu negara dimaksudkan untuk memberikan jaminan
perlindungan yang sangat kuat, karena perubahan dan/atau penghapusan satu pasal
saja dalam konsitusi seperti yang dialami dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia,
mengalami proses yang sangat berat dan panjang antara lain melalui amandemen
yang dilakukan berkali-kali sampai empat kali. 81
Pengaturan HAM didalam UUD 1945 memang membuka peluang bagi
terjadinya pelanggaran-pelanggaran oleh penguasa jika dikaitkan dengan konsitusi
yang ditinjau dari sosio-legal dan sosio kultural. Sebab, rumusan yang terdapat
didalam UUD 1945 menjadikan HAM sebagai residu kekuasaaan negara dan bukan
kekuasaaan sebagai residu HAM. Keharusan perumusan HAM yang bukan menjadi

80

Sri Hastuti PS, “Perlindungan HAM dalam Empat Konstitusi di Indonesia” dalam Jurnal
Magister Hukum, Vol. 1 No. 1 Januari 2005, (Yogyakarta: Magister Ilmu Hukum FH-UII), 2005, hal
11-12
81
Perubahan pertama, dilakukan melalui sidang MPR pada tanggal 14-21 oktober 1969
terhadap beberapa pasal UUD 1945 sehingga menjadi bentuk Perubahan Pertama UUD 1945, dan
ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999, perubahan kedua UUD 1945 dihasilakan dari Sidang Umum
MPR pada tanggal 17-18 Agustus 2000 sehingga menjadi bentuk Perubahan Kedua UUD 1945, dan
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan ketiga UUD 1945 dihasilkan melalui putusan
Rapat Paripurna MPR RI ke-7 (lanjutan 2) tanggal 9 November 2001 sidang tahunan MPR-RI atas
amanat Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000
Jo, ketetapan MPR No. XI/MPR/2001 yang
mengamanatkan agar pada Sidang Tahunan MPR, Majelis harus menyelesaikan tugasnya untuk
membahas dan mensahkan perubahan ketiga UUD 1945 yang rancangan perubahannya telah
disiapkam oleh BP-MPR dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan yaitu tanggal 9 November 2011.
Kemudian pada Sidang Tahunan MPR yang berlangsung mulai tanggal 1-11 Agustus 2002, MPR
berhasil menyelesaikan tugasnya untuk membahas dan mensahkan perubahan keempat UUD 1945.
Pada perubahan keeempat ini segala hal yang masih belum terselesaikan melalui perubahan pertama,
kedua dan ketiga dituntaskan pada perubahan keempat ini. Dengan demikian, setelah dilakukan empat
kali perubahan (amandemen). Lihat selengkapnya dalam, Morissan, Hukum Tata Negara RI Era
Reformasi, (Jakarta: Ramdina Prakarsa), 2005, hal. 36

Universitas Sumatera Utara

residu kekuasaan didalam konstitusi itu dapat dilacak dari sejarah HAM dan
konstitusi itu sendiri. 82
Formulasi konsitusi yang partikularistik dan secara eksplisit menyerahkan halhal penting dalam bidang HAM (HAW) untuk diatur dengan Undang-Undang dalam
kenyataannya telah menimbulkan masalah besar bagi bangsa Indonesia. Melalui
system politik yang executive heavy, yang dianut oleh UUD 1945, pemerintah telah
melakukan pembatasan secara ketat atas penggunaan HAM di Indonesia dengan
atribusi dan delegasi kewenangan yang dimilikinya. Ketika membuat UU untuk
merealisasikan pesan-pesan tentang HAM atau HAW itu, ternyata pemerintah telah
membuka pintu bagi terjadinya pelanggaran HAM itu sendiri 83. Dengan demikian
jika formulasi UUD 1945 tentang HAM dan HAW dikaitkan dengan terjadinya
pelanggaran HAM, selain dilakukan dengan terang-terangan secara melanggar
hukum, juga dilakukan dengan terang-terangan secara melanggar hukum, juga

82

Penelusuran sosio-legal dan sosio cultural dari sejarah HAM member penegasan bahwa
konsitusi bukan merupakan fungsi residual HAM dari kekuasaan Negara dan pemerintah melainkan,
sebaliknya merupakan fungsi residual kekuasaan dari kebebasan dan HAM. Artinya, konsitusi itu
sebenarnya tidak boleh member pembatasan atas HAM atau menjadikannya sebagai sisa dari
kekuasaan pemerintah semata. Sebaliknya kekuasaan pemerintah harus dibatasi oleh konstitusi agar
HAM warganya tidak dilanggar baik oleh pemerintah maupun oleh sesame warganya. Selengkapnya
lihat,Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konsitusi, (Jakarta: Rajawali Pers), 2011,
Hal 150-153.
83
Hal itu tampak misalnya,dari UU tentang Pokok-Pokok Pers yang membelenggu kebebasan
pers melalui ancaman pemberagusan; UU Kepartian (parpol dan Golkar) yang hanya membatasi
orsospol tertentu yang bisa mengikuti kontestasi politik serta tidak membuka pintu bagi gumpalan
aspirasi baru; UU tentang pemilu yang sangat konservatif dan membuka peluang terjadinya
kecurangan oleh pemerintah dalam rantai-rantai proses pelaksanaannya. Mahfud MD, Politik Hukum
di Indonesia, (Jakarta: LP3S), 1998, hal 177

Universitas Sumatera Utara

dilakukan melalui prosesdur secara “formalitas” benar karena untuk berbagai
pelanggaran HAM itu telah dibuatkan UU lebih dahulu untuk membenarkannya.

84

Melalui uraian mengenai urgensi keberadaan HAM dalam konstitusi dapat
dipahami bahwa pengaturan HAM tersebut merupakan bagian dari substansi yang
harus ada didalam konsitusi. Substansi mengenai perlindungan hak asasi manusia,
aspek-aspek ketatanegaraan yang mendasar dan lebih utamanya lagi adanya
pembagian dan pembatasan sekaligus sebagai sarana control terhadap kekuasaan
negara. Sehingga pemerintah memiliki acuan didalam melaksanakan kekuasaannya.
Menyoal masalah adanya penjabaran dari isi konstitusi yang membuka peluang untuk
pelanggaran

HAM

yang

sudah

diformulasikan

dalam

undang-undang

itu

permasalahan yang timbul karena ketika pembuatannya itu bertentangan dengan isi
konstitusi sendiri. Dalam hal inilah dibutuhkan kerjasama baik pemerintah dan pihak
legislator untuk bersama-sama merumuskan aturan-aturan yang tetap menjungjung
tinggi HAM dalam konteks ke Indonesiaaan.
Jaminan konstitusi HAM tidak bisa diabaikan. Pengabaian perihal HAM
adalah juga pengabaian perihal penegakkan hukum. Atas dasar itu, maka sebagai
“otobiografi bangsa”, maka pengaturan dan bentuk jaminan HAM UUD 1945 harus
menjadi perhatian serius seluruh komponen bangsa. Pentingnya jaminan konstitusi
atas HAM membuktikan komitmen atas sebuah kehidupan demokratis yang berada
dalam payung Negara hukum. Memang, Indonesia, menurut Todung Mulya Lubis,

84

Ibid, hal. 158

Universitas Sumatera Utara

belum sampai kearah itu, meskipun persoalan dan perlindungan HAM diatur dalam
peraturan perundang-undangan seperti UU Lingkungan Hidup, UU HAM, UU
Pengadilan HAM, UU Pers, UU Konsumen dan sebagainya. 85
Rakyat Indonesia membutuhkan tidak hanya sekedar legal rights, melainkan
dapat menjadi guaranteed constitutional rights yang tertuang secara sistematis dan
komprehensif dalam “otobiografi Indonesia”, yakni UUD negara Republik Indonesia.
Yang lebih penting bagi lagi adalah bahwa perjalanan proses dialektika demokrasi
yang terjadi di Indonesia harus menjadi pelajaran berharga dalam mereformulasikan
jamianan konstitusi atas HAM dengan berdasarkan kepada paradigma ke
Indonesiaan. Urgensi memuat masalah penjaminan atas HAM membuktikan bahwa
konsitusi tersebut secara substansi dinyatakan memenuhi unsur yang harus diatur
didalam konsitusi. Jika tidak sesungguhnya konsitusi tersebut rapuh dan dapat
dikatakan bukan konsitusi yang layak dikatakan sebagai konsitusi. Karena konsitusi
menjadi acuan bagi pemerintah sebagai pemegang mandat didalam menjalankan
pemerintahannya.
C. Perlindungan HAM Dalam Konsitusi Republik Indonesia
Konteks UUD yang pernah berlaku di Indonesia, pencantuman secara
eksplisit seputar HAM muncul atas kesadaran dan beragam konsensus. Dalam urutan
berlakunya UUD di Indonesia, yakni UUD 1945, Konsitusi RIS 1949, UUDS 1950,
85

Todung Mulya Lubis, Jaminan Konsitusi Atas Hak Asasi Manusia dan Kebebasan, dalam
Internasional IDEA, Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi Indonesia;Laporan Hasil
Konfrensi yang diadakan di Jakarta, Indonesia, pada bulan Oktober 2001 (Jakarta: Internasional
IDEA), 2002, hal. 58.

Universitas Sumatera Utara

UUD 1945, dan Amanannden Keempat UUD 1945 Tahun 2002, pencantuman HAM
mengalami pasang surut. Tendensi politis ditambah dengan “keringnya” jaminan atas
HAM menambah sederatan sikap penguasa yang terkesan ambigue. Multi penafsiran
atas teks-teks konsitusi tidak dapat terbaikan sehingga tidak jarang interpretasi
penguasa lebih terkesan subyektif dan hagemonik. 86
Istilah HAM tidak ditemukan dalam UUD 1945. HAM dalam UUD 1945
diatur secara singkat dan sederhana. HAM diatur dalam UUD 1945 lebih berorientasi
kepada hak sebagai warga Negara (HAW) yang hanya ditegaskan dalam 5 pasal,
yakni pasal 27, pasal 28, pasal 29, pasal 31, dan pasal 34. Dalam konsitusi RIS 1949,
pengaturan HAM terdapat dalam bagian V yang berjudul “Hak-hak dan Kebebasankebebasan Dasar Manusia”. Pada bagian tersebut terdapat 27 pasal dari mulai pasal 7
sampai dengan pasal 33. 87
UUDS 1950 memuat pasal-pasal tentang HAM yang relatif lebih lengkap.
Ketentuan yang diatur pada bagian V (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan dasar
Manusia) dari mulai pasal 7 sampai pasal 33. Menariknya, pemerintah juga memiliki
kewajiban dasar konstitusional yang diatur sedemikian rupa, sebagaimana diatur pada
bagian VI (Azas-azas Dasar) sebanyak 8 pasal, dari pasal 35 sampai dengan pasal
43. 88

86

Majda El Mustaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Predana Media),

87

Ibid.
Ibid.

2005.
88

Universitas Sumatera Utara

Merujuk kepada ketiga jenis konsitusi yang berlaku di Indonesia terkait
dengan masalah jaminan atas perlindungan HAM, terlihat bahwa konstitusi RIS 1949
dan UUDS 1950 memuat pasal-pasal HAM secara lengkap, yang oleh UUDS 1950
dimasukkan kedalam suatu bagian tersendiri, yaitu bagian V. Sehingga menurut Mr.
Moh. Yamin Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 adalah satu-satunya daripada
segala konstitusi yang telah berhasil memasukkan HAM seperti putusan UNO
kedalam piagam Konsitusi. 89 Artinya, baik Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950
dalam masalah penuangan pasal-pasal HAM memiliki kesamaan dengan apa yang
tercantum didalam dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
Agenda perubahan UUD 1945 merupakan sejarah baru bagi masa depan
konstitusi Indonesia. Pengaturan HAM ditegaskan pada perubahan UUD 1945 Tahun
2000. Muatan HAM dalam perubahan kedua UUD 1945 jauh melebihi ketentuan
yang pernah diatur dalam UUD 1945. HAM diatur dalam sebuah bab, BAB XA
tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 10 pasal, dari mulai pasal 28 A sampai
dengan 28 J. Meskipun banyak kritikan terhadap hasil amandemen UUD 1945 karena
belum dapat menghasilkan konstitusi yang ideal, tetapi paling tidak amandemen 1945
ini mulai mengarah kepada tuntutan doktrin konstitusionalisme. 90 Apalagi dalam

89

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung:
Mandar Maju) 2001, hal. 83
90
Doktrin konsitusionalisme mengajarkan bahwa penguasa perlu dibatasi kekuasaannya dan
karena itu kekuasaannya itu harus diperinci secara tegas dan juga merupakan suatu kerangka dari
masyarakat politik yang pada dasarnya terdapat pengertian tentang “lembaga-lembaga negara, hak-hak
serta kewajiban hak asasi manusia dan warga negara. Lihat selengkapnya Sri Soemantri dan Suharizal,
Reformasi Konstitusi 1998-2002; pergulatan Konsep dan Pemikiran Amandemen UUD 1945, (Jakarta:
Sinar Grafika), 2002, hal.28

Universitas Sumatera Utara

konteks HAM, UUD 1945 hasil amandemen ini secara materiil memuat pasal-pasal
yang substansinya HAM nya jauh lebih lengkap.
Melalui penjelasan ini dapat dikatakan bahwa seluruh konsitusi yang pernah
berlaku di Indonesia mengakui kedudukan HAM sangat penting. Hanya saja seluruh
konstitusi itu berbeda dalam menerjemahkan materi muatan HAM kedalam UUD.
UUD 1945 I (1945-1949) hanya menegaskan kedudukan hak asasi warga (HAW).
Akibatnya pasal-pasal HAW tersebut sarat dengan multi-interpretrasi dalam
penegakan hukum dan HAM. Konstitusi RIS (1949-1950) memberikan suasana baru
bagi penegakan hukum dan HAM. Karena pemberlakuannya yang relatif singkat,
akibatnya upaya penegakkan hukum dan HAM dari konstitusi ini relatif sulit
ditemukan. UUD 1950 (1950-1959) memberikan kepastian hukum yang tegas tentang
HAM. Materi muatan HAM dalam UUDS 1950 mengadopsi muatan HAM PBB
tahun 1948. 91
Sama halnya dengan konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 nyaris tidak efektif
karena negara pada waktu itu disibukkan dengan kondisi perpolitikan tanah air.
Namun satu hal yang pasti kedua UUD ini, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950
sama-sama memiliki materi muatan HAM yang lebih komprehensif. Berlakunya
kembali UUD 1945 semakin menjadi bukti adanya “kemunduran” normatifitas HAM
dalam UUD. Sebab pemberlakuan UUD 1945 pada peride II (1959-1998) tidak jauh
berbeda dengan materi muatan HAM dalam UUD 1945 periode I. Dalam

91

Majda El Muhtaj, Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif,
(Yogyakarta: PUSHAM-UII), 2007, Hal. 282

Universitas Sumatera Utara

perkembangan kebijakan pemerintahan Orde Baru sampai Orde Reformasi (sebelum
dan sesudah Amandemen II UUD 1945 Tahun 2000), beberapa perangkat kebijakan
peraturan perundang-udangan dapat dikatakan melengkapi pengaturan HAM di
Indonesia dalam bentuk Peraturan perundang-undangan, seperti TAP MPR, UndangUndang, Keppres dan sebagainya. 92
Berdasarkan uraian tersebut dalam perjalanan konstitusi RI sejak awal
kemerdekaan hingga konsitusi pasca amandemen saat ini dapat dilihat bagaimana
pasang surut pengaturan HAM didalam setiap konstitusi yang pernah berlaku
tersebut. Tetapi yang pasti, pengaturan HAM tidak pernah terlepas dari konsitusi RI
membuktikan bahwa Indonesia sejak awal kemerdekaan sudah menangkap pesan
pentingnya penjaminan HAM terhadap warga negaranya. Tentunya juga memenuhi
dari unsur yang harus termaktub didalam konsitusi. Bahkan sebelum Declaration Of
Human Rights (DUHAM) berlangsung, Indonesia pada awal kemerdekaan sudah
memuat masalah kebebasan beragama. Penegakkan hukum atas HAM tergantung
bagaimana masalah HAM tersebut diatur didalam konsitusi suatu negara. Semakin
lengkap atau komprehensif, sebenarnya penegakkannya juga berpeluang akan lebih
baik, namun demikian juga sebaliknya.
D. Pengaturan Kebebasan Beragama dalam Konsitusi RI
Perlindungan kebebasan beragama dalam Undang-Undang Dasar 1945 sudah
ada diatur secara khusus. Meskipun dalam sejarahnya ketika sidang BPUPKI terdapat
92

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

perbedaan pandangan yang cukup tajam antara Soekarno, Soepomo, Moh. Yamin dan
Hatta tentang perlu tidaknya HAM masuk dalam UUD Indonesia nantinya, namun
ketika rancangan UUD resmi setelah Indonesia merdeka, telah terdapat pasal-pasal
yang memuat perlindungan HAM. 93 Hal itu tampak bahwa para founding fathers
menyadari perlunya HAM masuk menjadi substansi konsitusi Indonesia dan rumusan
pasal-pasal HAM dalam UUD 1945. Salah satu dari substansi HAM yang diatur
dalam konstitusi ini adalah masalah jaminan terhadap kebebasan beragama. Pasal 29
ayat (2) yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.
UUD 1945 berlaku antara 17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember
1949. Karena setelahnya konstitusi yang berlaku adalah Konsitusi RIS 1949.
Konstitusi RIS 1949 merupakan konsitusi yang sangat panjang karena terdiri dari VI
BAB dan 197 Pasal. Pasal-pasal tentang HAM terdapat pada BAB I Bagian 5 tentang
Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia, semuanya 26 Pasal dengan

93

Soekarno menentang dimasukkannya perlindungan hak warga Negara dalam UUD karena
menurutnya berasal dari faham individualism yang harus dibuang dari UUD Indonesia. Soepomo
mendukung pendapat Soekarno sebab menurutnya UUD Indonesia seharusnya mengandung sistem
kekeluargaaan dan jika pasal-pasal tentang HAM masuk dalam UUD Indonesia hal itu berarti UUD itu
bersifat perseorangan dan itu bertentangan dengan konstruksinya yang berdasar sistem kekeluargaan.
Sementara itu Hatta menganjurkan perlu UUD Indonesia mempunyai pasal-pasal tentang HAM dan
pendapat Hatta ini didukung oleh M. Yamin yang menentang tegas usulan tidak dimasukkannya pasalpasal HAM dalam UUD Indonesia. Menurutnya, segala konstitusi baik yang lama maupun yang baru
didunia berisi perlindungan aturan dasar itu (HAM) yang sebenarnya tidak berhubungan dengan
liberalism melainkan karena suatu keharusan perlindungan kemerdekan yang harus diakui dalam
UUD. Lihat, R. G Kartasapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT. Bina Aksara), 1987,
hal 260 sebagaimana dikutip dari tulisan Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, (Jakarta:
Prapanca), 1959.

Universitas Sumatera Utara

rumusan yang cukup mendetail. Pasal-pasal yang secara khusus mengatur masalah
kebebasan beragama adalah: 94
Pasal 18: Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran keinsjafan batin dan
agama; hak ini meliputi pula kebebasan bertukar agama atau kejakinan, begitu
pula kebebasan menganut agamanja atau kejakinannja, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain, baik dimuka umum maupun dalam
lingkungannja sendiri dengan djalan mengadjarkan, mengamalkan, beribadat,
mentaati perintah dan aturan-aturan agama, serta dengan djalan mendidik
anak-anak dalam iman dan kejakinan orang tua mereka.

Konsitusi yang pernah berlaku di Indonesia yakni UUD 1945, Konsitusi RIS
1949, Undang Undang Dasar Sementara 1950, UUD 1945 Pasca Amandemen tetap
mengatur secara khusus masalah jaminan terhadap kebebasan beragama. Namun,
setiap konstitusi memiliki keunikan masing-masing didalam merumuskan masalah
jaminan kebebasan beragama. Ada yang detail dan jelas, namun ada juga yang sangat
umum dan memiliki multitafsir.
Berikut perbandingan, UUD 1945 Pasca Amandemen memuat pengaturan
kebebasan beragama dengan bagaimana Kontitusi RIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945
Pasca Amandemen dan Konstitusi Malaysia.
Tabel 1: Perbandingan Konsitusi Menjamin Kebasan Beragama
UUD 1945 PASCA AMANDEMEN
• Pasal 28E ayat (1): Setiap orang
berhak memeluk agama dan beribadat
menurut
agamanya,
memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
94

UUD 1945, KONSTITUSI RIS 1949,
UUDS 1950, KONSTITUSI MALAYSIA
• Pasal 18 Konsitusi RIS 1949: Setiap
orang berhak atas kebebasan pikiran
keinsjafan batin dan agama; hak ini
meliputi pula kebebasan bertukar agama
atau kejakinan, begitu pula kebebasan

Konstitusi Republik Indonesia 1949

Universitas Sumatera Utara

memilih tempat tinggal di wilayah
menganut agamanja atau kejakinannja,
negara dan meninggalkannya, serta
baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, baik dimuka umum
berhak kembali. Ayat (2): Setiap
orang
berhak
atas
kebebasan
maupun dalam lingkungannja sendiri
dengan
djalan
mengadjarkan,
meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
mengamalkan,
beribadat,
mentaati
nuraninya.
perintah dan aturan-aturan agama, serta
dengan djalan mendidik anak-anak
• Pasal 28I ayat (1): Hak untuk hidup,
dalam iman dan kejakinan orang tua
hak untuk tidak disiksa, hak untuk
mereka.
kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak • Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949:
Peraturan-peraturan
undang-undang
diperbudak, hak untuk diakui sebagai
tentang melakukan hak-hak dan
pribadi dihadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum
kebebasan-kebenaran jang diterangkan
yang berlaku surut adalah hak asasi
dalam bagian ini, djika perlu, akan
manusia yang tidak dapat dikurangi
menetapkan batas-batas hak-hak dan
kebebasan-kebesan itu, akan tetapi
dalam keadaan apapun. Ayat (2):
Setiap orang bebas dari perlakuan
hanjalah semata-mata untuk mendjamin
yang bersifat diskriminatif atas dasar
pengakuan dan pernghormatan jang tak
apapun dan berhak mendapatkan
boleh tiada terhadap hak-hak serta
perlindungan terhadap perlakuan yang
kebebasan-kebebasan orang lain, dan
bersifat diskriminatif itu. Ayat (4):
untuk memenuhi sjarat-sjarat jang adil
untuk ketenteraman kesusilaan dan
Perlindungan, pemajuan, penegakan,
kesedjahteraan umum dalam suatu
dan pemenuhan hak asasi manusia
persekutuan jang demokrasi. Ayat (2):
adalah tanggung jawab negara,
Djika perlu, undang-undang federal
terutama pemerintah. Ayat (5): Untuk
menentukan pedoman dalam hal itu bagi
menegakkan dan melindungi hak
undang-undang daerah-daerah bagian.
asasi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka • Pasal 33 Kontitusi RIS 1949: Tiada
pelaksanaan hak asasi manusia
suatu ketentuanpun dalam bagian ini
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam
boleh ditafsirkan dengan pengertian,
peraturan perundang-undangan.
sehingga sesuatu penguasa, golongan
atau orang dapat memetik hak dari
• Pasal 28J ayat (1): Setiap orang
wajib menghormati hak asasi manusia
padanja untuk mengusahakan sesuatu
orang lain dalam tertib kehidupan
apa atau melakukan perbuatan berupa
bermasyarakat,
berbangsa,
dan
apapun jang bermaksud menghapuskan
bernegara.
Ayat
(2):
Dalam
sesuatu hak atau kebebasan jang
diterangkan dalamnja.
menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada • Pasal 18 UUDS 1950 : Setiap orang
pembatasan yang ditetapkan dengan
berhak
atas
kebebasan
agama,
undang-undang
dengan
maksud
keinsjafan batin dan pikiran
semata-mata
untuk
menjamin • Pasal 3 ayat (1) Konstitusi Malaysia:

Universitas Sumatera Utara

pengakuan serta penghormatan atas
Islam adalah agama Federasi, tetapi
hak dan kebebasan orang lain dan
agama-agama lain dapat dipraktekkan
dalam damai dan harmoni dalam setiap
untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral,
bagian dari Federasi.
nilai-nilai agama, keamanan, dan • Pasal 11 Kontitusi Malaysia:
ketertiban umum dalam suatu
1. Setiap orang memiliki hak untuk
masyarakat demokratis
menganut dan menjalankan agamanya
dan,
menurut Ketentuan (4),untuk
• BAB XI tentang Agama Pasal 29
ayat
(2):
Negara
menjamin
menyebarkan itu.
kemerdekaan tiap-tiap penduduk
2. Tidak seorangpun akan dipaksa untuk
untuk memeluk agamanya masingmembayar pajak apapun hasil yang
masing dan untuk beribadat menurut
khusus
dialokasikan
dalam
agamanya dan kepercayaannya itu.
keseluruhan atau sebagian untuk
tujuan
agama
selain
karena
kemauannya sendiri.
3.Setiap kelompok agama memiliki hak:
mengelola
urusannya
(a) untuk
sendiri agama;
(b) untuk
membangun
dan
mempertahankan lembaga untuk
tujuan keagamaan atau amal, dan
(c) untuk memperoleh dan memiliki
harta
benda
terus
dan
administrasinya sesuai dengan
hukum.
4.Hukum negara dan dalam hal Wilayah
Federal Kuala Lumpur dan Labuan,
hukum federal dapat mengontrol atau
membatasi penyebaran doktrin agama
atau keyakinan di kalangan orang yang
beragama Islam.
5.Pasal ini tidak mengizinkan setiap
tindakan yang bertentangan dengan
hukum umum yang berkaitan dengan
publik, kesehatan ketertiban umum
atau kesusilaan.
• Pasal 12 Konsitusi Malaysia:
2. Setiap kelompok agama memiliki hak
untuk
membangun
dan
mempertahankan
lembaga-lembaga
untuk pendidikan anak-anak dalam
agama sendiri, dan tidak akan ada

Universitas Sumatera Utara

diskriminasi atas dasar hanya agama
dalam hukum yang berkaitan dengan
lembaga atau dalam administrasi
hukum tersebut yang akan dijamin,
tetapi itu akan menjadi halal bagi
Federasi
atau
Negara
untuk
menetapkan atau mempertahankan
atau membantu dalam membangun
atau
mempertahankan
lembagalembaga Islam atau menyediakan atau
membantu menyediakan instruksi
dalam agama Islam dan menyediakan
biaya yang mungkin diperlukan untuk
tujuan tersebut.
3.Tidak ada orang yang wajib menerima
pengajaran atau ambil bagian dalam
upacara atau ibadah agama lain selain
karena kemauannya sendiri.
4.Untuk tujuan Klausul (3) agama
seseorang di bawah usia delapan belas
tahun ditetapkan oleh orang tua atau
walinya.

Sumber : Diinovasi berdasarkan isi Konsitusi RI.

Jika dibandingkan dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 Konsitusi RIS ini
lebih detail mengatur masalah kebebasan beragama. Sebenarnya substansinya sama.
Bahwa kontitusi dengan jelas menyatakan bahwa negara menjamin hak dari tiap-tiap
warga negaranya dalam hal bebas memeluk agama dan beribadat menurut
kepercayaan dan keyakinannya. Namun didalam konstitusi RIS 1949 diuraikan
dengan lebih detail, bahwa hak tersebut meliputi pula kebebasan bertukar agama atau
keyakinan, begitu pula kebebasan menganut agamannya atau keyakinannya, baik

Universitas Sumatera Utara

sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik dimuka umum maupun dalam
lingkungannya sendiri dengan jalan mengajarkan, mengamalkan, beribadat, mentaati
perintah dan aturan-aturan agama, serta dengan jalan mendidik anak-anak dalam iman
dan keyakinan orang tua mereka. Selain itu juga menetapkan batas-batas pelaksanaan
hak tersebut, yakni penghormatan terhadap hak asasi orang lain, tidak melanggar
norma kesusilaan dan syarat yang adil untuk ketertiban umum dalam kehidupan yang
demokrasi.
Pasal 32 dan 33 Konsitusi RIS nampaknya memberi penegasan bahwa hakhak dan dan kewajiban yang diberikan oleh warga negara melalui konstitusi tersebut
harus diikuti oleh negara aturan organik yang mengatur lebih lanjut tentang
pelaksaanaan hak dan kewajiban tersebut serta batas-batasnya sehingga baik warga
negara maupun penguasa sama-sama memiliki satu pedoman dalam bertindak. 95
UUDS 1950 mengaturnya pada Pasal 18: Setiap orang berhak atas kebebasan
agama, keinsjafan batin dan pikiran. Jika dibandingkan pada pengaturan perlindungan
kebebasan beragama baik dalam UUD 1945 periode pertama dan konsitusi RIS 1949,
UUDS 1950 malah jauh lebih umum dan menguraikan dengan singkat masalah
pengaturan perlindungan kebebasan beragama ini. Hanya menyebutkan bahwa setiap
orang berhak atas kebebasan agama dan keinsyafan batin dan pikiran. Tidak terlalu
jelas maksud dari setiap kata perkata dalam pasal ini. Apalagi dengan keinsafan batin
dan pikiran.

95

Sri Hastuti, Op.Cit, hal. 173

Universitas Sumatera Utara

UUD 1945 amandemen kedua, mengalami banyak perubahan yang sangat
berarti bagi perkembangan perlindungan HAM di Indonesia. Bahkan pasca
amandemen ini ada pasal yang secara khusus memuat tentang HAM terletak pada bab
tersendiri yaitu BAB XA. Terdapat pada pasal 28 yang terdiri dari 26 butir ketentuan.
HAM yang dimuat didalam UUD 1945.
Khusus pengaturan masalah kebebasan beragama, UUD 1945 pasca
amandemen memuatnya dalam beberapa pasal. Pasal 28E ayat (1): Setiap orang
berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Ayat (2): Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya. Pasal 28 I ayat (1). (2), (3). (4) dan (5) dan Pasal 28 J ayat (1),
(2) menunjukkan betapa komprehensifnya konstitusi Pasca Amandemen ini mengatur
masalah kebebasan beragama di Indonesia.
Dibandingkan dengan Konstitusi RIS 1949, dari segi substansi keduanya
mempunyai keunikan tersendiri. konstitusi RIS 1949 menyatakan bahwa hak tersebut
meliputi pula kebebasan bertukar agama atau keyakinan, begitu pula kebebasan
menganut agamannya atau keyakinannya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain, baik dimuka umum maupun dalam lingkungannya sendiri dengan jalan
mengajarkan, mengamalkan, beribadat, mentaati perintah dan aturan-aturan agama,
serta dengan jalan mendidik anak-anak dalam iman dan keyakinan orang tua mereka.
Sedangkan dalam UUD 1945 pasca amandemen menyatakan pada pasal 28 ayat (2):

Universitas Sumatera Utara

Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan
sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Selain itu ditegaskan bahwa hak memeluk agama
adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28I ayat (1)).
Demikian juga masalah perlindungan terhadapa perlakuan yang diskriminatif
terhadap pelaksanaan hak tersebut (Pasal 28I ayat (2)).
Berdasarkan perbandingan dari setiap konstitusi yang pernah berlaku di
Indonesia, masalah perlindungan kebebasan beragama tetap diatur keberandaannya.
Namun harus diakui bahwa setiap konstitusi tersebut ada keunikan masing-masing
didalam pernyataan jaminan yang diberikan atas hak tersebut. Ada yang mengaturnya
dengan jelas dan rinci, tetapi ada yang menguraikannya dengan sangat singkat dan
butuh banyak penafsiran untuk memahaminya. Selain itu ada yang tegas mengatur
masalah pembatasan pelaksanaan hak tersebut baik oleh undang-undang maupun
ketentuan seperti tersebut diatas namun ada yang tidak mengatur pelaksanaan dari
hak kebebasan beragama tersebut. Seperti halnya pada UUD 1945 periode I dan
UUDS 1950 tidak terlalu detail mengatur perihal perlindungan kebebasan beragama
ini. Untuk meninjau perihal pengaturan perlindungan kebebasan beragama dalam
konstitusi Indonesia, adalah baik untuk membandingkannya dengan negara lain yang
yang juga mengatur perihal kebebasan beragama. Dalam hal ini akan dibandingkan
dengan Konsitusi Malaysia.
Indonesia bukan negara agama. Kendatipun mayoritas penduduknya adalah
muslim, konstitusi Indonesia tidak ada menyatakan bahwa Indonesia adalah negara
agama atau Islam adalah agama negara. Demikian juga tidak ada pernyataan bahwa

Universitas Sumatera Utara

agama Islam adalah agama negara. Berbeda dengan Malaysia 96 yang dalam
konstitusinya menetapkan bahwa Islam adalah agama negara. Namun itupun
keberadaaan agama lainnya tetap dijamin keberadaannya 97. Malaysia mengatur
masalah kebebasan beragama dalam konstitusinya dengan sangat unik juga. Ada halhal yang diatur didalam kontitusinya perihal kebebasan beragama yang tidak ada pada
konsitusi kita demikian juga sebaliknya. Berbeda dengan Belanda 98 yang memiliki
sistim hukum yang sama dengan Indonesia. Belanda dalam konstitusinya hanya
memuat satu pasal mengenai kebebasan beragama 99.
Konsitusi RI akan dibandingkan dengan Konstitusi Malaysia karena antara
Indonesia dan Malaysia ada persamaan budaya/ kultur. Selain itu memiliki persamaan
dalam hal penduduknya mayoritas beragama Islam. Kendatipun memiliki perbedaan
sistim hukum.

96

Sebagai bekas jajahan Inggris, Malaysia tetap mempertahankan tradisi hukum kebiasaan
Inggris (Common Law Sistem ) biasa disebut dengan system hukum Anglo-Saxon. Tradisi ini berdiri
ditengah-tengah sistem hukum Islam (yang dilaksanakan oleh pengadilan Syari’ah) dan hukum adat
berbagai kelompok penduduk asli. www.andrytama.blogspot.com, diakses tanggal 22 Mei 2012
97
Contitution Of Malaysia, Article 3 (1). Islam is the religion of the Federation; but other
religions may be practised in peace and harmony in any part of the Federation.
en.wikipedia.org/.../Constitution_of_Malaysia, diakses tanggal 22 Mei 2012
98
Belanda menganut sistim hukum eropa continental. Berdasarkan data yang ada 30% penduduk
Belanda Beragama Katholik Roma, 11% menganut Dutch Reformed, 6% menganut kristen Calvinist.
kemudian 3% menganut protestan dan kristen lainnya. sedang yang beragama Muslim berjumlah 5,8%
dan 2,2% menganut Buddha, Yahudi, Sikh dan kepercayaan lainnya dan yang mencengangkan 42%
mengaku tidak beragama alias Atheis. kompetiblog2011.studidibelanda.com, diakses tanggal 22 Mei
2012
99
The Constitution of the Netherlands 1983, article 6 (1) Everyone shall have the right to
manifest freely his religion or belief, either individually or in community with others, without
prejudice to his responsibility under the law.(2) Rules concerning the exercise of this right other than
in buildings and enclosed places may be laid down by Act of Parliament for the protection of health, in
the interest of traffic and to combat or prevent disorders. http://en.wikipedia.org/wiki/Constitution_of_t
he_Netherlands, diakses tanggl 22 Mei 2012

Universitas Sumatera Utara

Secara khusus Malaysia mengatur dengan tegas dalam konsitusinya bahwa
Islam adalah Negara agama. Selain masalah pengaturan agama Islam sebagai agama
negara. Konsitusi malaysia juga mengat