Analisis Hukum Mengenai Perlindungan Kebebasan Beragama Dalam Konstitusi Republik Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang dibangun atas dasar keberagaman. Tidak heran
apabila para pendiri bangsa ini menggunakan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang berarti
“berbeda-beda tapi tetap satu”, sebagai identitas bangsa ini. Unity in diversity,
kesatuan dalam konteks keberagam-ragaman, (bhineka tunggal ika) sebagai dasar
paradigmatif bagi paham “persatuan” sebagai salah satu sila dalam Pancasila itu, turut
sebagai paradigma filosofis bagi politik hukum nasional di Indonesia. 1
Indonesia bersifat pluralitas 2 karena terdiri dari beragam suku, bahasa dan
adat istiadat yang tersebar dari sabang sampai merauke. Demikian juga beragam
agama dan aliran kepercayaan yang diyakini oleh setiap penduduknya. Baik dari
agama yang berasal dari luar Indonesia yang dibawa oleh penyebar agama, demikian
juga agama suku atau keyakinan-keyakian dan aliran-aliran kepercayaan yang masih
tumbuh subur didalam masyarakat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari keunikan bangsa ini.
1

M. Solly Lubis, Managemen Strategis Pembangunan Hukum, (Bandung : Bandar Maju,
2011), hal. 78

2
Arti kata pluralitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bersifat majemuk, banyak
macam, (Departemen Pendidikan Nasional : Balai Pustaka, Jakarta, 2007), Hal. 883

Universitas Sumatera Utara

Menyadari sifat pluralitas dalam beragama yang dianut oleh penduduk di
Indonesia, kendatipun Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya
adalah agama Islam, para pendiri bangsa ini memberikan jaminan kebebasan kepada
setiap warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masingmasing. Ini terbukti bahwa masalah kebebasan beragama ini dengan tegas diatur
didalam konstitusi RI (Republik Indonesia). Dimana konstitusi merupakan hukum
dasar yang dijadikan pegangan didalam penyelenggaraan suatu negara. 3
Berbicara masalah konstitusi tidak dapat terlepas dari apa yang menjadi
muatan dari konstitusi itu sendiri. Ada tiga hal pokok yang menjadi muatannya, yaitu:
pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara ; kedua,
ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental; dan ketiga, adanya
pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental. 4
Berdasarkan muatan konstitusi ini, UUD 1945 sebagai konstitusi RI memuat tentang
jaminan atas hak-hak asasi manusia khususnya masalah kebebasan beragama yang
termasuk didalam hak yang fundamental.

Ada yang beranggapan bahwa didalam pergeseran rezim otoritarian di
Indonesia menuju demokrasi, jelas menjadi kabar sedap bagi kebebasan beragama,
berekspresi dan berasosiasi. Namun, sejauh ini selalu saja bermasalah dalam
implementasinya. Bahkan, ketika pemerintahan sudah terbentuk melalui mekanisme
3

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005), hal. 35
4
Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media Yogyakarta,
2007), hal. 43

Universitas Sumatera Utara

demokratis, ternyata belum berdaya mengurangi intensitas problem kebebasan
beragama. Secara kasat mata, diskriminasi itu tampak misalnya dalam kebijakan yang
mengakui hanya enam agama resmi. 5 Orang atau komunitas di luar agama resmi
selalu menjadi pihak yang dirugikan, termasuk kelompok adat atau aliran
kepercayaan yang masuk kategori tidak beragama. 6 Dalam kenyataan bahwa tanpa
menyandang label agama resmi, seseorang akan sulit menerima atau memperoleh

pelayanan publik dan hak-hak sipil.
Terkait kebebasan beragama di Indonesia, masalah yang mendapat perhatian
adalah adanya asumsi mengenai banyaknya ketentuan peraturan perundang-undangan
yang bermasalah dilihat dari perspektif kebebasan beragama. Peraturan itu
bermasalah, baik karena dinilai bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama
maupun karena bertentangan satu sama lain berdasarkan hirarkinya. Masalah
perundang-undangan yang bermasalah didalam menjamin kebebasan beragama ini
5

Tidak ada keputusan resmi pemerintah terkait pemberlakuan agama resmi kecuali hanya Surat
Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 tentang petunjuk pengisian kolom agama pada
KTP, yang antara lain disebutkan bahwa agama yang diakui pemerintah ialah Islam, Kristen, Katolik,
Hindu dan Budha. Surat Edaran Mendagri itu seharusnya hanya berisi petunjuk tehnis meliputi cara
pengisian, bentuk penulisan huruf, kode blangko, penjelasan kolom-kolom, jumlah rangkapan dan
petunjuk tindasan untuk instansi tertentu, maka tidak boleh mengandung kebijakan baru yang bukan
wewenang Mendagri. Mahfud MD, Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,(Jakarta: 2009),
hal 1. Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan
Beragama di Indonesia, Menuntut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, yang
diselenggarakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) pada Senin, 5 Oktober
2009 di Ruang Vanda II Wisma Serbaguna, Jakarta.

6
Misalnya Dayak Kaharingan di Kalimantan, komunitas Parmalim di Medan, komunitas
Tolotang di Sulawesi Selatan, Komunitas Sunda Wiwitan di Jawa Barat, dan lain-lain, hanya karena
keyakinan adat mereka berbeda dengan mainstream mayoritas, banyak mengalami tekanan sosial
maupun hambatan-hambatan dalam menjalankan aktivitas kesehariannya. Seperti misalnya setiap anak
yang lahir tidak bisa memperoleh akte kelahiran, pernikahan tidak bisa dicatatkan, KTP tidak
diberikan. Semua itu disebabkan karena mereka memegang adat yang telah turun-temurun di kalangan
mereka. Dikalangan penghayat kepercayaan diskriminasi dialami sejak proses pengurusan akte
kelahiran sampai akte kematian, bahkan sampai pemakaman. Ibid

Universitas Sumatera Utara

perlu segera diselesaikan. Akan tetapi, harmonisasi maupun sinkronisasi aturan
hukum di bidang kebebasan beragama belum ditangani optimal. Masalah kebebasan
beragama dan hubungan antarumat beragama sangat tergantung pada harmonisasi dan
sinkronisasi aturan-aturan hukum tersebut.
Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan
Penodaan Agama 7 misalnya, adalah salah satu yang banyak dikritisi. Aturan itu pada
pokoknya


melarang

melakukan penafsiran

dan kegiatan keagamaan

yang

menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Ketentuan itu jelas mengisyaratkan
negara

melindungi

warga

negara

Indonesia

melalui


perlindungan

atas

penyalahgunaan dan penodaan agama, dan pada saat bersamaan melarang aliran
agama lain itu untuk tidak membuat penafsiran di luar ajaran yang konvensional.
Aturan itu selain dianggap bertentangan dengan semangat kebebasan beragama
menurut konstitusi, juga dinilai sebagai bentuk intervensi negara yang sebenarnya
tidak perlu. Namun ada juga sekelompok orang yang beranggapan bahwa undangundang ini tidak bertentangan dengan konstitusi dah dibutuhkan keberadaanya.
Kebebasan beragama merupakan hak yang fundamental yang merupakan hak
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Hak untuk
beragama merupakan hak yang tidak dapat diambil oleh siapapun (unalienable)
7

UU Nomor 1/PNPS/1965 berpangkal dari penetapan presiden (penpres). Penpres bukanlah
bentuk perundang-undangan sebagaimana diakui UUD 1945, melainkan suatu bentuk hukum “jadijadian” yang pembentukannya diklaim Soekarno menjadi wewenangnya. Lewat Surat Presiden Nomor
2262/Hk/59, 20 Agustus 1959, kepada DPR, disusul dengan Surat Nomor 3639/Hk59, 26 November
1959, Soekarno mendalilkan klaimnya itu sebagai buah dari kewenangan luar biasa yang ia tuai berkat
Dekrit Presiden 5 Juli 1959.


Universitas Sumatera Utara

karena hak untuk beragama ditentukan oleh dirinya sendiri dan tanpa ada paksaan dan
dipaksakan oleh orang lain. Oleh karena itu dalam pelaksanaanya negara dalam hal
ini tidak boleh melakukan intervensi terhadap hak kebebasan beragama akan tetapi
harus dapat memberikan suatu jaminan kepada warga negaranya untuk dapat
menjalankan agamanya tanpa ada gangguan dari pihak manapun. 8 Ini sesuai dengan
bunyi Pasal 28I UUD 1945 telah ditegaskan bahwa hak untuk bebas beragama tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Demikian juga Pasal 29 ayat 2 UUD 1945
yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya

masing-masing

dan

untuk

beribadat


menurut

agamanya

dan

kepercayaannya itu”.
Bukti dari keseriusan pembahasan pengaturan kebebasan beragama secara
universal, saat ini sudah ada empat instrumen internasional utama didalam mengatur
kebebasan beragama ini. Instrumen-instrumen tersebut adalah : (1), Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 9, (2), Kovenan Hak Sipil dan Politik 10, (3),

8

Sumika Putri, http://fh.unsoed.ac.id. Diakses tanggal 7 maret 2012
Didalam hukum internasional modern, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah
instrumen internasional hak asasi manusia pertama yang mengatur tentang kebebasan beragama.
Deklarasi ini ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui resolusinya No.
217 A (III) pada tanggal 10 Desember 1948. United Nations, United Declaration of Human

Rights. Lihat selengkapnya di Alkhanif, Hukum & Kebebasan Beragama Di Indonesia(Yogyakarta:
LaksBang Mediatama, 2010), hal.5.
10
Kovenan ini ditetapkan oleh Majelis Umum PBB melalui resolusinya No. 2200A (XXI).
Walaupun kovenan ini sudah di tetapkan 1966 namunl kovenan ini baru berlaku secara resmi pada
tanggal 23 Maret 1976 meskipun dasar ratifikasi telah dibuka sejak pertama kali kovenan ini
ditetapkan yakni 19 Desember 1966. Kovenan Hak Sipil dan Politik adalah satu-satunya instrumen
internasional yang mengatur tentang kebebasan beragama yang bersifat mengikat secara hukum
negara-negara yang menandatanginya. Oleh karena itu ditetapkan Kovenan ini merupakan langkah
maju dari dunia internasional untuk lebih mengefektifkan perlindungan terhadap hak kebebasan be
ragama. Lihat selengkapnya, ibid hal.22.
9

Universitas Sumatera Utara

Deklarasi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan Permusuhan
berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Deklarasi Hak Kebebasan Beragama) 11 dan
(4), Deklarasi Hak Orang-Orang Minoritas Secara Etnik, Bahasa, dan Agama (Hak
Kelompok Minoritas) 12.
Norma-norma hukum diatas yang sudah diuraikan sebelumnya sebagai

jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia seolah-olah hanya
merupakan “macan kertas” 13 dalam prakteknya. Banyak hal-hal yang terjadi di
bangsa ini yang menciderai kebebasan beragama. Rapuhnya jaminan konstitusi
kebebasan beragama tidak saja diakibatkan oleh kurang terimplementasinya undangundang dimaksud, lebih dari itu kerapuhan tersebut disebabkan pula oleh penafsiran
yang kerap kali dipersempit pada undang-undang turunannya.
Selama tahun 2011, berdasarkan kategori bentuk pelanggaran, telah terjadi
peningkatan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di berbagai daerah
di Indonesia. Apabila tahun sebelumnya hanya 64 kasus maka jumlah ini meningkat
18% menjadi 92 kasus.Bentuk pelanggaran kebebasan beragama yang paling tinggi
adalah pelarangan atau pembatasan aktifitas keagamaan atau kegiatan ibadah
11

Deklarasi ini adalah satu-satunya instrumen internasional yang mengatur secara khusus
perlindungan terhadap kebebasan beragama. Disebut dengan Deklarasi 1981 karena Deklarasi tersebut
ditetapkan oleh Mejelis Umum PBB pada tanggal 25 November 1981 melalui resolusinya No. 36/55.
Deklarasi 1981 ini seperti DUHAM tidak mengikat secara hukum terhadap negara-negara yang
menandatanganinya ketika Deklarasi ini ditetapkan. Selengkapnya lihat, ibid, hal.28.
12
Deklarasi ini ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1992 melalui
resolusinya No. 47/135 untuk melindungi hak kelompok minoritas. Deklarasi ini penting karena

pengakuan terhadap hak-hak kelompok kaum minoritas telah ditinggalkan semasa pembentukan
Deklarasi Universal. Tidak ada satupun pasal dalam DUHAM yang mengatur secara khusus hak
kelompok minoritas. Selengkapnya lihat, ibid, hal.37.
13
Arti macan kertas menurut KBBI adalah sesuatu yg tampak kuat dan galak, tetapi sebenarnya
tidak bertenaga dan jinak.

Universitas Sumatera Utara

kelompok tertentu dengan 49 kasus, atau 48%, kemudian tindakan intimidasi dan
ancaman kekerasan oleh aparat negara 20 kasus atau 20%, pembiaran kekerasan 11
kasus (11%), kekerasan dan pemaksaan keyakinan 9 kasus (9%), penyegelan dan
pelarangan rumah ibadah 9 kasus (9%), dan kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan
4 kasus (4%).14
Ada 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama
2011 berdasarkan kategori korban. Jemaat Ahmadiyah adalah korban terbanyak
dengan 46 kasus (50%), berikut Jemaat GKI Taman Yasmin Bogor 13 kasus (14%),
jemaat gereja lainnya 12 kasus (13%), kelompok terduga sesat 8 kasus (9%), Millah
Abraham (4 kasus), kelompok Syiah dan aliran AKI (2 kasus), aliran Nurul Amal,
aliran Bedatuan, aliran Islam Suci, Padepokan Padange Ati dan jemaah Masjid di
NTT (masing-masing 1 kasus). 15
Institusi negara yang paling banyak melakukan pelanggaran kebebasan
beragama dan berkeyakinan adalah aparat kepolisian yakni 32 kali (26%), bupati,
walikota atau oknum-oknum pejabat di lingkungan kabupaten/kota 28 kali (23%),
Tentara 16 kali (13%), Satpol PP (10 kali), Pemerintah Provinsi (8 kali), Kantor
Kemenag atau KUA (8 kali).

16

Berdasarkan laporan tersebut ditemukan bahwa jemaat Ahmadiyah adalah
kelompok yang paling banyak mengalami kasus pencideraan terhadap kebebasan
14

The_Wahid_Institute,http://www.wahidinstitute.org/Laporan_Kebebasan_Beragama_2011_
diAkses tanggal 7 Maret 2012
15
Ibid
16
Ibid

Universitas Sumatera Utara

beragama di Indonesia. Kelompok ini banyak mengalami kekerasan dari kelompok
lain didalam melaksanakan kebebasan beragamanya dari tahun ketahun. Selain itu
Bakor Pakem17 mengeluarkan Surat Keputusan Bersama/ SKB sebagai keputusan
mengikat untuk melarang ajaran Ahmadiyah Indonesia karena ajarannya telah
menyimpang dari kepercayaan Islam. Ini tertuang pada keputusan Bakor Pakem No.
KEP-033/A/JA/6/2008. Pada dasarnya isi SKB ini adalah melarang semua bentuk
manifestasi dari ajaran Ahmadiyah tersebut. Tidak ada laporan resmi tentang jumlah
keseluruhan dari anggota jemaah Ahmadiyah di Indonesia. Hal ini dikarenakan
Ahmadiyah tidak diakui sebagai agama resmi. 18
Kasus GKI Taman Yasmin berhubungan dengan ijin pendirian rumah ibadah.
Jika dirujuk sejarahnya, proses pembangunan GKI Yasmin sudah dimulai sejak tahun
2000. Namun, masalah baru muncul pada tahun 2008, ketika Kepala Dinas Tata Kota
dan Pertamanan Bogor Yusman Yopi membekukan izin pembangunan gereja tersebut
melalui surat Nomor 503/208-DTKP tertanggal 14 Februari 2008. Alasannya, ada
keberatan dari forum ulama dan ormas islam se-kota Bogor. Surat ini terbit sesudah
surat izin dikeluarkan oleh Wali Kota Bogor Diani Budiarto pada 13 Juli 2006.
Karena keberatan, pihak GKI Yasmin menggugat surat pembekuan izin tersebut ke
Pengadilan Tata Usaha Negara hingga tingkat Mahkamah Agung. Hasilnya, MA
17

Bakorpakem adalah sebuah akronim dari nama sebuah lembaga yang lengkapnya disebut
‘Badan Koordinasi Pengawasan Kepercayaan Masyarakat’. yang dibentuk di bawah institusi kejaksaan
diberikan mandat oleh UU Kejaksaan No.16/2004 khususnya pasal 33 ayat (3) huruf d dan e untuk
mengawasi kepercayaan/agama, dan juga untuk pencegahan dan atau penodaan agama. Kejaksaan
meletakkan wewenangnya atas dasar untuk menjaga ketertiban umum dan keamanan.
http://mitrahukum.org/konten. diakses tanggal 12 Mei 2012.
18
Alkhanif, Op. Cit. hal 233

Universitas Sumatera Utara

membatalkan pencabutan izin tersebut.Namun, selama proses hukum berlangsung
situasi memanas karena sejak izinnya dibekukan, pemerintah kota Bogor
menggembok gerbang gereja sehingga jemaat terpaksa beribadah di trotoar jalan
sejak tahun 2010.

19

Kasus Aliran Sesat yang sudah selesai diputus dalam persidangan adalah
kasus Lia Eden. Pada 2 Juni 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Lia
Eden, pemimpin Kelompok Alamulla Jemaah bersalah atas penistaan dan
penghasutan rasa benci antar penganut agama karena dakwah dan menyebarkan
pesan-pesannya kepada lembaga pemerintah termasuk Istana Presiden. Lia Eden
dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun enam bulan. Pengikutnya bernama
Wahyu Wibisono dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun dengan tuduhan
penistaan agama. Ini adalah kali kedua Eden diadili atas tuduhan penistaan agama.
Pada 2006, ia juga pernah dijatuhi hukuman untuk kasus yang sama selama dua tahun
penjara dan dibebaskan pada Oktober 2007 setelah menjalani masa tahanan selama 16
bulan. Pada November 2007, Mahkamah Agung menjatuhi hukuman penjara selama
tiga tahun kepada putra Eden bernama Abdul Rahman yang mengaku sebagai
reinkarnasi Nabi Muhammad. 20
Melihat persoalan tersebut negara berkewajiban untuk melindungi dan
menjamin hak azasi setiap warga negara untuk menjalankan agama, keyakinan dan
kepercayaan sebagaimana yang diyakini tanpa ada unsur tekanan ancaman oleh
19

Konflik Pembangunan GKI Taman Yasmin, http://jakarta.okezone.com/read/2012/04/11/501/
609195/konflik-pembangunan-gki-yasmin-di-bogor-iii, diakses tanggal 17 April 2012
20
http://www.state.gov/documents/organization

Universitas Sumatera Utara

siapapun dan pihak manapun. Apabila negara tidak bisa memenuhi tanggung
jawabnya sebagaimana mandat konstitusi, negara dalam hal ini pemerintah beserta
aparaturnya dapat dikatakan telah melanggar hak asasi manusia karena tidak
menjamin kebebasan masyarakat dalam menjalankan kayakinan dan kepercayaannya.
Dengan demikian sangatlah penting untuk menganalisa konstitusi RI didalam
menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Baik menganalisa substansi dan
turunannya serta pengimplementasiannnya didalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang tersebut maka
permasalahan yang akan diteliti dan dibahas adalah :
1. Apakah secara normatif perlindungan kebebasan beragama yang dimuat
didalam konstitusi RI sudah cukup menjamin kebebasan beragama?
2. Bagaimana penjabaran atas konstitusi RI terhadap perlindungan kebebasan
beragama di Indonesia?
3. Bagaimana

perlindungan

kebebasan

beragama

yang

diberikan

oleh

pemerintah terhadap kasus-kasus kebebasan beragama?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus
dari penelitian ini, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui secara normatif Konstitusi RI sudah cukup menjamin

Universitas Sumatera Utara

perlindungan terhadap jaminan kebebasan beragama di Indonesia atau
sebaliknya.
2. Untuk mengetahui penjabaran dari Konstitusi RI terhadap perlindungan
kebebasan beragama di Indonesia.
3. Untuk mengetahui perlindungan kebebasan beragama yang diberikan
pemerintah terhadap kasus-kasus kebebasan beragama di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis, yaitu :
1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan menjadi dasar bagi penelitian
selanjutnya di bidang perlindungan kebebasan beragama. Selain itu penelitian
ini diharapkan dapat menambah bahan pustaka yang membahas perlindungan
kebebasan beragama dalam pengaturan konstitusi RI.
2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi
Pemerintah, legislator dan para praktisi hukum serta para pejuang HAM
khususnya didalam upaya penegakan hukum atas dijaminnya perlindungan
kebebasan beragama di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yangdilakukan oleh
penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara, penelitian yang mengangkat judul tentang “Analisis
Hukum Mengenai Perlindungan Kebpebasan Beragama Dalam Konstitusi Republik
Indonesia”, ini belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang
sama. Namun, ada tesis yang membahas menyangkut kebebasan beragama dengan
judul “Implementasi Kebebasan Beragama Menurut Undang-Undang Dasar 1945”,
atas nama Agung Ali Fahmi, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia,
Program Studi : Magister Hukum Kenegaraan. Selain kedua judul ini berbeda,
substasnsinya juga berbeda. Baik dari

permasalahan yang menjadi objek kajian

maupun dalam pembahasan. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai
penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya pertanggungjawabkan, karena
dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta
dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk mencari
pemecahan suatu masalah. Setiap penelitian membutuhkan kejelasan titik tolak atau
landasan untuk memecahkan dan membahas masalahnya. Untuk itu perlu disusun
kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari mana
masalah tersebut diamati. 21

21

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial,(Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Press) ,2003, hal. 39-40

Universitas Sumatera Utara

Selain itu teori bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum
yang terjadi. Untuk itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian sebagai pisau analisis
pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah
penelitian. 22
Penelitian ini menggunakan teori konstitusi sebagai pisau analisa. Seiring
dengan perkembangan peradaban manusia, konstitusi menjadi suatu keharusan bagi
pengelolaan kehidupan bersama manusia dalam suatu organisasi negara. Atas dasar
itu, terminologi konstitusi terus mengalami perkembangan arti dan makna sesuai
dengan kebutuhan dan konteks konstitusi dalam masyarakat. Gejala itu dapat
dipahami dengan menelaah berbagai pengertian konstitusi yang diungkapkan oleh
pakar konstitusi. Seperti K.C Wheare yang menyatakan konstitusi dalam dua
pengertian: 23
a. all it used to describe the whole system of government of a country, the
collection of rules which establish and regulaten or govern the
government (semua itu digunakan untuk menggambarkan keseluruhan dari
sistem pemerintahan suatu Negara, kumpulan dari peraturan yang
membentuk dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan)
b. …and partly non-legal or extra-legal, taking the form of usages,
understandings customs, or convention which courts do not recognize as
law but which are not less effective in regulating the government than the
rules of law strictly so called. (…sebagian bersifat non legal atau ekstra
legal, pengambilan bentuk penggunaan, pemahaman, kebiasaan atau adat
yang tidak diakui oleh pengadilan sebagai hukum tetapi tidak kalau
efektifnya di dalam mengatur pemerintahan dibanding dengan apa yang
secara langsung disebut oleh hukum).
22

Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal. 16
23
Mirza Nasution, Pertanggungjawaban Gubernur Dalam Negara Kesatuan Indonesia,
(Jakarta:Sofmedia), 2011, hal. 22

Universitas Sumatera Utara

James Bryce dalam pandangannya memaknai konstitusi sebagai kerangka
masyarakat politik yang diorganisir melalui hukum. Pemikiran tersebut memahami
kontitusi sebagai landasan yang menetapkan dan mengakui keberadaan lembagalembaga negara secara permanen serta hak-hak yang melingkupinya. Ringkasan
pemikiran Bryce mengenai konstitusi dipahami sebagai : “… a frame of political
society, organized through and by law, that is to say one which law has established
permanen institutions with recognized functions and definite rights”. (konstitusi
sebagai bingkai masyarakat politik (negara) yang diorganisir dan dengan melalui
hukum, atau hal itu dapat dikatakan dengan satu hukum pembentuk lembaga-lembaga
permanen yang fungsi-fungsi dan haknya diakui dan diterapkan). 24
Searah dengan pemikiran Bryce, Carl Joachim Friedrich mengartikan
konstitusi sebagai upaya untuk secara jelas mewadahi semua kehendak politik rakyat
selaku anggota masyarakat hukum, hal mana kehendak politik tersebut diartikan
sebagai kehendak hidup bersama dalam sebuah masyarakat politik guna melestarikan
diri sebagai hak alami pertama. Hal yang sama dikatakan oleh C.F Strong yang
menilai konstitusi sebagai “…a collection of principles according to which the
powers of the government, the rights of the governed, and the relations between the
two are adjust. (“… kumpulan asas atau prinsip mengenai kekuasaan pemerintahan,
hak-hak yang diperintah dan hubungan-hubungan antara yang memerintah dan yang

24

Ibid, hal. 23

Universitas Sumatera Utara

diperintah). 25
Uraian singkat tersebut menjelaskan bahwa konstitusi merupakan kumpulan
prinsip yang melandasi dan mengatur kekuasaan pemerintahan serta hak-hak yang
diperintah. Dengan demikian konstitusi mengandung prinsip-prinsip hubungan dan
batas-batas kekuasaan antara pemerintahan dengan hak-hak rakyat (diperintah).
Konstitusi biasa berupa sebuah catatan tertulis; konstitusi dapat ditemukan dalam
bentuk dokumen yang bisa diubah atau diamandemen menurut kebutuhan dan
perkembangan zaman. 26
Konstitusi merupakan norma dasar yang mengatur cara penyelenggaraan
kedaulatan rakyat. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran R.M. Mac Iver 27 yang
menempatkan konstitusi sebagai inti dari hukum tata negara sedangkan Nyoman
Dekker 28 menempatkan konstitusi dalam posisi teratas dari suatu piramida hukum
tata Negara.29 Hakikat ajaran yang dapat diambil dari berbagai pemikiran tentang
konstitusi mengarah pada kedudukan konstitusi sebagai hukum dasar negara, simbol
kedaulatan yang mengatur sistem kekuasaan negara, kemana negara hendak
dikembangkan. Robert M.Mac Iver yang menyebut konstitusi sebagai hukum yang
mengatur kekuasaan negara.
25
26

Ibid. hal 24.
C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, (Bandung: Nuansa, Nusa Media, 2004),

hal. 15
27

Astim Riyanto, Teori Konsitusi,(Bandung: Yapemdo), 2003, hal. 10
Ibid.
29
Mirza Nasution, Op. Cit, Hal. 25
28

Universitas Sumatera Utara

Demikian juga menurut J.G Steenbeek pada umumnya konsitusi berisi tiga hal
pokok, yaitu: 30
1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara;
2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifar
fundamental; dan
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental.

Sehubungan dengan itu teori konsitusi menjadi sangat penting untuk
membedah permasalahan analisis yuridis mengenai perlindungan kebebasan
beragama karena terkait erat dengan keberadaan konsitusi sebagai hukum dasar
negara yang mengatur tentang penjaminan hak-hak asasi rakyat. Selain itu secara
umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum atau “The Rule of
Law”, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of
law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum
dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Menjadi
kewajiban dari Pemerintah atau negara hukum untuk mengatur pelaksanaan daripada
hak-hak asasi ini, yang berarti menjamin pelaksanaannya, mengatur pembatasanpembatasannya demi kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara. 31 Ketika
pemerintah menjalankan kekuasaaanya berdasarkan konsitusi dengan demikian tipe
sebagai negara hukumpun terpenuhi.
30

Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni), 1992, hal

31

Zainul Pelly, Pendidikan Kewarganegaraan/Kewiraan, (Medan: UD. Sabar, 2002), hal. 18.

74

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan menurut Julius Sthal salah seorang tokoh aliran Eropa Continental,
konsep negara hukum yang disebutkan dengan istilah “rechtsstaat” itu mencakup
empat elemen penting yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan,
pemerintahan berdasarkan undang-undang dan peradilan tata usaha negara. 32
Perjuangan terhadap perlindungan hak asasi menusia menjadi bagian yang penting
yang tidak terpisahkan dari konsep negara hukum.
Menurut Mirza Nasution, Indonesia mengenal konsep negara hukum
Pancasila. 33 Oemar Senoadji berpendapat bahwa negara hukum Indonesia memiliki
ciri-ciri khas Indonesia. Oleh karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok
dan sumber hukum maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara
Hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya
jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan beragama namun kebebasan
beragama di negara hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada
tempat bagi atheism atau propaganda anti agama di Indonesia. Hal ini sangat berbeda
dengan misalnya di Amerika Serikat yang memiliki konsep freedom of religion baik
dalam arti positif maupun negatif, sebagaimana dirumuskan oleh Sir Alfred Denning
yang dikutip Senoadji. 34
“Freedom of religion means that we are free to worship or not to worship, to
affirm the existence of god or to deny it, to believe in Christian religion or any
other religion or in none, as we choose” (Kebebasan beragama berarti bahwa
setiap orang bebas untuk beribadah, untuk mengakui keberadaan Tuhan atau
32

Mirza Nasution, Loc. Cit, hal. 37
Ibid. hal 43
34
Ibid. hal. 44.
33

Universitas Sumatera Utara

menolaknya, mempercayai agama Kristen atau agama lainnya atau tidak sama
sekali, sebagai suatu pilihan).

Konstitusi dipandang sebagai perwujudan dari perwujudan dari hukum
tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai
dengan dalil:” Government by laws, not by men” negara yang menganut gagasan ini
dinamakan

dengan

Constitusional

States

(Negara

Konstitusional).

Negara

Konstitusional adalah negara yang pertama-tama mengakui dan menjamin hak-hak
warga negaranya, serta membatasi dan mengatur kekuasaannya secara hukum. 35
Suatu negara hukum yang dinamis, negara ikut aktif dalam usaha menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian diaturlah masalah fungsi negara dengan
penyelenggaraan hak dan kewajiban asasi manusia itu. Bagaimanapun juga, negara di
satu pihak melindungi hak-hak asasi, namun di pihak lain menyelenggarakan
kepentingan umum. Kepentingan umum itu, berupa kesejahteraan masyarakat. Dalam
hal ini betapa besarnya peranan negara.
Berdasarkan uraian diatas didalam menganalisa perihal jaminan kebebasan
beragama, ketika Pemerintah menjalankan kekuasaannya berdasarkan konsitusi yang
memuat masalah masalah dijaminnya hak-hak asasi manusia khususnya mengenai
kebebasan beragama, maka pemerintah dengan sendirinya mengarah kepada
pencapaian tujuan dari negara hukum itu sendiri.
35

Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakareta: Kencana,
2011), hal 35.

Universitas Sumatera Utara

2. Landasan Konsepsi
Penggunaan konsep dalam suatu penelitian adalah untuk menghindari
penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang dipergunakan penulis dalam
merumuskan konsep dengan menggunakan model defenisi operasional. 36Agar
terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini, maka dipandang
perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep-konsep dibawah ini :
a) Kebebasan Beragama
Kebebasan secara klasik dapat diartikan dengan “tidak adanya larangan.” 37
Meskipun demikian, konsep dasar “kebebasan” juga harus memperhatikan tidak
adanya intervensi dari kebebasan yang telah dilakukan tersebut terhadap kebebasan
orang lain. Jadi ada dua kebebasan yang seimbang, yakni bebas untuk melakukan dan
bebas untuk tidak diintervensi oleh tindakan tersebut. 38 Selain itu, Kamus Hukum
Black, “kebebasan” diartikan sebagai sebuah kemerdekaan dari semua bentuk-bentuk
larangan kecuali larangan yang telah diatur oleh undang-undang. 39 Maksudnya bahwa
manusia mempunyai hak untuk bebas selama hak-hak tersebut tidak bertentangan
dengan larangan yang ada didalam hukum. Kamus Jhon Kersey mengartikan bahwa
‘kebebasan’

adalah

sebagai

“kemerdekaan,

meninggalkan

atau

bebas

36

Universitas Sumatera Utara, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Thesis, Medan
:Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 72
37
Cooter, Robert, D., 1987, liberty, Efficiency, and Law. Law And Contemporary Problems, hal
143. http://www.jstor.org.
38
Al Khanif, Loc. Cit, hal. 86
39
Ibid hal. 87

Universitas Sumatera Utara

meninggalkan.” 40 Artinya semua orang bebas untuk tidak melakukan atau melakukan
sesuatu hal.
Isaiah Berlin membedakan ‘kebebasan’ dalam dua bentuk yaitu kebebasan
dalam bentuk yang positif dan kebebasan dalam bentuk negatif. Kebebasan dalam
bentuk positif artinya ‘apa atau siapa’ yang bertindak sebagai sumber hukum, yang
bisa menentukan seseorang untuk menjadi, melakukan atau mendapatkan sesuatu
‘kebebasan’. Sedangkan kebebasan dalam bentuknya yang negatif bersinggungan
dengan ruang lingkup dimana seorang harus dihormati atau dilindungi untuk menjadi
atau melakukan sesuatu seperti yang dikehendakinya tanpa ada paksaan atau larangan
dari pihak lain. 41 Kebebasan dalam arti negatif ini sesuai dengan pengertian
kebebasan dari Kamus Kersey, sedangkan kebebasan dalam arti yang positif lebih
condong kepada pengertian yang diajukan oleh Kamus Hukum Black.
b) Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur
tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta
tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya.Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti
"tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah “religi” yang

40
41

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

berasal dari bahasa Latin “religio” dan berakar pada kata kerja “religare” yang
berarti "mengikat kembali". Maksudnya seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. 42
Sumber terjadinya agama terdapat dua katagori, pada umumnya agama
Samawi dari langit, agama yang diperoleh melalui Wahyu Illahi antara lain Islam,
Kristen dan Yahudi. Selain itu agama Wad’i atau agama bumi yang juga sering
disebut sebagai agama budaya yang diperoleh berdasarkan kekuatan pikiran atau akal
budi manusia antara lain Hindu, Buddha, Tao, Khonghucu dan berbagai aliran
keagamaan lain atau kepercayaan. 43 Agama Asli adalah bentuk-bentuk atau cara-cara
penyembahan yang ada pada suatu suku dan sub-suku; kerohanian khas pada suatu
bangsa, suku, dan sub-suku; berasal dari antara mereka sendiri, serta tidak
dipengaruhi atau meniru dari komunitas ataupun orang lain. 44
c) Konstitusi
Istilah “konstitusi”

dalam bahasa Indonesia berpadanan dengan kata

“constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Malaysia), “constitunonel”
(bahasa Perancis), “Verfassung” (bahasa Jerman), “constitutio” (bahasa Latin),
“fundamental laws”, (Amerika Serikat).45 Dalam bahasa Perancis berasal dari kata
kerja “constituer” yang berarti “membentuk” jadi konstitusi berarti pembentukan.
Dalam hal ini yang dibentuk adalah negara, maka konstitusi mengandung permulaan
dari segala macam peraturan pokok mengenai sendi-sendi yang menegakkan
42

Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Agama, Diakses 9 maret 2012
Pengertian-agama-secara-umum, /http://umum.kompasiana.com/2009/06/10/ diakses tangal
9 Maret 2012
44
Agama asli, http://www.jappy.8m.net/blank_11.html, Diakses tanggal 9 maret 2012
45
Ellydar Chaidir, Op. Cit. Hal 29
43

Universitas Sumatera Utara

bangunan besar yang bernama negara. 46
Istilah konstitusi sebenarnya tidak digunakan untuk menunjuk kepada satu
pengertian saja. Dalam praktik, istilah konstitusi sering digunakan dalam beberapa
pengertian. Di Indonesia selain dikenal istilah konstitusi, juga dikenal istilah UndangUndang Dasar. Demikian juga di Belanda, disamping dikenal istilah “groundwet”
(Undang-Undang Dasar) dikenal pula istilah “constitutie”. Pengertian lainnya ada
konstitusi tertulis (Undang-Undang Dasar) dan konstitusi tidak tertulis (konvensi). 47
Undang-Undang Dasar sendiri adalah suatu dokumen hukum yang
mengandung aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang pokok atau dasar-dasar
mengenai ketatanegaraan dari suatu negara yang lazimnya kepadanya diberikan sifat
luhur dan “kekal” dan apabila mengadakan perubahannya hanya boleh dilakukan
dengan prosedur yang berat kalau dibandingkan dengan cara pembuatan atau
perubahan bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan yang lain-lainnya. 48 Jadi
pengertian Undang-Undang Dasar itu baru merupakan sebagian dari pengertian
konstitusi, yaitu konstitusi tertulis.
Undang-Undang Dasar (UUD) sama artinya dengan konstitusi dalam
penelitian ini. Pendapat seperti ini antara lain dikemukakan oleh Sri Soemantri dalam
disertasinya yang tidak membedakan antara konstitusi dengan Undang-Undang

46

Wirjono Projodikoro, Asas-asas Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1997), hal 10
M. Solly Lubis, Asas-Asas Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1978) hal 45
48
Juniarto, Sumber-sumber Hukum Tata Negara di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal

47

22.

Universitas Sumatera Utara

Dasar. 49 Jadi dalam penelitian ini ketika pemakaian istilah konstitusi itu merujuk
kepada Undang-Undang Dasar, dan ketika menggunakan istilah Undang-Undang
Dasar itu merujuk kepada konstitusi.
Konstitusi dipandang sebagai perwujudan dari perwujudan dari hukum
tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai
dengan dalil:” Government by laws, not by men” negara yang menganut gagasan ini
dinamakan

dengan

Constitusional

States

(Negara

Konstitusional).

Negara

Konstitusional adalah negara yang pertama-tama mengakui dan menjamin hak-hak
warga negaranya, serta membatasi dan mengatur kekuasaannya secara hukum. 50

G. Metode Penelitian
Metode penelitian berisikan uraian tentang metode atau cara yang peneliti
gunakan untuk memperoleh data atau informasi. Metode penelitian ini berfungsi
sebagai pedoman dan landasan tata cara dalam melakukan operasional penelitian
untuk menulis suatu karya ilmiah yang peneliti lakukan. Penelitian ini menggunakan
metode penelitan kualitatif yang tidak membutuhkan populasi dan sampel. 51
Penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
49

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1984), hal 1
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakareta: Kencana,
2011), hal 35.
51
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar grafika, 2009), hal. 105.
50

Universitas Sumatera Utara

segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. 52 Maka penelitian ini
merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan yuridis
normatif. Dengan demikian objek penelitian adalah norma hukum yang terwujud
dalam kaidah-kaidah hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah dalam
sejumlah peraturan perundang-undangan melalui turunan konstitusi atau dengan
meratifikasi instrumen-intrumen internasional yang terkait secara langsung dengan
kebebasan beragama.
Penelitian hukum juga dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktafakta hukum untuk selanjutnya digunakan dalam menjawab permasalahanpermasalahan. Agar mendapat hasil yang lebih maksimal, maka penulis melakukan
penelitian hukum dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif atau yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif tersebut mengacu kepada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. 53
Penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum normatif yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga

52

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986),

hal.43
53

Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo
Perkasa, 2004), Hal. 132

Universitas Sumatera Utara

penelitian hukum kepustakaan. 54Penelitan ini bersifat deskriptif analitis, yang
mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori
hukum yang menjadi objek penelitian. 55
Deskriptif analitis, merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan
suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau berlangsung yang tujuannya agar
dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek penelitian sehingga mampu
menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum
atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. 56 Dalam penulisan ini hal tersebut
dilakukan mengkaji kasus ahmadiyah untuk menemukan peran pemerintah didalam
mewujudkan perlindungan terhadap kebebasan beragama di Indonesia. Hal ini akan
dikaji melalui produk-produk hukum yang dikeluarkan didalam mengakomodir
perlindungan kebebasan beragama terhadap beberapa kasus pencideraan kebebasan
yang terjadi di Indonesia.
2.

Sumber Data
Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada studi kepustakaan dan

berdasarkan kepada data sekunder , maka bahan hukum yang digunakan dapat dibagi
kedalam beberapa kelompok, yaitu:
54

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1994, Cet. Ke-5), hlm. 9.
55
Ibid, hlm. 105
56
Ibid, hlm. 223

Universitas Sumatera Utara

1. Bahan hukum primer, yaitu:
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1969 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
c. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International
Covenant On Civil And Political Rights (Korvenan Internasional Tentang HakHak Sipil dan Politik).
e. Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Dan/Atau Penodaan Agama.
f. Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia, Nomor : 3 Tahun 2008, Nomor : KEP-033/A/JA/6/2008,
Nomor : 199 Tahun 2008, Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut,
Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan
Warga Masyarakat.
g. Peraturan Bersama No. 9 Tahun 2006, Peraturan Bersama No. 8 Tahun 2006
Tentang Pedoman Pelaksannaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer yang berupa buku-buku, karya ilmiah, Tesis,

Universitas Sumatera Utara

Disertasi, Jurnal Hukum atau hasil penelitian lainnya yang relevan dengan
penelitian ini.
3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang dapat memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal
dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, internet, dan sebagainya. 57
3.

Teknik Pengumpulan Data
Berkenaan data yang digunakan hanya data sekunder jadi teknik pengumpulan

data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), studi ini
dilakukan dengan jalan meneliti dokumen-dokumen yang ada, yaitu dengan
mengumpulkan data dan informasi baik yang berupa buku, karangan ilmiah,
peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan
penelitian ini, yaitu dengan cara mencari, mempelajari, dan mencatat serta
menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek pelitian. 58 Selain itu akan
dilakukan juga pengumpulan data kelapangan (field research) melalui wawancara
dengan informan yakni mewakili FKUB Propinsi Sumut, Dr. Arifinsyah, M.Ag
sebagai Wakil Sekretaris, dan mewakili Ahmadiyah, Sufi Murti sebagai Mubaligh
Wilayah Sumatera Utara dan Aceh, mewakili MUI Sumut, Drs. Hj. Arso, SH. M.Ag,
Ketua Bidang Perundang Undangan, HAM dan Advokasi, Pdt. Hotman Hutasoit,
MTh, mewakili PGI Sumut, sebagai Wakil Sekretaris Umum, dan Humala Pardede,
Mewakili Kementertian Kebudayan dan Pariwisata Sumut, yang berhubungan dengan
57
58

Ibid, hlm. 224
Ibid, hlm. 225

Universitas Sumatera Utara

penelitian mengenai perlindungan kebebasan beragama di Indonesia kaitannya
dengan konstitusi RI.
4.

Analisis Data
Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitan bersifat

deskriptif analitis, maka analisis yang dipergunakan adalah analisis secara pendekatan
kualitatif terhadap data sekunder yang didapat. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan
struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan penulis untuk
menentukan isi atau makna aturan hukum. 59
Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian
secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data,
selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian dinyatakan secara deskriptif
sehingga

menggambarkan

dan

mengungkapkan

dasar

hukumnya,

sehingga

memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaks

59

Ibid.

Universitas Sumatera Utara