Analisis Hukum Mengenai Perlindungan Kebebasan Beragama Dalam Konstitusi Republik Indonesia

(1)

ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN

KEBEBASAN BERAGAMA DALAM KONSTITUSI REPUBLIK

INDONESIA

TESIS

OLEH:

NIM: 107005024

IMAN PASU PURBA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Judul Tesis : ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Nama Mahasiswa : Iman Pasu Purba

Nomor Pokok : 107005024

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

(Dr. Mirza Nasution, SH., M.Hum)

(Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum) (

Anggota Anggota

Dr. Jusmadi Sikumbang, SH., MS)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi. SH., MH) (Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum)


(3)

ABSTRAK

Kebebasan beragama merupakan hak fundamental. Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa hak beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Tetapi hak beragama ini tidak berarti hak mutlak yang tanpa batas. Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa pelaksanaan kebebasan beragama ini harus memperhatikan kewajiban asasi dengan menghormati hak asasi orang lain juga. Pasal 28 J ayat (2) juga menyatakan bahwa hak ini juga dapat dibatasi melalui undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pasal-pasal tersebut menjadi acuan dasar didalam pelaksanaan hak kebebasan beragama dalam prakteknya.

Banyaknya kasus-kasus kebebasan beragama akhirnya menimbulkan pertanyaan keberadaan konsitusi secara normatif sudah memadai atau tidak untuk menjamin kebebasan beragama. Demikian juga mengenai penjabaran konstitusi RI terhadap perlindungan kebebasan beragama di Indonesia serta perlindungan kebebasan beragama yang diberikan oleh pemerintah terhadap kasus-kasus kebebasan beragama. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut dengan menggunakan teori konsitusi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif dimana data diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) dengan mempelajari bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier selain itu data juga diperoleh pengumpulan data kelapangan (field research) melalui wawancara dengan beberapa informan.

Secara normatif konstitusi RI sudah cukup memadai mengatur masalah kebebasan beragama. Namun perlu penyempurnaan isi, misalnya pernyataan dengan tegas mengenai tidak beragama. Penjabaran juga pada umumnya tidak bertentangan dengan konsitusi, tetapi ada beberapa penjabarannya yang multitafsir. Belum ada aturan yang detail yang mengatur masalah agama dan aliran kepercayaan. Perlu ada undang-undang tentang agama dan aliran kepercayaan serta undang-undang kerukunan umat beragama. Pemerintah menjamin kemajemukan beragama di Indonesia dan mengatur masalah praktek kebebasan beragama sehingga tidak melanggar konstitusi melalui tindakan preventif dan represif. Pemerintah dapat melakukan dialog lintas agama, penyuluhan, serta mendorong pembinaan melalui pihak internal masing-masing agama, sehingga tercipta hidup rukun dan harmonis antar umat beragama. Namun tegas terhadap terjadinya penodaan dan penistaan agama.


(4)

ABSTRACT

Freedom of religion is a fundamental human right. Article 28 I verse (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia assert that religious rights are human rights that cannot be reduced under any circumstances. However, this religious right does not mean an absolute right without limits. Article 28 J verse (1) declares that the exercise of religious freedom should be concerned with the fundamental obligation to respect the rights of others as well. Article 28 J verse (2) also assert that this right can be limited by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and to satisfy just demands in accordance with considerations of morality, religious values, security and public order in a democratic society. These articles become the basic reference in the exercise of religious freedom in practice.

The number of cases regarding religious freedom in Indonesia raises the question is the presence of religious freedom in the normative constitution sufficient or not to guarantee freedom of religion. Similarly, as it relates to derivation of the rules in the RI constitution such that the lower potition that is affecting the implementation of religious fredom and protection of religious freedom granted by the government of religious freedom cases. Thus the purpose of this study was to answer that three questions is by using the theory of the constitution. The study was conducted by using a type of descriptive analytical research with a normative juridical approach where data is obtained through a library research to study the legal materials of primary, secondary and tertiary data. Also, data was collected from field research through interviews with informants.

According the normative, constitution of the Republic of Indonesia is sufficient to set the issue of religious freedom. But these constitution need to improve the content, such statement are about atheim. derivation of constitution of the Republic of Indonesia also generally synchronous with the constitution, but there are some derivation of constitution of the Republic of Indonesia has multiple interpretations. There has been no detailed rules governing the issue of religion and belief. There should be laws about religions and beliefs and laws to protect religious harmony. Government guaranteed of religious plurality in Indonesia and regulate the practice of religious freedom so as not to violate the constitution through preventive and repressive measures. The government can conduct inter-religious dialogue, education, and encourage spritual development through each internal community of religion to create harmonious living and inter-religious harmony. But firmly against the desecration and blasphemy.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkah, kekuatan, penyertaanNya didalam proses penyelesaian tesis ini. Semua karena anugerahNya. Karena segala sesuatu dari Dia oleh Dia dan untuk Dia.

Tertarik menulis tesis ini karena betapa luar biasanya Allah menciptakan keberagaman yana ada di Indonesia. Khususnya beragamnya agama dan aliran kepercayaan yang ada di Indonesia. Semua hal itu merupakan otoritasnya. Namun bagaimanapun tidaklah mudah untuk mengakomirnya sehingga terjadi kehidupan yang harmonis, aman, dan damai sejahtera di bangsa ini. Oleh karena itulah pentingnya rumusan atau acuan untuk hidup didunia dalam bentuk normatif.

Tesis ini berjudul Analisis Hukum Mengenai Perlindungan Kebebasan

Beragama Dalam Konstitusi Republik Indonesia” selain untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi untuk menyelesaikan studi di Pasca Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara, konsentrasi Hukum Tata Negara, juga dibuat sebagai sumbangan pemikiran terhadap pelaksanaan hak kebebasan beragama dan keyakinan di Indonesia.

Terimakasih dah hormat setulus-tulusnya penulis sampaikan kepada pihak yang sangat berjasa memberikan bimbingan, motivasi, dan sumbagan pemikiran, ijin, didalam proses penyelesaian tesis ini. Yaitu kepada:


(6)

1. Komisi Pembimbing, Yakni Bapak Dr. Mirza Nasution, SH. MHum, Bapak Dr. Jelly Leviza, SH. MHum, Bapak Dr. Jusmadi Sikumbang, SH, MS, yang sangat banyak memberi sumbangsih pemikiran, motivasi dan kesabaran membimbing saya didalam proses penyelesaian tesis ini.

2. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H, MSc(CTM). Sp.A(K), serta Para Pembantu Rektor dan Bapak Dekan Fakultas Hukum USU, Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum dan para Pembantu Dekan atas ijin dan kesempatan untuk melakukan penelitian ini.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MHum, selaku Ketua Program Studi Pasca

Sarjana Hukum, dan semua Guru Besar dan para dosen yang banyak menambah khasanah keilmuan didalam ilmu hukum ini.

4. Bapak Dr. Arifinsya, MAg (FKUB), Bapak Sufi murti (Ahmadiyah),

Bapak Drs. Hj.Arso, SH, MAg (MUI), Bapak Pdt. Hotman Hutasoit, MTh. Bapak Humala Pardede (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata) yang sangat banyak membantu dan memberi informasi untuk penyelesaian tesis ini. terimakasih untuk kesediaan tanpa pamrihnya.

5. Rekan-rekan seperjuagan di Pasca Sarjana, Permai Yudhi, Herman


(7)

semua rekan yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih untuk sumbangsih, motivasi dan masukan yang berharga untuk tesis ini.

6. Untuk patner, Hanna Tabitha Hasiaanna Silitonga, Apni Rezeki, dan adik-adikku,Andi, Vince, Samuel, Herianto, Anton dan semua rekan yang ada di FKPMI. Terimakasih utuk motivasi dan yang kuat, sumbangsih dan doa-doa kalian semua.

7. Terkhusus untuk keluargaku, orangtua yang senantiasa memberi motivasi

dan masukan yang sangat berharga untuk tesis ini. perhatian dan doa cukup memberkatiku. Demikian juga untuk Trueman Benny, Frasiska, Theodora, Willy, adik-adikku yang terus berdoa buatku. Allah terus meninggikan namaNya dalam hidup kita.

8. Akhirnya, harapan dan doa untuk tesis ini sebagai sumbangan pemikiran,

dan masukan bagi pembaca untuk semakin jelas memahi perihal perlindungan kebebasan beragama dalam konstitusi RI diberkahi Allah Yang Maha Esa.

Medan, Juli 2012 Penulis,


(8)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Iman Pasu Purba

Tempat/tanggal lahir : Sidikalang/ 19 September 1985

NIM : 107005024

Alamat Rumah : Jln. Berdikari Ujung, Gang Family No. 4

HP : 085275127040

Pendidikan Formal

SD : SD St. Yosef Sidikalang, Dairi

SLTP : SLTP Negeri 1 Sidikalang, Dairi

SLTA : SMU Negeri 4 Pematangsiantar

S1 : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……… i

ABSTRACT………. ii

KATA PENGANTAR……….iii

RIWAYAT HIDUP………. vi

DAFTAR ISI………...vii

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN………1

A.Latar Belakang ... 1

B Rumusan Masalah ... 10

C.Tujuan Penelitian ... 10

D.Manfaat Penelitian ... 11

E.Keaslian Penelitian ... 11

F.Kerangka Teori Dan Landasan Konsepsi ... 12

1.Kerangka Teori ... 12

2.Landasan Konsepsi... 19

G.Metode Penelitian ... 23

1.Jenis Dan Sifat Penelitian ... 24

2.Sumber Data ... 25

3.Teknik Pengumpulan Data ... 27


(10)

BAB II PENGATURAN KEBEBASAN BERGAMA DALAM

KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA 29

A.Sejarah Kehidupan Beragama Pada Masa Beberapa Kerajaan di

Nusantara Pra Kemerdekaan RI ... 29

B.Urgensi Materi HAM dalam Konstitusi ... 37

C.Perlindungan HAM dalam Konstitusi Republik Indonesia ... 43

D.Pengaturan Kebebasan Beragama dalam Konstitusi RI ... 47

E.Konstitusi RI Sudah Cukup Memadai Menjamin kebebasanberagama ... 58

BABIII PENJABARAN KONSTITUSI RI DIDALAM MENJAMIN KEBEBASAN BERAGAMA 73 A. Penjabaran Konstitusi Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia ... 73

B.Perlindungan HAM Melalui Kovenan Internasional ... 84

1.Peranan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Dalam Memerangi Diskriminasi HAM ... 84

2.Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Perlindungan Kebebasan Beragama ... 89

C. Penjabaran Konstitusi RI Mengenai Perlindungan Kebebasan Beragama Di Indonesia 95 1. Sinkronisasi Penjabaran Konstitusi RI Mengenai Perlindungan Kebebasan Bergama Dan Berkeyakinan Di Indonesia ... 95

2. Penjabaran Konstitusi RI Tentang Kebebasan Beragama Yang Dianggap Bermasalah ... 103

2.1.Undang-Undang Nomor 1/Pnps/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama. ... 103


(11)

2.2Keputusan Bersama Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2008, Jaksa Agung Nomor Kep/033/A/JA/6/2006,Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan Dan Perintah Kepada Penganut, Anggota Dan/Atau Anggota Pengurus Jemaah Ahmadiyah (JAI) Dan

Warga Masyarakat ... 121

2.3Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 004/JA/01/1994 Tentang Bakor Pakem. 128 BAB IV PERANAN PEMERINTAH TERHADAP PERLINDUNGAN KEBEBASAN BERAGAM DI INDONESIA 142 A.Peran Pemerintah Dalam Pelaksanaan Kebebasan Beragama ... 142

1.Kebijakan Preventif ... 145

2.Kebijakan Represif ... 155

B. Peran Pemerintah Di Dalam Menangani Kasus-Kasu Kebebasan Beragama Di Indonesia………. 161

1.Peran Pemerintah Dalam Kasus Ahmadiyah ... 161

2.Peran Pemerintah Dalam Kasus GKI Yasmin ... 174

3.Peran Pemerintah Dalam Kasus Lia Eden ... 184

C. Peran Pemerintah Didalam Melindungi Aliran-Aliran/ Penghayat Kepercayaan di Indonesia ... 192

D. Peran Pemerintah Terhadap Konflik Umat Beragama di Sumatera Utara ... 197


(12)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 208

A.Kesimpulan ... 208

B.Saran ... 210


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Perbandingan Konstitusi Menjamin Kebebasan Beragama 49

2. Alasan Inkonstitusional dan Konstitusional UU No. 1/PNPS/1965 107

3. Pendapat Pemohon dan Hakim MK Mengenai

UU No. 1/PNPS/1965 110


(14)

ABSTRAK

Kebebasan beragama merupakan hak fundamental. Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa hak beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Tetapi hak beragama ini tidak berarti hak mutlak yang tanpa batas. Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa pelaksanaan kebebasan beragama ini harus memperhatikan kewajiban asasi dengan menghormati hak asasi orang lain juga. Pasal 28 J ayat (2) juga menyatakan bahwa hak ini juga dapat dibatasi melalui undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pasal-pasal tersebut menjadi acuan dasar didalam pelaksanaan hak kebebasan beragama dalam prakteknya.

Banyaknya kasus-kasus kebebasan beragama akhirnya menimbulkan pertanyaan keberadaan konsitusi secara normatif sudah memadai atau tidak untuk menjamin kebebasan beragama. Demikian juga mengenai penjabaran konstitusi RI terhadap perlindungan kebebasan beragama di Indonesia serta perlindungan kebebasan beragama yang diberikan oleh pemerintah terhadap kasus-kasus kebebasan beragama. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut dengan menggunakan teori konsitusi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif dimana data diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) dengan mempelajari bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier selain itu data juga diperoleh pengumpulan data kelapangan (field research) melalui wawancara dengan beberapa informan.

Secara normatif konstitusi RI sudah cukup memadai mengatur masalah kebebasan beragama. Namun perlu penyempurnaan isi, misalnya pernyataan dengan tegas mengenai tidak beragama. Penjabaran juga pada umumnya tidak bertentangan dengan konsitusi, tetapi ada beberapa penjabarannya yang multitafsir. Belum ada aturan yang detail yang mengatur masalah agama dan aliran kepercayaan. Perlu ada undang-undang tentang agama dan aliran kepercayaan serta undang-undang kerukunan umat beragama. Pemerintah menjamin kemajemukan beragama di Indonesia dan mengatur masalah praktek kebebasan beragama sehingga tidak melanggar konstitusi melalui tindakan preventif dan represif. Pemerintah dapat melakukan dialog lintas agama, penyuluhan, serta mendorong pembinaan melalui pihak internal masing-masing agama, sehingga tercipta hidup rukun dan harmonis antar umat beragama. Namun tegas terhadap terjadinya penodaan dan penistaan agama.


(15)

ABSTRACT

Freedom of religion is a fundamental human right. Article 28 I verse (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia assert that religious rights are human rights that cannot be reduced under any circumstances. However, this religious right does not mean an absolute right without limits. Article 28 J verse (1) declares that the exercise of religious freedom should be concerned with the fundamental obligation to respect the rights of others as well. Article 28 J verse (2) also assert that this right can be limited by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and to satisfy just demands in accordance with considerations of morality, religious values, security and public order in a democratic society. These articles become the basic reference in the exercise of religious freedom in practice.

The number of cases regarding religious freedom in Indonesia raises the question is the presence of religious freedom in the normative constitution sufficient or not to guarantee freedom of religion. Similarly, as it relates to derivation of the rules in the RI constitution such that the lower potition that is affecting the implementation of religious fredom and protection of religious freedom granted by the government of religious freedom cases. Thus the purpose of this study was to answer that three questions is by using the theory of the constitution. The study was conducted by using a type of descriptive analytical research with a normative juridical approach where data is obtained through a library research to study the legal materials of primary, secondary and tertiary data. Also, data was collected from field research through interviews with informants.

According the normative, constitution of the Republic of Indonesia is sufficient to set the issue of religious freedom. But these constitution need to improve the content, such statement are about atheim. derivation of constitution of the Republic of Indonesia also generally synchronous with the constitution, but there are some derivation of constitution of the Republic of Indonesia has multiple interpretations. There has been no detailed rules governing the issue of religion and belief. There should be laws about religions and beliefs and laws to protect religious harmony. Government guaranteed of religious plurality in Indonesia and regulate the practice of religious freedom so as not to violate the constitution through preventive and repressive measures. The government can conduct inter-religious dialogue, education, and encourage spritual development through each internal community of religion to create harmonious living and inter-religious harmony. But firmly against the desecration and blasphemy.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang dibangun atas dasar keberagaman. Tidak heran apabila para pendiri bangsa ini menggunakan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang berarti “berbeda-beda tapi tetap satu”, sebagai identitas bangsa ini. Unity in diversity, kesatuan dalam konteks keberagam-ragaman, (bhineka tunggal ika) sebagai dasar paradigmatif bagi paham “persatuan” sebagai salah satu sila dalam Pancasila itu, turut sebagai paradigma filosofis bagi politik hukum nasional di Indonesia.1

Indonesia bersifat pluralitas2

1

M. Solly Lubis, Managemen Strategis Pembangunan Hukum, (Bandung : Bandar Maju, 2011), hal. 78

karena terdiri dari beragam suku, bahasa dan adat istiadat yang tersebar dari sabang sampai merauke. Demikian juga beragam agama dan aliran kepercayaan yang diyakini oleh setiap penduduknya. Baik dari agama yang berasal dari luar Indonesia yang dibawa oleh penyebar agama, demikian juga agama suku atau keyakinan-keyakian dan aliran-aliran kepercayaan yang masih tumbuh subur didalam masyarakat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keunikan bangsa ini.

2

Arti kata pluralitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bersifat majemuk, banyak macam, (Departemen Pendidikan Nasional : Balai Pustaka, Jakarta, 2007), Hal. 883


(17)

Menyadari sifat pluralitas dalam beragama yang dianut oleh penduduk di Indonesia, kendatipun Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah agama Islam, para pendiri bangsa ini memberikan jaminan kebebasan kepada setiap warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Ini terbukti bahwa masalah kebebasan beragama ini dengan tegas diatur didalam konstitusi RI (Republik Indonesia). Dimana konstitusi merupakan hukum dasar yang dijadikan pegangan didalam penyelenggaraan suatu negara.3

Berbicara masalah konstitusi tidak dapat terlepas dari apa yang menjadi muatan dari konstitusi itu sendiri. Ada tiga hal pokok yang menjadi muatannya, yaitu: pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara ; kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental; dan ketiga, adanya

pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental.4

Ada yang beranggapan bahwa didalam pergeseran rezim otoritarian di Indonesia menuju demokrasi, jelas menjadi kabar sedap bagi kebebasan beragama, berekspresi dan berasosiasi. Namun, sejauh ini selalu saja bermasalah dalam implementasinya. Bahkan, ketika pemerintahan sudah terbentuk melalui mekanisme Berdasarkan muatan konstitusi ini, UUD 1945 sebagai konstitusi RI memuat tentang jaminan atas hak-hak asasi manusia khususnya masalah kebebasan beragama yang termasuk didalam hak yang fundamental.

3

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005), hal. 35

4

Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007), hal. 43


(18)

demokratis, ternyata belum berdaya mengurangi intensitas problem kebebasan beragama. Secara kasat mata, diskriminasi itu tampak misalnya dalam kebijakan yang

mengakui hanya enam agama resmi.5 Orang atau komunitas di luar agama resmi

selalu menjadi pihak yang dirugikan, termasuk kelompok adat atau aliran kepercayaan yang masuk kategori tidak beragama.6

Terkait kebebasan beragama di Indonesia, masalah yang mendapat perhatian adalah adanya asumsi mengenai banyaknya ketentuan peraturan perundang-undangan yang bermasalah dilihat dari perspektif kebebasan beragama. Peraturan itu bermasalah, baik karena dinilai bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama maupun karena bertentangan satu sama lain berdasarkan hirarkinya. Masalah perundang-undangan yang bermasalah didalam menjamin kebebasan beragama ini

Dalam kenyataan bahwa tanpa menyandang label agama resmi, seseorang akan sulit menerima atau memperoleh pelayanan publik dan hak-hak sipil.

5

Tidak ada keputusan resmi pemerintah terkait pemberlakuan agama resmi kecuali hanya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 tentang petunjuk pengisian kolom agama pada KTP, yang antara lain disebutkan bahwa agama yang diakui pemerintah ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Surat Edaran Mendagri itu seharusnya hanya berisi petunjuk tehnis meliputi cara pengisian, bentuk penulisan huruf, kode blangko, penjelasan kolom-kolom, jumlah rangkapan dan petunjuk tindasan untuk instansi tertentu, maka tidak boleh mengandung kebijakan baru yang bukan wewenang Mendagri. Mahfud MD, Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,(Jakarta: 2009), hal 1. Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan Beragama di Indonesia, Menuntut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, yang diselenggarakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) pada Senin, 5 Oktober 2009 di Ruang Vanda II Wisma Serbaguna, Jakarta.

6

Misalnya Dayak Kaharingan di Kalimantan, komunitas Parmalim di Medan, komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, Komunitas Sunda Wiwitan di Jawa Barat, dan lain-lain, hanya karena keyakinan adat mereka berbeda dengan mainstream mayoritas, banyak mengalami tekanan sosial maupun hambatan-hambatan dalam menjalankan aktivitas kesehariannya. Seperti misalnya setiap anak yang lahir tidak bisa memperoleh akte kelahiran, pernikahan tidak bisa dicatatkan, KTP tidak diberikan. Semua itu disebabkan karena mereka memegang adat yang telah turun-temurun di kalangan mereka. Dikalangan penghayat kepercayaan diskriminasi dialami sejak proses pengurusan akte kelahiran sampai akte kematian, bahkan sampai pemakaman. Ibid


(19)

perlu segera diselesaikan. Akan tetapi, harmonisasi maupun sinkronisasi aturan hukum di bidang kebebasan beragama belum ditangani optimal. Masalah kebebasan beragama dan hubungan antarumat beragama sangat tergantung pada harmonisasi dan sinkronisasi aturan-aturan hukum tersebut.

Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan

Penodaan Agama7

Kebebasan beragama merupakan hak yang fundamental yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Hak untuk

beragama merupakan hak yang tidak dapat diambil oleh siapapun (unalienable)

misalnya, adalah salah satu yang banyak dikritisi. Aturan itu pada pokoknya melarang melakukan penafsiran dan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Ketentuan itu jelas mengisyaratkan negara melindungi warga negara Indonesia melalui perlindungan atas penyalahgunaan dan penodaan agama, dan pada saat bersamaan melarang aliran agama lain itu untuk tidak membuat penafsiran di luar ajaran yang konvensional. Aturan itu selain dianggap bertentangan dengan semangat kebebasan beragama menurut konstitusi, juga dinilai sebagai bentuk intervensi negara yang sebenarnya tidak perlu. Namun ada juga sekelompok orang yang beranggapan bahwa undang-undang ini tidak bertentangan dengan konstitusi dah dibutuhkan keberadaanya.

7

UU Nomor 1/PNPS/1965 berpangkal dari penetapan presiden (penpres). Penpres bukanlah bentuk perundang-undangan sebagaimana diakui UUD 1945, melainkan suatu bentuk hukum “jadi-jadian” yang pembentukannya diklaim Soekarno menjadi wewenangnya. Lewat Surat Presiden Nomor 2262/Hk/59, 20 Agustus 1959, kepada DPR, disusul dengan Surat Nomor 3639/Hk59, 26 November 1959, Soekarno mendalilkan klaimnya itu sebagai buah dari kewenangan luar biasa yang ia tuai berkat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.


(20)

karena hak untuk beragama ditentukan oleh dirinya sendiri dan tanpa ada paksaan dan dipaksakan oleh orang lain. Oleh karena itu dalam pelaksanaanya negara dalam hal ini tidak boleh melakukan intervensi terhadap hak kebebasan beragama akan tetapi harus dapat memberikan suatu jaminan kepada warga negaranya untuk dapat

menjalankan agamanya tanpa ada gangguan dari pihak manapun.8

Bukti dari keseriusan pembahasan pengaturan kebebasan beragama secara universal, saat ini sudah ada empat instrumen internasional utama didalam mengatur kebebasan beragama ini. Instrumen-instrumen tersebut adalah : (1), Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)

Ini sesuai dengan bunyi Pasal 28I UUD 1945 telah ditegaskan bahwa hak untuk bebas beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Demikian juga Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

9

, (2), Kovenan Hak Sipil dan Politik10

8

Sumika Putri

, (3),

9

Didalam hukum internasional modern, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah instrumen internasional hak asasi manusia pertama yang mengatur tentang kebebasan beragama. Deklarasi ini ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui resolusinya No. 217 A (III) pada tanggal 10 Desember 1948. United Nations, United Declaration of Human Rights. Lihat selengkapnya di Alkhanif, Hukum & Kebebasan Beragama Di Indonesia(Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2010), hal.5.

10

Kovenan ini ditetapkan oleh Majelis Umum PBB melalui resolusinya No. 2200A (XXI). Walaupun kovenan ini sudah di tetapkan 1966 namunl kovenan ini baru berlaku secara resmi pada tanggal 23 Maret 1976 meskipun dasar ratifikasi telah dibuka sejak pertama kali kovenan ini ditetapkan yakni 19 Desember 1966. Kovenan Hak Sipil dan Politik adalah satu-satunya instrumen internasional yang mengatur tentang kebebasan beragama yang bersifat mengikat secara hukum negara-negara yang menandatanginya. Oleh karena itu ditetapkan Kovenan ini merupakan langkah maju dari dunia internasional untuk lebih mengefektifkan perlindungan terhadap hak kebebasan be ragama. Lihat selengkapnya, ibid hal.22.


(21)

Deklarasi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan Permusuhan

berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Deklarasi Hak Kebebasan Beragama)11 dan

(4), Deklarasi Hak Orang-Orang Minoritas Secara Etnik, Bahasa, dan Agama (Hak Kelompok Minoritas)12

Norma-norma hukum diatas yang sudah diuraikan sebelumnya sebagai jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia seolah-olah hanya merupakan “macan kertas”

.

13

Selama tahun 2011, berdasarkan kategori bentuk pelanggaran, telah terjadi peningkatan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di berbagai daerah di Indonesia. Apabila tahun sebelumnya hanya 64 kasus maka jumlah ini meningkat 18% menjadi 92 kasus.Bentuk pelanggaran kebebasan beragama yang paling tinggi adalah pelarangan atau pembatasan aktifitas keagamaan atau kegiatan ibadah

dalam prakteknya. Banyak hal-hal yang terjadi di bangsa ini yang menciderai kebebasan beragama. Rapuhnya jaminan konstitusi kebebasan beragama tidak saja diakibatkan oleh kurang terimplementasinya undang-undang dimaksud, lebih dari itu kerapuhan tersebut disebabkan pula oleh penafsiran yang kerap kali dipersempit pada undang-undang turunannya.

11

Deklarasi ini adalah satu-satunya instrumen internasional yang mengatur secara khusus perlindungan terhadap kebebasan beragama. Disebut dengan Deklarasi 1981 karena Deklarasi tersebut ditetapkan oleh Mejelis Umum PBB pada tanggal 25 November 1981 melalui resolusinya No. 36/55. Deklarasi 1981 ini seperti DUHAM tidak mengikat secara hukum terhadap negara-negara yang menandatanganinya ketika Deklarasi ini ditetapkan. Selengkapnya lihat, ibid, hal.28.

12

Deklarasi ini ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1992 melalui resolusinya No. 47/135 untuk melindungi hak kelompok minoritas. Deklarasi ini penting karena pengakuan terhadap hak-hak kelompok kaum minoritas telah ditinggalkan semasa pembentukan Deklarasi Universal. Tidak ada satupun pasal dalam DUHAM yang mengatur secara khusus hak kelompok minoritas. Selengkapnya lihat, ibid, hal.37.

13

Arti macan kertas menurut KBBI adalah sesuatu yg tampak kuat dan galak, tetapi sebenarnya tidak bertenaga dan jinak.


(22)

kelompok tertentu dengan 49 kasus, atau 48%, kemudian tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparat negara 20 kasus atau 20%, pembiaran kekerasan 11 kasus (11%), kekerasan dan pemaksaan keyakinan 9 kasus (9%), penyegelan dan pelarangan rumah ibadah 9 kasus (9%), dan kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan 4 kasus (4%).14

Ada 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama 2011 berdasarkan kategori korban. Jemaat Ahmadiyah adalah korban terbanyak dengan 46 kasus (50%), berikut Jemaat GKI Taman Yasmin Bogor 13 kasus (14%), jemaat gereja lainnya 12 kasus (13%), kelompok terduga sesat 8 kasus (9%), Millah Abraham (4 kasus), kelompok Syiah dan aliran AKI (2 kasus), aliran Nurul Amal, aliran Bedatuan, aliran Islam Suci, Padepokan Padange Ati dan jemaah Masjid di NTT (masing-masing 1 kasus).15

Institusi negara yang paling banyak melakukan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah aparat kepolisian yakni 32 kali (26%), bupati, walikota atau oknum-oknum pejabat di lingkungan kabupaten/kota 28 kali (23%), Tentara 16 kali (13%), Satpol PP (10 kali), Pemerintah Provinsi (8 kali), Kantor Kemenag atau KUA (8 kali). 16

Berdasarkan laporan tersebut ditemukan bahwa jemaat Ahmadiyah adalah kelompok yang paling banyak mengalami kasus pencideraan terhadap kebebasan

14

The_Wahid_Institute diAkses tanggal 7 Maret 2012

15 Ibid 16


(23)

beragama di Indonesia. Kelompok ini banyak mengalami kekerasan dari kelompok lain didalam melaksanakan kebebasan beragamanya dari tahun ketahun. Selain itu

Bakor Pakem17 mengeluarkan Surat Keputusan Bersama/ SKB sebagai keputusan

mengikat untuk melarang ajaran Ahmadiyah Indonesia karena ajarannya telah menyimpang dari kepercayaan Islam. Ini tertuang pada keputusan Bakor Pakem No. KEP-033/A/JA/6/2008. Pada dasarnya isi SKB ini adalah melarang semua bentuk manifestasi dari ajaran Ahmadiyah tersebut. Tidak ada laporan resmi tentang jumlah keseluruhan dari anggota jemaah Ahmadiyah di Indonesia. Hal ini dikarenakan Ahmadiyah tidak diakui sebagai agama resmi.18

Kasus GKI Taman Yasmin berhubungan dengan ijin pendirian rumah ibadah. Jika dirujuk sejarahnya, proses pembangunan GKI Yasmin sudah dimulai sejak tahun 2000. Namun, masalah baru muncul pada tahun 2008, ketika Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Bogor Yusman Yopi membekukan izin pembangunan gereja tersebut melalui surat Nomor 503/208-DTKP tertanggal 14 Februari 2008. Alasannya, ada keberatan dari forum ulama dan ormas islam se-kota Bogor. Surat ini terbit sesudah surat izin dikeluarkan oleh Wali Kota Bogor Diani Budiarto pada 13 Juli 2006. Karena keberatan, pihak GKI Yasmin menggugat surat pembekuan izin tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara hingga tingkat Mahkamah Agung. Hasilnya, MA

17

Bakorpakem adalah sebuah akronim dari nama sebuah lembaga yang lengkapnya disebut ‘Badan Koordinasi Pengawasan Kepercayaan Masyarakat’. yang dibentuk di bawah institusi kejaksaan diberikan mandat oleh UU Kejaksaan No.16/2004 khususnya pasal 33 ayat (3) huruf d dan e untuk mengawasi kepercayaan/agama, dan juga untuk pencegahan dan atau penodaan agama. Kejaksaan meletakkan wewenangnya atas dasar untuk menjaga ketertiban umum dan keamanan.

18


(24)

membatalkan pencabutan izin tersebut.Namun, selama proses hukum berlangsung situasi memanas karena sejak izinnya dibekukan, pemerintah kota Bogor menggembok gerbang gereja sehingga jemaat terpaksa beribadah di trotoar jalan sejak tahun 2010. 19

Kasus Aliran Sesat yang sudah selesai diputus dalam persidangan adalah kasus Lia Eden. Pada 2 Juni 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Lia Eden, pemimpin Kelompok Alamulla Jemaah bersalah atas penistaan dan penghasutan rasa benci antar penganut agama karena dakwah dan menyebarkan pesan-pesannya kepada lembaga pemerintah termasuk Istana Presiden. Lia Eden dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun enam bulan. Pengikutnya bernama Wahyu Wibisono dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun dengan tuduhan penistaan agama. Ini adalah kali kedua Eden diadili atas tuduhan penistaan agama. Pada 2006, ia juga pernah dijatuhi hukuman untuk kasus yang sama selama dua tahun penjara dan dibebaskan pada Oktober 2007 setelah menjalani masa tahanan selama 16 bulan. Pada November 2007, Mahkamah Agung menjatuhi hukuman penjara selama tiga tahun kepada putra Eden bernama Abdul Rahman yang mengaku sebagai

reinkarnasi Nabi Muhammad.20

Melihat persoalan tersebut negara berkewajiban untuk melindungi dan menjamin hak azasi setiap warga negara untuk menjalankan agama, keyakinan dan kepercayaan sebagaimana yang diyakini tanpa ada unsur tekanan ancaman oleh

19

Konflik Pembangunan GKI Taman Yasmin,

20


(25)

siapapun dan pihak manapun. Apabila negara tidak bisa memenuhi tanggung jawabnya sebagaimana mandat konstitusi, negara dalam hal ini pemerintah beserta aparaturnya dapat dikatakan telah melanggar hak asasi manusia karena tidak menjamin kebebasan masyarakat dalam menjalankan kayakinan dan kepercayaannya.

Dengan demikian sangatlah penting untuk menganalisa konstitusi RI didalam menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Baik menganalisa substansi dan turunannya serta pengimplementasiannnya didalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan diteliti dan dibahas adalah :

1. Apakah secara normatif perlindungan kebebasan beragama yang dimuat

didalam konstitusi RI sudah cukup menjamin kebebasan beragama?

2. Bagaimana penjabaran atas konstitusi RI terhadap perlindungan kebebasan

beragama di Indonesia?

3. Bagaimana perlindungan kebebasan beragama yang diberikan oleh

pemerintah terhadap kasus-kasus kebebasan beragama?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus dari penelitian ini, maka tujuan penelitian ini adalah:


(26)

perlindungan terhadap jaminan kebebasan beragama di Indonesia atau sebaliknya.

2. Untuk mengetahui penjabaran dari Konstitusi RI terhadap perlindungan

kebebasan beragama di Indonesia.

3. Untuk mengetahui perlindungan kebebasan beragama yang diberikan

pemerintah terhadap kasus-kasus kebebasan beragama di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu :

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya di bidang perlindungan kebebasan beragama. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan pustaka yang membahas perlindungan kebebasan beragama dalam pengaturan konstitusi RI.

2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi

Pemerintah, legislator dan para praktisi hukum serta para pejuang HAM khususnya didalam upaya penegakan hukum atas dijaminnya perlindungan kebebasan beragama di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yangdilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di


(27)

Universitas Sumatera Utara, penelitian yang mengangkat judul tentang Analisis Hukum Mengenai Perlindungan Kebpebasan Beragama Dalam Konstitusi Republik Indonesia”, ini belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Namun, ada tesis yang membahas menyangkut kebebasan beragama dengan

judul “Implementasi Kebebasan Beragama Menurut Undang-Undang Dasar 1945”,

atas nama Agung Ali Fahmi, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Program Studi : Magister Hukum Kenegaraan. Selain kedua judul ini berbeda, substasnsinya juga berbeda. Baik dari permasalahan yang menjadi objek kajian maupun dalam pembahasan. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk mencari pemecahan suatu masalah. Setiap penelitian membutuhkan kejelasan titik tolak atau landasan untuk memecahkan dan membahas masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut diamati.21

21

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial,(Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press) ,2003, hal. 39-40


(28)

Selain itu teori bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.22

Penelitian ini menggunakan teori konstitusi sebagai pisau analisa. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, konstitusi menjadi suatu keharusan bagi pengelolaan kehidupan bersama manusia dalam suatu organisasi negara. Atas dasar itu, terminologi konstitusi terus mengalami perkembangan arti dan makna sesuai dengan kebutuhan dan konteks konstitusi dalam masyarakat. Gejala itu dapat dipahami dengan menelaah berbagai pengertian konstitusi yang diungkapkan oleh pakar konstitusi. Seperti K.C Wheare yang menyatakan konstitusi dalam dua pengertian:23

a. all it used to describe the whole system of government of a country, the collection of rules which establish and regulaten or govern the government (semua itu digunakan untuk menggambarkan keseluruhan dari sistem pemerintahan suatu Negara, kumpulan dari peraturan yang membentuk dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan)

b. …and partly non-legal or extra-legal, taking the form of usages, understandings customs, or convention which courts do not recognize as law but which are not less effective in regulating the government than the rules of law strictly so called. (…sebagian bersifat non legal atau ekstra legal, pengambilan bentuk penggunaan, pemahaman, kebiasaan atau adat yang tidak diakui oleh pengadilan sebagai hukum tetapi tidak kalau efektifnya di dalam mengatur pemerintahan dibanding dengan apa yang secara langsung disebut oleh hukum).

22

Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal. 16

23

Mirza Nasution, Pertanggungjawaban Gubernur Dalam Negara Kesatuan Indonesia, (Jakarta:Sofmedia), 2011, hal. 22


(29)

James Bryce dalam pandangannya memaknai konstitusi sebagai kerangka masyarakat politik yang diorganisir melalui hukum. Pemikiran tersebut memahami kontitusi sebagai landasan yang menetapkan dan mengakui keberadaan lembaga-lembaga negara secara permanen serta hak-hak yang melingkupinya. Ringkasan

pemikiran Bryce mengenai konstitusi dipahami sebagai : “… a frame of political

society, organized through and by law, that is to say one which law has established permanen institutions with recognized functions and definite rights”. (konstitusi sebagai bingkai masyarakat politik (negara) yang diorganisir dan dengan melalui hukum, atau hal itu dapat dikatakan dengan satu hukum pembentuk lembaga-lembaga permanen yang fungsi-fungsi dan haknya diakui dan diterapkan).24

Searah dengan pemikiran Bryce, Carl Joachim Friedrich mengartikan konstitusi sebagai upaya untuk secara jelas mewadahi semua kehendak politik rakyat selaku anggota masyarakat hukum, hal mana kehendak politik tersebut diartikan sebagai kehendak hidup bersama dalam sebuah masyarakat politik guna melestarikan diri sebagai hak alami pertama. Hal yang sama dikatakan oleh C.F Strong yang

menilai konstitusi sebagai “…a collection of principles according to which the

powers of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjust. (“… kumpulan asas atau prinsip mengenai kekuasaan pemerintahan, hak-hak yang diperintah dan hubungan-hubungan antara yang memerintah dan yang

24


(30)

diperintah).25

Uraian singkat tersebut menjelaskan bahwa konstitusi merupakan kumpulan prinsip yang melandasi dan mengatur kekuasaan pemerintahan serta hak-hak yang diperintah. Dengan demikian konstitusi mengandung prinsip-prinsip hubungan dan batas-batas kekuasaan antara pemerintahan dengan hak-hak rakyat (diperintah). Konstitusi biasa berupa sebuah catatan tertulis; konstitusi dapat ditemukan dalam bentuk dokumen yang bisa diubah atau diamandemen menurut kebutuhan dan

perkembangan zaman.26

Konstitusi merupakan norma dasar yang mengatur cara penyelenggaraan

kedaulatan rakyat. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran R.M. Mac Iver27 yang

menempatkan konstitusi sebagai inti dari hukum tata negara sedangkan Nyoman Dekker28 menempatkan konstitusi dalam posisi teratas dari suatu piramida hukum tata Negara.29

25

Ibid. hal 24.

Hakikat ajaran yang dapat diambil dari berbagai pemikiran tentang konstitusi mengarah pada kedudukan konstitusi sebagai hukum dasar negara, simbol kedaulatan yang mengatur sistem kekuasaan negara, kemana negara hendak dikembangkan. Robert M.Mac Iver yang menyebut konstitusi sebagai hukum yang mengatur kekuasaan negara.

26

C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, (Bandung: Nuansa, Nusa Media, 2004), hal. 15

27

Astim Riyanto, Teori Konsitusi,(Bandung: Yapemdo), 2003, hal. 10 28

Ibid. 29


(31)

Demikian juga menurut J.G Steenbeek pada umumnya konsitusi berisi tiga hal pokok, yaitu:30

1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara;

2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifar

fundamental; dan

3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat

fundamental.

Sehubungan dengan itu teori konsitusi menjadi sangat penting untuk membedah permasalahan analisis yuridis mengenai perlindungan kebebasan beragama karena terkait erat dengan keberadaan konsitusi sebagai hukum dasar negara yang mengatur tentang penjaminan hak-hak asasi rakyat. Selain itu secara

umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum atau “The Rule of

Law”, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum

dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Menjadi

kewajiban dari Pemerintah atau negara hukum untuk mengatur pelaksanaan daripada hak-hak asasi ini, yang berarti menjamin pelaksanaannya, mengatur

pembatasan-pembatasannya demi kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara.31

30

Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni), 1992, hal 74

Ketika pemerintah menjalankan kekuasaaanya berdasarkan konsitusi dengan demikian tipe sebagai negara hukumpun terpenuhi.

31


(32)

Sedangkan menurut Julius Sthal salah seorang tokoh aliran Eropa Continental,

konsep negara hukum yang disebutkan dengan istilah “rechtsstaat” itu mencakup

empat elemen penting yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan,

pemerintahan berdasarkan undang-undang dan peradilan tata usaha negara.32

Menurut Mirza Nasution, Indonesia mengenal konsep negara hukum Pancasila.

Perjuangan terhadap perlindungan hak asasi menusia menjadi bagian yang penting yang tidak terpisahkan dari konsep negara hukum.

33

Oemar Senoadji berpendapat bahwa negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Oleh karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara Hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya

jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan beragama namun kebebasan

beragama di negara hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi atheism atau propaganda anti agama di Indonesia. Hal ini sangat berbeda dengan misalnya di Amerika Serikat yang memiliki konsep freedom of religion baik dalam arti positif maupun negatif, sebagaimana dirumuskan oleh Sir Alfred Denning yang dikutip Senoadji.34

“Freedom of religion means that we are free to worship or not to worship, to affirm the existence of god or to deny it, to believe in Christian religion or any other religion or in none, as we choose” (Kebebasan beragama berarti bahwa setiap orang bebas untuk beribadah, untuk mengakui keberadaan Tuhan atau

32

Mirza Nasution, Loc. Cit, hal. 37 33

Ibid. hal 43 34


(33)

menolaknya, mempercayai agama Kristen atau agama lainnya atau tidak sama sekali, sebagai suatu pilihan).

Konstitusi dipandang sebagai perwujudan dari perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai dengan dalil:” Government by laws, not by men” negara yang menganut gagasan ini

dinamakan dengan Constitusional States (Negara Konstitusional). Negara

Konstitusional adalah negara yang pertama-tama mengakui dan menjamin hak-hak warga negaranya, serta membatasi dan mengatur kekuasaannya secara hukum.35

Suatu negara hukum yang dinamis, negara ikut aktif dalam usaha menciptakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian diaturlah masalah fungsi negara dengan penyelenggaraan hak dan kewajiban asasi manusia itu. Bagaimanapun juga, negara di satu pihak melindungi hak-hak asasi, namun di pihak lain menyelenggarakan kepentingan umum. Kepentingan umum itu, berupa kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini betapa besarnya peranan negara.

Berdasarkan uraian diatas didalam menganalisa perihal jaminan kebebasan beragama, ketika Pemerintah menjalankan kekuasaannya berdasarkan konsitusi yang memuat masalah masalah dijaminnya hak-hak asasi manusia khususnya mengenai kebebasan beragama, maka pemerintah dengan sendirinya mengarah kepada pencapaian tujuan dari negara hukum itu sendiri.

35

Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakareta: Kencana, 2011), hal 35.


(34)

2. Landasan Konsepsi

Penggunaan konsep dalam suatu penelitian adalah untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang dipergunakan penulis dalam

merumuskan konsep dengan menggunakan model defenisi operasional.36

a) Kebebasan Beragama

Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep-konsep dibawah ini :

Kebebasan secara klasik dapat diartikan dengan “tidak adanya larangan.”37 Meskipun demikian, konsep dasar “kebebasan” juga harus memperhatikan tidak adanya intervensi dari kebebasan yang telah dilakukan tersebut terhadap kebebasan orang lain. Jadi ada dua kebebasan yang seimbang, yakni bebas untuk melakukan dan bebas untuk tidak diintervensi oleh tindakan tersebut.38 Selain itu, Kamus Hukum Black, “kebebasan” diartikan sebagai sebuah kemerdekaan dari semua bentuk-bentuk larangan kecuali larangan yang telah diatur oleh undang-undang.39

36

Universitas Sumatera Utara, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Thesis, Medan :Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 72

Maksudnya bahwa manusia mempunyai hak untuk bebas selama hak-hak tersebut tidak bertentangan dengan larangan yang ada didalam hukum. Kamus Jhon Kersey mengartikan bahwa ‘kebebasan’ adalah sebagai “kemerdekaan, meninggalkan atau bebas

37

Cooter, Robert, D., 1987, liberty, Efficiency, and Law. Law And Contemporary Problems, hal 143. http://www.jstor.org.

38

Al Khanif, Loc. Cit, hal. 86 39


(35)

meninggalkan.”40

Isaiah Berlin membedakan ‘kebebasan’ dalam dua bentuk yaitu kebebasan dalam bentuk yang positif dan kebebasan dalam bentuk negatif. Kebebasan dalam bentuk positif artinya ‘apa atau siapa’ yang bertindak sebagai sumber hukum, yang bisa menentukan seseorang untuk menjadi, melakukan atau mendapatkan sesuatu ‘kebebasan’. Sedangkan kebebasan dalam bentuknya yang negatif bersinggungan dengan ruang lingkup dimana seorang harus dihormati atau dilindungi untuk menjadi atau melakukan sesuatu seperti yang dikehendakinya tanpa ada paksaan atau larangan dari pihak lain.

Artinya semua orang bebas untuk tidak melakukan atau melakukan sesuatu hal.

41

b) Agama

Kebebasan dalam arti negatif ini sesuai dengan pengertian kebebasan dari Kamus Kersey, sedangkan kebebasan dalam arti yang positif lebih condong kepada pengertian yang diajukan oleh Kamus Hukum Black.

Agama menurutadalah sistem yang mengatur

tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta

lingkungannya.Kata "agama" berasal dari āgama yang berarti

"tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah “religi” yang

40 Ibid. 41


(36)

berasal darireligio” dan berakar padareligare” yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya seseorang mengikat dirinya kepada42

Sumber terjadinya agama terdapat dua katagori, pada umumnya agama Samawi dari langit, agama yang diperoleh melalui Wahyu Illahi antara lain Islam, Kristen dan Yahudi. Selain itu agama Wad’i atau agama bumi yang juga sering disebut sebagai agama budaya yang diperoleh berdasarkan kekuatan pikiran atau akal budi manusia antara lain Hindu, Buddha, Tao, Khonghucu dan berbagai aliran keagamaan lain atau kepercayaan.43 Agama Asli adalah bentuk-bentuk atau cara-cara penyembahan yang ada pada suatu suku dan sub-suku; kerohanian khas pada suatu bangsa, suku, dan sub-suku; berasal dari antara mereka sendiri, serta tidak dipengaruhi atau meniru dari komunitas ataupun orang lain.44

c) Konstitusi

Istilah “konstitusi” dalam bahasa Indonesia berpadanan dengan kata “constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Malaysia), “constitunonel” (bahasa Perancis), “Verfassung” (bahasa Jerman), “constitutio” (bahasa Latin), “fundamental laws”, (Amerika Serikat).45

42

Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Dalam bahasa Perancis berasal dari kata kerja “constituer” yang berarti “membentuk” jadi konstitusi berarti pembentukan. Dalam hal ini yang dibentuk adalah negara, maka konstitusi mengandung permulaan dari segala macam peraturan pokok mengenai sendi-sendi yang menegakkan

43

Pengertian-agama-secara-umum, 9 Maret 2012

44

Agama asli, 45


(37)

bangunan besar yang bernama negara.46

Istilah konstitusi sebenarnya tidak digunakan untuk menunjuk kepada satu pengertian saja. Dalam praktik, istilah konstitusi sering digunakan dalam beberapa pengertian. Di Indonesia selain dikenal istilah konstitusi, juga dikenal istilah Undang-Undang Dasar. Demikian juga di Belanda, disamping dikenal istilah “groundwet” (Undang-Undang Dasar) dikenal pula istilah “constitutie”. Pengertian lainnya ada konstitusi tertulis (Undang-Undang Dasar) dan konstitusi tidak tertulis (konvensi).47

Undang-Undang Dasar sendiri adalah suatu dokumen hukum yang mengandung aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang pokok atau dasar-dasar mengenai ketatanegaraan dari suatu negara yang lazimnya kepadanya diberikan sifat luhur dan “kekal” dan apabila mengadakan perubahannya hanya boleh dilakukan dengan prosedur yang berat kalau dibandingkan dengan cara pembuatan atau

perubahan bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan yang lain-lainnya.48

Undang-Undang Dasar (UUD) sama artinya dengan konstitusi dalam penelitian ini. Pendapat seperti ini antara lain dikemukakan oleh Sri Soemantri dalam disertasinya yang tidak membedakan antara konstitusi dengan Undang-Undang Jadi pengertian Undang-Undang Dasar itu baru merupakan sebagian dari pengertian konstitusi, yaitu konstitusi tertulis.

46

Wirjono Projodikoro, Asas-asas Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1997), hal 10 47

M. Solly Lubis, Asas-Asas Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1978) hal 45 48

Juniarto, Sumber-sumber Hukum Tata Negara di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal 22.


(38)

Dasar.49

Konstitusi dipandang sebagai perwujudan dari perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai dengan dalil:” Government by laws, not by men” negara yang menganut gagasan ini

dinamakan dengan Constitusional States (Negara Konstitusional). Negara

Konstitusional adalah negara yang pertama-tama mengakui dan menjamin hak-hak warga negaranya, serta membatasi dan mengatur kekuasaannya secara hukum.

Jadi dalam penelitian ini ketika pemakaian istilah konstitusi itu merujuk kepada Undang-Undang Dasar, dan ketika menggunakan istilah Undang-Undang Dasar itu merujuk kepada konstitusi.

50

G. Metode Penelitian

Metode penelitian berisikan uraian tentang metode atau cara yang peneliti gunakan untuk memperoleh data atau informasi. Metode penelitian ini berfungsi sebagai pedoman dan landasan tata cara dalam melakukan operasional penelitian untuk menulis suatu karya ilmiah yang peneliti lakukan. Penelitian ini menggunakan metode penelitan kualitatif yang tidak membutuhkan populasi dan sampel.51

Penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

49

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1984), hal 1 50

Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakareta: Kencana, 2011), hal 35.

51


(39)

segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.52

Penelitian hukum juga dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta-fakta hukum untuk selanjutnya digunakan dalam menjawab permasalahan-permasalahan. Agar mendapat hasil yang lebih maksimal, maka penulis melakukan penelitian hukum dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:

Maka penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Dengan demikian objek penelitian adalah norma hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-undangan melalui turunan konstitusi atau dengan meratifikasi instrumen-intrumen internasional yang terkait secara langsung dengan kebebasan beragama.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif tersebut mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.53

Penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga

52

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), hal.43

53

Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2004), Hal. 132


(40)

penelitian hukum kepustakaan.54Penelitan ini bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.55

Deskriptif analitis, merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

56

2. Sumber Data

Dalam penulisan ini hal tersebut dilakukan mengkaji kasus ahmadiyah untuk menemukan peran pemerintah didalam mewujudkan perlindungan terhadap kebebasan beragama di Indonesia. Hal ini akan dikaji melalui produk-produk hukum yang dikeluarkan didalam mengakomodir perlindungan kebebasan beragama terhadap beberapa kasus pencideraan kebebasan yang terjadi di Indonesia.

Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada studi kepustakaan dan berdasarkan kepada data sekunder , maka bahan hukum yang digunakan dapat dibagi kedalam beberapa kelompok, yaitu:

54

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, Cet. Ke-5), hlm. 9.

55

Ibid, hlm. 105 56


(41)

1. Bahan hukum primer, yaitu:

a. Undang-Undang Dasar 1945

b. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1969 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

c. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International

Covenant On Civil And Political Rights (Korvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

e. Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan

Dan/Atau Penodaan Agama.

f. Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia, Nomor : 3 Tahun 2008, Nomor : KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor : 199 Tahun 2008, Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

g. Peraturan Bersama No. 9 Tahun 2006, Peraturan Bersama No. 8 Tahun 2006

Tentang Pedoman Pelaksannaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

2.Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan


(42)

Disertasi, Jurnal Hukum atau hasil penelitian lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang dapat memberi petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, internet, dan sebagainya.57

3. Teknik Pengumpulan Data

Berkenaan data yang digunakan hanya data sekunder jadi teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), studi ini dilakukan dengan jalan meneliti dokumen-dokumen yang ada, yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi baik yang berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu dengan cara mencari, mempelajari, dan mencatat serta menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek pelitian.58

57

Ibid, hlm. 224

Selain itu akan

dilakukan juga pengumpulan data kelapangan (field research) melalui wawancara

dengan informan yakni mewakili FKUB Propinsi Sumut, Dr. Arifinsyah, M.Ag sebagai Wakil Sekretaris, dan mewakili Ahmadiyah, Sufi Murti sebagai Mubaligh Wilayah Sumatera Utara dan Aceh, mewakili MUI Sumut, Drs. Hj. Arso, SH. M.Ag, Ketua Bidang Perundang Undangan, HAM dan Advokasi, Pdt. Hotman Hutasoit, MTh, mewakili PGI Sumut, sebagai Wakil Sekretaris Umum, dan Humala Pardede, Mewakili Kementertian Kebudayan dan Pariwisata Sumut, yang berhubungan dengan

58


(43)

penelitian mengenai perlindungan kebebasan beragama di Indonesia kaitannya dengan konstitusi RI.

4. Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitan bersifat deskriptif analitis, maka analisis yang dipergunakan adalah analisis secara pendekatan kualitatif terhadap data sekunder yang didapat. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum.59

Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, sehingga memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaks

59 Ibid.


(44)

BAB II

PENGATURAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM KONSITUSI REPUBLIK INDONESIA.

A. Sejarah Kehidupan Beragama Pada Masa Beberapa Kerajaan di Nusantara Pra Kemerdekaan RI.

Sejarah mencatat bahwasanya kehidupan antar umat beragama prakteknya berjalan pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara ini. Sebelum merdeka, agama-agama yang ada pada saat ini khususnya agama-agama yang berasal dari luar Indonesia juga keberadaannya mengalami banyak kemajuan karena raja-raja pada masa sebelum kemerdekaan juga banyak menganut agama dan ajaran tersebut. Didalam berhubungan dengan kerajaan lain juga, sering terlihat bagaimana masalah agama tidak menjadi penghalang untuk mengadakan hubungan satu sama lain. Tidak heran menemukan bahwa raja menikahi putri dari kerajaan yang berbeda dengan perbedaan agama pula. Bahkan melalui perkawainan campuran tersebutlah terjadi harmoni kehidupan beragama didalam kerajaannya. Belum lagi adanya kebebasan bagi warga di kerajaannya untuk memeluk agama sesuai dengan pilihannya sendiri. Kerajaan yang akan disinggung mengenai pelaksanaan kehidupan beragama, yakni: Kerjaan Mataram Kuno, Kerjaan Majapahit, Kerjaan Demak, dan Kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan Mataram kuno di perkirakan berdiri pada abad ke-8 dan berpusat di Jawa tengah. Pada awal mula berdirinya, Mataram kuno adalah sebuah kerajaan


(45)

hindu. Agama Hindu merupakan agama yang pertama kali tersebar di pulau Jawa. Agama ini di bawa oleh para pedangang dan petualang-petualang dari India yang melalang buana hingga terdampar di Pulau Jawa. Sebelum menganut agama Hindu, nenek moyang yang di tinggal di pulau jawa adalah penganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Tidak berapa lama berselang, tersebar pula agama Budha yang di bawa oleh para pedangang dari Cina. Maka secara garis besar ada dua agama utama yang berkembang di tanah Jawa saat itu. Agama Hindu dan Budha.60

Kebebasan memeluk agama sudah ada sejak zaman dahulu kala. Hal ini terbukti dari betapa taatnya sang Raja Sanjaya pada agama yang di anutnya, beliau tetap memberikan kebebasan kepada sanak keluarga dan rakyatnya untuk memeluk agama Budha. Hal inilah yang menyebakan kerajaan Mataram kuno terpecah menjadi dua keluarga atau yang di sebut dengan wangsa. Yaitu wangsa Sanjaya yang menganut agama Hindu dan wangsa Sailendra yang menganut agama Budha.

61

Hubungan antarumat dan kebebasan beragama di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan dapat ditelusuri sejak zaman purbakala atau sejak zaman kerajaan Hindu- Budha di Jawa Tengah. Seiring dengan perjalanan sejarah, suksesi para raja-raja, pergeseran pusat kekuasaan, perubahan politik serta gelombang kedatangan agama dan berbagai aliran/faham keagamaan baru. Hubungan antarumat beragama mengalami pasang surut dari hubungan yang harmoni, sinkritis, hingga disharmoni dan konflik. Peninggalan purbakala kompleks candi Plaosan yang terletak di sebelah

60

Babad Tanah Leluhur, 2012

61 Ibid.


(46)

timur candi Prambanan menunjukkan adanya bukti-bukti hubungan antarumat yang menarik untuk diungkap kembali. Komplek candi yang dibangun pada abad X zaman kerajaan Mataram kuno itu, selain sebagai tempat pemujaan juga merupakan kompleks vihara dan boarding school. Kiranya tidak berlebihan jika candi Plaosan dijadikan sebagai lambing “cinta-kasih” karena Rakai Pikatan membangun candi tersebut sebagai hadiah untuk isterinya, Sri Pramoda Wardhani.62

Lebih dari itu, dibalik perkawinan Rakai Pikatan dengan Sri Pramoda Wardhani, sebenarnya telah terjadi perkawinan yang lebih besar, yaitu perkawinan antara dua dinasti penguasa wilayah Jawa Tengah, dinasti Sanjaya dan Syailendra. Rakai Pikatan berasal dari dinasti Sanjaya, sedangkan Pramoda Wardhani berasal dari dinasti Syailendra. Kedua dinasti ini menganut agama yang berbeda. Dinasti Sanjaya menganut agama Hindu, sedangkan dinasti Syailendra menganut agama Buddha. Perkawinan tersebut menunjukkan adanya hubungan yang harmoni antara dua dinasti yang menganut agama yang berbeda. Keharmonisan hubungan antarumat terabadikan dalam candi induk, dua panel relief menggambarkan kedatangan tamu kerajaan yang

mengenakan kufiyah (penutup kepala khas Persia). Hal ini menunjukkan bahwa,

kerajaan Mataram Kuno (Hindu-Buddha) meski berada di pedalaman merupakan kerajaan yang terbuka. Pada masa kekuasaan Rakai Pikatan telah terjalin hubungan dengan dunia Islam dari Timur Tengah. 63

62

Haidlor Ali Ahmad, Hubungan Antarumat dan Kebebasan BeragamaJurnal Multikultural & Multireligius Harmoni: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RIVolume IX, Nomor 36, Oktober - Desember 2010, hal. 5

63


(47)

Selain itu, dalam kerajaan Mataram kuno juga ditemukan suatu pura dengan nama Pura Lingsar yang merupakan pura terbesar dan tertua yang dibangun sekitar tahun 1714 M pada masa kejayaan Kerajaan Karangasem oleh Raja Anak Agung Ngurah. Pura ini terletak di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, sekitar 15km dari ibukota Mataram.64

Pura ini merupakan simbol kerukunan antar umat beragama. Hal ini dikarenakan selain menjadi tempat ibadah umat Hindu, pura ini juga digunakan oleh

umat Islam suku Sasak yang beraliran Wetu Telu (Waktu Tiga), mereka hidup

berdampingan dan mengelola pura bersama-sama. Untuk menjaga kedamaian, di larang memakan atau menyembelih binatang-binatang yang dianggap suci oleh masing-masing agama di dalam dan di daerah sekitar pura. Bahkan sapi yang dianggap suci oleh umat Hindu dilarang berkeliaran sampai dengan radius 2 kilometer dari Pura Lingsar. Ketika masuk ke dalam kawasan Pura ini, pengunjung disarankan untuk menggunakan selendang yang diikatkan ke pinggang. pemakaian selendang ini untuk menghormati Pura ini yang dianggap suci oleh umat Hindu dan Islam.65

Puncak dari refleksi mengenai prinsip universal Ketuhanan Yang Maha Esa

yang “beyond religions” (mengatasi agama-agama) ini terjadi pada era kejayaan

Majapahit. Majapahit adalah negara nasional kedua, yang jelas-jelas bukan negara Hindu. Sekalipun sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu, tetapi Majapahit

64

Wenny Cristina, Melihat Kerukunan Antar Umat Beragama di Pura Lingsar Lombok.

65 Ibid.


(48)

tidak menjadikan hukum Hindu sebagai “hukum negara”. Pada era keemasan Majapahit, prinsip Ketuhahan Yang Maha Esa itu disebut oleh Mpu Prapanca dan Mpu Tantular sebagai Sri Parwatharaja, yang bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan mengandung unsur-unsur prinsipil baik Siwa maupun Buddha. 66

Prinsip Ketuhanan yang lebih universal tersebut dapat dibaca dalam Kakawin Sutasoma Pupuh 89,5 sebagai berikut: 67

Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal Bhinneka Tunggal ika, Tan Hana dharma mangrwa. Artinya: “Disebutkan bahwa Sang Hyang Buddha dan Sang Hyang Siwa adalah dua substansi yang berbeda. Keduanya sungguh-sungguh berbeda, namun bagaimana mungkin mengenal sekilas perbedaan keduanya. Karena hakikat Siwa dan hakikat Buddha adalah tunggal. Berbeda-beda tetapi satu juga, dan tidak ada kebenaran yang mendua”.

Kebebasan beragama yang bersumber pada kesadaran holistic spirituality ini hilang pada masa Demak dan Pajang, ketika prinsip negara nasional digantikan

dengan prinsip “negara agama” (theokrasi). Bukti bahwa prinsip “negara agama”

yang intoleran dan rawan memecah belah nusantara itu, antara lain ditunjukkan dengan “pengadilan atas keyakinan yang berbeda” berdasarkan tafsir tunggal sebuah (aliran) agama. Kasus hukuman mati atas Syekh Siti Jenar pada zaman kerajaan Demak dengan jelas membuktikan kebangkrutan sebuah ideologi agama yang bercorak “imperialisme doktriner” yang kurang memberi tempat pada keyakinan iman yang berbeda-beda.68

66

Sena Adiningra

67

Ibid. 68


(49)

Kaitannya dengan paham kebangsaan, Presiden Soekarno, dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 ketika mengusulkan dasar negara Pancasila, mengatakan bahwa kita hanya memiliki dua kali negara nasional (Nationele Staat) sebelum NKRI, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Karena keduanya bukan “negara agama”, maka keduanya pernah berhasil mempersatukan Nusantara. Pada masa kedua “negara nasional” sebelum NKRI ini tidak pernah ada orang yang berbeda dalam formula iman dipidana, rumah-rumah ibadah dibakar apapun alasannya. Tetapi ketika Demak menjadi “negara agama” dan filosofi Bhinneka Tunggal Ika diganti dengan Agama Ageming Aji (agama raja, agama negara) barulah muncul kasus Syek Siti Jenar, dan sejak Demak nusantara terpecah-pecah. Jangankan mempersatukan nusantara, sesama Jawa saja tidak mau mengakui kedaulatan Demak.69

Meninjau sejenak Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 dan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/BER/MDN-MAG/1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Ada pihak yang mempersoalkannya dengan dalih pengekangan kebebasan beragama, ternyata pada zaman Majapahit, Prabu Rajasanagara telah membuat rambu-rambu yang mengatur lalulintas penyiaran agama. Prof. Dr. Slamet Mulyono (1965) dalam bukunya Menuju Puncak Kejayaan mengupas kitab Negara Kertagama peninggalan Mpu Prapanca, antara lain mengatakan bahwa pada zaman pemerintahan Rajasanagara di Majapahit

69 Ibid.


(50)

terdapat tiga macam aliran/agama, Siwa, Brahma dan Buddha (yang disebut

tripaksa). Rajasanagara mempunyai niat besar bagi tegaknya tripaksa, agar ketiga-tiganya hidup rukun (pupuh 81:1). Untuk menghindari persengketaan, Rajasanagara mengadakan pembagian daerah (pupuh 16: 1-3). Aliran Siwa dianjurkan di mana-mana, sementara agama Buddha hanya boleh disiarkan di kerajaan bagian timur.70

Prapanca menyatakan bahwa gerak para pendeta Buddha agak dikekang oleh undang-undang (pupuh 16: 2). Menyiarkan agama Buddha secara leluasa tidak diizinkan. Jawa sebelah barat adalah daerah larangan, dengan alasan di daerah tersebut tidak ada penganut agama Buddha. Peraturan yang dibuat Rajasanagara ini memberikan kesan agar tidak terjadi Buddhanisasi di wilayah yang penduduknya sudah menganut agama Siwa. Pada era orde baru peraturan perundang-undangan serupa sering dinyatakan dalam bentuk adagium “jangan menanam sayur di kebun orang!”. 71

Setelah agama Islam datang, bentuk-bentuk sinkritisme baru pun muncul. Pada masa awal penyebaran Islam di Indonesia tidak menekankan masalah teologi maupun syariah (fiqh). Agama Islam disebarkan melalui penetrasi kebudayaan, ditengarai antara lain dengan munculnya masjid-masjid yang menggunakan arsitektur rumah adat setempat atau pengaruh arsitektur pra-Islam. Dalam konteks ini Dr. G. F. Pijper mengatakan, menara masjid Kudus lebih menyerupai menara Kulkul di Bali. Selain itu, cerita wayang, perayaan sekaten, selametan, kenduri, dan nyadran yang

70

Haidlor Ali Ahmad, Op.cit. hal 8. 71


(51)

sarat dengan unsur-unsur sinkretisme antara Islam dengan Hindu/Buddha serta agama lokal yang sudah ada sebelumnya.72

Setelah kedatangan bangsa Eropa terutama Portugis yang berhasil menaklukkan Malaka pada tahun 1511, dan Belanda dengan kongsi dagangnya (VOC), agama Kristen mulai dikenalkan kepada bangsa Indonesia. Misi Kristen dipandang berhasil pada abad XIX, sebagaimana dikutip A. Syafi’i Mufid dari Ricklefs (2005: 275), di Jawa Timur muncul komunitas Kristen yang dipimpin oleh Kyai Tunggul Wulung. Di Jawa Tengah agama Kristen, berkembang dengan pesat di bawah pimpinan Sadrach Surapranata (1835-1924), melampaui keberhasilan yang dicapai oleh penginjil Eropa. Apalagi setelah diterapkannya “politik etis”, anak-anak pribumi diberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan sebagai bagian dari

strategi asosiatif, wajah kebudayaan nusantara benar-benar semakin beragam

(multicultural).73

Berkaitan dengan hubungan antar umat agama, menarik untuk dicermati di sini bahwa penyebaran agama Kristen ke wilayah Papua dilakukan oleh para misionaris Kristen. Para misionaris ini menginjakkan kakinya di Pulau Cenderawasih (termasuk ke Manokwari) atas izin Sultan Tidore. Bahkan mereka diantar oleh tentara

(punggawa) kesultanan Islam itu. Yang perlu digarisbawahi dari catatan sejarah

hubungan antarumat beragama baik yang harmoni maupun disharmoni, semuanya adalah pelajaran yang sangat berharga. Meski kondisi hubungan antarumat beragama

72 Ibid 73


(52)

yang harmoni yang dikehendaki oleh pemerintah dan para tokoh/pemuka agama bukanlah hubungan antarumat beragama yang harmonis dan sinkritis, melainkan hubungan antarumat yang masing-masing umat memiliki kualitas pengetahuan dan pengamalan agama yang baik. Akan tetapi, mereka bisa hidup berdampingan penuh toleran.74

Uraian tersebut cukup membuktikan bahwa pada masa kerajaan-kerajaan di nusantara juga mengalami pasang surut didalam pelaksanaan kerukunan atau kebebasan menganut agama. Banyak hal yang membuktikan kerukunan dapat dicapai dengan beberapa aksi nyata, namun ada juga, hal-hal yang terjadi yang juga memasung kebebasan beragama itu sendiri. Hal ini membuktikan, masalah pelaksanaan kebebasan beragama dan muncul keyakinan-keyakinan di kerajaan-kerajaan nusantara ini suatu hal yang berulang dari masa ke masa. Namun, tetap pemimpin baik Raja maupun Pemerintah dalam konteks sekarang, memegang andil yang besar didalam menjamin pelaksanaannya

B. Urgensi Materi HAM dalam Konstitusi

Secara teoritis, salah satu syarat bagi suatu negara hukum adalah adanya

jaminan atas hak-hak asasi manusia (HAM). 75

74 Ibid.

HAM lazimnya diartikan sebagai hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir, sebagai anugerah

75

Negara hukum ialah Negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Secara lengkap unsur-unsur yang harus ada dalam suatu Negara hukum adalah: 1)Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, 2) Pemisahan Kekuasaan, 3) setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan, dan 4) Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri (lihat : Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia ,:Jakarta: (Pusat Studi HTN FH-UI), 1981, hal. 156.


(1)

Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konsitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

__________, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3S, 1998.

M. Solly Lubis, Managemen Strategis Pembangunan Hukum, Bandung : Bandar Maju, 2011.

____________, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Bandung: Alumni, 1978.

____________, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Bandung: Mandar Maju, 2009.

Mirza Nasution, Pertanggungjawaban Gubernur Dalam Negara Kesatuan Indonesia, Jakarta: Sofmedia, 2011

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Sinar Bakti, 1983.

Morissan, Hukum Tata Negara RI Era Reformasi, Jakarta: Ramdina Prakarsa, 2005. Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum

Normatif dan Empiris, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010.

Soewandi, Hak-Hak Dasar dalam Konstitusi Demokrasi Modern, Djakarta: PT. Pembangunan, 1957.

Majda El Mustaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Predana Media, 2005.

____________, Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), Yogyakarta: PUSHAM-UII, 2007.

Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, Jakarta: Prapanca, 1959.

Munasir Sidik, Dasar-Dasar Hukum dan Legalitas Jemaah Ahmadiyah Indonesia, Jakarta: Jemaah Ahmadiyah Indonesia, 2008.

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia.Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987.

Puwadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal kaidah Hukum, Bandung: Alumni, 1986.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.

R. G Kartasapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987.

Satya Arinanto. Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008.

Scott Davidson, Hak Azasi Mausia, Jakarta: Pustika Utama Grafiti, 1994.

Sekretariat MPR, Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sidang Tahunan MPR RI tanggal 7-18 Agustus 2000, Jakarta, 2000.

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni, 1984. ___________, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni,


(2)

___________, dan Suharizal, Reformasi Konstitusi 1998-2002; pergulatan Konsep dan Pemikiran Amandemen UUD 1945, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Sri Hastuti, Mengurangi Kompleksitas Hak Asasi Manusia, Yogyakarta :PUSHAM UII, 2007.

Sri Nuhartanto, Mengurangi Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif) Yogyakarta: PUSHAM UII, 2007.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.

Soemaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Bandung: Alumni, 1993.

Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Jakarta: Kencana, 2011.

Tim Naskah Akademik. Kajian Komprehensif Tentang Perubahan UUD 1945, Jakarta : SekJen MPR-RI, 2004.

Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, 2003.

Uli Parulian Sihombing dkk, Menggugat BAKORPAKEM (kajian Hukum Terhadap Pengawasan Kepercayaan dan Keyakinan, Jakarta Selatan: The Indonesian Legal Resource Center, 2008.

Universitas Sumatera Utara, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Thesis, Medan :Universitas Sumatera Utara, 2009).

Wirjono Projodikoro, Asas-asas Tata Negara Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1997. Yogaswara & Maulana Ahmad Jalidu, Aliran Sesat dan Nabi-nabi Palsu, Jakarta :

Narasi, 2008.

Zainul Pelly, Pendidikan Kewarganegaraan/Kewiraan, Medan: UD. Sabar, 2002. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar grafika, 2009.

B. Peraturan Perundang Undangan dan Surat Keputusan Negara. Undang-Undang Dasar 1945.

Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949. Undang Undang Dasar Sementara 1950. Consitutution Of Malaysia

Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Korvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)

Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Nomor : 3 Tahun 2008, Nomor : KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor : 199 Tahun 2008, Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut,


(3)

Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Peraturan Bersama No. 9 Tahun 2006, Peraturan Bersama No. 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksannaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 Tentang Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Pembuatan Perjanjian Internasional Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan

Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama.

Ketetapan Majelis No: III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan

Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.

Keputusan Bersama Menteri Agama No 3 tahun 2008, Jaksa Agung Nomor Kep- 033/A/JA/6/2006, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Surat Keputusan Jaksa Agung RI nomor 004/JA/01/1994 Tentang BakorPakem. Kitab Undang Undang Hukum Pidana.

C. Jurnal, Seminar/Makalah

Sri Hastuti PS, “Perlindungan HAM dalam Empat Konstitusi di Indonesia” dalam Jurnal Magister Hukum, Vol. 1 No. 1 Januari 2005, (Yogyakarta: Magister Ilmu Hukum FH-UII), 2005.

Bambang Widjoyanto, Reformasi Konstitusi, Sebuah Konstitusi, dalam tabloid Detak, 9 Oktober 1998.

Soetandyo Wignyosoebroto, UU Politik, Keormasan dan Instrumentasi Hak Asasi Manusia, dalam Jurnal Hukum No. 10/Vol/. 51 1998.

Todung Mulya Lubis, Jaminan Konsitusi Atas Hak Asasi Manusia dan Kebebasan, dalam Internasional IDEA, Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi Indonesia;Laporan Hasil Konfrensi yang diadakan di Jakarta, Indonesia, pada bulan Oktober 2001 (Jakarta: Internasional IDEA), 2002.


(4)

Mahfud MD, Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi, Jakarta: 2009. Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan Beragama di Indonesia, Menuntut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.

Sri Nuhartanto, Mengenai Deklarasi Milenium, Paper Diskusi Bhumiksara Rukun Lokal Bonaventura, 17 November 2002, St. Bonaventura, Yogyakarta.

Sumaryo Suryokusumo, “Ratifikasi Konvensi-Konvensi Internasional dan Perspektif Sistem Perundang-undangan Indonesia”, dalam Laporan Forum Dialog Nasional Bidang Hukum dan Non Hukum, BPHN DepKum-HAM, 7-9 September 2004.

Nella Sumika, Pelaksanaan Kebebasan Beragama di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, 2011.

Herlambang, Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Setelah Amandemen UUD 1945: Konsep, Pengaturan dan Dinamika Implementasi, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional), Jurnal Hukum, 2007.

Solly Lubis. Pembangunan Hukum. Makalah Disampaikan Pada Seminar Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Hukum Berkelanjutan Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar 14-18 Juli 2003.

D. Media Elektronik.

Sumika Putri

The_Wahid_Institute

Konflik Pembangunan GKI Taman Yasmin,

Adedidikirawa

maret 2012.

Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelengaraan Negara, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990.

Cooter, Robert, D., 1987, liberty, Efficiency, and Law. Law And Contemporary Problems. http://www.jstor.org.

Kamus Besar Bahasa Indonesi

2012

Pengertian-agama-secara-umum

tangal 9 Maret 2012

Agama asli

Dunia Hukum, Kajian dan Analisa Hukum,


(5)

Hukum Online, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak-hak Sipil

dan Politik,

2012

Sutandyo, Menyoal Keberadaan Bakor Pakem : Telaah Kritis dari Perspektif Sosio-Legal, Jakarta: ILRC, Tulisan ini disampaikan dalam Pertemuan Ahli Tentang Kebebasan Beragama di Indonesia, yang dilaksanakan ILRC di Jakarta.

Kompolnas, Peran Pemerintah dalam Menjamin Kebebasan Beragama & Kerukunan

Umat Beragam

Erman Suparman. Persepsi Tentang Keadilan dan Budaya Hukum Dalam Penyelesaian Sengket

19 Juni 2012

Juni 2012

Suryo Wibowo. GKI Yasmin Menjadi Catatan Dunia

Bona Sigalinging (Juru Bicara GKI Yasmin), Pernyataan Bersama Pelanggaran Kebebasan Beragama Jemaah GKI Bakal Pos Taman Yasmin Bogor Harus

Segera Dihentikan,

tanggal 20 Juni 2012

Mahfud MD, Pandangan Mahmud MD Mengenai GKI Yasmin


(6)