BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Pembelajaran IPA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match Berbantuan Media Gambar Siswa Kelas

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Pembelajaran IPA Pembelajaran IPA di SD dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)

  menurut Permendiknas No.22 Tahun 2006 tentang standar isi, bahwa IPA berkaitan erat dengan pola pikir dengan mencari tahu mengenai alam dan sekitarnya, sehingga dalam pembelajaran IPA dituntut untuk melakukan suatu proses penemuan. Pembelajaran IPA bukan hanya mengenai pemahaman anak pada suatu materi tertentu, namun dengan peserta didik memperoleh pengalamannya secara langsung akan membuatnya lebih kuat untuk memahami materi.

  Sagala Syaiful (2004:68), mengemukakan bahwa IPA adalah pengetahuan yang rasional dan obyektif tentang alam semesta dan segala isinya. Rasional berarti berdasarkan pemikiran yang sistematis dan logis, obyektif berarti sesuai dengan keadaan sebenarnya. Carin (1993:3), menambahkan bahwa IPA merupakan suatu kegiatan berupa pertanyaan, penyelidikan alam semesta, penemuan dan pengungkapan serangkaian alam. Dalam Usman Samatowa (2006:12), Piaget mengatakan bahwa pengalaman langsung yang memegang peranan penting sebagai pendorong lajunya perkembangan kognitif anak. Dengan menggunakan pembelajaran yang secara langsung, akan lebih memperkuat daya ingat para peserta didik mengenai materi atau teori-teori dan lebih praktis karena dapat menggunakan alat atau media belajar yang terdapat di lingkungan.

  Berdasarkan definisi pengertian IPA menurut 3 pakar dapat disimpulkan jika pembelajaran IPA adalah suatu pembelajaran yang menggunakan pola pikir mencari tahu tentang alam dengan pemikiran yang rasional dan obyektif, peserta didik mencari tahu sendiri dalam pengamatan sehingga materi yang diperoleh akan lebih bermakna.

  Berdasarkan Permendiknas No.22 tahun 2006 tentang, mata pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan untuk memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya, serta peserta didik dapat mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik dapat mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat, peserta didik dapat mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan, peserta didik dapat meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam, peserta didik dapat meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan, peserta didik dapat memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.

2.1.2. Hasil Belajar

  Berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran dilihat dari pencapaian siswa pada hasil belajar mereka. Menurut Wardani, Sulistya dan Slameto (2012:54), hasil belajar harus diidentifikasikan melalui informasi pengukuran penguasaan materi dan aspek perilaku baik melalui teknik tes maupun non tes. Penguasaan materi yang dimaksud adalah derajat pencapaian kompetensi hasil belajar yang mendasarkan pada kompetensi dasar seperti yang dikehendaki dalam standar proses dan dinyatakan dalam aspek perilaku yang terbagi dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Lebih lanjut dalam Dimyati dan Mudjiono (2002), ditemukan bahwa hasil belajar adalah hasil yang ditunjukkan dari suatu interaksi tindak belajar dan biasanya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan guru. Kemudian Mulyono Abdurrahman (2009), berpendapat bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh siswa

  Berdasarkan pengertian hasil belajar menurut 3 pakar dapat disimpulkan hasil belajar adalah suatu penilaian akhir dari proses dan pengenalan yang telah dilakukan berulang-ulang. Dengan hasil belajar diharapkan dapat membentuk pribadi individu yang selalu ingin mencapai hasil yang lebih baik lagi, sehingga akan mengubah cara berpikir serta menghasilkan perilaku kerja yang lebih baik.

  Benyamin S. Bloom mengemukakan tipe hasil belajar terdiri dari 3 ranah, yaitu: ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Penelitian ini, akan ditekankan pada ranah kognitif. Ranah kognitif yang dikembangkan oleh Benyamin S. Bloom dkk yang kemudian direvisi oleh Krathwoll (2001). Revisi Krathwoll terhadap tingkatan dalam ranah kognitif adalah ingatan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), evaluasi (C5), dan kreasi (C6).

  1) Ingatan (C1) merupakan jenjang proses berpikir yang paling sederhana. Butir soal akan dikatakan mengukur kemampuan proses berpikir ingatan, jika butir soal tersebut hanya meminta pada peserta didik untuk mengingat kembali tentang segala sesuatu yang telah diajarkan dalam proses pembelajaran, seperti mengingat nama, istilah, rumus, gejala, dan sebagainya tanpa menuntut kemampuan untuk memahami atau menggunakannya; 2) Pemahaman (C2), merupakan jenjang proses berpikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan. Butir soal dikatakan mengukur kemampuan proses berpikir pemahaman, jika butir soal tersebut tidak hanya meminta pada peserta didik untuk mengingat kembali tentang segala sesuatu yang telah diajarkan dalam proses pembelajaran., tetapi peserta didik harus mengerti, dapat menangkap arti dari materi yang dipelajari serta dapat melihatnya dari beberapa segi; 3) Penerapan (C3), merupakan jenjang proses berpikir yang setingkat lebih tinggi dari pemahaman. Butir soal dikatakan mengukur kemampuan proses berpikir penerapan, jika butir soal tersebut meminta pada peserta didik untuk memilih, menggunakan, atau menggunakan dengan tepat suatu rumus, metode, konsep, prinsip, huku, teori, atau dalil jika dihadapkan pada situasi baru; 4) Analisis (C4), merupakan jenjang proses yang setingkat lebih tinggi dari penerapan. Butir soal dikatakan mengukur didik untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian- bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan antar bagian tersebut; 5) Evaluasi (C5), merupakan jenjang proses berpikir yang lebih kompleks dari analisis. Butir soal dikatakan mengukur kemampuan proses berpikir evaluasi, jika butir soal tersebut meminta pada peserta didik untuk membuat pertimbangan atau menilai terhadap sesuatu berdasarkan kriteri-kriteria yang ada; 6) Membuat (C6), menggabungkan beberapa unsure menjadi suatu bentuk kesatuan.

  Keenam tingkatan nilai di atas seluruhnya merupakan segala aktivitas yang melibatkan otak atau berkaitan dengan intelegensi seorang siswa. Dalam rangka mengetahui sejauh mana tingkat berpikir siswa tersebut maka diperlukan alat instrumen yang digunakan oleh peneliti. Ada berbagai macam instrumen dalam pengukuran hasil belajar siswa. Dalam dunia pendidikan instrumen yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa adalah instrumen tes, lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap dan angket. Sementara itu instrumen yang digunakan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan instrumen tes.

  Pengukuran instrumen tes dapat diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu gejala atau peristiwa tertentu, sehingga terlihatlah pencapaian kognitif dari masing-masing siswa yang telah mengalami proses belajar tersebut. Pencapaian kognitif oleh siswa tidak lepas dari peraan guru sebagai tombak dalam pembelajaran karena bukan hanya dari dalam diri siswa tetapi faktor lain juga dapat mempengaruhi hasil belajar siswa.

  Menurut Dimyati & Mujiyono (2009), ada 2 faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Pada kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru di kelas model pembelajaran merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar. Salah satu model pembelajaran yang efektif dalam proses pembelajaran adalah model pembelajaran kooperatif. Slavin dalam Suriansah & Sulaiman (2009), secara lebih spesifik mengutarakan, dari beberapa hasil penelitian telah membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi dan hasil belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan kemampuan bersosial antar siswa.

2.1.3. Model Pembelajaran Kooperatif

  Model pembelajaran banyak digunakan dalam dunia pendidikan, hal ini terjadi karena model pembelajaran memiliki fungsi yang penting yaitu sebagai pencapaian tujuan dan hasil belajar oleh siswa. Model pembelajaran ini sendiri dapat diartikan sebagai prosedur yang sistematis yang dilakukan oleh guru dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar yang maksimal.

  Supriyono (2014), mendefinisikan “model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar”. Sementara itu menurut Arends “model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas”. Model pembelajaran terdiri dari beberapa macam. Supriyono (2014), membaginya ke dalam tiga model pembelajaran yaitu model pembelajaran langsung, pembelajaran kooperatif dan model pembelajaran berbasis masalah.

  Model pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Pada hakekatnya pembelajaran kooperatif sama dengan kerja kelompok. Sanjaya (2008), mengatakan bahwa “model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok- kelompok tertentu untuk mencapai untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan”. Tetapi Suprijono (2014), mengatakan bahwa “dalam pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok, ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang

  Menurut Hamdani (2010), terdapat enam tahap pembelajaran kooperatif yang disajikan dalam Tabel 2.

  Tabel 2 Sintaks Pembelajaran Kooperatif

Fase-fase Perilaku Guru

Fase 1:

  Menyelesaikan tujuan dan memotivasi. Siswa Guru menyampaikan semua tujuan yang ingin dicapai selama pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar

  Fase 2: Menyajikan informasi.

  Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi Fase 3: Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar.

  Guru menjelaskan kepada siswa cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien. Fase 4: Membimbing kelompok bekerja dan belajar.

  Guru membimbing kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka. Fase 5: Evaluasi.

  Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari/meminta presentasi hasil kerja kelompok. Fase 6: Memberikan penghargaan.

  Guru menghargai upaya dan hasil belajar individu dan kelompok.

  Pembelajaran kooperatif dimulai dengan pemberian informasi oleh guru tentang tujuan pembelajaran yang akan dicapai selama proses pembelajaran. Fase ini diikuti dengan penyajian informasi melalui bahan bacaan dan kemudian di bawah bimbingan guru, siswa bekerjasama secara kelompok untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Fase terakhir adalah penyajian produk akhir oleh kelompok sehingga dapat dievaluasi oleh guru bersama dengan seluruh siswa. Salah satu tipe yang dianggap menarik untuk diterapkan dalam proses pembelajaran adalah tipe make a match.

2.1.4. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match

  Make a match atau mencari pasangan ini dikembangkan oleh Lorna Curran

  (1994). Model pembelajaran make a match artinya model pembelajaran mencari pasangan. Setiap siswa mendapat sebuah kartu (bisa soal atau jawaban), lalu secepatnya mencari pasangan yang sesuai dengan kartu yang ia pegang. Suasana pembelajaran dalam model pembelajaran make a match akan riuh, tetapi sangat asik dan menyenangkan.

  Menurut Wahab (2007:59)adalah sistem pembelajaran yang mengutamakan penanaman kemampuan sosial terutama kemampuan bekerja sama, kemampuan berinteraksi disamping kemampuan berpikir cepat melalui permainan mencari pasangan dengan dibantu kartu. Senada dengan hal tersebut Lie (2003:27), mengemukakan bahwa tipe make a match merupakan bagian dari pembelajaran kooperatif yang didasarkan atas falsafah homo homini socius, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah mahluk sosial. Suyatno (2009:72), menambahkan bahwa model make a match adalah model pembelajaran dimana guru menyiapkan kartu yang berisi soal atau permasalahan dan menyiapkan kartu jawaban kemudian siswa mencari pasangan kartunya. Model make a match melatih siswa untuk memiliki sikap sosial yang baik dan melatih kemampuan siswa dalam bekerja sama disamping melatih kecepatan berfikir siswa.

  Berdasarkan definisi pengertian make a match menurut 3 pakar dapat disimpulkan make a match adalah pembelajaran kooperatif dimana setiap siswa mendapat sebuah kartu (bisa soal atau jawaban), lalu secepatnya mencari pasangan yang sesuai dengan kartu yang ia pegang.

  Langkah-langkah Model Pembelajaran Make A Match

  Menurut Lena Curran (1994) mengemukakan langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran make a match sebagai berikut:

  1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.

  2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu.

  3. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang.

  4. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban).

  5. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.

  6. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya.

  7. Demikian seterusnya.

  8. Kesimpulan/penutup.

  Menurut Huda (2013, hlm. 252-253) mengemukakan langkah-langkah kegiatan pembelajaran make a match sebagai berikut:

  1. Guru menyampaikan materi atau memberi tugas kepada siswa untuk mempelajari materi di rumah.

  2. Siswa dibagi ke dalam dua kelompok, misalnya kelompok A dan B, kedua kelompok diminta untuk berhadap-hadapan.

  3. Guru membagikan kartu pertanyaan kepada kelompok A dan kartu jawaban kepada kelompok B. 4. menyampaikan kepada siswa bahwa mereka harus

  Guru mencari/mencocokkan kartu yang dipegang dengan kartu kelompok lain. Guru juga perlu menyampaikan batasan maksimum waktu yang ia berikan kepada mereka.

  5. Guru meminta semua anggota kelompok A untuk mecari pasangannya di kelompok B. Jika mereka sudah menemukan pasangannya masing-masing, guru meminta mereka melaporkan diri kepadanya. Guru mencatat mereka pada kertas yang sudah dipersiapkan.

  6. Jika waktu sudah habis, mereka harus memberi tahu bahwa waktu sudah habis. Siswa yang belum menemukan pasangan diminta untuk berkumpul sendiri.

  7. Guru memanggil satu pasangan untuk presentasi. Pasangan lain dan siswa yang tidak mendapat pasangan memperhatikan dan memberikan tanggapan apakah pasangan itu cocok atau tidak.

  8. Terakhir, guru memberikan konfirmasi tentang kebenaran dan kecocokkan pertanyaan dan jawaban dari pasangan yang memberikan presentasi.

  9. Guru memanggil pasangan berikutnya, begitu seterusnnya sampai seluruh pasangan melakukan presentasi.

  Berdasarkan langkah-langkah model pembelajaran make a match menurut 2 pakar maka peneliti menyusun langkah-langkah pembelajarannya dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan memperhatikan kondisi peserta didik dan mata pelajaran, sebagai berikut:

  1. Siswa mendapatkan materi pembelajaran dari guru.

  2. Siswa dibagi ke dalam dua kelompok, misalnya kelompok A dan B, kedua kelompok diminta untuk berhadap-hadapan.

  3. Siswa mendapatkan satu kartu, kartu gambar untuk kelompok A dan kartu informasi kepada kelompok B.

  4. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang.

  5. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban).

  6. Guru memanggil satu pasangan untuk presentasi. Pasangan lain dan siswa yang tidak mendapat pasangan memperhatikan dan memberikan tanggapan apakah pasangan itu cocok atau tidak.

  7. Terakhir, guru memberikan konfirmasi tentang kebenaran dan kecocokkan pertanyaan dan jawaban dari pasangan yang memberikan presentasi.

  8. Guru memanggil pasangan berikutnya, begitu seterusnnya sampai seluruh pasangan melakukan presentasi.

2.1.5. Hubungan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Make A Match dengan Hasil Belajar

  Penggunaan model pembelajaran kooperatif sangat disarankan untuk guru agar dapat memudahkan tercapainya tujuan pembelajaran. Guru harus pandai memilih dan dilakukan. Penelitian ini menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe make a

  

match . Penerapan model pembelajaran ini menjadikan suasana kelas menjadi lebih

  hidup dan akan lebih mengaktifkan siswa dalam pembelajaran, sehingga tujuan untuk meningkatkan hasil belajar akan tercapai. Model pembelajaran kooperatif memang sangat menarik untuk dipraktikkan.

  Langkah-langkah pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe

  make a match sebagai berikut: 1.

  Stimulus Siswa mendapatkan rangsangan/stimulus dapat yang berupa benda, gambar, video untuk menimbulkan rasa keingin tahuan siswa.

  2. Penomoran Setiap siswa mendapatkan name tag berupa nomor. Masing-masing anak mendapatkan nomor yang berbeda.

  3. Siswa mendapatkan materi Siswa mendapatkan materi pembelajaran dari guru.

  4. Siswa mengerjakan Lembar Kerja Siswa (LKS) Siswa mengerjakan LKS untuk memperdalam materi.

  5. Pembagian kelompok Siswa dibagi menjadi beberapa 2 kelompok kecil. Setiap kelompok terdiri dari 2 anak.

  6. Pembagian kartu Siswa mendapatkan satu kartu, kartu gambar untuk kelompok A dan kartu informasi kepada kelompok B.

  7. Identifikasi masalah Siswa mengidentifikasi permasalahan yang diberikan pada stimulus dalam bentuk hipotesis, atau siswa menduga-duga/membuat jawaban sementara. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kayu yang dipegang.

  8. Pengumpulan Data

  Siswa mengumpulkan data sebanyak-banyaknya pada sumber, misalnya buku, untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis.

  9. Pengolahan Data Setelah mendapatkan data sebanyak-banyaknya, siswa mengolah data tersebut dan diklasifikasikan.

  10. Pembuktian Siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang telah ditetapkan sebelumnya.

  11. Memanggil nomor secara acak Guru memanggil peserta didik yang memiliki nomor peserta didik secara acak. Nomor yang disebutkan guru diminta maju ke depan kelas dan membacakan kartu yang ia peroleh. Kemudian kelompok A/B yang gambar/informasinya sesuai dengan kartu yang di depan harus maju ke depan kelas.

  12. Membuat kesimpulan jawaban Siswa memperoleh kesimpulan jawaban yang dapat dipertanggung-jawabakan dari pembuktian yang telah dilakukan.

2.1.6. Media Pembelajaran

  Smaldino, dkk (2008) mengatakan bahwa media adalah suatu alat komunikasi dan sumber informasi. Media berarti menunjuk pada segala sesuatu yang membawa informasi antara sumber dan penerima. Lebih lanjut Briggs (1977) mengatakan bahwa media adalah peralatan fisik untuk membawakan atau menyempurnakan isi pembelajaran. Salah satunya adalah media gambar. Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan atau ketrampilan pebelajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar.

  2.1.6.1. Media Gambar

  Gerlach dan Ely (1980) mengatakan bahwa melalui gambar dapat ditunjukkan jangkauan pengalaman pebelajar sendiri. Menurut Edgar Dale (1963) gambar dapat mengalihkan pengalaman belajar dari taraf belajar dengan lambang kata-kata ke taraf yang lebih konkrit (pengalaman langsung). Jadi dengan menggunakan media gambar membuat membuat siswa tidak jenuh dalam proses pembelajaran. Kelebihan media gambar: a.

  Dapat menerjemahkan ide-ide abstrak ke dalam bentuk yang lebih nyata.

  b.

  Banyak tersedia dalam buku-buku.

  c.

  Sangat mudah dipakai karena tidak membutuhkan peralatan.

  d.

  Relatif tidak mahal.

  e.

  Dapat dipakai untuk berbagai tingkat pelajaran dan bidang studi. Kelemahan media gambar: a.

  Kadang-kadang terlampau kecil untuk ditunjukkan di kelas yang besar.

  b.

  Tidak dapat menunjukkan gerak.

2.2. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

  Pada dasarnya suatu penelitian yang akan dibuat dapat memperhatikan penelitian lain yang dijadikan rujukan dalam mengadakan penelitian. Adapun penelitian yang terdahulu diantaranya sebagai berikut:

  Penelitian yang dilaksanakan oleh Lisa Pelisia (2014) yang berjudul “Peningkatan Hasil Belajar IPA melalui Model Cooperative Learning tipe Make A

  

Match pada siswa kelas V SD Negeri Watuagung 02 Kecamatan Tuntang Kabupaten

  Semarang Semester II Tahun Pelajaran 2013-2014 ”. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe

  

Make A Match dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri

  Watuagung 02. Hal ini dapat dibuktikan pada pra siklus hanya 7 siswa atau 41% siswa yang mendapatkan nilai di atas KKM dengan nilai rata-rata 58,6. Pada siklus I terjadi peningkatan yang cukup memuaskan yaitu 16 siswa atau 88% dari 17 siswa mendapatkan nilai di atas KKM dengan nilai rata-rata 79. Kemudian pada siklus II mendapat nilai diatas KKM dengan nilai rata-rata 88. Kelebihan dalam penelitian ini terjadi peningkatan hasil belajar siswa dari pada menggunakan model pembelajaran . Kelemahan dalam penelitian ini yaitu guru

  cooperative learning tipe make a match belum menggunakan media pembelajaran.

  Penelitian yang dilaksanakan oleh Era Yuliana (2014) yang berjudul “Upaya

  Peningkatan Hasil Belajar IPA melalui Model Pembelajaran Make A Match pada Siswa Kelas V SDN Wonomerto 03 Kecamatan Bandar Kabupaten Batang Semester I Tahun Pelajaran 2013-2014

  ”. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran model pembelajaran make a match dapat meningkatkan hasil belajar IPA Siswa Kelas

  V Siswa Kelas V SDN Wonomerto 03 Kecamatan Bandar Kabupaten Batang. Hal ini dapat ditunjukkan pada peningkatan ketuntasan belajar siswa terjadi secara bertahap yaitu dimana pada kondidi awal hanya terdapat 7 siswa atau 35% yang tuntas dalam belajarnya, pada siklus I ketuntasan belajar siswa meningkat menjadi 15 siswa atau 75%, dan pada siklus II meningkat lagi menjadi 18 siswa atau sekitar 90% yang tuntas belajarnya. Kelebihan dalam penelitian ini terjadi peningkatan hasil belajar siswa dari pada menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe make a match. Kelemahan dalam penelitian ini yaitu perlu adanya pengawasan dari guru agar motivasi siswa tumbuh dan berkembang saat bekerja kelompok.

  Penelitian yang dilaksanakan oleh Inus (2012) yang berjudul “Upaya

  Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Menggunakan Model PembelajaranMake A Match pada Mata Pelajaran Matematika untuk Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri Mangunsari 04 Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga

  ”. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran model pembelajaran make a match berpengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri Mangunsari

  04. Hal ini dapat dilihat pada hasil evaluasi siklus I 70% siswa tuntas atau dengan 26 siswa, dan siklus II 89% atau 33 siswa tuntas keseluruhan siswa berjumlah 37 siswa.Kelemahan dalam penelitian ini yaitu perlu penguasaan kelas yang baik dan kondusif, serta memerlukan waktu pembelajaran yang lama sehingga perlu

  Tabel 3 Hasil Penelitian yang Relevan Nama Tahun Judul Penelitian Variabel Pengaruh Variabel Kelebihan Kelemahan Peneliti Terpengaruh

  Lisa 2014 Model Pembelajaran Hasil Belajar IPA Terjadi peningkatan hasil Belum menggunakan “Peningkatan Hasil Belajar IPA Pelisia melalui Model Cooperative Cooperative Learning Siswa Kelas V SD belajar siswa dari pada media pebelajaran

  Learning tipe Make A Match Tipe Make A Match Negeri Watuagung 02 menggunakanmodel pada Siswa Kelas V SD Negeri pembelajaran cooperative Watuagung 02 Kecamatan learning tipe make a match

  Tuntang Kabupaten Semarang Semester II Tahun Pelajaran 2013- 2014”.

Era 2014 Model Pembelajaran Hasil Belajar IPA Terjadi peningkatan hasil Perlu adanya pengawasan

“Upaya Peningkatan Hasil Yuliana Belajar IPA melalui Model Siswa Kelas V SDN belajar siswa dari pada dari guru agar motivasi

  Make A Match Pembelajaran Make A Match Wonomerto 03 menggunakanmodel siswa tumbuh dan pada Siswa Kelas V SDN Kecamatan Bandar pembelajaran make a match berkembang saat bekerja Wonomerto 03 Kecamatan Kabupaten Batang kelompok. Bandar Kabupaten Batang Semester I Tahun Pelajaran 2013- 2014”. Inus 2012 Model Pembelajaran Hasil Belajar Terjadi peningkatan hasil Perlu penguasaan kelas “Upaya Meningkatkan Hasil

  Belajar Siswa Menggunakan Make A Match Matematika Siswa belajar siswa dari pada yang baik dan kondusif, Model Pembelajaran Make A Kelas V Sekolah menggunakan model make serta memerlukan waktu Match pada Mata Pelajaran Dasar Negeri a match pembelajaran yang lama Matematika untuk Siswa Kelas Mangunsari 04 Kota sehingga perlu manajemen

  V Sekolah Dasar Negeri Salatiga waktu yang baik oleh Mangunsari 04 Kecamatan guru.

  Sidomukti Kota Salatiga

2.3. Kerangka Berpikir

  Pembelajaran yang terjadi di kelas 5 SD Negeri Mangunsari 04 masih belum maksimal dan optimal, karena guru yang mengampu, masih menggunakan metode ceramah yang kurang menarik perhatian siswa dalam pembelajaran. Siswa sendiri selama pembelajaran kurang memahami, merasa bosan dan jenuh untuk mengikuti pembelajaran karena cara penyampaian materi guru yang monoton hanya dengan ceramah saja. Cara yang dapat dilakukan untuk membuat siswa tertarik dalam pembelajaran dan siswa merasa senang salah satu dengan menggunakan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe make a match pada mata pelajaran

  IPA kelas 5 materi penyesuaian diri makhluk dengan menggunakan model ini, menjadikan aktivitas belajar siswa menjadi lebih tinggi sehingga meningkatkan pemahaman konsep dan hasil belajar juga akan meningkat. Penerapan model pembelajaran ini menjadikan suasana kelas menjadi lebih hidup dan akan lebih mengaktifkan siswa dalam pembelajaran. Model ini dalam penerapannya sangat menyenangkan, karena siswa dituntut untuk aktif dalam pembelajaran. Siswa secara acak memasangkan kartu gambar dan kartu informasi, untuk lebih jelasnya, langkah- langkah model pembelajaran make a match adalah siswa mendapatkan rangsangan/stimulus dapat yang berupa video pembelajaran, setiap siswa mendapatkan name tag berupa nomor. Masing-masing anak mendapatkan nomor yang berbeda, siswa mendengarkan penjelasan materi dari guru yaitu tentang penyesuaian diri makhluk hidup. Siswa dibagi menjadi 2 kelompok kecil. Setiap kelompok terdiri dari 2 anak. Siswa mengerjakan LKS yang diberikan guru. Siswa dibagi lagi menjadi 2 kelompok besar, masing-masing siswa mendapatkan satu kartu dari guru, kelompok A mendapat kartu gambar dan kelompok B mendapakan kartu informasi tentang materi penyesuaian diri pada makhluk hidup. Semua siswa memikirkan jawaban atau pertanyaan pada kartu yang telah ia terima. Semua siswa mencari data pada buku sumber. Setelah mendapatkan data, siswa mengolah data tersebut sehingga menghasilkan sebuah informasi. Siswa melakukan pembuktian disebutkan guru mengemukakan pertanyaan atau jawaban pada kartu yang ia terima di depan kelas. Peserta didik yang memiliki jawaban atau pertanyaan yang sesuai harus maju ke depan kelas. Siswa memperoleh kesimpulan jawaban yang dapat dipertanggung-jawabakan dari pembuktian yang telah dilakukan dengan bantuan guru.

  Secara lebih rinci penjelasan kerangka berfikir disajikan pada Gambar 1.

  Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match Media Gambar Materi: Penyesuaian diri pada makhluk hidup 1.

  Siswa menerima stimulus melalui video seekor cicak yang ekornya putus Rubrik Afektif

  2. Pembagian name tag berupa nomor kepada semua siswa Butir soal kognitif

  3. Penjelasan materi penyesuaian diri pada makhluk hidup mengguanakan media gambar Skor Non Tes

4. Siswa mengerjakan LKS tentang penyesuaian diri pada makhluk hidup 5.

  Siswa melakukan pengumpulan data dengan buku paket Rubrik Psikomotorik 6.

  Siswa melakukan pembuktian dengan berdiskusi Skor Test Skor Proses

  S

7. Siswa dibagi menjadi 2 kelompok besar. Kelompok gambar dan kelompok 1.

  Belajar informasi.

  2.

  8. Siswa memikirkan jawaban atau pertanyaan pada kartu yang telah ia terima 3.

  9. Siswa dipanggil nomor secara acak oleh guru untuk menemukan 4. pasangannya.

  5.

10. Siswa terampil membuat kesimpulan jawaban 6.

  Hasil Belajar ≥ kkm Gambar 1

  

Skema Peningkatan Hasil Belajar Kelas 5 Materi Penyesuaian Diri Pada makhluk Hidup dengan Model Make A Match

2.4. Hipotesis

  Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah peningkatan hasil belajar

  IPA dapat diupayakan melalui model pembelajaran kooperatif tipe make a match berbantuan media gambar siswa kelas 5 SD Negeri Mangunsari 04 Kota Salatiga semester 1 tahun pelajaran 2016-2017.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK) Pada Sekolah Dasar (SD) Kecamatan Tuntangkabupaten Semarang

1 0 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK) Pada Sekolah Dasar (SD) Kecamatan Tuntangkabupaten Semarang

1 0 28

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK) Pada Sekolah Dasar (SD) Kecamatan Tuntangkabupaten Semarang

1 0 44

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK) Pada Sekolah Dasar (SD) Kecamatan Tuntangkabupaten Semarang

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Metode Problem Based Learning (PBL) Berbantu Media Realia untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematika Siswa Sekolah Dasar

0 0 18

BAB 1 PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Pembelajaran Soft Skills Siswa SMK Negeri 2 Salatiga

0 0 7

BAB 2 KAJIAN TEORI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Pembelajaran Soft Skills Siswa SMK Negeri 2 Salatiga

0 0 34

BAB 4 PROSES DAN HASIL PENGEMBANGAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Pembelajaran Soft Skills Siswa SMK Negeri 2 Salatiga

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Pembelajaran Soft Skills Siswa SMK Negeri 2 Salatiga

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match Berbantuan Media Gambar Siswa Kelas 5 SD Negeri

0 0 7