RESISTENSI PEREMPUAN TERHADAP WACANA RATU RUMAH TANGGA DALAM CERPEN INTAN PARAMADITHA

RESISTENSI PEREMPUAN TERHADAP WACANA RATU RUMAH TANGGA DALAM CERPEN INTAN PARAMADITHA

Women Resistance toward a Discourse of The Queen of Household in Paramaditha Intan’s Short Stories

Ery Agus Kurnianto

Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah Jalan Elang Raya 1, Mangunharjo, Tembalang, Jawa Tengah, Indonesia Telepon (024) 76744357, Faksimile (024) 76744358, Pos-­‐el: eryagus75@gmail.com

(Naskah Diterima Tanggal 12 April 2016—Direvisi Akhir Tanggal 9 Mei 2016—Disetujui Tanggal 9 Mei 2016)

Abstrak: Tulisan ini membahas masalah resistensi perempuan terhadap konstruksi budaya yang telah dibumikan oleh kaum patriarkat dalam cerpen karya Intan Paramaditha yang berjudul “Mak Ipah dan Bunga-­‐Bunga” dan “Sejak Porselin Berpipi Merah Itu Pecah”. Tujuan tulisan ini adalah menunjukkan dan mendeskripsikan resistensi yang dilakukan oleh kaum perempuan terhadap ke-­‐ mapanan konstruksi budaya patriarkat, khususnya tentang wacana ratu rumah tangga. Metode deskriptif digunakan dalam penelitian ini. Teori yang digunakan adalah teori kritik sastra feminis. Hasil analisis terhadap cerpen ini adalah tokoh perempuan yang dimunculkan dalam cerpen ini merupakan bentuk perempuan yang selama ini terbungkam oleh sistem budaya yang dikonstruksi oleh kaum patriarkat. Teks digunakan oleh pengarang untuk meresistensi mitos ratu rumah tang-­‐

ga yang ‘dibumikan’ oleh kaum patriakat.

Kata-­‐Kata Kunci: resistensi, wacana, ratu rumah tangga.

Abstract: This study is discussing women's resistance against cultural construction that has been proposed by the patriarchal community in Intan Paramaditha’s short stories: “Mak Ipah dan Bunga-­‐Bunga” and “Sejak Porselin Berpipi Merah itu Pecah”. This paper is aimed at showing and describing women’s resistance against the established patriarchal culture construction, particularly on a discourse of women as the queen of the house. Descriptive method was applied in this study. The theory applied in this study was feminist literary criticism. The conclusion of the analysis on the two short stories was that a female character presented in these short stories was representing the women voice that had been silenced by a cultural system of patriarchal construction. Texts were employed by the author to resist against a myth of women as the queen of the house 'proposed' by the patriarchal community.

Key Words: resistance, discourse, queen of the household

PENDAHULUAN

menunjukkan bahwa karya sastra seba-­‐ Meskipun materi atau bahan mentah

gai salah satu genre karya seni merupa-­‐ sastra adalah fenomena yang muncul da-­‐

kan cerminan kehidupan sosial masya-­‐ lam kehidupan sosial, sastra pada dasar-­‐

rakat tempat karya sastra tersebut ditu-­‐ nya merupakan sebuah ciptaan. Sastra

lis oleh pengarangnya (hlm. 31). Hal ter-­‐ merupakan sebuah kreasi pengarangnya

sebut senada dengan pernyataan dan bukan semata-­‐mata sebuah imitasi

Damono (2010) yang menyatakan bah-­‐ atau tiruan peristiwa yang terjadi di da-­‐

wa karya sastra sebagai bentuk dan hasil lam kehidupan masyarakat. Ungkapan

sebuah pekerjaan kreatif. Pengarang me-­‐ Abrams (1976) art is like a mirror

lalui daya kreativitas dan imajinasinya

Resistensi Perempuan terhadap Wacana … (Ery Agus Kurnianto)

mengolaborasikan kenyataan-­‐kenyataan sosial yang muncul dalam masyarakat ke dalam karyanya. Melalui bahasa, daya imajinasi pengarang diramu dengan fe-­‐ nomena yang muncul dalam kehidupan sosial (hlm. 1-­‐2). Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa sastra menjadi sebuah media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan kehidupan ma-­‐ nusia. Bagaimanapun peristiwa-­‐peristi-­‐ wa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, ada-­‐ lah pantulan hubungan seseorang de-­‐ ngan orang lain atau masyarakat. Karya sastra menampilkan keadaan masyara-­‐ kat atau fenomena yang muncul di da-­‐ lam masyarakat (Damono, 2010, hlm. 2). Salah satu keadaan masyarakat yang cu-­‐ kup menarik adalah masalah wacana pe-­‐ rempuan yang diciptakan dan dikon-­‐ struksi sebagai sebuah budaya oleh kaum patriarkat.

Berbicara masalah patriarkat, per-­‐ soalan gender tidak dapat dilepaskan be-­‐ gitu saja. Menurut Bhasin (2001) dalam kehidupan sosial, gender berhubungan dengan konsep patriarkat. Kata patriark secara harafiah memiliki arti kekuasaan ayah atau “patriarch” (kepala keluarga). Hal ini mengacu pada sistem sosial. Ba-­‐ pak memegang kontrol (kendali) atas se-­‐ luruh anggota keluarga, kepemilikan ba-­‐ rang, sumber pendapatan, dan peme-­‐ gang keputusan utama. Sehubungan de-­‐ ngan sistem sosial ini, diyakini (dijadikan ideologi) bahwa laki-­‐laki lebih superior dibanding perempuan sehingga perem-­‐ puan sudah seharusnya dikendalikan (dikontrol) oleh laki-­‐laki dan menjadi bagian dari properti laki-­‐laki. Adanya model patriarkat ini menimbulkan waca-­‐ na ketidaksetaraan relasi gender, sosial, ekonomi, dan politik (hlm. 26).

Ideologi patriarkat telah lama men-­‐ jadi pondasi konstruksi sosial masyara-­‐ kat. Kaum laki-­‐laki mewarisi sebuah ta-­‐ tanan sosial. Laki-­‐laki mendominasi ru-­‐ ang kekuasaan dan kewenangan.

Aktivitas-­‐aktivitas sosial selalu dikaitkan dengan tindakan mereka. Nosi inilah yang menimbulkan diskriminasi dan ke-­‐ tidakadilan atau bahkan penindasan ter-­‐ hadap kaum perempuan dalam masya-­‐ rakat. Kehidupan, pengalaman, dan nilai-­‐ nilai yang diyakini perempuan dianggap marginal sementara pengalaman laki-­‐la-­‐ ki dianggap normatif (Sherry, 1988, hlm.

2 ). Dalam karya sastra, wacana tentang

perempuan dapat diinterpretasikan dari sudut pandang pengarang. Sudut pan-­‐

dang pengarang terhadap suatu perso-­‐ alan ditampilkan melalui tokoh dan pe-­‐ nokohan yang dimunculkan dalam kar-­‐ yanya. Peristiwa yang dialami oleh tokoh tersebut dapat digunakan untuk melihat wacana perempuan dalam kehidupan masyarakat. Wacana perempuan yang ada selama ini dirasakan membelenggu dan membatasi ruang gerak perempuan sehingga membuat perempuan menjadi tersubordinat. Sebaliknya, bagi laki-­‐laki wacana tersebut semakin mengukuhkan kedudukan dan peran laki-­‐laki sebagai pihak yang superior. Berbicara masalah peran antara laki-­‐laki dan perempuan, persoalan gender tidak dapat dilepaskan begitu saja.

Cerpen-­‐cerpen Intan Paramaditha yang terdapat dalam antologi Sihir Pe-­‐ rempuan, misalnya, yang berjudul “Mak Ipah dan Bunga-­‐Bunga” dan “Sejak Por-­‐ selin Berpipi Merah itu Pecah”, melibat-­‐ kan tokoh hantu dalam melakukan re-­‐ sistensi terhadap konstruksi budaya pa-­‐ triarkat, khususnya wacana tentang pe-­‐ rempuan. Tokoh hantu ditampilkan Intan Paramaditha dalam cerpen-­‐cer-­‐ pennya tidak sekadar untuk memuncul-­‐ kan atau menimbulkan suasana menye-­‐ ramkan yang bertujuan untuk menghi-­‐ bur pembaca dengan mengeksploitasi ketakutan. Tokoh-­‐tokoh hantu superna-­‐ tural yang dimunculkan oleh Intan Paramaditha dalam teks memiliki fungsi untuk mendobrak mitos atau wacana

ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 88-­‐101 tentang perempuan yang telah dikon-­‐

struksi oleh patriarkat dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, tokoh-­‐tokoh su-­‐ pernatural yang muncul dalam cerpen-­‐ cerpen Intan Paramaditha dipergunakan sebagai media untuk mengomunikasi-­‐ kan pengalaman-­‐pengalaman hidup pe-­‐ rempuan dan melalui tokoh-­‐tokoh su-­‐ pernatural teks menyuarakan suara pe-­‐ rempuan yang termarjinalkan serta ter-­‐ belenggu oleh norma patriarkat. Penga-­‐ rang menampilkan bagaimana sosok pe-­‐ rempuan yang terepresi oleh norma patriarkat mencoba membebaskan diri melalui caranya sendiri.

Persoalan yang dibahas dalam tulis-­‐ an ini adalah hal-­‐hal apa sajakah yang di-­‐ lakukan oleh tokoh perempuan sebagai bentuk resistensi terhadap kemapanan konstruksi budaya patriarkat tentang wacana ratu rumah tangga? Tujuan pe-­‐ nelitian ini adalah mengungkap dan mendeskripsikan resistensi perempuan terhadap kemapanan konstruksi budaya patriarkat, khususnya tentang wacana ratu rumah tangga dalam cerpen “Mak Ipah dan Bunga-­‐Bunga” dan “Sejak Por-­‐ selin Berpipi Merah itu Pecah”.

Hal yang dapat dilakukan untuk me-­‐ nyosialisasikan persoalan kesadaran pe-­‐ rempuan terhadap peran sosialnya ada-­‐ lah dengan cara memperkenalkan dan mendekatkan perempuan terhadap per-­‐ soalan-­‐persoalan pembagian peran sosi-­‐ al yang berimbang dan hal tersebut membutuhkan alat atau media yang mu-­‐ dah dan dapat dijangkau oleh kaum pe-­‐ rempuan. Media yang dapat digunakan untuk menyosialisasikan masalah femi-­‐ nis adalah melalui karya sastra, dapat berupa prosa maupun puisi, khususnya kajian mengenai persoalan perempuan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informa-­‐ si yang pada akhirnya mampu meng-­‐ gugah kesadaran perempuan terhadap peran sosialnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan

dapat

memberikan

perspektif yang beragam terhadap pem-­‐ bahasan karya-­‐karya sastra Indonesia yang saat ini diramaikan oleh perempu-­‐ an, terutama yang berhubungan dengan tema-­‐tema yang lekat dengan kehidupan perempuan.

Sejak penerbitannya, antologi Sihir Perempuan kurang menyita perhatian peminat sastra terbukti dengan sedikit-­‐ nya forum ilmiah yang membahas anto-­‐ logi ini. Budiman (2008) menyatakan bahwa miskinnya penerimaan tersebut disebabkan karya Intan Paramadhita ja-­‐ uh dari nuansa mengekspos masalah tu-­‐ buh perempuan dan permasalahan sek-­‐ sualitas sehingga kurang asyik untuk di-­‐ nikmati (hlm. 1). Namun demikian, bu-­‐ ku tersebut pernah dibahas dalam acara Diskusi Buku Sihir Perempuan yang dise-­‐ lenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok pada tang-­‐ gal 8 Juni 2005.

Masih dalam tulisan yang sama, Budiman (2008) menyatakan bahwa oleh para pengamat, Sihir Perempuan di-­‐ anggap memiliki perbedaan yang sangat menonjol jika dibandingkan dengan kar-­‐ ya-­‐karya yang terbit pada periode yang sama. Sihir Perempuan memiliki kekuat-­‐ an dalam hal sudut pandang terhadap suatu permasalahan. Perspektif perem-­‐ puan dijadikan pokok persoalan dalam cerpen-­‐cepennya. Sihir Perempuan tidak hanya mengangkat persoalan perempu-­‐ an, melainkan juga memandang persoal-­‐ an tersebut dari sudut pandang perem-­‐ puan. Di samping itu, kumpulan cerpen tersebut juga memiliki ciri khas cerita gotik sehingga berbeda dengan cerpen-­‐ cerpen lain yang muncul pada masa itu (hlm.1).

Bramantio (2007) dalam tulisannya yang berjudul “Suara-­‐Suara Perempuan

yang Terbungkam dalam Sihir Perempu-­‐ an” menyatakan bahwa Sihir Perempuan hadir sebagai teks yang mencoba meng-­‐ usung realitas keperempuanan yang de-­‐ kat dengan kita, masalah-­‐masalah

Resistensi Perempuan terhadap Wacana … (Ery Agus Kurnianto)

domestik yang jarang tersentuh bahkan berada dalam lingkaran patriakat, mes-­‐ terabaikan oleh hingar-­‐bingar problema-­‐

kipun perempuan harus tetap terluka tika publik. Masalah pemaknaan tanda-­‐

dengan pilihan yang telah ditetapkan tanda yang muncul dalam Sihir Perem-­‐

(hlm. 247-­‐257).

puan melalui proses konkretisasi untuk Kajian ini berbeda dengan kajian-­‐ mengungkapkan makna teks secara ke-­‐

kajian yang terdahulu tersebut. Kajian ini seluruhan menjadi pokok bahasan da-­‐

menguraikan strategi teks dalam men-­‐ lam tulisannya (hlm. 381-­‐406). Namun,

dobrak permasalahan perempuan de-­‐ Bramantio tidak memberikan penjelasan

ngan menggunakan strategi pembalikan lebih mendalam terkait masalah resis-­‐

keadaan. Melalui strategi teks terlihat su-­‐ tensi perempuan terhadap wacana ratu

dut pandang pengarang dalam menyua-­‐ rumah tangga. Oleh karena itu, peneliti-­‐

rakan suara perempuan dan menyikapi an ini masih perlu dilakukan.

fenomena sosial tentang perempuan Tulisan Dewi (2014) yang berjudul

yang terjadi di lingkungan sekitarnya. “Rara Mendut dari Sastra Lisan ke Sastra

Teori yang digunakan untuk meng-­‐ Tulis: Potret Perlawanan terhadap Ke-­‐

kaji cerpen “Mak Ipah dan Bunga-­‐Bunga” kuasaan” menyatakan bahwa tokoh pe-­‐

dan “Sejak Porselin Berpipi Merah itu rempuan Rara Mendut, dapat dijadikan

Pecah” karya Intan Paramaditha adalah potret atau cerminan protes sosial kelas

teori kritik sastra feminis Soenardjati bawah terhadap penguasa. Protes yang

Djajanegara. Secara spesifik, teori kritik dilakukan oleh sosok yang inferior ter-­‐

sastra feminis menggunakan pendekat-­‐ hadap pihak yang dominan (hlm. 218-­‐

an membaca sebagai perempuan “read-­‐ 231). Tulisan ini lebih terfokus pada ka-­‐

ing as woman”.

jian bandingan, tetapi perlawanan Rara Sumber dari segala bentuk penin-­‐ Mendut, tokoh perempuan, tidak begitu

dasan kaum laki-­‐laki terhadap kaum pe-­‐ dalam dibahas. Ideologi teks mengenai

rempuan adalah munculnya suatu pan-­‐ perlawanan yang mewakili pihak inferi-­‐

dangan bahwa kaum laki-­‐laki dan kaum or, perempuan, terhadap laki-­‐laki, yang

perempuan memiliki perbedaan. Oleh mewakili pihak dominan, tidak begitu je-­‐

kaum laki-­‐laki, kaum perempuan diang-­‐ las dipaparkan.

gap sebagai kaum kelas dua di bawah Nazurty (2015) dalam penelitian-­‐

kaum laki-­‐laki. Esensi sosok yang diang-­‐ nya yang berjudul “Perjuangan Perem-­‐

gap sebagai manusia ada dalam diri laki-­‐ puan dalam Legenda Teluk Wang: Per-­‐

laki, bukan dalam diri perempuan. Hal sepsi Gender” menyatakan bahwa dalam

seperti ini diungkapkan oleh Beauvoir legenda Teluk Wang perempuan menda-­‐

(1953), yang menyatakan bahwa manu-­‐ patkan posisi yang strategis dan setara

sia yang selalu menjadi dirinya sendiri dengan laki-­‐laki di ranah publik, baik itu

adalah laki-­‐laki. Perempuan tidak per-­‐ dalam hal menata perekonomian mau-­‐

nah menjadi dirinya sendiri sehingga pe-­‐ pun membangun kampung baru, dan di-­‐

rempuan tidak pernah dianggap sebagai bekali ilmu kanuragan serta kepintaran

makhluk yang otonom. Hal inilah yang yang sama oleh orang tua (hlm. 31-­‐45).

menempatkan perempuan pada kedu-­‐ Wahyuni (2013) menyatakan bah-­‐

dukan tertentu serta melihat bagaimana wa perempuan yang memiliki kebebas-­‐

nilai-­‐nilai tersebut mempengaruhi hu-­‐ an untuk memilih ternyata harus mera-­‐

bungan antara perempuan dan laki-­‐laki sakan penderitaan dari hal yang dipilih-­‐

dalam tingkatan psikologis dan budaya nya. Mereka tidak dapat melepaskan diri

(hlm. xviii-­‐xix). Feminisme juga beru-­‐ dari lingkaran patriakat sehingga pilihan

saha untuk menghilangkan pertentang-­‐ mereka adalah menjadi perempuan yang

an antara kelompok yang kuat dan

ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 88-­‐101 kelompok yang lemah. Lebih jauh lagi

Dalam paradigma perkembangan gerakan feminisme menolak ketidakadil-­‐

kritik sastra, kritik sastra feminis di-­‐ an sebagai akibat masyarakat patriarki, anggap sebagai kritik sastra yang bersi-­‐

menolak sejarah dan filsafat sebagai di-­‐ fat revolusioner yang ingin menumbang-­‐ siplin yang berpusat pada laki-­‐laki

kan wacana yang dominan yang diben-­‐ (Ratna, 2004, hlm. 186).

tuk oleh suara tradisional yang bersifat Di Barat, kritik sastra feminis di-­‐

patriarkat (Rutven melalui Wiyatmi, mulai sebagai suatu gerakan sosial pada

2015, hlm. 7). Tujuan utama kritik sastra masyarakat. Studi perempuan dianggap

feminis adalah menganalisis relasi gen-­‐ sebagai bagian dan paket dari agenda

der yang tergambar dalam karya sastra politik feminis, maka bagi kritikus sastra

maupun posisi penulis perempuan da-­‐ feminis, semua interpretasi bersifat po-­‐

lam sejarah sastra yang berada dalam litis, seperti yang diungkapkan oleh

dominasi laki-­‐laki (Nicholson melalui Basley & Moore via Hellwig (2003), bah-­‐

Wiyatmi 2015, hlm. 7). wa pembaca feminis ikut serta dalam

Djajanegara (2000) membagi kritik proses perubahan relasi gender. Hal itu

sastra feminis menjadi enam. Pertama, dianggap sebagai salah satu wilayah da-­‐

kritik sastra feminis ideologis. Kritik sas-­‐ lam perjuangan demi perubahan (hlm.

tra feminis ideologis tidak terlepas dari 9).

kaum wanita, terutama kaum feminis, Lebih lanjut Hellwig (2003) menya-­‐

yang memosisikan diri sebagai pemba-­‐ takan bahwa kritikus feminis meneliti

ca suatu karya atau membaca sebagai bagaimana kaum perempuan ditampil-­‐

perempuan (reading as woman). Perma-­‐ kan, bagaimana suatu teks membahas

salahan pokok yang menjadi pusat per-­‐ relasi gender, dan perbedaan jenis ke-­‐

hatian pembaca wanita adalah stereotip lamin. Dari perpektif feminis, sastra ti-­‐

wanita atau citra wanita yang dimuncul-­‐ dak boleh diisolasi dari konteks atau ke-­‐

kan dalam karya sastra. Hal ini diguna-­‐ budayaannya. Suatu teks sastra menga-­‐

kan untuk membongkar ideologi patriar-­‐ jak para pembacanya untuk memahami

kat yang sampai saat ini masih diduga apa artinya menjadi perempuan atau la-­‐

mendominasi penulisan dan pembacaan ki-­‐laki dan kemudian mendorong mere-­‐

terhadap suatu karya sastra. Selain itu, ka untuk menyetujui atau menentang

kritik sastra feminis ideologis juga norma-­‐norma budaya yang berlaku

mengkaji kesalahpahaman perempuan (hlm. 9).

dan mencari sebab-­‐sebab mengapa pe-­‐ Kritik sastra feminis menganalisis

rempuan tidak pernah diperhitungkan dan menilai karya sastra dengan mem-­‐

dan selalu menduduki pihak yang infe-­‐ perhatikan prinsip keadilan dan keseta-­‐

rior. Kedua, kritik sastra feminis gyno-­‐ raan gender. Hal ini tidak hanya tampak

kritik. Kritik sastra feminis gynokritik le-­‐ pada analisis dan evaluasi terhadap isi

bih menekankan pada pengkajian ter-­‐ (fenomena kemanusian) yang terdapat

hadap penulis-­‐penulis perempuan. Seja-­‐ dalam karya sastra, tetapi juga penggu-­‐

rah karya sastra perempuan, gaya penu-­‐ naan bahasa, teknik pencitraan yang

lisan, tema, genre, dan struktur tulisan menggambarkan keadilan dan kesetara-­‐

perempuan, kreativitas penulis perem-­‐ an gender. Selain itu, dengan perspektif

puan, profesi penulis perempuan seba-­‐ feminis para kritikus juga melakukan

gai suatu perkumpulan, perkembangan pembacaan, analisis, dan evaluasi kem-­‐

dan peraturan tradisi penulis perempu-­‐ bali terhadap karya-­‐karya yang ditulis

an pun menjadi kajian kritik sastra femi-­‐ oleh sastrawan, terutama sastrawan pe-­‐

nis ini. Ketiga, kritik sastra feminis-­‐sosi-­‐ rempuan (Wiyatmi, 2015, hlm. 6).

alis atau kritik sastra Marxis meneliti

Resistensi Perempuan terhadap Wacana … (Ery Agus Kurnianto)

tokoh-­‐tokoh perempuan dari sudut pan-­‐ dang sosialis, yaitu kelas-­‐kelas masyara-­‐ kat. Melalui kritik ini, kaum feminis ingin mengungkapkan bahwa kaum perempu-­‐ an menjadi pihak yang tertindas dan menduduki kelas yang inferior karena perempuan tidak memiliki sarana pro-­‐ duksi untuk menghasilkan materi. Ke-­‐ empat, kritik sastra feminis psikoanalitik mengkaji tulisan-­‐tulisan yang dihasilkan oleh perempuan. Kaum feminis meyaki-­‐ ni bahwa dalam menulis perempuan me-­‐ ngidentifikasikan dirinya terhadap tokoh yang ia ciptakan. Dengan kata lain, tokoh perempuan yang ada dalam karyanya adalah cermin penulisnya. Kelima, kritik sastra feminis lesbian hanya menelaah dan meneliti penulis dan tokoh perem-­‐ puan. Keenam, kritik sastra feminis et-­‐ nik, yang memfokuskan diri pada pem-­‐ buktian keberadaan sekelompok penulis etnik dan karya-­‐karyanya (hlm. 28-­‐33).

METODE

Penelitian yang dilakukan terhadap ke-­‐ dua cerpen karya Intan Paramaditha adalah penelitian tinjauan pustaka. Me-­‐ tode analisis data dilakukan dengan cara melakukan pembacaan dan pemahaman terhadap cerpen “Mak Ipah dan Bunga-­‐ Bunga”, dan “Sejak Boneka Porselin Ber-­‐ pipi Merah itu Pecah”, khususnya terha-­‐ dap tokoh perempuan. Hal itu dilakukan agar peneliti memiliki landasan atau da-­‐ sar untuk mengidentifikasi bentuk resis-­‐ tensi yang muncul. Peristiwa-­‐peristiwa dan tindakan yang dilakukan oleh tokoh utama dalam mengatasi peristiwa yang muncul dianalisis menjadi resistensi pe-­‐ rempuan terhadap kemapanan kons-­‐ truksi budaya patriarkat.

Data penelitian ini adalah kata-­‐kata, frasa, dan wacana yang bersumber dari

sumber data primer berupa cerpen “Mak Ipah dan Bunga-­‐Bunga” dan “Sejak Bo-­‐ neka Porselin Berpipi Merah itu Pecah” karya Intan Paramaditha. Cerpen terse-­‐ but merupakan bagian dari antologi

cerpen yang berjudul Sihir Perempuan yang diterbitkan pada tahun 2005 oleh penerbit Kata Kita di Jakarta. Data pene-­‐ litian ini berasal sumber data primer, cerpen “Mak Ipah dan Bunga-­‐Bunga” dan “Sejak Boneka Porselin Berpipi Me-­‐ rah itu Pecah” karya Intan Paramadhita serta sumber data sekunder dokumen tertulis yang berupa sejumlah teks, baik yang membahas antologi cerpen Sihir Perempuan maupun tulisan lain yang di-­‐ anggap berkaitan dengan penelitian ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam realitas sosial yang menganut konstruksi budaya hasil kaum patriarkat, perempuan selalu menjadi pihak yang subordinat. Dikotomi peran antara laki-­‐ laki dan perempuan menempatkan ka-­‐ um perempuan hanya memiliki peran dalam tataran ranah domestik. Norma yang berlaku dewasa ini hamil, melahir-­‐ kan, menyusui, dan merawat serta men-­‐ jaga anak adalah tanggung jawab perem-­‐ puan. Atas nama tradisi dan kodrat, pe-­‐ rempuan dipandang sewajarnya ber-­‐ tanggung jawab dalam arena domestik. Hampir semua kalangan masyarakat me-­‐ nyetujui bahwa perempuan mendapat kemuliaan dengan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga hingga ibu rumah ta-­‐ ngga mendapat gelar “ratu rumah tang-­‐ ga”. Sebagai seorang ratu dalam kerang-­‐ ka patriarkat, perempuan mendampingi laki-­‐laki sebagai kepala keluarga sehing-­‐

ga perempuan sudah selayaknya mem-­‐ pertahankan nilai-­‐nilai normatif sebagai layaknya ibu rumah tangga yang ideal, anggun, lembut, cantik, dan memiliki ke-­‐ mampuan untuk mengatur segala sesu-­‐ atu yang berkaitan dengan urusan ru-­‐ mah tangga yang sifatnya melayani sega-­‐ la kebutuhan suami dan anaknya. Dalam hal ini, posisi ibu dengan predikatnya se-­‐ bagai seorang ‘ratu’ dipakai untuk mele-­‐ gitimasi patriarkat. Hal semacam itulah yang didobrak oleh cerpen Intan Paramaditha yang berjudul “Mak Ipah

ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 88-­‐101 dan Bunga-­‐Bunga” dan “Sejak Boneka

Sikap dan perilaku yang muncul da-­‐ Porselin Berpipi Merah itu Pecah”.

ri tokoh perempuan dalam cerpen ini da-­‐ pat diintepretasikan bahwa norma patri-­‐

Ratu Rumah Tangga adalah Sebuah

arkat dengan wacananya menempatkan

Paksaan dari Konstruksi Budaya

perempuan sebagai ‘ratu’ adalah sebuah Cerpen “Mak Ipah dan Bunga-­‐Bunga”

pembodohan bagi kaum perempuan. dan cerpen “Sejak Boneka Porselin Ber-­‐

Wacana tentang ‘ratu rumah tangga’ me-­‐ Pipi Merah itu Pecah” menggunakan na-­‐

nempatkan dapur dan lingkup rumah se-­‐ rator tokoh perempuan aku. Tokoh aku

bagai kekuasaan perempuan sehingga memiliki peran sebagai istri Farid yang

aktivitas memasak menjadi sebuah ke-­‐ mendobrak wacana ratu rumah tangga.

wajiban yang harus dilakukan oleh pe-­‐ Cerpen ini menampilkan sosok perem-­‐

rempuan.

puan yang melakukan pemberontakan Tokoh perempuan aku dalam cer-­‐ terhadap norma-­‐norma yang dibuat dan

pen ini menganggap bahwa memasak ditetapkan oleh patriarkat.

adalah sebuah hobi. Karena bersifat ho-­‐ Tokoh aku digambarkan sebagai so-­‐

bi, memasak bukanlah suatu kewajiban sok perempuan yang berjuang untuk ke-­‐

yang harus dilakukan oleh perempuan. luar dari tirani laki-­‐laki. Dalam hal ini, to-­‐

Jika memang seorang perempuan memi-­‐ koh aku mewakili sosok perempuan

liki hobi memasak, maka ia boleh mema-­‐ yang menggugat kemapanan dan kekua-­‐

sak sesuka hatinya, tetapi jika perem-­‐ saan sistem patriarkat yang ada di ling-­‐

puan tidak memiliki hobi memasak, ma-­‐ kungan keluarga suaminya. Norma ini

ka bukan sebuah dosa yang besar jika menganggap bahwa pada dasarnya pe-­‐

perempuan tidak mau memasak. Tidak rempuan tidak dapat meninggalkan akti-­‐

peduli apakah itu perempuan desa atau vitas kodratnya sebagai ratu rumah

perempuan kota sehingga seorang pe-­‐ tangga, seperti memasak, mencuci, dan

rempuan tidak akan dapat diidentikan melayani suami di tempat tidur.

lagi dengan urusan dapur dan segala ma-­‐ cam persoalannya.

“Wong kota ‘ndak suka masak, ya?” ta-­‐

Hal tersebut adalah sebuah usaha

nya seorang perempuan gemuk yang

untuk meresistensi dan mendekonstruk-­‐

kedua ujung kerudungnya disampirkan

si sesuatu yang telah mapan dan berlaku

di kepala seperti handuk. Ia meremas-­‐

di dalam masyarakat. Sama halnya de-­‐

remas santan kelapa di antara kedua

ngan falogosentrisme yang mengutama-­‐

kakinya.

kan kemapanan dalam pola pikiran dan

“Oh…hmm…tidak juga kenapa?” aku melirik.

sistem patriarkat. Kemapanan tersebut

“Lamo nian kau iris wortel itu. Sulit?”

dibongkar oleh cerpen ini dengan meng-­‐

Aku berusaha tersenyum ramah. Ini bu-­‐

hadirkan usaha untuk mengubah kema-­‐

kan masalah kota atau desa. Aku me-­‐

panan yang sudah ada dengan menam-­‐

mang tak suka. Memasak seharusnya

pilkan alternatif subjektif tokoh perem-­‐

menjadi hobi,

bukan

kewajiban.

puan, yaitu memasak bukanlah kewajib-­‐

(Paramadhita, 2005, hlm. 62).

an perempuan, melainkan sebuah hobi. Usaha resistensi dan dekonstruksi terse-­‐

“Oh,” aku mendesah malas. “Yang lebih

but dapat dilihat dari kutipan “Ini bukan

tidak kusukai adalah kalau orang ong-­‐

masalah kota atau desa. Aku memang

kang-­‐ongkang kaki di teras sementara

tak suka. Memasak seharusnya menjadi

aku bekerja di dapur.” (Paramaditha, 2005, hlm. 67).

hobi, bukan kewajiban.” (Paramadhita, 2005, hlm. 62).

Resistensi Perempuan terhadap Wacana … (Ery Agus Kurnianto)

Perlawanan terhadap norma se-­‐ sehingga garis keturunan laki-­‐laki tidak orang perempuan harus melayani suami

akan terputus.

juga diperlihatkan dalam cerpen ini. To-­‐ Perempuan akan menjadi seorang koh aku tidak senang dengan apa yang

ratu rumah tangga jika ia memiliki rak-­‐ dilakukan oleh suaminya, sementara ia

yat, yaitu anak. Anak adalah rakyat dan sibuk di dapur, suaminya hanya ong-­‐

suami adalah raja. Seorang ratu yang ba-­‐ kang-­‐ongkang kaki dan merokok di be-­‐

ik adalah sosok ratu yang senantiasa ha-­‐ randa rumah bersama-­‐sama dengan la-­‐

rus memikirkan kesejahteraan rakyat-­‐ ki-­‐laki yang lainnya. Keinginan tokoh

nya dan rajanya dengan cara penyerah-­‐ aku adalah adanya pembagian peran

an diri untuk melayani dan mengabdi-­‐ yang berimbang, bukan peran yang

kan diri kepada rakyat dan raja. Jadi, pe-­‐ njomplang yang memberatkan dan me-­‐

rempuan yang menjadi seorang ratu ru-­‐ nempatkan perempuan di pihak yang

mah tangga adalah perempuan yang me-­‐ tereksploitasi dan termarjinalkan. Hal

nyerahkan dirinya untuk mengabdikan tersebut dapat dilihat dalam kutipan

diri dan melayani suami serta anak-­‐ “Oh,” aku mendesah malas. “Yang lebih

anaknya.

tidak kusukai adalah kalau orang ong-­‐ Menurut anggapan tokoh aku, men-­‐ kang-­‐ongkang kaki di teras sementara

jadi istri yang patuh, melayani suami, aku bekerja di dapur.” (Paramaditha,

dan menjadi budak di rumah tangga, ti-­‐ 2005, hlm. 67).

dak membuat perempuan diakui kebe-­‐ Bagi tokoh aku, posisi perempuan

radaannya. Hal tersebut dapat dilihat da-­‐ dalam perkawinan dibentuk oleh sistem

lam kutipan peristiwa berikut ini yang membelenggu dan kejam untuk pe-­‐ rempuan. Pikiran tokoh aku yang sarkas-­‐

“Aku membungkuk untuk meletakkan

tis terhadap perkawinan ini terbentuk

gelas-­‐gelas di meja kecil. Demikianlah

dari pengalaman ketika ia berada di ling-­‐

mereka ingin memajangku. Pengantin

kungan keluarga suaminya.

baru yang manis, berlaku santun, dan gemar di dapur. Kudengar salah se-­‐

orang tua berkomentar kagum … “Awak pengantin baru,” celetuk perem-­‐

puan bergigi hitam di sebelahnya. “Baru (Paramaditha, 2005, hlm. 63). belajar!” “Baru belajar boleh, tapi harus

cepat-­‐cepat isi!” (Paramaditha, 2005,

Tokoh aku menganggap keberada-­‐

hlm. 62).

an dirinya hanyalah sebuah benda hias-­‐ an yang dipajang dan dipamerkan kepa-­‐

da setiap orang. Seorang perempuan me-­‐ perempuan hanya dijadikan mesin pro-­‐

Dari dialog itu terlihat bahwa

nyandang predikat sebagai seorang istri duksi anak untuk meneruskan garis ke-­‐

yang baik karena telah melakukan kewa-­‐ turunan. Hal tersebut seolah-­‐olah menja-­‐

jiban sebagai seorang istri yang baik de-­‐ di suatu kewajiban yang harus dilakukan

ngan melakukan pelayanan terhadap istri terhadap suami sebagai bentuk nya-­‐

suami.

ta sebuah pelayanan dan pegabdian diri. Keadaan lain yang membuat pemi-­‐ Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa

kiran tokoh aku sarkastis terhadap per-­‐ perempuan adalah mesin produksi anak

kawinan adalah pada saat ia melihat ba-­‐ sehingga dituntut untuk memberikan

gaimana perempuan-­‐perempuan de-­‐ keturunan tanpa ada alasan menunda-­‐

ngan sukarela berada di dapur bercam-­‐ nya. Salah satu tolok ukur perempuan

pur dengan pengapnya asap, sedangkan sukses dalam rumah tangga adalah jika

laki-­‐laki mengobrol di teras. Hal ini ada-­‐ perempuan mampu memberikan anak

lah basis kultural yang merupakan hasil perluasan dari konstruksi seksualitas

ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 88-­‐101 perempuan yang berimplikasi pada pro-­‐

dengan santai dan enaknya ongkang-­‐ ses disposisi dan relasi gender yang tim-­‐

ongkang kaki di teras sambil merokok pang. Budaya patriarkat yang phallocen-­‐

dan dilayani oleh perempuan. Hal terse-­‐ tris memberikan privilege laki-­‐laki pada

but muncul dan berakar dari pandangan posisi superior dan inferior pada perem-­‐

yang universal bahwa laki-­‐laki secara puan. Keinferioran inilah yang membuat

alamiah memiliki sifat yang agresif se-­‐ perempuan tidak memiliki kebebasan

dangkan perempuan bersifat pasif dan untuk memilih. Perempuan selalu akan

submisif yang menempatkannya pada mengikuti konstruksi budaya yang su-­‐

sex provider, laki-­‐laki adalah pihak yang dah ada dan telah membumi meskipun

dilayani dan perempuan adalah pihak konstruksi budaya itu lebih banyak me-­‐

yang melayani. Konsep melayani dan di-­‐ rugikan perempuan daripada mengun-­‐

layani muncul karena adanya relasi kua-­‐ tungkan perempuan. Oleh karena itu, pa-­‐

sa. Laki-­‐laki memberi dan perempuan

da saat perempuan harus berjibaku di menerima atau diberi. Dalam konstruksi dapur dan laki-­‐laki dengan enaknya

masyarakat pihak yang memberi akan duduk-­‐duduk menanti untuk dilayani,

memiliki kekuasaan yang lebih tinggi da-­‐ itu adalah sebuah hasil konstruksi bu-­‐

ripada pihak yang diberi. Oleh karena daya yang dibumikan oleh laki-­‐laki. Oleh

itu, sudah sewajarnya jika yang memberi karena sudah membumi, akhirnya kon-­‐

dilayani oleh yang diberi. struksi budaya itu bergeser kepada se-­‐

Namun, dari kedua kutipan tersebut buah keyakinan bahwa hal tersebut me-­‐

dapat dilihat bagaimana sikap golongan rupakan kodrat atau garis hidup yang

perempuan tua yang senang dengan pe-­‐ memang harus dijalani oleh perempuan.

ranan dan kedudukan yang diberikan la-­‐ Sudah menjadi sebuah kewajiban jika

ki-­‐laki kepada mereka. Mereka adalah perempuan harus melayani laki-­‐laki dan

golongan perempuan normatif yang ber-­‐ laki-­‐laki menduduki posisi yang dilayani.

bahagia dengan kondisi yang sudah ada. Mereka dapat bercanda, bergosip, dan

“Dapur besar berlantai hitam itu becek

tertawa. Pengarang menyebutnya secara

dan pekat dengan bau cabai, kunyit, ba-­‐

eksplisit dengan istilah “kebahagiaan ko-­‐

wang putih, dan ketiak. Belasan perem-­‐

munal yang didapat” (Paramaditha,

puan duduk bersimpuh atau berselon-­‐

2005, hlm. 62). Perkawinan adalah sebu-­‐

jor di depan bakul besar berisi sayur-­‐

ah lembaga yang merampas kebebasan

sayuran berbeda.

perempuan dalam bereksistensi. Perem-­‐

... Kebahagiaan komunal didapat dari me-­‐

puan dengan sukarela menukarkan ke-­‐

nyiapkan makanan melimpah yang di-­‐

bebasannya dengan ketenangan, kema-­‐

masak di kuali-­‐kuali

raksasa.”

panan, dan kepuasan dalam berumah

(Paramaditha, 2005, hlm. 61-­‐62)

tangga

Tampaknya ideologi yang muncul

“Sekalian antar ini ke depan,” Wak Siti

dalam teks ini adalah bahwa patriarkat

menyodorkan nampan berisi enam ge-­‐

sebagai suatu sistem tetaplah kokoh dan

las kopi tubruk dan dua piring besar pi-­‐

mapan karena diwariskan secara terus

sang goreng. “Mang Dayat la datang.”

menerus oleh generasi selanjutnya dan

(Paramaditha, 2005, hlm. 63).

secara tidak langsung perempuan juga

memiliki peran dalam mengokohkan sis-­‐ Kutipan tersebut memperlihatkan

tem tersebut dengan cara mewariskan dua keadaan yang sangat kontras me-­‐

pola-­‐pola yang dibentuk patriarkat kepa-­‐ nyangkut kedudukan perempuan dan la-­‐

da perempuan generasi muda. Dalam ce-­‐ ki-­‐laki. Di satu sisi prempuan harus be-­‐

rita pendek ini, tokoh aku sebagai kerja keras di dapur, di sisi lain laki-­‐laki

Resistensi Perempuan terhadap Wacana … (Ery Agus Kurnianto)

feminis tidak kalah dan tidak menang. Dia masih terus melanjutkan perjuang-­‐ annya. Permintaan maaf Farid terhadap tokoh aku memang merupakan simbol kekalahan atribut-­‐atribut patriarkat. Na-­‐ mun, masih ada laki-­‐laki generasi tua yang senang dengan kekuasaan atas pe-­‐ rempuan yang dimilikinya secara turun-­‐ temurun. Golongan laki-­‐laki tersebut akan terus melestarikan dan mewaris-­‐ kan tradisi tersebut kepada generasi mu-­‐

da. Dengan demikian, sistem patriarkat tidak akan pernah kalah, sistem tersebut

diwarisi dan dilanjutkan oleh generasi penerus.

Perlawanan tokoh perempuan ter-­‐ hadap kemapanan konstruksi budaya patriarkat tentang wacana ratu rumah tangga dalam cerpen “Mak Ipah dan Bunga-­‐Bunga” menunjukkan bahwa ada suatu hal yang diperjuangkan oleh Intan Paramaditha melalui karya yang dicip-­‐ takannya. Keinginan tokoh perempuan dalam cerpen “Mak Ipah dan Bunga-­‐Bu-­‐ nga” mencapai sebuah kemitrasejajaran laki-­‐laki dan perempuan atau kesetaraan gender merupakan wujud dari sebuah gerakan yang bertujuan menggugat ke-­‐ mapanan pemikiran konvensional. Pe-­‐ mikiran yang selama ini telah menem-­‐ patkan perempuan pada sisi gelap dan menempatkan perempuan dalam posisi yang terepresi atau tertekan karena ha-­‐ rus mengikuti sejumlah norma yang di-­‐ buat dan ditentukan oleh laki-­‐laki. Hal itu juga menjadi penyebab berkembang-­‐ nya pemahaman tentang posisi perem-­‐ puan yang sangat bias gender dalam masyarakat. Perempuan menjadi second class.

Melalui tokoh perempuan yang di-­‐ tampilkan dalam “Mak Ipah dan Bunga-­‐

Bunga”, Intan Paramaditha menggugah pembaca untuk mengetahui sisi pe-­‐ rempuan yang selama ini tidak terjamah. Intan Paramaditha menghadirkan waca-­‐ na perempuan melalui perjuangan tokoh perempuan untuk menguak tabir yang

selama ini dipandang dari kejauhan. Per-­‐ soalan yang selama ini tidak mendapat-­‐ kan perhatian dari kaum laki-­‐laki.

Menjadi Ratu Rumah Tangga adalah Sebuah Pilihan

Wacana tentang ratu rumah tangga dite-­‐ mukan juga dalam cerpen “Sejak Por-­‐ selin Berpipi Merah itu Pecah” (SPBMiP). Cerpen SPBMiP menggunakan sudut pandang impersonal. Sudjiman (1991) menyatakan bahwa sudut pandang im-­‐ personal adalah sebuah teknik cerita yang menempatkan pengarang dalam posisi sama sekali berdiri di luar alur ce-­‐ rita. Ia sama sekali tidak terlibat dengan konflik atau peristiwa yang terjadi di da-­‐ lam cerita. Namun demikian, pengarang menduduki posisi sebagai sosok yang serba tahu (author omniscient), serba melihat, dan serba mendengar. Penga-­‐ rang dapat melihat sampai ke dalam pi-­‐

kiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling dalam dari to-­‐ koh (hlm. 76). Narator dalam cerpen ini berada di luar alur cerita. Ia hanya me-­‐ ngisahkan kehidupan sepasang suami is-­‐ tri di usia tuanya tanpa ada anak yang hadir di tengah-­‐tengah mereka. Dengan serba tahunya, narator bercerita tentang aktivitas keduanya dalam mengisi hari-­‐ hari mereka. Narator juga mengisahkan bagaimana suasana hati tokoh pada saat barang yang sangat mereka cintai rusak.