PROFIL PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA CALO

Seminar Nasional 2015 Lembaga Penelitian UNM
Optimalisasi Hasil-Hasil Penelitian Dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan
Ruang Teater Gedung PINISI UNM, 13 Juni 2015

PROFIL PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
CALON GURU BERDASARKAN TAKSONOMI BERPIKIR
REFLEKTIF DITINJAU DARI PERBEDAAN GAYA
KOGNITIF
AGUSTAN S.
Universitas Muhammadiyah Makassar
e-mail: agus.sahabat@gmail.com
Abstrak: Dalam pembelajaran matematika, peserta didik diharuskan memiliki kompetensi
memecahkan masalah yang dihadapinya. Kemampuan berpikir yang dapat diterapkan dalam
pembelajaran matematika adalah kemampuan berpikir reflektif, karena berpikir reflektif
merupakan suatu tipe berpikir tingkat tinggi yang bersifat mendorong rasa ingin tahu. Salah
satu model berpikir reflektif yang diberi nama taksonomi berpikir reflektif bertujuan untuk
melihat kemampuan berpikir reflektif seseorang dengan mengecek, mengevaluasi atau menguji
kebenaran dari tugas atau pemecahan masalah yang telah ia lakukan. Hal tersebut menegaskan
bahwa keterampilan berpikir reflektif yang mendorong rasa ingin tahu siswa merupakan
kompetensi masa depan yang harus diajarkan kepada siswa untuk menjawab tantangan
globalisasi dan mampu beradaptasi dengan perubahan dan merespon tuntutan abad ke-21. Setiap

orang mempunyai gaya kognitif yang berbeda-beda sebagai karakteristik dalam memproses atau
mengolah informasi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kemampuan pemecahan masalah
matematika calon guru berdasarkan taksonomi berpikir reflektif ditinjau dari perbedaan gaya
kognitif. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan pendekatan kualitatif untuk
mendeskripsikan secara mendalam terkait kemampuan pemecahan masalah calon guru yang
dapat dilihat dari perilaku mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan berdasarkan
taksonomi berpikir reflektif. Adapun tahap-tahap yang akan dilakukan dalam mencapai tujuan
tersebut adalah: (a) tahap pertama, penentuan subjek penelitian yang mempunyai gaya kognitif
FI dan FD dengan menggunakan kriteria tertentu; (b) tahap kedua, menyusun tugas pemecahan
masalah berdasarkan taksonomi berpikir reflektif yang telah divalidasi oleh beberapa ahli; (c)
tahap ketiga, wawancara yang bersifat tidak terstruktur informal untuk memverifikasi data dari
tugas pemecahan masalah; (d) tahap keempat, perekaman dengan recorder dan menggunakan
catatan. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada informasi yang terlewatkan atau hilang selama
wawancara; (e) tahap kelima, analisis data penelitian terkait proses pemecahan masalah
matematika yang dilakukan oleh subjek (calon guru) berdasarkan taksonomi berpikir reflektif
ditinjau dari perbedaan gaya kognitif.
Kata Kunci: pemecahan masalah, taksonomi berpikir reflektif, gaya kognitif

mental (Soedjadi, 2007). Dalam
pembelajaran matematika, setiap peserta

didik diharuskan memiliki kompetensi
memecahkan masalah yang dihadapinya
dan direkomendasikan untuk dilatihkan
serta dimunculkan sejak anak belajar

PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu
ilmu dasar yang mempunyai peranan
penting dalam penguasaan sains dan
teknologi karena ia dapat memberikan
penataan nalar dan pembentukan sikap
447

PROSIDING, ISSN : 2460-1322
matematika dari Sekolah Dasar
(NCTM, 2000; Depdiknas, 2006).
Mengingat pentingnya peranan
matematika,
sudah
selayaknyalah

penanganan
proses
pembelajaran
matematika harus dilakukan dengan
baik. Untuk mencapai tujuan tersebut,
diperlukan
penanganan
proses
pembelajaran
matematika
yang
mengasah kemampuan berpikir siswa
dalam
meningkatkan
kualitas
pembelajaran yang berorientasi pada
pencapaian
hasil
yang
standar

(Kuswana, 2011). Keterampilan yang
dibutuhkan untuk memasuki abad 21,
yaitu
keterampilan
kognitif,
keterampilan
interpersonal,
dan
keterampilan intrapersonal.
Keterampilan
yang
memungkinkan untuk menangani proses
pembelajaran matematika di atas adalah
keterampilan berpikir reflektif, karena
keterampilan berpikir reflektif dapat
diterapkan
dalam
pembelajaran
matematika (Odafe, 2008). Selain itu,
berpikir reflektif merupakan suatu tipe

berpikir tingkat tinggi yang bersifat
mendorong rasa ingin tahu siswa dan
memperlihatkan keterkaitan antara
materi pembelajaran serta pembelajaran
yang berlangsung dalam komunitas
dengan interaksi belajar maupun
interaksi sosial (Lipman, 2003).
Selain itu, beberapa lembaga
pendidikan
dan
pengembangan
profesional guru telah melakukan
pembelajaran
alternatif
untuk
meningkatkan keterampilan berpikir
reflektif
yang
bermanfaat
bagi

mahasiswa calon guru. Manfaat tersebut
dapat dirasakan selama menjadi
mahasiswa dan setelah mahasiswa
menyelesaikan pendidikan di LPTK
(Lee, 2005).
Lebih lanjut, Ambrose (2004),
Gelter (2003) dan Koszalka (2001) yang
menyatakan bahwa berpikir reflektif
telah diidentifikasi sebagai komponen
penting dalam pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada peserta

didik untuk membenarkan miskonsepsi
dengan membantu siswa untuk berpikir
apa yang mereka lakukan dan mengapa
mereka melakukan hal tersebut.
Dengan berpikir reflektif siswa
dapat memecahkan masalah yang lebih
kompleks karena pemikiran siswa akan
terarah dan siswa yang berpikir reflektif

solusi atau penyelesaian dari masalah
yang dipecahkan cenderung benar dan
tepat. Hal ini sesuai dengan penelitian
King dan Kitchener (Koszalka, 2001)
yang menyatakan bahwa berpikir
reflektif membantu seseorang dalam
menyelesaikan masalah yang kompleks,
karena berpikir reflektif membantu
seseorang mengidentifikasi konsep,
fakta, formula, dan teori-teori yang
relevan terhadap solusi dari masalah
yang diidentifikasi. Selain itu, berpikir
reflektif juga melibatkan proses
menganalisis,
membandingkan,
mensintesis,
mengklarifikasi,
dan
memilih apa yang seseorang lakukan
yang menunjukkan kegiatan refleksi itu

sendiri (Kocoglu, 2008; Henderson,
2004).
Petter
Pappas
(2010)
mengembangkan suatu model berpikir
reflektif yang diberi nama taksonomi
berpikir reflektif. Taksonomi ini
disusun untuk melihat kemampuan
berpikir reflektif seseorang dengan
mengecek, mengevaluasi atau menguji
kebenaran dari tugas atau pemecahan
masalah yang telah ia lakukan maupun
masalah-masalah dalam pembelajaran.
Taksonomi merupakan suatu klasifikasi
khusus berdasarkan data penelitian
ilmiah
mengenai
hal-hal
yang

digolongkan dalam sistematika tertentu
(Anderson and Krathwhl, 2001).
Taksonomi berpikir reflektif menurut
Pappas
(2010)
merupakan
penggolongan
tugas
ketika
pembelajaran atau pemecahan masalah
telah dilakukakan yang terdiri atas enam
level
yang diparalelkan dengan
taksonomi Bloom.
448

Seminar Nasional 2015 Lembaga Penelitian UNM
Optimalisasi Hasil-Hasil Penelitian Dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan
Ruang Teater Gedung PINISI UNM, 13 Juni 2015


Setiap orang mempunyai karakter
yang berbeda-beda atau unik (Soedjadi,
2000), sehingga untuk mempelajari,
menguasai,
memproses
informasi,
memecahkan masalah, dan mengajarkan
materi dengan baik, dalam hal ini
pelajaran matematika, seseorang akan
melakukannya dengan cara yang
berbeda-beda pula (Stiff & Curcio,
1999).
Setiap mahasiswa mempunyai
gaya
kognitif
masing-masing.
Perbedaan gaya kognitif mahasiswa
yang berbeda-beda ini memengaruhi
kemampuan mahasiswa dalam berpikir
reflektif dan memecahkan masalah. Hal

ini sesuai dengan pendapat Coop dan
Sigel (Ardana: 2002), bahwa gaya
kognitif mempunyai korelasi dengan
perilaku intelektual dan perseptual.
Intelektual terkait dengan kemampuan
seseorang dalam berpikir, sedangkan
perseptual terkait dengan kemampuan
seseorang dalam memandang atau
menafsirkan sesuatu.
Konsep
gaya
kognitif
lain
dikembangkan oleh Witkin, et.al yang
berdasarkan pada analitis global yang
kontinu. Berdasarkan konsep ini, gaya
kognitif dibedakan menjadi fieldindpendent (FI) dan field-dependent
(FD). Individu yang FI lebih bersifat
analitis, mereka dapat memilih stimulus
berdasarkan
situasi,
sehingga
persepsinya hanya sebagian kecil
terpengaruh ketika ada perubahan
situasi. Mereka lebih suka memisahkan
bagian-bagian dari sejumlah pola dan
menganalisis
pola
berdasarkan
komponen-komponennya. Sedangkan
individu yang FD cenderung mengalami
kesulitan dalam membedakan stimulus
melalui situasi yang dimiliki sehingga
persepsinya mudah dipengaruhi oleh
manipulasi dari sekelilingnya. Mereka
cenderung memandang suatu pola
sebagai
keseluruhan,
tidak
memisahkannya ke dalam bagianbagian.

Berdasarkan pendapat di atas,
dapat dikatakan bahwa individu yang
memiliki gaya kognitif FI mempunyai
kecenderungan merespon stimulus
menggunakan persepsi yang dimilikinya
sendiri, lebih analitis, dan menganalisis
pola
berdasarkan
komponenkomponennya. Sedangkan individu
yang memiliki gaya kognitif FD
mempunyai kecenderungan merespon
suatu stimulus menggunakan syarat
lingkungan sebagai dasar dalam
persepsinya, dan cenderung memandang
suatu pola sebagai suatu keseluruhan,
tidak memisahkan bagian-bagiannya.
Saat ini berpikir reflektif adalah hal
yang sangat menarik untuk dikaji. Hal
ini sesuai dengan penelitian Lim (2011)
dan Amidu (2012) yang menyatakan
bahwa berpikir reflektif telah menjadi
isu yang paling menonjol pada berbagai
literatur, secara khusus pada pendidikan
profesi guru. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka lembaga pendidikan
yang menciptakan tenaga pengajar atau
guru harus dapat menciptakan guru
yang mampu berpikir reflektif. Hal
senada yang dikemukakan oleh Goodell
(2000) dan Ville (2010) menyatakan
bahwa salah satu tujuan dari lembaga
pendidikan dan tenaga kependidikan
atau LPTK adalah menciptakan guru
yang bertanggung jawab dan mampu
berpikir reflektif.
Akan tetapi, Rodgers (2002)
mengungkapkan bahwa kurangnya
definisi atau pengertian tentang berpikir
reflektif dan kriteria yang jelas untuk
mengukur berpikir reflektif itu sendiri
mempengaruhi pelaksanaan kegiatan
reflektif dalam pembelajaran dan
penguasaan konsep matematika. Apa
yang dikemukakan oleh Rodgers
tersebut menunjukan bahwa belum ada
definisi dan kriteria yang jelas untuk
mengukur
kemampuan
berpikir
reflektif. Hal inilah yang menarik untuk
diketahui oleh penulis bagaimana
berpikir reflektif dapat dimunculkan dan
449

PROSIDING, ISSN : 2460-1322
dapat
terjadi
khususnya
dalam
pemecahan masalah matematika.
Telah dijelaskan juga sebelumnya
bahwa setiap mahasiswa mempunyai
gaya kognitif masing-masing. Dengan
adanya gaya kognitif yang berbedabeda, ada kemungkinan mahasiswa
memecahkan masalah
matematika
dengan cara yang berbeda pula, sesuai
dengan
kemampuan
berpikir
reflektifnya dan persepsinya terhadap
masalah
yang diberikan. Untuk
mengetahui apakah hal tersebut benarbenar terjadi, perlu ditelusuri lebih
lanjut. Oleh karena itu, penulis
memandang perlu bahwa untuk
mengetahui proses pemecahan masalah
matematika berdasarkan taksonomi
berpikir reflektif yang dilakukan oleh
mahasiswa harus pula memperhatikan
gaya kognitif mereka.
KAJIAN
HASIL
PENELITIAN
PADA JURNAL ILMIAH
Dalam beberapa tahun terakhir
berpikir reflektif menjadi istilah yang
sangat populer dalam dunia pendidikan.
Saat ini berpikir reflektif telah menjadi
isu yang paling menonjol pada berbagai
literatur, secara khusus pada pendidikan
profesi guru (Lim,2011; Amidu, 2012).
Karena banyak alasan, para pendidik
lebih
tertarik
mengajarkan
keterampilan-keterampilan
berpikir
dengan
berbagai
cara
daripada
mengajarkan informasi dan isi (konten)
dari materi.
Menurut Dewey dalam Fisher
(2008), ia mendefinisikan berpikir
reflektif sebagai berikut:
“Reflective thinking is active,
persistent,
and
careful
consideration of any belief or
suppose from of knowledge in the
light of the grounds that support it
and the conclusion to which it
tends”.

dan teliti mengenai sebuah keyakinan
ataupun bentuk pengetahuan yang
diterima begitu saja dipandang dari
sudut
alasan-alasan
yang
dapat
mendukung
kebenaran
keyakinan
tersebut hingga menuju pada suatu
kesimpulan
yang
menjadi
kecenderungan
akan
kebenaran
keyakinan tersebut (Fisher, 2008).
Dewey (Roh, K & Lee, Y, 2010)
mengemukakan bahwa terdapat enam
fase dalam berpikir reflektif yaitu:
a) An experience (pengalaman)
b) Spontaneous interpretation of the
experience (interpretasi spontanitas
terhadap pengalaman).
c) Naming the problem or question that
arise out of the experience
(menyebutkan
masalah
atau
pertanyaan yang muncul berdasarkan
pengalaman)
d) Generating possible explanations for
the problem or question posed
(membangun
atau
menyusun
penjelasan-penjelasan yang mungkin
dari masalah atau pertanyaanpertanyaan yang diberikan).
e) Ramifying the explanation into fullblown
hypotheses
(memberikan
penjelasan-penjelasan
kedalam
bentuk hipotesis yang jelas).
f) Experimenting or testing the selected
hypotheses (memperaktekankan atau
mengetes/menguji hipotesis yang
dipilih).
Sedangkan menurut Lee (2000)
terdapat lima fase berpikir reflektif
yaitu:
a) Problem
context
(identifikasi
masalah)
b) Problem definition (membatasi atau
mendefinisikan masalah)
c) Seeking possible solution (mencari
solusi yang mungkin)
d) Experimentation (memperaktekkan
salah satu kemungkinan pemecahan
masalah atau solusi yang terbaik
dilakukan)
e) Evaluation (mengevaluasi/menguji)

Pendapat di atas mengisyaratkan
bahwa
berpikir
reflektif
adalah
pertimbangan yang aktif, terus-menerus,
450

Seminar Nasional 2015 Lembaga Penelitian UNM
Optimalisasi Hasil-Hasil Penelitian Dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan
Ruang Teater Gedung PINISI UNM, 13 Juni 2015

f) Acceptance/rejection (menerima atau
menolak)
Sementara itu Rodgers (2002)
mengemukakan bahwa terdapat empat
fase pada proses berpikir reflektif
sebagai berikut:
a) Presence to experience (menghadirkan
pengalaman)
b) Descripton
of
experience
(mendeskripsikan pengalaman)

c) Analysis of experience (menganalisis
pengalaman)
d) Intelligent
action/experimentation
(memperaktekkan
salah
satu
kemungkinan pemecahan masalah
yang terbaik).
Berdasar
beberapa
pendapat
sebelumnya, maka proses berpikir
reflektif dapat digambarkan pada tabel
1. berikut:

Tabel 1. Perbandingan Pengertian Proses Berpikir Reflektif
Dewey
(1933)

Pengalaman

Interpretasi
spontanitas
terhadap
pengalaman

Menyebutkan
masalah
berdasarkan
pengalaman

Menyusun
penjelasan yang
mungkin dari
masalah

Memberikan
penjelasan
dalam
bentuk
hipotesis

Lee
(2000)

Identifikasi
masalah

Membatasi
masalah

Experimentation
(Memperaktekkan)

Menguji
solusi

Rodgers
(2002)

Menghadirkan
pengalaman

Mendeskripsikan
pengalaman

Mencari
solusi yang
mungkin
Menganalisis
pengalaman

Berdasar tabel 1. di atas tampak
bahwa ciri pokok dari proses berpikir
reflektif terletak pada pemberdayaan
pengalaman atau pengetahuan lalu yang
dimiliki seseorang yaitu dengan
memperaktekkan
(experimentating)
salah satu kemungkinan pemecahan
masalah yang terbaik. Bila pendapatpendapat di atas dirangkum, maka akan
didapat tahap, yaitu mengidentifikasi
masalah, membatasi dan merumuskan
masalah,
mengajukan
beberapa
kemungkinan
alternatif
solusi
pemecahan masalah, mengumpulkan
data
yang
dibutuhkan
untuk
memecahkan masalah, dan melakukan
tes atau pengujian (experimentation)
untuk menguji solusi pemecahan
masalah serta menggunakannya sebagai
bahan
pertimbangan
membuat
kesimpulan dari pemecahan masalah
matematika yang dilakukan.
Untuk mengetahui apa yang
terjadi ketika melakukan tahapan-

Experimenting
or testing the
selected
hypotheses
(Menguji
hipotesis yang
dipilih)
Menerima
atau menolak
solusi

Experimentation (Memperaktekkan)

tahapan tersebut, mahasiswa atau subjek
penelitian akan diwawancarai secara
mendalam mengenai hal-hal yang
menyangkut keempat tahap itu dan
kaitan-kaitan
yang
mungkin
mempengaruhinya.
Petter
Pappas
(2010)
mengembangkan suatu model berpikir
reflektif yang diberi nama taksonomi
berpikir reflektif. Taksonomi ini
disusun untuk melihat kemampuan
berpikir reflektif seseorang dari tugas
atau pemecahan masalah yang telah ia
lakukan. Taksonomi merupakan suatu
klasifikasi khusus berdasarkan data
penelitian ilmiah mengenai hal-hal yang
digolongkan dalam sistematika tertentu
(Anderson and Krathwhl, 2001).
Berikut ini model berpikir reflektif yang
dikembangkan oleh Peter Pappas
(2010).

451

PROSIDING, ISSN : 2460-1322

Taksonomi berpikir reflektif menurut
Pappas
(2010)
merupakan
penggolongan tugas ketika pemecahan
masalah telah dilakukakan yang terdiri
atas enam level yang diparalelkan
dengan taksonomi Bloom. Keenam
level tersebut adalah (1) What did I do? ,
(2) What was important about it? (3)
Where could I use this again? (4) Do I
see any patterns in what I did? (5) How
well did I do? dan (6) What should I do
next? . Berikut penjabaran karakteristik
dari taksonomi berpikir reflektif
disajikan pada Tabel 2. berikut.
Gambar 1.1. Model Berpikir
Reflektif Peter Pappas
Tabel 2. Karakteristik dari Taksonomi Berpikir Reflektif
Taxonomi Berpikir
Reflektif
Remembering
(mengingat): What did I
do? (Apa yang saya
lakukan?)
Understanding
(memahami): What was
important about it?
(Hal-hal apa saja yang
penting dalam
penyelesaian atau
pemecahan masalah
tersebut?)
Applying
(menerapkan): Where
could I use this again?
(dimana saya gunakan
informasi tersebut?)
Analyzing
(menganalisis): Do I see
any patterns in what I
did? (pola-pola apa saja
yang saya gunakan
ketika memecahkan
masalah?)
Evaluating
(mengevaluasi): How
well did I do?
(Bagaimana saya
melakukan atau

Deskriptor
Kemampuan menyebutkan kembali informasi atau pengetahuan yang
tersimpan dalam ingatan. Kemampuan tersebut terkait dengan masalah
yang diselesaikan. Masalah apa yang telah diselesaikan dan bagaimana
menangani masalah tersebut terkait dengan konten ataupun tahap-tahap
yang telah dilakukan dalam pemecahan masalah.
Kemampuan memahami instruksi dan menegaskan pengertian atau
makna ide atau konsep yang terdapat dalam masalah yang telah
diselesaikan baik dalam bentuk lisan, tertulis, maupun grafik atau
diagram. Menjelaskan komponen-komponen yang terdapat dalam
masalah yang telah dipecahkan dan bagaimana mengaitkan komponenkomponen tersebut dengan menggunakan strategi-strategi yang tepat.

Kemampuan melakukan sesuatu dan mengaplikasikan konsep dalam
situasi tertentu. Bagaimana menerapkan pengetahuan konten, proses,
maupun produk atau hasil dari pemecahan masalah yang dilakukan
sebelumnya. Bagaimana kemampuan mengadaptasi dan memodifikasi
pendekatan-pendekatan yang dilakukan ketika pemecahan masalah
telah dilakukan terhadap pemecahan-pemecahan masalah lainnya.
Kemampuan memisahkan konsep kedalam beberapa komponen dan
menghubungkan satu sama lain untuk memperoleh pemahaman atas
konsep tersebut secara utuh. Hal tersebut terkait dengan keefektifan
strategi-strategi, keterampilan-keterampilan dan prosedur yang
digunakan dalam pemecahan masalah. Pola-pola apa yang digunakan
sebagai pendekatan dalam pengambilan keputusan.
Kemampuan menetapkan derajat sesuatu berdasarkan norma, kriteria
atau patokan tertentu terhadap masalah yang disajikan. Suatu
permasalahan menuntut adanya keputusan. Keputusan diambil setelah
dilakukan analisa secara menyeluruh. Untuk mendukung keputusan
yang diambil dibutuhkan aspek-aspek yang penting terkait dengan
452

Seminar Nasional 2015 Lembaga Penelitian UNM
Optimalisasi Hasil-Hasil Penelitian Dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan
Ruang Teater Gedung PINISI UNM, 13 Juni 2015
menyelesaikan dengan
baik?)
Creating (mencipta):
What Should I do next?
(Apa yang seharusnya
saya lakukan
selanjutnya?)

kemampuan
mengukur,
mengoreksi
pengukuran.
Sehingga
pengambilan keputusan didasarkan pada pengetahuan dan keterampilan
yang telah dicapai.
Kemampuan memadukan unsur-unsur menjadi sesuatu bentuk baru
yang utuh dan koheren, atau membuat sesuatu yang original.
Menggabungkan atau reorganisasi unsur ke dalam pola baru atau
struktur. Hal tersebut bisa digambarkan melalui Langkah-langkah apa
yang harus diambil atau kemampuan-kemampuan yang harus
digunakan dalam pemecahan masalah Bagaimana menyesuaikan
pengetahuan konten atau keterampilan untuk membuat perbedaan
dalam pemecahan masalah.

Setiap orang mempunyai karakter
yang berbeda-beda atau unik (Soedjadi,
2000), sehingga untuk mempelajari,
menguasai,
memproses
informasi,
memecahkan masalah, dan mengajarkan
materi dengan baik, dalam hal ini
pelajaran matematika, seseorang akan
melakukannya dengan cara yang
berbeda-beda pula (Stiff & Curcio,
1999).
Dengan
demikian,
perbedaan
karakteristik
dalam
memecahkan
masalah matematika perlu mendapat
perhatian dari guru. Setiap individu
memiliki suatu karakteristik yang
konsisten ketika mengorganisir dan
memproses atau mengolah informasi
yang diperolehnya. Karakteristik ini
dikenal sebagai gaya kognitif dimana
hal ini dipertegas oleh Tennant (1988)
dan Witkin (1971) yang menyatakan
bahwa gaya kognitif merupakan suatu
karakteristik dalam proses berpikir yang
konsisten dan tercermin pada individu
ketika individu tersebut memproses atau
mengolah informasi.
Berbagai definisi gaya kognitif
yang dikemukakan oleh para ahli
psikologi dan pengertian itu berbedabeda tergantung dari penafsiran ahli
yang bersangkutan. Slameto (2010)
mendefinisikan gaya kognitif sebagai
sikap, pilihan atau strategi yang secara
stabil menentukan cara-cara seseorang
yang khas dalam menerima, mengingat,
berpikir dan memecahkan masalah.
Woolfolk (1998) mengemukakan bahwa
gaya kognitif merupakan cara seseorang

dalam menerima dan mengorganisasi
informasi. Lebih rinci, Aiken (1997)
menyatakan gaya kognitif sebagai
pendekatan
untuk
menerima,
mengingat, dan berpikir yang cenderung
digunakan oleh seorang individu.
Dari beberapa pendapat tentang
definisi gaya kognitif di atas, maka
dalam penelitian ini dapat dikemukakan
bahwa gaya kognitif merupakan
karakteristik individu sebagai cara atau
kecenderungan seseorang dalam hal
memahami,
mengingat,
mengorganisasikan dan memproses
informasi, cara berpikir maupun dalam
memecahkan masalah.
Penelitian ini difokuskan pada
gaya kognitif field independet dan field
dependent yang dikembangkan oleh
Witkin, et.al. Witkin, et.al (Saracho,
1997) berpendapat bahwa individu yang
FI lebih bersifat analitis, percaya diri,
mereka dapat memilih stimulus
berdasarkan
situasi,
sehingga
persepsinya hanya sebagian kecil
terpengaruh ketika ada perubahan
situasi. Mereka lebih suka memisahkan
bagian-bagian dari sejumlah pola dan
menganalisis
pola
berdasarkan
komponen-komponennya.
Sedangkan individu yang FD
cenderung mengalami kesulitan dalam
membedakan stimulus melalui situasi
yang dimiliki sehingga persepsinya
mudah dipengaruhi oleh manipulasi dari
sekelilingnya.
Mereka
cenderung
memandang suatu
pola sebagai
keseluruhan, tidak memisahkannya ke
453

PROSIDING, ISSN : 2460-1322
dalam bagian-bagian. Berdasarkan
pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa
individu yang memiliki gaya kognitif FI
mempunyai kecenderungan merespon
stimulus menggunakan persepsi yang
dimilikinya sendiri, lebih analitis, dan
menganalisis
pola
berdasarkan
komponen-komponennya. Sedangkan
individu yang memiliki gaya kognitif
FD
mempunyai
kecenderungan
merespon suatu stimulus menggunakan
syarat lingkungan sebagai dasar dalam
persepsinya, dan cenderung memandang
suatu pola sebagai suatu keseluruhan
(global), tidak memisahkan bagianbagiannya.
Instrumen yang digunakan untuk
mengukur gaya kognitif FI dan FD
dalam penelitian ini adalah instrumen
Group Embedded Figure Test (GEFT)
yang dikembangkan oleh Witkin, et.al
(Saracho,
1997).
Instrumen
ini
digunakan untuk menentukan subjek
penelitian yang mempunyai gaya
kognitif FI atau gaya kognitif FD
dengan menggunakan kriteria yang
ditentukan. Sedangkan perangkat tes ini
berbentuk gambar sederhana dan
kompleks, kemudian subjek diminta
untuk mencari bentuk yang sederhana
yang berada dalam bentuk kompleks
dengan cara menebalkan bentuk
sederhana (Witkin, et.al dalam Saracho,
1997).

diwawancarai untuk menggali lebih
dalam bagaimana siswa berpikir dan
memperoleh informasi baru yang
mungkin tidak dapat diperoleh dari
tugas yang dikerjakan subjek penelitian.
Data hasil tugas dan hasil wawancara
dianalisis
dan
selanjutnya
dideskripsikan berupa kata-kata tertulis
atau uraian dari subjek penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di.
Jurusan
Pendidikan
Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP) Universitas Muhammadiyah
(Unismuh) Makassar. Calon subjek
penelitian adalah mahasiswa calon guru
angkatan 2012/2013 (semester VI).
Penentuan kelas penelitian ini didasari
pada pertimbangan mahasiswa semester
VI mempunyai waktu yang cukup,
sehingga memudahkan untuk dilakukan
wawancara, Banyaknya subjek dalam
penelitian ini minimal dua orang yang
terdiri dari minimal 1 (satu) mahasiswa
calon guru yang memiliki gaya kognitif
field independet (FI) dan minimal 1
(satu) mahasiswa calon guru memiliki
gaya kognitif field dependent (FD). Jika
pada saat pengumpulan data, terdapat
indikator yang belum ditemukan pada
subjek yang dimaksud, maka dilakukan
penambahan subjek FI atau subjek FD,
kemudian dilakukan pengambilan data
yang berkaitan dengan indikator yang
belum muncul pada subjek sebelumnya.
Hal ini dilakukan untuk melihat
kecenderungan data.
Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis kemampuan pemecahan
masalah matematika calon guru
berdasarkan taksonomi berpikir reflektif
ditinjau dari perbedaan gaya kognitif.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
beberapa tahapan akan dilakukan
sebagai berikut: (a) tahap pertama,
penentuan subjek penelitian yang
mempunyai gaya kognitif FI dan FD
dengan menggunakan kriteria tertentu.;
(b) tahap kedua, menyusun tugas
pemecahan
masalah
berdasarkan
taksonomi berpikir reflektif yang telah

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini yaitu penelitian
deskriptif dengan pendekatan kualitatif
yang bertujuan untuk mendeskripsikan
secara mendalam tentang analisis proses
pemecahan
masalah
matematika
mahasiswa berdasarkan taksonomi
berpikir reflektif. Untuk mendapatkan
deskripsi secara mendalam tentang
proses pemecahan masalah matematika
mahasiswa berdasarkan taksonomi
berpikir reflektif, subyek diberi tugas
untuk
menyelesaikan
masalah
matematika yang disajikan. Kemudian
454

Seminar Nasional 2015 Lembaga Penelitian UNM
Optimalisasi Hasil-Hasil Penelitian Dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan
Ruang Teater Gedung PINISI UNM, 13 Juni 2015

divalidasi oleh beberapa ahli; (c) tahap
ketiga, wawancara yang bersifat tidak
terstruktur
informal
untuk
memverifikasi
data
dari
tugas
pemecahan
masalah;
(d)
tahap
keempat, perekaman dengan recorder
dan menggunakan catatan. Hal ini
dimaksudkan agar tidak ada informasi
yang terlewatkan atau hilang selama
wawancara; (e) tahap kelima, analisis
data penelitian terkait proses pemecahan
masalah matematika yang dilakukan
oleh subjek (calon guru) berdasarkan
taksonomi berpikir reflektif ditinjau dari
perbedaan gaya kognitif.

Virginia (USA): The National
Council
of
Teacher
of
Mathematics (NCTM), Inc.
Chee & Pou. 2012. Reflective Thinking
And Teaching Practices: A
Precursor For Incorporating
Critical Thinking Into The
Classroom? .
International
Journal of Instruction. Vol 5.
No. 1. (e-ISSN: 1308-1470).
Choy, S. C. & Oo, P. S. 2012.
Reflective
Thinking
and
Teaching
Practices:
A
Precursor for Incorporating
Critical Thinking into the
Classroom? .
International
Journal of Instruction, Vol. 5,
No. 1, 167-182.
Depdiknas 2006. Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No. 22
Tahun 2006 Tentang Standar Isi
Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan
Menengah.
Jakarta:
Depdiknas.

DAFTAR PUSTAKA
Ambrose, R. 2004. Initiating Change in
Prospective Elementary School
Teachers’
Orientations
to
Mthematics
Teaching
by
Building on Beliefs. Journal of
Mathematics
Teacher
Education. Vol. 7, (91-119).
Anderson. Lorin W., Kratwohl, David
R. (Eds). 2001. A Taxonomy for
Learning,
Teaching,
and
Assesing. Newyork: Addison
Wesley Longman, Inc.

Dewey J. 1998. How We Think: A
Restatement of The Relation of
Reflective Thinking to The
Educative Process. Boston:
Houghton-Mifflin

Amidu, A.R. 2012. Exploring Real
Estate
Students’
learning
approaches reflective thinking
and academic performance.
48th ASC Anuual International
Conference Proceedings. The
Associated of Construction. UK.

Diana, L. 2009. Assesing Secondary
Students’ Reflective Thinking in
Project Work. Journal of
Singapura Examination and
Assessment Board. Singapore.
Fisher, A. 2008. Critical Thinking: An
Introduction. Jakarta : Erlangga.

Betne, P. 2009. Reflection As A
Learning Tool in Mathematics.
Journal
of
Mathematics,
Engineering, and Computer
Science. (93-101).

Gelter, H. 2003. Why is Reflective
Thinking Uncommon? . Journal
of Reflective Practice, Vol.4,
No.3.

Branca, Nicholas A. 1980. Problem
Solving as a Goal, Process, and
Basic Skill. Dalam Krulik,
Stephen & Reys, Robert E
(Eds.) Problem Solving in
School Mathematics. Reston,

Goodell, J. 2000. Learning to Teach
Mathematics
for
Understanding: The Role of
Reflection.
Journal
of
455

PROSIDING, ISSN : 2460-1322
Mathematics Teacher Education
and Development. Vol.2, (4860).

Richard J. Shumway. Research
in Mathematics Education.
Reston VA: The National
Council
of
Teachers
of
Mathematics Inc.

Gurol. A. 2011. Determining The
Reflective Thinking Skills Of
Pre-Service
Teachers
In
Learning
And
Teaching
Process. Energy Education
Science and Technology Part B:
Social and Educational Studies
2011 Volume (issue) 3(3): 387402.

Kuswana,, W. 2011. Taksonomi
Berpikir. Bandung: Rosda
Lee. H. 2005. Understanding and
Assessing Preservice Teachers’
Reflective Thinking. Teaching
and Teacher Education. USA.
21 (699–715)

Henderson, K. 2004. Encouraging
Reflective Learning: An Online
Challenge. Proceedings of The
21th ASCILITE Conference
(357-364).

Lee, I. 2008. Fostering Preservice
Reflection
trough
Respon
Journals. Journal of Teacher
Education
Quarterly.
Hongkong, China.
Lehrer, R., Frankel, M. L. (1992).
Applying Personal Construct
Psychology to the Study of
Teacher’
Knowledge
of
Fractions. Journal for Research
in
Mathematics
Education.
23(3), 223-241.

Hsieh, P.H. & Chen, N.S. 2012. Effects
of Reflective Thinking in the
Process of Designing Software
on
Students’
Learning
Perfomances.
The
Turkish
Online Journal of Educational
Technology. Vol. 11 No.2.
Kocoglu, Z., Aykel, A. & Ercetin, G.
2008. Pen/Paper and Electronic
Portofolios: An Effective Tool
for
Developing
Reflective
Thinkingof Turkish EFL Student
Teachers? .
Medditernean
Journal of Educational Studies.
Vol. 13, No.1 (1-24).

Leung, D.Y.P & Kember,D. 2008. The
relationships
between
approaches to learning and
reflection
upon
practice.
Educational Psychology.
Lipman, M. 2003. Thinking in
Education.
Cambridge:
Cambridge University Press.

Koszalka, T. 2001. KaAMS: A PBL
Environment
Facilitating
Reflective Thinking. Learning
and Instruction Section. NY.
Krulik,

Lim, L.Y. 2011. A Comparison of
Students’ Reflective Thinking
Across Different Years in A
Problem-Based
Learning
Environment.
Journal
of
Instructional Science. Vol. 39.
(171-188).

S. & Rudnick, J. 2003.
Teaching
Mathematics
in
Middle School. A Practical
Guide.
Amerika:
Pearson
Education.

Mcduffie, A.R. 2004. Mathematics
Teaching
as
Deliberate
Practice: An Investigation of
Elelmentary
Pre-Service

Kulm, Gerald. 1980. “Research on
Mathematic Attitude”. Dalam
456

Seminar Nasional 2015 Lembaga Penelitian UNM
Optimalisasi Hasil-Hasil Penelitian Dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan
Ruang Teater Gedung PINISI UNM, 13 Juni 2015

Teachers’ Reflective Thinking
During Student Teaching.

Teachers’ Reflektive Thinking
Tendencies in Terms Of
Various
Variances.
International Journal on New
Trends in Education and Their
Implications,
April
2013
Volume: 4 Issue: 2 Article: 12
ISSN 1309-6249.
Rodgers, C. 2002. Defining Reflection:
Another Look At John Dewey
And
Reflective
Thinking.
Teachers College Record
Volume 104, Number 4, pp.
842–866.
Columbia
University 0161-4681.
Rodriguez, A. G., McKay, S. (2010).
Professional Development for
Experienced
Teachers
Working with Adult English
Languange Learners. Caela
Network
Brief
(www.
cal.org/caelanetwork).
Roh K., & Lee, Y. 2010. Promoting
Students’ Reflective Thinking
of Multiple Quantifications via
the Mayan Activity. Journal of
Educational
Studies
in
Mathematics.
Rosen, J. G. 1984. Problem-Solving and
Reflective Thinking: John
Dewey, Linda Flower, Rhicard
Young. Journal of Teaching
Writing. 69-78.
Skemp, R, 1982. The Psychology of
Learning Mathematics.USA.
Peguin Books.
Slameto. 2003. Belajar dan FaktorFaktor
yang
Mempengaruhinya .
Jakarta:
Rineka Cipta.
Soedjadi, R. 2000. Kiat-kiat Pendidikan
Matematika
di
Indonesia .
Jakarta:
Departemen
Pendidikan
Nasional,
Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi.
Soedjadi R. 2007. Masalah Kontekstual
Sebagai Batu Sendi Matematika
Sekolah. Surabaya: Pusat Sains

Moleong, L. (2006). Metodologi
Penelitian
Kualitatif. Edisi
Revisi.
Bandung:
Remaja
Rosdakarya Offset.
NCTM. 2000. Principle and Standards
for
School
Mathematics.
Reston: The National Council
of Teacher Mathematics, Inc.
Odafe, V. J. 2008. Teaching and
Learning
Mathematics:
Student Reflective Adds a New
Dimension. Bowling Green
State University, Huron, USA.
Odeh, Z., Kurt, M., & Atamurk, N.,
2009. Reflective Practice and
its
Role
in
Stimulating
Personal and Professional
Growth.
Arab
American
University and Near East
University. Turkey.
Ortiz, Claudia.M.A. 2007. Does
Philosophy Improve Critical
Thinking Skill? . Departement
of Philosophy- Faculty of Arts,
The University of Melbourne.
Pappas, Peter. 2010. "A Taxonomy of
Reflection: A Model for
Critical
Thinking".
Copy/Paste. January 4, 2010.
www.peterpappas.com .
Pennington, R. 2011. Reflective
Thinking
in
Elementary
Preservice
Teacher
Portofolios:
Can
It
Be
Measured
and
Taught?
Journal
of
Educational
Research and Practice. Vol. 1,
No.1 (37-49).
Phan, H.P. 2008. Achievement Goals,
The Classroom Environment,
and Reflective Thinking: A
Conceptual
Framework.
Electronic Journal of Research
in Educational Psychology.
Vol.6, No.16. (571-602).
Poyraz, C. & Usta, S. 2013.
Investigation of Preservice
457

PROSIDING, ISSN : 2460-1322
dan
Matematika
sekolah
(PSMS) Unesa.
Saracho, Olivia N. 1997. Teachers’ and
Students’ Cognitive Style in
Early Childhood Education.
London: Bergin and Garvey.
Solso, R., L. 1995. Cognitive
Phsicology. Boston. Allyn and
Bacon.
Song, H. D., 2006. Pattern of
Instructional-design
Factors
Prompoting Reflective Thinking
in Middle-School and College
Level Problem-Based Learning
Environments.
Journal
of
Instructional Science. Vol.34:
63-87
Stiff, L. V & Curcio, F. R. 1999.
Developing
Mathematical
Reasoning in Grades K-12.
General Year Book: 1999.
United Stated of Amerika.
Ville, P. A. 2010. Mentoring Reflective
Thinking Practice In Preservice
Teachers:
A
Reconstructions Through The
Voices of Australian Science
Teachers. Journal of College
Teaching and Learning. Vol.
7, No.9. Australia.
Woolfolk, A. (2008). Psychology in
Education. Boston: Pearson Education

458