Tafsiran Islam tentang Sejarah sekolah

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat sejarah di Barat dalam kurun waktu dari abad XIV sampai abad XX,
mengalami perkembangan yang menakjubkan ditandai dengan kemunculan tokohtokoh seperti, Augustinus, Comte, Spencer, Hegel, Marx dan Toynbee. Sedangkan
di Islam, setelah kemunculan Ibn Khaldun pada abad XIV tidak diikuti oleh
pemikir dan generasi muslim selanjutnya. Padahal, Islam sebagai pandangan
hidup yang paripurna dan merupakan metode hidup yang lengkap, inovatif dan
kreatif tidak boleh hanya berhenti dan berpuas pada kenyataan-kenyataan yang
telah ada. Akhirnya, baru pada paruh pertama abad XX muncul pemikir-pemikir
muslim yang kembali mengembangkan keilmuan sejarah dan filsafat sejarah,
seperti Malik bin Nabi, Fazlur Rahman, Abdul Hamid Shiddiqi dan Ali Syari’ati.
Selanjutnya, al-Quran sebagai kitab suci Islam, baik secara tersirat maupun
tersurat, banyak ayat-ayatnya yang mengandung masalah kesejarahan, sehingga
dapat dijadikan sebagai ta’kid (penguat) bahwa tidak ada alasan untuk tidak
berpedoman kepada al-Quran dalam masalah keilmuan, khususnya pada bidang
sejarah. Hal ini sesuai dengan fungsi al-Quran sebagai petunjuk bagi umat Islam,
dalam hal ini bidang kesejarahan.
Berdasarkan uraian di atas, makalah berjudul “Tafsiran Islam tentang
Sejarah” dianggap perlu ditulis guna menjelaskan pandangan Islam tentang
sejarah, yang mencakup konsepsi, pemikiran dari tokoh-tokoh muslim tentang

sejarah dan ayat-ayat yang berkaitan dengan sejarah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsepsi sejarah dalam Islam?
2. Bagaimana pemikiran tokoh muslim tentang sejarah?
3. Apa saja ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan sejarah?

1

BAB II
TAFSIRAN ISLAM TENTANG SEJARAH
A. Konsepsi Sejarah dalam Islam
Islam menaruh perhatian yang besar terhadap sejarah, meskipun disadari
bahwa al-Quran sebagai pedoman dalam ajaran Islam bukanlah buku kesejarahan.
Murtadha Muthahhari mengatakan dalam al-Quran masalah kesejarahan tidak
dibahas secara teknis kesejarahan namun, di dalamnya terdapat sekitar dua per
tiga dari keseluruhan ayat al-Quran yang berkaitan dan berhubungan dengan atau
memilki nilai-nilai sejarah.1 Hal ini ditujukan agar manusia diharapkan mampu
mengambil pelajaran dari padanya. Manna al-Qaththan membagi kisah dalam alQuran kepada tiga kategori:2
a. Kisah para Nabi yang berisi usaha, tahap-tahap dan perkembangan dakwah
mereka dan sikap orang-orang yang menentang mereka.

b. Kisah orang terdahulu yang tidak termasuk kategori Nabi, seperti kisah
Thalut, Ashab al-Kahfi, Luqman, dan seterusnya.
c. Kisah yang berhubungan dengan peristiwa di masa Nabi Muhammad
seperti perang Badar, Hijrah Nabi, Isra Mi’raj, dan seterusnya.
Al-Qur’an telah banyak mendorong manusia agar memperhatikan perjalanan
umat masa lalu agar diambil pelajaran dan hikmahnya untuk kehidupan
selanjutnya. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi misalnya, menginformasikan bahwa
di dalam al-Qur’an tidak kurang sebanyak 7 (tujuh) kali Allah SWT. menyuruh
manusia untuk mempelajari kehidupan umat masa lampau. 3 Berkenaan hal ini alMaraghi dalam tafsirnya mengatakan bahwa memperhatikan kehidupan orangorang terdahulu, baik yang shalih maupun yang durhaka dapat memberikan
petunjuk pada jalan yang lurus. Jika seseorang mengambil jalan kehidupan orangorang yang shalih, maka akibatnya akan seperti apa yang dirasakan oleh orang

1 Muhammad In’am Esha, Percikan Filsafat Sejarah dan Peradaban Islam (Malang: UIN
Maliki Press, 2011), hlm. 35.
2 Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Quran (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993),
hlm. 306.
3 Muhammad Fuad al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz Al-Qur’an Al-Karim (Beirut:
Darul Fikr, 1987), hlm. 706.

2


shalih tersebut dan sebaliknya jika seseorang mengambil jalan hidup orang yang
durhaka, maka akibatnya pun seperti yang dialami oleh orang yang durhaka.4
Konsep sejarah dalam Islam, sebagaimana diungkapkan al-Quran, berkaitan
dengan fungsi manusia sebagai khalifah. Secara tidak langsung hal ini
menyiratkan bahwa manusia berperan untuk menciptakan perubahan. Untuk itu
perlu sekali menengok peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau karena
sejarah memberikan mau’idzah (pelajaran) yang membuat manusia sadar akan
perannya sebagai aktor sejarah. Siratan perintah perlunya belajar sejarah dapat
dianalisis dari surat al-Fatihah ayat 6-7. Allah SWT. berfirman yang artinya,
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat." Menurut ayat tersebut umat terdahulu dapat dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) Kelompok yang telah diberi nikmat oleh Allah;
(2) Kelompok yang dimurkai Allah; (3) Kelompok yang sesat. Ibnu Katsir dalam
tafsirnya menjelaskan bahwa kelompok pertama (yang diberi nikmat oleh Allah)
adalah: para Nabi, shiddiqin, syuhada dan orang shalih. Mereka yang mendapat
nikmat adalah mereka yang berhasil menggabungkan antara ilmu dan amal.
Adapun kelompok kedua (kelompok yang dimurkai) adalah kelompok yang
mempunyai ilmu tetapi kehilangan amal, sehingga mereka dimurkai. Kelompok
ini diwakili oleh Yahudi. Sedangkan kelompok ketiga (kelompok yang sesat)

adalah masyarakat Nasrani. Mereka adalah orang yang kehilangan ilmu, dan
senantiasa dalam kesesatan serta tidak diberikan hidayah. 5 Perintah tersirat dari
ayat 6-7 surat al-Fatihah adalah agar manusia melihat sejarah hidup orang-orang
sebelum mereka, sehingga manusia masa kini mampu mengetahui dan meneladani
dari kisah hidup umat terdahulu.
Konsep selanjutnya adalah bahwa sejarah dalam al-Quran memiliki historical
law atau sunnah tarikhiyyah. Yang dimaksud oleh historical law atau sunnah
tarikhiyyah adalah hukum kesejarahan yang berlaku di alam dan masyarakat, yaitu
hukuman-hukuman Allah yang berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan
4 Ahmad Mushtafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Jilid II, (Beirut: Darul Fikr, tt), hlm. 76.
5 Abu al-Fida Ismail bin Amr bin Katsir al-Quraisyi al-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir (alMaktabah al-Syamilah), diakses pada 16 Mei pukul 22.19.

3

kepada orang-orang yang mendustakan.6 Hukum ini menurut al-Quran bersifat
konstan (tetap). Hal ini tersirat dari beberapa ayat dalam al-Quran, di antaranya
surat Ali-Imran ayat 137-138 yang artinya, “Sesungguhnya telah berlalu sebelum
kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan
perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta

pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” Kemudian pada surat Fathir ayat 43
yang artinya, “… maka apakah yang mereka nantikan selain sunnah yang telah
berlaku bagi orang-orang terdahulu. Dan tidak sekali-kali akan kamu dapat
pergantian dalam sunnah Allah.”
Selanjutnya, fungsi sejarah dalam Islam menurut yang diungkapkan dalam alQuran paling tidak ada empat, yaitu sejarah sebagai peneguh hati, sejarah sebagai
pengajaran, sejarah sebagai peringatan dan sejarah sebagai peringatan.
Keseluruhannya terangkum pada surat Hud ayat 120. Artinya: “dan semua kisah
dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya
Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran
serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”
B. Tokoh dan Pemikiran
1. Malik bin Nabi
a. Biografi Singkat
Malik bin Nabi lahir pada 1 Desember 1905 di Konstantin, Aljazair. Ia
merupakan satu-satunya putra di antara empat bersaudara. Keluarganya
merupakan imigran dari Tripolia-Libya. Memasuki masa remaja, Malik
bergabung dengan Majelis Pengajaran di Masjid Agung Konstantin untuk
belajar Bahasa Arab dari Syeikh Abdul Majid. Sedangkan dalam rangka
persiapannya untuk studi di Barat, ia mengikuti kursus di sekolah lanjutan ElDjellis di Konstantin juga. Bermula dari sekolah lanjutan ini, ia mulai
mengenal buku-buku filsafat, psikologi, dan ilmu-ilmu lainnya. Tahun 1930, ia

melanjutkan studinya ke Prancis. Pada awalnya ia memilih jurusan bahasa6 Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir al-Jalalain (al-Maktabah alSyamilah), diakses pada 16 Mei pukul 23.16.

4

bahasa Timur, akan tetapi karena ia merasakan jurusan tersebut terlalu berat
maka ia beralih ke Institut Teknik, dan menjadi sarjana teknik. Meskipun
menjadi sarjana teknik, ia tetap terus mempelajari ilmu-ilmu sosial, filsafat
peradaban, dan sastra.
Di antara karya-karya yang begitu berkesan dan memengaruhi
pemikirannya adalah karya Isabella Eberhardt, karya Eugen Jung. Selain itu
juga ia begitu berkesan dengan pemikiran filsafat Condillac, dan pemikiran
Ibn Khaldun.7
b. Pemikiran Malik bin Nabi tentang peradaban
Menurut Malik bin Nabi, peradaban adalah keseluruhan sarana moral
dan material yang menjadikan masyarakat memberikan semua pelayanan
sosial yang diperlukan bagi setiap anggotanya untuk kemajuan.
Seperti Ibn Khaldun, yang sebagai guru utamanya dalam pengkajian
sejarah peradaban, Malik bin Nabi melakukan spekulasi tentang sejarah yang
didasarkan pada peradaban dan khususnya tentang fenomena peradaban itu
sendiri.8 Malik mengintepretasikan sejarah Islam secara umum dalam

perspektif teori siklus. Ia menguraikan pemikiran Ibn Khaldun dan wujud
skematisasi tiga tangga peradaban yaitu tangga spiritual, tangga rasional,
tangga naluri.
Pertama, tangga spiritual. Maksud dari tangga spriritual adalah ketika
manusia masih berada pada tangga fitnah. Periode ini jika dicontohkan dalam
sejarah Islam menurut Malik bin Nabi dimulai ketika pesan Rasulullah mulai
diterima dan berakhir pada perang Siffin di masa Ali bin Abi Thalib. Kedua,
tangga rasional, yang di dalam sejarah Islam diidentikkan dengan fase Daulah
Amawiyah (641-750 M). Ketiga, tangga naluri, yang ditandai dengan
kelemahan dan kekacauan sehingga naluri menjadi bebas. Berbeda dengan
kedua tangga peradaban sebelumnya, Malik bin Nabi tidak menjelaskan secara
gamblang mengenai periode dalam tangga naluri. Namun, dipastikan

7 Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah dalam Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), hlm.
86-87.
8 Ibid., hlm. 88

5

merupakan periode atau masa-masa keruntuhan moral dan politik negaranegara Islam.9

Sebagaimana sistematisasi teori siklusnya, Malik bin Nabi juga
menyebutkan bahwa perkembangan berlangsung melalui tiga tangga dan di
antara tangga tersebut bersifat siklus.
Pertama, masa benda. manusia yang baru lahir, hidup dalam dunia
benda-benda sebab ia tidak meliliki gambaran tentang dunia luar. Ia tidak
dapat memahami benda, tokoh dan gagasan-gagasan yang berinteraksi di
sekitarnya. Kedua, masa tokoh, di masa ini anak mulai berkomunikasi
terutama dengan orang lain di sekitarnya. Menurut Malik bin Nabi, pada tahap
ini anak sudah mulai membangun hubungan sosial dan emosional dengan
yang lain. Ketiga, masa ide. Pada masa ini anak sedikit demi sedikit sudah
mulai mampu memasuki tangga kognitif dan mengapresiasi konsep-konsep
abstrak.
Begitu pula dengan masyarakat. Menurut Malik bin Nabi, masyarakat
sesuai dengan tingkat perkembangannya dikategorikan ke dalam tiga tahap
yaitu masyarakat pra-peradaban, masyarakat berperadaban, dan masyarakat
pasca peradaban.10
2. Fazlur Rahman (1919-1988).
a. Biografi singkat
Fazlur Rahman bin Maulana Shahab al-Din, lahir pada 21 September
1919 di Hazara. Ia dilahirkan di antara keluarga yang cinta akan ilmu. Oleh

karena itu tidak mengherankan jika dalam usia 10 tahun telah mampu
menghafal al-Quran. Ayahnya merupakan seorang ulama modernis. Pada
tahun 1933, ia dikirimkan ke Lahore untuk menempuh pendidikan. Ia
dimasukan ke sebuah madrasah modern. Kemudian pada tahun 1940 ia
menyelesaikan studinya dan melanjutkan ke Punjab University dan memilih
bidang Sastra Arab. Pada tahun 1942 ia mampu menyandang gelar B.A., dan
dua tahun berikutnya ia mampu mendapat gelar M.A. Pada tahun 1946 ia
9 Ibid., hlm. 89-90.
10 Ibid., hlm. 90-91.

6

memiliki kesempatan untuk melanjutkan studinya ke Oxford University. Di
sana ia mengambil bidang filsafat dan pada tahun 1951 berhasil mendapatkan
gelar GR. Setelah lulus ia langsung mengabdi di berbagai lembaga pendidikan
Barat seperti Durham University di Inggris dan berpindah ke Institute of
Islamic Sutdies, McGill University di Kanada. Pada tahun 1960 ia kembali ke
tanah kelahirannya dan langsung diangkat menjadi staf senior Institute of
Islamic Research. Dua tahun kemudian ia menjabat sebagai direktur lembaga
tersebut.11

Karya-karyanya di antaranya yaitu Islam (1966), Islam and Modernity,
Transformation of an Intellectual Tradition (1982).
Corak pemikiran Rahman tentang sejarah-filsafat sejarah khususnya
metodologi sejarah yang ditawarkan sebagai metode yang tepat dalam
melakukan pengkajian Islam secara keseluruhan dan metode ijtihad salah
satunya adalah metode dengan langkah Triadic.12
b. Pemikiran Sejarah Fazlur Rahman.
Sejarah manusia menurut Fazlur Rahman pada dasarnya terdiri atas satu
proses pembentukan dan pelurusan masyarakat dan peradaban-peradaban,
menurut norma-norma tertentu, yang pada intinya bersifat moralistik.
Rahman memiliki konsep sejarah yang tidak jauh berbeda dengan yang
diungkapkan Ibn Khaldun. Hukum determinisme sejarah dengan landasan
ayat-ayat Allah menjadi hal yang melandasi pemikirannya. Gerak sejarah
menurut Fazlur Rahman berbentuk spiral yang walaupun berlingkar
pergerakannya namun memiliki progresivitas yang berarti dalam menuju ke
satu titik kemajuan yang belum dicapai sebelumnya.13
Metodologi Sejarah dalam Islam: Dua Gerakan Ganda. Pemikiran
Rahman mengenai hal ini dapat dijajaki dalam metode tafsir al-Quran yang
telah diajukan olehnya. Metodologi ini pada dasarnya terdiri atas tiga langkah
utama, yaitu:


11 Ibid., hlm. 92-93.
12 Ibid., hlm. 94.
13 Ibid., hlm. 96.

7

a) Pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Quran dalam
bentangan karir dan perjuangan Nabi.
b) Perbedaan antara ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan alQuran.
c) Pemahaman

dan

penetapan

sasaran

al-Quran

dengan

memperhatikan secara sepenuhnya latar sosiologinya.
Metode tafsir dimaksud dalam aplikasinya terkenal dengan dua gerakan
ganda, yaitu:
a) Dari situasi sekarang menuju ke masa al-Quran diturunkan
b) Dari masa Nabi ke masa sekarang.
Dua gerakan ganda ini dijadikan sebagai filsafat sejarah kritis, di mana
kedua gerakan ganda ini memiliki nilai kebaruannya jika disejajarkan dengan
teori dan metodologi-metodologi yang telah ada sebelumnya. Rahman sendiri
menganut teori kontinuitas dalam sejarah, yang berpendapat bahwa suatu
peristiwa sejarah tidak terputus pada satu titik atau periode melainkan
berkesinambungan

dengan

peristiwa-peristiwa

yang

telah

terjadi

sebelumnya.14
3. Abd Hamid Shiddqi
a. Biografi singkat
Nama lengkapnya Abdul hamid Shiddqi. Ia merupakan seorang sarjana
Ekonomi. Ia tidak hanya belajar pada satu bidang saja akan tetapi juga pada
bidang lainya seperti sejarah, politik dan hukum. Selain sebagai sarjana
ekonomi ia juga seorang magister filsafat di Punjab University. Ia pernah
menjabat sebagai Anggota Badan Riset Islam Pakistan dan juga mengajar di
beberapa perguruan tinggi keamanan di negerinya.
b. Pemikiran Kesejarahan
Abd Hamid berpendapat bahwa kemajuan dan kemunduran setiap
bangsa bergerak di seputar hukum yang pasti sehingga tidak ada satupun yang
14 Ibid., hlm. 100.

8

berjalan tidak beraturan. Menurutnya kemunduran terjadi karena dua hal yaitu
pertama, karena adanya kerusakan yang evolutif. Kedua, karena gejala
tindakan kebejatan dan keboborkan moral yang tidak disadari oleh suatu
bangsa.15
Menurut Abd Hamid, faktor-faktor fundamental terjadinya perbuahan di
alam, atau dalam masyarakat lebih banyak ditentukan oleh perkembangan dan
kondisi jiwa seseorang, kelompok masyarakat atau bangsa yang bersangkutan.
Tidak akan terjadi perubahan positif atau negatif kecuali disebabkan oleh
perubahan jiwa dari diri dan bangsa yang bersangkutan.16
4. Ali Syari’ati (1933-1978)
a. Biografi singkat
Ali Syari’ati bin Muhammad Taqi Syari’ati lahir pada 24 November
1933 di Khurasan, Iran. Pendidikan formal dimulai pada tahun 1944 di
sekolah swasta Ibn Yamin, Masyhad. Tahun 1950 Syari’ati masuk Kolese
Pendidikan Guru Masyhad dan tamat pada tahun 1952. Kemudian pada tahun
1958 ia masuk Fakultas sastra Persia Masyhad dan setelah tiga tahun belajar ia
mendapat gelar BA. Karena kecerdasan dan keluasan wawasannya ia
memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi ke Paris dan di sinilah ia
mendapatkan gelar Doktor dalam bidang Sosiologi dan Sejarah Agama. Di
Paris inilah ia mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan pemikirannya
yang kemudian terkenal dengan demokratis, liberal, dan sosialis bertuhan.17
Karirnya dalam bidang organisasi dimulai ketika ia masuk pada
organisasi Front National Iran. Di organisasi ini ia meningkatkan
keberaniannya dalam membongkar kezaliman dan kediktatoran Iran yang
sedang berkuasa. Karena sikapnya inilah ia dijebloskan ke penjara saat
kembali ke Iran.
b. Pemikiran tentang sejarah
15 Ibid., hlm. 127.
16 Ibid., hlm. 128.
17 Ibid., hlm. 128-129.

9

Dalam hal gerak sejarah manusia, Ali Syari’ati berpendapat bahwa
manusia dalam menyejarah memiliki kebebasan dan sekaligus keterpaksaan.
Keterpaksaan yang disebut inilah yang kemudian dimaknakan sebagai konsep
determinisme sejarah. Menurut Syari’ati kerangka determinisme merupakan
hukum umum yang mengatur proses perkembangan sosial dan sejarah.
Manusia sebagai makhluk merupakan manifestasi kehendak Allah yaitu
kehendak serba kesadaran akan yang mutlak dan di sisi lain ia juga sebagai
khalifahNya di alam ini. Sehingga sejarah tidak mungkin terjadi secara
kebetulan, peristiwa terjadi tanpa campur tangan Tuhan, tanpa tujuan, tanpa
maksud dan titik tertentu dengan tujuan dan arah tertentu pula. Menurut
Syari’ati gerak majunya sejarah dalam Islam adalah demi terwujudnya
kesadaran akan Allah sebagai Khaliq. Baginya proses transformasi dialektis
merupakan

kunci

bagi

perkembangan

sejarah

dan

sosial.

Syari’ati

mengungkapkan bahwa apabila ingin menganalisis suatu gerakan, ideologi,
filsafat, agama dan revolusi dalam sejarah umat manusia, maka akan terlihat
tiga hal pokok yang dapat sebagai esensinya. Pertama, perihal cinta dan
mistisisme. Kedua, perihal kebebasan dan ketiga, perihal pengupayaan
keadilan sosial.18
Mistisisme

menurutnya

merupakan

perwujudan

alamiah

esensi

keingintahuan manusia yang mendesaknya untuk merenungkan tentang wujud
non-material di dunia ini. Adapun mengenai kebebasan, ia berpendapat bahwa
kebebasan individu merupakan kebebasan parsial. Sedangkan kebebasan yang
diformulasikan Islam berorientasi pada tujuan yang menjamin kebahagiaan,
kebebasan sempurna dan hakiki dari segala yang membelenggu. Berkaitan
dengan pengupayaan keadilan sosial, menurutnya merupakan suatu yang
diidamkan masyarakat. Sistem yang dapat memberikan persamaan dan
keadilan sosial adalah sosialisme yang lebih bersifat etika dan spiritual yang
berdasarkan keimanan kepada Allah.19 Kembali ke konsep gerak sejarah umat

18 Ibid., hlm. 130.
19 Ibid., hlm. 131.

10

manusia secara umum dan umat Islam secara khususnya, dengan aplikasi
metode berpikir tesis, antitesis, dan sintesis yang diadopsi dari Hegel.20
C. Ayat-ayat yang Berkaitan dengan Sejarah
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa dua per tiga dari ayat-ayat alQuran memiliki nilai-nilai sejarah dan di antara ulama, ada yang menyebutkan
sekitar 159 ayat yang memiliki kandungan nilai-nilai sejarah. Adapun beberapa
ayat yang memiliki nilai kesejarahan adalah:
Surat al-Hasyr ayat 18










       
      
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat);
dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”
Ayat di atas berkaitan dengan konsep sejarah tiga dimensi para pakar modern.
Perintah “untuk memperhatikan” tertuju kepada setiap insane yang hidup
sekarang, dan itu berarti tertuju pada dimensi sekarang. Adapun penyeleksian dan
pendeskripsian yang telah dikerjakan merupakan tinjauan dimensi waktu lalu.
Sementara “persiapan untuk hari esok” bermakna dimensi waktu mendatang, baik
untuk keperluan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.21
Al-Ahzab ayat 62
        
    
“sebagai sunnah Allah yang Berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu
sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada
sunnah Allah.”
Ayat 62 surat al-Ahzab ini menjelaskan mengenai konsep hukum kesejarahan
menurut al-Quran itu bersifat tetap (konstan) atau dapat dipahami pula hukum
20 Ibid.
21 Ibid., hlm. 26.

11

kesejarahan itu adalah hukum sebab akibat. Contohnya, sebab suatu kaum berbuat
kezaliman, maka mereka dibinasakan. Hal ini tercermin pada ayat selanjutnya,
yaitu Surat Hud ayat 117.
  







  
“dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim,
sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.”

12

BAB III
KESIMPULAN
Islam dengan al-Qurannya telah menaruh perhatian yang besar dalam aspek
sejarah. Konsepsi sejarah dalam Islam secara garis besar, mengambil dari ayatayat al-Quran, dapat dibagi kepada dua, yaitu perubahan dalam sejarah dan
adanya historical law atau sunnah tarikhiyyah (hukum kesejarahan). Namun, hal
ini pada periode pertengahan seolah tidak terlalu mendapat perhatian lebih dari
kalangan muslim karena setelah masa Ibn Khaldun, terjadi kevakuman intelektual
di bidang sejarah dan filsafat sejarah pada kaum muslim. Barulah mulai awal abad
XX bermunculan kembali dari kalangan muslim yang menekuni bidang ini,
seperti Malik bin Nabi, Fazlur Rahman, Abd Hamid Shiddiqi dan Ali Syari’ati.
Masing-masing

mereka

membawa

pemikiran

segar

yang

positif

bagi

perkembangan sejarah dan filsafat sejarah Islam.
Ayat-ayat al-Quran yang memiliki nilai kesejarahan menurut beberapa
pendapat ada sekitar 159. Meskipun begitu, tidak dapat ditentukan secara pasti
berapa jumlahnya, yang jelas dua per tiga dari keseluruhan ayat al-Quran
memiliki nilai-nilai kesejarahan dan dalam makalah ini disebutkan beberapa, di
antaranya surat Ali Imran ayat 137-138; surat Fathir ayat 43; surat Hud ayat 120;
Surat al-Hasyr ayat 18; surat al-Ahzab ayat 62; surat Hud ayat 117.

13

Daftar Pustaka

al-Baqi, Muhammad Fuad. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz Al-Qur’an Al-Karim.
Beirut: Darul Fikr. 1987.
Esha, Muhammad In’am. Percikan Filsafat Sejarah dan Peradaban Islam.
Malang: UIN Maliki Press. 2011.
al-Maraghi, Ahmad Mushtafa. Tafsir Al-Maraghi. Jilid II. Beirut: Darul Fikr. Tt.
Muchsin, Misri A. Filsafat Sejarah dalam Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Press.
2002.
al-Suyuthi, Jalaluddin dan Jalaluddin al-Mahalli. Tafsir al-Jalalain. al-Maktabah
al-Syamilah. Diakses pada 16 Mei pukul 23.16.
al-Qaththan, Manna. Mabahits fi Ulum al-Quran. Beirut: Muassasah al-Risalah.
1993.

14