Orang Bajo Dan Komunitas Lokal Studi Ten

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Secara geografis wilayah Indonesia terdiri atas 17.508 pulau yang
terbentang dari Pulau Weh di sebelah barat sampai Papua di timur; dan
dari Pulau Miangas di utara sampai Pulau Rote di selatan. Gugusan pulaupulau tersebut tersebar di sebuah kawasan laut yang disebut Nusantara,
dengan luas keseluruhannya mencapai 5,8 juta km2. Dari luas 5,8 juta km2
tersebut, 3,9 juta km2 atau 2/3 di antaranya adalah wilayah laut dan hanya
1,9 juta km2 atau 1/3 saja wilayah daratan. “Indonesia memiliki garis
pantai terpanjang di dunia, dengan total garis pantai 81.000 km.1
Dengan luas wilayah geografis yang demikian, maka

tidak

mengherankan apabila di Indonesia terdapat banyak suku bangsa, seperti
Bugis, Makassar, Buton, Bajo, Jawa,

Minangkabau, Batak, dan


sebagainya yang masing-masing mempunyai bahasa, adat istiadat serta
kebudayaan sendiri-sendiri. Dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan di
Indonesia diwarnai oleh kehadiran berbagai suku bangsa tersebut yang
salah satu di antaranya adalah suku Bajo. Komunitas Bajo ini hidupnya
terpencar di berbagai perairan Nusantara seperti Kalimantan Timur,
Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Pola hidup mereka relatif sama yaitu hidup

1 Dahuri, Rokhim. Pembangunan Sumber Daya Kelautan Secara Optimal dan Berkelanjutan
Dalam Membangun Kepemimpinan Bahari Sebagai Kekuatan Alternatif, Kompetitif, dan
Kooperatif Memasuki Abad ke-21, Laporan Hasil Seminar. (Jakarta: Institut Ilmu Pemerintahan.
1995). Hlm. 96

2

berpindah-pindah di atas perahu atau rumah tancap di atas tebing laut yang
jauh dari pemukiman komunitas lokal.2
Bagi orang Bajo, lautan yang luas merupakan tempat pertemuan
dan berinteraksi di antara mereka, sebagaimana daratan yang luas bagi
suku lain. Dengan cara hidupnya yang unik ini, orang Bajo dipandang

khas dan unik oleh orang luar. Kekhasan mereka antara lain tercermin
dalam bahasa pergaulan mereka, yang merupakan expresi dari pada
kesatuan mereka sebagai kelompok. Selain itu, bagi orang Bajo laut juga
dijadikan sebagai tempat belajar dan tempat hidup atau tempat tinggal dan
tempat mencari nafkah.3
Pemukiman orang Bajo sebahagiaan besar sudah menetap, namun
wilayah pemukiman yang mereka pilih masih di atas laut dan pesisir
pantai. Pemukiman orang Bajo di Pulau Sulawesi, tersebar di sekitar
perairan Kendari, Kepulauan Togean, Selat Tiworo, Kepulauan Wakatobi,
perairan Manado dan di Teluk Bone. Walaupun mereka tinggal berjauhan
dan tersebar di berbagai pulau, mereka masih menjalin hubungan
kekerabatan satu sama lain. Orang Bajo telah hidup secara menetap dan
mengelompok di daerah-daerah pesisir termasuk dalam kelompok orang
Bajo

yang

telah

mengikuti


program

pemukiman

sosial

yang

diselenggarakan oleh Kementerian Sosial RI.4

2 Abdul Manan, Rekam Jejak Suku Bajo Perahu. (Sultra Kekar Bajo. 2011. Hlm. 17.
3 Abd. Latif Bustami, Rumusan Seminar Nasional; Upaya Pemberdayaan Mayarakat Bajo
Wakatobi. (Sultra: 2011). Hlm. 5
4 Yunus, Hafid, Pola Pemukiman dan Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Bajau di Sulaweis
Selatan. (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai tradisional Makassar: 2007). Hlm. 4.

3

Suku Bajo bersama masyarakat adat lainnya telah dihargai dan

dilindungi melalui penguataan hukum yaitu Undang-undang No. 27/2007
tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-3-K)
dan telah ditindak lanjuti dengan implementasi kebijakan yang berpihak
pada tindakan affirmatif.5
Sebagai suatu komunitas yang hidup di laut, orang Bajo
menggantungkan kehidupannya pada hasil laut. Oleh karena itu, pada
umumnya orang Bajo memiliki mata pencaharian utama menangkap ikan
atau memanfaatkan sumber daya alam laut, sedangkan komunitas yang di
darat dengan segala potensi sumber daya alamnya kurang mendapat
perhatian bahkan tidak dimanfaatkan dengan baik.6
Bajo merupakan sebutan awam. Nama asli komunitas ini adalah
“Sama” orang Bajo hanya mengenal tiga arah mata angin, yakni napa
(utara), bara’ (barat) dan selatang (selatan). Meskipun mereka hanya
mengenal tiga arah mata angin, namun belum pernah mereka tersesat di
laut. Alat transportasi mereka adalah perahu jenis “Soppe”, sejenis perahu
yang memiliki kemiripan dengan perahu yang digunakan masyarakat di
Kepulauan Riau. Dahulu dan sekarang masih dijumpai Soppe yang
sekaligus berfungsi sebagai tempat hunian mereka. Orang Bajo sejak
dahulu terkenal sebagai pengembara ulung.
Orang Bajo merupakan suku bangsa maritim yang tersebar di

berbagai pelosok Nusantara. Pada umumnya orang Bajo sulit menyatu
5 Abd. Latif Butami. Op Cit.
6 Abdul Manan, Ngarempa’ Penangkapan Ikan Pertama Suku Bajo. Kekar Bajo Bangkit. (Kendari:
2001). Hlm. 20.

4

dengan penduduk setempat dan enggan untuk tinggal di darat. Mereka
lebih suka hidup terpisah dari komunitas yang lain dan tinggal di laut.
Masyarakat suku Bajo kerap disebut gipsi laut karena hidupnya berpindahpindah. Namun berbeda, komunitas Bajo di Wanci kini telah membaur
dengan masyarakat setempat dan bermukim di darat.7 Menurut Padbrugge
bahwa:
“Orang Bajau merupakan (suatu campuran dari bemacam-macam
bangsa, paling kasar dan paling nyaring suaranya kalau diberi minum
arak; kebanyakan di antaranya adalah orang Cina dengan janggut
panjang, orang Jawa dengan janggutnya yang telah dicabut, Orang
Makassar dan lain-lain (bangsa) yang giginya diasah, dan berbagai
macam lagi orang Bali, orang Melayu dsb, malahan ada yang
kelihatan memberi hormat yang patuh yakni dengan memberi
sembah yang baik dengan merendahkan kakinya seperti cara kita

(Belanda) sehingga kami menarik kesimpulan bahwa ia pernah
berkenalan atau berdiam bersama dengan orang Belanda kalangan
tinggi, dan kami beranggapan bahwa ia adalah budak yang melarikan
diri; akan tetapi karena mereka merasa bahwa kami mengamati orang
itu saja, maka ia tak pernah muncul lagi.”8
Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu dari lima
provinsi yang terletak di Pulau Sulawesi. Ibu kotanya Kendari. Banyak
suku bangsa yang merupakan penduduk asli provinsi ini, misalnya suku
bangsa Tolaki, Wawonii, Moronene, Muna, Kulisusu, Wolio, Ciacia, dan
Wakatobi. Sedangkan suku bangsa yang merupakan penduduk pendatang
seperti Suku bangsa Bugis, Bajo, Toraja dan Jawa.
Desa Mola merupakan salah satu perkampungan Suku Bajo di
Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, yang kini mulai berubah di tengah
arus perkembangan zaman. Sebagian warga Bajo tidak lagi hidup di atas
7 Hasirun Ady. Ayo, Jalan-Jalan ke Wakatobi. (Makassar: Pustaka Refleksi. 2011) Hlm. 47
8 Padbrugge dalam AB. Lapian. Orang Laut, Bajak Laut dan Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut
Sulawesi Abad XIX. (Yogyakarta: Mata Bangsa. 2001). Hlm. 161

5


laut lepas, mereka kini sudah mempunyai tempat tinggal tetap di darat.
Bahkan hampir semua memiliki alat teknologi elektronik, seperti televisi.
Dimana masyarakatnya mayoritas beraktivitas sebagai nelayan. Sebagai
nelayan tentunya sumber pendapatannya berasal dari laut dengan berbagai
peralatan yang bergantung pada hasil tangkapan yang diperoleh.9
Di Wakatobi komunitas Bajo tersebar di beberapa tempat. Ada
Bajo Mola di Wangi-Wangi, Sampela, Lohoa dan Mantigola di Kaledupa
dan Lamanggau di Pulau Tomia. Dalam sejarah masa lampau kehidupan
komunitas ini selalu berpindah dari satu tempat ketempat lain. Sehingga
Suku Bajo selalu ditemukan di hampir semua negara Asia Tenggara yang
memiliki pesisir pantai.10
Orang Bajo Mola dahulunya berasal dari Mantigola (Kaledupa).
Namun daerah tempat tinggalnya selalu diganggu oleh segerombolan
gerilyawan (DI/TII). Oleh sebab itu, perpindahan orang Bajo Kaledupa ke
Wakatobi, yaitu ingin mencari tempat tinggal yang lebih aman dan
nyaman. Namun, perpindahan Orang Bajo ke Wakatobi tidak begitu saja,
mereka dahulu harus melakukan nego dengan para sara adat yang berada
di Wakatobi, seperti sara Wanci, Mandati, dan Liya.
Orang Bajo yang berada di Desa Mola


dulunya dianggap

masyarakat primitif. Pada mulanya, orang Bajo tinggal di dalam Laut atau
di pinggir pantai yang jauh dari pemukiman penduduk lokal, mereka
9 http://www.antarafoto.com/foto-cerita/v1299218116/0/cerita-dari-bajo-mola4/32011 12:55
sejak dulu. diakses pada tanggal 10 0ktober 2011.
10 Diposkan oleh Dulla Wakatobi. Di akses pada tanggal 05 Maret 2012

6

menjalani hidupnya di atas perahu sejak lahir, berkeluarga hingga akhir
hayatnya, serta rumah-rumah tancap. Mereka hanya berinteraksi dengan
satu sama lainnya yang berada di lingkungan mereka sendiri. Karena
mereka menutup diri dengan masyarakat lokal yang ada di darat. Bagi
komunitas Bajo laut dijadikan sebagai sumber mata pencaharaian
(kehidupan). Oleh sebab itu, orang Bajo sering disebut sea nomads atau
sea gpysies.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman orang Bajo yang
berada di Desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi
tersebut tidak lagi seperti orang Bajo yang berada di daerah lain. Mereka

kini telah banyak mengalami perkembangan dalam hal hidup maupun
dalam akivitas mereka sehari-hari selama mereka tinggal di darat. Hal itu,
disebabkan karena pola pikir mereka yang ingin lebih maju serta lebih
baik dari sebelumnya. Serta mereka juga ingin seperti komunitas lokal
yang berada di darat. Hal ini tentu saja membawa dampak lebih baik buat
kesejahteraan orang Bajo.
Berbicara mengenai perkembangan orang Bajo yang berada di
Desa Mola yang sekarang telah membaur dengan masyarakat lokal yang
ada di darat. Perkembangannya tersebut bisa dilihat, dari segi pendidikan,
kesehatan, kekerabatan maupun dari segi pembangunan lokasi tempat
tinggal mereka saat ini dan sebagainya. Keberadaan orang Bajo di Desa
Mola semakin berkembang dan modern. Hal ini ditandai dengan sudah
banyak rumah permanen, serta fasilitas-fasilitas penunjang lainnya dalam

7

kehidupan mereka seperti tempat ibadah (mesjid), listrik, poskesdes,
koperasi, sekolah, pasar dan instalasi air bersih. Dimana perkampungan ini
dibangun di atas laut dengan timbunan batu karang.
Selain itu, kini juga telah banyak perubahan yang dialami oleh

komunitas Bajo. Sebelum orang Bajo di darat mereka hanya berinteraksi
satu sama lainnya di laut. Namun, setelah orang Bajo di darat mereka lebih
intensif berinteraksi dengan komunitas lokal yang ada di darat. Seperti
halnya dalam hal hubungan sosial, politik, ekonomi maupun budaya.
Walaupun tidak semua orang Bajo yang lainnya mengikuti perkembangan
zaman yang terjadi dalam kehidupan mereka. Tetapi, dengan perubahan
yang dialami orang Bajo di desa tersebut membawa mereka hidup lebih
baik, aman dan sejahtera dibanding waktu mereka masih di laut lepas.
Keberadaan orang Bajo yang berada di Desa Mola telah menjadi
perhatian besar pemerintah setempat. Pemerintah pun kini telah lebih
memperhatikan kesejahteraan serta kemajuan orang Bajo yang berada di
Desa Mola. Sebab, Pemerintah telah memberikan bantuan-bantuan buat
kesejahteraan orang Bajo itu sendiri, karena komunitas Bajo yang berada
di Desa Mola itu sendiri merupakan perkampungan Bajo dengan jumlah
penduduk yang terbanyak se-Indonesia.
Jumlah penduduk Bajo di Desa Mola kurang lebih 7000 jiwa (BPS
Wakatobi 2010), dalam setiap rumahnya itu jumlah KK yang ada kurang
lebih 3-4 KK. Jadi, kurang lebih yang berada dalam setiap rumah itu
berjumlah 12 orang. Yang terdiri atas Ayah, Ibu dan Anak. Maka dari itu,


8

pemerintah memberikan bantuan buat kelayakan serta kesejahteraan orang
Bajo yang berada di Desa Mola tersebut. orang Bajo di dominasi usia 0-24
tahun yang berarti laju pertumbuhan penduduk kedepannya akan tergolong
tinggi. Hal ini dikarenakan usia penduduk tersebut merupakan penduduk
yang akan menghasilkan generasi-generasi baru, yang nantinya berpotensi
menggunakan sumberdaya laut.
Perkampungan Bajo yang berada di Desa Mola itu sendiri, sudah
seperti kota. Sebab pemerintah telah mengarahkan jalur pusat kota itu
sendiri tidak jauh dari pada perkampungan Bajo itu. Walaupun,
perkampungan Bajo itu masih berada di dalam Desa Mola. Namun
komunitas Bajo menyebut tempat tinggal mereka seperti Dualistis yaitu
kota-desa, desa-kota.
Keberadaan orang Bajo di Desa Mola Kabupaten Wakatobi itu
sendiri hingga sekarang masih banyak orang yang belum mengetahui
secara pasti keberadaan serta perkembangan ataupun perubahan yang
dialami orang Bajo di Desa Mola.
Hal inilah penulis tertarik untuk mengungkap sejauh mana
perkembangan serta perubahan keberadaan yang dialami oleh orang Bajo
dalam aktivitas ataupun hidup mereka yang kini hidup membaur dengan
komunitas lokal yang di darat. Serta akan terlihat pula sejauh mana peran
dan campur tangan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan
komunitas Bajo.

9

Berdasarkan penjelasan diatas yang dipaparkan, maka peneliti
merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji secara mendalam tentang
kehadiran orang Bajo di Desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten
Wakatobi dalam kurung waktu (1975-2010).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya maka
permasalahan

pokok

dalam

penelitian

ini

adalah

“Bagaimana

perkembangan serta perubahan orang Bajo ditengah-tengah komunitas
lokal di Desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi.
Permasalahan ini kemudian dirinci dalam beberapa sub permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana latar belakang keberadaan orang Bajo di Desa Mola
Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi ?
2. Bagaimana perkembangan orang Bajo ditengah-tengah komunitas
lokal di desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi ?
3. Sejauhmana perubahan kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik
orang Bajo dalam interaksi mereka dengan komunitas lokal di Desa
Mola Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi?
4. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk kesejahteraan orang Bajo di
Desa Mola ?
C. Batasan Masalah
Untuk menghindari luasnya cakupan masalah penelitian ini, maka
perlu diadakan pembatasan, baik secara temporal, spasial maupun tematik.
Dari sisi temporal, penelitian ini dibatasi dalam kurun waktu 1975 sampai
dengan 2010. Pembatasan dimulai sejak tahun 1975, karena pada tahun ini
awal mulanya pemukiman orang Bajo bermukim di daratan. Pembahasan

10

diakhiri pada tahun 2010, karena pada tahun 2010 akitivitas ataupun
kehidupan orang Bajo mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Secara spasial penelitian ini hanya di batasi pada wilayah
administratif Desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi.
Secara tematik pembahasan penulisan ini dibatasi hanya pada kehadiran
orang Bajo dan perubahan-perubahan yang terjadi pada orang Bajo di
tengah komunitas lokal di Desa Mola.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana
yang telah dipaparkan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui latar belakang keberadaan orang Bajo di Desa
Mola.
2. Untuk mengetahui

perkembangan orang Bajo ditengah-tengah

komunitas lokal.
3. Untuk mengetahui perubahan kehidupan sosial, ekonomi, budaya serta
politik orang Bajo dalam interaksi mereka dengan komunitas lokal
4. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah untuk kesejahteraan
komunitas Bajo.
E. Manfaat Penelitian
Adapun Manfaat penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dalam mengkaji
b.

masalah yang relevan.
Sebagai bahan informasi kepada semua pihak mengenai
kehadiran orang Bajo yang berada di Desa Mola serta

perkembangan hidup yang dialaminya.
2. Manfaat Praktis
a.

Sebagai bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran bagi

11

pemerintah

provinsi

serta

pemerintah

kabupaten

dalam

meningkatkan kesejahteraan orang Bajo. Agar supaya mereka bisa
hidup layak seperti komunitas lokal yang berada di darat.
b. Sebagai tambahan informasi pada masyarakat Bajo yang berada
di tempat lain mengenai perkembangan dan perubahan yang
dialami oleh Bajo di Desa Mola kecamatan Wangi-Wangi
Kabupaten Wakatobi.

F. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pikir
1. Tinjauan Pustaka
a. Pengertian Komunitas Lokal
Komunitas Lokal adalah istilah yang mengacu kepada sekumpulan
orang yang hidup dalam suatu kawasan dan saling berhubungan satu sama
lain dan memiliki kepentingan dan nilai bersama. Secara praktis,
komunitas lokal dalam konteks nilai berkonservasi tinggi merupakan
sekumpulan orang yang hidup di dalam atau disekitar kawasan hutan atau
ekosistem alam lain yang memiliki jaringan komunikasi,memiliki
kepentingan bersama dengan hutan atau ekosistem alam lain dan memiliki
simbol lokal tertentu berkaitan dengan kawasan tersebut.11

11http://www.scribd.com/doc/78205294/8/TERMINOLOGI-PENTING-DAN-SINGKATAN,di
pada tangal 17 maret 2012.

akses

12

Pengertian komunitas lokal melampaui sekedar pengertian
masyarakat adat dan masyarakat lokal. Pengertian komunitas lokal
digunakan untuk menampung gejala-gejala baru di masyarakat tentang
adanya pemukiman-pemukiman baru di perkotaan atau di pinggiran kota,
jauh dari pada adat maupun masyarakat lokal. Suatu real estate, perumnas
dan sebagainya yang merupakan perumahan-perumahan baru tidak bisa
dikatakan sebagai masyarakat adat maupun sebagai masyarakat lokal.12
Komunitas lokal adalah kelompok masyarakat yang secara historis
memiliki teritorial dan identitas diri dan mengidentifikasikan diri sebagai
kelompok yang berbeda.13
Jadi, dapat disimpulkan bahwa komunitas lokal merupakan
sekumpulan orang yang mendiami suatu wilayah, yang mana merupakan
penduduk asli ataupun masyarakat pribumi di wilayah tersebut. Dikatakan
komunitas lokal karena setiap orang yang lahir disuatu tempat, wilayah
atau negara, dan menetap di sana dengan status orisinal atau asli atau tulen
(indigenious) sebagai kelompok etnis yang diakui sebagai suku bangsa
bukan pendatang dari negara lainnya.
Lokal (pribumi) bersifat autochton (melekat pada suatu tempat).
Secara lebih khusus, istilah lokal (pribumi atau penduduk asli) ditunjukkan
kepada setiap orang yang lahir dengan orang tua yang juga terlahir disuatu
tempat.
b. Suku Bajo atau Bajau

12http://www.webrimpolri.org/dinamis/local-by-for-local-job-policing/halaman-3. diakses pd tgl
17 maret 2012
13(United Nations, dalam Bambang Hudayana, 2005 : 2) http://www.depsos.go.id/modules.php?
name=News&file=print&sid=330. Diakses pada tgl 20 juni 2012.

13

Istilah Bajo dipakai untuk orang-orang perahu penyeberang yang
tempat tinggal mereka berkembang melintasi Laut Cina Selatan. Jumlah
mereka berkurang drastis selama abad terakhir. Masyarakat Bajo di
Indonesia tinggal terutama di daerah kepulauan di daerah pantai Sulawesi,
pemukiman mereka umumnya di dekat Manado, Ambogaya, dan Kendari;
di Baggai, Sula, dan kepulauan Togian; sepanjang selat Tiworo; di teluk
Bone; dan sepanjang pantai Makassar.14
Suku Bajo atau Bajau dikenal sebagai salah satu suku nomaden di
Indonesia yang beraktivitas di atas perahu. Kehidupannya pun berpindahpindah akibat tradisi yang mengakar kuat pada suku Bajo. Oleh karena itu
banyak peneliti yang kesulitan untuk memastikan tempat asal-usul dari
suku Bajo. Karena ketika lahir hingga meninggalpun segala aktivitas
hanya diabdikan kepada laut. Laut dijadikan sebagai tumpuan dalam
mencari nafkah dan kehidupannya
Bajo atau Bajau merupakan salah satu suku pelaut yang kini
banyak mendiami wilayah Sulawesi. Sebagai suku pelaut, orang-orang
Bajo masih kalah terkenal dibanding suku-suku lainnya di Sulawesi.
Masyarakat Bajo juga sering berlayar untuk mencari ikan dan merantau ke
luar wilayah wakatobi, malahan ke luar Indonesia. Mereka terbiasa hidup
di laut dan sanggup beradaptasi dengan alam sekitar.
Bajau nama ‘Bajau’ lebih terkenal di wilayah Indonesia bagian
timur. Di kawasan ini orang bajau (disebut juga Bajo) ditemukan
diperairan Selat Makassar (di pulau Laut dan pantai timur Kalimantan,
14 Idrap. Suku Bajo. 2006. http://www.acicis. Murdoch.edu. au/hi/field. Topics. Pdft. Diakses pada
10 oktober 2011.

14

sekitar Bone ); di Teluk Bone (di pulau Bajoe yang berhadapan langsung
dengan watampone) ; di daerah Nusa tenggara Timur Pulau Alor dan
sekitarnya: di Kepulauan Banggai di sebelah timur Sulawesi; di Teluk
Tomini (terutama di kepulauan Togian dan di Toriaje ); di maluku Utara di
Kepulauan Bacan; dan diperairan Laut Sulawesi baik Sulawesi Utara dan
Kalimantan Timur (Termasuk Sabah Timur) maupun Kepulauan Sulu.
Nama Bajau atau Bajo seperti juga nama Orang Laut adalah
eksonim (exonym), nama yang beri oleh orang luar. Orang Bajo yang juga
biasa disebut orang laut karena tempat tinggal mereka berada dalam laut
dan mata pencaharian utama mereka berada pada laut.15
Orang-orang Bajo dikenal sebagai orang laut yang mengembara
dari satu pulau ke pulau lain. Di Kendari, orang-orang Bajo tinggal di
Sulawesi Tenggara. Mereka tinggal dan menyebar di pantai teluk Kendari
dan pulau-pulau disekitar Kota Buton, terutama di Kepulauan Tukang
Besi, seperti di Pulau Wanci, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Mata
pencaharian etnis Bajo adalah nelayan, yakni mencari teripang, lola dan
sirip ikan hiu. Namun, orang Bajo di Desa Mola mata pencaharian lebih
kepada ikan dan Penyu. Kemudian mereka jual kepada komunitas lokal
yang di darat sekitar tempat mereka tinggal.16
Bajo, Bajau atau Sama Bajo juga merupakan salah satu suku di
Indonesia

yang

menyebar

ke

berbagai

penjuru

negeri.

Bahkan

perkampungan merekapun dibangun jauh menjorok kearah lautan bebas,
15 Adrian Bernard Lapian. orang laut, bajak laut dan raja laut .(Yogyakarta: Mata Bangsa.
Yogyakarta. 2001). Hlm. 150.
16 La Ode Rabani. Kota-Kota Pantai di Sulawei Tenggara. (Yogyakarta: Ombak, 2010). hlm 18-19.

15

tempat mereka mencari penghidupan. Laut bagi mereka adalah satusatunya tempat yang dapat diandalkan. Julukan bagi mereka sudah barang
tentu sea nomads, karena pada mulanya mereka memang hidup terapungapung diatas rumah perahu.
Walaupun terdapat perbedaan riwayat asal-usul, dan tidak ada
tahun yang pasti akan tetapi studi-studi tersebut memiliki kesimpulan yang
sama mengenai ciri kehidupan komunitas Suku Bajo, yakni: (1)
menangkap ikan merupakan pencaharian utama yang dilakukan secara
turun temurun, serta (2) memiliki dialek bahasa yang sama.
Secara psikologis, mereka merasa perkasa dan lebih “jago” dari
masyarakat yang ada di darat karena mampu mengarungi samudera
bagaimanapun besar dan dalamnya samudera itu. Namun, mereka di sisi
lain merasa inferior karena orang-orang darat mempunyai peradaban
dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi dibanding mereka yang hanya
bergelut di laut. Oleh karena itu, sangatlah beralasan jika muncul persepsi
di luar masyarakat Suku Bajo bahwa Suku Bajo adalah masyarakat
terasing, terbelakang, dan tertutup.
Secara kultural, orang Bajo masih tergolong masyarakat sederhana
dan hidup menurut tata kehidupan lingkungan laut, dikenal sebagai
pengembara lautan (sea gypsies), yaitu hidup dengan mata pencaharian
yang erat hubungannya dengan lautan, serta memiliki pengetahuan dan
keterampilan menangkap ikan di lautan. Laut dan orang Bajo merupakan
dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kultur orang Bajo. Karena itu,

16

ada dua konsep utama yang yaitu: (1) Laut, adalah wilayah perairan yang
luas dan airnya asin yang memiliki berbagai fungsi. Laut bagi orang Bajo
mutlak adanya, karena selain sebagai tempat tinggal, juga sebagai tempat
mencari nafkah hidupnya, (2) Orang Bajo, adalah sekelompok orang
pengembara lautan yang berdomisili bersama keluarganya di laut atau
pesisir pantai.
Komunitas Suku Bajo dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan
dengan laut dan perahu. Mereka terkadang berpindah-pindah dari satu
pantai ke pantai yang lain di Kepulauan Indonesia. Dalam catatan
Magellan ditunjukkan bahwa Suku Bajo telah hidup sebagai orang laut
sejak awal abad ke-16. Pola hidup mengembara ini membuat orang-orang
Eropa menyebut mereka sebagai sea gypsies (gipsi laut) atau sea nomads
(pengembara laut). Sebagai pengembara laut, mereka sudah mulai
mencoba untuk menetap di suatu tempat sementara, yaitu di pantai atau di
pesisir laut. Mereka bekerja dengan mencari hasil-hasil laut mulai dari
ikan hingga akar bahar kemudian dijualnya kepada masyarakat yang
tinggal di daratan.
Selama ini stereotip yang ditujukan pada Suku Bajo bahwa sikap
mereka adalah statis, hanya suka hidup di laut, kurang suka berinovasi,
bersikap tertutup dan tidak mampu beradaptasi secara fisik geografis,
sosial dan budaya dengan penduduk yang hidup di darat. Akibatnya Suku
Bajo kurang terlibat dalam proses pembangunan dan menikmati hasil
pembangunan tersebut.

17

Kajian berbagai ilmu sosial menyimpulkan pula bahwa Suku Bajo
justru juga mempunyai etos berupa sikap hidup progresif. Mobilitas
penduduk yang kuat, bukan hanya bergerak dari satu tempat ke tempat
lainnya di lingkungan laut semata, tetapi juga dari laut ke pantai, dari
pantai ke darat, dan sewaktu-waktu kembali lagi ke laut bilamana laut
menyediakan sumberdaya ekonomi dan ruang gerak lebih luas. Jadi sikap
hidup Suku Bajo dalam menentukan berbagai pilihan di antara variasivariasi sumberdaya di laut maupun di darat.
Pola pemukiman masyarakat Bajo yang hidup secara berkelompok
berdasarkan etnisnya dan frekuensi mobilitas mereka dari satu tempat ke
tempat yang lain relatif tinggi. Meskipun demikian, pergaulan dan
hubungan dengan masyarakat (orang darat) telah terjadi kontak sosial
sehingga mereka tidak terisolasi dengan lingkungan sosialnya dimana
mereka bermukim. Perubahan pola hidup dari pengembara menjadi
menetap dengan berhubungan dengan orang-orang darat terjadi baik di
lingkungan pasar maupun dalam lembaga pendidikan seperti lingkungan
sekolah.17
2. Kerangka Pikir
Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi yang ada dalam
wilayah Republik Indonesia. Sama halnya dengan provinsi lain, Sulawesi
Tenggara pun didiami oleh berbagai suku bangsa yang tentunya akan
17 Priantono, Bambang. 2006. Jurnal Tentang Suku Bajo. http:// bambang priantono.
multyply.com/journal/item/1229. diakses 16 februari 2012.

18

melahirkan kebudayaan beraneka ragam pula. Salah satunya adalah Suku
Bajo. Seperti yang kita ketahui bahwa suku Bajo itu tersebar dimana-mana
bahkan sampai ke pelosok Nusantara. Suku

Bajo kini telah banyak

mengalami perkembangan, namun ada juga yang masih mempertahankan
kebudayaannya.
Wakatobi merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Sulawesi
Tenggara yang menyimpan sebuah orang pendatang yang kini telah
mengalami perkembangan Komunitas yang dimaksud adalah komunitas
Bajo. Komunitas Bajo adalah komunitas yang awalnya tinggal di laut
dalam perahu, di sekitar pantai, dan bahkan di rumah - rumah tancap.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman komunitas Bajo yang berada
di Wakatobi kini telah berbaur dengan masyarakat lokal atau masyarakat
luar yang bermukim di darat.
Orang Bajo telah banyak mengalami perkembangan selama mereka
berpindah di darat. Perkembangan itu seperti rumah tinggal mereka yang
kini permanen, dari segi pendidikan serta kesehatan serta fasilitas
penunjang lainnya yaitu pasar, poskesdes, listrik dan sebagainya. Hal ini,
membawa dampak baik bagi kehidupan mereka dari pada sebelumnya.
Selain itu, kehadiran orang Bajo di darat kini mengalami perubahan yang
cukup besar. Sebab komunitas Bajo kini telah berhubungan dengan
komunitas di darat. Salah satu perubahan yang terjadi dalam kehidupannya
yaitu dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.
Perkembangan serta perubahan ini tidak terlepas dari adanya campur
tangan dari pada pemerintah serta atas inisiatif dari komunitas Bajo itu

19

sendiri. Kini pemerintah lebih banyak memperhatikan kesejahteraan
komunitas Bajo yang berada di Desa Mola tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka pemikiran penelitian ini
dapat digambarkan dalam skema berikut :
Kebijakan
Pemerintah

Orang Bajo
Dalam Dekade
1970-an

- Bermukim di
laut
- Tidak berbaur
dengan
masyarakat
lokal
- Menjauhi
dunia politik

Orang Bajo
Pada Dekade
2000-an
Inisiatif Internal
Orang Bajo

- Bermukim di darat
- Berbaur Dengan
masyarakat lokal
- Kawin-mawin
dengan masyarakat
lokal
- Ikut serta dalam
dunia politik

G. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Studi ini mengambil lokasi di Desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi
Kabupaten Wakatobi. Adapun batas-batasnya: (1) Sebelah Selatan
berbatasan Desa Usuno, (2) Sebelah Utara berbatasan Sungai Wanci, (3)
Sebelah Barat berbatasan Desa Kapota, (4) Sebelah Timur berbatasan Desa
Mandati (peta kantor Desa Mola). Luas desa ini adalah sekitar kurang

20

lebih 2 km2 dengan jumlah penduduk mencapai 7000 jiwa dan terdiri atas
2000 KK (data statistik kantor Desa Mola tahun 2010). Desa ini dapat
dicapai dengan menggunakan dua jalur, yakni jalur laut menggunakan
perahu layar atau kapal-kapal motor dan melalui jalan darat. Wilayah Desa
Wewangriu secara administratif membawahi 5 dusun yakni: Dusun Mekar,
Dusun Bahari, Dusun Nelayan, Dusun Segar, dan Dusun Teratai .18
Walaupun penelitian ini difokuskan pada kehadiran orang Bajo di
Desa Mola, namun kehadiran orang Bajo yang ada di sekitar tempat
lainnya juga dijadikan sebagai objek penelitian sepanjang itu dianggap
perlu dan diketahui menyimpan informasi penting yang berkaitan dengan
topik penelitian, seperti perkembangan dan perubahan yang dialami orang
Bajo yang ada di Desa Mola yang saat ini. Diperoleh pula data di berbagai
instansi seperti Kantor Desa Mola, Kantor Kecamatan Wangi-Wangi, Biro
Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi, Kantor Bappeda Kabupaten
Wakatobi, Perpustakaan Daerah Kabupaten Wakatobi, dan Departemen
Sosial Provinsi Sulawesi Selatan.
2. Metode Penelitian
Sesuai dengan judul dan permasalahan yang dikemukakan di atas,
maka penulisan skripsi ini dapat dikategorikan ke dalam jenis penelitian
sejarah; atau secara lebih khusus bagi penelitian sejarah maritim. Oleh
karena itu metode yang digunakan adalah juga metode sejarah.
Metode penelitian sejarah berbeda dengan metode penelitian ilmuilmu lain. Menurut Pelto penelitian sejarah ialah penelitian yang bersifat
18 Laporan batas-batas wilayah Desa

21

ideografis dimana penyelidikan dilakukan untuk memberikan gambaran
yang konkrit mengenai kejadian yang khusus yang dilakukan oleh manusia
di lokasi dan waktu tertentu.19 Sedangkan menurut Sartono Kartodirjo20
metode sejarah adalah seperangkat azas dan kaidah-kaidah yang sistematis
yang digubah untuk membantu secara efektif dalam mengumpulkan
sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan menyajikan suatu
sintesis dari hasil yang dicapai, pada umumnya dalam bentuk tertulis.
Menurut Garraghan metode sejarah

merupakan proses menguji dan

menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. 21
Karena itu Nugroho Notosusanto menyimpulkan bahwa metode sejarah
adalah sarana sejarawan untuk melaksanakan penelitian dan penulisan
sejarah.22
Menurut Kuntowijoyo23 terdapat lima tahapan dalam penelitian
sejarah yaitu pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi kritik
sejarah, interpretasi (analisis dan sintesis), dan penulisan. Pemilihan topik
berkenaan dengan alasan peneliti mengangkat topik ini (berupa kedekatan
intelektual dan kedekatan emosional). Pengumpulan sumber berkenaan
dengan pengumpulan data dan informasi. Verifikasi kritik sejarah
berkenaan dengan uji keabsahan suatu sumber. Interpretasi (analisis dan
19 Pelto, Pertti J & Gretel H. Pelto. Anthropological Research The StructureOf Inquiry. (Cambridge:
Cambridge University Press. 1984). Hlm. 19
20 Sartono, Kartodirjo. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1992). Hlm. 3.
21 Gillbert J. Grraghan Dikutip dalam buku Muh. Shaleh Madjid dan Abd. Rahman Hamid.
“Pengantar ilmu sejarah”, (Makassar. Rehan Intermedia. 2008). Hlm. 48
22 Nugroho Notosusanto. Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah, (Jakarta:
Dephankam. 1971). Hlm. 12.
23 Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang 2005). Hlm. 90.

22

sintesis) berkenaan dengan pencarian dan keterkaitan makna antar fakta,
sedangkan penulisan berkenaan dengan laporan hasil penelitian.
Implementasi tahapan-tahapan kerja tersebut dalam penelitian ini akan
dijelaskan lebih lanjut pada bagian-bagian lain dari penulisan skripsi ini.
3. Sumber Data
Sumber data yang dimaksud terdiri dari data primer dan sekunder.
Data primer terbagi dari dua yakni tertulis dan lisan. Sumber primer dalam
bentuk

lisan

yang

diperoleh

berupa

arsip,

kependudukan

serta

perkembangan desa dari kantor desa. Sumber primer dalam bentuk lisan
diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) dari orang
Bajo yang bertempat tinggal di darat dan laut, masyarakat lokal, aparat
desa, dan eksportir ikan.
Sumber data yang kedua adalah data sekunder. Data sekunder yang
dimaksud berupa Buku, Jurnal, Laporan hasil Penelitian, bulletin, majalah,
guntingan koran, catatan kecil narasumber dan karya hasil penelitian. data
tersebut

diperoleh

Perpustakaan

dari

UNM,

beberapa lembaga

Perpustakaan

Unhas,

di Makassar seperti:
Perpustakaan

Daerah,

Perpustakaan UIN Alauddin, Kantor BPS Kabupaten Wakatobi, kantor
Bappeda, Kantor Statistik Kecamatan Wangi-Wangi, dan Koleksi
Perorangan.

4. Alasan Pemilihan Topik
Pemilihan topik dalam penelitian ini didasarkan pada dua
kedekatan yakni kedekatan intelektual dimana peneliti sangat menyukai

23

hal yang berkenaan dengan laut dan selama kuliah peneliti senang dengan
mata kuliah sejarah maritim dan sejarah sosial. Kedekatan kedua yakni
kedekatan emosional dimana peneliti merasa bisa menjangkau lokasi
penelitian baik secara spasial maupun budged (finansial).
5. Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data sebagai langkah pertama dilakukan dengan
mengumpulkan sejumlah bahan yang dianggap relevan, baik berupa bahan
tertulis (Dokumen), lisan maupun visual. Dari studi pendahuluan yang
penulis

lakukan

mengenai

ketersediaan

jumlah

informasi

dapat

disimpulkan bahwa terdapat banyak informasi yang cukup memadai yang
dapat digunakan sebagai bahan penulisan. Sumber tersebut antara lain
adalah sumber primer yang berupa dokumen tertulis yang akan diperoleh
dari kantor desa setempat dimana informasi yang akan diperoleh mengenai
daftar nama keseluruhan penduduk, laporan tahunan masyarakat Desa
Mola, jumlah penduduk, jenis kelamin, dan pekerjaan.
Wawancara yang dilakukan kepada aparat desa berhasil ditemukan
berbagai informasi mengenai sejarah singkat berdirinya desa, sejarah
pemimpin/sislsilah kepala desa, potensi yang dimiliki desa, masuknya
jaringan listrik, akses jalan, pasar, air bersih (PAM). Diperoleh pula
informasi

mengenai

pertumbuhan

jumlah

penduduk,

luas

areal

persawahan, pekerjaan masyarakat, jumlah penduduk Desa Mola.
Pengumpulan data sedapat mungkin akan dilakukan melalui pencatatan
dan foto kopi untuk mempermudah penelitian lebih lanjut, serta diberikan

24

cuma-cuma oleh aparat desa.
Wawancara juga dilakukan kepada komunitas Bajo yang berada di
darat, yang meliputi: kapan

membaur dengan penduduk lokal, kapan

bermukim di darat, perkembangan orang Bajo, perubahan kehidupan orang
Bajo, insiatif sendiri untuk membaur, tanggapan komunitas lokal, cara
berinteraksi, peran orang Bajo, kapan masuk dunia politik, berapa yang
masuk politik, berapa yang tidak lolos dan lolos, siapa orang Bajo masuk
dunia politik, dan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Wawancara juga dilakukan kepada Sejarahwan Wakatobi, yang
mana berhasil didapatkan meliputi seperti: asal-usul orang Bajo Mola,
alasan berpindah tempat/ lokasi, kapan orang Bajo berada di Mola,
tanggapan masyarakat lokal, jenis tempat tinggal, berapa jumlah orang
yang berada di tempat tinggal tersebut, kapan tinggal di rumah tancap,
bahan-bahan diperoleh, jenis mata pencaharian, kapan waktu melaut,
berapa hasilnya, jenis-jenis ikan yang diperoleh, sedangkan wawancara
yang dilakuakan pada istri orang Bajo meliputi sebagai berikut: aktivitas
yang dilakukan, peran dalam ekonomi keluarga. Selain itu, wawancara
juga dilakukan kepada komunitas lokal, seperti hubungan antara orang
Bajo dan lokal, cara berinteraksi.
Adapun data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka dengan
target berupa buku, laporan hasil penelitian, bulletin, majalah, guntingan
koran dan karya hasil penelitian yang dapat diperoleh di Perpustakaan

25

Daerah Kabupaten Wakatobi, Biro Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi,
Perpustakaan wilayah Makassar, Kantor Departemen Sosial Makassar,
Badan Arsip dan Kepustakaan Makassar, Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Ujung Pandang serta perpustakaan di beberapa Lembaga
Perguruan Tinggi di Makassar antara lain perpustakaan Universitas Negeri
Makassar, Perpustakaan Universitas Hasanuddin serta Perpustakaan UIN
Alauddin Makassar.
a. Kritik Sejarah
Kritik dilakukan untuk menentukan otentitas dan kredibilitas dari
sumber. Semua sumber yang dikumpulkan diverifikasi karena data yang
diperoleh tidak secara keseluruhan dapat digunakan langsung dalam
penulisan karya ini. Untuk itu dilakukan krtitik eksteren dan kritik interen.
Kritik eksteren dilakukan untuk menguji kebenaran sumber dengan cara
meneliti tulisannya, gaya bahasa, penggunaan ejaan penulisan nama ikan
dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk menguji keabsahan sumber
apakah sumber itu tiruan, turunan atau palsu. Untuk menguji keabsahan
sumber juga dilakukan kritik interen agar dapat diketahui apakah isi
sumber tersebut layak dan dapat dipercaya keabsahannya. Dilakukan
penilaian intrinsik terhadap sumber melaui penentuan sifat dan
membandingkan dengan sumber lain. Melalui kritik interen dan kritik
eksteren ini spekulasi fakta dapat dihindari.
b. Interpretasi (Analisis dan Sintesis)

26

Setelah dilakukan kritik sumber data sudah dikategorikan sebagai
fakta sejarah. Fakta sejarah yaitu berupa fakta perkembangan serta
perubahan yang dialami komunitas Bajo yang berada di desa Mola selama
kurun waktu 2000- hingga 2010, hal itu dapat dilihat melalui tempat
pemukiman mereka saat ini serta dampak kesejahteraan ekonomi dan
sosial yang dirasakan. Namun demikian fakta yang diperoleh masih berdiri
sendiri sehingga untuk melihat keterkaitan antar fakta diperlukan adanya
penafsiran agar hubungan antara fakta satu dengan fakta lainnya menjadi
jelas. Melalui penafsiran ini maka fakta-fakta tadi dapat menjadi satu
kesatuan yang harmonis sehingga sejarah tentang kehadiran komunitas
Bajo di Desa Mola selama kurun waktu 1975-2010 dapat dihadirkan sesuai
dengan konteksnya.
c. Historiografi (Penulisan)
Tahap terakhir dari metode penelitian sejarah adalah penulisan.
Tahapan ini merupakan tahapan puncak sebab penulis mulai mengungkap
dan memahami realita sejarah sebagaimana terjadinya. Sampai pada
tahapan ini ilmu sejarah membutuhkan ilmu lain sebagai ilmu bantu dalam
mengeksplorasikan data sejarah.
Hasil Penafsiran fakta-fakta sejarah tentang kehadiran komunitas
Bajo di Desa Mola selama kurun waktu 1975-2010 dituangkan dalam
sebuah cerita sejarah berupa eksplanasi tentang 1) latar belakang
kehadiran orang Bajo yang awalnya berada di Kaledupa hingga hijrah ke
desa Mola; 2) perkembangan yang dialami komunitas Bajo ditengahtengah komunitas lokal; 3) perubahan komunitas Bajo ditinjau dari segi

27

aspek sosial, ekonomi, budaya serta politik, 4) serta, kebijakan-kebijakan
yang diberikan pemerintah khususnya komunitas Bajo itu sendiri yang
berada di desa Mola;

28

BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Kondisi Geografis
Desa Mola merupakan salah satu desa yang ada di dalam wilayah
administratif Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Desa Mola
terletak di pesisir pantai yang jaraknya dengan Ibu Kota Kabupaten
Wakatobi dan dapat ditempuh dengan 1 jam perjalanan dengan
menggunakan kendaraan bermotor. Sedangkan jarak tempuh desa Mola
dengan Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara (Kendari) adalah 500 Km
yang dapat ditempuh dalam waktu 11 Jam perjalanan dengan
menggunakan kapal laut.24 Adapun batas-batas administratif desa Mola
adalah sebagai berikut:
1.
Sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Wanci.
2.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Usuno.
3.
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kapota .
4.
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Mandati.25
Secara keseluruhan wilayah Desa Mola mempunyai luas sekitar 2
Km2 yang terdiri dari lima dusun, yaitu Dusun Mekar, Dusun Bahari,
Dusun Nelayan, Dusun Teratai dan Dusun Segar. Di sebelah timur terdapat
hamparan perbukitan yang cukup luas yang oleh sebagian masyarakat
dijadikan sebagai lahan perkebunan.
Letak geografis Desa Mola yang berada di daerah pesisir pantai
membawa keuntungan tersendiri bagi orang Bajo. Orang Bajo yang
sebagian besar berprofesi sebagai

nelayan sangat diuntungkan letak

geografis ini karena sangat memudahkan untuk melakukan penangkapan
24 Laporan Daftar Isian Potensi Desa Mola Dan Kelurahan
25 Peta Desa Mola Tahun 2010

29

ikan baik di pinggiran pantai maupun lautan lepas. Masyarakat Bajo yang
dulu sering dikategorikan sebagai suku tertinggal, sejak dekade 1990-an
secara berangsur-angsur kian maju dan mulai sejajar dengan kelompok
etnik lainnya yang ada di Wanci. Kini malah mereka tidak lagi sematamata menggantungkan hidup sebagai penangkap ikan, tetapi mulai pula
merambah pekerjaan jenis lain seperti pedagang, PNS, peternak, dan
petani.
B. Kondisi Demografis
1. Jumlah Penduduk
Berdasarkan data tahun 2004 - 2010 penduduk Desa Mola telah
mencapai sekitar 7000 jiwa yang dari 3065 laki-laki dan 3935 perempuan
dengan jumlah rumah tangga sekitar 2000 KK. Adapun data penduduk asli
yang masuk dalam Desa Mola yaitu hanya 11 orang. Penduduk asli yang
dimaksudkan dalam hal ini yaitu orang darat yang terdaftar jadi penduduk
Desa Mola. Untuk mengetahui lebih jelas komposisi penduduk Desa Mola
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel I
Komposisi Penduduk Desa Mola
Berdasarkan Perkembangan Penduduk Desa Mola Tahun 2004-2010
NO.
1
2
3
4
5
6
7
8

Tahun
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010

Jumlah Penduduk
4874*
5656*
6009*
6338*
6254**
6884**
7000**

Keterangan
Bertambah
Bertambah
Bertambah
Berkurang
Bertambah
Bertambah

30

Sumber: *) Diperoleh dari kantor Badan Pusat Statistik ( BPS)
Kabupaten Wakatobi
**) Diperoleh dari kantor Desa Mola
Berdasarkan data pada Tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa
perkembangan penduduk di desa Mola mengalami perkembangan yang
cukup pesat setiap tahun. Walaupun

pada tabel di atas terlihat ada

penurunan sedikit pada tahun 2008. Penurunan ini lebih disebabkan oleh
faktor alamiah seperti faktor kematian, perkawinan dengan penduduk dari
kalangan etnik lokal yang kemudian berpindah tempat tinggal sehingga
tidak tercatat lagi secara administratif sebagai penduduk desa Mola.
Bagaimana komposisi penduduk Desa Mola berdasarkan jenis kelamin
dalam tujuh tahun terakhir ini dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:
Tabel 2
Komposisi Penduduk Desa Mola
Berdasarkan Jenis Kelamin
No

Tahun

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7
8.

2003
2004*
2005*
2006*
2007*
2008**
2009**
2010**

Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
2435
2432
2656
3000
3002
3007
2926
3412
3320
2934
3260
3624
3365
3635

Jumlah
4874
5656
6009
6338
6254
6884
7000

-

Sumber: *) diperoleh dari Kantor BPS Kabupaten Wakatobi
**) Diperoleh Dari Kantor Desa Mola
Berdasarkan data pada Tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa dari
sisi jenis kelamin komposisi penduduk Desa Mola masih didominasi oleh
penduduk perempuan. Walaupun demikian perimbangan jumlah penduduk

31

pria dan wanita tidaklah terlampau jauh. Sementara dari sisi pertumbuhan
dari tahun ke tahun juga menunjukkan peningkatan walaupun tidak terlalu
signifikan. Pertambahan ini lebih disebabkan oleh faktor alamiah, yaitu
karena faktor kelahiran.

Tabel 3
Komposisi Penduduk Desa Mola
Berdasarkan Tingkat Usia dan Jenis Kelamin Tahun 2010
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Tingkat Usia
0 – 19
20 – 29
30 – 39
40 – 49
50 – 59
60 keatas
Jumlah

Jumlah Penduduk
Laki-laki Perempuan
498
565
535
657
520
650
648
653
595
758
438
483
3.234
3.766

Jumlah
(orang)
1.063
1.192
1.170
1.301
1.353
921
7.000

Sumber: Kantor Desa Mola 2010
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa usia produktif (19
– 45 tahun) berjumlah 2654 orang atau 37,91% dari jumlah penduduk
secara keseluruhan. Sementara penduduk yang berusia antara (6-18 tahun)
atau usia sekolah 2362 orang atau 33,74% dari jumlah penduduk secara
keseluruhan. Usia kurang produktif (46 tahun keatas) berjumlah 921 orang
atau 13,15% dari jumlah penduduk secara keseluruhan dan usia belum
sekolah berjumlah 1.063 orang atau 15,18% dari jumlah penduduk secara
keseluruhan.

32

2. Pendidikan
Pendidikan merupakan kebutuhan vital untuk membangun
masyarakat di manapun di dunia ini. Beberapa negara di dunia seperti
Jepang, Singapura, Hongkong, Swiss, dan lain-lain telah membuktikan
bahwa ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas lebih banyak
memberi efek kemajuan dibandingkan dengan sumberdaya alam. Dan
untuk meningkatkan sumberdaya manusia, maka kata kuncinya adalah
pendidikan. Oleh karena aspek pendidikan sekarang ini telah dijadikan
sebagai salah satu barometer dalam mengukur kemajuan suatu bangsa.
Secara teoritis, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
dengan usia yang relatif muda, maka orang tersebut akan lebih dinamis
dalam menyerap informasi, menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam menjawab tantangan hidupnya.
Berkaitan dengan pernyataan di atas maka secara khusus dalam
wilayah Desa Mola kini telah mengalami kemajuan dalam bidang
pendidikan. Untuk lebih jelasnya mengenai tingkat pendidikan di Desa
Mola dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini:

Tabel 4
Komposisi Penduduk Desa Mola
Berdasarkan Tingkat Pendidikan
NO
1.
2.

Tingkat Pendidikan
Belum Sekolah
Tidak sekolah

Jumlah Jiwa
1007
3169

Presentase
14,17%
45,27%

33

3.
4
5.
6.
7

TK
SD
SMP
SMA
S1
Jumlah

85
750
735
455
57
7000

0,815%
10,38%
10,08%
4,5%
0,72%
100%

Sumber : Kantor Desa Mola 2010
Data dalam tabel 4 di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk
yang tidak bersekolah di Desa Mola masih menempati posisi yang
dominan, yakni sebesar 3169 jiwa atau 45,27%, lalu disusul oleh
penduduk yang belum bersekolah sebanyak 712 jiwa atau 10,17%.
Sementara yang berpendidikan SD hanya 750 jiwa atau 10,38%, SMP
sebanyak 735 jiwa 10,08%, SMA 455 jiwa atau 4,5%, sedangkan yang
berpendidikan S1 baru sebanyak 57 jiwa atau hanya 0,72%.
Dengan melihat tabel di atas, menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan Desa Mola yang dominan adalah yang tidak bersekolah yang
mencapai 3169 jiwa dengan persentase 45, 27%, hal itu disebabkan karena
masih ada orang Bajo yang lebih mengedepankan mencari uang yang
banyak dibanding menuntut ilmu setinggi-tingginya. Selain itu, salah satu
faktornya juga bahwa orang Bajo tidak ingin hidupnya diatur oleh
peraturan melainkan orang Bajo ingin bebas.
Walaupun demikian dari segi pendidikan masyarakat Bajo di Mola
sudah jauh lebih maju dibandingkan dengan masyarakat Bajo di Kaledupa.
Masyarakat Bajo di kaledupa yang sampai hari ini masih tetap memilih
hidup di laut dan terpisah dari penduduk lokal sama sekali masih belum
tersentuh oleh pendidikan dan pengaruh modernisasi. Dengan demikian
perkembangan masyarakat Bajo di Kaledupa masih relatif stagnan dan

34

pola pikir mereka masih tetap tradisional. Profesi yang ditekuni oleh
mereka belum variatif karena masih terfokus pada profesi sabagai nelayan
penangkap ikan dan pemungut hasil laut. Sementara penduduk dari sisi
profesi sudah mulai variatif karena sudah merambah pula dunia pertanian,
peternakan, pertukangan, bisnis, dan bahkan sudah ada pula yang menjadi
pejabat daerah dan politisi.
3. Mata Pencaharian Orang Bajo
Sebagai masyarakat yang mendiami wilayah pesisir pantai dengan
latar belakang sebagai suku Bajo yang lazim dikenal sebagai orang laut,
maka masyarakat desa Mola sebagian besar menggantungkan hidupnya
di laut sebagai nelayan penangkap ikan dan pencari hasil laut lainnya.
Walaupun demikian telah banyak penduduk Desa Mola yang mulai
merambah pekerjaan lain di luar sebagai nelayan. Oleh karena itu
tingkat kemakmuran merekapun menjadi berbeda-beda pula. Tingkat
kemakmuran mereka tercermin dalam gaya hidup keseharian, baik itu
menyangkut

pakaian,

rumah,

kendaraan,

perhiasan,

dan

lain

sebagainya. Di samping sebagai nelayan, mereka juga telah mulai
merambah profesi lain seperti PNS, POLRI, petani, peternak, montir,
Pengusaha kecil dan menengah, pembantu rumah tangga, dukun
kampung terlatih, dan sebagainya. Untuk mengetahui lebih jelasnya
keadaan penduduk desa Mola berdasarkan mata pencahariannya dapat
dilihat pada tabel V berikut ini:
Tabel 5
Komposisi Penduduk Desa Mola
Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian

35

No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Jenis Mata Pencaharian
Nelayan
PNS
POLRI
Petani
Peternak
Montir
Pengusaha Kecil dan Menengah
Pembantu Rumah Tangga
Dukun Kampung Terlatih
Jumlah

Jumlah Jiwa

Presentase

4502
41
3
10
51
20
25
2
11
4665

(%)
95,55
1,11
0,08
0,27
1,39
0,54
0,68
0,05
0,30
100

Sumber: Kantor Desa Mola
Berdasarkan data dalam

tabel di atas, jelas

bahwa nelayan

merupakan mata pencaharian utama yang banyak digeluti oleh penduduk
Desa Mola. Total penduduk yang menggeluti profesi ini mencapai 4.502
orang atau sekitar 95,55%. Hal ini bisa dipahami karena penduduk Desa
Mola terdiri dari suku Bajo yang secara alamiah dan kultural sejak dahulu
kala dikenal sebagai suku bangsa yang menggantungkan hidup di laut.
Walaupun demikian telah ada sedikit orang Bajo di Mola yang mencoba
menggeluti profesi lain di luar nelayan. Seperti tampak pada Tabel 5 di
atas telah ada orang Bajo di Mola yang berprofesi sebagai pembantu
rumah tangga sebanyak 2 orang atau 0,05%, PNS sebanyak 44 orang atau
1,11%, petani 10 orang atau 0,27%, montir 20 orang atau 0,54%,
pengusaha kecil 25 0rang atau 0,68%, bahkan telah ada peternak sebanyak
51 orang atau 1,39%.
Walaupun jumlah penduduk yang beralih dari profesi nelayan ini
jumlahnya masih relatif kecil, namun dilihat dari konteks budaya orang
Bajo yang sulit melepaskan diri dari kehidupan laut, maka ini dapat

36

dianggap sebagai lompatan budaya yang sangat besar dibandingkan
dengan apa yang terjadi pada orang Bajo di manapun di Nusanatara.
Komunitas Bajo Berese di Kecamatan Wabula Kabupaten Buton misalnya,
mereka enggan merapat ke darat walaupun pemerintah setempat telah
berupaya untuk “mendaratkan” mereka. Merek lebih suka hidup
berkelompok sesama orang Bajo dan membikin perkampungan di atas
tebing laut di kejauhan sekitar 200 meter dari bibir pantai. Di antara
sekitar 300 jiwa penduduk Bajo berese ini tidak satupun yang menekuni
profesi lain selain sebagai nelayan pena