Skripsi Hukum Universitas Indonesia TINJ

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sistem penyelenggaran kekuasaan negara yang dipandang paling sesuai
dengan kebutuhan masyarakat modern dewasa ini adalah sistem demokrasi. 1
Demokrasi secara sederhana diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat (democracy is government from people, by people and for
people).2 Terlebih lagi memang konsep demokrasi didirikan atas dasar logika
persamaan dan gagasan bahwa pemerintahan memerlukan persetujuan dari yang
diperintah, dalam hal ini adalah rakyat.3 Itu artinya baik dari segi teoritis maupun
praktis demokrasi erat kaitannya dengan prinsip kedaulatan rakyat, dimana sistem
penyelenggaraan negara yang demokratis itu menjamin bahwa rakyat terlibat
secara penuh dalam merencanakan, mengatur, dan mengawasi serta menilai
pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.4
Indonesia sebagai negara yang merdeka dengan tegas menganut paham
kedaulatan rakyat dengan menuangkannya dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai salah satu bentuk tindak lanjut dalam

mengakomodir kedaulatan dan

keterlibatan rakyat tersebut, maka dari itu

dituangkanlah dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang
mengatur mengenai jaminan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat di Indonesia. Ketentuan senada pun sejatinya terlihat dalam dokumen
internasional yang tertuang dalam konferensi International Commision of Jurirsts
di Bangkok pada tahun 1965 yang menjadikan kebebasan berpendapat dan
1 Jimly Asshiddiqie (1), Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm.114.
2 U.S Department of State’s Bureau of International Information Programs, “Defining
Democracy”, http://www.ait.org.tw/infousa/zhtw/docs/whatsdem/whatdm2.htm, diunduh pada 30
September 2015.
3 Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara
Singkat, diterjemahkan oleh A.Rahman Zainuddin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm.
2.
4 Jimly Asshidiqie (1) , loc.cit.

Universitas Indonesia


2

kebebasan berserikat sebagai ciri utama negara yang memiliki pemerintahan
demokratis di bawah Rule of Law.5 Dengan diaturnya kebebasan berserikat dalam
kedua ketentuan diatas, dapat diketahui bahwasannya kebebasan berserikat telah
diakui dan disepakati sebagai bagian yang penting di negara Indonesia secara
khusus dan masyarakat global secara umum sehingga perlu diatur secara tegas dan
spesifik.
Pada dasarnya kebebasan berserikat lahir dari kecenderungan dasar
manusia untuk hidup bermasyarakat dan berorganisasi baik secara formal maupun
informal.6 Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles yang mengemukakan
bahwa manusia adalah makhluk sosial yang kodratnya untuk hidup bermasyarakat
dan berinteraksi satu sama lain karena masing-masing manusia tidak mampu
hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. 7 Menurut Prof. Jimly
kecenderungan tersebut merupakan suatu keniscayaan, dimana kehidupan
berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan
yang sama dari individu-individu serta untuk mencapai tujuan bersama
berdasarkan persamaan pikiran dan hati.8 Kebebasan berserikat menjadi penting
karena merupakan manifestasi puncak dari kebebasan hati nurani, kebebasan

berkeyakinan dan kebebasan menyatakan pendapat seseorang. Selain itu, hak-hak
tersebut juga merupakan sarana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan sehingga jaminan terhadap hak-hak tersebut merupakan prasyarat
mutlak demokrasi. Tanpa adanya kemerdekaan berserikat, harkat kemanusiaan
dapat

berkurang

karena

dengan

sendirinya

seseorang

tidak

dapat


mengekspreksikan pendapat menurut keyakinan dan hati nuraninya.9
5 South-East Asian and Pacific Conference of Jurists, Bangkok, February 15-19, 1965,
The Dynamics Aspect of The Rule of Law in The Modern Age, (Bangkok: International
Commission of Jurists, 1965), hlm.39-50.
6 Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik
Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.14.
7 Herbert Gintis and Carel van Schail, “Zoon Politicon: The Evolutionary Roots of
Human Sociopolitical Systems”, http://tuvalu.santafe.edu/~bowles/Gintis.pdf, diunduh pada 30
September 2015.
8Jimly Asshiddiqie (2), Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
2005), hlm. 44.
9 Richard H. Pildes, “The Constitutionalization of Democratic Politics – The Supreme
Court, 2003 Term” http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=669068, diunduh pada 28

Universitas Indonesia

3

Akan tetapi faktanya, selalu saja ada jarak antara rakyat yang berdaulat

tersebut dengan penyelenggara negara itu sendiri. Maka dari itu, konsep abstrak
kebebasan berserikat perlu dikonkretifsasi sehingga diperlukan suatu institusi dan
mekanisme khusus yang menjamin kebebasan berserikat tersebut. Institusi dan
mekanisme itu termanifetasi dan terinternalisasi kepada tiga hal yakni lembaga
perwakilan, partai politik dan pelaksanaan pemilihan umum secara berkala. 10
Lembaga perwakilan, partai politik, dan pemilihan umum merupakan satu
kesatuan sistem yang integral dan sulit dipisahkan, dimana aktivitas partai politik
dalam memperjuangkan program dan menyampaikan aspirasi dari rakyat
diadvokasikan melalui lembaga perwakilan. Kemudian, anggota lembaga
perwakilan tersebut pada umumnya adalah orang-orang dari partai politik yang
diperoleh melalui mekanisme pemilihan umum.11 Pemilu tanpa disertai partai
politik hanya akan mempertahankan status quo dan itu artinya hanya sekadar
perangkat konservatif yang memberikan keabsahan umum pada struktur dan
kepemimpinan lama.12
Dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi dan kedaulatan
rakyat, keberadaan partai politik memegang fungsi yang sangat strategis. Hal itu
karena negara demokrasi memang dibangun di atas sitem kepartaian.13 Bahkan
menurut R.M. Maciver, demokrasi tidak dapat berjalan tanpa adanya partai politik
itu sendiri, karena partai politik berfungsi sebagai struktur perantara (intermediate
structure) antara rakyat (civil society) dengan negara (state).14 Lebih lanjut

menurut Miriam Budiardjo pentingnya partai politik tertuang dalam 4 fungsi

September 2015.
10 Jimly Asshiddiqie (3), Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah:
Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hlm.25-26.
11Bintan R. Saragih dan Moh. Kusnadi, Ilmu Negara, edisi revisi, cetakan keempat,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 266.
12 Safaat, op.cit ., hlm.16.
13Sulastomo, “Membangun Sistem Politik Bangsa” dalam Masyarakat Warga dan
Pergulatan Demokrasi: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama, (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 62.
14 RM Maciver, The Modern State, first edition, (London: Oxford University Press,
1955), hlm. 194.

Universitas Indonesia

4

yakni komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik dan pengatur
konflik politik.15
Fungsi komunikasi politik artinya partai politik berkomunikasi dengan

rakyat dalam bentuk menerima aspirasi dan menyampaikan program-program
politik yang kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk program serta diperjuangkan
menjadi keputusan pemerintah. Itu artinya partai politik adalah jembatan antara
mereka yang memerintah (the rulers) dengan mereka yang diperintah (the ruled).
Lalu fungsi sosialisasi politik berarti partai melakukan penanaman nilai-nilai
ideologi dan loyalitas kepada negara dan partainya. Kemudian, fungsi rekrutmen
politik berarti partai politik melakukan kaderisasi dan seleksi terhadap calon-calon
anggota lembaga perwakilan yang berbakat dan nantinya calon-calon tersebut
akan dipilih oleh rakyat. Terakhir fungsi pengatur konflik politik diartikan partai
politik mengelola aturan main dan pelembagaan kelompok-kelompok sosial
sehingga dapat meminimalisir potensi gerakan massal yang merusak dengan cara
revolusi atau kudeta.
Berdasarkan jabaran argumentasi diatas, dapat diketahui bahwasannya
kebebasan berserikat dan eksistensi dari partai politik merupakan syarat mutlak
dari ciri negara yang demokratis. Salah satu konsekuensinya dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah diatur dalam Pasal
22E ayat (3) bahwa partai politik diakui sebagai bagian dari tata kehidupan
bernegara dengan menjadikannya sebagai peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, bahkan berdasarkan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 juga
menyatakan bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai

politik atau gabungan partai politik. Maka dari itu keberadaan partai politik yang
penting tersebut juga harus diakui kedudukannya dalam lalu lintas hukum sebagai
suatu subjek hukum tersendiri, itu artinya partai politik harus memiliki status
sebagai badan hukum atau rechtpersoon yang beranggotakan perorangan warga
negara sebagai natuurlijke persoons. Apalagi partai politik masuk dalam
kualifikasi empat unsur suatu badan hukum yakni:
15 Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1982), hlm. 14-16.

Universitas Indonesia

5

1. Harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subjek hukum yang
lain;
2. Mempunyai tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;
3. Mempunyai kepentingan sendiri dalam lalu lintas hukum;
4. Memiliki organisasi kepengurusan yang teratur menurut peraturan
perundang-undangan dan peraturan internalnya; dan

5. Didaftarkan dan memperolah status sebagai badan hukum.16
Manfaat dari diakuinya partai politik sebagai badan hukum adalah dapat
melakukan tindakan hukum baik yang bersifat publik maupun perdata sekaligus
juga mengetahui batasan hak dan kewajibannya.
Meskipun demikian, kebebasan berserikat yang termanisfestasi dalam
partai politik harus memiliki batasan dalam konteks masyarakat demokratis, hal
ini semata-mata demi keamanan nasional dan keselamatan negara, untuk
mencegah kejahatan serta untuk melindungi kesehatan dan moral, serta untuk
melindungi hak dan kebebasan lain.17 Pembatasan tersebut harus ditafsirkan secara
ketat bahwa pembatasan harus diatur dalam aturan hukum, harus dilakukan
semata-mata untuk mencapai tujuan dalam masyarakat demokratis, dan harus
benar-benar dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan
sosial.18 Terlebih lagi, di dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
dikatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan haruslah diberikan suatu
batasan. Dimana ketentuan Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 secara
lengkap seperti berikut:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nila-nilai

agama, keamana, dan ketertban umum dalam suatu masyarakat yang
demokrasi.”
Maka dari itu menurut Prof. Jimly Asshidiqie dalam suatu negara yang
demokratis, pembubaran partai politik hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan16 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm.74-75.
17 Moh. Saleh, “Akibat Hukum Pembubaran Partai Politik,” Jurnal Konstitusi Volume I
No. 1, (November 2011), hlm. 7.
18 Ibid., hlm. 7-8.

Universitas Indonesia

6

alasan rasional dan proporsional melalui mekanisme due process of law serta
berdasarkan putusan pengadilan. Dalam konteks ini, pembubaran yang dimaksud
adalah ketika telah berakhirnya eksistensi hukum dari partai politik, dimana
proses terjadinya pembubaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik Pasal 41 bisa terjadi karena tiga hal, yakni atas keputusan
sendiri, menggabungkan diri dengan partai politik lain, atau dibubarkan
berdasarkan keputusan otoritas negara. Dalam penelitian ini, Penulis fokus pada
pembubaran partai politik variasi ke tiga yakni pembubaran yang dilakukan oleh

keputusan otoritas negara secara paksa (enforced dissolution).19 Perbedaan antara
pembubaran dengan cara keputusan otoritas negara secara paksa dengan
pembubaran jenis lainnya adalah pembubaran jenis ini harus dipandang sebagai
pemberian sanksi dari negara terhadap partai politik yang inkonstitusional dan
melanggar peraturan perundang-undangan.
Khususnya di Indonesia, praktek pembubaran partai politik pernah
beberapa kali terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya. Pada masa penjajahan
Belanda, beberapa partai yang pernah dibubarkan antara lain adalah Indische
Partij (IP), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno terjadi pembubaran terhadap Partai
Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) serta beberapa partai politik lain
yang tidak diakui statusnya sebagai badan hukum. Pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto memang tidak terjadi pembubaran partai politik, akan tetapi
dilakukannya fusi sehingga menjadi tiga partai politik saja dan menutup ruang
kebebasan membentuk partai politik baru.20 Pada masa Abdurrahman Wahid pun
Partai Golkar juga pernah ingin dibubarkan dengan maklumat Presiden RI
Tanggal 23 Juli 2001 akan tetapi hal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat sejak dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001.21
Dimana dalam prakteknya partai politik sejatinya memiliki kewajiban
untuk mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945 dan peraturan
19 Safa’at, op.cit., hlm. 32.
20 Ibid.
21 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Terhadap Maklmuat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001, TAP MPR No :
I/MPR/2001, Ps.1 ayat (3).

Universitas Indonesia

7

perundang-undangan dibawahnya serta tidak menganut, mengembangkan dan
menyebarkan ajaran komunisme, marxisme, leninisme serta melakukan kegiatan
yangnmembahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.22 Apabila partai politik tidak menjalankan kewajiban-kewajiban
yuridisnya, maka terdapat sanksi dan yang paling berat adalah dengan dibubarkan.
Pemberian sanksi oleh negara harus dipandang sebagai bentuk tanggung
jawab negara dalam mengawasi partai politik sebagai upaya menjaga eksistensi
partai politik itu sendiri agar berjalan sesuai dengan koridor yang telah diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Instrumen sanksi merupakan
upaya preventif dan represif dalam rangka pengawasan partai politik. Hal ini
sangat penting mengingat karena tanpa adanya sanksi terdapat kemungkinan
partai politik keluar dari jalur yang telah ditetapkan dalam peraturan sangat besar
dan menjadi lebih besar. Apabila hal tersebut terjadi dikhawatirkan kredibilitas
partai politik kepada masyarakat semakin terancam sehingga partai politik tidak
dipercaya lagi dalam menjalankan fungsinya.23 Apalagi saat ini partai politik tidak
mendapatkan kepercayaan yang cukup memadai dari masyarakat, dimana
berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga kajian nonprofit Populi
Center pada 16-22 Januari 2015 didapati hasil hanya 12.5 persen responden saja
yang percaya akan kinerja partai politik.24
Mengingat kebebasan berserikat adalah hak konstitusional warga negara
yang tercantum dalam Pasal 28 dan 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan
itu artinya kebebasan berserikat adalah hak yang teramat penting sehingga perlu
dituangkan dalam konstitusi. Terlebih lagi beberapa ahli berkeyakinan bahwa
kebebasan berserikat adalah salah satu bentuk natural rights yang bersifat
fundamental dan melekat dalam perikehidupan bersama umat manusia, maka
menjadi suatu pertanyaan besar, apakah pembubaran partai politik tidak berakibat
22 Indonesia, Undang-Undang Partai Politik, UU No.2 Tahun 2008, LN No. 2 Tahun
2008, TLN No. 4801, Ps. 40 ayat (1) dan (5).
23 Allan FGW dan Harry S., “Pemberian Legal Standing kepada Perseorangan atau
Kelompok Masyarakat dalam Usul Pembubaran Partai Politik,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum
Nomor. 4, (Oktober, 2013), hlm. 524.
24Noor
Aspasia
Hasibuan,
“DPR
dan
Polri
Lembaga
Terkorup”,
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150131142201-20-28696/survei-populi-dpr-dan-polrilembaga-terkorup/, diunduh pada 2 November 2015.

Universitas Indonesia

8

pada hak konstitusional dalam berserikat? Apalagi berdasarkan penjabaran
sebelumnya, diketahui bahwa salah satu manifestasi kebebasan berserikat yang
paling nyata adalah adanya partai politik di suatu negara.
Permasalahan kedua adalah terkait dengan legal standing. Saat ini
kewenangan dalam melakukan pembubaran partai politik berada di lembaga
peradilan bernama Mahkamah Konstitusi. Dasar kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam pembubaran partai politik tertuang dalam Pasal 24C (1) UndangUndang Dasar 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi dapat membubarkan suatu
partai politik melalui putusan yang bersifat final dan mengikat (legally binding).
Selain itu wewenang Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai
politik juga terdapat dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 41 butir c Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik serta Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 12
Tahun 2008 Tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik.
Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi dapat membubarkan partai politik
yang telah terdaftar dan berstatus sebagai badan hukum dalam Kementrian
Hukum dan HAM apabila terbukti dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi
melakukan

bentuk

pelanggaran

konstitusional.25

Adapun

alasan-alasan

membubarkan suatu partai politik telah tertuang dalam Pasal 68 (2) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dimana partai
politik tersebut terbukti memiliki ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan
yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Hal ini sebagaimana diamanatkan pada Pasal 40 ayat (2) huruf a
Undang-Undang Partai Politik yang menyatakan bahwa partai politik dilarang
melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan. Lebih
ekstrim lagi, partai politik yang menganut, mengembangkan dan menyebarluaskan
paham komunisme, marxisme, dan leninisme berdasarkan Pasal 40 ayat (5)
Undang-Undang Partai Politik sudah pasti harus dibubarkan karena hal tersebut
bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia.
25 Saleh, op.cit., hlm. 8.

Universitas Indonesia

9

Akan

tetapi,

permasalahan

selanjutnya

muncul

ketika

peletakan

pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi hanya bisa dimohonkan oleh
pemerintah yang dapat diwakili oleh Jaksa Agung dan/atau Menteri yang
ditugaskan. Hal itu terlihat dalam Pasal 68 (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai
Politik yang kemudian dipertegas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
53/PUU-IX/2011 yang memonopoli legal standing dalam pembubaran partai
politik hanya dapat diajukan oleh pemerintah.
Konsekuensi logis dari dimonopolinya legal standing dalam mengajukan
pembubaran partai politik adalah nihilnya permohonan mengenai pembubaran
partai politik di Mahkamah Konstitusi. Sejak pertama kali Mahkamah Konstitusi
di bentuk pada tahun 2003 hingga akhir tahun 2015 faktanya belum ada satupun
permohonan yang masuk ke meja panitera Mahkamah Konstitusi. 26 Disinyalir hal
ini ada kaitannya dengan permohonan pembubaran partai politik yang hanya
dapat diajukan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Presiden dan jajarannya. 27
Akibat dari dimonopolinya legal standing pembubaran partai politik jelas
menutup pihak lain untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi,
seperti perseorangan atau kelompok masyarakat. Implikasinya adalah tumpulnya
peran warga negara dalam mengawasi kinerja partai politik, padahal dalam negara
yang demokratis peran warga negara sebegai pemegang kedaulatan tertinggi
sangatlah strategis, apalagi dalam hal pengawasan partai politik yang notabenenya adalah penyuplai wakil-wakil rakyat di pemerintahan.28
Jika ditelaah dari ketentuan yuridis, berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik dapat diketahui bahwa partai politik adalah organisasi
yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia
26Mahkamah Konstitusi, “Perkara Belum Diregistrasi: Perkara Pembubaran Partai
Politik”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Beranda#, diunduh 1
Oktober 2015.
27 Indonesia, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No.
98 Tahun 2003, TLN No. 4316, Ps. 68 ayat (1).
28 Allan FGW dan Harry S., loc.cit.

Universitas Indonesia

10

secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita. Itu artinya jika
ditelaah lebih lanjut maka patut dipertanyakan jika hanya Presiden yang memiliki
legal standing dalam pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi
disebabkan karena 4 alasan, pertama keberadaan partai politik tidak hanya
ditujukan bagi Presiden tapi warga negara secara keseluruhan, kedua partai politik
dibentuk oleh warga negara maka seharusnya warga negara pula yang dapat
membubarkannya, ketiga dengan hanya ada legalstanding dari pemerintah
tentunya sangat membatasi hak asasi manusia dalam hal mengajukan permohonan
ke Mahkamah Konstitusi padahal Indonesia telah menganut prinsip kesamaan
dihadapan hukum yang di akomodir dalam Pasal 27 ayat (1), 28 C ayat (2), 28 D
ayat (1) dan 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, keempat dengan hanya
Presiden yang menjadi legal standing dalam pembubaran partai politik membuat
banyak partai politik yang berpotensi untuk dibubarkan tetapi tidak dimohonkan
ke Mahkamah Konstitusi mengingat Presiden tersandera karena adanya hubungan
kontrak politik yang terjalin dalam sistem koalisi.
Dua permasalahan terkait pembubaran partai politik yakni hak
konstitusional warga negara dalam berserikat yang dibatasi dan legal standing
dalam mengajukan pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi yang
hanya di miliki oleh pemerintah membuat Penulis tertarik untuk membahasnya
lebih lanjut dalam karya tulis berbentuk skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis
atas Legal Standing Pembubaran Partai Politik di Mahkamah Konstitusi”

1.2 Pokok Permasalahan
Penelitian ini mengangkat permasalahan utama yaitu:
1. Apakah gagasan tentang pembubaran partai politik berakibat terhadap
hak konstitusional warga negara dalam berserikat?
2. Apakah Legal Standing yang hanya dimiliki Pemerintah dalam
pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi telah melanggar
hak konstitusional warga negara?

Universitas Indonesia

11

1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian yang akan dilakukan adalah untuk
memberikan pemahaman yang komprehensif dengan memberikan kajian yang
lebih mendalam tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam perkara
pembubaran partai politik. Adapun tujuan penelitian ini secara khusus adalah
untuk:
1. Untuk mengetahui hubungan dan akibat hukum dari pembubaran
partai politik terhadap hak konstitusional warga negara dalam
berserikat.
2. Untuk mengetahui Legal Standing yang hanya dimiliki Pemerintah
dalam pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi apakah
melanggar hak konstitusional warga negara ataukah tidak.
1.4 Kerangka Teori
1.4.1 Teori Kedaulatan Rakyat
Istilah kedaulatan lazim dipahami sebagai sovereignity atau majesty yang
diadopsi dari bahasa Inggris, Perancis, Jerman dan Belanda yang telah banyak
dipengaruhi oleh Bahasa Latin. Semua istilah tadi menunjuk kepada akar
pengertian yang sama yaitu kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Akan tetapi
sejatinya akar kata kedaulatan itu sendiri merupakan saduran dari bahasa Arab
yang berasal dari akar kata daulat atau dulatan, yang dalam makna klasik artinya
sebagai pergantian atau peredaran. Dengan demikian, pengertian kedaulatan itu
dalam makna klasiknya berkaitan erat dengan gagasan mengenai kekuasaan
tertinggi yang didalamnya sekaligus terkandung dimensi waktu dan proses
peralihannya sebagai fenomena yang bersifat alamiyah.29
Teori kedaulatan rakyat memiliki hubungan yang erat dengan konsepsi
perjanjian masyarakat atau kontrak sosial dalam konteks asal mula pembentukan

29 Jimly Asshiddiqie (4), Islam dan Kedaulatan Rakyat, (Jakarta: Gema Insani
Pers,1995), hlm. 11.

Universitas Indonesia

12

negara.30 Dimana timbulnya teori kedaulatan rakyat merupakan reaksi atas teori
kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan tirani dan kesengsaraan bagi
rakyat.31 Maka dari itu J.J Rousseau menggemakan konsep kedaulatan baru yang
yang memposisikan rakyat sebagai penguasa tertinggi lewat bukunya Du Contract
Social. Buku tersebut merupakan pengembangan pemikiran dari Jean Bodin
mengenai kedaulatan dalam buku Six Livres de la Republique. Jean Bodin
mengatakan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang mengatasi warga
negara, anak buah, dan undang-undang. Konsep ini jika diurai dapat ditarik
menjadi 3 unsur, yakni:
1) Kekuasaan itu bersifat tertinggi, tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi,
dan asli dalam arti tidak berasal dari atau bersumber kepada kekuasaan
lain yang lebih tinggi.
2) Mutlak dan sempurna dalam arti tidak terbatas dan tidak ada kekuasaan
lain yang membatasinya.
3) Utuh, bulat, dan abadi, dalam arti tidak terpecah-pecah dan tidak terbagibagi.
Maka dari itu konsep kedaulatan sejatinya bersifat unite dalam arti
terdapat semangat dan kemauan umum rakyat adalah suatu kesatuan dengan mana
mereka sebagai kesatuan berhak memerintah dan menolak diperintah. Karena
rakyat adalah satu maka negara juga adalah satu, dan dengan sendirinya konsep
kedaulatan ini juga bersifat bulat dan tak dapat dipecah-pecah. Jika rakyat
berdaulat, maka rakyatlah satu-satunya pemegang kekuasaan tertinggi, bukan
yang lain. Disimpulkan oleh Bodin, bahwa kedaulatan adalah milik setiap bangsa
sebagai kesatuan yang bersifat turun-temurun, sehingga kedaulatan tidak dapat
berubah-ubah begitu saja, ketika berada di tangan rakyat maka selamanya akan
tetap ada di tangan rakyat. Kemudian dalam teori fiksinya mengenai perjanjian
masyarakat (kontrak sosial), Rousseau menyatakan bahwa dalam suatu negara,
natural liberty telah berubah menjadi civil liberty dimana rakyat sebagai penguasa
tertinggi memiliki hak-haknya. Itu artinya, secara sederhana dapat diartikan
30 “Pengertian Kedaulatan Rakyat” http://www.pengertianahli.com/2013/09/pengertiankedaulatan-rakyat.html, diunduh pada 5 Oktober 2015.
31 Tim Mata Kuliah Ilmu Negara FH UI, Ilmu Negara, edisi revisi, (Depok: Penerbit FH
UI ,2014), hlm. 124.

Universitas Indonesia

13

bahwa kedaulatan rakyat adalah meletakan kekuasaan tertinggi disuatu negara di
tangan rakyat.32
Khususnya dalam konstitusi di negara Indonesia penegasan kedaulatan rakyat
secara nyata dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar”. Pasal tersebut merupakan bentuk kemerdekaan dan penghargaan
kepada rakyat selaku elemen tertinggi. Sebelumnya, kedaulatan tersebut di
jewantahkan dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
akan tetapi kepercayaan tersebut ternoda dengan tirani kekuasaan selama 32 tahun
yang dilakukan oleh Presiden selaku mandataris Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Menurut Jimly Asshiddiqie, perubahan tersebut menjadikan tidak hanya
MPR sajalah yang melakukan kedaulatan rakyat secara tunggal, akan tetapi
mandat rakyat dijalankan oleh cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan
Undang-Undang Dasar.33

1.4.2

Teori Hak Asasi Manusia: Hak Konstitusional Warga Negara

Sejak berakhirnya Perang Dunia ke-II, gerakan HAM di level internasional
semakin intensif terlebih lagi setelah didirikannya PBB. Sejalan dengan hal
tersebut banyak negara yang memasukkan jaminan dan perlindungan HAM itu
secara tertulis ke dalam konstitusinya, terlebih lagi setelah kejatuhan rezim
komunis pada akhir abad ke-20. Perancangan konstitusi negara pasca Perang
Dunia II terfokus pada dua masalah pokok:
1. Penegasan HAM sebagai pembatasan wilayah otonomi individu yang tak
boleh dilanggar oleh negara.
2. Pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan khusus untuk
menjaga dan melindungi hak-hak asasi tersebut.34

32 Nike K. Rumokoy, “Kedaulatan dan Kekuasaan Dalam UUD 1945 Dalam
Pembentukan Hukum Di Indonesia,” Jurnal Hukum Unsrat Vol. XVII/No. 1 (April – Juni 2009),
hlm. 96.
33 Jimly Asshiddiqie, “Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum
Nasional”, Sambutan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN) oleh Komisi Hukum
Nasional (KHN) Republik Indonesia, Jakarta, 21 November 2005.

Universitas Indonesia

14

Dimasukkannya HAM ke dalam konstitusi tertulis berarti memberi status
kepada hak-hak itu sebagai hak-hak konstitusional. Perlindungan yang dijamin
oleh konstitusi bagi hak konstitusional itu adalah perlindungan terhadap
pelanggaran oleh perbuatan negara atau public authorities, bukan terhadap
pelanggaran oleh individu lain.35
Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi
manusia. Maka dari itu hak asasi manusia (the human rights) itu berbeda dari
pengertian hak warga negara (the citizen’s rights). Apabila hak asasi manusia itu
telah tercantum dengan tegas dalam UUD 1945, sehingga secara otomatis hak
asasi manusia tersebut telah resmi menjadi hak konstitusional setiap warga negara
atau “constitutional rights”.
Namun tetap harus dipahami bahwa tidak semua “constitutional rights”
identik dengan “human rights”. Terdapat hak konstitusional warga negara (the
citizen’s constitutional rights) yang bukan atau tidak termasuk ke dalam
pengertian hak asasi manusia (human rights). Misalnya, hak setiap warga negara
untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan adalah “the citizen’s constitutional
rights”, tetapi tidak berlaku bagi setiap orang yang bukan warga negara. Karena
itu, tidak semua “the citizen’s rights” adalah “the human rights”, akan tetapi dapat
dikatakan bahwa “the human rights” bisa juga sekaligus merupakan “the citizen’s
rights”.
Hak-hak tertentu yang dapat dikategorikan sebagai hak konstitusional
Warga Negara adalah:
a.

Hak asasi manusia tertentu yang hanya berlaku sebagai hak
konstitusional bagi Warga Negara Indonesia saja. Misalnya, (i) hak
yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan, “Setiap Warga Negara berhak atas kesempatan yang
sama dalam pemerintahan”; (ii) Pasal 27 ayat (2) menyatakan,
“Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan

34 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya
Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), hlm. 132-133.
35 Ibid.

Universitas Indonesia

15

yang layak bagi kemanusiaan; (iii) Pasal 27 ayat (3) berbunyi,
“Setiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam
pembelaan negara”; (iv) Pasal 30 ayat (1) berbunyi, “Tiap-tiap
Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan
dan keamanan negara”; (v) Pasal 31 ayat (1) menentukan, “Setiap
Warga Negara berhak mendapat pendidikan”; Ketentuan-ketentuan
tersebut khusus berlaku bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi
setiap orang yang berada di Indonesia;
b.

Hak asasi manusia tertentu yang meskipun berlaku bagi setiap
orang, akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, khusus bagi Warga
Negara

Indonesia

berlaku

keutamaan-keutamaan

tertentu.

Misalnya, (i) Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Setiap
orang berhak untuk bekerja.....”. Namun, negara dapat membatasi
hak orang asing untuk bekerja di Indonesia. Misalnya, turis asing
dilarang memanfaatkan visa kunjungan untuk mendapatkan
penghidupan atau imbalan dengan cara bekerja di Indonesia selama
masa kunjungannya itu; (ii) Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Meskipun ketentuan ini
bersifat

universal,

tetapi

dalam

implementasinya,

orang

berkewarganegaraan asing dan Warga Negara Indonesia tidak
mungkin dipersamakan haknya. Orang asing tidak berhak ikut
campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, misalnya, secara
bebas menyatakan pendapat yang dapat menimbulkan ketegangan
sosial tertentu. Demikian pula orang warga negara asing tidak
berhak mendirikan partai politik di Indonesia untuk tujuan
mempengaruhi kebijakan politik Indonesia. (iii) Pasal 28H ayat (2)
menyatakan, “Setiap orang berhak untuk mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Hal ini juga
diutamakan bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi orang asing

Universitas Indonesia

16

yang merupakan tanggungjawab negara asalnya sendiri untuk
memberikan perlakuan khusus itu;
c.

Hak Warga Negara untuk menduduki jabatan-jabatan yang diisi
melalui prosedur pemilihan (elected officials), seperti Presiden dan
Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, Wali Kota dan Wakil Walikota, Kepala Desa, Hakim
Konstitusi, Hakim Agung, anggota Badan Pemeriksa Keuangan,
anggota lembaga permusyawaratan dan perwakilan yaitu MPR,
DPR, DPD dan DPRD, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI,
Dewan Gubernur Bank Indonesia, anggota komisi-komisi negara,
dan jabatan-jabatan lain yang diisi melalui prosedur pemilihan,
baik secara langsung atau secara tidak langsung oleh rakyat.

d.

Hak Warga Negara untuk diangkat dalam jabatan-jabatan tertentu
(appointed officials), seperti tentara nasional Indonesia, polisi
negara, jaksa, pegawai negeri sipil beserta jabatan-jabatan
struktural dan fungsional dalam lingkungan kepegawaian, dan
jabatan-jabatan lain yang diisi melalui pemilihan. Setiap jabatan
(office, ambt, functie) mengandung hak dan kewajiban serta tugas
dan wewenang yang bersifat melekat dan yang pelaksanaan atau
perwujudannya terkait erat dengan pejabatnya masing-masing
(official,

ambtsdrager,

fungsionaris)

sebagai

subyek

yang

menjalankan jabatan tersebut. Semua jabatan yang dimaksud di
atas hanya berlaku dan hanya dapat diduduki oleh warga negara
Indonesia sendiri sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 27 ayat
(1) dan Pasal 28D ayat (3). Pasal 27 ayat (1) menentukan, “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 28D ayat (3) berbunyi,
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan”. Dengan demikian, setiap warga negara
Indonesia berhak untuk menduduki jabatan-jabatan kenegaraan dan
pemerintahan Republik Indonesia seperti yang dimaksud di atas.

Universitas Indonesia

17

Penekanan status sebagai warga negara ini penting untuk menjamin
bahwa jabatan-jabatan tersebut tidak akan diisi oleh orang-orang
yang bukan warga negara Indonesia. Dalam hal warga negara
Indonesia dimaksud telah menduduki jabatan-jabatan sebagaimana
dimaksud di atas, maka hak dan kewajibannya sebagai manusia
dan sebagai warga negara terkait erat dengan tugas dan
kewenangan jabatan yang dipegangnya. Kebebasan yang dimiliki
oleh setiap orang dibatasi oleh status seseorang sebagai warga
negara, dan kebebasan setiap warga negara dibatasi pula oleh
jabatan kenegaraan yang dipegang oleh warga negara yang
bersangkutan. Karena itu, setiap warga negara yang memegang
jabatan kenegaraan wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditentukan berdasarkan tugas dan kewenangan jabatannya masingmasing;
e.

Hak untuk melakukan upaya hukum dalam melawan atau
menggugat keputusan-keputusan negara yang dinilai merugikan
hak konstitusional Warga Negara yang bersangkutan. Upaya
hukum dimaksud dapat dilakukan (i) terhadap keputusan
administrasi negara (beschikkingsdaad van de administratie), (ii)
terhadap ketentuan pengaturan (regelensdaad van staat orgaan),
baik materiil maupun formil, dengan cara melakukan substantive
judicial review (materiile toetsing) atau procedural judicial review
(formele toestsing), atau pun (iii) terhadap putusan hakim (vonnis)
dengan cara mengajukannya ke lembaga pengadilan yang lebih
tinggi, yaitu tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Misalnya, Pasal 51 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa perorangan Warga
Negara Indonesia dapat menjadi pemohon perkara pengujian
undang-undang terhadap undang-undang dasar, yaitu dalam hal
yang bersangkutan menganggap bahwa hak (dan/atau kewenangan)
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sesuatu undangundang yang dimohonkan pengujiannya.

Universitas Indonesia

18

1.4.3

Teori Pembubaran Partai Politik

Pembubaran partai politik sejatinya bisa terjadi karena tiga cara, yakni
membubarkan diri atas keputusan sendiri, menggabungkan diri dengan partai
politik lain, atau dibubarkan berdasarkan keputusan otoritas negara. 36 Dalam karya
tulis ini penulis fokus mengkaji pembubaran kategori terakhir yakni yang
dibubarkan secara paksa oleh otoritas negara dalam hal ini Mahkamah Konstitusi
(enforce dissolution).
Pembubaran dalam bahasa Inggris adalah dissolution. Menurut kamus
hukum Black’s Law, dissolution berarti : (1) the act of bringing to an end;
termination ; (2) the cancellation or abrogation of a contract, with the effect of
annuling the contract’s binding force and restoring the parties to their original
positions ;dan (3) the termination of a corporation’s legal existence by expiration
of its charter, by legislative act, by bankruptcy, or by other means ; the event
immediately preceding the liquidation or winding-up process.37
Pembubaran partai politik dalam penelitian ini adalah pembubaran secara
paksa yang disebabkan oleh adanya tindakan, keputusan hukum, kebijakan, atau
aturan negara yang mengakibatkan hilangnya eksistensi partai politik sebagai
subjek hukum penyandang hak dan kewajiban. Pembubaran mengakibatkan
perubahan eksistensi hukum suatu partai politik dari ada menjadi tidak ada.
Pembubaran secara paksa dalam penelitian ini meliputi pembubaran yang
dilakukan oleh otoritas negara baik secara langsung berupa keputusan hukum,
maupunsecara tidak langsung melalui aturan atau kebijakan yang mengakibatkan
adanya peristiwa pembubaran partai politik.
Dalam konteks ini pembubaran partai politik yang difokuskan tertuju pada
pengertian pembubaran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, bukan kepada
pembekuan sementara yang dilakukan oleh pengadilan negeri. Selain itu,
pembubaran partai politik yang dimaksud adalah ketika berakhirnya eksistensi
hukum partai politik. Itu artinya karya tulis ini tidak hanya berfokus pada proses
36 Indonesia, Undang-Undang Partai Politik, UU No.2 Tahun 2008, op.cit., hlm.41.
37 American Bakruptcy Institute, Consumer Workshop III : Practical and Ethical Issues
in Succesion Planning, (Alexandria : American Bakruptcy Institute), hlm. 379.

Universitas Indonesia

19

pengadilan di Mahkamah Konstitusi saja, tetapi lebih jauh dari itu yakni akibat
hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang perlu ditindaklanjuti oleh Menteri
terkait untuk diumumkan dalam berita negara.38
Pada

prakteknya

pengaturan

tentang

partai

politik

berbeda-beda

antarnegara bergantung pada bagaimana partai politik diposisikan serta
kepentingan nasional yang harus dilindungi. Di negara-negara baru kawasan Asia
dan Afrika, menurut Weiner dan Lapalombara, pada umumnya pengaturan partai
politik terkait dengan dua elemen integrasi nasional, yaitu masalah kontrol
terhadap seluruh wlayah nasional dan masalah loyalitas.39 Maka dari itu
pembubaran partai politik di tiap negara erat kaitannya dengan sejarah politik
nasional yang menumbuhkan memori kolektif suatu bangsa.40

1.5 Kerangka Konsep
1.5.1 Partai Politik
Secara etimologis, partai memiliki akar kata part yang berarti bagian atau
golongan.41 Kemudian, politik erat kaitannya dengan menghimpun kekuatan,
meningkatkan kualitas dan kuantitas kekuatan, mengawasi dan mengendalikan
kekuatan, serta menggunakan kekuatan untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam
negara dan institut lainnya.42
Jika digabungkan kedua frasa tadi, maka definisi yang cukup
komprehensif mengartikan bahwa partai politik adalah organisasi yang bersifat
nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela
atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela

38 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, op.cit., hlm.144. UU No.2 Tahun 2008
39 Myron Weiner dan Joseph Lapalombara, The Impact of Parties on Political
Development, dalam Joseph Lapalombara and Myron Weiner, Political Parties and Political
Development, (New York: Princeton University Press, 1966), hal.414
40 Nancy L. Rosenblum, “Banning Parties: Religious and Ethnic Partianship in
Multicultural Democracies”, I.L. & Ethics Hun. Rts., 2007., hal.36.
41 Safa’at, op.cit., hlm. 30-31.
42H. Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang
Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 140.

Universitas Indonesia

20

kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara
keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.43
Partai dapat dipahami dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti
luas, partai adalah penggolongan masyarakat dalam organisasi secara umum yang
tidak terbatas hanya pada organisasi politik. Sedangkan dalam arti sempit, partai
adalah partai politik yaitu organisasi masyarakat yang bergerak di bidang politik. 44
Penelitian ini fokus pada pengertian partai dalam arti sempit yakni yang ditujukan
hanya kepada partai politik. Ruang lingkup partai politik dalam karya tulis ini
terbatas pada partai politik yang telah lolos verifikasi oleh KPU untuk menjadi
peserta pemilihan umum pada periode tersebut.
1.5.2

Badan Hukum Publik

Badan hukum adalah salah satu subjek hukum yang merupakan persona
ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai persona serta memiliki hak
dan kewajiban. Sedangkan, badan hukum publik adalah badan hukum yang
didirkan berdasarkan hukum publik atau yang menyangkut kepentingan publik
atau orang banyak atau negara umumnya.45 Suatu badan hukum, dapat dikatakan
badan hukum publik apabila:
1. Subjek yang membentuknya adalah kekuasaan umum atau negara
bukan orang perorangan;
2. Sifat kegiatannya tidak ditujukan untuk mencari keuntungan,
melainkan publik;
3. Tujuan yang hendak dicapai bergerak dalam kegiatan di lapangan
hukum publik;
4. Kepentingannya bersifat umum dan khalayak orang banyak.

1.5.3

Legal Standing

Legal Standing adalah keadaan dimana seseorang atau suatu pihak
43 Indonesia, Undang-Undang Partai Politik, UU No.2 Tahun 2008, op.cit., Ps.1.
44 Safa’at, loc.cit.

45 C.S.T Kansil dan Cristine S.T Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan , 2002), hlm. 13.

Universitas Indonesia

21

ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mumpunyai hak untuk
mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara
di depan MK.46 Legal standing adalah adaptasi dari istilah personae standi in
judicio yang artinya adalah hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan di
depan pengadilan.47 Sudikno Mertokusumo, menyatakan ada dua jenis tuntutan
hak yakni:
1. Tuntutan hak yang mengandung sengketa disebut gugatan, dimana
sekurang-kurangnya ada dua pihak. Gugatan termasuk dalam
kategori peradilan contentious (contentieus jurisdictie) atau peradilan
yang sesungguhnya.
2. Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa disebut permohonan
dimana hanya terdapat satu pihak saja. Permohonan termasuk dalam
kategori

peradilan

volunteer

atau

peradilan

yang

tidak

jelas

dalam

sesungguhnya.48
Pemohon

selanjutnya

wajib

menguraikan

dengan

permohonanya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya. Sehingga
untuk berperkara di MK pemohon harus dengan jelas mengkualifikasikan
dirinya apakah bertindak sebagai perorangan warga negara Indonesia, sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat, sebagai badan hukum publik atau privat atau
sebagai lembaga negara. Selanjutnya menunjukkan hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang dirugikan akibat keberlakuan undang- undang. Jika
kedua hal di atas tidak dapat dipenuhi maka permohonan untuk berperkara di
MK tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

1.6 Metode Penelitian

46Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, cetakan pertama,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hlm. 98.
47 Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum Dr. Harjono,
S.H.,M.C.L. Wakil Ketua MK, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2008), hlm. 176.
48Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cetakan ketiga, (Yogyakarta:
Liberty, 1981), hlm. 23.

Universitas Indonesia

22

Penelitian Tinjauan Yuridis atas Legal Standing Pembubaran Partai Politik
di Mahkamah Konstitusi ini merupakan penelitian yuridis-normatif atau lebih
dikenal dengan istilah penelitian hukum kepustakaan.49 Selain itu penelitian ini
juga dilengkapi dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis dan
pendekatakan komparatif (comparative approach) agar penelitian ini tidak
terbatas pada penelitian atas hukum yang berlaku (normatif) saja, akan tetapi lebih
dari itu yakni bagaimana seharusnya hukum diterapkan.
Penelitian yuridis-normatif mengacu kepada norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma lain yang berlaku dan
mengikat di masyarakat. Perolehan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan
yakni melalui pengumpulan data sekunder, yang mencakup bahan hukum primer,
sekunder, dan bahan hukum tersier. Selain memperoleh data melalui penelitian
kepustakaan yang didapat melalui pengumpulan data sekunder, penelitian ini juga
didukung dengan teknik pengumpulan data dengan wawancara kepada pakar
hukum Tata Negara untuk mengetahui pandangan keilmuan mereka yang relevan
dengan skripsi ini.
Bahan hukum primer, terdiri dari bahan-bahan hukum yang mengikat dan
terdiri dari kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan
hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat dan bahan hukum dari
zaman penjajahan.50 Khusus untuk penelitian ini, bahan hukum primer yang akan
digunakan antara lain:
1. Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen.
2. Konstitusi RIS.
3. Undang-Undang Dasar Sementara.
4. Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen.
49 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 13.
50Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga, (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 2008), hlm. 52.

Universitas Indonesia

23

5..Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-

Undang

Nomor 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316.
6. Undang-Undang tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 2 .Tahun
2008, LN No. 2 Tahun 2008, TLN No. 4801.
7. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur
Beracara dalam Pembubaran Partai Politik.
8. Peraturan Presiden tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran
Partai-Partai, Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960, LN No. 140
Tahun 1960.
9. Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan.
Selain bahan hukum primer, Penulis juga akan menggunakan bahan
hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,
hasil karya dari kalangan hukum dan sebagainya.51 Dalam penelitian ini, bahan
hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku yang membahas mengenai
partai politik dan sejarah ketatanegaraan Indonesia. Sedangkan bahan hukum
tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan
sebagainya.52 Dalam penelitian ini, bahan hukum tersier yang akan digunakan
adalah Black Law Dictionary dan kamus hukum lainnya.
Penelitian ini juga disebut sebagai penelitian yang bersifat deskriptifanalitis. Adapun analisis yang dilakukan menggunakan metode kualitatif, yaitu
analisis data yang dilakukan berdasarkan kualitas data untuk memperoleh inti
permasalahan secara mendalam dan komprehensif. Melalui metode pengolahan
tersebut, akan mendapatkan laporan mengenai apa yang terjadi, mengapa sesuatu
terjadi dan akibat dari kejadian tersebut. Sehingga selanjutnya dapat diperoleh
gambaran secara holistik tentang permasalahan yang terjadi.
51 Ibid.

52 Ibid.

Universitas Indonesia

24

Sedangkan tipe penelitian ini dapat dilihat dari beberapa sudut, yaitu:
1. Dari sudut sifatnya, penelitian yang penulis lakukan bersifat
eksplanatoris (menjelajah), karena penulisan ini bertujuan
untuk menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam suatu
gejala, dan penelitian ini bersifat mempertegas hipotesa yang
ada.53
2. Dari sudut bentuknya, penelitian yang penulis lakukan
merupakan

penelitian

evaluatif,

karena

penulis

akan

memaparkan serta memberikan penilaian serta saran atas
peristiwa yang telah terjadi.54
3. Dari sudut tujuannya, penelitian yang penulis lakukan
merupakan penelitian problem finding, karena tujuan penelitian
ini adalah untuk menemukan permasalahan dan solusi sebagai
akibat suatu kegiatan.55
4. Dari sudut ilmu yang digunakan, penelitian ini merupakan
penelitian monodisipliner, karena penelitian ini didasarkan
pada satu disiplin ilmu, yakni ilmu hukum.56
1.7 Kegunaan Teoritis dan Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini akan memberikan manfaat bagi pihakpihak terkait baik secara teoritis maupun praktis dalam konteks ketatanegaraan
dan demokrasi di Indonesia.
1. Kegunaan Secara Teoretis

53 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.

54 Ibid.
55 Ibid., hlm.5
56 Ibid.

Universitas Indonesia

25

a. Diharapkan dapat memberikan sumba

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111