Pembuatan Produk Hukum Tanpa Dasar Wewen

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam
lapangan pengaturan, lapangan pelayanan, lapangan pelaksanaan maupun dalam
lapangan pembuatan suatu produk hukum harus didasarkan pada konstitusi
(constitution) dan aparat pemerintah yang berwenang berdasarkan peraturan
perundang – undangan atau berdasar pada asas legalitas. Artinya pemerintah tidak
dapat melakukan suatu tindakan, baik itu merupakan tindakan pelayanan
pemerintahan, tindakan pengaturan dan tindakan pembuatan suatu produk hukum
tanpa dasar kewenangan(wewenang)yang telah diberikan oleh undang – undang.
Didalam sistem ketatanegaraan Indonesia pembagian wewenang kekuasaan
dalam sistem pemerintahan telah diatur didalam konstitusi, pembagian kewenangan
tersebut diberikan kepada masing - masing lembaga yaitu legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Dalam hal ini, masing – masing lembaga diberikan kewenangan masing –
masing baik dalam pengaturan, pembuatan dan pelaksanaan suatu produk hukum.
Namun, didalam sistem ketatangeraan Indonesia banyak terjadi sebuah
penyimpangan terutama didalam pembuatan suatu produk hukum itu tidak lagi
didasari pada aparat pemerintah yang berwenang sehingga produk hukum yang
dihasilkan menjadi sebuah perdebatan dan pertanyaan dalam konteks ketatanegaraan,
apakah produk hukum yang dihasilkan tanpa dasar pembuatan yang berwenang

memiliki kekuatan hukum (cosntitutional) ataukah tidak memiliki kekuatan hukum
(Inconstitutional) dan apakah produk hukum tersebut batal demi hukum (nietig van
rechtswege) ataukah batal mutlak (absolute nietig). Permasalahan tersebut telah
terjadi dalam konteks ketatanegaraan Indonesia. Dengan demikian, penulis akan
membahas permasalahan tersebut di dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, dapat ditarik sebuah permasalahan
yang akan dibahas didalam penulisan makalah ini.
Adapun rumusan masalah yang dibahas di dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Konsekuensi yuridis terhadap pembuatan suatu produk hukum tanpa dasar
wewenang ?
2. Apasajakahsumber dandasarhukumdalampelimpahanwewenang ?
Penulis memberikan batasan di dalam penulisan makalah ini dengan maksud
agar penjelasan dan pembahasan yang diberikan tidak keluar atau melebar dari
konteks permasalahan yang akan dibahas.
Page | 1

BAB II
PEMBAHASAN


Page | 2

A. Kekuasaan dan Wewenang
1. Penegrtian Kekuasaan
Adapun definisi kekuasaan menurut parah ahli adalah sebagai berikut :
a. Max Weber
Kekuasaan adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya
didalam suatu hubungan sosial yang ada termasuk dengan kekuatan atau tanpa
menghiraukan landasan yang menjadi pijakan kemungkinan itu.
b. Ralf Dahrendorf
kekuasaan adalah milik kelompok, milik individu dari pada milik struktur
sosial.
c. Soerjono Soekanto
kekuasaan diartikan sebagai suatu kemampuan untuk memengaruhi pihak lain
menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut.
2. Pengertian Wewenang
Adapun Definisi Wewenang

menurut beberapa para Ahli adalah sebagai


berikut :
1. Louis A. Allen, Wewenang adalah jumlah kekuasaan (powers) dan hak
(rights) yang didelegasikan pada suatu jabatan.
2. Harold Koontz,Wewenang adalah suatu hak untuk memerintah /
bertindak.
3. G. R. Terry, Wewenang adalah kekuasaan resmi dan kekuasaan pejabat
untuk menyuruh pihak lain supaya bertindak dan taat kepada pihak yang
memiliki wewenang itu.
4. R. C. Davis, Wewenang adalah hak yang cukup, yang memungkinkan
seseorang dapat menyelesaikan suatu tugas/kewajiban tertentu. Jadi,
wewenang adalah dasar untuk bertindak, berbuat dan melakukan
kegiatan/aktivitas perusahaan. Tanpa wewenang orang-orang dalam
perusahaan tidak dapat berbuat apa-apa.

Menurut Bagir manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan
kekuasaan (Macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak
berbuat. Sedangkan wewenang adalah hak dan kewajiban (Rechten en plichen).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wewenang adalah kewajiban dan hakyang

Page | 3


diberikan oleh pemegang kekuasaan kepada aparat penyelenggaraan negara atau
aparat pemerintah.
Dalam setiap negara hukum penyelenggaraan negara atau pemerintahan itu
harus didasarkan pada asas legalitas yang merupakan sebagai dasar hukum dalam
penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan. Setiap penyelenggaraan negara dan
pemerintahan harus memiliki legitimasi kewenangan yang diberikan oleh Undang –
Undang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa substansi dari asal legalitas adalah
pemberian wewenang terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Mengenai wewenang tersebut H.D Stout mengatakan bahwa ; “Bevoegdheid
is een begrip uit het bestuurlijke organistierecht, wat kan worden omschreven als het
geheel van regels dat betrekking heeft op de verkrijging en uitoefening van
bestuursrechtelijke bevoegdheden door pibliekrechtelijke rechtssubjecten in het
bestuurechtelijke rechtsverkeer” (Wewenang merupakan pengertian yang berasal
dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan
aturan – aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang
pemerintah oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik).1
Dalam negara hukum, wewenang penyelenggara negara dan pemerintahan itu
berasal dari peraturan perundang – undangan yang berlaku yang didasarkan pada
sebuah asas legalitas. Meskipun asas legalitas memiliki kelemahan, namun asas

legalitas memiliki peran utama dalam Negara hukum. Asas legalitas dimaksudkan
untuk memberikan jaminan hukum warga Negara terhadap pemerintah.Pemerintah
dalam hal ini Negara hanya dapat melakukan tindakan apabila memiliki legalitas yaitu
berdasarkan peraturan hukum yang ada.

B. Sumber Hukum Pelimpahan Wewenang
Menurut teori hukum, dalam pelimpahan wewenang atau pemberian
wewenang oleh penyelenggara negara dan pemerintahan kepada aparat pemerintahan
yang ada dibawahnya dapat dilakukan dengan dua macam pelimpahan wewenang
yaitu sebagai berikut :
1 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers 2008, hlm. 101.

Page | 4

1. Mandat (mandaat)
2. Delegasi (delegasi)
Kedua macam pelimpahan wewenang diatas, dasar pelimpahan wewenang
tersebut berlandaskan atas dasar

Undang – Undang No. 9 Tahun 2004 tentang


Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)2 .

Dengan demikian, pemeberian suatu

wewenang pemerintahan didasarkan pada peraturan perundang – undangan yang
berlaku.
Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari perundang – undangan
tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Mengenai
atribusi, delegasi dan mandat, H.D Van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan
sebagai berikut :
a. Attributie : toekenning van een bestuurbevoegheid dor een wotgever aan een
bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh
pembuat undang – undang).
b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een
ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).
c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door
een


ander,

(mandat

terjadi

ketika

organ

pemerintahan

mengisinkan

kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya)3.
Pelimpahan wewenang yang dilakukan oleh organ pemerintah yang telah
diberi wewenang oleh undang – undang kepada organ lainnya, yang akan
melaksanakan wewenang yang telah dilimpahkan sebagai wewenangnya sendiri
dalam melakukan hak dan kewajiban yang diberikan.
Berdasarkan gambaran tersebut diatas, tampak bahwa wewenang yang

diberikan secara atribusi itu bersifat original yang berasal dari peraturan
perundang – undangan yang berlaku. Dalam hal wewenang atribusi, penerima
wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang
sudah ada dengan tanggung jawab intern atau ekstern.
C. Perbuatan Aparat yang Berwenang
Kewenangan yang dimiliki oleh aparat yang berwenang dapat dikelompokkan
menjadi dua macam yaitu, kewenangan atributif dan kewenangan non atributif.
2 Prof Muchsan, Materi Kuliah Politik Hukum, 2014
3Ibid, hlm 104 – 105

Page | 5

1. Kewenangan Atributif (Original)
Kewenangan atributif (original) merupakan

kewenangan yang

diberikan atau diperoleh langsung oleh peratutan perundang – undangan.
Berkaitan dengan kewenangan ini, maka kewenangan atributif bersifat
permanen artinya saat berakhirnya kewenangan tersebut tidak jelas/absurd.

Sebagai contoh kewenangan atributif adalah presiden berwenang mengajukan
Rancangan Undang – Undang (RUU) berdasarkan pasal 5 Undang – Undang
Dasar 1945.
2. Kewenangan Non Atributif (Non Original)
Kewenangan non atributif merupakan kewenangan yang diperoleh
karena adanya pelimpahan wewenang dari aparat yang berwenang
memberikan wewenang. Sifat dari kewenangan non atributif adalah bersifat
insidentil artinya kapan saat berlakunya kewenangan tersebut sudah jelas.
Dari uraian pembagian kewenangan tersebut diatas, dapat diketahui bahwa
ada dua jenis pembagian kewenangan. Namun, didalam pembagian kewenangan
tersebut dapat terjadi ketidakwenangan aparat karna disebabkan berbagai hal.
Adapun ketidakwenangan aparat yang disebabkan oleh tiga (3) hal adalah sebagai
berikut :
1. Aparat tidak berwenang karena materilnya
2. Aparat tidak berwenang karena bukan wilayah hukumnya.
3. Aparat tidak berwenang karena telah lewat batas waktunya (Daluwarsa).

Dengan demikian, apabila ada suatu produk hukum yang dibuat diluar
dari batas kewenangan pembuatnya maka produk hukum yang dihasilkan
tersebut batal. Adapun kebatalan dari suatu produk hukum tanpa dasar

wewenang dibagi kedalam 3 macam bentuk kebatalan hukum yaitu :
1. Batal Mutlak (Absolute nietig)
2. Batal demi Hukum (Nietig van Rechtswege)
3. Dapat dibatalkan (Vernietig baar)
Ketiga macam bentuk kebatalan tersebut diatas, dapat diberikan
penjelasan dasar pembedaan diantaranya yaitu dapat dilihat dari akibat hukum
yang ditimbulkan, dan aparat yang membatalkan.
Page | 6

Pertama, Batal mutlak (absolute nietig), suatu perbuatan yang sudah dilakukan
dianggap belum pernah ada sehingga segala sesuatunya kembali seperti semula.
Dalam hal batal mutlak (absolute nietig) aparat yang berhak atau berwenang
melakukan pembatalan yaitu hanya yudikatif saja. Kedua, Batal demi hukum
(nietig van rechtswege), akibat hukum yang ditimbulkan dari kebatalan hukum ini
mengalami tiga (3) kemungkinan yaitu :
 Semua perbuatan yang sudah dilakukan dianggap belum
pernah ada
 Perbuatan yang sudah dilakukan dianggap sah. Sedangkan
perbuatan yang belum dilakukan dianggap tidak sah.
 Perkembangannya sebagian perbuatan dianggap


sah

sebagian lagi dianggap tidak sah (hanya berlaku jika
lembaga eksekutif yang mengeluarkan putusan). Aparat
yang berhak menyatakan batal demi hukum adalah lembaga
eksekutif dan yudikatif.
Ketiga, dapat dibatalkan (verniteg baar), semua perbuatan yang telah dilakukan
dianggap sah sedangkan perbuatan yang belum dilakukan tidak boleh dilakukan.
Dalam negara hukum (rechtstaat) segala bentuk kewenangan dilakukan
berdasarkan ketentuan perundang – undangan yang berlaku dan tidak ada suatu
kewenangan yang diberikan tanpa dasar peraturan perundang – undangan yang
didasarkan pada asas legalitas.
Hal tersebut diatas, sebagaimana juga diatur dalam pasal 50 KUHP “Barang siapa
yang melaksanakan ketentuan undang – undang tidak dapat dihukum”. Ketentuan
undang – undang menghalalkan perbuatan yang didasarkan atas ketentuan undangundang tersebut. Melaksanakan undang – undang tidak hanya terbatas pada
melakukan perbuatan yang diperintahkan akan tetapi meliputi juga perbuatan –
perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh undang - undang4.
Namun, ada suatu perbuatan yang dilakukan oleh aparat yang berwenangtidak
sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Dengan kata lain, aparat yang berwenang
ketika menjalankan kewenangannya melakukan pelanggaran atau melampaui batas
kewenangan yang diberikan oleh undang - undang akan tetapi tidak dikatakan sebuah
pelanggaran kewenangan.
4SudiknoMertokusumo, MengenalHukumSuatuPengantar,Liberty Yogyakarta, 2008, hlm 26.

Page | 7

Sebagai contoh, “melaksanakan perintah jabatan dari kekuasaan yang
berwenang untuk memerintahkan tidak dapat dihukum (ps. 51 KUHP). Membunuh
orang itu dilarang oleh undang – undang dan diancan dengan hukuman. Akan tetapi
kalau ada seorang prajurit tdalam suatu operasi militer atas perintah komandannya
menembak mati seseorang ia tidak dihukum :ia harus mentaati perintah atasannya5.
Apa yang dikemukakan tersebut diatas, tidak lain adalah merupakan sebuah
gambaran atau pencerminan dari sebuah pemeberian wewenang oleh aparat
berwenang yang diberikan oleh undang – undang kepada penerima wewenang.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemberian wewenang tersebut memiliki
kekuatan hukum secara yuridis.

D. Kewenangan Desentralisasi dan Dekosentrasi
Berdasarkan urain penjelasan yang telah penulis jabarkan pada pembahasan
sebelumnya mengenai pemberian wewenang yang diberikan oleh undang –
undang.Hal tersebut terkait dengan persoalan pemisahan kekuasaan (separation of
power) dan pembagian kekuasaan (division of power), pembatasan kekuasaan tersebut
juga dikaitkan dengan desentralisasi dan dekosentrasi. Dengan kata lain, pemisahan
kekuasaan(separation of power) dan pembagian kekuasaan(division of power)
tersebut telah terjadi penyerahan atau pemberian wewenang secara tidak langsung.
Menurut Hoogewarf, desentralisasi merupakan pengakuan atau penyerahan
wewenang oleh badan – badan publik yang lebih tinggi kepada badan – badan publik
yang lebih rendah kedudukannya untuk secara mandiri dan berdasarkan kepentingan
sendiri mengambil keputusan dibidang pengaturan (regelendaad) dan di bidang
pemerintahan (bestuurdaad)6.
Desentralisasi merupakan pembentukan atau penguatan unit – unit
pemerintahan yang kegiatannya berada di luar dari kendali dan jangkauan pemerintah
pusat. Dalamdesentralisasi terjadi pelimpahan kekuasaan dan wewenang dari
penyelenggara Negara tingkat atas kepada penyelenggara Negara tingkat bawah untuk
membantu dan melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan.
5Ibid. hlm 26-27
6JimlyAsshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,RajawaliPers, 2009, hlm 294

Page | 8

Namun, secara umum pengertian desentralisasi itu sendiri biasanya dibedakan
dalam tiga pengertian yaitu sebagai berikut :
1. Desentralisasi dalam arti dekosentrasi
2. Desentralisasi dalam arti pendelegasian wewenang
3. Desentralisasi dalam arti devolusi atau penyerahan fungsi kewenangan.
Desentralisasi dalam pengertian dekosentrasi merupakan pelimpahan
beban tugas atau beban kerja dari pemerintah pusat kepada wakil
pemerintah pusat di daerah tanpa diikuti pelimpahan kewenangan untuk
mengambil keputusan. Sebaliknya desentralisasi dalam arti pendelegasian
kewenangan (transfer of authority) pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah atau unit organisasi daerah yang berada diluar jangkauan kendali
pemerintah pusat, sementara itu, desentralisasi dalam arti devolusi
merupakan penyerahan fungsi pemerintahan dan kewenangan pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Dengan penyerahan itu, pemerintah
daerah menjadi otonom dan tanpa control oleh pemrintah pusat yang telah
menyerahkan hal itu kepada pemerintah daerah7.
E. Penyalahgunaan Wewenang Perkara Tata Usaha Negara (TUN)
Penyalahgunaan wewenang yang diberikan merupakan objek perkara Tata
Usaha Negara (TUN). Meskipun objek perkara TUN terbatas pada penetapan
Administrasi Negara di bidang publik, konkret dan individual, hal itu tidak luput dari
asas dan kaidah kosntitusi Negara Indonesia yaitu Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945.
Dari ulasan singkat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perkara Tata
Usaha Negara adalah mengenai penyalahgunaan wewenang badan – badan atau aparat
penyelenggara Negara atau pemerintahan. Akar perkara Tata Usaha Negara (TUN)
adalah penggunaan wewenang atau tidak menggunakan wewenang secara tepat
menurut hukum yang dapat mengcakup perhutanan wewenang tidak berwenang,
melampaui wewenang, sewenang – wenang, berpihak dan tidak adil dalam
menjalankan wewenang, tidak hati – hati menggunakan wewenang, menggunakan
7Ibid, hlm 295

Page | 9

wewenang tanpa alasan yang cukup jelas atau tidak rasional, dll. Sumber utama dalam
wewenang adalah kaidah konstitusi atau Undang – Undang Dasar 1945. Salah satu
ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang Dasar 1945 adalah kedudukan suatu
badan dalam susunan organisasi Negara dan pembagian wewenang8.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pelimpahan wewenang yang diberikan oleh undang – undang kepada badan –
badan atau organ – organ penyelenggara Negara atau pemerintahan di dalam
pemberian, penyerahan dan pelimpahan wewenangnya kepada badan – badan yang
lebih rendah memiliki kekuatan hukum secara yuridis jika di tinjau berdasarkan
undang – undang No. 9 tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sehingga produk hukum yang dihasilkan dalam pelimpahan tersebut adalah sah
karena berdasarkan ketentuan undang – undang. Namun, apabila ada suatu produk
hukum yang dihasilkan oleh badan – badan penyelenggara Negara atau pemerintahan
tidak memiliki wewenang yang diberikan oleh undang – undang maka produk hukum
8BagirManan, Membedah UUD 1945, UB Press, 2012, hlm 12

Page | 10

yang bisa dihasilkan bisa menimbulkan kebatalan hukum yaitu, batal mutlak
(absolute nietig), batal demi hukum (nietig van rechtswege), dan dapat dibatalkan
(vernietigbaar).

DAFTAR PUSTAKA

Jimly Asshiddqie.Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2009
Bagir Manan Membedah UUD 1945, UB Press, Malang, 2012
Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, cetakan
keempat, Agustus, 2008
HR, Ridwan.Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2008
Deddy Ismatullah, Asep A. Sahid Gatara. Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif, CV.
PustakaSetia, Bandung, 2007

Page | 11