Peer Review (Buku Pembangunan, Strategi Pembelajaran untuk ABK)

  Catatan reviewer 2: Buku ini layak untuk didistribusikan ke sekolah (SLB) untuk dijadikan referensi guru dan belajar matematika

  Strategi Pembelajaran Matematika melalui Gesture untuk Anak Berkebutuhan Khusus

  

(Dosen Prodi PendidikanMatematika)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.

  Dalam proses pembelajaran, adanya karakteristik dan hambatan yang dimiliki ABK berarti memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) memiliki berbagai jenis kategori satu diantaranya adalah autis.

  Siswa autis dicirikan oleh tiga karakteristik utama (a triad of impairment) yaitu: 1)

  Gangguan komunikasi (communication impairment), termasuk semua aspek komunikasi meliputi pemahaman dan menggunakan komunikasi verbal dan non verbal untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Siswa autis umumnya tidak bisa bicara, dan mereka tidak bisa mengkompensasikan ketidakmampuan bicaranya dengan bahasa lain seperti bahasa isyarat. Jika ada siswa autis bisa bicara, maka kata-kata yang diucapkan tidak begitu jelas, atau mereka berbicara tetapi tidak memiliki pemaknaan tentang apa yang diucapkan, sehingga kesannya hanya menghafal. 2)

  Hubungan sosial (social relating), siswa tersebut memiliki hambatan tentang bagaimana berinteraksi atau berhubungan dengan orang lain, termasuk keterampilan seperti berbagi (sharing) dan bergiliran (turn taking), mengerjakan tugas (attending

  to task ). Siswa memiliki kesulitan yang besar untuk belajar memberi dan menerima

  (take and give) dalam hubungan interaksi dengan orang disekelilingnya. Siswa autis tidak tertarik untuk berinteraksi dengan orang lain, dan lebih suka menyendiri. 3)

  Gangguan perilaku (minat yang terbatas dan perilaku berulang (repetitive)), ditunjukkan dengan kurang dapat berimajinasi, penalaran abstrak yang kurang, keterampilan bermain terbatas, pemikiran konkrit (ini lebih disebabkan anak kurang mampu dalam penalaran secara abstrak) dan keinginan kuat dalam keteraturan (consistency).

  Secara khusus, ucapan dan tindakan siswa autis dalam belajar matematika menjadi satu kompenen yang terintegrasi dan dapat digunakan untuk memahami proses berpikir mereka. Ucapan dimaksudkan sebagai ungkapan lisan dalam memahami materi dan atau memecahkan masalah matematika, sedangkan tindakan yang dimaksud merupakan

  

Gesture (gerak tubuh). McNeill (dalam Hostetter dan Alibali, 2008) mengatakan bahwa

Gesture dan ucapan adalah dua bagian dari satu sistem tunggal dan tidak dapat

  dipisahkan. Menurut McNeill: ―baik Gesture dan ucapan diperlukan untuk pengekspresian pikiran dan keduanya tidak dapat dianggap terpisah‖.

  Terdapat beberapa penelitian tentang penggunan Gesture dalam pembelajaran matematika, diantaranya: 1)

  Cook & Goldin-Meadow (2009): Gesture siswa yang meniru Gesture guru selama proses pembelajaran, lebih memudahkan siswa dalam memahami pelajaran dibandingkan dengan siswa yang tidak melakukan Gesture ‖. 2)

  Goldin-Meadow & Alibali (Goldin-Meadow, 2009): Gesture tidak hanya mengidentifikasikan siswa siap untuk belajar, tetapi Gesture benar-benar dapat membantu mereka belajar‖.

  Teori lain yang mendukung pernyataan bahwa Gesture membantu siswa belajar diungkap oleh Alibali & Nathan, 2007; Flevares & Perry, 2001; Goldin-Meadow, Kim, & Singer, 1999; Richldan, Zur, & Holyoak, 2007 (dalam Martha W. Alibali a & Mitchell J. bahwa ―ketika guru mengajarkan konsep-konsep matematika, siswa secara rutin memproduksi Gesture bersama dengan ucapan mereka‖. Pernyataan ini diperkuat oleh Bieda & Nathan, 2009, Perry, Gereja, & Goldin-Meadow, 1988 (dalam Martha W.

  Alibali & Mitchell J. Nathan, 2012): ―ketika siswa berbicara tentang konsep-konsep matematika, mereka juga secara rutin memproduksi Gesture ‖.

  Beberapa penelitian yang secara khusus mengkaji tentang Gesture pada ABK antara lain: Cermak (1980), McNeill (1985), Langone (2000), Radford (2009), Healy (2012), Meadow (2013), dimana fokus penelitiannya mengungkap secara umum: 1) eksplorasi peran indera tubuh dalam proses pembelajaran, 2) Gesture membantu ABK (mengalami kelainan: fisik dan fungsi otak) dalam kegiatan belajarnya khususnya mengkonstruksi bahasa, 3) Sistem gerakan dan ucapan merupakan ciri yang kuat untuk belajar.

  Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka penelitian ini secara khusus dilakukan pada siswa autis, dengan alasan dimungkinkan banyaknya Gesture/gerakan-gerakan motorik yang diproduksi secara alami oleh siswa autis. Untuk itu dilakukan observasi/studi pendahuluan awal di Sekolah Autis Laboratorium UM. Berdasarkan hasil observasi diperoleh data sebagai berikut: 1) umumnya siswa autis mengalami ketidakseimbangan dalam hal gerak motorik, komunikasi dapat dilakukan secara verbal dan non verbal tetapi jalinannya melalui gerakan tubuh, isyarat atau dengan menunjukkan gambar atau kata

  • –kata. 2) Siswa autis harus ―berjuang keras‖ agar dapat tetap duduk, tetap fokus, dan bertahan dalam mengerjakan tugas.

  3) Ada siswa dapat bersikap lebih tenang jika mereka memiliki obyek tertentu untuk dimanipulasi sepanjang pelajaran berlangsung, dan ada yang senang berlari-lari sambil berteriak, berkomunikasi sendiri dengan benda-benda/objek tertentu disekitarnya, misalnya handpone.

  4) Secara khusus dalam proses pembelajaran matematika, kesulitan belajar yang dihadapi siswa autis mencakup pemahaman materi dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis. 5) Kebiasaan siswa autis dalam menyelesaikan masalah/soal matematika dilakukan secara terstruktur, misalnya ketika guru meminta menyelesaikan soal nomor 3, maka soal nomor 1 dan soal nomor 2 terlebih dahulu diselesaikan, namun hal ini bukan generalisasi untuk semua kondisi. 6)

  Jika berkomunikasi khususnya ketika guru mengecek hasil pekerjaan siswa sambil mengajukan pertanyaan sering terjadi ketidaksesuaian (mismatch) antara ucapan dengan Gesture, misal ketika menunjuk/mencocokkan gambar tetapi tidak sesuai dengan ucapannya. 7)

  Salah satu upaya yang dilakukan guru dalam membantu kemampuan siswa autis memahami materi pelajaran yaitu dengan menggunakan gambar, dan melakukan driil untuk mengecek pemahaman. Pertimbangannya bahwa materi matematika bersifat abstrak, hafalan dan terdiri dari konsep-konsep sehingga untuk mempelajarinya diperlukan kondisi belajar yang berbeda tetapi menyenangkan. 8)

  Banyaknya siswa dalam satuan kelas relatif sedikit (tidak lebih dari 5 orang), sehingga untuk menangani siswa autis, sekolah tersebut tidak menggunakan GPK (Guru Pendamping Khusus) tetapi menggunakan guru kelas. 9)

  Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum regular (sama kurikulum di sekolah umum lainnya) atau merujuk pada BSNP SDLB-C (Badan Standar Nasional

  Pendidikan Sekolah Dasar Luar Biasa).

  Hasil observasi menjadi bahan pertimbangan untuk menyusun desain penelitian yang dimungkinkan sesuai dengan kondisi alamiah di sekolah dan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Untuk mendukung hal tersebut digunakan berbagai teori pendukung dari terhadap siswa autis dalam pembelajaran matematika (Bahrun, 2011) menguraikan bahwa siswa autis mempelajari matematika melalui 3 (tiga) tahap abstrakisasi yaitu tahap konkrit, semi konkrit, dan tahap abstrak. Pada tahap konkrit, digunakan media yang sesuai dengan bakat dan minat mereka. Pada tahap semi konkrit diwujudkan dengan mengganti benda konkrit menjadi gambar. Pada tahap abstrak diwujudkan dengan membilang secara langsung dengan lisan. Selain itu, ditemukan juga bahwa siswa autis dapat menggunakan cara menghafal dalam mempelajari matematika, namun tanpa memahami arti kata perkata, misalnya menghafal bilangan tanpa memahami arti nilai tempat bilangan tersebut.

  Secara khusus Gesture dianalisis bukan sebagai pendekatan alternatif untuk memahami konsep-konsep matematika atau memperbaiki proses pembelajaran matematika, melainkan sebagai strategi integratif (pendekatan alternatif untuk memahami proses berpikir siswa autis), karena dalam penelitian ini diharapkan adanya suatu mekanisme komunikasi alami yang dapat dengan mudah memberikan ide-ide abstrak yang biasanya dianggap terlalu rumit untuk dipahami melalui ucapan. Untuk itu, artikel ini akan berfokus pada proses berpikir matematik siswa autis dalam representational Gesture .

II. PEMBAHASAN A. Definisi dan Karakteristik Siswa Autis

  Kata autis (dapat juga disebut autist atau autistic, dalam penelitian ini digunakan istilah autis) berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata yaitu ―aut‟ yang berarti ―diri sendiri‟ dan ―ism‟ yang secara tidak langsung menyatakan orientasi atau arah atau keadaan (state), sehingga autis dapat diartikan sebagai kondisi seseorang yang menunjukkan gejala hidup dalam dunianya sendiri.

  Chaplin (Romiariyanto, 2010) memberikan pengertian autis: 1) cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri, 2) menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri, dan 3) Keyakinan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri. Sejalan dengan itu, American Psych mendefinisikan autis sebagai ganguan perkembangan yang terjadi pada anak yang mengalami kondisi menutup diri. Gangguan ini mengakibatkan anak mengalami keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku.

  Ditinjau dari segi pendidikan, siswa autis didefinisikan sebagai anak yang mengalami gangguan perkembangan komunikasi, sosial, dan perilaku, sehingga siswa tersebut memerlukan penanganan/layanan pendidikan secara khusus sejak dini. Siswa autis merupakan siswa yang mengalami salah satu gangguan perkembangan fungsi otak yang bersifat pervasive (inco) yaitu meliputi gangguan kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan gangguan interaksi sosial, sehingga siswa tersebut mempunyai dunia sendiri. Dalam pembelajaran, siswa autis lebih mudah memahami materi secara visual (melalui gambar atau gerakan) dibanding dengan ucapan. Jika siswa autis melakukan gerakan yang sama berulang kali, maka hal ini menunjukan sesuatu ketertarikan yang berlebihan pada suatu objek tertentu.

  Pendidikan di sekolah autis dengan di sekolah siswa normal pada dasarnya adalah sama, yang berbeda hanya pada tingkat pencapaiannya, karena siswa autis merupakan anak yang memiliki penyimpangan perilaku dan hambatan berfikir, maka dimungkinkan siswa autis mengalami kesulitan dalam belajar khususnya matematika. Dari segi fisik, sulit sekali membedakan antara siswa autis dengan siswa normal, tetapi bisa diketahui melalui tingkah lakunya. Perbedaan perilaku siswa autis dan siswa normal diuraikan sebagaimana Tabel 2.1 dibawah ini:

  

Tabel 2.1: Perbedaan Ciri-ciri siswa autis dan siswa normal

  Ciri-ciri siswa autis Ciri-ciri siswa normal Gerakan yang dilakukan tidak terarah Terarah Hiperaktif atau hipoaktif Aktif atau pasif Kurang bisa duduk tenang Bisa duduk tenang Kontak mata kurang Kontak mata bagus, tidak masalah Gerakan tak terkontrol Gerakan terkontrol dengan baik Marah atau menangis tanpa sebab Marah atau menangis ada sebabnya

  Dalam penelitian ini siswa autis didefinisikan sebagai anak yang memiliki gangguan perkembangan yang ditandai dengan adanya gangguan/keterlambatan kognitif, komunikasi dan interaksi sosial.

B. Pembelajaran Matematika bagi Siswa Autis

  Secara khusus siswa autis beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan komunikasi, tingkat intelegensi (kognitif), dan bahkan interaksi sosialnya. Siswa autis yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Spectrum

  

autis memiliki ciri khas dalam mempersepsi dunia (adaptasi Siegel dalam Nawawi,

  2009), misalnya: 1)

  Visual thinking (berpikir visual). Siswa autis lebih mudah memahami hal konkrit (dapat dilihat dan dipegang) daripada hal abstrak. Secara umum ingatan atas berbagai konsep tersimpan dalam bentuk video atau file gambar.

  2) Processing problems (kesulitan memproses informasi). Sebagian siswa autis mengalami kesulitan memperoleh informasi. Mereka cenderung terbatas dalam memahami ―common sense‖ atau menggunakan akal sehat/nalar.

  3) Communication frustration (kesulitan berkomunikasi). Gangguan perkembangan bicara/bahasa yang terjadi pada siswa autis membuat mereka sering frustasi karena masalah komunikasi. Siswa autis bisa mengerti orang lain tapi terutama bila orang lain bicara langsung kepada mereka. Itu sebabnya mereka seolah tidak mendengar bila orang lain bercakap-cakap diantara sesamanya.

  4) Social and emotional issues (masalah emosi dan sosial). Ciri lain yang dominan adalah keterpakuan akan sesuatu membuat kecenderungan berpikir kaku. Akibatnya mereka sulit beradaptasi atau memahami perubahan yang terjadi di lingkungan sehari-hari. 5)

  Problems of control (kesulitan dalam mengontrol diri). Berbagai gangguan perkembangan neurology di otak menjadikan masalah autis menjadi semakin kompleks. Mereka mengalami kesulitan mengontrol diri sendiri, yang terwujud dalam berbagai bentuk masalah perilaku. 6)

  Problems of connection (kesulitan dalam menalar). Berbagai masalah yang berkaitan dengan kemampuan individu menalar antara lain: Attention problems; masalah pemusatan perhatian. 7)

  System integration problems. Proses informasi di otak bekerja secara ―mono‖ (tunggal) sehingga sulit memproses beberapa hal sekaligus. Setiap individu mempunyai caranya sendiri dalam mencerna informasi secara efektif. Umumnya belajar melalui indra penglihatan, perabaan, dan atau pendengaran.

  Karakteristik mendasar siswa autis dalam belajar matematika dapat dilihat dari

  

Gesture (gerak tubuh) yang diproduksi. Hal ini diperkuat oleh penelitian Healy (2012)

  yang mengeksplorasi peran indra tubuh dalam pembelajaran matematika (menguji kegiatan matematika anak penyandang cacat (disabilitas). Setiap Gesture mengandung makna verbal dan akan merepresentasikan bagaimana cara berpikir (apa yang dipikirkan) siswa autis dalam memahami masalah matematika. dalam matematika itu sendiri, tetapi terkait dengan aspek lainnya, Menurut Runtukahu (Bahrun, 2011) aspek-aspek tersebut adalah: 1) kemampuan matematika dini, 2) kemampuan hubungan spasial (ruang), 3) kemampuan motorik dan persepsi visual, 4) kemampuan bahasa dan membaca, 5) kemampuan dalam konsep arah dan waktu, dan 6) kemampuan anak dalam mengingat. Siswa autis mempunyai kemampuan dalam bidang visual spasial yang lebih baik daripada kemampuan yang berhubungan dengan sesuatu yang abstrak. Salah satu kesulitan yang dihadapi siswa autis dalam belajar matematika adalah mereka tidak mampu mengorganisasikan pengetahuan yang dipelajarinya. Maksudnya mereka belum mampu menghubungkan pengetahuan yang sudah di pelajari dengan pengetahuan yang baru dipelajari, meskipun itu masih dalam satu pokok bahasan.

  Siswa autis dapat belajar matematika bila diberikan pendekatan aktif dan terstruktur. Dalam hal ini pengajaran matematika dianjurkan meliputi 3 tahap, yaitu penanaman konsep dengan objek konkrit, penanaman konsep dengan pengertian dan pengajaran melalui keterampilan atau latihan soal-soal.

  Menurut Sussman (Bahrun, 2011) ada 5 (lima) cara siswa autis dalam belajar, yaitu : 1)

  Rote Learner, menghafalkan informasi apa adanya, tanpa memahami arti simbol yang mereka hafalkan. 2) Gestalt Learner, menghafalkan kalimat secara utuh, tanpa mengerti arti kata perkata. 3) Visual Learner, mencerna informasi yang dapat mereka lihat, daripada yang mereka dengar. 4)

  Hands-on Learner, mencoba-coba dan mendapat pengetahuan melalui pengalamannya. 5) Auditory Learner, mendapat informasi melalui pendengarannya.

  Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk membantu siswa autis dalam kegiatan belajarnya (Dodd, dalam Homdijah: 2012), diantaranya: 1)

  Isyarat visual/ verbal, yaitu pengajaran yang diberikan pada siswa autis untuk membantu mereka melengkapi tugas-tugas belajar yang diinginkan. Ini mungkin dilakukan dengan cara nonverbal atau verbal, dengan menggunakan tanda manual atau strategi visual. Strategi visual merupakan strategi pembelajaran dengan menggunakan benda-benda konkrit atau semi konkrit atau simbol-simbol dalam menyampaikan pembelajaran. 2)

  Visual support, digunakan untuk meningkatkan komunikasi, mentransfer informasi, perilaku dan mengembangkan kemandirian. Visual support meliputi Gesture (ekspresi wajah dan isyarat tangan).

  Dengan demikian, pembelajaran matematika untuk siswa autis harus diatur, dipersiapkan sebaik mungkin, tujuan yang ingin dicapai harus realistis, menggunakan bahasa sederhana, tidak banyak kata-kata yang akan membuat siswa bingung, dan ketika anak melakukan sesuatu yang positif guru segera untuk memberikan reinforcement.

C. Gesture dan Proses Berpikir Matematik

  Secara umum Gesture digunakan untuk berkomunikasi memiliki persamaan dalam berbagai sudut pandang, misalnya ―menganggukkan kepala‖ menandakan penegasan ―ya‖, atau ―tidak‖ ditandai dengan ―gelengan kepala‖. Untuk interpretasi Gesture dapat diamati dengan melakukan pengelompokkan Gesture dan persamaan hubungan komunikasi verbal dan nonverbal.

  Gesture dapat berfungsi sebagai simbol pembatas antara ungkapan kata-kata, sikap

  dengan tindakan lainnya. Gesture menjelaskan secara mendalam maksud pikiran dan memperkuat makna dari ucapan. Adapun fungsi Gesture diuraikan sebagaimana Tabel 2.2 dibawah ini:

  Fungsi Keterangan Contoh Repetisi Mengulang kembali gagasan yang sudah disampaikan. siswa yang mau mengerjakan soal dipapan tulis akan mengiyakan sambil menunjuk tangan dan segera tampil kedepan kelas.

  Substitusi Menggantikan simbol atau lambang verbal. tanpa mengatakan sepatah kata, jika siswa menggelengkan kepala, maka guru mengetahui bahwa Gesture tersebut sebagai tanda ketidaksetujuan/ketidakpahaman atas materi dan sebagainya.

  Kontradiksi Menolak suatu informasi verbal dengan memberikan makna lain menggunakan informasi nonverbal. siswa yang setuju dengan jawaban dari suatu masalah matematik dikelas dan mengacungkan tangan saat diminta mengerjakannya dipapan tulis (memperlihatkan hasil pekerjaannya), namun sesaat kemudian siswa tersebut tidak mau tampil didepan (berlari kembali ketempat duduknya) ketika ditunjuk gurunya. Gesture yang seperti ini menggambarkan bahwa siswa tersebut takut, kontradiktif dengan informasi verbalnya.

  Pelengkap (complement) Melengkapi dan memperkaya informasi nonverbal. ekspresi wajah yang menunjukkan rasa takut/ragu-ragu tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

  Aksentuasi Menegaskan informasi nonverbal. menganggukkan kepala berarti setuju, atau memejamkan mata sambil menganggukkan kepala seolah-olah mengerti penjelasan guru.

  (adaptasi Turafanany, 2012)

  Gesture bersifat alamiah, lebih murni, dan seseorang bisa mengetahui apa yang disampaikan jika komunikasi verbal diikuti oleh bahasa nonverbal melalui bahasa tubuh.

Gesture terdiri dari berbagai gerakan tubuh dan simbol-simbol verbal yang merupakan

  proses pertukaran pikiran dan gagasan dimana informasi yang disampaikan dapat berupa isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, sentuhan, atau artefak (lambang yang digunakan). Dengan demikian disimpulkan bahwa Gesture merupakan komunikasi nonverbal (berupa isyarat, ekspresi wajah) yang dapat membentuk pikiran.

D. Representational Gesture membantu Komunikasi Siswa Autis

  Representational Gesture menunjukkan simulasi motorik dan persepsi yang

  mendasari ucapan. Gesture ini membantu pengungkapan ide secara nonverbal. Chu dan Kita (dalam Muser, 2010) mendefinisikan representational Gesture sebagai gerakan ikonik, di mana tangan merupakan objek gerakan. Sejalan pendapat tersebut, McNeill pada literatur yang sama juga mengunggapkan representational Gesture sebagai Gesture ikonik dan Gesture metapora. Gesture ikonik atau ilustrator berkaitan erat dengan ucapan, menggambarkan apa yang sedang diucapkan melalui gerakan tangan, misalnya ketika seseorang menggambarkan benda fisik dengan menggunakan tangan untuk menunjukkan seberapa besar atau kecil benda tersebut, sedangkan pada Gesture metapora akan membangun objek visual atau menunjuk suatu benda abstrak. Gesture tersebut memiliki hubungan bentuk dan fungsi yang relatif transparan dan berperan penting dalam komunikasi.

  Secara khusus, representational Gesture merupakan cerminan bagaimana konsep pemecahan masalah tertentu (Chu & Kita, 2008, dalam Kirsten J. Muser, 2010).

  

Representational Gesture akan memberikan informasi tentang petunjuk/wawasan

  pengetahuan untuk memahami bagaimana memperoleh konsep solusi untuk memecahkan autis selama proses pembelajaran berlangsung.

  Representational Gesture memiliki hubungan bermakna dengan isi semantik dari

  ucapan yang menyertai (Kita, dalam Becvar: 2008). Secara umum bersifat global dan sintetis, karena setiap bagian dari Gesture ini tidak memiliki arti independen (bersifat bebas) yang dikombinasikan komposisinya untuk memproduksi berbagai gerakan.

E. Karakteristik Proses Berpikir Matematik dalam Representational Gesture

  Berpikir matematik apabila dikaitkan dengan konsep berpikir, maka dapat dipandang sebagai suatu cara untuk memahami masalah matematika dengan menyusun berbagai sumber kajian terhadap obyek-obyek matematika. Dalam proses pembelajaran, kegiatan berpikir melibatkan seluruh pribadi, perasaan dan kehendak siswa. Proses berpikir dilukiskan misalnya: ‖jika dalam diri siswa timbul suatu masalah yang harus dipecahkan, terjadilah terlebih dahulu suatu skema/bagan yang masih belum jelas. Bagan tersebut dipecahkan dan dibanding-bandingkan dengan seksama. Kemampuan untuk mendapatkan ide yang jelas tentang apa yang dipikirkan siswa autis seringkali sulit dilakukan kecuali adanya penjelasan yang baik. Clarke, Goos dan Morony (Scusa, 2008) mengatakan bahwa:

  ―mengembangkan penyajian visual yang tepat dari informasi masalah sangat penting untuk mampu menyelesaikan masalah‖. Ini adalah identifikasi karakteristik berpikir matematika yang baik. Siswa perlu berlatih, namun dalam menyajikan dan mempertahankan jawaban mereka perlu diberikan kesempatan untuk menunjukkan apa yang mereka pikirkan dan bagaimana masalah dapat diselesaikan.

  Berdasarkan kajian berbagai sumber dan studi pendahuluan awal yang telah dilakukan, maka dimungkinkan adanya berbagai karakteristik proses berpikir matematik siswa autis yang muncul selama proses pembelajaran antara lain sebagai berikut: 1) Matching Gesture, yaitu kondisi pada saat siswa autis memproduksi Gesture yang sesuai dengan apa yang diucapkannya (gerakan dan ucapan sesuai), 2) Mismatch Gesture, yaitu kondisi pada saat siswa autis mengalami mismatch (ketidaksesuaian antara Gesture dan ucapan dalam memecahkan masalah matematik), 3) Imitation Gesture, yaitu kondisi pada saat siswa autis meniru Gesture guru, 4) the other Gesture, yaitu kondisi pada saat siswa autis memproduksi gerakan-gerakan motorik lainnya tetapi masih berkaitan dengan masalah matematika yang sedang diselesaikan, atau siswa autis memproduksi gerakan- gerakan motorik lainnya tetapi sebenarnya tidak ada kaitannya dengan masalah matematika yang diselesaikan, dan 4) Repetitive Gesture, yaitu kondisi pada saat siswa autis memproduksi Gesture yang sama secara berulang-ulang terhadap suatu objek matematik.

  Berdasarkan analisis pembelajaran matematika siswa autis diperoleh uraian sebagai berikut:

  1. Kondisi siswa tergolong ―grahita ringan‖, sehingga kurikulum yang digunakan

  berdasarkan BSNP SDLB-C (Tunagrahita Ringan). Siswa cenderung masih dapat mengikuti petunjuk/perintah guru selama proses pembelajaran, tetapi tidak dapat berkomunikasi verbal dengan baik.

  

2. Mengawali pembelajaran, guru menjelaskan materi dengan menunjukkan benda

realnya langsung seperti benda yang berbentuk balok, kubus, dan lain-lain.

  Selanjutnya guru memberikan tugas berupa gambar benda-benda dalam kehidupan 3. sehari-hari dan siswa diminta untuk mengamati dan memberikan nama jenis bangun ruangnya. Tugas dikerjakan secara mandiri, setelah itu dibimbingan oleh guru untuk mengecek kebenaran jawaban siswa.

  

4. Tugas selanjutnya, guru meminta siswa mewarnai gambar benda-benda bangun

  ruang:

  

5. Tugas selanjutnya, siswa mencocokkan gambar sesuai dengan nama jenis bangun

  ruang yang sudah disiapkan. Dari video pembelajaran SAM_2467 terlihat bahwa sebelum mencocokkan gambar, guru terlebih dahulu membimbing siswa membaca nama-nama bangun ruang yang tersedia, setelah itu guru menunjuk gambar dan memin ta siswa menjawab ―bentuknya apa?‖. Pada kegiatan ini siswa sering tidak fokus menjawab pertanyaan guru, hal ini ditunjukkan dengan berubah-ubahnya jawaban siswa tetapi tetap tidak benar. Jika kondisi ini dialami siswa, maka guru mengulang-ulang mengarahkan siswa melihat

   Guru mengarahkan siswa mengamati gambar, siswa mengikuti petunjuk guru dengan menunjuk gambar yang sama ditunjuk siswa tersebut. Ketika siswa diminta menamai gambar, siswa tersebut menjawab dengan suara keras ―balok‖  Guru kembali mengarahkan siswa dengan menuntun/membimbing melihat dengan jelas bentuk gambar yang ditunjuk dengan bentuk gambar jenis balok sebelumnya, kemudian meminta menamai ulang gambar karena jawaban sebelumnya salah. Siswa menjawab dengan suara keras ―kubus‖

  Analisis: Siswa cenderung dapat menyelesaikan masalah dengan bimbingan guru  Setelah secara berulang-ulang siswa menyebut gambar tersebut adalah ―kubus‖, selanjutnya guru meminta siswa menulisnya,

  (Analisis: Tindakan berulang-ulang yang dilakukan siswa menunjukkan “consistent speech , yaitu suara/speech sound yang konsisten digunakan siswa autis untuk merujuk ke objek tertentu)

   pada saat menulis nama gambar secara berulang- ulang juga siswa tersebut menulis ―balok‖, padahal ketika guru menanyai ulang siswa tersebut menjawab ―kubus‖.

  (Analisis: Siswa mengalami mismatch

  (ketidaksesuaian antara gesture dan ucapan) Dengan bimbingan guru, siswa tersebut dapat menulis dengan benar ―kubus‖ pada gambar yang ditunjuknya, setelah berulang-ulang menyebut kubus tetapi menulis balok.

  Pemilihan warna sesuai dengan keinginan siswa, siswa cenderung memilih warna-warna yang cerah/terang Analisis: Beberapa warna mampu menarik perhatian dan membuat siswa cenderung lebih bersemangat dan senang yang dapat memberi pengaruh positif pada anak. Warna -warna yang disukai oleh anak-anak usia sekolah dasar warna-warna cerah dan kontras, yang dapat menimbulkan perasaan gembira. misalnya benda yang berbentuk ―kubus‖ dijawab siswa ―tabung― kemudian ditanya lagi dijawab ―kerucut‖, guru membantu siswa dengan mengeja ―ku….‖ disambung oleh si swa ―kucut‖ kemudian guru membetulkan dengan menyebut kata ―kubus‖. Setelah itu guru meminta siswa menunjuk tulisan ―kubus‖, awalnya siswa menunjuk tulisan ―kerucut‖ (karena dimemorinya kata yang tersimpan untuk benda

  tersebut adalah “kerucut” seperti yang dijawab sebelumnya) tetapi diperbaiki

  cepat oleh siswa tersebut dengan mengeja tulisan lain ― k u b u s‖ dan menandai nama benda tersebut dengan menarik garis pada gambar ke tulisan kata ―Kubus‖.

  Dari hasil pekerjaan siswa ditemukan bahwa apabila terdapat dua benda/gambar yang jenisnya sama maka garis yang ditarik untuk mencocokkannya dengan tulisan selalu bertemu pada ujungnya perhatikan gambar, garis yang menunjuk ke tabung, balok, kubus, bola.

  Begitu pula pada gambar disamping, perhatikan garis yang ditarik dari dua jenis gambar yang sama, kedudukan garis yang ditarik pada gambar 1 sama dengan kedudukan garis yang ditarik pada gambar yang sama berikutnya

  Analisis: Hal ini menunjukkan bahwa siswa autis memiliki kemampuan visual spasial, adanya kecenderungan melakukan rutinitas dan aturan yang terstruktur.

  Tugas selanjutnya, mengelompokkan benda sesuai kolomnya. Dari video 6. pembelajaran SAM_2472 terlihat bahwa sebelumnya guru memperlihatkan gambar ke siswa yang isinya berupa benda-benda di kehidupan sehari-hari. Satu persatu gambar ditunjukkan ke siswa, dan siswa diminta menjawab namanya apa. Sesekali siswa menjawab salah bahkan tidak jelas ucapannya, ketika jawaban sudah benar, guru kemudian menulis nama benda tersebut pada gambar dengan tujuan dapat memudahkan siswa untuk menaruhnya pada kolom, setelah itu guru memberikan penjelasan mengenai kolom yang telah disediakan. Pada saat siswa mengambil salah satu gambar (yang diambil gambar ―kelereng‖), langsung ditempatkannya pada kolom kerucut. Pada kondisi ini, guru kemudian mengarahkan siswa dengan menunjuk gambar dan menanyai ―kelereng bentuknya apa?‖, berulang-ulang jawaban siswa salah, sesekali menjawab ―balok‖….‖kelereng‖…..bahkan ucapan yang tidak jelas maksudnya apa. Guru terus mengulang meminta siswa fokus melihat gambar. Jawaban yang diinginkan guru adalah bentuknya seperti ―bola‖. Pada saat siswa menjawab ―bola‖ guru bertanya ke siswa ―mana kolom bolanya?‖ secara spontan siswa tersebut langsung mengambil gambar bentuk ―bola‖ yang sebenarnya dan menempatkannya pada kolom bola.

  Analisis: kondisi tersebut menunjukkan bahwa peranan guru ketika mengarahkan siswa memahami gambar harus dilakukan secara visual thinking.

  Kejadian siswa mengambil gambar “bola” padahal yang dipegang adalah gambar “kelereng” menunjukkan bahwa secara umum ingatan atas berbagai konsep tersimpan dalam bentuk video/file gambar.

  pada kegiatan pembelajaran guru mengarahkan siswa menempatkan ―kelereng‖ pada kolom ―bola‖. Hal ini cukup membingungkan siswa secara visual, karena dua benda sebelumnya gambarnya memang ―bola‖. Hal ini menunjukkan bahwa guru berperan penting dalam kegiatan belajar siswa, bimbingan dan petunjuk yang diberikan kepada siswa cenderung diikuti dan ditiru sesuai dengan yang dilihatnya, karena salah satu ciri khas siswa autis adalah problem of connection (kesulitan dalam menalar) termasuk masalah pemusatan perhatian (Siegel, dalam Nawawi: 2009).

III. KESIMPULAN

  Berdasarkan pembahasan, maka disimpulkan sebagai berikut: 1) Pada manusia, gesture merupakan dasar representasi mental dalam tindakan.

  2)

Gesture dapat membantu guru dan siswa dalam proses pembelajaran matematika.

  3) Bagi Policy Maker, Gesture dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif untuk dapat direkomendasikan di ―sekolah-sekolah luar biasa/sekolah inklusi‖ sebagai sumber referensi memahami proses berpikir matematik siswa autis, sehingga diberikan layanan khusus dalam proses pembelajaran. Misalnya guru yang mengajar matematika di sekolah dibekali sejak awal pelatihan khusus bagaimana mengajarkan matematika bagi siswa autis. 4)

  Bagi akademisi, diharapkan dapat membangun kepekaan sosial terhadap anak berkebutuhan khusus dan bahan kajian untuk meningkatkan kemampuan melakukan pengembangan penelitian pendidikan matematika.

  

Daftar Pustaka

  Alibali, Martha W., Kita, Sotaro., Young, Amanda. 2000. Gesture and The Process Of

  Speech Production: We Think, Therefore We Gesture . (Online), (Language and Cognitive Processes , 2000, 15 (6), 593

  • –613

  , diakses 11 September 2013). Alibali, M., &Nathan, M.J. 2007.

  Teachers’ Gestures as a means of Scaffolding Students’ Understanding Evidence from an Early Algebra Lesson . In press in R. Goldman,

  R. Pea, B. Barron, & S. J. Derry (Eds.), Video Research in the Learning Sciences. Mahwah, NJ: Erlbaum. (Online), (www.psy.cmu.edu/.../alibali_nathan_VRLS_in... diakses 15 Desember 2012).

  Alibali, Martha W. & Nathan, Mitchell J. 2012. Embodiment in Mathematics Teaching and Learning: Evidence From Learners' and Teachers' Gestures .

  (online)

  iakses 7 Februari 2013).

  Bahrun. 2011. iakses 13 September 2013). Caroline C., Williams., Walkington, Candace., Pier, Elizabeth., Rebecca., Boncoddo.,

  Nathan, Mitchell (The Magic Research Group). 2012. Invisible Proof: The Role Of

  Gestures And Action In Proof. (Online), (Journal of Memory and Language, 43(3),

  379-401 diakses Januari 2013). Cartmill, Erica A. dkk. 2012. A Word In The Hand: Action, Gesture and Mental

  Representation In Humans And Non-Human Primates . (Online),

   diakses 13 September 2013). Cermak, A. Sharon., Coster, Wendy., Drake, Charles. 1980. Reprentational and

  Representational Gestures in Boys with Learning Disabilities. (Online), The American Journal of Occupational Therapy January 1980, Volume

  34, No.1, iakses 12 September 2013). Cocks, Naomi.,Morgan, Gary., Kita, Sotaro. 2011. Iconic Gesture and Speech Integration

  in Younger and Older Adults. (Online), (Gesture 11:1 (2011), 24-39, DOI

  10.1075/gest.11.02 COC, http://www.staff.city.ac.uk/g.morgan/old%20gestures.pdf , diakses 12 September 2013).

  Creswell, John W. 2012. Research Desain Pendekatan Kualitatif,Kuantitatif, dan Mixed.

  Yogyakarta: Pustaka Belajar. Elfanany, Burhan. 2013. Bahasa Tubuh untuk Guru dan Dosen. Yogyakarta: Alaska. Healy, Lulu. 2012. Hands That See, Hands That Speak: Investigating Relationships Between Sensory Activity, Forms Of Communicating And Mathematical Cognition.

  th

  12 International Congress on Mathematical Education. (Onlin), diakses 2 November 2012).

  

(Online),

   diakses 26 Oktober 2013). Hostetter, Autumn B. & Alibali, Martha W. 2008. Visible Embodiment: Gestures As

  Simulated Action. (Online), (Psychonomic Bulletin & Review (2008), 15 (3), 495-

   15 Januari 2013).

  Meadow, Susan Goldin., Wagner, Susan M. 2005. How Our Hands Help Us Learn.

  (Online), (TRENDS in Cognitive Sciences Vol.9 No.5 May 2005,

  iakses 12 September 2012).

  Meadow, Susan Goldin. 2006. Talking and Thinking With Our Hands. (Online), (Current

  Directions In Psychological Science

  , Volume 15 — Number 1, 200

  iakses 12 September 2013).

  Meadow, Susan Goldin., Wagner Cook, Susan. 2006. The Role of Gesture in Learning:

  Do Children Use Their Hands to Change Their Minds?. (Online), (Journal Of Cognition And Development , 7(2), 211

  • –232, 2006,

  diakses 14 September

  2013). Meadow, Cook, & Mitchell. 2009. Gesturing Gives Children New Ideas About Math.

  (Online), (Journal Psychological Science (2009), DOI: 10.1111/j.1467- 9280.2009.02297.

   diakses: November 2012).

  Morett, Laura M, dkk. 2012. The Role of Gesture in Second Language Learning:

  Communication, Acquisition, & Retention . (Online),

  (http://mindmodeling.org/cogsci2012/papers/0143/paper0143.pdf , (2012), diakses 11 September 2013).

  Muser, Kirsten J. 2010. Representational Gestures Reflect Conceptualization in Problem Solving.

  (Online), diakses 6 Februari 2013).

  Ozcaliskan, Seyda., Levine, Susan C., Meadow, Susan. 2013. Gesturing With An Injured

  Brain: How Gesture Helps Children With Early Brain Injury Learn Linguistic Constructions . (Online), (Journal of Child Language / Volume 40 / Special Issue 01

  / January 2013, pp 69 105,

   diakses 12 September 2013).

  Priyadharshni a, dkk. 2013. Hand Gesture Recognition System Using Hybrid Technology

  For Hard Of Hearing Community. (Online), (International Journal of Engineering

  Mathematics & Computer Science, Vol 1|Issue 2| 2013,

   diakses 14 September 2013).

  Radford, Luis. 2008. Why do Gestures Matter? Sensuous Cognition and the Palpability of

  Mathematical Meanings . (Online), (Educ Stud Math DOI 10.1007/s10649-008- 9127-3, (2008), diakses: Jumat, 13 September 2013).

  Radford, Luis. 2009. Signs, Gestures, Meanings: Algebraic Thinking From A Cultural

  Semiotic Perspective. (Online), (Proceedings of the Sixth Conference of European Research in Mathematics Education (CERME 6) that was hold at the Université Claude Bernard, Lyon, France,

  January 28- February 1, 2009, September 2013).

  

Turafanany, Lares. 2012. Trik Jitu Membaca Pikiran Orang Lain Lewat Bahasa

Tubuh. Yogyakarta: Pinang Merah Publisher.