Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Kara pdf

1

Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Karakter dalam
Upaya Rekonstruksi dan Reaktualisasi Patriotisme Warga Negara *)
Oleh Sarbaini FKIP UNLAM**)
Abstrak
Kata Kunci: Rekonstruksi, Reaktualisasi, Patriotisme, Kesadaran, Warga negara, PKn,
Karakter
Warga negara yang baik terbentuk pada sistem yang tepat dan aktif dari Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) berbasis karakter yang mengajarkan kepada individu warga negara
mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Kecendrungannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hak-hak warga negara meningkat, tanpa selaras
dengan kewajiban-kewajiban warga negara. Ditenggarai salah satu indikasinya adalah
merosotnya nilai patriotisme, yang merupakan perasaan cinta kepada tanah air dan bangsa,
dan lebih mengaktual sebagai kewajiban ketimbang hak. Sekaitan dengan upaya
menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, salah satunya adalah kewajiban untuk membela
tanah air dan bangsa, yakni patriotisme, maka diperlukan upaya rekontruksi dan reaktualisasi
nilai patriotisme yang mewujudkan dalam bentuk sikap kesadaran warga negara untuk
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan layanan kepada masyarakat di berbagai tingkatan.

A. Latar Belakang

Warga negara adalah orang yang memberikan kesetiaan secara khusus terhadap
pemerintah, menerima perlindungan dari pemerintah dan menikmati hak-hak tertentu. Warga
negara yang efektif terletak pada sistem yang tepat dan aktif dari PKn yang mengajarkan
kepada

individu

warga

negara

mengenai

hak-hak

dan

kewajiban-kewajibannya.

Kecendrungannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hak-hak warga

negara meningkat, tanpa selaras dengan kewajiban-kewajiban warga negara. Ditenggarai
salah satu indikasinya adalah merosotnya patriotisme sebagai perasaan cinta kepada tanah air
dan bangsa, dan yang lebih mengaktual sebagai kewajiban ketimbang hak.
Inti dalam PKn dan warga negara adalah mengembalikan keseimbangan antara
keduanya, salah satunya adalah merekonstruksi nilai patriotisme melalui aktualisasinya dalam
bentuk kesadaran warga negara untuk ikut serta dalam kegiatan layanan-layanan kepada
masyarakat lokal, regional, nasional dan internasional sebagai wujud warga negara yang baik.
B. Masalah

2

Sekaitan dengan upaya menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, salah satunya
adalah kewajiban untuk membela tanah air dan bangsa, yakni patriotisme, maka diperlukan
upaya rekontruksi dan reaktualisasi patriotisme yang mewujud dalam bentuk sikap kesadaran
warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan layanan kepada masyarakat di
berbagai tingkatan. Dengan demikian permasalahan yang akan dibahas adalah apakah yang
dimaksud warga negara yang baik, patriotisme dan kesadaran warga negara dalam perspektif
pendidikan kewarganegaraan, dan bagaimanakah rekontruksi dan reaktualisasi patriotisme
agar berkembang menjadi sikap kesadaran warga negara untuk berperanserta dalam kegiatan
layanan kemasyarakatan?

C. Orang yang Baik dan Warga Negara yang Baik menurut Perspektif PKn
PKn, kapanpun dan bagaimanapun berusaha menyiapkan orang dalam negara,
khususnya generasi muda guna menerima peran-peran mereka sebagai warga negara (Jack
Crittenden, 2007). Secara umum tujuan yang benar dari pendidikan adalah menghasilkan
warga-warga negara yang baik melalui sekolah (Eleanor Roosevelt, 1930). Berbagai
hubungan-hubungan di sekolah, seperti aktivitas-aktivitas sosial, atletik, mengembangkan tim
bermain, kerja sama, pemikiran dan pertimbangan terhadap orang lain adalah hal-hal yang
esensial bagi warga negara yang baik.
PKn secara formal adalah pengertian yang diberikan terhadap sistem organisasi
persekolahan, yang salah satu tujuannya adalah menyiapkan warga negara masa depan yang
berpartisipasi dalam kehidupan publik. Dalam negara-negara demokrasi menyiapkan orangorang baik sama seperti warga-warga negara yang baik, dan untuk pendidikan demokrasi,
dalam konteks ini menekankan peranan PKn.
Terdapat dua kelompok yang menonjol dalam mendukung penggunaan PKn sebagai
pendidikan karakter guna meningkatkan demokrasi. Satu kelompok terdiri dari para teorisi
politik seperti Galston, Battistoni, Benjamin Barber, dan Adrian Oldfield yang sering
menrcerminkan versi-versi modern dari aliran warga republikan. Kelompok ini menginginkan
ditanamkan dan dipeliharanya dalam diri warga negara masa depan, kesediaan mengorbankan
kepentingan mereka sendiri demi kebaikan umum. Partisipasi menurut pandangan ini adalah
penting untuk stabilitas masyarakat dan mempertinggi pertumbuhan setiap individu manusia
melalui promosi kesejahteraan bersama kita.


3

Kelompok kedua tidak melihat partisipasi demokratis sebagai inti, tetapi malahan
melihat partisipasi demokratis sebagai satu aspek penting dari keseluruhan PKn sebagai
pendidikan karakter. Inti dari misi sekolah-sekolah umum, menurut pandangan ini, adalah
membentuk ciri-ciri karakter yang penting untuk perilaku individu (menjadi orang yang baik)
dan untuk mengembangkan demokrasi (menjadi warga negara yang baik). Para pemimpin
kelompok ini adalah praktisi pendidikan seperti Thomas Lickona, William Bennet dan
Patricia White (Jack Crittenden, 2007).
D. Warga Negara yang Baik
1. Pengertian Warga Negara yang Baik
Warga negara adalah orang yang memberikan kesetiaan secara khusus terhadap
pemerintah dan menerima perlindungan dari pemerintah dan menikmati hak-hak tertentu
(Janowitz, 1983). Warga negara yang baik (good citizen) disebut juga sebagai warga negara
yang efektif (effective citizen) yaitu seseorang yang menggunakan waktu jauh dari
“pengejaran kebahagiaan-kebahagian “ mereka dalam melakukan sesuatu yang menyokong
kebebasan kita dan menjaga keamanan negara (www.goodcitizen.org). Menurut Huitt (2005),
warga negara yang baik adalah cara-cara berperilaku untuk diri sendiri yang sesuai dengan
hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan hak-hak istimewa dari penduduk dalam lokasi suatu

wilayah negara.
Sementara warga negara yang baik menurut Ryan, V (2006) adalah seseorang yang
respek terhadap orang lain dan hak milik mereka, penolong dan baik budi, bersedia
mendahulukan orang lain, mendengarkan pandangan orang lain, dan berpikir mengenai apa
yang mereka katakan, membantu orang yang tidak dalam posisi untuk menolong diri mereka
sendiri, respek terhadap lingkungan dan tidak merusak dengan berbagai cara, pekerja keras,
berkelakuan baik dan menyenangkan, dan berkeinginan untuk belajar.
Dengan demikian warga negara yang baik adalah cara-cara warga negara yang
berperilaku sesuai dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan hak-hak istimewa dari
penduduk dalam lokasi suatu wilayah negara, dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan
bermasyarakat baik berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di negaranya maupun
norma-norma agama, budaya dan sosial di masyarakat.
Sisi praktis dari warga negara yang baik akan sangat berhasil dibangun di sekolah,
karena sekolah sebagai satu miniatur dari kehidupan dalam suatu masyarakat, dan kondisi-

4

kondisi dan problem-problem dari masyarakat yang lebih luas adalah lebih mudah
direproduksi, dihadapkan dan dipecahkan. Untuk mewujudkan hal itu, mengisyaratkan kadar
yang tinggi dalam mengajar, yakni guru tidak hanya mengajarkan mata pelajaran, tetapi selalu

sadar bahwa semua mata pelajaran berhubungan dengan tujuan yang lebih luas, yaitu belajar
untuk hidup. Belajar menjadi warga negara yang baik adalah belajar untuk hidup dengan
memaksimalkan kemampuan-kemampuan dan peluang-peluang seseorang, dan setiap mata
pelajaran akan mengajar setiap anak dengan sudut pandang itu.
2. Ciri-ciri Warga Negara yang Baik
Warga negara yang baik memahami bahwa mereka memiliki tanggung jawab terhadap
masyarakat, lingkungan dan hukum. Dapat dilihat dilihat perbedaan antara warga negara yang
baik dan buruk dari ciri-cirinya dalam tabel berikut (Ryan, V, 2006).
Tabel 1
Ciri-Ciri Warga Negara yang Baik dan Warga Negara yang Buruk
Warga Negara yang Baik

Warga Negara yang Buruk

1. Menjadi tetangga yang baik dengan peduli 1. Melihat keluar hanya untuk diri sendiri
terhadap orang lain
2. Membagi waktu dan keterampilan-keterampilan 2. Mengotori dan menyia-nyiakan sumber-sumber
dengan masyarakat untuk membuatnya lebih baik,
lebih bersih dan lebih aman.
3. Melestarikan

sumber-sumber
dengan 3. Menyerahkan semua persoalan-persoalan politik
Reduce
melaksakanakan
Tiga
R,
yaitu
ada seseorang yang disebut “ahli”
(mengurangi), Re-use (Menggunakan kembali) dan
Recyle (Mendaurulang)
4. Tetap memberitahukan terhadap isu-isu dan
menyuarakan pendapatmu melalui pemungutan
suara.
5. Menjalankan peran positif sebagai model
kewarganegaraan dengan :
a) Memperlihatkan
kepedulian
terhadap
keberhasilan dan keamanan orang lain
b) Menggunakan bahasa yang tidak mengadili

yang tidak menyakitkan atau merendahkan.
c) Melakukan sesuatu yang benar, khususnya
ketika dalam keadaan sulit
d) Melakukan sesuatu yang benar, bahkan ketika
tidak ada seorangpun yang melihat.
e) Bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan
kamu.
f) Bercermin pada bagaimana tindakan-tindakan
kamu mempengaruhi kesejahteraan orang lain.

3. Cara Menjadi Warga Negara yang Baik

5

Manusia di jaman dahulu untuk hidup, mereka mematuhi hukum-hukum dan pola-pola
yang telah ditentukan oleh masyarakat, tetapi mengikuti pola-pola seperti itu tidak membuat
seseorang pasti menjadi warga-warga negara yang baik. Untuk menjadi warga negara yang
baik, maka orang hendaknya menjadi orang baik. Maksudnya seseorang memiliki secara
penuh nilai-nilai, prinsip-prinsip, etika-etika, dan lain-lain. (www.elsbee.com).
Satu aspek penting untuk menjadi warga negara yang baik adalah membantu orang di

lingkungan sekitar, bahwa orang selalu membutuhkan pertolongan. Pekerjaan sebagai warga
negara yang baik adalah untuk menolong berbagai macam orang. Ketika membicarakan
tentang orang yang membutuhkan pertolongan, tidak hanya membicarakan tentang seseorang
yang miskin, tetapi juga wanita hamil yang tidak dapat membawa bungkusan berat, atau orng
tua yang tidak dapat menyeberang jalan. Aspek penting lain yang perlu diingat untuk menjadi
warga negara yang baik adalah partisipasi aktif dalam masyarakat. Sebenarnya banyak caracara yang dapat dikerjakan, seperti ketika pemilihan umum datang untuk pemberian suara,
kita berada di dalam barisan yang siap memberikan suara. Ketika bersama para tetangga
untuk memutuskan tentang pemeliharaan jalan-jalan, kita berada di sana untuk memberikan
pandangan.
Rekomendasi terakhir untuk menjadi warga negara yang baik adalah respek terhadap
orang yang hidup di lingkungan sekitar. Harus diingat bahwa kita mempunyai hak-hak,
mereka mempunyai hak-hak juga. Respek adalah satu basis yang sangat penting ketika hidup
dalam masyarakat. Kita semua memiliki kebebasan, tetapi itu terbatas pada aspek-aspek
tertentu. Kita tidak dapat mempertimbangkan pembunuh atau pencuri warga-warga negara
yang baik seperti mereka melanggar batasan itu. Nilai-nilai sebaiknya ditanamkan kepada
orang seperti mereka tumbuh dewasa, adalah bentuk informasi yang akan membangun mereka
untuk menjadi warga-warga negara yang baik.
E. Patriotisme
1. Pengertian Patriotisme
Patriotisme berasal dari kata Yunani patris, berarti tanah air (fatherland). Namun

demikian patriotisme memiliki arti berbeda dalam sepanjang masa, dan amat tergantung pada
konteks, geografi dan filosofi. Euben menulis bahwa filosof Yunani Socrates mengemukakan,
“patriotisme” tidak menghendaki seseorang untuk setuju dengan setiap hal bawa negara
melakukan dan akan melakukan. Hal itu sesungguhnya mempromosikan pertanyaan yang

6

bersifat analisis dalam menyelidiki hal terbaik yang dapat dilakukan untuk negaranya
(http://en.wikipedia. org). Dalam abad ke 18 Masa Pencerahan, gagasan patriotisme berlanjut
dengan pemisahan dari nasionalisme. Malahan patriotisme diartikan sebagai kesetiaan kepada
kemanusiaan dan kemurahan hati. Banyak gagasan kontemporer terhadap patriotisme pada
abad ke 19 dipengaruhi oleh nasionalisme, sehingga selama abad ke 19, “keberadaan

patriotik” menjadi makin meningkat melekat dengan nasionalisme, dan bahkan dengan
jingoisme. Namun demikian, beberapa gagasan dari patriotisme kontemporer menolak
nasionalisme lebih baik dari versi yang lebih klasik untuk cita-cita patriotisme yang
memasukkan tanggung jawab sosial.
Patriotisme

adalah


sikap

berani,

pantang

menyerah

dan

rela

berkorban

demi bangsa dan negara. Patriotisme berasal dari kata "patriot" dan "isme" yang berarti sifat
kepahlawanan atau jiwa pahlawan, atau "heroism" dan "patriotism" dalam bahasa Inggris.
Pengorbanan

ini

dapat

(http://id.wikipedia.org).

berupa
Staub

pengorbanan
(1997)

harta

menyatakan

benda

maupun

patriotisme

jiwa

sebagai

raga
sebuah

keterikatan (attachment) seseorang pada kelompoknya (suku, bangsa, partai politik, dan
sebagainya). Keterikatan ini meliputi kerelaan seseorang dalam mengidentifikasikan dirinya
pada suatu kelompok sosial (attachment) untuk selanjutnya menjadi loyal. Patriotisme lebih
berbicara tentang cinta dan loyalitas.
Yanovsky (2003:2) mengemukakan bahwa patriotisme adalah sistem nilai-nilai dari
kehidupan moral, menyatakan respek ide-ide dari keadilan sosial, kebebasan dan kehidupan
nyata dari orang. Ini adalah perasaan yang dalam dari cinta terhadap tanah air, kejujuran
melayani keluarga dan negara, cinta terhadap bahasa ibu, kebudayaan, dan menghargai
kebudayaan-kebudayaan lain. Kovaleva (2008) menambahkan bahwa patriotisme berarti
partisipasi yang dalam, dan kesetiaan kepada komunitas; berarti komitmen dan kesiapan
untuk melayani publik dan institusi-institusi dari publik.
2. Dimensi Patriotisme
Dari rentetan sejarah pemahaman patriotisme, nampaknya patriotisme yang kemudian
populer dan dikenal masyarakat luas, tidak hanya di Indonesia, namun juga di dunia
ialah blind patriotism. Hal ini mendorong Staub dan Bar-tal untuk mempopulerkan dimensi
patriotisme yang semestinya lebih patut, yaitu constructive patriotism. Sehingga patriotisme
memiliki beberapa dimensi dengan berbagai istilah, namun Staub (1997) membagi patriotisme

7

dalam dua bagian yakni blind dan constructive patriotism (patriotisme buta dan patriotisme
konstruktif). Sementara Bar-Tal (1997) menyisipkan conventional patriotism di antaranya.
Patriotisme buta didefinisikan sebagai sebuah kerikatan kepada negara dengan ciri khas
tidak mempertanyakan segala sesuatu, loyal dan tidak toleran terhadap kritik (Staub: 1997).
Ciri khas patriotisme buta adalah menuntut tidak adanya evaluasi positif dan tidak toleran
terhadap kritik, seperti pernyataan yang sangat populer: "Right or wrong is my country!".
Pernyataan ini tanpa perlu dipertanyakan lagi memberikan implikasi bahwa apapun yang
dilakukan kelompok (bangsa) saya, haruslah didukung sepenuhnya, terlepas dari benar atau
salah. Hal ini telah disadari Bar-Tal sebagai pemicu awal totalitarisme atau chauvinisme.
Sementara sejarah telah mencatat konsekuensi buruk yang dihasilkan, sebut saja Nazi-Jerman,
Mussolini-Itali. Pembantaian orang tak berdosa, namun berseberangan dengan pandangan
politik pemimpin menjadi legal atas nama patriotisme, nasionalisme pun ikut diseret di
dalamnya sehingga bangsa lain pun bisa menjadi sasaran. Staub juga menyatakan bahwa blind

patriotism

tidak saja berakibat buruk bagi kelompok luar, namun juga membahayakan

kelompoknya sendiri. Tidak adanya kritik maupun evaluasi sama saja dengan membiarkan
kelompok berjalan tanpa peta, hingga bisa terpeleset dan masuk jurang.
Patriotisme konstruktif didefinisikan sebagai sebuah keterikatan kepada bangsa dan
negara dengan ciri khas mendukung adanya kritik dan pertanyaan dari anggotanya terhadap
berbagai kegiatan yang terjadi, sehingga diperoleh suatu perubahan positif guna mencapai
kesejahteraan bersama (Schatz, Staub, Lavine,1999). Sementara patriotisme konstruktif juga
tetap menuntut kesetiaan dan kecintaan rakyat dan bangsa, namun tidak meninggalkan nilainilai kemanusiaan. Dalam pandangan ini, pemimpin tidak selamanya benar, bahkan sebutan
orang tidak patriotis oleh seorang pemimpin, bisa jadi berarti sebaliknya. Kritik dan evaluasi
terhadap kelompok yang dicintai seseorang, justru merupakan bentuk kesetiaannya. Kritik dan
evaluasi ini bertujuan untuk menjaga agar kelompoknya tetap pada jalur yang benar atau
positif. Selain hal di atas, dalam patriotisme konstruktif terdapat 2 (dua) faktor penting, yaitu
mencintai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Seorang yang layak disebut patriot
adalah orang yang menjunjung dan mencintai kelompok, baik kelompok partai, bangsa atau
negara, namun lebih dari itu ia juga harus menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah
diperlukan sikap peduli yang muncul dalam kritik dan evaluasi.

8

Patriotisme sebagai sayang dan cinta pada satu negara, mengarah kepada berbagai
bentuk keyakinan dan perilaku. Sementara patriotisme dapat menghasilkan penampilan yang
mempertinggi nilai moral bagi negara-nasional, ia juga dapat mempersempit pikiran berupa
kebencian terhadap barang atau orang asing (minded-xenophobia), atau menyumbang secara
luas terhadap saling ketergantungan terhadap masyarakat dunia. Bentuk dan muatan yang
“terbaru” dari patriotisme dikehendaki berkontribusi terhadap tujuan-tujuan nasional dan
dunia yang lebih teratur (Janowitz.1983).
F. Kesadaran Warga Negara
Kesadaran warga negara (civic consciousness) adalah perasaan kasih sayang atau cinta
yang positif dan penuh makna dari seseorang yang berkembang terhadap negaranya (Janowitz,
1983). Sementara dukungan komitmen yang kuat adalah bukan tanpa komponen oto-kritik.
Oleh karena itu kesadaran warga negara dilihat sebagai versi oto-kritik terhadap patriotisme.
Kesadaran warga negara melibatkan elemen substansial dari penalaran, sama seperti
komitmen pribadi, dan berkembang dari refleksi, pengalaman pragmatis dan kepemimpinan
politik demokratis yang efektif. Dengan demikian PKn hendaknya melibatkan penyampaian
bingkai-bingkai alternatif berupa referensi yang membantu para siswa dalam mengembangkan
pemahaman terhadap realitas-realitas sosial dan politik.
Kesadaran warga negara dalam perspektif Islam, dapat dilihat dari hadist bahwa
Rasulullah mengatakan bahwa tingkat iman yang paling rendah adalah membuang rintangan
dari jalan. Rasulullah mengatakan sendiri jalan yang terbuka lebar bagi para warga untuk
bekerja ke arah perbaikan masyarakat dan sekitar mereka adalah kata lain untuk
mengembangkan kesadaran warga negara (Rafiudeen, 2009). Kesadaran seperti yang
ditunjukkan hadist itu menunjukkan demi menjamin orang-orang yang hidup adalah dibuat
mudah, dan mereka tidak mengalami kesulitan-kesulitan, dengan implikasi, bahwa upayaupaya yang dilakukan adalah untuk kenyaman dan keamanan mereka.
Selain peduli terhadap keamanan dan kesejahteraan orang pada tingkat individual,
kesadaran warga negara dalam perspektif Islam juga berarti peduli mengenai kesejahteraan
masyarakat sebagai keseluruhan. Dibutuhkan pengembangan kesadaran terhadap isu-isu
nasional seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, perumahan dan ekonomi.
Hal yang amat jelas adalah bagaimana sistem nilai religi diharapkan untuk mendekati
berbagai isu; untuk memiliki empati yang dalam dan fundamental terhadap kaum miskin dan

9

secara aktif meringankan nasib mereka, mengakui bahwa setiap orang mempunyai hak untuk
bebas, kualitas pendidikan dan kesehatan yang memadai, untuk mengakui hak setiap orang
untuk bermartabat melalui pekerjaan dan perumahan yang layak, dan untuk berjuang untuk
ekonomi yang menjamin kesejahteraan engarayang menguntungkan bagi seluruh penduduk.
Tingkat kesadaran warga negara yang lain, dan sering di bawah radar adalah menjadi
penting dan menanyakan terhadap tipe dari informasi yang diterima. Media, para aktivis dari
semua jenis dan semua politisi yang mempunyai agenda-agenda sendiri dalam jenis informasi
yang mereka tempatkan dan dalam perangkat tipe-tipe debat yang mereka inginkan publik
terlibat di dalamnya.Saat-saat itu dilakukan dengan maksud-maksud yang baik dan mencari
perhatian publik terhadap problem-problem nyata yang dihadapi negara. Tetapi sering mereka
sungguh manipulatif dan mencoba secara langsung menjauhkan publik dari problem-problem
itu, atau mereka membungkusnya dengan kepentingan khusus yang mereka nyatakan dalam
bentuk gambaran yang lebih luas. Warga negara yang kritis menerima informasi secara tidak
diskriminasi, tetapi melihat isu-isu secara individual dan memutuskannya berdasarkan
keuntungan-keuntungan mereka sendiri.
G. Rekontruksi dan Reaktualisasi Patriotisme
Pengertian patriotisme berbasis tradisional yang masih dianut oleh beberapa kalangan
hendaknya direkontruksi kepada pengertian patriotisme yang lebih sesuai dengan kebutuhan
era milineum, yaitu dalam dunia yang saling ketergantungan dan menghendaki kerjasama
saling menguntungkan, serta prioritas problem yang dihadapi oleh negara di mana warga
negara itu berada.
Patriotisme dalam pengertian tradisional menurut Janowitz (1983) adalah perasan cinta
dan sayang kepada negara, mengarah kepada berbagai bentuk keyakinan dan perilaku, selain
dapat menghasilkan penampilan yang mempertinggi nilai bagi bagi negara, juga dapat
mempersempit pikiran berupa kebencian terhadap barang atau orang asing (minded-

xenophobia). Dilihat dari dimensi patriotisme, aspek negatif dari pengertian tradisional
patriotisme dapat kiranya dikaitkan dengan patriotisme buta (blind patriotism), yaitu sebuah
kerikatan kepada negara dengan ciri khas tidak mempertanyakan segala sesuatu, loyal dan
tidak toleran terhadap kritik (Staub: 1997).
Dalam rangka melakukan rekontruksi terhadap pengertian tradisional patriotisme, maka
Janowitz (1983) menawarkan definisi alternatif dari patriotisme dari aspek sosio-politik

10

kewarganegaraan yang diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam bentuk dan muatan
yang “terbaru” secara luas luas terhadap tujuan-tujuan nasional dan dunia yang saling
ketergantungan dan yang lebih teratur, sehingga memunculkan pengertian patriotisme ke
dalam bentuk kesadaran warga negara sebagai bentuk kewajiban dari warga negara untuk ikut
serta dalam kegiatan layanan-layanan nasional, baik dalam dimensi sipil maupun militer. Bagi
Janowitz (1983) kesadaran warga negara (civic consciousness) adalah perasaan kasih sayang
atau cinta yang positif dan penuh dengan arti dari seseorang yang berkembang terhadap
negaranya. Kesadaran warga negara dilihat sebagai versi oto-kritik terhadap patriotisme.
Bar-ta mempopulerkan patriotisme yang semestinya lebih patut, yaitu constructive

patriotism sebagai reaksi terhadap blind-patriotism, karena berbagai dimensi negatif dari
blind-patriotism, dan serupa pada pengertian tradisional. Patriotisme konstruktif adalah
sebuah keterikatan kepada bangsa dan negara dengan ciri khas mendukung adanya kritik dan
pertanyaan dari anggotanya terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan, sehingga diperoleh
suatu perubahan positif guna mencapai kesejahteraan bersama. (Schatz, Staub, Lavine,1999).
Sementara patriotisme konstruktif

juga tetap menuntut kesetiaan dan kecintaan anggota

(rakyat) dan kelompoknya (bangsa), namun tidak meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan.
Rekonstruksi pengertian patriotisme demikian, menghendaki bahwa perasaan kasih
sayang atau cinta dan penuh dengan arti, tidak hanya berbasis nilai-nilai religi, spiritual dan
moral, tetapi juga ditumbuh-kembangkan dan ditujukan kepada perbaikan kualitas individu,
masyarakat, negara dan umat manusia serta nilai-nilai kemanusiaan. Dengan rekontruksi
pengertian patriotisme demikian menghendaki pula reaktualisasi dari tindakan patriotisme.
Aktualisasi tindakan patroitisme tidak lagi hanya diwujudkan dalam bentuk mencintai produk
dalam negeri, reaksi emosional terhadap bangsa lain yang dianggap mencuri sesuatu dari
negara kita, atau siap berperang dengan negara lain, dalam membantu bangsa, warga negara
lain yang dizalimi, atau dengan kata lain siap “berperang” dalam bentuk dan dalam kadar
apapun dengan bangsa atau negara lain.
Terminologi “perang” dalam hubungannya dengan patriotisme perlu direaktualisasi,
khususnya jika patriotisme dikehendaki memberikan kontribusi dalam bentuk dan muatan
yang “terbaru” secara luas terhadap tujuan-tujuan nasional dan dunia yang saling
ketergantungan dan yang lebih teratur, atas dasar perasaan kasih sayang, cinta dan penuh
dengan arti. Aktualisasi patriotisme lebih mengarah kepada perilaku kesadaran warga negara

11

dalam bentuk peduli dan melakukan tindakan bekerja ke arah perbaikan masyarakat, terhadap
isu-isu nasional seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, perumahan dan
ekonomi, dan kritis terhadap serbuan informasi yang bersifat melumpuhkan patriotisme dan
kesadaran warga negara, dan berpartisipasi aktif, baik merintis, menjadi sponsor dan
penggerak untuk melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang insindental, mendesak dan
darurat dalam bentuk layanan-layanan kemasyarakatan.
H. Kesadaran Warga Negara Berperanserta dalam Kegiatan Layanan-Layanan Kemasyarakatan
sebagai Aktualisasi Patriotisme melalui kegiatan Belajar Melayani (Service Learning) dalam
PKn Berbasis Karakter
Dalam PKn terdapat beragam pendekatan, salah satunya satunya adalah pendekatan
belajar melayani (service learning approach). Pendekatan belajar melayani merupakan
wahana sekaligus peluang bagi PKn untuk menumbuhkembangkan kesadaran warga negara
bagi siswa untuk berperanserta dalam kegiatan layanan-layanan kemasyarakatan sebagai
aktualisasi patriotisme. Sebagaimana dikatakan oleh Elyer, Giles dan Braxton, (1997),
pelayanan dipadukan dengan belajar mempunyai nilai tambah dan mentranformasikan
keduanya. Jadi pelaksanaan pendekatan service learning adalah mempunyai nilai tambah
untuk PKn, terutama patriotisme dan menstranformasikan nilai-nilainya ke dalam bentuk
praktek-praktek kewarganegaraan yang patriotisme (patriotism citizenhsip). Selanjutnya
Michigan Learn and Serve Study, Meyer, Hofschire, and Billing, 2004), mengemukakan
bahwa belajar melayani adalah teknik pendidikan yang terbukti telah memfasilitasi
pertumbuhan akademis, kematangan sosial, berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi dan
keterampilan-keterampilan kepemimpinan.
Secara mendasar para pendidik telah lama menggunakan metode-metode layanan
(melayani). Para pendidik melibatkan anak-anak dan orang-orang muda dalam melayani
masyarakat melalui sekolah-sekolah mereka, organisasi-organisasi dan institusi agama, dan
organisasi-organisasi pemuda. Belajar melayani adaalah alat yang begitu kuat, mampu
mentransformasikan orang muda dari penerima pasif ke partisipan aktif. Newmann (Hersh,
1980), seperti banyak pendukung belajar melayani, percaya bahwa perkawinan antara
pelayanan masyarakat dan pendidikan adalah obat mujarab bagi merosotnya sistem sekolah
nasional, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Oleh karena itu, banyak sekolah dan perguruan tinggi bekerja ke arah tujuan umum,

12

mempromosikan tidak hanya pentingnya pengetahuan dalam kelas, juga penting bagi PKn
dan masyarakat dilibatkan dengan baik melalui belajar melayani (service leaning).
Beberapa kegiatan yang dilakukan melalui belajar melayani antara lain pengembangan
masyarakat miskin pedesaan, penduduk miskin di pemukiman kumuh perkotaan, penduduk
buta huruf di desa nelayan, pertolongan kepada masyarakat yang mengalami bencana alam,
peningkatan kemampuan membaca dalam mata pelajaran bahasa, kemampuan pemahaman
dalam matetimatika, atau memecahkan maupun memenuhi kebutuhan masyarakat,seperti
tuna wisma, kelaparan, buta huruf, perusakan lingkungan, bencana penyakit, kejahatan,
kekerasan rumah tangga, perilaku antisosial pararemaja. Selain itu terdapat beberapa dari
kegiatan belajar pelayanan, baik untuk SD, SMP maupun SMA, misalnya :
1. Mentor dan tutor dari teman sebaya ke teman sebaya; satu minggu siswa-siswa lebih tua
berhadapan satu demi satu para siswa yang lebih muda untuk membantu mereka dengan
membaca, menulis, matematika, dan mata-mata pelajaran yang lain.
2. Para siswa mewawancarai para warga negara tua tentang sejarah masyarakat mereka dan
tentang kehidupan mereka. Para siswa kemudian membuatnya ke dalam desain yang
bagus, baik dalam bentuk buku, video atau rekaman suara mengenai sejarah yang telah
disampaikan oleh para warga negara itu, yang berikutnya dapat membagikan kepada
anak-anak dan cucu mereka dan melalui keluarga-keluarga mereka.
3. Menguji air yang diminum masyarakat melalui laboratorium universitas lokal atau
laboratorium kesehatan dan meneliti cara-cara meningkatkan kualitas air. Menjaga
catatan tahunan dari hasil-hasil pengujian itu dan membandingkan hasil-hasilnya dari
tahun yang lalu dengan tahun-tahun sekarang untuk mengevaluasi perubahan dalam
kualitas air. Siswa melaporkan temuan-temuan mereka pada media lokal.
4. Berperanserta dalam penumpulan dana solidaritas pada aktivitas-aktivitas tertentu,
misalnya dalam kasus Prita.
Janowitz (1983) telah mengembangkan suatu konsep dalam rangka menyeimbangkan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara dengan merekontruksi istilah maupun konsep
dari nasionalisme, khususnya patriotisme ke dalam istilah kesadaran warga negara, hingga
PKn tidak hanya berhubungan dengan aspek politik saja, tetapi merambah lahan ke bidang
yang lebih luas, sebagai implementasi dari kewajiban warga negara, baik sebagai sukarelawan
militer, sukarelawan sipil dalam kegiatan pelayanan nasional.

13

I. Simpulan
1.

Warga negara yang baik memahami bahwa mereka memiliki tanggung jawab terhadap
negara, bangsa, masyarakat, lingkungan dan hukum.

2.

Pengertian dan dimensi patriotisme mempunyai ciri sebagai bentukan dari nilai-nilai
spiritual dan moral, melayani terhadap tanah air dan umat manusia, inti perasaan terhadap
ketaatan terhadap tugas-tugas publik. Aktualisasi patriotisme lebih mengarah kepada
perilaku kesadaran warga negara dalam bentuk peduli dan melakukan tindakan bekerja ke
arah perbaikan masyarakat dan terhadap isu-isu nasional.

3.

Kesadaran warga negara (civic consciousness) adalah perasaan kasih sayang atau cinta
yang positif dan penuh dengan arti dari seseorang yang berkembang terhadap negaranya.

4.

Rekonstruksi patriotisme menghendaki bahwa perasaan kasih sayang atau cinta dan
penuh dengan arti, tidak hanya berbasis nilai-nilai religi, spiritual dan moral, tetapi juga
ditumbuh-kembangkan dan ditujukan kepada perbaikan kualitas individu, masyarakat,
negara dan umat manusia serta nilai-nilai kemanusiaan.

5.

PKn berbasis karakter tidak hanya berhubungan dengan aspek politik saja, tetapi
merambah lahan ke bidang yang lebih luas, sebagai implementasi dari kewajiban warga
negara, baik sebagai sukarelawan militer, sukarelawan sipil dalam kegiatan pelayanan
nasional maupun bidang kehidupan lainnya dengan tetap berbasis sebagai orang yang
baik dan warga negara yang baik.

6.

Pendekatan belajar melayani (service learning approach) merupakan wahana sekaligus
peluang bagi PKn berbasis karakter untuk menumbuhkembangkan hak kesadaran warga
negara bagi peserta didik untuk berperanserta dalam kegiatan layanan-layanan
kemasyarakatan sebagai aktualisasi patriotisme.

J. Sumber Rujukan
Bar-Tal (1997) The Monopolization of Patriotism. Dalam Bar-Tal, Daniel & Staub, Ervin
(ed) Patriotism-in the lives of individuals and nations. Chicago; Nelson - Hall Publisher.

14

Conrad, Dan, and Diane Hedin.(1991). "School Based Community Service: What We Know
From Research and Theory". Phi Delta Kappan 72 (June 1991)
Crittenden, Jack. (2007). Civic Education. www.plato.stanford.edu. 27 Desember 2009.
Hersh, R.H, Miller, J.P, and Fielding, G.D. (1980). Model of Moral Education: an Appraisal.
New York: Longman.Inc
Huitt. William. (2005). Good Citizenship. www.teach.valdosta.edu. 20 Desember 2009
Janowitz, Morris. (1983). The Reconstruction of Patriotism: Education for Civic Consciousness.
Chicago: The University of Chicago Press.
Kovaleva, Marina. (2008). Patriotism and Citizenship as Values of Civil Society’s Formation in
Modern Russia. Middlesex University Papers in Education & Lifelong Learning. Vol.2,
No.1, 2008. p63-74.
Niemi, Richard G and Chapman, Chris, (1999). The Civic Development of Ninth Through
Twelfth Grade Students in The United States. Washington, DC: U.S. Department of
Education, 1999.
Rafiudeen, Auwais.(2009). Civic Consciousness and the Muslim. www.ipsauniversity.com. 21
Desember 2009.
Roosevelt, Eleanor. (1930). Good Citizenship: The Purpose of Education. Pictorial Review,
April 1930: 4, 94,97
Ryan, V. (2006). What is Good Citizen. www.technologystudent.com. 22 Desember 2009.
Schatz,R.T; Staub,E.; Lavine,H. (1999) On the Varieties of National Attachment Constructive
Patriotism. Artikel. Journal of Political Psychology,vol 20 no.1,1999
Staub, E. And Schatz, R.T.(1997). Manifestations of Blind and Constructive Patriotism:
Personality Correlates and Individual-group Relations. Dalam Bar-Tal, Daniel & Staub,
Ervin (ed) Patriotism-in the lives of individuals and nations. Chicago; Nelson - Hall
Publisher.
Yanovsky, R.G.(2003). Culture of Patrioitism in the Conditions of Globalization. Safety of
Eurasia. Vol.4. October-December, p75-103
www.goodcitizen.org 11 Desember 2009
www.elsbee.com. 15 Desember 2009
www://id.wikipedia.org. 18 Desember 2009

15