Tugas Sosiologi Agama tentang Korupsi

Tugas Sosiologi Agama

KORUPSI

Nama

:

Nim

:

Pris Valentino Barus

SEKOLAH TINGGI Theologia
greja methodis Bandar baru

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang maha Esa, karena atas
berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah “, Korupsi “, dalam Mata Kuliah

Sosiologi Agama. Makalah ini di buat sesuai dengan tujuan yang akan di capai pada setiap
perkuliahan yang di laksanakan. Penulis merasa makalah ini perlu dan sangat bermanfaat
bagi kalangan umum, terkhusus bagi kalangan mahasiswa sebagai bahan gambaran dalam
bersosialisasi.
Dengan menyelesaikan Makalah ini, tidak jarang penulis menemui kesulitan.
Namun kami akan berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikannya. Dengan selesainya
makalah ini, Semoga dapat bermanfaat bagi setiap pembaca.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran, dari semua pihak yang membaca. Kritik dan saran yang akan
anda berikan akan berguna bagi penulis untuk membuat makalah menjadi lebih baik . terima
Kasih

Bandar Baru, 12 Maret 2014

Penulis,

DAFTAR ISI

BAB I


PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya

dalam melaksanakan pembangunan oleh bangsanya. Pembangunan sebagai suatu proses
perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan
keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia
(SDM), yakni ( kualitas orang-orang yang terlibat sejak dari perencanaan samapai pada
pelaksanaan) dan pembiayaan (keuanganya). Diantara dua faktor tersebut yang paling
dominan adalah faktor manusianya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup kaya dilihat dari keanekaragaman
kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, Negara tercinta ini dibandingkan dengan
negara lain di kawasan ASEAN bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan
termasuk negara yang miskin. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya
kualitas sumber daya manusianya(SDM). Kualitas tersebut bukan hanya dari segi
pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya.
Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara

menyebabkan terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi
social (penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan karupsi sedah menjadi kebiasaan dari aparataparat tertentu. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat
besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan
keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan
dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lainsebagainya di luar batas kewajaran. Dan
bukan hanya itu saja korupsi juga terjadi pada aparat-aparat lain bahkan korupsi terjadi pada
kalangan rendahan, misalnya kepala desa bahkan sampai kepada ketua Rt dan masih banyak
yang lainnya.
Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di
seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas, rasa malu,serta
kurangnya pendidikan pancasila sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan

keserakahan sehingga tidak memikirkan masyarakat yang mesih banyak mengalami
kemiskinan.
Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain jika bangsa
kita ingin maju, jawabanya adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil
memberantas korupsi, atau paling tidak dapat mengurangi kasus-kasus korupsi sampai pada
titik yang paling rendah maka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar
ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena

korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawanegara ke jurang
kehancuran Negara Indonesia.
1.2.

Identifikasi Masalah
1) Apakah pengertian dari korupsi?
2) Apa yang melatar belakangi terjadinya korupsi?
3) Apakah macam-macam dari korupsi?
4) Apakah dampak dari korupsi?
5) Apa yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi?
6) Bagaimana upaya-upaya yang di lakukan dalam meyikapi korupsi?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah
perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat,
dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
Menurut Dr. Kartini Kartono (1983), korupsi adalah tingkah laku individu yang

menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum. Selanjutnya, dengan merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri
Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan politik
pemaknaan. Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan
Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus.
Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga
bentuk korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Alatas
mendefinisikan nepotisme sebagai pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk
menduduki jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan
dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6).
Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi kepentingan
umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran-pelanggaran normanorma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan,
penipuan, dan sikap masa bodoh terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan
pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi
menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang
memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor
(domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau
kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan
tindak korupsi.

Mengutip Robert Redfield (1963), korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya
dibagi menjadi dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik (little
culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan dikotomi tersebut lebih banyak dengan
subyektifitas pada budaya besar yang berpusat di kraton. Kraton dianggap sebagai pusat
budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar kraton, tentu dianggap lebih rendah dari pada
budaya kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya tersebut berdiri sendiri-sendiri namun
tetap ada bocoran budaya.

2.2. Sebab-sebab Korupsi
Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan
tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya sendiri.
Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi antara
lain yaitu :


Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu
memberi ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.




Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.



Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan
yang diperlukan untuk membendung korupsi.



Kurangnya pendidikan.



Adanya banyak kemiskinan.



Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.




Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.



Struktur pemerintahan.



Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami perubahan radikal, korupsi
muncul sebagai penyakit transisional.



Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.

Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne (1993) atau sering disebut GONE
Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :



Greeds(keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara
potensial ada di dalam diri setiap orang.



Opportunities(kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau
masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk
melakukan kecurangan.



Needs(kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individuindividu untuk menunjang hidupnya yang wajar.



Exposures(pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang
dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.

Bahwa faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) korupsi,

yaitu individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun di luar organisasi yang
melakukan korupsi yang merugikan pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan
Exposures berkaitan dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi,
masyarakat yang kepentingannya dirugikan.
Sedangkan
Cressey
(1953)
melalui
penelitiannya
menyatakan bahwa seseorang melakukan kecurangan disebabkan oleh:
(1) Tekanan (pressure) untuk melakukan kecurangan lebih banyak tergantung pada
kondisi individu, seperti sedang menghadapi masalah keuangan, kebiasaan buruk
seseorang seperti berjudi danpeminum; tamak atau mempunyai harapan/tujuan yang
tidak realistic
(2) Kesempatan (opportunity), menurut penelitian yang dilakukan oleh IIA Research
Foundation tahun 1984 dengan urutan paling sering terjadi adalah:
a. Terlalu mempercayai bawahan;
b. Kelemahan prosedur otorisasi dan persetujuan manajemen;
c. Kurangnya penjelasan dalam informasi keuangan pribadi (kecurangan perbankan);
d. Tidak ada pemisahan antara pemberian wewenang transaksi dan penjagaan aset;

e. Tidak ada pengecekan independen terhadap kinerja;
f. Kurangnya perhatian terhadap uraian secara rinci (detail);
g. Tidak ada pemisahan antara pemegang aset dan fungsi pencatatan;
h. Tidak ada pemisahan tugas akuntansi;
i. Kurang jelasnya pemberian wewenang;
j. Departemen/bagian jarang diperiksa;
k. Pernyataan tidak ada benturan kepentingan tidak disyaratkan;
l. Dokumen dan pencatatan kurang memadai.
(3) Pembenaran (Rationalization) terjadi dalam hal seseorang atau sekelompok orang
membangun
pembenaran
atas
kecurangan
yang dilakukan. Pelaku fraud biasanya mencari alasan pembenaran bahwa yang dilakukannya
bukan pencurian atau kecurangan, seperti:
a. Saya benar‐benar perlu uang, akan dikembalikan setelah menerima gaji
b. Saya tidak merugikan siapa‐siapa, perusahaan tidak bangkrut karenanya;
c. Saya mau manyumbangkannya untuk orang tidak mampu;
d. Semua orang juga melakukannya.

Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono (2009), faktor penyebab seseorang melakukan
tindakan korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak,
dan sebagainya) dan faktor rangsangan dari luar (misalnya dorongan dari teman-teman,
kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya).
Menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan meluasnya
korupsi di Indonesia, yaitu :
1. Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi.
2. Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri.
3. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.
Dalam buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas, disebutkan ciri-ciri korupsi
antara lain sebagai berikut :


Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.



Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan.



Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungann timbale balik.



Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik perlindungan
hukum.



Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan
yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.



Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau
masyarakat umum.



Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.



Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif.



Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam
masyarakat.

2.3. Jenis-Jenis Korupsi
Korupsi telah didefinisikan secara jelas oleh UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun
2001 dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, terdapat 33 jenis tindakan yang
dapat dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7
kelompok yakni :

1. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara
2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan
4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan
5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang
6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi
Menurut Aditjandra dari definisi tersebut digabungkan dan dapat diturunkan menjadi
dihasilkan tiga macam model korupsi (2002: 22-23) yaitu :
 Model korupsi lapis pertama
Berada dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana prakarsa datang dari pengusaha
atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik atau
pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana
prakarsa untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau petugas pelayan publik lainnya.
 Model korupsi lapis kedua
Jaring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan
perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Menurut Aditjandra, pada korupsi dalam
bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring
korupsi, dan lingkupnya bisa mencapai level nasional.
 Model korupsi lapis ketiga
Korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional dimana kedudukan
aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga
internasional yang mempunyai otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara
yang produknya terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota jaring-jaring korupsi
internasional korupsi tersebut.
2.4. Dampak Korupsi
1. Lesunya Perekonomian
Lesunya Perekonomian Korupsi memperlemah investasi dan pertumbuhan ekonomi Korupsi
merintangi akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas Korupsi
memperlemah aktivitas ekonomi, memunculkan inefisiensi, dan nepotisme Korupsi
menyebabkan lumpuhnya keuangan atau ekonomi suatu negara Meluasnya praktek korupsi di

suatu negara mengakibatkan berkurangnya dukungan negara donor, karena korupsi
menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal asing
2. Meningkatnya Kemiskinan
Meningkatnya Kemiskinan Efek penghancuran yang hebat terhadap orang miskin: Dampak
langsung yang dirasakan oleh orang miskin Dampak tidak langsung terhadap orang miskin
Dua kategori penduduk miskin di Indonesia: Kemiskinan kronis (chronic poverty)
Kemiskinan sementara (transient poverty) Empat risiko tinggi korupsi: Ongkos finansial
(financial costs) Modal manusia (human capital) Kehancuran moral(moral decay) Hancurnya
modal sosial (loss of capital social)
3. Tingginya angka kriminalitas
Tingginya angka kriminalitas Korupsi menyuburkan berbagai jenis kejahatan yang lain dalam
masyarakat. Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan. Menurut
Transparency International, terdapat pertalian erat antara jumlah korupsi dan jumlah
kejahatan. Rasionalnya, ketika angka korupsi meningkat, maka angka kejahatan yang terjadi
juga meningkat. Sebaliknya, ketika agka korusi berhasil dikurangi, maka kepercayaan
masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement juga meningkat. Dengan
mengurangi korupsi dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan yang lain.
3. Demoralisasi
Demoralisasi Korupsi yang merajalela di lingkungan pemerintah dalam penglihatan
masyarakat umum akan menurunkan kredibilitas pemerintah yang berkuasa. Jika pemerintah
justru memakmurkan praktik korupsi, maka lenyap pula unsur hormat dan trust (kepercayaan)
masyarakat kepada pemerintah. Praktik korupsi yang kronis menimbulkan demoralisasi di
kalangan warga masyarakat. Menurut Bank Dunia, korupsi merupakan ancaman dan duri bagi
pembangunan. Korupsi mengabaikan aturan hukum dan juga menghancurkan pertumbuhan
ekonomi. Lembaga internasional menolak mebantu negara-negara korup. Sun Yan Said:
korupsi menimbulkan demoralisasi, keresahan sosial, dan keterasingan politik.
4. Kehancuran birokrasi
Kehancuranbirokrasi Birokrasi pemerintah merupakan garda depan yang behubungan dengan
pelayanan umum kepada masyarakat. Korupsi melemahkan birokrasi sebagai tulang
punggung negara. Korupsi menumbuhkan ketidakefisienan yang menyeluruh de dalam
birokrasi. Korupsi dalam birokrasi dapat dikategorikan dalam dua kecenderungan umum:
yang menjangkiti masyarakat dan yang dilakukan di kalangan mereka sendiri. Transparency
International membagi kegiatan korupsi di sektor publik ke dalam dua jenis, yaitu korupsi
administratif dan korupsi politik.
5. Terganggunya Sistem Politik dan Fungsi Pemerintahan
Terganggunya Sistem Politik dan Fungsi Pemerintahan Dampak negatif terhadap suatu sistem
politik : Korupsi Mengganggu kinerja sistem politik yang berlaku. Publik cenderung
meragukan citra dan kredibilitas suatu lembaga yang diduga terkait dengan tindakan korupsi.

Contohnya : lembaga tinggi DPR yang sudah mulai kehilangan kepercayaan dari Masyarakat
Lembaga Politik diperalat untuk menopang terwujudnya berbagai kepentingan pribadi dan
kelompok.
6. Buyarnya Masa Depan Demokrasi
Buyarnya Masa Depan Demokrasi Faktor Penopang Korupsi ditengah Negara Demokrasi
Tersebarnya kekuasaan ditangan banyak orang telah meretas peluang bagi merajalelanya
penyuapan. Reformasi neoliberal telah melibatkan pembukaan sejumlah lokus ekonomi bagi
penyuapan, khususnya yang melibatkan para broker perusaaan publik. Pertambahan sejumlah
pemimpin neopopulis yang memenangkan pemilu berdasar pada kharisma personal malalui
media, terutama televisi, yang banyak mempraktekan korupsi dalam menggalang dana.
2.6. Kasus Korupsi Terbesar Indonesia Sepanjang Sejarah.
korupsi di indonesia sudah tidak terkendali lagi. bahkan dalam berbagai macam survei
indonesia masuk dalam salah satu daftar negara terkorup di dunia. berbagai macam kasus
korupsi mulai dari yang besar, sedang hingga kasus korupsi kecil terjadi tahun demi tahun
secara terus menerus tanpa bisa dihentikan. hukuman yang ringan menjadi penyebab utama
para koruptor tetap saja menjalankan aksi korupsi. hukum yang diandalkan juga belum
mampu bekerja maksimal, malahan kini hukum sangat mudah untuk dibeli. hal ini bisa dilihat
dari banyaknya aparat hukum yang terlibat kasus suap.
Negara pun menanggung kerugian mulai dari ratusan juta, milyaran hingga trilyunan
rupiah. berbagai macam kasus korupsi kebanyakan tidak menghasilkan hukuman yang
membuat jerah para pelaku/tersangka korupsi. hal ini dikarenakan dikarenakan pelaku
kebanyakan didominasi oleh pejabat negara dan orang orang berduit. kasus korupsi membelit
berbagai macam instansi mulai dari DPR, kepolisian, TNI, Pemerintah dan Menteri,
Kejaksaan, Partai Politik dan masih banyak lagi.
Kasus Korupsi Bank Century
Dalam laporan BPK ketika itu menunjukkan beberapa pelanggaran yang dilakukan
Bank Century sebelum diambil alih. BPK mengungkap sembilan temuan pelanggaran yang
terjadi. Bank Indonesia (BI) saat itu dipimpin oleh Boediono–sekarang wapres–dianggap
tidak tegas pada pelanggaran Bank Century yang terjadi dalam kurun waktu 2005-2008.
BI, diduga mengubah persyaratan CAR. Dengan maksud, Bank Century bisa
mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kemudian, soal keputusan Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK)–saat itu diketuai Menkeu Sri Mulyani–dalam
menangani Bank Century, tidak didasari data yang lengkap. Pada saat penyerahan Bank
Century, 21 November 2008, belum dibentuk berdasar UU.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga diduga melakukan rekayasa peraturan agar
Bank Century mendapat tambahan dana. Beberapa hal kemudian terungkap pula, saat Bank
Century dalam pengawasan khusus, ada penarikan dana sebesar Rp 938 miliar yang tentu
saja, menurut BPK, melanggar peraturan BI. Pendek kata, terungkap beberapa praktik
perbankan yang tidak sehat.
Kasus Korupsi BLBI

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan
mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya
penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5
triliun.
Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang
diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun. Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad
Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan
pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru
Soepraptomo? telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun
penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini sedang naik
banding. Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI,
hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank
Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa),
Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern).
Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses
penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam
kasus Abdullah Puteh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi
tersangka korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan
kerugian Rp 30 miliar.

Kasus Korupsi PLTU PAITON I Probolinggo
Kasus pidana Paiton I sudah tersedia bukti permulaan yang kuat yakni hasil audit
investigasi BPKP . Kasus dugaan korupsi pengadaan listrik swasta Paiton I di Probolinggo
bermula dari Lmarkup terhadap capital cost sebesar 48 persen dari seluruh nilai proyek yang
sebesar Rp 7,015 triliun. Sebenarnya, Paiton I telah diaudit BPKP dan due diligence SNCLavalin. Kedua lembaga tersebut jelas-jelas menyatakan ada mark up dan rekayasa besarbesaran pada sisi proses penyiapan listrik swasta dan proses investasinya. Dalam Laporannya,
BPKP membedah secara gamblang proses Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang terjadi,
mulai dari perencanaan, proses mendapatkan Surat Ijin Prinsip, pembiayaan, pelaksanaan,
produksi, distribusi, konsumsi, pembayaran dan berbagai previlege yang didapat dengan
merugikan keuangan negara sekitar Trilyunan rupiah.
Kasus ini ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung). Dalam kasus tersebut bekas
Direktur Utama PLN Zuhal dan bekas Dirut PLN Djiteng Marsudi sudah diperiksa. Menurut
hasil penyelidikan Kejagung, proyek Paiton I dinilai melanggar keputusan presiden mengenai
prosedur pengadaan listrik di lingkungan departemen yang harus melalui prosedur lelang.
Indikasi kolusi terlihat dalam proses negosiasi melalui bukti Surat Menteri Pertambangan dan
Energi tertanggal 13 Februari 1993.Dalam surat itu dinyatakan persetujuan, kesepakatan, dan
nilai prematur yang tak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Penyelidikan kasus Paiton I dihentikan Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 2001. Pada
akhir 2002, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memerintahkan Kejakgung melanjutkan proses
penyidikan kasus PLTU Paiton I dalam sidang praperadilan yang diajukan oleh kelompok
masyarakat. Namun, Kejagung tidak bertindak. Pada akhir 2004, sebuah organisasi non-

pemerintah juga telah melaporkan kasus Paiton I ke KPK, namun anehnya hingga sekarang
lembaga pemberantas korupsi itu tidak melakukan tindakan apapun.
Kasus Korupsi Soeharto dan keluarganya
Banyak pendapat dari masyarakat mengenai keluarga suharto baik selama menjabat
maupun sesudah lengser tahun 1998. terlepas dari itu suharto dituduh melakukan korupsi dan
menimbulkan kerugian negara trilyunan rupiah. bahkan menurut majalah Time sebesar US$
15 milyar atau Rp. 150 Triliun.
Kasus Korupsi HPH Dan Dana Reboisasi
Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi
mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15 triliun (versi
Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob
Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy
Soeharto. Bob Hasan telah divonis enam tahun penjaradi LP Nusakambangan, Jawa
Tengah. Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek
hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331
miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto,
membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus ini tak jelas kelanjutannya.
Kasus Korupsi Edi Tansil / PT. Golden Key
Eddy Tansil (lahir tahun 1954) adalah seorang pengusaha Indonesia keturunan
Tionghoa yang keberadaanya kini tidak diketahui. Ia melarikan diri dari penjara Cipinang,
Jakarta, pada tanggal 4 Mei 1996 saat tengah menjalani hukuman 20 tahun penjara karena
terbukti menggelapkan uang sebesar 565 juta dolar Amerika (sekitar 1,5 triliun rupiah dengan
kurs saat itu) yang didapatnya melalui kredit Bank Bapindo melalui grup perusahaan Golden
Key Group.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Eddy Tansil 20 tahun penjara, denda Rp
30 juta, membayar uang pengganti Rp 500 miliar, dan membayar kerugian negara Rp 1,3
triliun. Sekitar 20-an petugas penjara Cipinang diperiksa atas dasar kecurigaan bahwa mereka
membantu Eddy Tansil untuk melarikan diri.
Beberapa Contoh Kasus Korupsi Lainnya :
-Korupsi PSO USO dana PNBP Telco di BP3TI Kominfo, rugikan negara 3 Triliun.
-Korupsi Sektor Pangan pada impor beras BULOG dan korupsi BLBU rugikan negara 3
Triliun, pelaku Jusuf Wangkar staf khusus SBY Bidang Pangan.
-Korupsi Mafia Anggaran DPR yang dilakukan oleh Nazarudin cs di 60-an proyek APBN
sebesar 6.1 Triliun, rugikan negara sekitar 2.5 Triliun.
-Korupsi konversi hutan/tanah negara jadi Perkebunan oleh Torganda Grup di Riau seluas 93
ribu ha. Negara rugi 2.5 T. Pelaku DL Sitorus.
-Korupsi Wesel Ekspor Berjangka (WEB) Unibank tahun 2006. Kerugian US$ 230 juta atau
Rp. 2.3 Triliun. Pelaku Sukanto Tanoto cs.
-Korupsi investasi Kilang Minyak Pertamina di Libya US$ 1.5 Milyar, gagal. Investasi awal
US$ 200 juta lenyap. Negara rugi 2 Triliun.
-Korupsi PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Sudjiono Timan Kerugian Negara ditaksir
US$120 Juta atau Rp. 1.2 Triliun.

-Korupsi Subsidi BBM pada periode presiden SBY yang bocor 30% atau sekitar US$ 5 - 7
milyar (50-70 triliun) per tahun.
Daftar Kasus Korupsi Yang Belum Terselesaikan atau terkatung katung :
1. Kasus PT Jamsostek (2002). Kerugian mencapai Rp 45 miliar. Mantan Dirut PT Jamsostek
Akmal Husein dan mantan Dirut Keuangan Horas Simatupang telah ditetapkan sebagai
tersangka. Proses hukum selanjutnya tidak jelas.
2. Proyek fiktif dan manipulasi data di PT Darma Niaga (2003). Kerugian mencapai Rp 70
miliar. Polisi telah telah tetapkan sebagai tersangka Winarto (direktur utama), Wahyu Sarjono
(direktur keuangan), dan Sudadi Martodirekso (direktur agrobisnis). Proses hukum
selanjutnya tidak jelas.
3. Penyalahgunaan rekening 502 (2003). Kerugian mencapai Rp 20,98 miliar. Mantan Deputi
Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom, pernah menjalani pemeriksaan di Mabes Polri.
Telah
ditetapkan
sebagai
tersangka
mantan
Gubernur
Bank
Indonesia
Syahril Sabirin, mantan Ketua BPPN Putu Gede Ary Suta, mantan Ketua BPPN Cacuk
Sudaryanto dan Kepala Divisi Bill of Lading (B/L) Totok Budiarso. Proses hukum
selanjutnya tidak jelas.
4. Karaha Bodas Company (2004). Kerugian mencapai Rp 50 miliar. Jumlah tersangka ada 20
orang dari pejabat Panas Bumi Pertamina dan pihak swasta. Beberapa dintaranya Robert D.
Mac Chunchen, Suprianto Kepala (Divisi Geotermal Pertamina), Syafei Sulaeman (staf
Divisi Geotermal Pertamina). Hanya 2 yang telah dilimpahkan ke pengadilan. Selebihnya
proses hukum selanjutnya tidak jelas
5. Kepemilikan rumah mantan Jaksa Agung, MA Rachman (2004). Rumah senilai 800 juta
belum dilaporkan ke KPKPN . Beberapa orang dipanggil sebagai saksi. Proses hukum
selanjutnya tidak jelas.
6. Pengadaaan genset di NAD (2004). Kerugian mencapai Rp 40 miliar. Mabes Polri telah
menetapkan Wiliam Taylor dan Abdullah Puteh sebagai tersangka. Hanya Wiliam yang
dilimpahkan ke pengadilan. Sedangkan Abdullah Puteh, proses hukum selanjutnyatidak jelas.
Puteh hanya dijerat dalam kasus korupsi pengadaan Heli dan divonis 10 tahun penjara oleh
pengadilan tipikor.
7. Penyewaan crane atau alat bongkar muat kontainer di PT Jakarta International Container
Terminal (JICT) tahun 2005. Kerugian mencapai Rp 83,7 miliar. Direktur PT Jakarta
International Container Terminal Wibowo S Wirjawan telah ditetapkan sebagai tersangka.
Proses hukum selanjutnya tidak jelas.
8. Proyek peningkatan akademik di Departemen Pendidikan Nasional (2005). Kerugian
mencapai Rp 6 miliar. Ditetapkan tiga tersangka utama adalah Dedi Abdul Halim, Pimpinan
Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akademis di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Depdiknas, dan dua stafnya, yakni Elan Suherlan dan Helmin Untung Rintinton. Proses
hukum selanjutnya tidak jelas.
9. Proyek pengadaan jaringan radio komunikasi (jarkom) dan alat komunikasi (alkom) Mabes
Polri (2005). Kerugian ditaksir mencapai Rp 240 miliar. Mabes telah memeriksa mantan
Kepala Divisi Telematika Mabes Polri Irjen Pol Saleh Saaf. Mabes juga telah ditetapkan
Henri Siahaan sebagai tersangka dan sempat ditahan. Proses hukum selanjutnya tidak jelas.
10. Penyaluran dana fiktif di Perusahaan Umum Percetakkan Uang Republik Indonesia
(Peruri) tahun 2005. Kerugian ditaksir mencapai Rp 2,3 miliar. Tiga orang Direksi Peruri
telah ditetapkan sebagai tersangka (M. Koesnan Martono yang menjabat sebagai Direktur
Utama, Direktur Logistik Marlan Arif, dan Direktur Pemasaran Suparman). Proses hukum
selanjutnya tidak jelas.

11. Dana vaksinasi dan asuransi perjalanan jamaah haji periode 2002-2005 (2005). Kerugian
ditaksir mencapai Rp 12 miliar. Penyidik telah memeriksa 15 orang saksi. Namun proses
hukum selanjutnya tidak jelas.
12. Proyek renovasi Hotel Patra Jasa di Bali (2006). Kerugian ditaksir mencapai Rp 69 miliar.
Polda Metro Jaya menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi Patra Jasa. Selain
menetapkan mantan Direktur Utama, Sri Meitono Purbowo atau Tony Purbowo, enam direksi
lainnya ditetapkan sebagai tersangka. Namun Proses hukum selanjutnya tidak jelas.
13. Wesel Ekspor Berjangka (WEB) Unibank yahun 2006. Kerugian ditaksir mencapai US$
230 juta. Diduga melibatkan Komisaris PT Raja Garuda Mas, ST, Proses dilakukan oleh tim
gabungan Mabes Polri dengan Kejaksaan Agung (Kejagung). Proses hukum selanjutnya tidak
jelas.
14. Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Muara Tawar, Bekasi, Jawa
Barat senilai Rp 590 miliar pada tahun 2006. Mantan Direktur Utama PT PLN Eddie Widiono
telah ditetapkan sebagai tersangka. Proses hukum selanjutnya tidak jelas. Eddi Widiono juga
dijerat dalam kasus korupsi proyek PLTU Borang, namun kasusnya dihentikan oleh
Kejaksaan.
15. BPR Tripanca Setiadana Lampung pada tahun 2008. Mabes telah tetapkan sebagai
tersangka pemilik BPR. Sugiarto Wiharjo alias Alay, Laila Fang (sekretaris pribadi Alay),
Yanto Yunus (Kabag Perkreditan BPR Tripanca), Pudijono (Direktur Utama BPR), Indra
Prasetya dan Fredi Chandra (staf analisis kredit BPR), Nini Maria (Kasi Administrasi BPR),
dan Tri hartono (Bagian Legal BPR). Proses hukum selanjutnya tidak jelas.
16. Dana Tak Tersangka (DTT) di Provinsi Maluku Utara (2008) senilai Rp 6,9 miliar.
Diduga melibatkan sejumlah pejabat dan mantan gubernur di lingkup pemerintah provinsi
Maluku Utara (Malut). Sebelumnya ditangani Polda Malut dan telah menetapkan dua
tersangka yakni bendahara di Pemprov Malut bernisial RZ dan Karo Keuangan Pemprov
Malut berinisial JN. Proses hukum selanjutnya tidak jelas.
17. Pengadaan jasa konsultan di BPIH Migas (2009). Dugaan korupsi pengadaan jasa
konsultan di BPIH Migas dengan anggaran sebesar Rp 126 miliar untuk tahun anggaran 2008
dan Rp 82 milyar untuk tahun anggaran 2009, yang diduga dilakukan oleh pejabat
dilingkungan BPH Migas.
18. Pengelolaan dana PNBP sebesar Rp 2,4 triliun. Dugaan korupsi di BPH Dirjen Postel
Kementerian Kominfo atas pengelolaan dana PNBP sebesar Rp 2,4 triliun yang
didepositokan pada bank BRI dan Bank Bukopin yang seharusnya digunakan untuk proyek
infrastruktur
(Uso)
namun
justru
didepositokan
sedangkan proyek diserahkan kepada pihak ketiga (Telkomsel) dengan membayar sewa
layanan multimedia.
19. Makelar sejumlah proyek di PT Telkom dan anak perusahaan Telkom (PT telkomsel)
(2009). Dugaan korupsi makelar sejumlah proyek di PT Telkom dan anak perusahaan Telkom
yaitu PT Telkomsel (sedikitnya 30 proyek) yang bernilai triliunan rupiah sejak tahun 20062009 yang mana pekerjaan tersebut banyak tidak diselesaikan tetapi tetap dibayar lunasÂ
oleh direksi PT Telkom maupun Telkomsel karena sarat dengan KKN.
20. Pembelian saham perusahaan PT Elnusa di PT infomedia tahun 2009 senilai Rp 300
miliar. Dugaan korupsi atas pembelian saham perusahaan PT Elnusa di PT infomedia yang
dimark-up dan diduga dilakukan oleh pejabat di lingkungan PT Telkom sebesar Rp 590
miliar.
(Sumber: http://infotercepatku.blogspot.com/2013/09/daftar-kasus-kasus-korupsi-diindonesia.html#ixzz2vh2bYrmz)
2.6. Sejarah Lembaga Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Orde Lama
Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang
pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini
disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H.
Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan
Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat
tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan
para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa
dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak
diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan
politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan
tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk
lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan
Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih
dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret
pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta
lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi
alasan
politis
menyebabkan
kemandekan,
seperti
Direktur
Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada
surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir,
meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini
dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti
menjadi Komando
Tertinggi
Retooling
Aparat
Revolusi (Kontrar)
dengan
Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu olehSoebandrio dan Letjen Ahmad Yani.
Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini,
pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan
macet.
Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16
Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu
memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu
seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai
dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite
Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof
Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama
membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina,
dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi
di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite
ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat
sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga

memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi
yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung
semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan
makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan
mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan
baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau
Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas
korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK
akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib
serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan
menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
Fungsi dan Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi, mempunyai tugas
1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada
instansi yang terkait;
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Daftar Ketua KPK
No

Nama

Mulai Jabatan

Akhir Jabatan

1

Taufiequrachman Ruki

2003

2007

2

Antasari Azhar

2007

2009

3

Tumpak Hatorangan
Panggabean

2009

2010

4

Busyro Muqoddas

2010

2011

5

Abraham Samad

2011

2015

KPK di bawah Taufiequrachman Ruki (2003-2007)
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi
Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan
Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi
aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance"
(pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan
Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten
mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi
harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai
teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan
organisasi bisnis.
Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan oleh Antasari Azhar sebagai Ketua KPK.
Sekarang sejak Desember 2011, KPK diketuai oleh Abraham Samad
KPK di bawah Antasari Azhar (2007-2009)
Kontroversi Antasari Azhar saat menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta
Selatan (2000-2007)yang gagal mengeksekusi Tommy Soeharto tidak menghalangi
pengangkatannya menjadi Ketua KPK setelah berhasil mengungguli calon lainnya
yaitu Chandra M. Hamzah dengan memperoleh 41 suara dalam pemungutan suara yang
dilangsungkan Komisi III DPR. Kiprahnya sebagai Ketua KPK antara lain menangkap
Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani dalam kaitan penyuapan kasus BLBI Syamsul

Nursalim. Kemudian juga penangkapan Al Amin Nur Nasutiondalam kasus persetujuan
pelepasan kawasan Hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang, Sumatera Selatan. Antasari
juga berjasa menyeret Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Aulia Tantowi Pohan yang juga
merupakan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke penjara atas kasus korupsi aliran
dana BI. Statusnya sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Nasrudin
Zulkarnaen membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Mei 2009
memberhentikan dari jabatannya sebagai ketua KPK.
KPK di bawah Tumpak Hatorangan Panggabean (Pelaksana Tugas) (2009-2010)
Mantan Komisaris PT Pos Indonesia, Tumpak Hatorangan Panggabean terpilih
menjadi pelaksana tugas sementara Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)dan dilantik
pada 6 Oktober 2009 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.Serta ditetapkan berdasarkan
Perppu nomor 4 tahun 2009 yang diterbitkan pada 21 September 2009.Pengangkatannya
dilakukan untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK setelah ketua KPK Antasari Azhar
dinonaktifkan dan diberhentikan akibat tersangkut kasus pembunuhan Nasrudin
Zulkarnaen.Dibawah masanya memang KPK berhasil menetapkan bekas Menteri Sosial
(Mensos) Bachtiar Chamsyah sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan
mesin jahit dan impor sapi. Selain itu, KPK juga berhasil menetapkan Gubernur Kepulauan
Riau (Kepri), Ismet Abdullah sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan mobil
kebakaran. Tapi beberapa kasus masih mandek penanganannya, misalnya saja, kasus Bank
Century, membuat penilaian bahwa lembaga itu mulai melempem.Pada tanggal 15 Maret
2010 beliau diberhentikan dengan Keppres No. 33/P/2010 karena perpu ditolak oleh DPR.
KPK di bawah Busyro Muqoddas (2010-2011)
M. Busyro Muqoddas, S.H, M.Hum dilantik dan diambil sumpah oleh Presiden RI
pada 20 Desember 2010 sebagai ketua KPK menggantikan Antasari Azhar. Sebelumnya,
Busyro merupakan ketua merangkap anggota Komisi Yudisial RI periode 2005-2010. Pada
saat sebagai ketua sangat sering mengkritik DPR , yang terakhir terkait hedonisme para
anggota DPR. Pada pemilihan pimpinan KPK tanggal 2 Desember 2011 beliau "turun
pangkat" menjadi waki ketua KPK. Busyro hanya memperoleh 5 suara dibandingan Abraham
Samad yang memperoleh 43 suara. Serah terima jabatan dan pelantikan dilaksanakan pada 17
Desember 2011.
KPK di bawah Abraham Samad (2011-2015)
DR. Abraham Samad SH. MH menggantikan Busyro Muqoddas sebagai ketua KPK
selanjutnya. Pada tanggal 3 Desember 2011 melalui voting pemilihan Ketua KPK oleh 56
orang dari unsur pimpinan dan anggota Komisi III asal sembilan fraksi DPR, Abraham
mengalahkan Bambang Widjojanto dan Adnan Pandu Praja. Abraham memperoleh 43 suara,
Busyro Muqoddas 5 suara, Bambang Widjojanto 4 suara, Zulkarnain 4 suara, sedangkan
Adnan 1 suara. Ia dan jajaran pimpinan KPK yang baru saja terpilih, resmi dilantik di Istana
Negara oleh Presiden SBY pada tanggal 16 Desember 2011. Lima pimpinan KPK periode
2011-2015 adalah Abraham Samad, Bambang Widjodjanto, Zulkarnaen, Adnan Pandu Pradja,
dan Busyro Muqoddas. Beberapa kasus yang mencuat saat Abraham samad memimpin adalah
Kasus Korupsi Wisma Atlet, Kasus Korupsi Hambalang, Kasus Gratifikasi Impor Daging
Sapi, Kasus Gratifikasi SKK Migas, Kasus Pengaturan Pilkada Kabupaten Lebak. Beberapa
orang
yang
ditangkap/ditahan/dituntut
KPK
diantaranya
adalah: Andi
Malarangeng, Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Akil

Mochtar, Ratu Atut Chosiyah, Ahmad Fathanah, Luthfi Hasan Ishaq, Rudi Rubiandini, dan
lainnya.
(Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi)
2.7. Cara Pencegahan Dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Menurut Baharuddin Lopa, mencegah korupsi tidaklah begitu sulit kalau kita secara
sadar untuk menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas
kepentingan pribadi atau golongan. Ini perlu ditekankan sebab betapa pun sempurnanya
peraturan, kalau ada niat untuk melakukan korupsi tetap ada di hati para pihak yang ingin
korup, korupsi tetap akan terjadi karena faktor mental itulah yang sangat menentukan.
Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga)
pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :


Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,



Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,



Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.
Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan

memberantas korupsi yang tepat yaitu :
 Strategi Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang
menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya
preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat
upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan
banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya
korupsi.
 Strategi Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila
suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti
dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga
sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan

sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai
disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
 Strategi Represif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk
memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang
terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari
tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk
dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat
dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harus dilakukan secara
terintregasi.
Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang
hendak dilaksanakan. Bahkan dari masyarakat dan para pemerhati / pengamat masalah
korupsi banyak memberikan sumbangan pemikiran dan opini strategi pemberantasan korupsi
secara preventif maupun secara represif antara lain :
1. Konsep “carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang sederhana yang
keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan Singapura. Carrot adalah
pendapatan netto pegawai negeri, TNI dan Polri yang cukup untuk hidup dengan
standar sesuai pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya,
sehingga dapat hidup layak bahkan cukup untuk hidup dengan “gaya” dan “gagah”.
Sedangkan Stick adalah bila semua sudah dicukupi dan masih ada yang berani
korupsi, maka hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan
sedikitpun untuk melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman mati.
2. Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat
ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan
rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang
lain perlu bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan
dibentuknya koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama ini
pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari
dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan
rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan
moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
3. Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta

memiliki komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa
memandang status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat
dilakukan dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan
prosedur structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi
yang sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya
masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
4. Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah
kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia.
Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat yang
sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima,
mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat
dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan
masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun
peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.
5. Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam
pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan orang
yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai
yang