Determinan Intensitas Energi di Indonesia | Kartiasih | Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia 1 SM

Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants of Energy Intensity in Indonesia

Fitri Kartiasih a,∗ , Yusman Syaukat & Lukytawati Anggraeni b,∗∗

a Subdirektorat Statistik Pertambangan dan Energi, Badan Pusat Statistik b Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Abstract This study contributes to the existing literature by examining energy consumption, energy intensity and its

determinants in Indonesia’s aggregate and sectoral economy. Index Ideal Fisher uses to decompose two key determinants of changes in energy intensity – efficiency improvements and changes in economic activity – to analyze which determinant is more important in driving improvements in energy intensity. VAR/VECM analysis is used to determine which economic variables affect the aggregate intensity. The study found that energy intensity increased gradually. The main contributing factor in the national level is the changes in economic activity, while in the sectoral level is efficiency effect. Keywords: Energy, Energy Intensity, Energy Consumption, Energy Efficiency, VAR/VECM

Abstrak Studi ini memperkaya kajian energi di Indonesia dengan menganalisis konsumsi dan intensitas energi, serta

faktor-faktor yang memengaruhi intensitas energi di Indonesia baik secara agregat (nasional) maupun sektoral. Indeks Ideal Fisher digunakan untuk mendekomposisi perubahan intensitas energi (efisiensi dan perubahan aktivitas ekonomi). Analisis Vector Autoregressive (VAR) atau Vector Error Correction Model (VECM) digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel-variabel ekonomi terhadap intensitas energi. Studi ini menunjukkan bahwa intensitas energi di Indonesia meningkat selama periode 1977–2010. Faktor utama yang memengaruhi intensitas energi di tingkat nasional adalah perubahan aktivitas ekonomi, sedangkan di tingkat sektoral adalah efek efisiensi. Kata kunci: Energi, Intensitas Energi, Konsumsi Energi, Efisiensi Energi, VAR/VECM

JEL classifications: Q40, Q42, Q43

Pendahuluan

atu negara. Meningkatnya pembangunan akan meningkatkan kebutuhan akan energi pula. Be-

Energi memainkan peran yang sangat penting berapa peranan strategis energi antara lain se- dan strategis dalam kehidupan masyarakat ka-

bagai sumber penerimaan negara, bahan ba- rena energi merupakan salah satu indikator

kar dan bahan baku industri, penggerak kegi- pembangunan dan pertumbuhan ekonomi su-

atan ekonomi, serta beberapa peranan penting lainnya. Kelangsungan berbagai sektor di sua-

∗ Alamat Korespondensi: Jl. Kebon Nanas Selat-

tu negara, seperti sektor industri, rumah tang-

an II RT.011/05 No.4 Cipinang Cempedak, Jatinega-

ga, transportasi, jasa, dan lain-lain tidak da-

ra, Jakarta Timur 13340. Hp.: 085246011435. E-mail : fkartiasih@bps.go.id

pat dipisahkan dari penggunaan energi. Meng-

∗∗ E-mail : ysyaukat@yahoo.com (Yusman Syaukat) &

ingat pentingnya peran tersebut, maka proses

lukytawati_anggraeni@yahoo.com (Lukytawati Ang-

pembangunan tidak dapat dipisahkan dengan

graeni) graeni)

Meningkatnya pembangunan dan pertum- buhan ekonomi yang begitu dinamis, yang di- tandai dengan meningkatnya output produksi dan beragam aktivitas ekonomi lainnya, akan disertai dengan meningkatnya populasi pendu- duk sehingga menyebabkan peningkatan kebu- tuhan energi. Kebutuhan energi di Indonesia sampai saat ini dipasok oleh energi berbasis fo- sil, seperti bahan bakar minyak, gas, dan batu bara yang tidak dapat diperbarui. Energi ter- sebut suatu saat akan mengalami kelangkaan dan tidak mampu lagi mencukupi permintaan dan konsumsi sumber daya tersebut. Dari se- luruh pasokan energi primer yang ada, sebesar 94–95% berasal dari sumber energi tak terba- rukan. Hanya terjadi pergeseran komposisi dari minyak bumi dan gas alam ke batu bara selama dua dekade terakhir. Sedangkan, pasokan ener- gi terbarukan, seperti tenaga air (hydropower ) dan panas bumi (geothermal ) hanya sebesar 4– 5% (Gambar 1).

Terkait dengan masalah energi, Indonesia sa- at ini dihadapkan pada beberapa isu penting, yaitu pertumbuhan konsumsi energi yang ting- gi, tetapi pemanfaatannya tidak efisien dan ke- butuhan energi yang masih didominasi oleh bahan bakar fosil. Tren konsumsi energi yang cenderung meningkat mengindikasikan bahwa energi merupakan komoditas penting dan stra- tegis bagi setiap negara di masa mendatang. Di sisi lain, tren peningkatan konsumsi energi ternyata diikuti oleh fenomena penurunan ca- dangan sumber energi berbasis fosil. Semakin terbatasnya sumber energi konvensional terse- but lebih dikarenakan sifatnya yang tak da- pat diperbaharui. Bila kondisi ini tidak di- antisipasi sedini mungkin, maka pada giliran- nya dapat menimbulkan permasalahan pasok- an energi untuk kelangsungan hidup manusia dan pembangunan yang berkelanjutan di masa mendatang.

Salah satu isu yang paling menarik adalah tentang pemanfaatan energi di Indonesia yang diindikasikan cenderung boros dan kurang efi- sien. Hal ini dapat dilihat dari nilai intensitas energinya. Intensitas energi merupakan indika- tor ekonomi makro untuk efisiensi energi, yaitu mengukur seberapa besar energi yang diguna- kan atau diperlukan per unit output (Yanagi- sawa, 2011). Intensitas energi primer Indone- sia pada tahun 2009 adalah sebesar 565 TOE (ton oil equivalent) per 1 juta US$, artinya untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1 juta US$, Indonesia memer- lukan energi sebanyak 565 TOE. Sebagai per- bandingan, intensitas energi Malaysia adalah 493 TOE per 1 juta US$ dan rata-rata intensi- tas energi negara-negara maju (tergabung da- lam Organization for Economic Coordination and Development (OECD)) hanya sebesar 164 TOE per 1 juta US$ (Kompas.com, 2012). Ber- dasarkan angka tersebut menunjukkan bahwa pemakaian energi di Indonesia masih belum efi- sien.

Terkait dengan sifat energi yang strategis serta harga keekonomian energi yang diang- gap belum terjangkau oleh sebagian besar ma- syarakat Indonesia, maka pemerintah Indone- sia menetapkan kebijakan untuk memberikan subsidi di bidang energi, baik itu BBM mau- pun listrik. Realisasi subsidi Bahan Bakar Mi- nyak (BBM) pada Desember 2011 mencapai Rp165,2 triliun atau sebesar 127,4% dari yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) ta- hun 2011 yang nilainya sebesar Rp129,7 trili- un. Diperkirakan subsidi BBM tahun 2012 ju-

ga akan meningkat. Padahal dalam Undang- Undang APBN 2012, subsidi BBM direncana- kan Rp123,6 triliun (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2011). Beban subsidi menjadi semakin berat terutama ketika harga energi dunia mengalami kenaikan, biaya pro- duksi energi meningkat, namun di sisi lain po- la konsumsi yang relatif boros karena harga- nya relatif murah. Subsidi energi juga secara

Gambar 1: Persentase Pasokan Energi Primer Menurut Sumber Energi Tahun 1991, 2000 dan 2010

Sumber: KESDM (beberapa tahun), diolah

tidak langsung menghambat laju perkembang- antara lain: bahan bakar minyak (avgas/avtur, an energi terbarukan.

premium/pertamax, minyak tanah, minyak di- Studi-studi yang ada di Indonesia selama ini

esel (Automotive Diesel Oil (ADO)), minyak yang terkait dengan energi, kebanyakan hanya

solar (Industrial Diesel Oil (IDO)), dan mi- fokus pada konsumsi energi dan perkiraan ak-

nyak bakar), gas, Liquefied Petroleum Gas an kebutuhan energi nasional. Sejauh ini belum

(LPG), listrik, dan batu bara, tidak termasuk ditemukan adanya studi mengenai intensitas

biomasa. Periode analisis, yaitu tahun 1977– energi secara agregat (nasional) maupun sekto-

2010. Keterbatasan studi ini adalah mengana- ral. Beberapa studi mengenai intensitas energi

lisis intensitas energi secara agregat (nasional) di Indonesia berfokus pada sektor industri ter-

dan sektoral, tidak menganalisis pada tingkat utama industri menengah dan besar, di anta-

regional.

ranya adalah studi yang dilakukan oleh Harto- no et al. (2011). Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tujuan dalam studi ini adalah:

Tinjauan Referensi

1) Menganalisis dinamika konsumsi energi dan

Energi

intensitas energi di Indonesia, serta mengiden- tifikasi sektor-sektor yang lebih efisien dalam

Energi merupakan faktor produksi yang esensi- penggunaan energi, 2) Mengidentifikasi kom-

al dalam proses produksi. Semua produksi me- ponen yang lebih berperan dalam perubahan

libatkan transformasi atau pergerakan materi- intensitas energi di Indonesia, apakah kompo-

al melalui beberapa tahapan yang keseluruhan nen efisiensi (efficiency effect) atau pergeseran

proses tersebut memerlukan energi. Energi ti- aktivitas ekonomi (activity effect)?, 3) Menga-

dak hanya dipandang sebagai barang konsumsi nalisis faktor-faktor yang memengaruhi inten-

semata, namun juga sebagai input yang pen- sitas energi di Indonesia.

ting bagi pengembangan serta kemajuan tek- Ruang lingkup studi ini adalah wilayah Indo-

nologi yang berperan signifikan bagi pemba- nesia. Energi yang dicakup dalam studi ini me-

ngunan ekonomi. Bentuk energi ada dua ma- liputi semua bentuk energi akhir yang dikon-

cam, yaitu energi primer dan energi akhir (se- sumsi oleh seluruh sektor dalam perekonomian

kunder). Energi primer adalah energi yang di- kunder). Energi primer adalah energi yang di-

logi atau sumber energi. Konsep fungsi pro- ki peran sebagai bahan bakar awal untuk kemu-

duksi, hanya menyertakan modal dan tenaga dian diolah menjadi bentuk energi akhir. Yang

kerja untuk memproduksi output yang tergan- termasuk dalam kategori energi primer adalah

tung pada teknologi. Tidak adanya energi da- minyak bumi, gas bumi, batu bara, tenaga air,

lam kerangka neo-klasik akan mendistorsi ana- dan panas bumi.

lisis mengenai pertumbuhan ekonomi dan sum- Energi akhir (sekunder) merupakan bentuk

ber pertumbuhan. Ini dikarenakan kecepatan transformasi dari energi primer yang dapat di-

pertumbuhan ekonomi sering kali tergantung gunakan setelah melalui beberapa proses, mi-

pada penggunaan energi.

salnya proses di kilang minyak, kilang LPG, Stern (2003) menyatakan bahwa hubungan pembangkit listrik, dan gas kota. Energi akhir

antara energi dan output (PDB) secara seder- dapat langsung digunakan oleh pelaku ekono-

hana dapat dituliskan dengan persamaan Y = mi, seperti sektor industri, transportasi, rumah

f (L, K, E, M ), di mana Y adalah output agre- tangga, komersial atau jasa, dan sektor lain-

gat ataupun sektoral, L adalah tenaga kerja, K nya. Energi akhir dapat berupa energi listrik,

adalah modal atau kapital, E dan M masing- bahan bakar olahan (minyak tanah, solar, pre-

masing adalah energi dan material non-energi mium, dan lain-lain), LPG, dan bentuk ener-

lainnya. Komponen E dalam fungsi produksi gi olahan lainnya (Yusgiantoro, 2000). Berda-

di atas dapat saja memiliki hubungan komple- sarkan ketersediaannya, sumber energi dibagi

menter (saling melengkapi) atau substitusi (sa- menjadi dua, yaitu energi fosil yang tidak da-

ling menggantikan) dengan faktor produksi la- pat diperbarui (non-renewable energy), seperti

in (non-E).

minyak bumi, gas bumi, batu bara, uranium, dan sebagainya; dan energi yang dapat diper-

Intensitas Energi

barui (renewable energy), seperti panas bumi, tenaga air, tenaga surya, tenaga angin, dan se-

Intensitas energi digunakan untuk menggam- bagainya.

barkan tingkat efisiensi energi. Intensitas ener- gi berbanding terbalik dengan efisiensi energi,

Energi dan Pertumbuhan Ekonomi yaitu semakin sedikit energi yang diperlukan untuk memproduksi satu unit output, sema-

Menurut Chontanawat et al. (2006) peranan kin efisien penggunaan energi (Nanduri, 1998). energi terhadap perekonomian dapat dilihat

Ukuran intensitas energi tidak menggambar- dari dua sisi, yaitu sisi penawaran dan sisi

kan tentang efisiensi energi secara keseluruhan, permintaan. Dari sisi permintaan, energi me-

tetapi setidaknya dapat menggambarkan bah- rupakan salah satu produk yang langsung di-

wa rasio yang lebih kecil menunjukkan suatu konsumsi oleh konsumen demi memaksimum-

negara semakin bagus dalam mentransfer ener- kan utilitasnya. Sedangkan dari sisi penawar-

gi ke dalam produksinya. Dengan demikian, in- an, energi merupakan faktor kunci bagi proses

tensitas energi menjadi proksi untuk mengukur produksi di samping modal, tenaga kerja, dan

tingkat efisiensi energi (Thaler, 2011). material lainnya. Energi merupakan input pen- ting bagi bergeraknya roda perekonomian sua-

Kebijakan Energi

tu negara. Alam (2006) menyatakan bahwa energi me-

Dalam rangka mengoptimumkan penggunaan rupakan pusat perekonomian karena mengen-

sumber daya energi, pemerintah telah menge- dalikan semua kegiatan ekonomi. Para ekonom

luarkan kebijakan umum di bidang energi yang neo-klasik mengeluarkan energi dari perekono-

meliputi kebijakan diversifikasi, intensifikasi, meliputi kebijakan diversifikasi, intensifikasi,

Oleh sebab itu, KEN merupakan kebijakan pemerintah untuk melakukan diversifikasi ener- gi. Pemerintah akan mengurangi pangsa peng- gunaan minyak bumi dan meningkatkan pang- sa penggunaan batu bara dan gas bumi yang cadangannya relatif lebih banyak, serta me- ningkatkan pangsa penggunaan energi terba- rukan (energi air, energi panas bumi, biomasa, energi surya, dan energi angin) karena poten- sinya melimpah dan termasuk energi bersih.

Dekomposisi Intensitas Energi Untuk melihat dinamika perubahan intensitas

energi dari waktu ke waktu, serta memahami perubahan struktur penggunaan energi mau- pun efisiensi energi di semua aktivitas sektor ekonomi, sering kali dalam studi-studi terda- hulu menggunakan Indeks Ideal Fisher. Meto-

de dekomposisi Fisher berguna untuk melihat faktor yang berperan dalam perubahan inten- sitas energi, yang dibagi menjadi dua faktor (komponen), yaitu perubahan efisiensi (effici- ency affect) dan perubahan dalam aktivitas ekonomi (activity effect). Efisiensi mengacu pa-

da penurunan penggunaan energi per unit ak- tivitas ekonomi dalam sektor tertentu, sedang-

kan aktivitas ekonomi mengacu pada perubah- an bauran aktivitas ekonomi (pergeseran dari aktivitas ekonomi yang intensif energi menuju ke aktivitas ekonomi yang intensif non-energi) atau sebaliknya dengan mempertahankan ting- kat efisiensi konstan (Metcalf, 2008 dan Song, 2011).

Berikut adalah faktor-faktor yang meme- ngaruhi intensitas energi . Pertama, pen- dapatan per kapita . Variabel ini digunak- an untuk menggambarkan kondisi permintaan terhadap energi. Hal ini sesuai dengan Engel’s Law yang menyatakan peningkatan pendapat- an per kapita meningkatkan permintaan ter- hadap energi dan pada akhirnya akan menye- babkan peningkatan intensitas energi. Ketika pendapatan meningkat, konsumsi dan inten- sitas energi juga akan meningkat karena me- ningkatnya permintaan, seperti barang-barang elektronik (komputer, AC, dan perlengkapan rumah tangga lainnya), membeli kendaraan ba- ru, dan sebagainya (Bernstein et al., 2003).

Kedua, harga energi. Sesuai dengan hu- kum permintaan, kenaikan harga energi me- nyebabkan permintaan terhadap energi akan turun dan hal ini pada akhirnya akan menye- babkan penurunan intensitas energi. Pening- katan harga energi akan meningkatkan biaya produksi, sehingga produsen akan merespons dengan memperbaiki atau mengoreksi penggu- naan energi agar lebih efisien. Harga bahan ba- kar yang tinggi memaksa orang untuk mene- mukan moda transportasi alternatif yang lebih hemat energi (Thaler, 2011).

Ketiga, pertumbuhan penduduk. Per- tumbuhan penduduk meningkatkan aktivitas ekonomi yang lebih intensif energi (Metcalf, 2008). Sedangkan, Bernstein et al. (2003) mengemukakan bahwa seperti halnya pe- ningkatan pendapatan, pertumbuhan populasi yang tinggi akan meningkatkan konsumsi ener- gi dan intensitas energi. Pertumbuhan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan ter- hadap energi.

Keempat, impor energi. Soile dan Balo- Keempat, impor energi. Soile dan Balo-

Studi Terdahulu Oseni (2011) meneliti tentang faktor-faktor

yang memengaruhi intensitas energi di 16 negara-negara OECD tahun 1975–2007 meng- gunakan metode Indeks Ideal Fisher dan anali- sis ekonometrik data panel dinamis. Hasil stu- dinya menunjukkan bahwa penurunan intensi- tas energi dalam jangka panjang merupakan akibat dari perubahan harga energi dan pen- dapatan yang sebagian besar dikarenakan per- geseran kegiatan ekonomi dari sektor yang in- tensif energi ke sektor jasa yang intensif non- energi.

Metcalf (2008) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi intensitas energi dengan menggunakan metode dekomposisi Indeks Ide- al Fisher dan analisis regresi data panel yang diinterpretasikan sebagai fungsi permintaan energi. Variabel-variabel yang digunakan mu- lai dari variabel ekonomi, seperti harga ener- gi, perubahan aktivitas ekonomi (misalnya, ter- jadi pergeseran struktur ekonomi agraris ke ekonomi industri), variabel sosial (pertumbuh- an penduduk dan rasio kapital-tenaga kerja), dan juga variabel iklim (penggunaan pendi- ngin dan penghangat ruangan). Hasil anali- sisnya menyatakan bahwa peningkatan harga energi dan peningkatan pendapatan per kapi- ta berperan besar dalam penurunan intensitas energi di negara-negara bagian di Amerika Se- rikat.

Hasil studi Wu (2012) menunjukkan bahwa kecuali pada tahun 2001–2005, intensitas ener- gi di Cina menurun selama periode 1981–2007. Faktor utama yang berperan dalam penurun-

an intensitas energi adalah komponen perbaik- an efisiensi. Hasil studinya menunjukkan bah- wa intensitas energi bersifat responsif terhadap harga energi baik untuk jangka pendek mau- pun jangka panjang.

Studi yang dilakukan oleh Thaler (2011) mengenai determinan intensitas energi meng- gunakan beberapa faktor, seperti faktor geo- grafi, industri, demografi, dan sebagainya. stu- dinya menggunakan data cross section pada ta- hun 2006 mencakup 160 negara dengan metode regresi linear berganda. Hasil analisisnya me- nunjukkan bahwa standar hidup, impor energi, dan harga energi berdampak negatif terhadap intensitas energi, sedangkan pendidikan, iklim, manufaktur, dan energi terbarukan berdampak positif terhadap intensitas energi.

Ibrahim (2011) melakukan studi mengenai keterkaitan antara konsumsi energi, pendapat- an riil, dan harga energi di Arab Saudi de- ngan menggunakan data tahunan untuk per- iode waktu 1982–2007. Metode analisis yang digunakan adalah uji unit root, model Vector Autoregressive (VAR), uji kausalitas, impulse response functions, dan Forecast Error Vari- ance Decompositions (FEVD). Hasil studinya menunjukkan bahwa tidak terdapat hubung- an kausalitas dua arah antara konsumsi energi dan pendapatan. Pendapatan riil dan konsum- si energi memengaruhi harga energi, sebaliknya harga energi tidak memengaruhi pendapatan riil maupun konsumsi energi. Pendapatan ri- il memainkan peran penting dalam kebijakan yang menargetkan untuk meningkatkan efisien- si energi di Arab Saudi.

Studi mengenai hubungan kausal antara kon- sumsi listrik, indeks harga konsumen, total pe- ngeluaran konsumen, PDB, dan Foreign Direct Investment (FDI) di Malaysia dilakukan oleh Bekhet dan Othman (2011). Metode yang di- gunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM). Hasil studi menunjukkan bahwa da- lam jangka panjang, hubungan kausalitas kon- sumsi listrik terhadap FDI, pertumbuhan PDB dan inflasi (Indeks Harga Konsumen) adalah Studi mengenai hubungan kausal antara kon- sumsi listrik, indeks harga konsumen, total pe- ngeluaran konsumen, PDB, dan Foreign Direct Investment (FDI) di Malaysia dilakukan oleh Bekhet dan Othman (2011). Metode yang di- gunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM). Hasil studi menunjukkan bahwa da- lam jangka panjang, hubungan kausalitas kon- sumsi listrik terhadap FDI, pertumbuhan PDB dan inflasi (Indeks Harga Konsumen) adalah

sitas energi di Indonesia.

tukan pertumbuhan ekonomi, serta alat yang kuat dalam mengeksekusi kebijakan pemerin-

Dinamika Intensitas Energi dan Dekom- tah untuk penghematan energi di Malaysia.

posisinya

Sejauh ini studi tentang intensitas energi agregat di Indonesia belum ditemukan. Bebe-

Studi ini menggunakan metode dekomposisi In- rapa studi hanya fokus pada intensitas energi

deks Ideal fisher untuk menganalisis dinamika di sektor industri menengah dan besar. Salah

perubahan intensitas energi dan dekomposisi- satunya adalah studi yang dilakukan oleh Har-

nya di Indonesia. Metode tersebut digunakan tono et al. (2011) menggunakan dua metode

untuk mengidentifikasi apakah tren perubah- untuk menguraikan faktor-faktor yang meme-

an intensitas energi dari waktu ke waktu le- ngaruhi intensitas energi di sektor industri, yai-

bih disebabkan oleh komponen efisiensi (effici- tu metode dekomposisi Indeks Ideal Fisher dan

ency effect) atau komponen aktivitas ekonomi analisis regresi data panel. studi dilakukan pa-

(activity effect). Menurut Song (2011), kompo-

da 13.743 perusahaan pada periode 2002–2006. nen efisiensi mengacu pada penurunan atau pe- Hasil studi menunjukkan bahwa upah tenaga

ngurangan penggunaan energi per unit aktivi- kerja, umur perusahaan, intensitas modal, dan

tas ekonomi di masing-masing sektor ekonomi proporsi kapital yang dimiliki oleh pihak swas-

(within a sector ). Sedangkan, aktivitas ekono- ta berdampak positif terhadap intensitas ener-

mi mengacu pada perubahan struktur ekono- gi, sedangkan ukuran perusahaan, produktivi-

mi atau pergeseran aktivitas ekonomi yang in- tas tenaga kerja, dan intensitas teknologi ber-

tensif energi ke aktivitas ekonomi yang intensif dampak negatif terhadap intensitas energi.

non-energi antarsektor atau sebaliknya. Dalam studi ini, intensitas energi nasional di- bagi dalam empat sektor, yaitu sektor industri,

Metode

transportasi, komersial (jasa-jasa), dan rumah tangga. Intensitas energi (e t ) dapat ditulis se-

Jenis data yang digunakan dalam studi ini ada- bagai fungsi komponen efisiensi energi dan ke- lah data sekunder yang diperoleh dari Bad-

giatan ekonomi. Secara spesifik dapat ditulis- an Pusat Statistik (BPS), Kementerian Energi

kan sebagai (Oseni, 2011): dan Sumber Daya Mineral, dan Energy Infor-

mation Administration (EIA) 1 . Data sekunder

E it Y it

yang digunakan adalah data time series dari

Y it Y t tahun 1977–2010 untuk beberapa variabel, ya-

i=1

i=1 e it s it (1) itu PDB sektoral, jumlah penduduk, konsumsi

energi final, pasokan energi primer, harga ener-

dengan:

gi, dan data pendukung lainnya.

e t = Intensitas energi

E t = Total konsumsi energi Metode Analisis

E it = Konsumsi energi di sektor i pada tahun

Analisis Deskriptif

Y t = PDB tahun t Y it = Ukuran kegiatan ekonomi di sektor i

Dalam studi ini, analisis deskriptif diguna-

pada tahun t

kan untuk memberikan gambaran secara umum

e it = Komponen efisiensi s it = Komponen aktivitas ekonomi

1 http://www.eia.gov/

i = sektor

P t = tahun n

Periode dalam studi ini adalah tahun 1977– 2010, sehingga tahun 1977 dijadikan sebagai ta-

dengan e i0 dan s i0 merepresentasikan indeks hun dasar untuk melihat dinamika perubahan

efisiensi dan indeks aktivitas pada tahun da- intensitas energi selama periode studi. Total in-

sar, sedangkan e it dan s it masing-masing in- tensitas energi pada tahun dasar (tahun 1977)

deks efisiensi dan aktivitas pada tahun seka-

rang. Indeks Laspeyres menggunakan periode notasikan sebagai e t , sedangkan indeks intensi-

dinotasikan sebagai e 0 , pada tahun berjalan di-

dasar tertimbang, sedangkan Indeks Paasche

menggunakan periode tertimbang sekarang. Se- perubahan intensitas energi agregat dapat di-

tas energi dinotasikan sebagai e t /e 0 , maka tren

hingga Indeks Fideal Fisher dapat dituliskan ekspresikan sebagai:

e 0 e i0 s i0 Atau dapat dituliskan dalam bentuk dua

i=1

fungsi Eff dan Act, sehingga:

e 0 Indeks Ideal Fisher merupakan indeks yang Act (e i0 ,e it ,s i0 ,s it )

dapat mendekomposisi secara sempurna terha- dengan e it dan s it masing-masing adalah efisi-

dap total intensitas energi ke dalam indeks efi-

ensi energi dan aktivitas ekonomi pada sektor i siensi energi (F t ) dan indeks kegiatan ekono- dan waktu t, sementara fungsi indeks Eff dan

ef f

mi (F act t ) tanpa ada residual: Act masing-masing merepresentasikan efisiensi

act

ef f

agregat dan aktivitas ekonomi.

≡l t =F t F t

Mengacu pada Metcalf (2008) dan Oseni (2011), indeks intensitas energi dapat didekom-

Indeks Ideal Fisher sangat bagus digunakan posisi ke dalam indeks efisiensi dan aktivitas,

untuk mendekomposisi intensitas energi karena dengan ketentuan bahwa sektor yang menje-

tidak mengandung residual term, seperti hal- laskan semua penggunaan energi dalam pere-

nya metode dekomposisi lainnya, residual term konomian tidak tumpang tindih dan tersedi-

akan menimbulkan sedikit kesulitan dalam in- anya ukuran kegiatan ekonomi (Y it ) yang da-

terpretasi dari efek efisiensi dan efek kegiatan pat digunakan untuk membangun suatu ukur-

ekonomi. Energi yang bisa dihemat (∆E t ) ka- an intensitas energi. Tahap pertama memba-

rena perubahan intensitas energi didefinisikan ngun indeks efisiensi yang merupakan kompo-

sebagai:

sisi Indeks Laspeyres dan Indeks Paasche. In- deks Laspeyres dapat dituliskan sebagai:

(11) P n

E t = konsumsi energi aktual P n e E = konsumsi energi yang akan terjadi jika

ef f

i=1 it s i0

intensitas energi tetap seperti pada tahun i=1 e i0 s i0

dasar (tahun 1977).

dan Indeks Paasche dapat dituliskan sebagai: P n

e it s it Hubungan antara energi yang bisa dihemat P t =

i=1 e it s i0 (energy savings) dengan efek efisiensi dan efek i=1 e it s i0 (energy savings) dengan efek efisiensi dan efek

Dalam studi ini, analisis ekonometrika digu-

act

∆E t = ∆E t nakan untuk mengetahui pengaruh dari faktor-

ln(F t )

ln(l t )

faktor ekonomi terhadap intensitas energi di

Indonesia. Sebelum melakukan estimasi model + ∆E

ln(F ef f )

ln(l t )

ekonometrika dengan data time series, ada be-

berapa tahapan yang harus dilakukan (Gambar ≡ ∆E t + ∆E t

Sektor-sektor pengguna energi yang digu- Mengacu pada studi Ibrahim (2011), dalam nakan dalam studi ini dapat diklasifikasikan se-

studi ini digunakan metode analisis ekonome- bagai berikut (Kementerian Energi dan Sum-

trika time series VAR/VECM, selain itu juga ber Daya Mineral, 2012):

dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Perta- ma, kebijakan energi di Indonesia masih da-

1. Sektor industri terdiri dari industri pengo- lam lingkup nasional, belum diimplementasi- lahan non-migas yang terdiri dari sembil-

kan dan dijabarkan dalam kebijakan energi re- an subsektor, yaitu: ISIC (International

gional sehingga semua daerah di Indonesia ha- Standard Industrial Classification of All

nya berpedoman atau mengacu pada kebijakan Economic Activities):

energi nasional. Kedua, data konsumsi energi di Indonesia hanya tersedia dalam level nasio-

• 31 = Makanan, minuman, dan tem- nal, belum bisa di-disagregasi menjadi konsum- bakau;

si energi per daerah atau provinsi sehingga ti- • 32 = Tekstil, barang kulit, dan alas

dak memungkinkan menggunakan metode ana- kaki;

lisis data panel. Ketiga, metode regresi linear • 33 = Barang kayu dan hasil hutan

atau Ordinary Least Square (OLS) tidak digu- lainnya;

nakan dalam studi ini karena pada umumnya data time series tidak stasioner pada level, se-

• 34 = Kertas dan barang cetakan; dangkan metode OLS mensyaratkan data ha- • 35 = Pupuk, kimia, dan barang dari

rus stasioner.

karet; Asumsi yang harus dipenuhi dalam metode

• 36 = Semen dan barang galian bukan VAR, yaitu semua variabel tak bebas harus logam;

bersifat stasioner (mean, variance, dan cova- • 37 = Logam dasar besi dan baja;

riance bersifat konstan) dan semua sisaan ber- sifat white noise, yakni memiliki rataan nol,

• 38 = Alat angkutan, mesin, dan per- ragam konstan, dan saling bebas. Dibanding- alatannya; dan kan dengan metode ekonometrika konvensio-

• 39 = Barang lainnya. nal, metode VAR memiliki keunggulan. Perta- ma, mengembangkan model secara bersamaan

2. Sektor transportasi meliputi transportasi di dalam suatu sistem yang kompleks (multi- darat, laut, udara, dan kereta api. variate), sehingga dapat menangkap hubungan

3. Sektor komersial terdiri dari: Perdagang- keseluruhan variabel di dalam persamaan itu. an, hotel, dan restoran; Keuangan, real es-

Hubungan yang terdeteksi bisa bersifat lang- tate, dan jasa perusahaan; Jasa-jasa peme-

sung ataupun tidak langsung. Kedua, uji VAR rintahan umum dan swasta.

yang bersifat multivariat bisa menghindari pa- rameter yang bias akibat tidak dimasukkannya

4. Rumah tangga.

variabel yang relevan.

Gambar 2: Tahapan Analisis Data Time Series dalam studi

Sumber: penulis

Ketiga, metode VAR dapat mendeteksi hu- nimbulkan permasalahan dalam proses estima- bungan antarvariabel dalam sistem persama-

si.

an, yaitu dengan menjadikan seluruh variabel Dalam rangka mengantisipasi hilangnya in- menjadi endogen. Keempat, metode VAR be-

formasi jangka panjang, maka dalam studi ini kerja berdasarkan data sehingga terbebas dari

akan digunakan model VECM jika ternyata da- berbagai batasan teori ekonomi. Dan kelima,

ta yang digunakan adalah I(1) atau stasioner dengan teknik VAR, yang akan terpilih hanya

pada first difference. VECM merupakan ben- variabel yang relevan untuk disinkronisasi de-

tuk VAR yang terestriksi. Restriksi tambahan ngan teori yang ada.

ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner, namun terkointegra-

Selain memiliki kelebihan, metode VAR ju- si. VECM kemudian memanfaatkan informasi

ga memiliki kelemahan, adapun beberapa ke- restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifi- lemahan. Pertama, model VAR lebih bersifat

kasinya. Oleh karena itu, VECM disebut juga ateoritik karena tidak memanfaatkan informa-

desain VAR bagi series non-stasioner yang me- si atau teori terdahulu. Oleh karenanya, model

miliki hubungan kointegrasi. tersebut sering disebut model yang tidak struk- tural. Kedua, mengingat tujuan utama model

Model Studi

VAR adalah untuk peramalan, maka model VAR kurang cocok untuk menganalisis kebi-

Model ekonometrik yang digunakan dalam stu- jakan. Ketiga, pemilihan banyaknya lag yang

di ini merupakan modifikasi dari model yang digunakan dalam persamaaan juga dapat me-

digunakan oleh Metcalf (2008) dan Ibrahim

Tabel 1: Hasil Pengujian Stasioneritas Data Level

No Variabel

ADF Statistic

Hasil

Statistika t

Probability

1 ln (IE)

0,7132 tidak stasioner

2 ln (INC)

0,8506 tidak stasioner

4 ln (FP)

0,8061 tidak stasioner

5 IMP

0,0111 tidak stasioner

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis Keterangan: ** signifikan pada taraf 5%

Tabel 2: Hasil Pengujian Stasioneritas Data First Difference

No Variabel

ADF Statistic

Hasil

Statistika t

Probability

1 ln (IE)

2 ln (INC)

4 ln (FP)

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis Keterangan: ** signifikan pada taraf 5%

(2011), dituliskan sebagai:

Hasil dan Analisis

Dinamika Konsumsi dan Intensitas Ener- dengan:

gi di Indonesia

Y t = vektor

variabel

endogen

(IE, IN C, gP OP, F P, IM P ) Selama periode 1977–2010, konsumsi energi di IE = intensitas energi yang diukur dari total

Indonesia mengalami peningkatan dari 85,13 konsumsi energi dibagi dengan PDB

juta BOE (Barrel Oil Equivalent atau Setara IN C = pendapatan per kapita yang diproksi

Barel Minyak) pada tahun 1977 menjadi 792,96 dengan PDB per kapita atas dasar harga

juta BOE pada tahun 2010 atau meningkat se- konstan tahun 2000 (Rupiah)

besar 7,10% per tahun. Pada Gambar 3(a) da- gP OP = pertumbuhan penduduk yang

pat dilihat bahwa peningkatan konsumsi ener- didapatkan dengan rumus: gP OP t

gi final ini seiring dengan peningkatan Pro- (P OP t − P OP t−1 )/P OP t−1 ∗ 100%

duk Domestik Bruto (PDB) pada periode yang

F P = harga energi yang dihitung berdasarkan sama, sedangkan Gambar 3(b) menunjukkan rata-rata tertimbang harga bahan bakar mi-

bahwa konsumsi energi dan PDB memiliki ke- nyak (Rp/BOE). Penimbang yang digunakan

terkaitan yang sangat erat. Hal ini menunjuk- adalah pangsa konsumsi masing-masing jenis

kan sangat pentingnya peran energi dalam ak- bahan bakar minyak yang digunakan dalam

tivitas perekonomian untuk menciptakan ou- perekonomian (Thaler, 2011)

tput nasional.

IM P = impor energi diproksi dengan rasio Energi final dalam perekonomian dapat produksi terhadap konsumsi minyak bumi dan

dikonsumsi secara langsung oleh konsumen produk olahannya.

akhir, seperti sektor industri, transportasi, ko-

Gambar 3: Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Konsumsi Energi Final di Indonesia serta

Hubungan antara PDB dan Konsumsi Energi

Sumber: KESDM & BPS (beberapa tahun), diolah

mersial, rumah tangga, dan sektor lainnya. atau sektor ekonomi lebih efisien dalam meng- Gambar 4 menunjukkan bahwa sektor industri

gunakan energi. Gambar 5 menunjukkan bah- merupakan konsumen terbesar terhadap ener-

wa intensitas energi di Indonesia meningkat da- gi, diikuti sektor transportasi, rumah tangga,

ri tahun 1977–2010. Hal ini mengindikasikan serta sektor komersial.

selama lebih dari tiga dekade terakhir, peng- Jika dilihat berdasarkan jenis energi, maka

gunaan energi menjadi semakin tidak efisien. dapat dikatakan bahwa kegiatan perekonomi-

Intensitas energi Indonesia pada tahun 1977 an nasional masih sangat tergantung pada bah-

bernilai sebesar 0,19 ribu BOE/miliar rupiah, an bakar minyak. Tabel 3 menunjukkan bahwa

artinya untuk menciptakan output (PDB) 1 mi- BBM merupakan sumber energi terbesar yang

liar rupiah dibutuhkan energi sebesar 0,19 ri- dikonsumsi dalam perekonomian. Pada tahun

bu BOE. Sedangkan, pada tahun 2010 inten- 2010, konsumsi BBM sebesar 49,22%. Jika dili-

sitasnya meningkat menjadi 0,36, artinya un- hat menurut sektor, maka struktur pengguna-

tuk menciptakan output (PDB) 1 miliar rupi- an energi pada masing-masing sektor berbeda-

ah dibutuhkan energi sebesar 0,36 ribu BOE. beda. Sebagai contoh, sektor transportasi se-

Energi merupakan salah faktor produksi atau besar 99,95% konsumsinya adalah BBM. Sek-

input yang digunakan dalam perekonomian un- tor komersial dan rumah tangga sebagian besar

tuk menciptakan sejumlah output, dengan de- mengonsumsi listrik, sedangkan industri seba-

mikian konsumsi energi merupakan pengeluar- gian besar menggunakan batu bara dalam ak-

an atau biaya yang harus dikeluarkan oleh sua- tivitasnya.

tu perekonomian. Jika konsumsi energi (BOE) Untuk mengetahui dan mengukur efisiensi

dikonversikan ke dalam satuan rupiah, maka dari penggunaan energi dalam suatu pereko-

pada tahun 1977 untuk menciptakan PDB 1 nomian, ukuran yang paling sering digunakan

miliar rupiah dibutuhkan biaya energi sebesar adalah intensitas energi. Nilai intensitas yang

Rp28 juta, sedangkan pada tahun 2010 diper- lebih kecil menunjukkan bahwa suatu wilayah

lukan biaya energi sebesar Rp53 juta untuk

Gambar 4: Konsumsi Energi di Indonesia Menurut Sektor Tahun 1977–2010 (%)

Sumber: KESDM & BPS (beberapa tahun), diolah

menciptakan PDB yang sama. Hal ini menun- energi di sektor ini juga lebih tinggi bila di- jukkan bahwa penggunaan energi pada tahun

bandingkan dengan angka nasional. Intensitas 2010 kurang efisien dibandingkan tahun 1977.

energi di sektor industri memiliki kecenderung- Jika melihat intensitas energi per sektor, sek-

an yang meningkat dari 0,59 ribu BOE/miliar tor transportasi merupakan sektor yang pa-

rupiah menjadi 0,72 ribu BOE/miliar rupiah. ling tidak efisien dengan nilai intensitas sebesar

Artinya, untuk menciptakan nilai tambah atau 2,46 ribu BOE/miliar rupiah pada tahun 1977

PDB di sektor industri sebesar 1 miliar rupiah dan meningkat menjadi 3,03 ribu BOE/miliar

dibutuhkan konsumsi energi sebesar 0,59 ribu rupiah pada tahun 2010. Artinya, untuk men-

BOE pada tahun 1977 dan 0,72 ribu BOE pada ciptakan PDB di sektor transportasi sebesar 1

tahun 2010.

miliar rupiah pada tahun 1977 dibutuhkan kon- Sektor komersial dan rumah tangga memili- sumsi energi sebesar 2,46 ribu BOE, sedangkan

ki nilai intensitas yang relatif kecil, tetapi sek- pada tahun 2010 dibutuhkan konsumsi ener-

tor rumah tangga memiliki nilai intensitas yang gi 3,03 ribu BOE. Hal ini menunjukkan bahwa

lebih tinggi dibandingkan sektor komersial. In- penggunaan energi di sektor transportasi se-

tensitas energi sektor komersial selama periode makin tidak efisien. Bila dibandingkan dengan

studi mengalami peningkatan yang sangat ke- tiga sektor lainnya, yaitu sektor industri, ko-

cil. Jika pada tahun 1977 nilai intensitasnya se- mersial, dan rumah tangga, sektor transportasi

besar 0,01 ribu BOE/miliar rupiah, sedangkan memiliki nilai intensitas energi yang tertinggi,

pada tahun 2010 sebesar 0,04 ribu BOE/miliar bahkan melebihi intensitas energi agregat (na-

rupiah. Sektor rumah tangga merupakan satu- sional). Dengan demikian, dapat disimpulkan

satunya sektor yang intensitas energinya menu- bahwa sektor transportasi merupakan sektor

run selama periode studi, yaitu dari 0,17 ribu yang paling tidak efisien di antara sektor-sektor

BOE/miliar rupiah pada tahun 1977 menjadi lainnya dalam perekonomian.

0,06 ribu BOE/miliar rupiah pada tahun 2010. Sektor industri merupakan sektor kedua

Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan energi yang kurang efisien dibandingkan dengan sek-

di sektor rumah tangga cenderung lebih efisien tor komersial dan rumah tangga. Intensitas

beberapa tahun belakangan ini. Dengan demi-

Tabel 3: Struktur Penggunaan Energi Menurut Sektor (%) Tahun 2010

Rumah tangga BBM:

Jenis Energi

Nasional Industri

Transportasi

Komersial

17,66 Avgas/Avtur

- M. Tanah

17,66 M. Solar (ADO)

- M. Diesel (IDO)

- M. Bakar

- Batu bara

100 Sumber: KESDM, 2012

kian, dapat disimpulkan bahwa hingga tahun lam intensitas energi dengan cara mendekom- 2010 sektor yang relatif paling efisien diban-

posisinya menjadi dua komponen, yaitu kom- dingkan dengan sektor lainnya adalah sektor

ponen aktivitas ekonomi dan komponen efisi- komersial.

ensi energi.

Dinamika intensitas energi sepanjang wak- tu memperlihatkan tren efisiensi perekono-

Gambar 6(a) menunjukkan hasil dari anali- mian secara keseluruhan atau menunjukkan

sis dekomposisi intensitas energi di Indonesia dengan menggunakan tahun 1977 sebagai ta-

tren produktivitas energi. Menurut Lapillonne (2006), biasanya intensitas energi akan mening-

hun dasar. Intensitas energi Indonesia pada ta- hun 2010 adalah 1,88 atau meningkat 88% da-

kat sepanjang waktu di negara-negara yang se- dang berkembang. Perekonomian suatu nega-

ri tahun dasar. Indeks aktivitas ekonomi pa-

da tahun 2010 adalah 1,77, artinya jika efisi- ra semakin intensif energi karena proses indus-

trialisasi, pertumbuhan kepemilikan kendaraan ensi energi tetap konstan seperti pada tahun 1977, maka efek pergeseran aktivitas ekonomi

bermotor, meningkatnya kesejahteraan, dan se- bagainya, dengan pertumbuhan konsumsi ener-

akan menyebabkan intensitas energi meningkat sebesar 77%. Indeks efisiensi pada tahun 2010

gi lebih cepat dibandingkan dengan pertum- buhan PDB. Sebaliknya intensitas energi di

adalah 1,06, artinya jika aktivitas ekonomi ti- negara-negara maju memiliki tren yang me-

dak berubah selama periode 1977–2010, maka komponen efisiensi energi akan menyebabkan

nurun. Perekonomian menjadi kurang intensif energi karena perekonomian didominasi oleh

intensitas energi meningkat sebesar 6%. Jadi, perubahan struktur dalam aktivitas ekonomi

sektor tersier atau jasa-jasa. merupakan komponen yang lebih besar pera-

nannya dalam meningkatkan intensitas energi Dekomposisi Intensitas Energi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa telah

Untuk melihat lebih jauh mengenai penye- terjadi pergeseran dari kegiatan ekonomi yang bab dari perubahan intensitas energi sepanjang

kurang intensif energi (seperti pertanian) ke ke- waktu, studi ini menggunakan metode dekom-

giatan yang lebih intensif energi (seperti indus- posisi Indeks Ideal Fisher. Indeks Ideal Fisher

tri manufaktur). Perubahan aktivitas ekonomi dapat digunakan untuk melihat perubahan da-

ini juga dapat dilihat dari perkembangan kon-

Gambar 5: Intensitas Energi di Indonesia Menurut Sektor, 1977–2010 (Ribu BOE/Miliar Rupiah)

Sumber: KESDM & BPS, diolah

tribusi nilai tambah sektoral terhadap PDB. Dekomposisi intensitas energi di tiga sek- Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa

tor, yaitu sektor industri, transportasi, ser- kontribusi nilai tambah sektor pertanian meng-

ta komersial menunjukkan bahwa efek efisien- alami penurunan selama tiga dekade, yaitu dari

si lebih berperan dalam perubahan intensitas 22% menjadi 13%. Sedangkan kontribusi kegi-

di masing-masing sektor tersebut (Gambar 7). atan ekonomi yang lebih intensif energi, seperti

Hal ini mendukung hasil dekomposisi di ting- industri pengolahan bukan migas (manufaktur)

kat nasional, yang dalam hal ini inefisiensi di mengalami peningkatan yang cukup signifikan

tiga sektor ini menyebabkan intensitas nasional di periode yang sama. Seperti diketahui bah-

meningkat sebesar 6% (ceteris paribus). wa sektor industri banyak membutuhkan in-

Gambar 7(a) menunjukkan hasil dari analisis put energi pada aktivitasnya, sehingga adanya

dekomposisi intensitas energi di sektor indus- pergeseran aktivitas atau kegiatan ekonomi ini

tri. Intensitas energi agregat di sektor industri menyebabkan konsumsi energi sepanjang tahun

pada tahun 2010 adalah 1,33 atau meningkat studi mengalami peningkatan dan pada akhir-

sebesar 33% dari tahun 1977. Indeks aktivitas nya menyebabkan intensitas energi juga me-

ekonomi pada tahun 2010 adalah 0,92 artinya ningkat.

jika efisiensi energi tetap konstan seperti pa- Berdasarkan Gambar 6(b) dapat dilihat bah-

da tahun 1977, maka efek pergeseran aktivitas wa jika intensitas energi tetap konstan seper-

ekonomi akan menyebabkan intensitas energi ti pada tahun dasar (tahun 1977), maka te-

turun sebesar 8%. Sementara itu, jika aktivi- lah terjadi pemborosan energi antara tahun

tas ekonomi tidak berubah antara tahun 1977– 1978-2010. Dengan mempertahankan intensi-

2010, maka komponen atau efek efisiensi ener- tas energi tetap sama seperti pada tahun da-

gi akan menyebabkan intensitas energi mening- sar, maka pada tahun 2010 terjadi pemborosan

kat sebesar 22%. Dengan demikian, komponen energi sebesar 371 juta BOE di mana aktivitas

atau efek efisiensi energi merupakan efek yang ekonomi menyumbang sebesar 336 juta BOE

lebih besar peranannya dalam meningkatkan (91%) dan efisiensi menyumbang sebesar 35 ju-

intensitas energi di Indonesia. Dapat dikatakan ta BOE (9%).

bahwa penggunaan energi di sektor ini semakin

Gambar 6: Dekomposisi Intensitas Energi serta Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi

terhadap Perubahan Intensitas Energi

Sumber: KESDM & BPS, diolah

tidak efisien karena efek inefisiensi dan bukan hun 1977. Dari indeks aktivitas ekonomi dan karena perubahan aktivitas ekonomi.

indeks efisiensi mencerminkan bahwa efek efisi- Hasil studi yang dilakukan oleh Irawan et

ensi merupakan efek atau komponen yang lebih al. (2010) mengenai peran industri manufak-

besar peranannya dalam meningkatkan inten- tur terhadap keragaan perekonomian Indone-

sitas energi di sektor transportasi. Jika efisiensi sia menggunakan analisis Input-Output menun-

energi tetap konstan seperti pada tahun 1977, jukkan bahwa tidak ada perubahan teknolo-

pergeseran aktivitas ekonomi akan menyebabk- gi yang digunakan di sektor industri. Jika ti-

an intensitas energi turun sebesar 16%. Semen- dak ada peningkatan teknologi, maka industri

tara itu, jika aktivitas ekonomi tidak berubah di Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk

antara tahun 1977-2010, efek efisiensi energi meningkatkan daya saingnya terhadap negara-

akan menyebabkan intensitas energi meningkat negara lain. Penggunaan teknologi yang relatif

sebesar 46%.

tidak berubah atau dapat dikatakan stagnan, Inefisiensi di sektor transportasi salah satu- mengindikasikan boros energi. Hal inilah yang

nya adalah disebabkan oleh kemacetan. Ting- menyebabkan intensitas energi di sektor indus-

kat konsumsi bahan bakar juga dipengaru- tri mengalami peningkatan selama periode stu-

hi oleh kecepatan perjalanan. Kecepatan yang di. Inefisiensi di sektor industri lebih dikarena-

terlalu rendah cenderung mengonsumsi BBM kan proses produksi dan sebagainya yang ma-

lebih banyak. Konsumsi BBM paling rendah sih menggunakan mesin-mesin tua dan kurang

adalah pada kecepatan antara 60–65 km/jam. mengadopsi teknologi modern yang lebih he-

Pada kecepatan yang lebih rendah (umumnya mat energi.

dalam kondisi macet) konsumsi BBM akan cen- Gambar 7(b) menunjukkan hasil dari analisis

derung lebih boros, demikian pula pada kece- dekomposisi intensitas energi di sektor trans-

patan yang terlalu tinggi (Departemen Perhu- portasi yang meningkat menjadi 1,23 pada ta-

bungan, 2005). Meskipun tidak dapat dipung- hun 2010 atau meningkat sebesar 23% dari ta-

kiri di bidang otomotif banyak terjadi pengem-

Tabel 4: Kontribusi Nilai Tambah Sektoral Terhadap PDB (%)

2010 Sektor Primer

Sektor Ekonomi

6,86 Sektor Sekunder

2. Pertambangan dan Penggalian

3. Industri Pengolahan

a. Industri M i g a s

b. Industri Bukan Migas

4. Listrik, Gas dan Air Bersih

17,56 Sektor Tersier

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran

7. Pengangkutan dan Komunikasi

100 Sumber: BPS (beberapa tahun), diolah

bangan teknologi, yang dalam hal ini kendara- Oleh karena itu, untuk mengurangi pemakai- an bermotor belakangan ini dirancang untuk

an minyak bumi perlu ditingkatkan pemakaian lebih ramah lingkungan dan hemat energi. Di

BBN hingga lebih dari 5%, terutama di sektor sisi lain, rendahnya keberpihakan pemerintah

transportasi. Gas bumi dalam bentuk Comp- kepada pengguna kendaraan tidak bermotor

ressed Natural Gas (CNG), LPG dan Liquefied dan pejalan kaki, menjadikan moda perjalan-

Natural Gas (LNG) dapat juga digunakan se- an ini perlahan-lahan menghilang dari sistem

bagai bahan bakar alternatif pengganti BBM transportasi perkotaan. Hal yang sama juga di-

untuk sektor transportasi. Gas dapat digunak- alami oleh sistem angkutan publik. Walaupun

an untuk moda transportasi darat, seperti mo- terbukti sangat hemat dalam penggunaan ru-

bil, truk dan bus, juga kereta api. Hal ini me- ang jalan karena kapasitas angkut yang ting-

rupakan peluang yang perlu didorong sehingga gi per kendaraan dan efisiensi konsumsi energi

penerapannya bisa meluas. per penumpang, akan tetapi sistem ini justru

Gambar 7(c) menunjukkan hasil dari analisis menjadi bagian yang terabaikan dalam sektor

dekomposisi intensitas energi di sektor komer- transportasi. Hal ini terlihat dari semakin bu-

sial (jasa-jasa) yang meningkat menjadi 4,83 ruknya tingkat pelayanan angkutan publik ter-

pada tahun 2010. Seperti halnya di sektor in- utama di daerah perkotaan.

dustri dan transportasi, efek efisiensi merupa- Hal lain yang perlu diperhatikan adalah

kan efek atau komponen yang lebih besar per- substitusi bahan bakar minyak perlu dilaku-

anannya dalam meningkatkan intensitas energi kan. BBM banyak digunakan di sektor trans-

di sektor komersial daripada efek aktivitas eko- portasi sehingga penyediaan bahan bakar cair

nomi.

alternatif perlu ditingkatkan agar target KEN dapat tercapai. Dari berbagai bahan bakar al-

Determinan Intensitas Energi ternatif yang sudah ada saat ini, hanya Bahan

Bakar Nabati (BBN) yang sudah siap dikem- Tahap awal dalam analisis data time seri- bangkan berdasarkan teknologi penyediaannya.

es adalah melakukan pengujian-pengujian pra-

Gambar 7: Dekomposisi Intensitas Energi Menurut Sektor

Sumber: KESDM & BPS, diolah

estimasi. Pengujian-pengujian tersebut melipu- ki nilai prediksi terhadap variabel lain diletak- ti uji akar unit (unit root test), pengujian sta-

kan di depan, berdampingan satu sama lain- bilitas VAR, dan pengujian lag optimal. Ha-

nya. Variabel yang tidak memiliki nilai prediksi sil pengujian akar unit menunjukkan bahwa

terhadap variabel lain diletakkan paling bela- variabel-variabel yang digunakan pada studi

kang.

ini seluruhnya stasioner pada first difference. Respons intensitas energi terhadap guncang- Persamaan VAR memiliki nilai modulus ku-

an atau shock pendapatan per kapita memiliki rang dari satu, artinya model VAR yang di-

respons yang negatif (Gambar 8). Hasil studi bentuk stabil. Penetapan lag optimal menggu-

ini sejalan dengan studi Thaler (2011), yang nakan nilai dari likelihood ratio (LR), final pre-

dengan meningkatnya pendapatan per kapi- diction error (FPE), Akaike information cri-

ta mengindikasikan meningkatnya standar hi- terion (AIC), Schwarz information criterion

dup masyarakat, meningkatnya tingkat pendi- (SC), dan Hannan-Quin criterion (HQ). Be-

dikan, teknologi, dan semua aspek kehidupan sarnya lag yang dipilih berdasarkan lag terpen-

dalam suatu negara. Meningkatnya pendidik- dek. Berdasarkan lima kriteria informasi yang

an mengindikasikan meningkatnya pengetahu- tersedia, maka lag yang dipilih adalah lag 1

an masyarakat akan pentingnya efisiensi peng- sebagai lag optimal. Kemudian dilakukan uji

gunaan energi, kepedulian terhadap lingkung- kointegrasi untuk mengetahui apakah terjadi

an, dan sebagainya.

keseimbangan dalam jangka panjang antarva- Respons intensitas energi terhadap pertum- riabel. Hasil pengujian menunjukkan terdapat buhan penduduk adalah positif. Meningkatnya satu kointegrasi, jadi dalam studi ini digunakan jumlah penduduk akan meningkatkan permin- analisis VECM. taan terhadap energi sehingga konsumsi dan

Analisis impulse response (IRF) dilakukan intensitas energi juga meningkat. Respons in- untuk mengetahui pengaruh perubahan sua-

tensitas energi terhadap guncangan harga ener- tu variabel endogen terhadap variabel endogen

gi memiliki respons yang negatif sesuai yang yang lain. Pengurutan variabel didasarkan pa-

dihipotesiskan sebelumnya. Meningkatnya har-

da faktorisasi cholesky. Variabel yang memili-

ga energi menyebabkan turunnya permintaan

Gambar 8: Respons Intensitas Energi terhadap Shock Pendapatan per kapita, Harga Energi, Pertumbuhan Penduduk dan Impor Energi

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

dan konsumsi energi. Respons intensitas ener- anggaran belanja pemerintah pusat sebesar gi terhadap impor energi adalah positif. Me-

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24