Penerapan Kearifan lokal Dalam Pengelola
Penerapan Kearifan lokal
Dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan
Di Sulawesi Selatan
(‘Patorani’)
I.
Latar belakang
“Konsep Nusantara” yang diluncurkan pada Deklarasi Djuanda pada
tanggal 13 Desember 1957, menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah
yang terdiri dari daratan dan lautan sebagai sebuah kesatuan,Dalam
Konvensi hukum laut Persatuan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) tahun 1982
Indonesia juga mendapatkan pengakuan yang menunjukkan bahwa wilayah
lautan lebih dominan dibandingkan dengan daratan. Berdasarkan
kesepakatan internasional mengenai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE),
wilayah yang dapat dikelola oleh negara terdiri dari 75% lautan 25%
daratan. Berdasarkan hal tersebut tidak salah bila Indonesia kemudian
dijuluki sebagai “Negara Maritim” yang tentu saja konsekuensi logisnya
berimbas pada tata kelola perekonomian dan sosial kemasyarakatan yang
berbasis pada “budaya maritim/budaya bahari” (Nugroho;2010).
Negara maritim adalah negara yang memafaatkan laut secara
maksimal untuk pemenuhan kebutuhan hidup dalam berbagai aspek,
pemanfaatan kekayaan laut tersebut berupa sumber daya hayati dan sumber
daya non hayati. Indonesia di karunia kekayaan alam yang berlimpah salah
satunya adalah sumber daya alam yang terdapat di lautan. Sumber daya
alam terdiri dari sumber daya hayati berupa Ekosistem tumbuhan dan hewan
laut, serta sumber daya non hayati berupa air laut, bahan tambang dan
mineral, tinggalan budaya (arkeologi) bawah air dan sebagainya yang
kesemuanya bila dimanfaatkan secara baik dan maksimal dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.Terkait dengan pengelolaan
sumber daya alam, amanat konstitusi tertinggi dalam Undang-Undang Dasar
1
1945 Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”, ternyata menjadi ambivalensi
dan tumpang tindih antara kebijakan satu dengan yang lainnya. Arah
pembangunan yang ditujukan pada peningkatan ekonomi perkapita,
menyebabkan pemihakan oleh pihak investor melalui Negara cq pemerintah
yang menghalalkan pengeksploitasian lingkungan dan memarjinalisasikan
masyarakat lokal. Sementara masyarakat lokal sendiri mempunyai
kepentingan masalah ekonomi, mereka banyak yang menggantungkan
hidupnya pada sumberdaya alam tersebut.
Dari sekian luas wilayah laut Indonesia, salah satu yang strategis dan
memiliki potensi besar adalah wilayah perairan Sulawesi Selatan. Yaitu
wilayah yang meliputi selat Makassar dan perairan teluk Bone. Perairan
yang memisahkan antara Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan, dan
menjadi penghubung antara laut Sulawesi di bagian Utara dengan laut Jawa
di bagian Selatan. Sedangkan perairan teluk Bone adalah perairan di bagian
timur provinsi Sulawesi Selatan yang memisahkan provinsi ini dengan
provinsi Sulawesi Tenggara.
Provinsi Sulawesi Selatan adalah salah satu provinsi di indonesia
yang secara geografis merupakan daerah bebasis kelautan yang sangat besar.
Provinsi sulawesi selatan memiliki garis pantai sepanjang 1.937 Km dan
luas perairan laut 266.877 Km2. Itu dikarenakan Dari 24 kabupaten yang
terdapat di provinsi sulawesi selatan, 2/3 diantaranya adalah kabupaten yang
memiliki wilayah pesisir dan laut. Selain itu provinsi sulawesi selatan
memiliki 263 pulau-pulau kecil yang tersebar di beberapa kabupaten
diantaranya makassar, kabupaten selayar, kabupaten bone, dan kabupaten
pangkaje’ne dan kepulauan (pangkep).
2
Gambar; peta Indonesia (koleksi Andriany)
Semetara itu dengan keadaan geografis seperti itu, propvinsi
sulawesi selatan memiliki potensi sumber daya laut yang sangat besar pula.
Adapun beberapa potensi yang dimiliki berdasarkan kategori diatas adalah:
1)
sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) seperti
perikanan, rumput laut, hutan bakau, tambak udang, dan sebagainya
2)
sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources) seperti
sumberdaya minyak dan gas bumi serta tambang pasir besi dan
3)
jasa lingkungan, seperti pariwisata bahari, industri kapal, dan
transportasi (wordpres.com).
Secara umum ada dua jenis teknologi menurut sumbernya yang telah
dikembangkan oleh masyarakat nelayan Sulawesi Selatan sampai dewasa
ini. Pertama adalah yang dilahirkan oleh pengetahuan asli (local
knowledge) dengan penggunaan keterangan yang bersifat partisipatif,
assosiatif, analogik dan orientatif yang seringkali berkaitan erat dengan
3
kepercayaan lama yang bersifat imanensi dan bersumber dari dalam. Kedua,
yang dilahirkan oleh ilmu pengetahuan atau dengan penggunaan
keterangan-keterangan ilmiah yang kebanyakan bersumber dari luar, masuk
kedalam masyarakat melalui kontak dengan dunia luar.
Dewasa ini, ketika pembangunan berorintasi pada pertumbuhan
ekonomi, laut dengan sumber dayanya ikut tereksploitasi, tanpa
memperhitungkan kerusakan lingkungan dan kelestarian sumber dayanya,
kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan kemudian membawa
perubahan-perubahan pada sumber daya alam. Perubahan-perubahan
tersebut membawa pengaruh pada kualitas lingkungan hidup. Oleh karena
itu dalam pengelolaan wilayah laut harus memperhatikan kaidah-kaidah
ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang
merugikan bagi kelangsungan pengelolaan itu sendiri, agar dicapai suatu
lingkungan hidup yang berkelanjutan.Oleh karena itu, pengelolaan sumber
daya kelautan perlu memperhatikan metode tradisional yang arif dengan
menggunakan teknologi lokal yang ramah lingkungan, karena kearifan lokal
yang dimiliki oleh masyarakat dapat mengatasi kerusakan lingkungan yang
berdampak pada pendapatan masyarakat nelayan.
Kearifan lokal berasal dari dua kata yang berbeda yakni kearifan dan
lokal.Kearifan (wisdom) bermakna pengetahuan yang berkenaan dengan
penyelesaian suatu masalah untuk mewujudkan keseimbangan lingkungan
dan keserasian sosial. Sedangkan istilah lokal berarti setempat (kawasan
provinsi, kabupaten, atau desa).
Kearifan lokal merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan dan
berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan
kebutuhan mereka (Said dalam Masruddin; 2010). Selanjutnya Tang dalam
ibid, mengemukakan bahwa kearifan lokal dipahami sebagai pengetahuan
budaya (cultural Knowledge) yang mencakup nilai-nilai, norma-norma dan
kepercayaan-kepercayaan yang melandasi perilaku budaya (cultural
4
behavior)masyarakat nelayan dalam pengelolaan lingkungan laut secara
berkelanjutan atau lestari.
Berdasarkan kedua konsep tersebut, kearifan lokal adalah
pengetahuan budaya yang mencakup nilai-nlai, norma, dan kepercayaan
yang melandasi perilaku masyarakat dan dijadikan sebagai pandangan hidup
dalam pengambilan keputusan untuk menjaga kelestarian sumber daya alam
dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kearifan lokal berbeda antara daerah
yang satu dengan daerah yang lainnya karena bersumber dari pengetahuan
budaya masyarakat lokal yang dipraktekkan secara turun temurun. Menurut
Mitchell, dkk (op.cit) bahwa sistem pengetahuan lokal berakar dari sistem
pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Kearifan lingkungan,
merupakan pengetahuan lokal (folk knowledge) yang diperoleh dari
pengalaman adaptasi secara aktif pada lingkungannya yang diwariskan
secara turun temurun serta terbukti efektif dalam melestarikan fungsi
lingkungan dan mencipatakan keserasian sosial. Kearifan lokal masyarakat
pada umumnya dilakukanuntuk menjaga kelestarian lingkungan berdasarkan
pengetahuan masyarakat lokal.
Orang Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis, Makassar dan
Mandar, sejak dahulu kala dikenal sebagai pelaut dengan etos bahari yang
tinggi. Adanya kebudayaan maritim di daerah ini tidak hanya dikenal
dengan adanya folklore atau kisah tentang pelayaran di kalangan suku Bugis
dan Makassar, atau adanya kepandaian orang-orang Makassar membuat
perahu layar sejak dahulu kala, tetapi juga oleh adanya lontarak-lontarak
tentang pelayaran dan terutama dengan adanya Undang-undang Hukum
Pelayaran dan Perdagangan yang dibuat oleh salah seorang pujangga Bugis,
Amanna Gappa pada abad ke XVII atau sekitar tahun 1667 (Mattulada,
1997). Dengan catatan sejarah tersebut, terungkap jelas bahwa masyarakat
nelayan suku Bugis-Makassar telah mengembangkan kemampuannya
menjadi masyarakat nelayan yang tertata pada suatu sistem sosial
kemasyarakatan dengan orientasi kebudayaan kepada laut sebagai sarana
5
dalam rangka aktivitas kehidupan mereka maupun dalam kegiatan
pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan laut yang tergambar dalam
kehidupan masyarakatnya yang mampu mengembangkan kemampuan
dalam bidang pelayaran penangkapan ikan, teknologi pelayaran, usaha
perdagangan dan aturan-aturan hukum dibidang perdagangan. Dalam
perkembangannya, peranan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
modern dibidang perikanan telah memberi kesempatan yang luas pada
masyarakat pesisir dalam mengeksploitasi sumberdaya hayati laut
semaksimal mungkin. Namun manfaat teknologi yang terperagakan tersebut
mulai pula dipertanyakan akibat merosotnya kualitas dan kuantitas
sumberdaya hayati perairan serta kualitas lingkungan (keraf, 2002). Oleh
karena itu, dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) maka pendekatan secara non-struktural, melalui peranan
pengetahuan lokal penduduk asli dalam mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya hayati perairan yang sarat dengan nilai konservasi memiliki
peranan penting dan strategis. Sementara pendekatan secara struktural,
pemerintah harus mengenal dan mendorong sepenuhnya identitas, budaya
dan keinginan masyarakat dalam melestarikan aktifitas-aktifitas secara
tradisional yang tetap dipertahankan yang mendukung pemanfaatan
sumberdaya hayati perairan secara berkelanjutan (Arief;2008).
II.
Pembahasan (analisis fakta dan Teori)
Pemanfaatan lingkungan alam laut sesungguhnya merupakan
serangkaian upaya yang dilakukan oleh individu maupun kelompok
masyarakat dengan mendayagunakan sejumlah potensi yang terkandung di
dalam lingkungan laut tersebut untuk memenuhi sejumlah kebutuhan
manusia. Dalam upaya pemanfaatan lingkungan laut itu, teknologi sebagai
wujud dan fungsi kebudayaan memegang peranan yang sangat penting.
Bahkan Steward (1955) dalam (Manner, 1999) mengklasifikasikan sifat
hubungan antara kelompok manusia yang secara spesifik berbeda dengan
kelompok masyarakat lain disebabkan oleh pola pemanfaatan teknologi,
6
disamping perbedaan sistem ekonomi dan sistem kepercayaan (religion)
yang dianut (Naping; 2013). .
Kegiatan pengelolaan sumber daya laut yang tidak ramah lingkungan
dengan menggunakan teknologi modern seperti bom, potassium sianida
untuk meracun dan membius ikan dapat merusak ekosistem perairan/laut.
Kerusakan tersebutakan ditanggungoleh masyarakat secara umum bahkan
sampai generasi selanjutnya dengan biaya yang tidak sedikit. Penangkapan
ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom) ini dilakukan oleh
masyarakat karena memberikan keuntingan ekonomi dalam jangka waktu
yang cepat tetapi dapat membahayakan masyarakat yang menggunakan alat
tangkap tersebut, selai itu juga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan
dan ekosistem laut dalam jangka waktu yang panjang seperti kerusakan
terumbu karang, ikan-ikan mati dalam jumlah yang sangat besar bahkan
yang tidak layak untuk dikonsumsi, rusaknya rumput laut dan berbagai biota
laut lainnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selain
berdampak positif juga berdampak negatif yang imbasnya tentu
kembalikepada masyarakat itu sendiri.
Selain faktor ekonomi, salah satu faktor pendorong berubahnya
perilaku manusia (nelayan) dalam mengeksploitasi laut adalah perubahan
sosial, perubahan sosial yang dimaksud adalah perubahan perilaku,
hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu (Farley
dalam Szthompka dalam Masruddin; 2010) Perubahan sosial sebagai
perubahan penting dari faktor sosial dan yang dimaksud dengan struktur
sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial“ Perubahan sosial
berbagai ekspresi mengenai struktur seperti norma, nilai dan fenomena
kultural (ibid). Dalam konteks tersebut kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat mempengaruhi perubahan norma dan nilai-nilai budaya
yang telah lama berkembang dalam kehidupan masyarakat khususnya yang
berprofesi sebagai nelayan. Penggunaan teknologi dimulai dari yang
tradisional sampai yang modern.
7
Adanya perubahan sosial pada masyarakat nelayan dalam teknologi
modern yang tidak ramah lingkungan mulai mengikis nilai-nilai dan norma
yang sudah lama berkembang di masyarakat sehingga lambat laun kearifan
lokal masyarakat akan hilang karena penggunaan teknologi modern dalam
pengelolaan sumber daya laut memberikan keuntungan secara ekonomis
dalam jangka waktu yang relative cepat tetapi menimbulkan kerusakan
dalam jangka waktu yang sangat lama. Faktor perubahan sosial yang
kemudian berimbas dalam degradasi lingkungan khususnya ekologi maritim
(walaupun tidak langsung) adalah :
1. Pertambahan Penduduk. Penduduk yang bertambah terus setiap
tahun menghendaki penyediaan sejumlah kebutuhan atas “pangan,
sandang dan papan (rumah)”. Sementara itu ruang muka bumi
tempat manusia mencari nafkah tidak bertambah luas. Perluasan
lapangan usaha itulah yangpada gilirannya menyebabkan eksploitasi
lingkungan secara berlebihan dan atau secara liar
2. Kebijakan Pemerintah. Bebe-rapa kebijakan pemerintah yang
berdampak negatif terhadap Lingkungan Hidup.
3. Dampak Industrialisasi.
4. Meningkatnya Penduduk Miskin dan Pengang-guran. Bertambah
banyaknya penduduk miskin dan pengangguran sebagai akibat dari
pemulihan krisis ekonomi yang hingga kini belum berhasil serta
adanya kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak populis seperti
penghilangan subsidi untuk sebagian kebutuhan pokok rakyat,
pening-katan tarif BMM, listrik, telepon dan lain-lain, merupakan
faktor pemicu sekaligus pemacu perusakan lingkungan oleh penduduk miskin di pedesaan.
8
5. Lemahnya Penegakan Hukum. Sudah banyak peraturan perundangan
yang telah dibuat berkenaan dengan pengelolaan lingkungan dan
khususnya hutan, namun im-plementasinya di lapangan seakan-akan
tidak tampak, karena memang faktanya apa yang dilakukan tidak
sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. Lemah dan tidak jalannya
sangsi atas pelanggaran dalam setiap peraturan yang ada
memberikan peluang untuk terjadinya pelanggaran. Di pihak lain
disinyalir adanya aparat penegak hukum yang terlibat dalam
sindikat/mafia perkayuan dan pertambangan telah mele-mahkan
proses peradilan atas para penjahat lingkungan, sehingga
mengesankan peradilan masalah lingkungan seperti sandiwara
belaka. Namun di atas itu semua lemahnya penegakan hukum
sebagai akibat rendah-nya komitmen dan kredibilitas moral aparat
penegak hukum merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap
semakin ma-raknya perusakan hutan/lingkungan.
6. Kesadaran Masyarakat yang Rendah. Kesadaran sebagian besar
warga masyarakat yang rendah terhadap pentingnya pelestarian
lingkungan/hutan merupakan satu hal yang menyebabkan
ketidakpedulian masyarakat atas degradasi lingkungan yang semakin
intensif. Rendahnya kesadaran masyarakat ini disebabkan mereka
tidak memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup yang
memadai. Oleh karena itu, kini sudah saatnya pengetahuan tentang
lingkungan hidup dikembangkan sedemikian rupa dan menjadi salah
satu mata pelajaran di sekolah umum mulai dari tingkat SD. Hal ini
dipandang penting, karena kurangnya pengetahuan masyarakat
atasfungsi dan manfaat lingkungan hidup telah menyebabkan pula
rendahnya disiplin masyarakat dalam memperlakukan lingkungan
sesuai peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah iptek
lingkungan hidup.
9
7. Pencemaran Lingkungan. Pencemaran lingkungan baik pencemaran
air, tanah maupun udara(Esaunggul.ac.id).
Masyarakat dengan pengetahuan dan kearifan lokal telah ada di
dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah sam-pai sekarang ini, kearifan tersebut merupakan perilaku positif
manusia dalam berhu-bungan dengan alam dan lingkungan seki-tarnya yang
dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang
atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah dalam suatu
komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya,
perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan
akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, budaya lokal atau
budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah,
yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di
daerah itu.
Contoh kearifan lokal yang diterapkan oleh masyarakt bahari di
Sulawesi Selatan adalah Patorani. Nelayan pattorani merupakan salah satu
komunitas nelayan di Sulawesi Selatan yang kondisi realitasnya sampai saat
ini mengelola, memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hayati laut
berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya melalui pegunaan
teknologi cara (soft ware technology) maupun teknologi alat (hard ware
technology) yang bersifat partisipatif, assosiatif, analogik dan orientif yang
melembaga serta dipertahankan melalui pengendalian sosial (social control)
oleh setiap warganya. Patorani adalah penangkapan ikan terbang, alat
penangkapan patorani terbuat dari anyaman bambu berbentuk silinder
dengan panjang 100 cm – 125 cm dengan diameter berkisar 50 cm – 60 cm,
nelayan yang mengoperasikan penangkapan bubu/pakkaja, alat
penangkapan bubu/pakkaja, terbuat dari bambu yang berfungsi sebagai
pelampung dan tempat mengikat alat penangkap/daun kelapa,alat ini
dipasang dengan cara meletakkan di permukaan laut dan dibiarkan
10
terapung-apung (ammanyu-manyu). Jumlah pakkaja yang dipergunakan oleh
kelompok pattorani sekitar 10-20 buah. Dan setiap pakkaja diletakkan
sepotong bambu yang panjangnya kurang lebih 50 cm yang diikat bersama
”gosse” (sejenis rumput laut yang baunya disenangi ikan terbang). Pada
bagian dalam pakkaja diikatkan sebuah balla-balla, yaitu tempat bertelurnya
ikan terbang, dengan ukuran 2 x 1 meter, selanjutnya, pada bagian luar
pakkaja dikaitkan daun kelapa bersama tandanya..
Sistem pengetahuan tentang pelayaran nelayan pattorani meliputi
unsur-unsur pengetahuan seperti :
a) Pengetahuan tentang berlayar : adanya kepercayaan terhadap roh-roh
yang mendiami satu tempat atau lokasi penagkapan. Untuk menghindari
murkanya maka kesemuanya harus diselamati melalui upacara selamatan
membuang daun sirih dan tembakau
b) Pengetahuan tentang musim dan hari pemberangkatan : pa’torani
berangkat pada bulan Maret atau bulan April (Musim Timur). Mereka
percaya, bahwa kesalahan dalam penentuan waktu pemberangkatan dapat
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan bahkan dapat menimbulkan hal
yang fatal. Oleh karena itu pencatatan waktu pemberangkatan harus
diperhitungkan secara cermat dan teliti mungkin. Penentuan hari baik dan
hari jelek berdasarkan pada tradisi dan kebiasaan yang sudah lama
dipertahankan atau berdasarkan pengalaman yang sudah berlangsung kali
teruji kebenarannya, seperti hari pemberangkatan sedapat mungkin hari
selasa, rabu, sabtu dan minggu. Selain hari itu merupakan pantangan untuk
dijadikan sebagai hari pemberangkatan.
c) Pengetahuan tentang awan : kondisi awan juga menjadi pedoman bagi
nelayan torani dalam melakukan aktifitasnya, seperti; bila awan tidak
bergerak tetap pada posisinya berarti teduh dan angin tidak bertiup kencang,
bila awan bergerak selalu berubah-ubah bentuk berarti akan ada angin
11
kencang atau badai, bila arah awan gelapnya dari barat akan menuju timur
berarti akan datang hujan atau badai.
d) Pengetahuan tentang bintang (mamau) dan Bulan : tanda lain yang sering
juga diperhatikan adalah dengan melihat bintang, seperti; bintang porongporong akan terjadi musim barat, bintang tanra tellu akan terjadi hujan lebat,
bintang wettuing menjadi pedoman berlayar, bintang mano dan sebagainya.
e) Pengetahuan tentang petir dan kilat : petir dan kilat dimaknai suatu
kekuatan bertujuan untuk mengusir/mengejar setan dilaut yang mengganggu
nelayan beraktivitas. Oleh karena itu, setiap ada petir maupun kilat nelayannelayan pattorani menghetikan aktivitas sejenak lalu membaca matera doa
keselamatan.
f) Pengetahuan tentang gugusan karang (sapa) : pengetahuan mengenai
keberadaan gugusan karang (sapa) melalui tanda-tanda seperti; adanya
pantulan sinar matahari yang nampak kelihatan bercahaya, keadaan ombak
disekitar karang tenang dan tidak
berarus, adanya gerombolan burung yang terbang rendah dengan menukik
dan berkicau.
g) Pantangan (pamali) yang berkaitan dalam aktivitas pelayaran : hal-hal
yang harus dihindari selama aktivitas pelayaran menurut kepercayaan
nelayan adalah; tidak boleh bersiul-siul karena akan mengundang datangnya
angin,
dilarang
mencelupkan
alat-alat
dapur
dilaut
karena
dapat
mendatangkan badai, Dilarang menghalangi atau menegur jalan seorang
nelayan apabila hendak menuju ke perahu, dialarang memanggil orang yang
berada didaratan apabila sedang berada diatas perahu, dilarang takabbur atau
bicara hal-hal yang tidak sopan karena mengundang datangnya ikan hiu,
dilarang tidur tengkurap atau tiarap selama berlayar.
12
Gambar; alat penangkapan patorani (Arief; 2008)
Cara pengoperaisan unit penangkapan bubu/pakkaja adalah perahu
dihanyutkan dengan tidak menggunakan mesin. Pengontrolan dilakukan 2 -3
kali selama 24 jam dengan cara menarik tali secara bersamaan, bambu
terangkat naik dan terlihat alat penangkapan bubu/pakkaja. Jika didalam
perangkap terlihat adanya telur ikan terbang/ikan terbang, maka tali yang
lainnya ditarik terus sampai alat perangkap dapat naik ke perahu.
Sistem pengetahuan lokal nelayan pattorani sarat dengan pola-pola
yang mempraktekkan sistem pengetahuan tradisional yang bersumber dari
pengalaman yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bertahannya sistem
pengetahuan lokal disebabkan oleh kuatnya kepercayaan bagi nelayan
pattorani yang memandang nilai keseimbangan mikro kosmos terhadap
makro kosmos sesuatu yang fundamental dalam interaksi manusia dan alam
fisik. Pengetahuan lokal nelayan pattorani secara konsisten dapat menunjang
kelestarian sumberdaya hayati perairan.
Penerapan patorani umumnya dijumpai pada komunitas nelayan di
Kabupaten Takalar. Selain itu ada pula beberapa daerah yang menerapkan
cara penangkapan ikan yang modelnya hampir sama yaitu bubu, biasanya
untuk menangkap ikan batu karang, hal ini biasanya dijumpai di komunitas
nelayan di Palopo dan di daerah kajang.
13
III.
Penutup
Pengelolaan sumber daya kelautan yang mempraktekkan kearifan
lokal, sistem kepercayaan masyarakat baik bersumber dari ajaran agama
maupun tradisi leluhur menjadi sumber nilai dalam pengelolaan sumber
daya kelautan yang memungkinkan sumber daya kelautan tetap lestari.
Selain itu penegakan aturan (norma) sebagai suatu kelembagaan
lokal dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan merupakan
respon positif dari masyarakat dan pemerintah dalam rangka pengendalian
kegiatan eksplorasi kelautan yang cenderung merusak ekosistem sehingga
dapat memberikan manfaat jangka panjang dan berkelanjutan bagi
masyarakat yang menggantungkan kehidupannya pada sumber daya
kelautan.
Secara ekologi fungsi kearifan lokal dapat mengkonservasi sumber
daya kelautan seperti terjaganya terumbu karang. Secara ekonomis patorani
menguntungkan secara ekonomis karena tidak membutuhkan biaya besar
dalam pembuatannya dan bahan yang ramah lingkungan. Perilaku
penerapan kearifan lokal yang mengandung nilai dan norma yang mendasari
perilaku budaya masyarakat dalam berinteraksi dengan alam dan sesama
masyarakat melalui penangkapan ikan untuk kepentingan sosial akan
berjalan sehingga kelembagaan adat dan aparatur negara yang mengontrol
sumber daya alam khususnya kelautan akan tetap berjalan.
IV.
Daftar Pustaka
1. Arief. Andi Adri. (2008). Studi MengenaiPengetahuan Lokal
Nelayan Patorani di Sulawesi
Selatan. https//.google.com/
14
2. Masruddin. (2010). Penerapan Kearifan lokal Dalam
Pengelolaan Sumber daya
3.
Perikanan Wilayah OUU
Naping. Hamka,. (2012). Teknologi Dan Pemanfaatan
Lingkungan Laut Bagi Nelayan
Bagang Rambo Di Sulawesi
Selatan. http://unhas.ac.id/2012
4. Nugroho. Irawan Djoko,. (2010). Majapahit, peradaban
Maritim. Ketika Nusantara Menjadi
Pengendali Pelabuhan Dunia.
5.
Kapalsulsel.wordpress,com
6. WWW.esaunggul.ac.id/
15
Dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan
Di Sulawesi Selatan
(‘Patorani’)
I.
Latar belakang
“Konsep Nusantara” yang diluncurkan pada Deklarasi Djuanda pada
tanggal 13 Desember 1957, menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah
yang terdiri dari daratan dan lautan sebagai sebuah kesatuan,Dalam
Konvensi hukum laut Persatuan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) tahun 1982
Indonesia juga mendapatkan pengakuan yang menunjukkan bahwa wilayah
lautan lebih dominan dibandingkan dengan daratan. Berdasarkan
kesepakatan internasional mengenai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE),
wilayah yang dapat dikelola oleh negara terdiri dari 75% lautan 25%
daratan. Berdasarkan hal tersebut tidak salah bila Indonesia kemudian
dijuluki sebagai “Negara Maritim” yang tentu saja konsekuensi logisnya
berimbas pada tata kelola perekonomian dan sosial kemasyarakatan yang
berbasis pada “budaya maritim/budaya bahari” (Nugroho;2010).
Negara maritim adalah negara yang memafaatkan laut secara
maksimal untuk pemenuhan kebutuhan hidup dalam berbagai aspek,
pemanfaatan kekayaan laut tersebut berupa sumber daya hayati dan sumber
daya non hayati. Indonesia di karunia kekayaan alam yang berlimpah salah
satunya adalah sumber daya alam yang terdapat di lautan. Sumber daya
alam terdiri dari sumber daya hayati berupa Ekosistem tumbuhan dan hewan
laut, serta sumber daya non hayati berupa air laut, bahan tambang dan
mineral, tinggalan budaya (arkeologi) bawah air dan sebagainya yang
kesemuanya bila dimanfaatkan secara baik dan maksimal dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.Terkait dengan pengelolaan
sumber daya alam, amanat konstitusi tertinggi dalam Undang-Undang Dasar
1
1945 Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”, ternyata menjadi ambivalensi
dan tumpang tindih antara kebijakan satu dengan yang lainnya. Arah
pembangunan yang ditujukan pada peningkatan ekonomi perkapita,
menyebabkan pemihakan oleh pihak investor melalui Negara cq pemerintah
yang menghalalkan pengeksploitasian lingkungan dan memarjinalisasikan
masyarakat lokal. Sementara masyarakat lokal sendiri mempunyai
kepentingan masalah ekonomi, mereka banyak yang menggantungkan
hidupnya pada sumberdaya alam tersebut.
Dari sekian luas wilayah laut Indonesia, salah satu yang strategis dan
memiliki potensi besar adalah wilayah perairan Sulawesi Selatan. Yaitu
wilayah yang meliputi selat Makassar dan perairan teluk Bone. Perairan
yang memisahkan antara Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan, dan
menjadi penghubung antara laut Sulawesi di bagian Utara dengan laut Jawa
di bagian Selatan. Sedangkan perairan teluk Bone adalah perairan di bagian
timur provinsi Sulawesi Selatan yang memisahkan provinsi ini dengan
provinsi Sulawesi Tenggara.
Provinsi Sulawesi Selatan adalah salah satu provinsi di indonesia
yang secara geografis merupakan daerah bebasis kelautan yang sangat besar.
Provinsi sulawesi selatan memiliki garis pantai sepanjang 1.937 Km dan
luas perairan laut 266.877 Km2. Itu dikarenakan Dari 24 kabupaten yang
terdapat di provinsi sulawesi selatan, 2/3 diantaranya adalah kabupaten yang
memiliki wilayah pesisir dan laut. Selain itu provinsi sulawesi selatan
memiliki 263 pulau-pulau kecil yang tersebar di beberapa kabupaten
diantaranya makassar, kabupaten selayar, kabupaten bone, dan kabupaten
pangkaje’ne dan kepulauan (pangkep).
2
Gambar; peta Indonesia (koleksi Andriany)
Semetara itu dengan keadaan geografis seperti itu, propvinsi
sulawesi selatan memiliki potensi sumber daya laut yang sangat besar pula.
Adapun beberapa potensi yang dimiliki berdasarkan kategori diatas adalah:
1)
sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) seperti
perikanan, rumput laut, hutan bakau, tambak udang, dan sebagainya
2)
sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources) seperti
sumberdaya minyak dan gas bumi serta tambang pasir besi dan
3)
jasa lingkungan, seperti pariwisata bahari, industri kapal, dan
transportasi (wordpres.com).
Secara umum ada dua jenis teknologi menurut sumbernya yang telah
dikembangkan oleh masyarakat nelayan Sulawesi Selatan sampai dewasa
ini. Pertama adalah yang dilahirkan oleh pengetahuan asli (local
knowledge) dengan penggunaan keterangan yang bersifat partisipatif,
assosiatif, analogik dan orientatif yang seringkali berkaitan erat dengan
3
kepercayaan lama yang bersifat imanensi dan bersumber dari dalam. Kedua,
yang dilahirkan oleh ilmu pengetahuan atau dengan penggunaan
keterangan-keterangan ilmiah yang kebanyakan bersumber dari luar, masuk
kedalam masyarakat melalui kontak dengan dunia luar.
Dewasa ini, ketika pembangunan berorintasi pada pertumbuhan
ekonomi, laut dengan sumber dayanya ikut tereksploitasi, tanpa
memperhitungkan kerusakan lingkungan dan kelestarian sumber dayanya,
kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan kemudian membawa
perubahan-perubahan pada sumber daya alam. Perubahan-perubahan
tersebut membawa pengaruh pada kualitas lingkungan hidup. Oleh karena
itu dalam pengelolaan wilayah laut harus memperhatikan kaidah-kaidah
ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang
merugikan bagi kelangsungan pengelolaan itu sendiri, agar dicapai suatu
lingkungan hidup yang berkelanjutan.Oleh karena itu, pengelolaan sumber
daya kelautan perlu memperhatikan metode tradisional yang arif dengan
menggunakan teknologi lokal yang ramah lingkungan, karena kearifan lokal
yang dimiliki oleh masyarakat dapat mengatasi kerusakan lingkungan yang
berdampak pada pendapatan masyarakat nelayan.
Kearifan lokal berasal dari dua kata yang berbeda yakni kearifan dan
lokal.Kearifan (wisdom) bermakna pengetahuan yang berkenaan dengan
penyelesaian suatu masalah untuk mewujudkan keseimbangan lingkungan
dan keserasian sosial. Sedangkan istilah lokal berarti setempat (kawasan
provinsi, kabupaten, atau desa).
Kearifan lokal merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan dan
berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan
kebutuhan mereka (Said dalam Masruddin; 2010). Selanjutnya Tang dalam
ibid, mengemukakan bahwa kearifan lokal dipahami sebagai pengetahuan
budaya (cultural Knowledge) yang mencakup nilai-nilai, norma-norma dan
kepercayaan-kepercayaan yang melandasi perilaku budaya (cultural
4
behavior)masyarakat nelayan dalam pengelolaan lingkungan laut secara
berkelanjutan atau lestari.
Berdasarkan kedua konsep tersebut, kearifan lokal adalah
pengetahuan budaya yang mencakup nilai-nlai, norma, dan kepercayaan
yang melandasi perilaku masyarakat dan dijadikan sebagai pandangan hidup
dalam pengambilan keputusan untuk menjaga kelestarian sumber daya alam
dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kearifan lokal berbeda antara daerah
yang satu dengan daerah yang lainnya karena bersumber dari pengetahuan
budaya masyarakat lokal yang dipraktekkan secara turun temurun. Menurut
Mitchell, dkk (op.cit) bahwa sistem pengetahuan lokal berakar dari sistem
pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Kearifan lingkungan,
merupakan pengetahuan lokal (folk knowledge) yang diperoleh dari
pengalaman adaptasi secara aktif pada lingkungannya yang diwariskan
secara turun temurun serta terbukti efektif dalam melestarikan fungsi
lingkungan dan mencipatakan keserasian sosial. Kearifan lokal masyarakat
pada umumnya dilakukanuntuk menjaga kelestarian lingkungan berdasarkan
pengetahuan masyarakat lokal.
Orang Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis, Makassar dan
Mandar, sejak dahulu kala dikenal sebagai pelaut dengan etos bahari yang
tinggi. Adanya kebudayaan maritim di daerah ini tidak hanya dikenal
dengan adanya folklore atau kisah tentang pelayaran di kalangan suku Bugis
dan Makassar, atau adanya kepandaian orang-orang Makassar membuat
perahu layar sejak dahulu kala, tetapi juga oleh adanya lontarak-lontarak
tentang pelayaran dan terutama dengan adanya Undang-undang Hukum
Pelayaran dan Perdagangan yang dibuat oleh salah seorang pujangga Bugis,
Amanna Gappa pada abad ke XVII atau sekitar tahun 1667 (Mattulada,
1997). Dengan catatan sejarah tersebut, terungkap jelas bahwa masyarakat
nelayan suku Bugis-Makassar telah mengembangkan kemampuannya
menjadi masyarakat nelayan yang tertata pada suatu sistem sosial
kemasyarakatan dengan orientasi kebudayaan kepada laut sebagai sarana
5
dalam rangka aktivitas kehidupan mereka maupun dalam kegiatan
pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan laut yang tergambar dalam
kehidupan masyarakatnya yang mampu mengembangkan kemampuan
dalam bidang pelayaran penangkapan ikan, teknologi pelayaran, usaha
perdagangan dan aturan-aturan hukum dibidang perdagangan. Dalam
perkembangannya, peranan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
modern dibidang perikanan telah memberi kesempatan yang luas pada
masyarakat pesisir dalam mengeksploitasi sumberdaya hayati laut
semaksimal mungkin. Namun manfaat teknologi yang terperagakan tersebut
mulai pula dipertanyakan akibat merosotnya kualitas dan kuantitas
sumberdaya hayati perairan serta kualitas lingkungan (keraf, 2002). Oleh
karena itu, dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) maka pendekatan secara non-struktural, melalui peranan
pengetahuan lokal penduduk asli dalam mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya hayati perairan yang sarat dengan nilai konservasi memiliki
peranan penting dan strategis. Sementara pendekatan secara struktural,
pemerintah harus mengenal dan mendorong sepenuhnya identitas, budaya
dan keinginan masyarakat dalam melestarikan aktifitas-aktifitas secara
tradisional yang tetap dipertahankan yang mendukung pemanfaatan
sumberdaya hayati perairan secara berkelanjutan (Arief;2008).
II.
Pembahasan (analisis fakta dan Teori)
Pemanfaatan lingkungan alam laut sesungguhnya merupakan
serangkaian upaya yang dilakukan oleh individu maupun kelompok
masyarakat dengan mendayagunakan sejumlah potensi yang terkandung di
dalam lingkungan laut tersebut untuk memenuhi sejumlah kebutuhan
manusia. Dalam upaya pemanfaatan lingkungan laut itu, teknologi sebagai
wujud dan fungsi kebudayaan memegang peranan yang sangat penting.
Bahkan Steward (1955) dalam (Manner, 1999) mengklasifikasikan sifat
hubungan antara kelompok manusia yang secara spesifik berbeda dengan
kelompok masyarakat lain disebabkan oleh pola pemanfaatan teknologi,
6
disamping perbedaan sistem ekonomi dan sistem kepercayaan (religion)
yang dianut (Naping; 2013). .
Kegiatan pengelolaan sumber daya laut yang tidak ramah lingkungan
dengan menggunakan teknologi modern seperti bom, potassium sianida
untuk meracun dan membius ikan dapat merusak ekosistem perairan/laut.
Kerusakan tersebutakan ditanggungoleh masyarakat secara umum bahkan
sampai generasi selanjutnya dengan biaya yang tidak sedikit. Penangkapan
ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom) ini dilakukan oleh
masyarakat karena memberikan keuntingan ekonomi dalam jangka waktu
yang cepat tetapi dapat membahayakan masyarakat yang menggunakan alat
tangkap tersebut, selai itu juga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan
dan ekosistem laut dalam jangka waktu yang panjang seperti kerusakan
terumbu karang, ikan-ikan mati dalam jumlah yang sangat besar bahkan
yang tidak layak untuk dikonsumsi, rusaknya rumput laut dan berbagai biota
laut lainnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selain
berdampak positif juga berdampak negatif yang imbasnya tentu
kembalikepada masyarakat itu sendiri.
Selain faktor ekonomi, salah satu faktor pendorong berubahnya
perilaku manusia (nelayan) dalam mengeksploitasi laut adalah perubahan
sosial, perubahan sosial yang dimaksud adalah perubahan perilaku,
hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu (Farley
dalam Szthompka dalam Masruddin; 2010) Perubahan sosial sebagai
perubahan penting dari faktor sosial dan yang dimaksud dengan struktur
sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial“ Perubahan sosial
berbagai ekspresi mengenai struktur seperti norma, nilai dan fenomena
kultural (ibid). Dalam konteks tersebut kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat mempengaruhi perubahan norma dan nilai-nilai budaya
yang telah lama berkembang dalam kehidupan masyarakat khususnya yang
berprofesi sebagai nelayan. Penggunaan teknologi dimulai dari yang
tradisional sampai yang modern.
7
Adanya perubahan sosial pada masyarakat nelayan dalam teknologi
modern yang tidak ramah lingkungan mulai mengikis nilai-nilai dan norma
yang sudah lama berkembang di masyarakat sehingga lambat laun kearifan
lokal masyarakat akan hilang karena penggunaan teknologi modern dalam
pengelolaan sumber daya laut memberikan keuntungan secara ekonomis
dalam jangka waktu yang relative cepat tetapi menimbulkan kerusakan
dalam jangka waktu yang sangat lama. Faktor perubahan sosial yang
kemudian berimbas dalam degradasi lingkungan khususnya ekologi maritim
(walaupun tidak langsung) adalah :
1. Pertambahan Penduduk. Penduduk yang bertambah terus setiap
tahun menghendaki penyediaan sejumlah kebutuhan atas “pangan,
sandang dan papan (rumah)”. Sementara itu ruang muka bumi
tempat manusia mencari nafkah tidak bertambah luas. Perluasan
lapangan usaha itulah yangpada gilirannya menyebabkan eksploitasi
lingkungan secara berlebihan dan atau secara liar
2. Kebijakan Pemerintah. Bebe-rapa kebijakan pemerintah yang
berdampak negatif terhadap Lingkungan Hidup.
3. Dampak Industrialisasi.
4. Meningkatnya Penduduk Miskin dan Pengang-guran. Bertambah
banyaknya penduduk miskin dan pengangguran sebagai akibat dari
pemulihan krisis ekonomi yang hingga kini belum berhasil serta
adanya kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak populis seperti
penghilangan subsidi untuk sebagian kebutuhan pokok rakyat,
pening-katan tarif BMM, listrik, telepon dan lain-lain, merupakan
faktor pemicu sekaligus pemacu perusakan lingkungan oleh penduduk miskin di pedesaan.
8
5. Lemahnya Penegakan Hukum. Sudah banyak peraturan perundangan
yang telah dibuat berkenaan dengan pengelolaan lingkungan dan
khususnya hutan, namun im-plementasinya di lapangan seakan-akan
tidak tampak, karena memang faktanya apa yang dilakukan tidak
sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. Lemah dan tidak jalannya
sangsi atas pelanggaran dalam setiap peraturan yang ada
memberikan peluang untuk terjadinya pelanggaran. Di pihak lain
disinyalir adanya aparat penegak hukum yang terlibat dalam
sindikat/mafia perkayuan dan pertambangan telah mele-mahkan
proses peradilan atas para penjahat lingkungan, sehingga
mengesankan peradilan masalah lingkungan seperti sandiwara
belaka. Namun di atas itu semua lemahnya penegakan hukum
sebagai akibat rendah-nya komitmen dan kredibilitas moral aparat
penegak hukum merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap
semakin ma-raknya perusakan hutan/lingkungan.
6. Kesadaran Masyarakat yang Rendah. Kesadaran sebagian besar
warga masyarakat yang rendah terhadap pentingnya pelestarian
lingkungan/hutan merupakan satu hal yang menyebabkan
ketidakpedulian masyarakat atas degradasi lingkungan yang semakin
intensif. Rendahnya kesadaran masyarakat ini disebabkan mereka
tidak memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup yang
memadai. Oleh karena itu, kini sudah saatnya pengetahuan tentang
lingkungan hidup dikembangkan sedemikian rupa dan menjadi salah
satu mata pelajaran di sekolah umum mulai dari tingkat SD. Hal ini
dipandang penting, karena kurangnya pengetahuan masyarakat
atasfungsi dan manfaat lingkungan hidup telah menyebabkan pula
rendahnya disiplin masyarakat dalam memperlakukan lingkungan
sesuai peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah iptek
lingkungan hidup.
9
7. Pencemaran Lingkungan. Pencemaran lingkungan baik pencemaran
air, tanah maupun udara(Esaunggul.ac.id).
Masyarakat dengan pengetahuan dan kearifan lokal telah ada di
dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah sam-pai sekarang ini, kearifan tersebut merupakan perilaku positif
manusia dalam berhu-bungan dengan alam dan lingkungan seki-tarnya yang
dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang
atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah dalam suatu
komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya,
perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan
akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, budaya lokal atau
budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah,
yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di
daerah itu.
Contoh kearifan lokal yang diterapkan oleh masyarakt bahari di
Sulawesi Selatan adalah Patorani. Nelayan pattorani merupakan salah satu
komunitas nelayan di Sulawesi Selatan yang kondisi realitasnya sampai saat
ini mengelola, memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hayati laut
berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya melalui pegunaan
teknologi cara (soft ware technology) maupun teknologi alat (hard ware
technology) yang bersifat partisipatif, assosiatif, analogik dan orientif yang
melembaga serta dipertahankan melalui pengendalian sosial (social control)
oleh setiap warganya. Patorani adalah penangkapan ikan terbang, alat
penangkapan patorani terbuat dari anyaman bambu berbentuk silinder
dengan panjang 100 cm – 125 cm dengan diameter berkisar 50 cm – 60 cm,
nelayan yang mengoperasikan penangkapan bubu/pakkaja, alat
penangkapan bubu/pakkaja, terbuat dari bambu yang berfungsi sebagai
pelampung dan tempat mengikat alat penangkap/daun kelapa,alat ini
dipasang dengan cara meletakkan di permukaan laut dan dibiarkan
10
terapung-apung (ammanyu-manyu). Jumlah pakkaja yang dipergunakan oleh
kelompok pattorani sekitar 10-20 buah. Dan setiap pakkaja diletakkan
sepotong bambu yang panjangnya kurang lebih 50 cm yang diikat bersama
”gosse” (sejenis rumput laut yang baunya disenangi ikan terbang). Pada
bagian dalam pakkaja diikatkan sebuah balla-balla, yaitu tempat bertelurnya
ikan terbang, dengan ukuran 2 x 1 meter, selanjutnya, pada bagian luar
pakkaja dikaitkan daun kelapa bersama tandanya..
Sistem pengetahuan tentang pelayaran nelayan pattorani meliputi
unsur-unsur pengetahuan seperti :
a) Pengetahuan tentang berlayar : adanya kepercayaan terhadap roh-roh
yang mendiami satu tempat atau lokasi penagkapan. Untuk menghindari
murkanya maka kesemuanya harus diselamati melalui upacara selamatan
membuang daun sirih dan tembakau
b) Pengetahuan tentang musim dan hari pemberangkatan : pa’torani
berangkat pada bulan Maret atau bulan April (Musim Timur). Mereka
percaya, bahwa kesalahan dalam penentuan waktu pemberangkatan dapat
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan bahkan dapat menimbulkan hal
yang fatal. Oleh karena itu pencatatan waktu pemberangkatan harus
diperhitungkan secara cermat dan teliti mungkin. Penentuan hari baik dan
hari jelek berdasarkan pada tradisi dan kebiasaan yang sudah lama
dipertahankan atau berdasarkan pengalaman yang sudah berlangsung kali
teruji kebenarannya, seperti hari pemberangkatan sedapat mungkin hari
selasa, rabu, sabtu dan minggu. Selain hari itu merupakan pantangan untuk
dijadikan sebagai hari pemberangkatan.
c) Pengetahuan tentang awan : kondisi awan juga menjadi pedoman bagi
nelayan torani dalam melakukan aktifitasnya, seperti; bila awan tidak
bergerak tetap pada posisinya berarti teduh dan angin tidak bertiup kencang,
bila awan bergerak selalu berubah-ubah bentuk berarti akan ada angin
11
kencang atau badai, bila arah awan gelapnya dari barat akan menuju timur
berarti akan datang hujan atau badai.
d) Pengetahuan tentang bintang (mamau) dan Bulan : tanda lain yang sering
juga diperhatikan adalah dengan melihat bintang, seperti; bintang porongporong akan terjadi musim barat, bintang tanra tellu akan terjadi hujan lebat,
bintang wettuing menjadi pedoman berlayar, bintang mano dan sebagainya.
e) Pengetahuan tentang petir dan kilat : petir dan kilat dimaknai suatu
kekuatan bertujuan untuk mengusir/mengejar setan dilaut yang mengganggu
nelayan beraktivitas. Oleh karena itu, setiap ada petir maupun kilat nelayannelayan pattorani menghetikan aktivitas sejenak lalu membaca matera doa
keselamatan.
f) Pengetahuan tentang gugusan karang (sapa) : pengetahuan mengenai
keberadaan gugusan karang (sapa) melalui tanda-tanda seperti; adanya
pantulan sinar matahari yang nampak kelihatan bercahaya, keadaan ombak
disekitar karang tenang dan tidak
berarus, adanya gerombolan burung yang terbang rendah dengan menukik
dan berkicau.
g) Pantangan (pamali) yang berkaitan dalam aktivitas pelayaran : hal-hal
yang harus dihindari selama aktivitas pelayaran menurut kepercayaan
nelayan adalah; tidak boleh bersiul-siul karena akan mengundang datangnya
angin,
dilarang
mencelupkan
alat-alat
dapur
dilaut
karena
dapat
mendatangkan badai, Dilarang menghalangi atau menegur jalan seorang
nelayan apabila hendak menuju ke perahu, dialarang memanggil orang yang
berada didaratan apabila sedang berada diatas perahu, dilarang takabbur atau
bicara hal-hal yang tidak sopan karena mengundang datangnya ikan hiu,
dilarang tidur tengkurap atau tiarap selama berlayar.
12
Gambar; alat penangkapan patorani (Arief; 2008)
Cara pengoperaisan unit penangkapan bubu/pakkaja adalah perahu
dihanyutkan dengan tidak menggunakan mesin. Pengontrolan dilakukan 2 -3
kali selama 24 jam dengan cara menarik tali secara bersamaan, bambu
terangkat naik dan terlihat alat penangkapan bubu/pakkaja. Jika didalam
perangkap terlihat adanya telur ikan terbang/ikan terbang, maka tali yang
lainnya ditarik terus sampai alat perangkap dapat naik ke perahu.
Sistem pengetahuan lokal nelayan pattorani sarat dengan pola-pola
yang mempraktekkan sistem pengetahuan tradisional yang bersumber dari
pengalaman yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bertahannya sistem
pengetahuan lokal disebabkan oleh kuatnya kepercayaan bagi nelayan
pattorani yang memandang nilai keseimbangan mikro kosmos terhadap
makro kosmos sesuatu yang fundamental dalam interaksi manusia dan alam
fisik. Pengetahuan lokal nelayan pattorani secara konsisten dapat menunjang
kelestarian sumberdaya hayati perairan.
Penerapan patorani umumnya dijumpai pada komunitas nelayan di
Kabupaten Takalar. Selain itu ada pula beberapa daerah yang menerapkan
cara penangkapan ikan yang modelnya hampir sama yaitu bubu, biasanya
untuk menangkap ikan batu karang, hal ini biasanya dijumpai di komunitas
nelayan di Palopo dan di daerah kajang.
13
III.
Penutup
Pengelolaan sumber daya kelautan yang mempraktekkan kearifan
lokal, sistem kepercayaan masyarakat baik bersumber dari ajaran agama
maupun tradisi leluhur menjadi sumber nilai dalam pengelolaan sumber
daya kelautan yang memungkinkan sumber daya kelautan tetap lestari.
Selain itu penegakan aturan (norma) sebagai suatu kelembagaan
lokal dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan merupakan
respon positif dari masyarakat dan pemerintah dalam rangka pengendalian
kegiatan eksplorasi kelautan yang cenderung merusak ekosistem sehingga
dapat memberikan manfaat jangka panjang dan berkelanjutan bagi
masyarakat yang menggantungkan kehidupannya pada sumber daya
kelautan.
Secara ekologi fungsi kearifan lokal dapat mengkonservasi sumber
daya kelautan seperti terjaganya terumbu karang. Secara ekonomis patorani
menguntungkan secara ekonomis karena tidak membutuhkan biaya besar
dalam pembuatannya dan bahan yang ramah lingkungan. Perilaku
penerapan kearifan lokal yang mengandung nilai dan norma yang mendasari
perilaku budaya masyarakat dalam berinteraksi dengan alam dan sesama
masyarakat melalui penangkapan ikan untuk kepentingan sosial akan
berjalan sehingga kelembagaan adat dan aparatur negara yang mengontrol
sumber daya alam khususnya kelautan akan tetap berjalan.
IV.
Daftar Pustaka
1. Arief. Andi Adri. (2008). Studi MengenaiPengetahuan Lokal
Nelayan Patorani di Sulawesi
Selatan. https//.google.com/
14
2. Masruddin. (2010). Penerapan Kearifan lokal Dalam
Pengelolaan Sumber daya
3.
Perikanan Wilayah OUU
Naping. Hamka,. (2012). Teknologi Dan Pemanfaatan
Lingkungan Laut Bagi Nelayan
Bagang Rambo Di Sulawesi
Selatan. http://unhas.ac.id/2012
4. Nugroho. Irawan Djoko,. (2010). Majapahit, peradaban
Maritim. Ketika Nusantara Menjadi
Pengendali Pelabuhan Dunia.
5.
Kapalsulsel.wordpress,com
6. WWW.esaunggul.ac.id/
15