PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN UNTUK PETA

PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN
UNTUK PETANI WANITA: KENYA

RISKA RINJAYA

PENDAHULUAN
• Peningkatan produktivitas
dan pendapatan petani
wanita merupakan strategi
kunci dalam menurunkan
tingkat kemiskinan,
termasuk di negara-negara
Afrika sub-Sahara.
• Selama beberapa dekade, program pengembangan di
negara berkembang bertujuan memberi pelatihan
kepada kaum pria, meski kaum wanita yang
melakukan pekerjaan di bidang pertanian.
• Kaum wanita bertanggung jawab atas 2/3 produksi
makanan pokok dan peran mereka bertambah seiring
meningkatnya migrasi kaum pria ke daerah
perkotaan.


 Apabila kaum pria dan wanita sama-sama
bekerja di bidang pertanian, biasanya kaum
pria memberikan teknik pekerjaan mereka
kepada istrinya secara tickle across yang lebih
sedikit daripada yang telah dipelajarinya.
 Hambatan selanjutnya adalah budaya, agama,
dan pemisahan serta pengecualian peran
wanita di berbagai bidang. Menurut Bank
Dunia, agen pengembangan di Afrika
menganggap kaum wanita sebagai istri petani
daripada seorang petani.
 Keberhasilan wanita menggeluti sektor
pertanian di Afrika sub-Sahara merupakan
proses alami menuju pembangunan dan
penurunan tingkat kemiskinan.

Lima isu pokok pembangunan daerah perdesaan dan
pembangunan wanita:
1. Modal manusia

2. Teknologi yang tepat
3. Land reform serta desain agraria
4. Kredit
5. Persyaratan kerja
Implikasinya, kaum wanita harus mendapat prioritas
lebih dalam pendidikan teknis terkait teknologi dan
akses pada kredit keuangan.
Ditambah dengan berlakunya hukum diminishing return
terhadap pelatihan kepada kaum pria dan bukti bahwa
teori tickle across jarang diterapkan di Afrika subSahara.

Menteri Pertanian Kenya menerapkan program National
Extension System (NES) pada tahun 1982 yang awalnya ditujukan
untuk kaum pria, sedangkan kaum wanita dianjurkan mengikuti
program home economic branch. Riset yang dilakukan oleh
Institute of Development Studies di Nairobi mengonfirmasikan
bahwa pengembangan sistem pertanian ini lebih banyak
dinikmati oleh kaum pria daripada wanita.
Pada tahun 1983, sistem Training and Visit (T&V) dibentuk.
Berdasarkan pada penyediaan pesan-pesan teknis kepada petani

kontak terpilih yang lahan pertaniannya akan dikunjungi secara
berkala. Oleh karena itu dipilih petani yang mampu, rajin
mengikuti informasi baru, dan disegani di lingkungannya.
Jangkauan T&V lebih difokuskan pada self-help group petanipetani tradisional yang menyediakan fleksibilitas lebih besar,
difusi lebih baik, dan pemberdayaan kelompok.

 Awalnya, pesan difokuskan pada prosedur
penawaran prospek keuntungan produktivitas yang
signifikan tapi tidak memerlukan pengeluaran tunai.
 Setelah petani melihat hasilnya dan mempercayai
program T&V baru dikenalkan model lain yang
memerlukan dana lebih banyak.
 Tahap selanjutnya adalah aktivitas yang memerlukan
pembelian barang modal.
Program T&V harus berjalan dua arah, agen T&V
harus mengumpulkan informasi dan saran mengenai
masalah yang muncul.
Pada tahun 1997, Vischa Bindlish dan Robert Evenson
melaporkan bahwa manajemen T&V telah
meningkatkan efektivitas program pengembangan dan

mendukung pertumbuhan pertanian serta
menghasilkan pengembalian atas investasi yang tinggi.

Kelemahan program T&V:
1. Sistem T&V belum berperan secara penuh dalam
permasalahan lingkungan.
2. Christina Gladwin dan Della McMillan berpendapat
bahwa banyak yang masih harus dikerjakan.
3. Sistem ini masih terlalu sedikit mengalami kemajuan
dalam pemberian kredit kepada kaum wanita.
4. Organisasi sukarela swasta belum mampu mengisi
kekurangan pemberian kredit pada kaum wanita.
United Nations Population Fund melaporkan bahwa
kaum wanita saat ini merupakan partisipan utama
program National Soil Conservation di Kenya. Sejak
pertengahan tahun 1980, kaum wanita mengolah
360.000 petak pertanian kecil atau sekitar 40% dari
total pertanian nasional.

Women in Development Service dari United Nations

Food and Agriculture Organization (FAO) melaporkan
bahwa di Kenya setelah dilakukan kampanye informasi
nasional yang membidik kaum wanita menurut National
Extension Project, hasil panen padi meningkat 28%,
kacang-kacangan 80%, dan kentang 84%. Selain itu,,
hasil panen antara kaum wanita pedesaan akan
meningkat sebesar 24% bila semua petani wanita
tamat SD.
Menurut standar internasional, program pengembangan
sistem pertanian di Kenya masih rendah. Pada tahun
1999 dilakukan audit dan ada hal yang harus dilakukan
seperti efektivitas biaya rendah dan penyediaan biaya
pemulihan yang lebih besar. Namun hal tersebut
kenyataannya merupakan penyebab menurunnya

Peran wanita yang semakin kuat di Kenya ditunjukkan
oleh pembentukan Green Belt Movement (GBM) pada
tahun 1977 oleh National Council of Women atas
prakarsa Wangari Maathai.
Tujuan GBM adalah menghentikan perluasan lahan

tandus dengan mendorong penanaman pohon dan
konservasi air serta tanah di daerah pedesaan.
GBM berhasil mempromosikan pembangunan
berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan dalam
proyek-proyek paralel. Meski program ini dijalankan
oleh swasta dan LSM, namun benih disediakan oleh
pemerintah secara murah dan sukarelawan GBM
mendapat penyuluhan dari departemen kehutanan.