Chapter II Pengaruh 2,4D dan Frekuensi Subkultur Terhadap Perubahan Genetik Kultur Apikal Bud Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) pada Media MS
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Botani Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Kelapa sawit merupakan tanaman asli Afrika Barat yang selanjutnya menyebar ke
Amerika Selatan dan sampai ke semenanjung Indo-Malaysia. Kelapa sawit
pertama kali diperkenalkan ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada
tahun 1848, tepatnya di kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai dikenal
di Indonesia dan dibudidayakan secara komersil dalam bentuk perusahaan
perkebunan pada tahun 1911. Pada mulanya hanya berkembang di Sumatera Utara
dan Riau yang kemudian berkembang di seluruh Indonesia (Hartley, 1977).
Kelapa sawit merupakan tanaman menyerbuk silang sehingga di alam
akan dihasilkan keturunan heterozigot heterogen. Tipe pembungaan tanaman
kelapa sawit adalah berumah satu dengan bunga betina dan bunga jantan ada
dalam satu tanaman, tetapi berbeda tandan bunga. Bunga akan tumbuh pada setiap
ketiak pelepah daun setiap tanaman dapat menghasilkan bunga jantan atau bunga
betina saja dan masing-masing mempunyai polinasi yang berbeda-beda. Hal ini
menyebabkan terjadinya penyerbukan silang (Lubis, 1992).
Buah kelapa sawit tersusun dalam satu tandan yang merupakan buah batu
dan terdiri atas kulit buah, daging buah, cangkang dan inti. Minyak sawit
diekstrak dari bagian kulit buah dan daging buah yang disebut perikarp sebanyak
20%-27% sedangkan bagian inti hanya mengandung minyak 4-6%. Varietas
tanaman kelapa sawit cukup banyak dan dapat diklasifikasikan berdasarkan
berbagai hal, antara lain tipe buah, bentuk luar, tebal cangkang dan warna buah
(Pahan, 2006).
Pertumbuhan dan produktivitas kelapa sawit dipengaruhi oleh banyak
faktor, baik faktor dari luar maupun faktor dalam tanaman kelapa sawit itu sendiri,
antara lain jenis atau varietas tanaman. Sedangkan faktor luar adalah faktor
lingkungan, antara lain iklim dan tanah, dan teknik budidaya yang dipakai. Dalam
4
Universitas Sumatera Utara
5
menunjang pertumbuhan dan proses produksi kelapa sawit, faktor tersebut saling
terkait dan mempengaruhi satu sama lain (Mangoensoekarjo, 2003).
Faktor iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi
tandan kelapa sawit. Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika
basah disekitar lintang utara-selatan 12 derajat pada ketinggian 0-500 m dpl.
Beberapa unsur iklim yang penting dan saling mempengaruhi adalah curah hujan,
sinar matahari, suhu, kelembapan udara dan angin. Curah hujan optimum yang
diperlukan kelapa sawit rata-rata 2.000-2.500 mm/tahun dengan distribusi merata
sepanjang tahun tanpa bulan kering yang berkepanjangan. Sinar matahari yang
cukup untuk memproduksi karbohidrat dan memacu pembentukan bunga dan
buah. Oleh sebab itu, intensitas, kualitas, dan lama penyinaran sangat
berpengaruh. Lama penyinaran optimum yang diperlukan tanaman kelapa sawit
antara 5-7 jam/hari. Selain curah hujan dan sinar matahari yang cukup, tanaman
kelapa sawit memerlukan suhu optimum sekitar 24-28o C (Fauzi, 2004).
2.2. Teknik Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan suatu teknik untuk mengisolasi bagian-bagian tanaman
seperti protoplasma, sel, jaringan dan organ dalam media aseptik yang kaya
nutrisi serta zat pengatur tumbuh yang tepat sehingga bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi kembali menjadi tanaman yang lengkap
(Gunawan, 1995).
Kemampuan internal sel untuk berdiferensiasi disebut totipotensi, ke arah
mana sel-sel tanaman dapat diinduksi untuk mengekspresikan totipotensinya,
sangat tergantung pada sejumlah variabel termasuk faktor eksplan, komposisi
medium, zat pengatur tumbuh, dan stimulus fisik, seperti cahaya, suhu dan
kelembaban. Sebagai konsekuensinya, keberhasilan teknik kultur jaringan sangat
tergantung pada optimasi variabel-variabel tersebut. Aplikasi kultur jaringan
tanaman bermanfaat terutama dalam perbanyakan klon atau perbanyakan massal
dari tanaman yang sifat genetiknya identik satu sama lain (Zulkarnain, 2009).
Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan (tissue culture) bertujuan
untuk mendapatkan tanaman dalam jumlah banyak dan seragam pertumbuhannya.
Seiring dengan permintaan bibit yang semakin meningkat, cara perbanyakan
5
Universitas Sumatera Utara
6
secara konvensional menggunakan setek, anakan, dan cabut pucuk tidak lagi bisa
mencukupi. Satu-satunya cara perbanyakan yang mampu memenuhi kebutuhan
permintaan bibit dalam jumlah besar hanya kultur jaringan. Eksplan yang
digunakan adalah jaringan yang masih muda. Jaringan muda ini tersusun atas selsel yang masih muda dan aktif membelah sehingga diharapkan bisa menghasilkan
tanaman yang sempurna (Purwanto, 2008).
2.3. Eksplan
Bahan tanaman yang dikulturkan lazim disebut eksplan. Dalam perbanyakan
tanaman secara kultur jaringan, eksplan merupakan faktor penting penentu
keberhasilan. Umur fisiologis, umur ontogenetik, ukuran eksplan, serta bagian
tanaman yang diambil merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam
memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan awal kultur. Umumnya,
bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang
sedang tumbuh aktif (Yusnita, 2004).
Penggunaan eksplan dari jaringan muda lebih sering berhasil karena selselnya aktif membelah, dinding sel tipis karena belum terjadi penebalan lignin dan
selulosa yang menyebabkan kekakuan pada sel menyatakan bagian tanaman yang
dapat digunakan sebagai eksplan adalah: pucuk muda, batang muda, daun muda,
apical bud, hipokotil (Gunawan, 1995). Menurut Wattimena & Mattjik (1992)
perbedaan dari bagian tanaman yang digunakan akan menghasilkan pola
pertumbuhan yang berbeda. Eksplan tanaman yang masih muda menghasilkan
tunas maupun akar adventif.
Pada hampir semua tanaman, di bagian yang juvenil, keadaan sel-selnya
masih aktif membelah dan merupakan bagian tanaman yang paling baik untuk
eksplan. Untuk mendapatkan jaringan yang muda atau juvenil dapat dilakukan
pembiakan secara aseptik atau bagian tanaman yang masih muda yang berasal dari
bibit, kecambah atau tunas adventif (Herawan, 2004).
Seleksi bahan eksplan yang cocok merupakan faktor penting yang
menentukan keberhasilan program kultur jaringan. Untuk memulai sistem kultur
jaringan yang baru dengan spesies atau kultivar tanaman yang baru pula,
6
Universitas Sumatera Utara
7
seringkali menghendaki analisis yang sistematis terhadap potensi eksplan dari
setiap tipe jaringan (Hartman et al., 1990).
2.4. Media Kultur
Menurut George & Sherrington (1984), kultur jaringan memiliki beberapa aspek
yang berpengaruh terhadap keberhasilan perbanyakan tanaman salah satu
diantaranya adalah komposisi media. Media tersebut harus berisi unsur hara
makro, mikro, gula, protein, vitamin dan zat pengatur tumbuh. Berbagai
komposisi media telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman yang dikulturkan beberapa diantaranya yaitu: Knudson C
(1946), Nitsch & Nitsch (1956), Murashige dan Skoog-MS (1962), B5 (1968),
Schenk dan Hildebrandt-SH (1972) serta Woody Plant Medium-WPM (Lloyd &
McCown, 1981).
Media tanam adalah senyawa–senyawa anorganik maupun senyawasenyawa organik yang dipergunakan untuk pertumbuhan eksplan dan plantlet
Berhasilnya kultur jaringan banyak ditentukan oleh media tanam. Campuran
media yang satu belum tentu cocok untuk semua jenis tanaman (Soeryowinoto,
1996). Pemilihan komposisi media tergantung pada jenis tanaman yang
dikulturkan (Pierik, 1987). Saat ini terdapat banyak formulasi media yang biasa
digunakan untuk kultur in vitro. Sampai saat ini, regenerasi kelapa sawit melalui
embriogenesis dilakukan dengan menggunakan
media Murashige dan Skoog
(MS) (Tahardi, 1988). Untuk membuat media dengan jumlah zat seperti yang
ditentukan, diperlukan penimbangan dan penakaran bahan secara tepat.
Ketidaktepatan ukuran dapat menyebabkan terjadinya proses yang dikehendaki.
Pada umumnya untuk suatu keperluan, media yang telah dirumuskan dapat diubah
atau diperbarui, dengan mengganti zat-zat tertentu, atau menambah zat lain
(Zulkarnain, 2009).
Gula merupakan komponen penting dalam media kultur untuk
pertumbuhan dan perkembangan in vitro, sebab gula merupakan sumber energi
yang biasa didapat tanaman dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Sukrosa
merupakan sumber karbon terbaik diikuti glukosa, maltosa dan rafinosa,
sedangkan fruktosa, galaktosa, manosa dan laktosa kurang efektif digunakan
7
Universitas Sumatera Utara
8
(George & Sherington, 1984). Agar sebagai bahan pemadat merupakan
polisakarida
yang diperoleh dari beberapa spesies alga. Penggunaan alga
berfungsi untuk menyangga eksplan sehingga kontak antara eksplan dengan
media dengan udara terpenuhi. Umumnya konsentrasi agar yang ditambahkan
dalam media kultur berkisar antara 0,6%-1% (Gunawan, 1995).
2.5. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Zat pengatur tumbuh (ZPT) pada tanaman adalah senyawa organik yang bukan
hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote), menghambat dan
merubah proses fisiologi tumbuhan (Abidin, 1995). Auksin dan sitokinin adalah
ZPT yang sering ditambahkan dalam media tanam karena mempengaruhi
pertumbuhan dan organogenesis dalam kultur jaringan dan organ. Menurut
Wattimena & Mattjik (1992) auksin sintetik perlu ditambahkan karena auksin
yang terbentuk secara alami sering tidak mencukupi untuk pertumbuhan jaringan
eksplan. Auksin mempunyai peranan terhadap pertumbuhan sel, dominansi apikal
dan pembentukan kalus. Kisaran konsentrasi auksin yang biasa digunakan adalah
0,01-10 ppm.
ZPT memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan
kultur. Faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan ZPT antara lain:
jenis ZPT yang digunakan, konsentrasi ZPT, urutan penggunaan, dan periode
masa induksi dalam kultur tertentu (Gunawan, 1992). Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam pemberian ZPT diantaranya ZPT harus sampai ke dalam
jaringan target, ZPT harus cukup lama dalam jaringan target, ZPT yang diberikan
akan berinteraksi dengan fitohormon dan tanaman atau bagian tanaman yang sehat
akan memberikan respon yang baik terhadap ZPT yang diberikan (Wattimena,
1991).
2.5.1. Asam 2,4-Dikhlorophenoxy Asetat (2,4-D)
Dalam kultur jaringan, auksin digunakan untuk inisiasi kalus dan morfogenesis,
namun dalam penggunaannya dengan sitokinin harus ada interaksi sinergis yakni
adanya keseimbangan konsentrasi zat pengatur tumbuh dalam media. Bila
konsentrasi auksin lebih rendah dari sitokinin maka akan terbentuk akar,
8
Universitas Sumatera Utara
9
sebaliknya bila konsentrasi auksin lebih rendah dari sitokinin maka akan terbentuk
tunas, apabila konsentrasi auksin sama dengan konsentrasi sitokinin maka akan
terbentuk kalus (Zulkarnain, 2009).
Jenis ZPT 2,4-D adalah golongan auksin yang sangat baik digunakan
untuk memacu pertumbuhan kalus. Zat ini merupakan salah satu golongan auksin
buatan yang memiliki sifat seperti auksin alami yang berperan sebagai aspek
perkembangan tumbuhan. Auksin 2,4-D merupakan golongan auksin sintetis yang
mempunyai sifat lebih stabil dari IAA, karena tidak mudah terurai oleh enzim
yang dikeluarkan oleh sel atau oleh pemanasan pada proses sterilisasi (George &
Sherrington, 1984).
Auksin 2,4-D lebih efektif dibandingkan dengan auksin yang lain untuk
meningkatkan perkembangan dan proliferasi
mendorong
pertumbuhan
embrio
somatik
kultur embriogenik. 2,4-D
dari
embriogenesis.
Kultur
embriogenesis dipindahkan ke medium 2,4-D yang lebih rendah. Dengan 2,4-D
yang lebih rendah sehingga memblok ekspresi gen-gen yang dibutuhkan untuk
perubahan bentuk ketahap hati (Zimmerman, 1993). Kebutuhan 2,4-D atau ZPT
lain untuk inisisasi embriogenesis somatik sangat besar ditentukan oleh tahap
perkembangan dari jaringan eksplan. Kalus embrio somatik umumnya dibentuk
pada medium yang mengandung auksin. Salah satu mekanisme auksin dapat
mengatur embriogenesis melalui asidifikasi pada sitoplasma atau dinding sel
(Kutschera, 1994).
2.6. Variasi Somaklonal
Teknik kultur jaringan tidak selalu menghasilkan tanaman yang identik dengan
induknya, karena selama proses kultur jaringan dapat terjadi variasi fenotip baik
yang disebabkan oleh perubahan genetik maupun epigenetik yang disebut variasi
somaklonal. Keragaman genetik tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan
dapat diturunkan pada tanaman hasil regenerasi (Larkin & Scowcroft, 1991).
Variasi somaklonal merupakan keragaman genetik yang terjadi secara spontan
hasil regenerasi sel somatik pada kultur in vitro. Variasi somaklonal dapat juga
berasal dari keragaman genetik eksplan yang disebabkan adanya sel-sel bermutasi
9
Universitas Sumatera Utara
10
maupun adanya sel-sel polisomik dari jaringan tertentu (Wattimena & Mattjik,
1992).
Dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan sering terjadi mutasi
gen, sehingga menyebabkan terjadinya variasi genetik atau variasi somaklonal
(Wattimena, 1991). Terjadinya variasi genetik dapat disebabkan oleh komposisi
zat kimia yang terkandung dalam media kultur, sumber eksplan, lamanya masa
pengkulturan atau lingkungan terkendali yang mengalami gangguan dan lain
sebagainya. Variasi somaklonal merupakan variasi genetik yang terjadi dari
tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan (Larkin & Sowcroft, 1991).
Dengan demikian untuk mendeteksi variasi somaklonal yang terjadi perlu
dilakukan evaluasi stabilitas genetik dengan menggunakan penanda genetik,
diantaranya adalah Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD).
Variasi somaklonal kemungkinan disebabkan oleh ketidakteraturan mitotik
yang berperan dalam terjadinya ketidakstabilan kromosom amplifikasi atau delesi
gen. Keunggulan teknik kultur jaringan adalah mampu menghasilkan bibit secara
massal dalam waktu yang relatif singkat dan produktivitasnya lebih tinggi (Van
Harten, 1998).
Propagasi tanaman melalui teknik kultur jaringan tidak selalu sederhana,
karena ketidakstabilan genetik atau kromosom dari kultur sel atau jaringan
umumnya terjadi pada banyak spesies. Berbagai perubahan genetik dapat terjadi
selama dalam proses kultur, namun demikian ketidakstabilan genetik dalam kultur
dapat terkendali dan hal tersebut memungkinkan untuk mendapatkan variasi
somaklonal (Nasir, 2002)
2.7. Random Amplified Polymorfic DNA (RAPD)
Random Amplified Polymorfic DNA (RAPD) adalah suatu metode analisis DNA
genom melalui pola pita DNA yang dihasilkan setelah genom tersebut
diamplifikasi menggunakan suatu primer tunggal. Metode ini didasarkan pada
reaksi berantai polymerase atau dikenal denga PCR (Polymerase Chain Reaction)
dengan menggunakan polymerase DNA yang tahan terhadap suhu tinggi. RAPD
merupakan salah satu metode penanda genetik yang mempunyai beberapa
kelebihan, yaitu: (1) DNA yang digunakan lebih sedikit, (2) tidak menggunakan
10
Universitas Sumatera Utara
11
radioisotope, (3) hasilnya diperoleh dalam waktu yang relatif singkat karena tidak
memerlukan banyak tahapan, dan (4) primer acak yang digunakan untuk analisis
genom semua organisme tanpa mengetahui latar belakang genomnya (Mc
Clelland et al., 1994).
Teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dimulai oleh
Williams et al. (1990) setelah berhasil mengamplifikasi DNA dan bersifat
polimorfik dengan menggunakan primer acak serta bantuan enzim Taq (Themus
aquaticus) DNA polimerase. Teknik ini sudah banyak digunakan para peneliti di
dunia karena mempunyai beberapa keuntungan. Menurut William et al. (1990),
metode RAPD lebih sederhana, cepat, DNA yang diperlukan sedikit dan tidak
perlu terlalu murni, tidak menggunakan radioisotop maupun DNA probe, cocok
digunakan untuk sampel banyak, dan cukup menggunakan satu primer.
Teknik RAPD didasarkan pada penggunaan primer sekuens nukleotida
yang berubah-ubah untuk mengamplifikasi segmen genomik DNA acak melalui
pemanfaatan PCR sehingga menunjukkan polimofisme. Primer untuk analisis
RAPD mengandung 9-10 basa panjangnya. Polimorfisme yang teramati dengan
menggunakan RAPD diyakini karena adanya perubahan basa tunggal yang
mencegah perpasangan primer dengan sekuens target, delesi sisi utama, insersi
atau delesi yang memodifikasi ukuran DNA. Keuntungan dari metode ini adalah
bahwa set oligonukleotida yang sama dapat digunakan untuk berbagai spesies atau
organisme dan setelah amplifikasi selama 2-4 jam, polimorfisme ini dapat diamati
secara langsung dengan agarose normal gel elektroforesis (Nasir, 2002).
11
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Botani Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Kelapa sawit merupakan tanaman asli Afrika Barat yang selanjutnya menyebar ke
Amerika Selatan dan sampai ke semenanjung Indo-Malaysia. Kelapa sawit
pertama kali diperkenalkan ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada
tahun 1848, tepatnya di kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai dikenal
di Indonesia dan dibudidayakan secara komersil dalam bentuk perusahaan
perkebunan pada tahun 1911. Pada mulanya hanya berkembang di Sumatera Utara
dan Riau yang kemudian berkembang di seluruh Indonesia (Hartley, 1977).
Kelapa sawit merupakan tanaman menyerbuk silang sehingga di alam
akan dihasilkan keturunan heterozigot heterogen. Tipe pembungaan tanaman
kelapa sawit adalah berumah satu dengan bunga betina dan bunga jantan ada
dalam satu tanaman, tetapi berbeda tandan bunga. Bunga akan tumbuh pada setiap
ketiak pelepah daun setiap tanaman dapat menghasilkan bunga jantan atau bunga
betina saja dan masing-masing mempunyai polinasi yang berbeda-beda. Hal ini
menyebabkan terjadinya penyerbukan silang (Lubis, 1992).
Buah kelapa sawit tersusun dalam satu tandan yang merupakan buah batu
dan terdiri atas kulit buah, daging buah, cangkang dan inti. Minyak sawit
diekstrak dari bagian kulit buah dan daging buah yang disebut perikarp sebanyak
20%-27% sedangkan bagian inti hanya mengandung minyak 4-6%. Varietas
tanaman kelapa sawit cukup banyak dan dapat diklasifikasikan berdasarkan
berbagai hal, antara lain tipe buah, bentuk luar, tebal cangkang dan warna buah
(Pahan, 2006).
Pertumbuhan dan produktivitas kelapa sawit dipengaruhi oleh banyak
faktor, baik faktor dari luar maupun faktor dalam tanaman kelapa sawit itu sendiri,
antara lain jenis atau varietas tanaman. Sedangkan faktor luar adalah faktor
lingkungan, antara lain iklim dan tanah, dan teknik budidaya yang dipakai. Dalam
4
Universitas Sumatera Utara
5
menunjang pertumbuhan dan proses produksi kelapa sawit, faktor tersebut saling
terkait dan mempengaruhi satu sama lain (Mangoensoekarjo, 2003).
Faktor iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi
tandan kelapa sawit. Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika
basah disekitar lintang utara-selatan 12 derajat pada ketinggian 0-500 m dpl.
Beberapa unsur iklim yang penting dan saling mempengaruhi adalah curah hujan,
sinar matahari, suhu, kelembapan udara dan angin. Curah hujan optimum yang
diperlukan kelapa sawit rata-rata 2.000-2.500 mm/tahun dengan distribusi merata
sepanjang tahun tanpa bulan kering yang berkepanjangan. Sinar matahari yang
cukup untuk memproduksi karbohidrat dan memacu pembentukan bunga dan
buah. Oleh sebab itu, intensitas, kualitas, dan lama penyinaran sangat
berpengaruh. Lama penyinaran optimum yang diperlukan tanaman kelapa sawit
antara 5-7 jam/hari. Selain curah hujan dan sinar matahari yang cukup, tanaman
kelapa sawit memerlukan suhu optimum sekitar 24-28o C (Fauzi, 2004).
2.2. Teknik Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan suatu teknik untuk mengisolasi bagian-bagian tanaman
seperti protoplasma, sel, jaringan dan organ dalam media aseptik yang kaya
nutrisi serta zat pengatur tumbuh yang tepat sehingga bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi kembali menjadi tanaman yang lengkap
(Gunawan, 1995).
Kemampuan internal sel untuk berdiferensiasi disebut totipotensi, ke arah
mana sel-sel tanaman dapat diinduksi untuk mengekspresikan totipotensinya,
sangat tergantung pada sejumlah variabel termasuk faktor eksplan, komposisi
medium, zat pengatur tumbuh, dan stimulus fisik, seperti cahaya, suhu dan
kelembaban. Sebagai konsekuensinya, keberhasilan teknik kultur jaringan sangat
tergantung pada optimasi variabel-variabel tersebut. Aplikasi kultur jaringan
tanaman bermanfaat terutama dalam perbanyakan klon atau perbanyakan massal
dari tanaman yang sifat genetiknya identik satu sama lain (Zulkarnain, 2009).
Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan (tissue culture) bertujuan
untuk mendapatkan tanaman dalam jumlah banyak dan seragam pertumbuhannya.
Seiring dengan permintaan bibit yang semakin meningkat, cara perbanyakan
5
Universitas Sumatera Utara
6
secara konvensional menggunakan setek, anakan, dan cabut pucuk tidak lagi bisa
mencukupi. Satu-satunya cara perbanyakan yang mampu memenuhi kebutuhan
permintaan bibit dalam jumlah besar hanya kultur jaringan. Eksplan yang
digunakan adalah jaringan yang masih muda. Jaringan muda ini tersusun atas selsel yang masih muda dan aktif membelah sehingga diharapkan bisa menghasilkan
tanaman yang sempurna (Purwanto, 2008).
2.3. Eksplan
Bahan tanaman yang dikulturkan lazim disebut eksplan. Dalam perbanyakan
tanaman secara kultur jaringan, eksplan merupakan faktor penting penentu
keberhasilan. Umur fisiologis, umur ontogenetik, ukuran eksplan, serta bagian
tanaman yang diambil merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam
memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan awal kultur. Umumnya,
bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang
sedang tumbuh aktif (Yusnita, 2004).
Penggunaan eksplan dari jaringan muda lebih sering berhasil karena selselnya aktif membelah, dinding sel tipis karena belum terjadi penebalan lignin dan
selulosa yang menyebabkan kekakuan pada sel menyatakan bagian tanaman yang
dapat digunakan sebagai eksplan adalah: pucuk muda, batang muda, daun muda,
apical bud, hipokotil (Gunawan, 1995). Menurut Wattimena & Mattjik (1992)
perbedaan dari bagian tanaman yang digunakan akan menghasilkan pola
pertumbuhan yang berbeda. Eksplan tanaman yang masih muda menghasilkan
tunas maupun akar adventif.
Pada hampir semua tanaman, di bagian yang juvenil, keadaan sel-selnya
masih aktif membelah dan merupakan bagian tanaman yang paling baik untuk
eksplan. Untuk mendapatkan jaringan yang muda atau juvenil dapat dilakukan
pembiakan secara aseptik atau bagian tanaman yang masih muda yang berasal dari
bibit, kecambah atau tunas adventif (Herawan, 2004).
Seleksi bahan eksplan yang cocok merupakan faktor penting yang
menentukan keberhasilan program kultur jaringan. Untuk memulai sistem kultur
jaringan yang baru dengan spesies atau kultivar tanaman yang baru pula,
6
Universitas Sumatera Utara
7
seringkali menghendaki analisis yang sistematis terhadap potensi eksplan dari
setiap tipe jaringan (Hartman et al., 1990).
2.4. Media Kultur
Menurut George & Sherrington (1984), kultur jaringan memiliki beberapa aspek
yang berpengaruh terhadap keberhasilan perbanyakan tanaman salah satu
diantaranya adalah komposisi media. Media tersebut harus berisi unsur hara
makro, mikro, gula, protein, vitamin dan zat pengatur tumbuh. Berbagai
komposisi media telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman yang dikulturkan beberapa diantaranya yaitu: Knudson C
(1946), Nitsch & Nitsch (1956), Murashige dan Skoog-MS (1962), B5 (1968),
Schenk dan Hildebrandt-SH (1972) serta Woody Plant Medium-WPM (Lloyd &
McCown, 1981).
Media tanam adalah senyawa–senyawa anorganik maupun senyawasenyawa organik yang dipergunakan untuk pertumbuhan eksplan dan plantlet
Berhasilnya kultur jaringan banyak ditentukan oleh media tanam. Campuran
media yang satu belum tentu cocok untuk semua jenis tanaman (Soeryowinoto,
1996). Pemilihan komposisi media tergantung pada jenis tanaman yang
dikulturkan (Pierik, 1987). Saat ini terdapat banyak formulasi media yang biasa
digunakan untuk kultur in vitro. Sampai saat ini, regenerasi kelapa sawit melalui
embriogenesis dilakukan dengan menggunakan
media Murashige dan Skoog
(MS) (Tahardi, 1988). Untuk membuat media dengan jumlah zat seperti yang
ditentukan, diperlukan penimbangan dan penakaran bahan secara tepat.
Ketidaktepatan ukuran dapat menyebabkan terjadinya proses yang dikehendaki.
Pada umumnya untuk suatu keperluan, media yang telah dirumuskan dapat diubah
atau diperbarui, dengan mengganti zat-zat tertentu, atau menambah zat lain
(Zulkarnain, 2009).
Gula merupakan komponen penting dalam media kultur untuk
pertumbuhan dan perkembangan in vitro, sebab gula merupakan sumber energi
yang biasa didapat tanaman dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Sukrosa
merupakan sumber karbon terbaik diikuti glukosa, maltosa dan rafinosa,
sedangkan fruktosa, galaktosa, manosa dan laktosa kurang efektif digunakan
7
Universitas Sumatera Utara
8
(George & Sherington, 1984). Agar sebagai bahan pemadat merupakan
polisakarida
yang diperoleh dari beberapa spesies alga. Penggunaan alga
berfungsi untuk menyangga eksplan sehingga kontak antara eksplan dengan
media dengan udara terpenuhi. Umumnya konsentrasi agar yang ditambahkan
dalam media kultur berkisar antara 0,6%-1% (Gunawan, 1995).
2.5. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Zat pengatur tumbuh (ZPT) pada tanaman adalah senyawa organik yang bukan
hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote), menghambat dan
merubah proses fisiologi tumbuhan (Abidin, 1995). Auksin dan sitokinin adalah
ZPT yang sering ditambahkan dalam media tanam karena mempengaruhi
pertumbuhan dan organogenesis dalam kultur jaringan dan organ. Menurut
Wattimena & Mattjik (1992) auksin sintetik perlu ditambahkan karena auksin
yang terbentuk secara alami sering tidak mencukupi untuk pertumbuhan jaringan
eksplan. Auksin mempunyai peranan terhadap pertumbuhan sel, dominansi apikal
dan pembentukan kalus. Kisaran konsentrasi auksin yang biasa digunakan adalah
0,01-10 ppm.
ZPT memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan
kultur. Faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan ZPT antara lain:
jenis ZPT yang digunakan, konsentrasi ZPT, urutan penggunaan, dan periode
masa induksi dalam kultur tertentu (Gunawan, 1992). Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam pemberian ZPT diantaranya ZPT harus sampai ke dalam
jaringan target, ZPT harus cukup lama dalam jaringan target, ZPT yang diberikan
akan berinteraksi dengan fitohormon dan tanaman atau bagian tanaman yang sehat
akan memberikan respon yang baik terhadap ZPT yang diberikan (Wattimena,
1991).
2.5.1. Asam 2,4-Dikhlorophenoxy Asetat (2,4-D)
Dalam kultur jaringan, auksin digunakan untuk inisiasi kalus dan morfogenesis,
namun dalam penggunaannya dengan sitokinin harus ada interaksi sinergis yakni
adanya keseimbangan konsentrasi zat pengatur tumbuh dalam media. Bila
konsentrasi auksin lebih rendah dari sitokinin maka akan terbentuk akar,
8
Universitas Sumatera Utara
9
sebaliknya bila konsentrasi auksin lebih rendah dari sitokinin maka akan terbentuk
tunas, apabila konsentrasi auksin sama dengan konsentrasi sitokinin maka akan
terbentuk kalus (Zulkarnain, 2009).
Jenis ZPT 2,4-D adalah golongan auksin yang sangat baik digunakan
untuk memacu pertumbuhan kalus. Zat ini merupakan salah satu golongan auksin
buatan yang memiliki sifat seperti auksin alami yang berperan sebagai aspek
perkembangan tumbuhan. Auksin 2,4-D merupakan golongan auksin sintetis yang
mempunyai sifat lebih stabil dari IAA, karena tidak mudah terurai oleh enzim
yang dikeluarkan oleh sel atau oleh pemanasan pada proses sterilisasi (George &
Sherrington, 1984).
Auksin 2,4-D lebih efektif dibandingkan dengan auksin yang lain untuk
meningkatkan perkembangan dan proliferasi
mendorong
pertumbuhan
embrio
somatik
kultur embriogenik. 2,4-D
dari
embriogenesis.
Kultur
embriogenesis dipindahkan ke medium 2,4-D yang lebih rendah. Dengan 2,4-D
yang lebih rendah sehingga memblok ekspresi gen-gen yang dibutuhkan untuk
perubahan bentuk ketahap hati (Zimmerman, 1993). Kebutuhan 2,4-D atau ZPT
lain untuk inisisasi embriogenesis somatik sangat besar ditentukan oleh tahap
perkembangan dari jaringan eksplan. Kalus embrio somatik umumnya dibentuk
pada medium yang mengandung auksin. Salah satu mekanisme auksin dapat
mengatur embriogenesis melalui asidifikasi pada sitoplasma atau dinding sel
(Kutschera, 1994).
2.6. Variasi Somaklonal
Teknik kultur jaringan tidak selalu menghasilkan tanaman yang identik dengan
induknya, karena selama proses kultur jaringan dapat terjadi variasi fenotip baik
yang disebabkan oleh perubahan genetik maupun epigenetik yang disebut variasi
somaklonal. Keragaman genetik tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan
dapat diturunkan pada tanaman hasil regenerasi (Larkin & Scowcroft, 1991).
Variasi somaklonal merupakan keragaman genetik yang terjadi secara spontan
hasil regenerasi sel somatik pada kultur in vitro. Variasi somaklonal dapat juga
berasal dari keragaman genetik eksplan yang disebabkan adanya sel-sel bermutasi
9
Universitas Sumatera Utara
10
maupun adanya sel-sel polisomik dari jaringan tertentu (Wattimena & Mattjik,
1992).
Dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan sering terjadi mutasi
gen, sehingga menyebabkan terjadinya variasi genetik atau variasi somaklonal
(Wattimena, 1991). Terjadinya variasi genetik dapat disebabkan oleh komposisi
zat kimia yang terkandung dalam media kultur, sumber eksplan, lamanya masa
pengkulturan atau lingkungan terkendali yang mengalami gangguan dan lain
sebagainya. Variasi somaklonal merupakan variasi genetik yang terjadi dari
tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan (Larkin & Sowcroft, 1991).
Dengan demikian untuk mendeteksi variasi somaklonal yang terjadi perlu
dilakukan evaluasi stabilitas genetik dengan menggunakan penanda genetik,
diantaranya adalah Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD).
Variasi somaklonal kemungkinan disebabkan oleh ketidakteraturan mitotik
yang berperan dalam terjadinya ketidakstabilan kromosom amplifikasi atau delesi
gen. Keunggulan teknik kultur jaringan adalah mampu menghasilkan bibit secara
massal dalam waktu yang relatif singkat dan produktivitasnya lebih tinggi (Van
Harten, 1998).
Propagasi tanaman melalui teknik kultur jaringan tidak selalu sederhana,
karena ketidakstabilan genetik atau kromosom dari kultur sel atau jaringan
umumnya terjadi pada banyak spesies. Berbagai perubahan genetik dapat terjadi
selama dalam proses kultur, namun demikian ketidakstabilan genetik dalam kultur
dapat terkendali dan hal tersebut memungkinkan untuk mendapatkan variasi
somaklonal (Nasir, 2002)
2.7. Random Amplified Polymorfic DNA (RAPD)
Random Amplified Polymorfic DNA (RAPD) adalah suatu metode analisis DNA
genom melalui pola pita DNA yang dihasilkan setelah genom tersebut
diamplifikasi menggunakan suatu primer tunggal. Metode ini didasarkan pada
reaksi berantai polymerase atau dikenal denga PCR (Polymerase Chain Reaction)
dengan menggunakan polymerase DNA yang tahan terhadap suhu tinggi. RAPD
merupakan salah satu metode penanda genetik yang mempunyai beberapa
kelebihan, yaitu: (1) DNA yang digunakan lebih sedikit, (2) tidak menggunakan
10
Universitas Sumatera Utara
11
radioisotope, (3) hasilnya diperoleh dalam waktu yang relatif singkat karena tidak
memerlukan banyak tahapan, dan (4) primer acak yang digunakan untuk analisis
genom semua organisme tanpa mengetahui latar belakang genomnya (Mc
Clelland et al., 1994).
Teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dimulai oleh
Williams et al. (1990) setelah berhasil mengamplifikasi DNA dan bersifat
polimorfik dengan menggunakan primer acak serta bantuan enzim Taq (Themus
aquaticus) DNA polimerase. Teknik ini sudah banyak digunakan para peneliti di
dunia karena mempunyai beberapa keuntungan. Menurut William et al. (1990),
metode RAPD lebih sederhana, cepat, DNA yang diperlukan sedikit dan tidak
perlu terlalu murni, tidak menggunakan radioisotop maupun DNA probe, cocok
digunakan untuk sampel banyak, dan cukup menggunakan satu primer.
Teknik RAPD didasarkan pada penggunaan primer sekuens nukleotida
yang berubah-ubah untuk mengamplifikasi segmen genomik DNA acak melalui
pemanfaatan PCR sehingga menunjukkan polimofisme. Primer untuk analisis
RAPD mengandung 9-10 basa panjangnya. Polimorfisme yang teramati dengan
menggunakan RAPD diyakini karena adanya perubahan basa tunggal yang
mencegah perpasangan primer dengan sekuens target, delesi sisi utama, insersi
atau delesi yang memodifikasi ukuran DNA. Keuntungan dari metode ini adalah
bahwa set oligonukleotida yang sama dapat digunakan untuk berbagai spesies atau
organisme dan setelah amplifikasi selama 2-4 jam, polimorfisme ini dapat diamati
secara langsung dengan agarose normal gel elektroforesis (Nasir, 2002).
11
Universitas Sumatera Utara