Pergeseran Gulma dan Hasil Kedelai pada
Pergeseran Gulma dan Hasil Kedelai pada Pengolahan Tanah dan Teknik
Pengendalian Gulma yang Berbeda
Weed Shifting and Soybean Yield on Different Soil Tillage and Weed Control
Technique
Nanik Setyowati, Uswatun Nurjanah dan Afrizal
Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Jl. Raya Kandang Limun, Bengkulu 38371
Email : [email protected]
ABSTRACT
Soybean can be planted either in tillage or no-tillage soil. Weed is one of many problems in
soybean cultivation. Recently, there are limited informations on soybean weed control at
different soil tillage. The aim of this research were to explain the effect of soil tillage and
weed control technique on weed shifting and to explain the effect of soil tillage and weed
control technique on weed growth and soybean growth and yield. The research was
conducted in Bengkulu from September 2004 through January 2005. Insects and diseases
were not controlled during the research. The research was conducted using Randomized
Complete Block Design (RCBD) factorial consisted of two factors and replicated three
times. The first factor was tillage system, consisted of no-tillage and tillage. The second
factor was herbicide dosage, consisted of no weeding (control), weeding at 4 and 6 week
after planting and oxadiazone herbicide control. Soil tillage and weed control technique
differences shifted the weeds. There was five weeds species growth at the time of land
clearing and Imperata cylindrica was the dominance species. After weed control activities,
there was 28 weeds species and Borreria alata was the dominance species followed by I.
cylindrica. Soybean planted in no-tillage soil and the weeds controlled at 4 and 6 week after
planting yielded 63.1% higher plant dry weight compared to that planted in tillage soil
where the weed was controlled at the same time. Pod number and seed dry weight were not
affected by soil tillage and weed control differences. Further research need to be conducted
using the same treatments, however insects and diseases need to be controlled to get better
soybean growth and development.
Key words : soybean, tillage, no tillage, weed control, Imperata cylindrica, Borreria alata
PENDAHULUAN
Usaha peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan baik secara ekstensifikasi
maupun intensifikasi dengan menanam kedelai pada lahan TOT (tanpa olah tanah).
Pengendalian gulma pada saat pembukaan lahan umumnya dilakukan dengan cara
pengolahan tanah, namun demikian herbisida merupakan alternatif lain yang dapat
digunakan untuk membuka lahan. Praktek penanaman TOT lebih efisien dibandingkan
pengolahan tanah sempurna (Bangun 1994). Kedelai yang ditanam pada lahan yang diolah
atau lahan TOT hasilnya masih belum konsisten, namun demikian hasil penelitian Oktariza
(2002) menunjukkan, kedelai yang ditanam pada lahan TOT hasilnya 1,8 toh/ha, lebih
tinggi dibandingkan yang ditanam pada lahan yang diolah yang hanya menghasilkan 0,7
ton/ha (Maryanto et al, 2000).
diterbitkan tahun 2005 di Jurnal Akta Agrosia Vol. 8 No. 2 hal:62-69
Gulma merupakan salah satu faktor yang dapat menekan hasil kedelai yang ditanam
di lahan kering. Penurunan hasil yang diakibatkan persaingan antara gulma dengan tanaman
kedelai sangat bervariasi, antara 18 – 76%. Kedelai yang gulmanya tidak disiangi hasilnya
dapat turun sampai 55%.
Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengendalikan gulma, salah satunya dengan
menggunakan herbisida. Pengendalian dengan menggunakan herbisida cukup efisien dalam
menekan ongkos tenaga kerja dibandingkan secara mekanik.Untuk mendapatkan hasil
pengendalian gulma yang efektif dan efisien maka penetapan herbisida yang akan dipakai
menjadi faktor yang sangat penting untuk diperhatikan.
Herbisida oxadiazon merupakan herbisida purna tumbuh yang dapat mengendalikan
gulma rumput maupun berdaun lebar (Humburg et al, 1989). Dosis oxadiazon 2 L/ha dapat
mengakibatkan keracunan sedang pada tanaman kedelai (20-50%) namun demikian mampu
menekan pertumbuhan gulma sebesar 75% (Supriyo dan Budiman, 1994). Setyowati et al,
(2005) juga melaporkan bahwa aplikasi herbisida glyfosat mempu mengubah komposisi
gulma pada lahan yang semula didominasi alang-alang dengan jenis-jenis baru seperti
Cleome rutidospermae, Desmodium heterophyllum, Chromolaena odorata dan Cyperus
compressus. Susanto (2001) melaporkan, penyiangan gulma secara manual dapat menekan
pertumbuhan gulma sebesar 12,5%.
Dengan demikian, sistem pengolahan tanah dan teknik pengendalian gulma
mempunyai peranan penting dalam budidaya kedelai. Oleh karena itu penelitian mengenai
sistem olah tanah dan teknik pengendalian gulma yang efektif perlu dilakukan. Adapun
tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh pengolahan tanah dan cara
pengendalian gulma terhadap pergeseran gulma, membandingkan pengaruh pengolahan
tanah dan cara pengendalian gulma terhadap pertumbuhan gulma serta membandingkan
pengaruh pengolahan tanah dan cara pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil
kedelai.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Desa Talang Kering, Kecamatan Muara Bangkahulu, Kodya
Bengkulu pada bulan September 2004 sampai Januari 2005 dengan menggunakan
Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) faktorial, dua faktor dan diulang tiga kali.
Faktor pertama pengolahan tanah yang terdiri dari P0=Tanpa Olah Tanah (TOT) dan P1=
Olah Tanah Sempurna (OTS) dan faktor kedua pengendalian gulma yang terdiri dari G0=
Tanpa pengendalian; G1= Penyiangan pada 4 dan 6 MST dan G2= Oxadiazon diaplikasikan
4 MST.
Ukuran petak penelitian 3 m x 4,5 m, jarak antar petak 1 m dan jarak antar ulangan 1
m. Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan petak kuadrat 0,5 m x 0,5 m pada
masing-masing petak penelitian. Aplikasi herbisida glifosat (6 L/ha Round Up) dilakukan 2
minggu sebelum tanam untuk petak TOT, sedangkan untuk petak OTS tidak disemprot
herbisida. Penyemprotan herbisida oxadiazon dilakukan pada umur 4 MST dengan volume
semprot 500 L/ha. Pada petak TOT, gulma dirobohkan dua minggu setelah aplikasi
herbisida Sedangkan pada petak OTS, lahan diolah dua kali, satu minggu sebelum tanam
dan satu hari sebelum tanam.
Dua benih kedelai ditanam dengan sistem tugal pada kedalaman 3 cm dan jarak
tanam 20 cm x 30 cm. Sebelum ditanam benih diinokulasi bakteri Rhizobium japonicum
dengan dosis 10 g/kg kedelai. Pada setiap lubang tanam dimasukkan carbofuran dengan
dosis 0,3 kg/ha. Pemupukan dilakukan dengan sistem tugal pada dosis N 23 kg/ha yang
diberikan 2 kali, pada saat tanam dan 3 MST. Pupuk P 2O5 (36 kg/ha) dan pupuk K2O (60
kg/ha) seluruhnya diaplikasikan pada saat tanam.
Penjarangan dilakukan pada 2 MST. Pengendalian gulma dilakukan sesuai dengan
perlakuan penelitian namun demikian hama yang ada tidak dikendalikan mengingat pada
lahan yang sama juga dilakukan penelitian tentang musuh alami dan serangan hama pada
tanaman kedelai dan gulma.
Panen dilakukan setelah 90% polong telah masak yang ditandai dengan perubahan
warna polong menjadi coklat dan kering.
Variabel yang diamati meliputi identifikasi spesies gulma, bobot kering gulma, frekuensi
kemunculan gulma dan kerapatan gulma. Sedangkan untuk kedelai meliputi luas daun,
tingkat kehijauan daun, jumlah stomata, jumlah bintil akar, bintil akar efektif, bobot kering
tanaman, jumlah polong panen, jumlah polong rusak serta bobot biji layak konsumsi.
Analisis Data
Analisis Vegetasi dilakukan untuk mendapatkan nilai SDR. Selanjutnya nilai SDR
digunakan untuk menghitung nilai koefisien komunitas (C) (Tjitrosoedirjo et al, 1984).
Data hasil pengamatan diuji Normalitasnya (Kolmogrov-Simirnov), sedangkan data yang
tidak normal dilakukan transformasi data dengan Log (x + 5) dan Vx + 0,5. Data yang
diperoleh dianalisis secara statistik dengan uji F (5%). Jika beda nyata dilanjutkan dengan
uji BNT (5%) sedangkan uji lanjut interaksi berat kering tanaman 9 MST dilakukan dengan
DMRT (5%).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Penelitian
Lahan yang digunakan memiliki BV 0,84 g/cm3. Menurut Rachman (1987) apabila
suatu tanah BV nya tidak lebih dari 1,2 g/cm3 maka lahan tersebut tidak perlu diolah.
Faktor lingkungan yang cukup mempengaruhi pertumbuhan kedelai selama penelitian
berlangsung adalah curah hujan. Curah hujan selama fase generatif relatif tinggi yaitu 547
mm (November) dan sebesar 608 mm pada bulan Desember. Curah hujan ini tergolong
tinggi bila dibandingkan dengan keperluan tanaman kedelai yang menghendaki kisaran
curah hujan 150 – 200 mm/bulan (Fachruddin, 2000). Disamping itu benih berkecambah
tidak serempak satu minggu setelah tanam. Beberapa tidak tumbuh sehingga perlu
dilakukan penyulaman.
Koefisien Komunitas Gulma (C)
Dari hasil analisis vegetasi gulma sebelum aplikasi herbisida (SAH) diperoleh nilai
C antara blok I : blok II = 77,47%; blok I : blok III 88% dan blok II : blok III 77,47%. Nilai
tersebut menunjukkan adanya keseragaman komunitas gulma pada lahan penelitian.
Adapun nilai C setelah adanya perlakuan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Koefisien komunitas gulma 5 dan 9 minggu setelah tanam
Waktu
Nilai C (%) pada perlakuan
pengamatan
P0 : P1
G0 : G1
G0 : G2
5 MST
55,09
9 MST
55,23
58,98
47,89
G1 : G2
69,06
Keterangan : P0 = Tanpa Olah Tanah, P1 = Olah Tanah Sempurna, G0 = Tanpa Pengendalian, G1 =
Penyiangan 4 dan 6 MST, dan G2 = oxadiazon (2L/ha)
Nilai C pada perlakuan P0:P1 5 MST sebesar 55,09% menunjukkan komposisi
gulma antara perlakuan P0 dan P1 tidak seragam. Pada TOT (P0) alang-alang dapat
berfungsi sebagai mulsa yang dapat menekan pertumbuhan gulma sehingga memperpanjang
masa dormansi. Disisi lain, pada lahan OTS biji-biji gulma yang ada di dalam tanah
terangkat ke atas permukaan sehingga jenis gulma yang muncul menjadi lebih banyak.
Mortimer (1991) menyatakan, peningkatan temperatur tanah dan kualitas cahaya dapat
mematahkan dormansi gulma.
Pada umur 9 MST, nilai C untuk G0 : G1 dan G0 : G2 lebih kecil dari 75 %
mengisyaratkan bahwa komposisi gulma tidak seragam. Hal ini karena pada petak G1 dan
G2 dilakukan pengendalian gulma sehingga gulma yang tumbuh terhambat. Pada kondisi ini
juga, kanopi tanaman sudah menutupi areal penelitian. Disisi lain, pada petak G0 gulma
dibiarkan tumbuh dengan baik. Hal serupa dilaporkan oleh Supriyo dan Budiman (1994)
bahwa cara pengendalian gulma dapat menggeser kompisisi gulma menjadi tidak seragam
Teknik pengendalian gulma (G1 dan G2) yang berbeda dapat menghasilkan komposisi
gulma yang berbeda (Tabel 2). Hal ini terjadi karena pada perlakuan G1 gulma yang telah
disiang dibuang ke luar petakan sedangkan pada perlakuan G2 herbisida yang
diaplikasikan hanya mampu menekan gulma berdaun lebar. Herbisida oxadiazon efektif
mengendalikan gulma semusim jenis berdaun lebar (Zimdahl, 1993). Hasil penelitian
Supriyo dan Budiman (1994) juga menunjukkan bahwa penyiangan dan aplikasi herbisida
oxadiazon dapat menurunkan pertumbuhan gulma masing-masing sebesar 92% dan 75%.
Nilai SDR Sebelum Aplikasi Herbisida dan 9 MST
Pada awal penelitian dijumpai 5 speseies gulma yang tumbuh yaitu Imperata
cylindrica, Eupatorium odoratum, Mikania micrantha, Oxalis barrelieri, dan Cyperus
rotundus. Jenis gulma yang tumbuh pada 9 MST (Tabel 2) diduga berasal dari biji-biji yang
selama ini dorman. Akibat kegiatan pengolahan tanah menyebabkan biji-biji gulma yang
ada dapat berkecambah dan menjadi individu baru.
Gulma yang tumbuh pada 9 MST sebanyak 22 spesies. Hal ini menunjukkan
munculnya jenis gulma-gulma baru seperti Stemodia verticiliata, Euphorbia hirta, Erigeron
sumatrensis, Spigelia anthelmia, Desmodium heterophyllum, Pyllantus niruri, croton histus,
Polanasia icosandra, Acalypha indica, Panicum repens, Bidens pilosus, Osbeckia
chinensis, Sinedrella nodiflora, Hydrolea spinosa dan Crotalaria striata.
Beberapa kriteria yang biasa dipenuhi untuk mengevaluasi keberhasilan
pengendalian gulma salah satunya adalah bertambahnya spesies gulma setelah dilakukan
pengendalian. Sastroutomo (1990) menyatakan, pengendalian gulma dikatakan berhasil
apabila mampu meningkatkan spesies gulma yang tumbuh pada pertanaman tetapi dalam
jumlah sedikit. Hasil penelitian Setyowati et al (2005a dan 2005b) dan Megawaty (2002)
menunjukkan adanya pergeseran gulma setelah dilakukan pengendalian gulma. Selain itu
perubahan populasi gulma seharusnya diupayakan dari spesies-spesies yang sulit
dikendalikan ke spesies-spesies yang mudah dikendalikan (Sukman dan Yakub, 1995).
Sesuai dengan prinsip pengendalian gulma bahwa pengendalian yang dilakukan dikatakan
berhasil jika mampu menekan populasi gulma sampai pada tingkat yang secara ekonomi
tidak merugikan. Nilai SDR pada 9 MST disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai SDR gulma pada 9 MST
Spesies
P0G0
P0G1
SDR (%)
P0G2
P1G0
P1G1
P1G2
Rumput
Imperata cylindrica
Eleusine indica
Panicum repens
9,55
5,58
0
5,41
0
0
19,63
0
8,24
12,2
0
7,5
36,68
4,38
9,87
32,28
6,13
13,43
Daun lebar
Borreria alata
Oxalis barrelieri
Stemodia verticiliata
Mikania micrantha
Mellochia corchorifolia
Euphorbia hirta
Erigeron sumatrensis
Spigelia anthelmia
Desmodium heterophyllum
Phyllantus ninuri
Croton hirtus
Polanasia icosandra
Acalypha indica
Bidens pilosus
Osbeckia chinensis
Sinendrella nodiflora
Hydrolea spinosa
Crotalaria striata
24,29
9,6
3,72
9,52
0
5,41
5,54
10,27
12,89
3,62
0
0
0
0
0
0
0
0
26,01
6,41
0
29,54
4,27
0
0
0
0
3,85
11,07
0
0
0
0
13,45
0
0
9,87
4,45
0
8,46
12,04
0
0
0
0
0
0
30,67
6,63
0
0
0
0
0
45,83
2,19
2,87
2,52
5,03
0
0
0
10,25
0
2,52
0
0
2,1
2,01
2,13
2,86
0
20,79
4,64
0
0
2,86
0
0
0
4,53
4,95
0
0
0
0
0
0
0
8,42
25,58
0
0
0
4,33
0
0
0
0
4,25
0
0
0
0
0
0
0
9,93
0
99,99
0
100,01
0
99,99
0
100,01
2,87
99,99
4,08
100,01
Teki
Cyperus rotundus
Keterangan:
P0 = Tanpa Olah Tanah, P1 = Olah Tanah Sempurna, G0 = Tanpa Pengendalian,
G1 = Penyiangan 4 dan 6 MST, G2 = oxadiazon (2 L/ha)
Meningkatnya spesies gulma yang muncul baik pada perlakuan TOT maupun OTS
diduga terjadi akibat pelapukan I. cylindrica yang selanjutnya tidak berperan sebagai mulsa.
Terjadinya pelapukan ini menjadikan cahaya matahari mampu menembus mulsa sehingga
biji-biji gulma yang ada mampu berkecambah dan tumbuh. Dikatakan oleh Mortimer (1991)
bahwa peningkatan temperatur tanah dan kualitas cahaya dapat mematahkan dormansi biji
gulma.
Pada perlakuan P1G1 dan P1G2 lahan didominasi oleh I. cylindrica. Hal ini terjadi
karena ada kegiatan pengendalian gulma yang menjadikan petak penelitian tidak ternaungi
gulma lain sehingga I. cylindrica tumbuh dominan. Menurut Moenandir (1990), I.
cylindrica merupakan jenis gulma yang tidak tahan terhadap naungan.
Disisi lain B. alata merupakan gulma yang dominan pada petak P0G0 dan P1G0. Hal
ini diduga B. alata merupakan gulma yang kompetitif yang ditandai dengan produksi biji
yang sangat tinggi dan mampu tumbuh dengan baik pada kondisi ternaungi. Sastroutomo
(1990) melaporkan bahwa gulma ini dapat memproduksi 40.000 biji per tanaman per
musimnya.
Secara umum spesies gulma yang tumbuh pada lahan yang gulmanya tidak
dikendalikan (G0) jumlahnya lebih banyak (18 jenis) dibandingkan yang lahannya disiang
(G1 = 13 jenis) dan dikendalikan dengan oxadiazon (G2 = 12 jenis). Hal yang sama
dikemukakan oleh Ardjasa dan Bangun (1985), lahan yang gulmanya tidak dikendalikan
jenis gulma yang tumbuh lebih banyak dibandingkan dengan lahan yang gulmanya
dikendalikan.
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai
Hasil analisis keragaman pada pertumbuhan kedelai disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai F-hitung variabel pertumbuhan kedelai
Waktu
Variabel
pengamatan
Luas daun
9 MST
Tingkat kehijauan daun
9 MST
Jumlah stomata
9 MST
Jumlah bintil akar total
6 MST
Jumlah bintil akar efektif
6 MST
Berat kering tanaman
6 MST
Jumlah polong per tanaman
Panen
Jumlah polong rusak per tanaman
Panen
Berat biji yang bagus per tanaman
Panen
Keterangan;
P
0,01 ns
3,38 ns
4,26 ns
3,88 ns
1,66 ns
0,03 ns
1,59 ns
0,27 ns
0,55 ns
Nilai F-hitung
G
PxG
14,20 *
2,21 ns
2,87 ns
0,18 ns
1,58 ns
0,74 ns
5,19 *
1,88 ns
1,51 ns
1,32 ns
0,50 ns
12,23 *
1,47 ns
2,03 ns
1,28 ns
1,04 ns
0,74 ns
0,88 ns
P = Pengolahan Tanah, G = Pengendalian Gulma, * = berpengaruh nyata (5%),
ns = tidak berpengaruh nyata
Tabel 3 menunjukkan, perbedaan pengolahan tanah tidak berpengaruh terhadap semua
variabel yang diamati. Hal ini diduga karena tanahnya sudah cukup gembur yang tercermin
dari nilai BV sebesar 0,84 g/cm3. Rachman (1987) melaporkan bahwa pengolahan tanah
dapat dilakukan apabila BV tanah diatas 1,2 g/cm 3. Hal ini dapat dimengerti mengingat
tanah yang BVnya dibawah 1,2 g/cm3 kondisi tanahnya sudah cukup gembur, akar mampu
menembus tanah sehingga perakaran berkembang dengan baik dan pertumbuhan tanaman
tidak terganggu.
Tingkat kehijauan daun dan jumlah stomata tidak dipengaruhi oleh perbedaan
pengolahan tanah dan pengendalian gulma (Tabel 3). Faktor genetik dalam hal ini diduga
lebih berperan daripada faktor lingkungan. Menurut Rostini et al. (2000) kandungan
klorofil dipengaruhi oleh faktor genetis. Perlakuan pengendalian gulma juga menunjukkan
pengaruh yang tidak nyata terhadap variabel jumlah polong pertanaman. Hal ini disebabkan
tidak dilakukannya pengendalian hama selama penelitian berlangsung yang menyebabkan
pada tiap fase pertumbuhan tanaman kedelai terserang hama Nezara viridula, Lamprosema
sp., Etiella spp., Spodoptera litura dan belalang.
Kondisi lingkungan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil
tanaman. Pada bulan Desember curah hujan sangat tinggi, sehingga mempengaruhi
pemasakan biji. Hasil penelitian Sulaiman (1994) menunjukkan, semakin lama curah hujan
makin besar penurunan mutu dan hasil kedelai. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian
Mardiah (2003) yang menunjukkan bahwa kondisi lingkungan yang sub optimal sangat
mempengaruhi pembentukan polong dan berat biji.
Disisi lain penelitian Munir et al. (1994) menunjukkan, tingginya populasi gulma
mengakibatkan sedikitnya jumlah polong yang terbentuk, tingginya persentase polong rusak
dan terjadinya serangan penggerek polong. Hasil penelitian ini menunjukkan, semakin
banyak polong yang terbentuk, serangan hama juga semakin tinggi. Pada gilirannya, biji
yang rusak juga semakin banyak.
Metode pengendalian gulma ternyata mempengaruhi pembentukan bintil akar.
Kedelai yang ditanam pada lahan yang gulmanya dikendalikan secara kimiawi bintil akar
yang terbentuk lebih banyak dari dua perlakuan lainnya (Tabel 4).
Tabel 4. Jumlah bintil akar dan luas daun
Pengendalian gulma
G0
G1
G2
Total
2,33 b
1,50 b
3,17 a
Jumlah Bintil akar
Efektif
LD (cm2) 9 MST
0,84
683,34 a
0,67
690,22 a
1,67
346,38 b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji
BNT (5%) G0 = Tanpa Pengendalian, G1 = Penyiangan 4 dan 6 MST, G2 = Oxadiazon (2
L/ha), LD = Luas daun
Hasil serupa dihasilkan dari lahan yang gulmanya dikendalikan dengan herbisida
glifosat pada dosis 6 L/ha (Suroto, 2001). Namun demikian pupuk N yang diaplikasikan 2
kali menjadikan N yang tersedia bagi tanaman juga lebih banyak. Fenomena ini
menyebabkan bintil akar yang sudah terbentuk tidak bisa berkembang efektif. Hasil ini
sejalan dengan hasil penelitian Yutono (1999), dengan pemberian N melalui pemupukan
akan dapat mengurangi jumlah N2 yang difiksasi oleh bintil akar.
Luas daun tanaman kedelai yang ditanam pada lahan yang gulmanya dikendalikan
dengan oxadiazon lebih rendah dibandingkan dua perlakuan lainnya (Tabel 4). Hal ini
disebabkan, tanaman mengalami stagnasi atau pertumbuhannya terhambat setelah aplikasi
herbisida. Supriyo dan Budiman (1994) juga melaporkan bahwa aplikasi herbisida
oxadiazon pada kedelai mengakibatkan tingkat keracunan yang sedang (20-50%) yang
ditandai dengan warna dan bentuk daun yang kurang normal.
Tabel 5. Berat kering tanaman (g/tan.) pada 9 minggu setelah tanam
Olah tanah
Tanpa Olah Tanah (P0)
Olah Tanah Sempurna (P1)
G0
7,16 a
(A)
3,03 b
(A)
Pengendalian gulma
G1
8,02 a
(A)
4,92 b
(A)
G2
3,43 a
(B)
4,83 a
(A)
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama arah vertikal dan huruf besar yang sama
arah horizontal tidak berbeda nyata pada uji DMRT (5%)
G0 = Tanpa Pengendalian G1 = Penyiangan 4 dan 6 MST, G2 = oxadiazon (2 L/ha),
Tabel 5 menunjukkan bahwa efek pengendalian gulma terjadi pada P0, namun tidak
pada P1. Tanah yang tidak diolah, baik yang gulmanya tidak dikendalikan maupun yang
dikendalikan pada umur 4 dan 6 MST, berat kering gulma yang dihasilkan tidak berbeda
(P0G0 dan P0G1). Hal ini sejalan dengan luas daun yang dihasilkan (Tabel 4). Hasil ini
mengindikasikan, semakin luas daun yang dihasilkan maka fotosintat yang dihasilkan juga
lebih besar. Sedangkan berat kering tanaman merupakan manifestasi dari semua proses dan
peristiwa yang terjadi dalam pertumbuhan tanaman (Sitompul dan Guritno, 1990).
Bobot kering tanaman dalam penelitian ini berkaitan erat dengan luas daun. Kecilnya
luas daun yang dihasilkan dari lahan TOT yang dikendalikan dengan herbisida oxadiazon
menjadikan berat kering tanaman yang dihasilkan juga lebih rendah (Tabel 4 dan 5).
Sitompul dan Guritno (1990) menyatakan, tingginya luas permukaan daun akan
berpengaruh terhadap pemanfaatan cahaya matahari.
Bobot kering tanaman yang dihasilkan dari lahan yang tanahnya diolah, baik yang
gulmanya dikendalikan maupun yang tidak, hasilnya sama. Hal ini terjadi karena pada lahan
yang tanahnya diolah bobot kering gulmanya lebih tinggi dibandingkan TOT. Pada kondisi
tersebut, tanaman berkompetisi dengan gulma dalam memanfaatkan unsur hara maupun
cahaya natahari, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terganggu. Hal senada dilaporkan
oleh Adrizal dan Lamid (1994), semakin tinggi bobot kering gulma semakin rendah berat
kering tanaman.
Kesimpulan dan Saran
Dari hasil percobaan dapat disimpulkan:
1. Pengolahan tanah dan pengendalian gulma yang berbeda mampu merubah komposisi
gulma menjadi tidak seragam.
2. Terdapat 28 jenis gulma yang berasosiasi dengan tanaman kedelai yang ditanam pada
lahan alang-alang, diantaranya ada 2 jenis gulma dominan yaitu Borreria alata dan
Imperata cylindrica.
3. Gulma B. alata tidak tumbuh pada lahan yang tanahnya diolah pada 5 MST, namun
demikian pada 9 MST B. alata mendominasi lahan yang gulmanya tidak dikendalikan.
4. Lahan yang gulmanya dikendalikan 2 kali pada 4 dan 6 MST luas daunnya lebih tinggi
dibandingkan dengan yang dikendalikan dengan herbisida oxadiazon. Namun demikian
bintil akar yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan pengendalian gulma secara
mekanik
5. Tanaman kedelai yang ditanam dengan sistem TOT dan gulmanya dikendalikan pada 4
dan 6 MST bobot keringnya 63,09% lebih tinggi dibandingkan sistem OTS yang
gulmanya dikendalikan pada waktu yang sama.
6. Jumlah polong panen, jumlah polong rusak, dan berat biji pertanaman tidak dipengaruhi
baik oleh cara pengolahan tanah maupun teknik pengendalian gulma.
Penelitian lanjutan dengan perlakuan yang sama perlu dilakukan, namun
pengendalian hama dan penyakit perlu dilaksanakan untuk memperoleh hasil kedelai yang
lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adrizal, dan Z. Lamid. 1994. Pengendalian gulma secara mekanis dan khemis, pada kedelai
setelah padi gogo. hlm. 269-273. Prosiding Konferensi XII Himpunan Ilmu Gulma
Indonesia. Lamid. Z., M. Kasim, Z. Irfan, N. Jalid, A. Rachman, dan Ardi (eds),
Padang, 11-13 Juli 1994.
Arjasa, W.S. dan P. Bangun. 1985. Gulma kedelai dan pengendaliannya. Dalam
Sumaatmadja, S., M. Ismunadi, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, dan Yuswaedi.
Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Bangun, P. 1994.
Budidaya padi sawah dengan sistem tanpa olah tanah.
hlm. 301-309. Prosiding Konferensi XII HIGI. Lamid. Z., M. Kasim, Z. Irfan, N. Jalid,
A. Rachman, dan Ardi (eds), Padang, 11-13 Juli 1994.
Fachruddin, L. 2000. Budidaya Kacang-Kacangan. Kanisius, Yogyakarta.
Megawaty, G. 2002. Kajian sistem olah tanah terhadap pertumbuhan gulma dan hasil padi
gogo. Skripsi. Universitas Bengkulu, Bengkulu (tidak dipublikasikan).
Humburg, N.E., S.R. Colby, R.G. Lym, E.R. Hill, W.J. Mcavoy, L.M. Kitchen and R.
Prasad. 1989. Herbiside Handbook of the Weed Science Society of America. Weed
Science Society of America, Illinois.
Mardiah. 2003. Pertumbuhan gulma dan hasil kedelai setelah aplikasi campuran herbisida
glifosat + 2,4-D dengan dosis dan waktu aplikasi yang berbeda pada sistem tanpa olah
tanah. Universitas Bengkulu, Bengkulu (tidak dipublikasikan).
Maryanto, E., D. Suryati dan N. Setyowati. 2002. Pertumbuhan dan hasil beberapa galur
harapan kedelai pada kerapatan tanam berbeda. Akta Agrosia : Media Informasi
Agronomi 5(2):47-52
Moenandir, J. 1990. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma. Cetakan Pertama. Rajawali
Press, Jakarta.
Mortimer, A.M. 1991. The Clasification and Ecology of Weed. p: 13-67. Labora, M.R.,
Caseley, J.C. and Pahru (ed.) Weed Management for Develove Cauntries. FAO. USA.
Munir, R., Zulirfan, dan Adrizal. 1994. Pengendalian Alang-Alang dengan tanaman
kompetitif. hlm. 259-263. Prosiding Konferensi XII Himpunan Ilmu Gulma Indonesia.
Lamid. Z., M. Kasim, Z. Irfan, N. Jalid, A. Rachman, dan Ardi (eds), Padang, 11-13
Juli 1994.
Oktariza, S. 2002. Kajian interval waktu penyiangan gulma dan dosis campuran herbisida
glifosat + 2,4-D terhadap pergeseran gulma dan komponen hasil kedelai pada sistem
TOT. Universitas Bengkulu, Bengkulu (tidak dipublikasikan).
Rachman, L.M. 1987. Penerapan sistem budidaya pertanian tanpa olah tanah ditinjau dari
sifat fisik tanah. hm: 13-23. Prosiding Pengolahan Tanah. Kristina, H.F.(ed), Bogor 17
Desember 1987.
Rostini, N., A. Baihaki, R. Setiamihardja, dan G. Suryatmona. 2000. Pewarisan karakter
kandungan klorofil pada kedelai. Zuriat XI (2): 65-71.
Sastroutomo, S.S. 1990 Ekologi Gulma. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Setyowati, N., U. Nurjanah dan A. Altubagus. 2005 a. Pergeseran gulma pada budidaya
jagung manis yang ditanam pada system tanpa olah tanah (TOT) di lahan alang-alang.
hlm:IV.57. Pros. Konf. Nas. XVII HIGI. Siwi Hardiastuti, Endah Budi Irawati,
Lagiman, Sari Virgawati, Tuti Setyaningrum, Mofit Ekon Purwanto dan Partoyo (eds),
Yogyakarta 20-21 Juli 2005.
Setyowati, N., U. Nurjanah dan M. Yarni. 2005b. Tanggap kedelai kultivar Willis dan
Burangrang terhadap pergeseran gulma pada jarak tanam berbeda. Agripura : Jurnal
Ilmu-Ilmu Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura 1(1):24-27.
Sitompul, S.M. dan G. Guritno. 1990. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Sukman, Y. dan Yakub. 1995. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Cetakan Pertama.
Rajawali Press, Jakarta.
Sulaiman, F. 1994. Kemunduran mutu dan hasil benih kedelai akibat deraan curah hujan
secara simulasi pada fase reproduktif. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian 2 (I): 1-4.
Supriyo, A. dan A. Budiman. 1994. Pengaruh cara pengendalian gulma terhadap hasil
kedelai dan pertumbuhan gulma pada lahan bergambut. hlm. 278-283. Prosiding
Konferensi XII Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Lamid. Z., M. Kasim, Z. Irfan, N.
Jalid, A. Rachman, dan Ardi (eds), Padang, 11-13 Juli 1994.
Susanto, H. 2001. Uji efikasi isopropilamina glifosat 160 g/l pada gulma di pertanaman kopi
dan kakao di Bandar Lampung. hlm: 315-320. Prosiding Konferensi Nasional XV
HIGI. Suroto, D., A. Yunus, E. Purwanto, Wartoyo, Supriyono (eds), Surakarta, 17-19
Juli 2001.
Suroto, D. 2001. Pengaruh glifosat dan legin terhadap pembentukan bintil akar dan hasil
kedelai (Glycine max (L.) Merrill). hlm: 438-443. Prosiding Konferensi Nasional XV
HIGI. Suroto, D., A. Yunus, E. Purwanto, Wartoyo, Supriyono (eds), Surakarta 17-19
Juli 2001.
Tjitrosoedirdjo, S., I.H. Utomo, dan J. Wiroatmojo. 1984. Pengelolaan Gulma di
Perkebunan. Gramedia, Jakarta.
Yutono. 1999. Inokulasi rhizobium pada kedelai. Dalam Sumaatmadja, S., M. Ismunadi,
Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, dan Yuswaoedi. Kedelai. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Zimdahl, R.L. 1993. Fundamental of Weed Science. Ecademic Press, Colorado.
Pengendalian Gulma yang Berbeda
Weed Shifting and Soybean Yield on Different Soil Tillage and Weed Control
Technique
Nanik Setyowati, Uswatun Nurjanah dan Afrizal
Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Jl. Raya Kandang Limun, Bengkulu 38371
Email : [email protected]
ABSTRACT
Soybean can be planted either in tillage or no-tillage soil. Weed is one of many problems in
soybean cultivation. Recently, there are limited informations on soybean weed control at
different soil tillage. The aim of this research were to explain the effect of soil tillage and
weed control technique on weed shifting and to explain the effect of soil tillage and weed
control technique on weed growth and soybean growth and yield. The research was
conducted in Bengkulu from September 2004 through January 2005. Insects and diseases
were not controlled during the research. The research was conducted using Randomized
Complete Block Design (RCBD) factorial consisted of two factors and replicated three
times. The first factor was tillage system, consisted of no-tillage and tillage. The second
factor was herbicide dosage, consisted of no weeding (control), weeding at 4 and 6 week
after planting and oxadiazone herbicide control. Soil tillage and weed control technique
differences shifted the weeds. There was five weeds species growth at the time of land
clearing and Imperata cylindrica was the dominance species. After weed control activities,
there was 28 weeds species and Borreria alata was the dominance species followed by I.
cylindrica. Soybean planted in no-tillage soil and the weeds controlled at 4 and 6 week after
planting yielded 63.1% higher plant dry weight compared to that planted in tillage soil
where the weed was controlled at the same time. Pod number and seed dry weight were not
affected by soil tillage and weed control differences. Further research need to be conducted
using the same treatments, however insects and diseases need to be controlled to get better
soybean growth and development.
Key words : soybean, tillage, no tillage, weed control, Imperata cylindrica, Borreria alata
PENDAHULUAN
Usaha peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan baik secara ekstensifikasi
maupun intensifikasi dengan menanam kedelai pada lahan TOT (tanpa olah tanah).
Pengendalian gulma pada saat pembukaan lahan umumnya dilakukan dengan cara
pengolahan tanah, namun demikian herbisida merupakan alternatif lain yang dapat
digunakan untuk membuka lahan. Praktek penanaman TOT lebih efisien dibandingkan
pengolahan tanah sempurna (Bangun 1994). Kedelai yang ditanam pada lahan yang diolah
atau lahan TOT hasilnya masih belum konsisten, namun demikian hasil penelitian Oktariza
(2002) menunjukkan, kedelai yang ditanam pada lahan TOT hasilnya 1,8 toh/ha, lebih
tinggi dibandingkan yang ditanam pada lahan yang diolah yang hanya menghasilkan 0,7
ton/ha (Maryanto et al, 2000).
diterbitkan tahun 2005 di Jurnal Akta Agrosia Vol. 8 No. 2 hal:62-69
Gulma merupakan salah satu faktor yang dapat menekan hasil kedelai yang ditanam
di lahan kering. Penurunan hasil yang diakibatkan persaingan antara gulma dengan tanaman
kedelai sangat bervariasi, antara 18 – 76%. Kedelai yang gulmanya tidak disiangi hasilnya
dapat turun sampai 55%.
Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengendalikan gulma, salah satunya dengan
menggunakan herbisida. Pengendalian dengan menggunakan herbisida cukup efisien dalam
menekan ongkos tenaga kerja dibandingkan secara mekanik.Untuk mendapatkan hasil
pengendalian gulma yang efektif dan efisien maka penetapan herbisida yang akan dipakai
menjadi faktor yang sangat penting untuk diperhatikan.
Herbisida oxadiazon merupakan herbisida purna tumbuh yang dapat mengendalikan
gulma rumput maupun berdaun lebar (Humburg et al, 1989). Dosis oxadiazon 2 L/ha dapat
mengakibatkan keracunan sedang pada tanaman kedelai (20-50%) namun demikian mampu
menekan pertumbuhan gulma sebesar 75% (Supriyo dan Budiman, 1994). Setyowati et al,
(2005) juga melaporkan bahwa aplikasi herbisida glyfosat mempu mengubah komposisi
gulma pada lahan yang semula didominasi alang-alang dengan jenis-jenis baru seperti
Cleome rutidospermae, Desmodium heterophyllum, Chromolaena odorata dan Cyperus
compressus. Susanto (2001) melaporkan, penyiangan gulma secara manual dapat menekan
pertumbuhan gulma sebesar 12,5%.
Dengan demikian, sistem pengolahan tanah dan teknik pengendalian gulma
mempunyai peranan penting dalam budidaya kedelai. Oleh karena itu penelitian mengenai
sistem olah tanah dan teknik pengendalian gulma yang efektif perlu dilakukan. Adapun
tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh pengolahan tanah dan cara
pengendalian gulma terhadap pergeseran gulma, membandingkan pengaruh pengolahan
tanah dan cara pengendalian gulma terhadap pertumbuhan gulma serta membandingkan
pengaruh pengolahan tanah dan cara pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil
kedelai.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Desa Talang Kering, Kecamatan Muara Bangkahulu, Kodya
Bengkulu pada bulan September 2004 sampai Januari 2005 dengan menggunakan
Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) faktorial, dua faktor dan diulang tiga kali.
Faktor pertama pengolahan tanah yang terdiri dari P0=Tanpa Olah Tanah (TOT) dan P1=
Olah Tanah Sempurna (OTS) dan faktor kedua pengendalian gulma yang terdiri dari G0=
Tanpa pengendalian; G1= Penyiangan pada 4 dan 6 MST dan G2= Oxadiazon diaplikasikan
4 MST.
Ukuran petak penelitian 3 m x 4,5 m, jarak antar petak 1 m dan jarak antar ulangan 1
m. Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan petak kuadrat 0,5 m x 0,5 m pada
masing-masing petak penelitian. Aplikasi herbisida glifosat (6 L/ha Round Up) dilakukan 2
minggu sebelum tanam untuk petak TOT, sedangkan untuk petak OTS tidak disemprot
herbisida. Penyemprotan herbisida oxadiazon dilakukan pada umur 4 MST dengan volume
semprot 500 L/ha. Pada petak TOT, gulma dirobohkan dua minggu setelah aplikasi
herbisida Sedangkan pada petak OTS, lahan diolah dua kali, satu minggu sebelum tanam
dan satu hari sebelum tanam.
Dua benih kedelai ditanam dengan sistem tugal pada kedalaman 3 cm dan jarak
tanam 20 cm x 30 cm. Sebelum ditanam benih diinokulasi bakteri Rhizobium japonicum
dengan dosis 10 g/kg kedelai. Pada setiap lubang tanam dimasukkan carbofuran dengan
dosis 0,3 kg/ha. Pemupukan dilakukan dengan sistem tugal pada dosis N 23 kg/ha yang
diberikan 2 kali, pada saat tanam dan 3 MST. Pupuk P 2O5 (36 kg/ha) dan pupuk K2O (60
kg/ha) seluruhnya diaplikasikan pada saat tanam.
Penjarangan dilakukan pada 2 MST. Pengendalian gulma dilakukan sesuai dengan
perlakuan penelitian namun demikian hama yang ada tidak dikendalikan mengingat pada
lahan yang sama juga dilakukan penelitian tentang musuh alami dan serangan hama pada
tanaman kedelai dan gulma.
Panen dilakukan setelah 90% polong telah masak yang ditandai dengan perubahan
warna polong menjadi coklat dan kering.
Variabel yang diamati meliputi identifikasi spesies gulma, bobot kering gulma, frekuensi
kemunculan gulma dan kerapatan gulma. Sedangkan untuk kedelai meliputi luas daun,
tingkat kehijauan daun, jumlah stomata, jumlah bintil akar, bintil akar efektif, bobot kering
tanaman, jumlah polong panen, jumlah polong rusak serta bobot biji layak konsumsi.
Analisis Data
Analisis Vegetasi dilakukan untuk mendapatkan nilai SDR. Selanjutnya nilai SDR
digunakan untuk menghitung nilai koefisien komunitas (C) (Tjitrosoedirjo et al, 1984).
Data hasil pengamatan diuji Normalitasnya (Kolmogrov-Simirnov), sedangkan data yang
tidak normal dilakukan transformasi data dengan Log (x + 5) dan Vx + 0,5. Data yang
diperoleh dianalisis secara statistik dengan uji F (5%). Jika beda nyata dilanjutkan dengan
uji BNT (5%) sedangkan uji lanjut interaksi berat kering tanaman 9 MST dilakukan dengan
DMRT (5%).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Penelitian
Lahan yang digunakan memiliki BV 0,84 g/cm3. Menurut Rachman (1987) apabila
suatu tanah BV nya tidak lebih dari 1,2 g/cm3 maka lahan tersebut tidak perlu diolah.
Faktor lingkungan yang cukup mempengaruhi pertumbuhan kedelai selama penelitian
berlangsung adalah curah hujan. Curah hujan selama fase generatif relatif tinggi yaitu 547
mm (November) dan sebesar 608 mm pada bulan Desember. Curah hujan ini tergolong
tinggi bila dibandingkan dengan keperluan tanaman kedelai yang menghendaki kisaran
curah hujan 150 – 200 mm/bulan (Fachruddin, 2000). Disamping itu benih berkecambah
tidak serempak satu minggu setelah tanam. Beberapa tidak tumbuh sehingga perlu
dilakukan penyulaman.
Koefisien Komunitas Gulma (C)
Dari hasil analisis vegetasi gulma sebelum aplikasi herbisida (SAH) diperoleh nilai
C antara blok I : blok II = 77,47%; blok I : blok III 88% dan blok II : blok III 77,47%. Nilai
tersebut menunjukkan adanya keseragaman komunitas gulma pada lahan penelitian.
Adapun nilai C setelah adanya perlakuan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Koefisien komunitas gulma 5 dan 9 minggu setelah tanam
Waktu
Nilai C (%) pada perlakuan
pengamatan
P0 : P1
G0 : G1
G0 : G2
5 MST
55,09
9 MST
55,23
58,98
47,89
G1 : G2
69,06
Keterangan : P0 = Tanpa Olah Tanah, P1 = Olah Tanah Sempurna, G0 = Tanpa Pengendalian, G1 =
Penyiangan 4 dan 6 MST, dan G2 = oxadiazon (2L/ha)
Nilai C pada perlakuan P0:P1 5 MST sebesar 55,09% menunjukkan komposisi
gulma antara perlakuan P0 dan P1 tidak seragam. Pada TOT (P0) alang-alang dapat
berfungsi sebagai mulsa yang dapat menekan pertumbuhan gulma sehingga memperpanjang
masa dormansi. Disisi lain, pada lahan OTS biji-biji gulma yang ada di dalam tanah
terangkat ke atas permukaan sehingga jenis gulma yang muncul menjadi lebih banyak.
Mortimer (1991) menyatakan, peningkatan temperatur tanah dan kualitas cahaya dapat
mematahkan dormansi gulma.
Pada umur 9 MST, nilai C untuk G0 : G1 dan G0 : G2 lebih kecil dari 75 %
mengisyaratkan bahwa komposisi gulma tidak seragam. Hal ini karena pada petak G1 dan
G2 dilakukan pengendalian gulma sehingga gulma yang tumbuh terhambat. Pada kondisi ini
juga, kanopi tanaman sudah menutupi areal penelitian. Disisi lain, pada petak G0 gulma
dibiarkan tumbuh dengan baik. Hal serupa dilaporkan oleh Supriyo dan Budiman (1994)
bahwa cara pengendalian gulma dapat menggeser kompisisi gulma menjadi tidak seragam
Teknik pengendalian gulma (G1 dan G2) yang berbeda dapat menghasilkan komposisi
gulma yang berbeda (Tabel 2). Hal ini terjadi karena pada perlakuan G1 gulma yang telah
disiang dibuang ke luar petakan sedangkan pada perlakuan G2 herbisida yang
diaplikasikan hanya mampu menekan gulma berdaun lebar. Herbisida oxadiazon efektif
mengendalikan gulma semusim jenis berdaun lebar (Zimdahl, 1993). Hasil penelitian
Supriyo dan Budiman (1994) juga menunjukkan bahwa penyiangan dan aplikasi herbisida
oxadiazon dapat menurunkan pertumbuhan gulma masing-masing sebesar 92% dan 75%.
Nilai SDR Sebelum Aplikasi Herbisida dan 9 MST
Pada awal penelitian dijumpai 5 speseies gulma yang tumbuh yaitu Imperata
cylindrica, Eupatorium odoratum, Mikania micrantha, Oxalis barrelieri, dan Cyperus
rotundus. Jenis gulma yang tumbuh pada 9 MST (Tabel 2) diduga berasal dari biji-biji yang
selama ini dorman. Akibat kegiatan pengolahan tanah menyebabkan biji-biji gulma yang
ada dapat berkecambah dan menjadi individu baru.
Gulma yang tumbuh pada 9 MST sebanyak 22 spesies. Hal ini menunjukkan
munculnya jenis gulma-gulma baru seperti Stemodia verticiliata, Euphorbia hirta, Erigeron
sumatrensis, Spigelia anthelmia, Desmodium heterophyllum, Pyllantus niruri, croton histus,
Polanasia icosandra, Acalypha indica, Panicum repens, Bidens pilosus, Osbeckia
chinensis, Sinedrella nodiflora, Hydrolea spinosa dan Crotalaria striata.
Beberapa kriteria yang biasa dipenuhi untuk mengevaluasi keberhasilan
pengendalian gulma salah satunya adalah bertambahnya spesies gulma setelah dilakukan
pengendalian. Sastroutomo (1990) menyatakan, pengendalian gulma dikatakan berhasil
apabila mampu meningkatkan spesies gulma yang tumbuh pada pertanaman tetapi dalam
jumlah sedikit. Hasil penelitian Setyowati et al (2005a dan 2005b) dan Megawaty (2002)
menunjukkan adanya pergeseran gulma setelah dilakukan pengendalian gulma. Selain itu
perubahan populasi gulma seharusnya diupayakan dari spesies-spesies yang sulit
dikendalikan ke spesies-spesies yang mudah dikendalikan (Sukman dan Yakub, 1995).
Sesuai dengan prinsip pengendalian gulma bahwa pengendalian yang dilakukan dikatakan
berhasil jika mampu menekan populasi gulma sampai pada tingkat yang secara ekonomi
tidak merugikan. Nilai SDR pada 9 MST disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai SDR gulma pada 9 MST
Spesies
P0G0
P0G1
SDR (%)
P0G2
P1G0
P1G1
P1G2
Rumput
Imperata cylindrica
Eleusine indica
Panicum repens
9,55
5,58
0
5,41
0
0
19,63
0
8,24
12,2
0
7,5
36,68
4,38
9,87
32,28
6,13
13,43
Daun lebar
Borreria alata
Oxalis barrelieri
Stemodia verticiliata
Mikania micrantha
Mellochia corchorifolia
Euphorbia hirta
Erigeron sumatrensis
Spigelia anthelmia
Desmodium heterophyllum
Phyllantus ninuri
Croton hirtus
Polanasia icosandra
Acalypha indica
Bidens pilosus
Osbeckia chinensis
Sinendrella nodiflora
Hydrolea spinosa
Crotalaria striata
24,29
9,6
3,72
9,52
0
5,41
5,54
10,27
12,89
3,62
0
0
0
0
0
0
0
0
26,01
6,41
0
29,54
4,27
0
0
0
0
3,85
11,07
0
0
0
0
13,45
0
0
9,87
4,45
0
8,46
12,04
0
0
0
0
0
0
30,67
6,63
0
0
0
0
0
45,83
2,19
2,87
2,52
5,03
0
0
0
10,25
0
2,52
0
0
2,1
2,01
2,13
2,86
0
20,79
4,64
0
0
2,86
0
0
0
4,53
4,95
0
0
0
0
0
0
0
8,42
25,58
0
0
0
4,33
0
0
0
0
4,25
0
0
0
0
0
0
0
9,93
0
99,99
0
100,01
0
99,99
0
100,01
2,87
99,99
4,08
100,01
Teki
Cyperus rotundus
Keterangan:
P0 = Tanpa Olah Tanah, P1 = Olah Tanah Sempurna, G0 = Tanpa Pengendalian,
G1 = Penyiangan 4 dan 6 MST, G2 = oxadiazon (2 L/ha)
Meningkatnya spesies gulma yang muncul baik pada perlakuan TOT maupun OTS
diduga terjadi akibat pelapukan I. cylindrica yang selanjutnya tidak berperan sebagai mulsa.
Terjadinya pelapukan ini menjadikan cahaya matahari mampu menembus mulsa sehingga
biji-biji gulma yang ada mampu berkecambah dan tumbuh. Dikatakan oleh Mortimer (1991)
bahwa peningkatan temperatur tanah dan kualitas cahaya dapat mematahkan dormansi biji
gulma.
Pada perlakuan P1G1 dan P1G2 lahan didominasi oleh I. cylindrica. Hal ini terjadi
karena ada kegiatan pengendalian gulma yang menjadikan petak penelitian tidak ternaungi
gulma lain sehingga I. cylindrica tumbuh dominan. Menurut Moenandir (1990), I.
cylindrica merupakan jenis gulma yang tidak tahan terhadap naungan.
Disisi lain B. alata merupakan gulma yang dominan pada petak P0G0 dan P1G0. Hal
ini diduga B. alata merupakan gulma yang kompetitif yang ditandai dengan produksi biji
yang sangat tinggi dan mampu tumbuh dengan baik pada kondisi ternaungi. Sastroutomo
(1990) melaporkan bahwa gulma ini dapat memproduksi 40.000 biji per tanaman per
musimnya.
Secara umum spesies gulma yang tumbuh pada lahan yang gulmanya tidak
dikendalikan (G0) jumlahnya lebih banyak (18 jenis) dibandingkan yang lahannya disiang
(G1 = 13 jenis) dan dikendalikan dengan oxadiazon (G2 = 12 jenis). Hal yang sama
dikemukakan oleh Ardjasa dan Bangun (1985), lahan yang gulmanya tidak dikendalikan
jenis gulma yang tumbuh lebih banyak dibandingkan dengan lahan yang gulmanya
dikendalikan.
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai
Hasil analisis keragaman pada pertumbuhan kedelai disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai F-hitung variabel pertumbuhan kedelai
Waktu
Variabel
pengamatan
Luas daun
9 MST
Tingkat kehijauan daun
9 MST
Jumlah stomata
9 MST
Jumlah bintil akar total
6 MST
Jumlah bintil akar efektif
6 MST
Berat kering tanaman
6 MST
Jumlah polong per tanaman
Panen
Jumlah polong rusak per tanaman
Panen
Berat biji yang bagus per tanaman
Panen
Keterangan;
P
0,01 ns
3,38 ns
4,26 ns
3,88 ns
1,66 ns
0,03 ns
1,59 ns
0,27 ns
0,55 ns
Nilai F-hitung
G
PxG
14,20 *
2,21 ns
2,87 ns
0,18 ns
1,58 ns
0,74 ns
5,19 *
1,88 ns
1,51 ns
1,32 ns
0,50 ns
12,23 *
1,47 ns
2,03 ns
1,28 ns
1,04 ns
0,74 ns
0,88 ns
P = Pengolahan Tanah, G = Pengendalian Gulma, * = berpengaruh nyata (5%),
ns = tidak berpengaruh nyata
Tabel 3 menunjukkan, perbedaan pengolahan tanah tidak berpengaruh terhadap semua
variabel yang diamati. Hal ini diduga karena tanahnya sudah cukup gembur yang tercermin
dari nilai BV sebesar 0,84 g/cm3. Rachman (1987) melaporkan bahwa pengolahan tanah
dapat dilakukan apabila BV tanah diatas 1,2 g/cm 3. Hal ini dapat dimengerti mengingat
tanah yang BVnya dibawah 1,2 g/cm3 kondisi tanahnya sudah cukup gembur, akar mampu
menembus tanah sehingga perakaran berkembang dengan baik dan pertumbuhan tanaman
tidak terganggu.
Tingkat kehijauan daun dan jumlah stomata tidak dipengaruhi oleh perbedaan
pengolahan tanah dan pengendalian gulma (Tabel 3). Faktor genetik dalam hal ini diduga
lebih berperan daripada faktor lingkungan. Menurut Rostini et al. (2000) kandungan
klorofil dipengaruhi oleh faktor genetis. Perlakuan pengendalian gulma juga menunjukkan
pengaruh yang tidak nyata terhadap variabel jumlah polong pertanaman. Hal ini disebabkan
tidak dilakukannya pengendalian hama selama penelitian berlangsung yang menyebabkan
pada tiap fase pertumbuhan tanaman kedelai terserang hama Nezara viridula, Lamprosema
sp., Etiella spp., Spodoptera litura dan belalang.
Kondisi lingkungan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil
tanaman. Pada bulan Desember curah hujan sangat tinggi, sehingga mempengaruhi
pemasakan biji. Hasil penelitian Sulaiman (1994) menunjukkan, semakin lama curah hujan
makin besar penurunan mutu dan hasil kedelai. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian
Mardiah (2003) yang menunjukkan bahwa kondisi lingkungan yang sub optimal sangat
mempengaruhi pembentukan polong dan berat biji.
Disisi lain penelitian Munir et al. (1994) menunjukkan, tingginya populasi gulma
mengakibatkan sedikitnya jumlah polong yang terbentuk, tingginya persentase polong rusak
dan terjadinya serangan penggerek polong. Hasil penelitian ini menunjukkan, semakin
banyak polong yang terbentuk, serangan hama juga semakin tinggi. Pada gilirannya, biji
yang rusak juga semakin banyak.
Metode pengendalian gulma ternyata mempengaruhi pembentukan bintil akar.
Kedelai yang ditanam pada lahan yang gulmanya dikendalikan secara kimiawi bintil akar
yang terbentuk lebih banyak dari dua perlakuan lainnya (Tabel 4).
Tabel 4. Jumlah bintil akar dan luas daun
Pengendalian gulma
G0
G1
G2
Total
2,33 b
1,50 b
3,17 a
Jumlah Bintil akar
Efektif
LD (cm2) 9 MST
0,84
683,34 a
0,67
690,22 a
1,67
346,38 b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji
BNT (5%) G0 = Tanpa Pengendalian, G1 = Penyiangan 4 dan 6 MST, G2 = Oxadiazon (2
L/ha), LD = Luas daun
Hasil serupa dihasilkan dari lahan yang gulmanya dikendalikan dengan herbisida
glifosat pada dosis 6 L/ha (Suroto, 2001). Namun demikian pupuk N yang diaplikasikan 2
kali menjadikan N yang tersedia bagi tanaman juga lebih banyak. Fenomena ini
menyebabkan bintil akar yang sudah terbentuk tidak bisa berkembang efektif. Hasil ini
sejalan dengan hasil penelitian Yutono (1999), dengan pemberian N melalui pemupukan
akan dapat mengurangi jumlah N2 yang difiksasi oleh bintil akar.
Luas daun tanaman kedelai yang ditanam pada lahan yang gulmanya dikendalikan
dengan oxadiazon lebih rendah dibandingkan dua perlakuan lainnya (Tabel 4). Hal ini
disebabkan, tanaman mengalami stagnasi atau pertumbuhannya terhambat setelah aplikasi
herbisida. Supriyo dan Budiman (1994) juga melaporkan bahwa aplikasi herbisida
oxadiazon pada kedelai mengakibatkan tingkat keracunan yang sedang (20-50%) yang
ditandai dengan warna dan bentuk daun yang kurang normal.
Tabel 5. Berat kering tanaman (g/tan.) pada 9 minggu setelah tanam
Olah tanah
Tanpa Olah Tanah (P0)
Olah Tanah Sempurna (P1)
G0
7,16 a
(A)
3,03 b
(A)
Pengendalian gulma
G1
8,02 a
(A)
4,92 b
(A)
G2
3,43 a
(B)
4,83 a
(A)
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama arah vertikal dan huruf besar yang sama
arah horizontal tidak berbeda nyata pada uji DMRT (5%)
G0 = Tanpa Pengendalian G1 = Penyiangan 4 dan 6 MST, G2 = oxadiazon (2 L/ha),
Tabel 5 menunjukkan bahwa efek pengendalian gulma terjadi pada P0, namun tidak
pada P1. Tanah yang tidak diolah, baik yang gulmanya tidak dikendalikan maupun yang
dikendalikan pada umur 4 dan 6 MST, berat kering gulma yang dihasilkan tidak berbeda
(P0G0 dan P0G1). Hal ini sejalan dengan luas daun yang dihasilkan (Tabel 4). Hasil ini
mengindikasikan, semakin luas daun yang dihasilkan maka fotosintat yang dihasilkan juga
lebih besar. Sedangkan berat kering tanaman merupakan manifestasi dari semua proses dan
peristiwa yang terjadi dalam pertumbuhan tanaman (Sitompul dan Guritno, 1990).
Bobot kering tanaman dalam penelitian ini berkaitan erat dengan luas daun. Kecilnya
luas daun yang dihasilkan dari lahan TOT yang dikendalikan dengan herbisida oxadiazon
menjadikan berat kering tanaman yang dihasilkan juga lebih rendah (Tabel 4 dan 5).
Sitompul dan Guritno (1990) menyatakan, tingginya luas permukaan daun akan
berpengaruh terhadap pemanfaatan cahaya matahari.
Bobot kering tanaman yang dihasilkan dari lahan yang tanahnya diolah, baik yang
gulmanya dikendalikan maupun yang tidak, hasilnya sama. Hal ini terjadi karena pada lahan
yang tanahnya diolah bobot kering gulmanya lebih tinggi dibandingkan TOT. Pada kondisi
tersebut, tanaman berkompetisi dengan gulma dalam memanfaatkan unsur hara maupun
cahaya natahari, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terganggu. Hal senada dilaporkan
oleh Adrizal dan Lamid (1994), semakin tinggi bobot kering gulma semakin rendah berat
kering tanaman.
Kesimpulan dan Saran
Dari hasil percobaan dapat disimpulkan:
1. Pengolahan tanah dan pengendalian gulma yang berbeda mampu merubah komposisi
gulma menjadi tidak seragam.
2. Terdapat 28 jenis gulma yang berasosiasi dengan tanaman kedelai yang ditanam pada
lahan alang-alang, diantaranya ada 2 jenis gulma dominan yaitu Borreria alata dan
Imperata cylindrica.
3. Gulma B. alata tidak tumbuh pada lahan yang tanahnya diolah pada 5 MST, namun
demikian pada 9 MST B. alata mendominasi lahan yang gulmanya tidak dikendalikan.
4. Lahan yang gulmanya dikendalikan 2 kali pada 4 dan 6 MST luas daunnya lebih tinggi
dibandingkan dengan yang dikendalikan dengan herbisida oxadiazon. Namun demikian
bintil akar yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan pengendalian gulma secara
mekanik
5. Tanaman kedelai yang ditanam dengan sistem TOT dan gulmanya dikendalikan pada 4
dan 6 MST bobot keringnya 63,09% lebih tinggi dibandingkan sistem OTS yang
gulmanya dikendalikan pada waktu yang sama.
6. Jumlah polong panen, jumlah polong rusak, dan berat biji pertanaman tidak dipengaruhi
baik oleh cara pengolahan tanah maupun teknik pengendalian gulma.
Penelitian lanjutan dengan perlakuan yang sama perlu dilakukan, namun
pengendalian hama dan penyakit perlu dilaksanakan untuk memperoleh hasil kedelai yang
lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adrizal, dan Z. Lamid. 1994. Pengendalian gulma secara mekanis dan khemis, pada kedelai
setelah padi gogo. hlm. 269-273. Prosiding Konferensi XII Himpunan Ilmu Gulma
Indonesia. Lamid. Z., M. Kasim, Z. Irfan, N. Jalid, A. Rachman, dan Ardi (eds),
Padang, 11-13 Juli 1994.
Arjasa, W.S. dan P. Bangun. 1985. Gulma kedelai dan pengendaliannya. Dalam
Sumaatmadja, S., M. Ismunadi, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, dan Yuswaedi.
Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Bangun, P. 1994.
Budidaya padi sawah dengan sistem tanpa olah tanah.
hlm. 301-309. Prosiding Konferensi XII HIGI. Lamid. Z., M. Kasim, Z. Irfan, N. Jalid,
A. Rachman, dan Ardi (eds), Padang, 11-13 Juli 1994.
Fachruddin, L. 2000. Budidaya Kacang-Kacangan. Kanisius, Yogyakarta.
Megawaty, G. 2002. Kajian sistem olah tanah terhadap pertumbuhan gulma dan hasil padi
gogo. Skripsi. Universitas Bengkulu, Bengkulu (tidak dipublikasikan).
Humburg, N.E., S.R. Colby, R.G. Lym, E.R. Hill, W.J. Mcavoy, L.M. Kitchen and R.
Prasad. 1989. Herbiside Handbook of the Weed Science Society of America. Weed
Science Society of America, Illinois.
Mardiah. 2003. Pertumbuhan gulma dan hasil kedelai setelah aplikasi campuran herbisida
glifosat + 2,4-D dengan dosis dan waktu aplikasi yang berbeda pada sistem tanpa olah
tanah. Universitas Bengkulu, Bengkulu (tidak dipublikasikan).
Maryanto, E., D. Suryati dan N. Setyowati. 2002. Pertumbuhan dan hasil beberapa galur
harapan kedelai pada kerapatan tanam berbeda. Akta Agrosia : Media Informasi
Agronomi 5(2):47-52
Moenandir, J. 1990. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma. Cetakan Pertama. Rajawali
Press, Jakarta.
Mortimer, A.M. 1991. The Clasification and Ecology of Weed. p: 13-67. Labora, M.R.,
Caseley, J.C. and Pahru (ed.) Weed Management for Develove Cauntries. FAO. USA.
Munir, R., Zulirfan, dan Adrizal. 1994. Pengendalian Alang-Alang dengan tanaman
kompetitif. hlm. 259-263. Prosiding Konferensi XII Himpunan Ilmu Gulma Indonesia.
Lamid. Z., M. Kasim, Z. Irfan, N. Jalid, A. Rachman, dan Ardi (eds), Padang, 11-13
Juli 1994.
Oktariza, S. 2002. Kajian interval waktu penyiangan gulma dan dosis campuran herbisida
glifosat + 2,4-D terhadap pergeseran gulma dan komponen hasil kedelai pada sistem
TOT. Universitas Bengkulu, Bengkulu (tidak dipublikasikan).
Rachman, L.M. 1987. Penerapan sistem budidaya pertanian tanpa olah tanah ditinjau dari
sifat fisik tanah. hm: 13-23. Prosiding Pengolahan Tanah. Kristina, H.F.(ed), Bogor 17
Desember 1987.
Rostini, N., A. Baihaki, R. Setiamihardja, dan G. Suryatmona. 2000. Pewarisan karakter
kandungan klorofil pada kedelai. Zuriat XI (2): 65-71.
Sastroutomo, S.S. 1990 Ekologi Gulma. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Setyowati, N., U. Nurjanah dan A. Altubagus. 2005 a. Pergeseran gulma pada budidaya
jagung manis yang ditanam pada system tanpa olah tanah (TOT) di lahan alang-alang.
hlm:IV.57. Pros. Konf. Nas. XVII HIGI. Siwi Hardiastuti, Endah Budi Irawati,
Lagiman, Sari Virgawati, Tuti Setyaningrum, Mofit Ekon Purwanto dan Partoyo (eds),
Yogyakarta 20-21 Juli 2005.
Setyowati, N., U. Nurjanah dan M. Yarni. 2005b. Tanggap kedelai kultivar Willis dan
Burangrang terhadap pergeseran gulma pada jarak tanam berbeda. Agripura : Jurnal
Ilmu-Ilmu Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura 1(1):24-27.
Sitompul, S.M. dan G. Guritno. 1990. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Sukman, Y. dan Yakub. 1995. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Cetakan Pertama.
Rajawali Press, Jakarta.
Sulaiman, F. 1994. Kemunduran mutu dan hasil benih kedelai akibat deraan curah hujan
secara simulasi pada fase reproduktif. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian 2 (I): 1-4.
Supriyo, A. dan A. Budiman. 1994. Pengaruh cara pengendalian gulma terhadap hasil
kedelai dan pertumbuhan gulma pada lahan bergambut. hlm. 278-283. Prosiding
Konferensi XII Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Lamid. Z., M. Kasim, Z. Irfan, N.
Jalid, A. Rachman, dan Ardi (eds), Padang, 11-13 Juli 1994.
Susanto, H. 2001. Uji efikasi isopropilamina glifosat 160 g/l pada gulma di pertanaman kopi
dan kakao di Bandar Lampung. hlm: 315-320. Prosiding Konferensi Nasional XV
HIGI. Suroto, D., A. Yunus, E. Purwanto, Wartoyo, Supriyono (eds), Surakarta, 17-19
Juli 2001.
Suroto, D. 2001. Pengaruh glifosat dan legin terhadap pembentukan bintil akar dan hasil
kedelai (Glycine max (L.) Merrill). hlm: 438-443. Prosiding Konferensi Nasional XV
HIGI. Suroto, D., A. Yunus, E. Purwanto, Wartoyo, Supriyono (eds), Surakarta 17-19
Juli 2001.
Tjitrosoedirdjo, S., I.H. Utomo, dan J. Wiroatmojo. 1984. Pengelolaan Gulma di
Perkebunan. Gramedia, Jakarta.
Yutono. 1999. Inokulasi rhizobium pada kedelai. Dalam Sumaatmadja, S., M. Ismunadi,
Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, dan Yuswaoedi. Kedelai. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Zimdahl, R.L. 1993. Fundamental of Weed Science. Ecademic Press, Colorado.