Tinjauan Yuridis Terhadap Akta Pembagian

Tinjauan Yuridis Terhadap Akta Pembagian Hak Bersama
Yang Dibuat di Hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Atas Warisan Berupa Hak Atas Tanah
Budi Wibowo Halim dan Eny Koeswarny (Pembimbing)
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Indonesia.
E-mail : [email protected]

Abstrak
Kepemilikan bersama adalah hak kebendaan yang dimiliki oleh dua orang atau lebih, baik karena pewarisan
maupun cara lain. Kepemilikan bersama atas hak atas tanah diakhiri dengan membuat Akta Pembagian Hak
Bersama yang dibuat di hadapan PPAT. Pejabat Kantor Pertanahan dan Kantor Dinas Pelayanan Pajak Daerah
menafsirkan bahwa pemisahan dan pembagian atas tanah warisan dianggap merupakan pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan, sehingga menjadi obyek Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Hal ini menghambat pendaftaran APHB. Warisan merupakan kepemilikan bersama yang terikat, dan pemisahan
dan pembagian terhadapnya tidak mengakibatkan adanya peralihan hak. Hal ini terjadi karena kekhilafan dalam
pemahaman mengenai hukum waris, hukum keluarga dan hukum benda. Penelitian ini bersifat deskriptifpreskriptif yang memberikan data detil tentang gejala sosial dan ditujukan untuk mendapatkan saran-saran untuk
mengatasi masalah-masalah tertentu.
Kata kunci :
APHB, PPAT, Kepemilikan Bersama Terikat, Kepemilikan Bersama Bebas, Warisan, BPHTB.

Abstract

Co-ownership is ownership of property, which owned by two persons or more, wherefore inheritence or other
means. Co-ownership could be ended by drawing Deed of Division of Co-Property (APHB) drawn before Land
Deed Official. Land Official and Regional Tax Official interpret the splitting and dividing over inheritence of
land title as a splitting resulting in transfer of title, thus subjected to Duty on Land and Building Title
Acquisition/BPHTB. Such act obstruct registration process of APHB. Inheritence is a bound co-ownership, that
splitting and division upon it, shall not result in transfer of title. This occurs because of negligence to have an
understading of Inheritence Law, Family Law, and Property Law. The characteristics of this research are
descriptive-prescriptive which provide detail data of social phenomenon and to obtain suggestions to resolves
particular problems.
Keywords :
APHB, Land Deed Official/PPAT, Bound co-ownership and Free co-ownership, Inheritence, BPHTB.

Pendahuluan
Dewasa ini, praktik pembuatan akta dalam bidang pertanahan merupakan hal yang
lazim dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakan benda yang paling penting adalah
tanah. 1 Seorang manusia tidak dapat hidup tanpa tanah. Ia berdiri dan bekerja sehari-hari di
atas tanah. Tanah dipakai untuk bercocok tanam, membangun keluarga, berusaha, sebagai
1

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Hak-Hak Atas Benda, Cet. 2, Jakarta: Penerbit Soeroengan,

1960, hlm. 15.
1

tempat tinggal, serta dipakai untuk mengubur jenazah orang yang sudah meninggal. Masalah
yang sering muncul berkaitan dengan praktik pembuatan akta dalam bidang pertanahan
tersebut adalah mengenai tata cara perolehan atas hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun.
Hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dapat diperoleh salah
satunya melalui peralihan hak atas tanah menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Selanjutnya disebut PP No. 24 Tahun
1997), meliputi jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya serta lelang. Dalam perolehan hak atas tanah dan/atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun tersebut di atas, dimungkinkan terjadi kepemilikan bersama
atas suatu hak atas tanah dan/atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, baik yang terjadi
secara pewarisan, maupun dengan cara lain. Kepemilikan bersama adalah satu hak atas tanah
dan/atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun terdapat lebih dari satu pemilik. Atas
kepemilikan bersama tersebut dapat diakhiri dengan melakukan pemisahan dan pembagian.
Pasal 38 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 juncto Pasal 94 ayat (2) huruf (g) dan Pasal 95 ayat
(1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1997), pembagian hak
bersama dilakukan dengan Akta Pembagian Hak Bersama yang dibuat di hadapan PPAT.
Pasal 85 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (Selanjutnya disebut UU PDRD), mengatur Pemisahan hak
yang mengakibatkan peralihan merupakan obyek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan (Selanjutnya disebut BPHTB). BPHTB atas Pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan terutang sejak tanggal dibuat dan ditanda tanganinya akta.
Masalah-masalah tentang Akta Pembagian Hak Bersama yang dibuat di hadapan
PPAT muncul dalam pemisahan dan pembagian harta peninggalan atas hak atas tanah atas
nama Pewaris yang merupakan harta bersama antara Pewaris dengan suami/istri Pewaris,
yang penerima haknya adalah salah satu dari ahli waris; dalam pemisahan dan pembagian
harta peninggalan atas hak atas tanah atas nama suami/istri Pewaris yang merupakan harta
bersama antara Pewaris dengan suami/istri Pewaris, yang penerima haknya adalah salah satu
dari ahli waris; dan dalam pemisahan dan pembagian harta peninggalan atas hak atas tanah,
yang penerima haknya adalah salah satu dari ahli waris, yang dilakukan dalam jangka waktu
tertentu setelah Sertipikat Hak atas Tanah telah selesai pendaftaran balik nama menjadi atas

nama ahli waris serta terhadap pemisahan kepemilikan hak atas tanah diantara para pemilik
bersamanya.
Penggunaan blanko Akta Pembagian Hak Bersama tersebut, menimbulkan penafsiran

oleh Pejabat Kantor Pertanahan dan Kantor Dinas Pelayanan Pajak Daerah bahwa APHB
atas warisan merupakan pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yang menjadi obyek
BPHTB. Dapat diduga adanya miskonsepsi terhadap konsepsi pemisahan dan pembagian
kepemilikan bersama yang mengakibatkan peralihan dan yang tidak, dengan konsepsi
kepemilikan bersama yang terikat dan kepemilikan bersama yang bebas, yang tidak
terpisahkan dengan terutangnya BPHTB.
Masalah Hukum
1.

Bagaimanakah hubungan antara kepemilikan bersama yang terikat dan kepemilikan
bersama yang bebas dengan pemisahan dan pembagian atas kepemilikan bersama hak
atas tanah yang mengakibatkan peralihan dan yang tidak mengakibatkan peralihan?

2.

Bagaimanakah pelaksanaan pembuatan Akta Pembagian Hak Bersama yang dibuat di
hadapan PPAT Aris Hendrawan Halim, SH dalam pemisahan dan pembagian harta
peninggalan/warisan atas hak atas tanah?
Metode Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis empiris, yaitu


melakukan pembahasan terhadap kenyataan atau data yang ada dalam praktik yang
selanjutnya dihubungkan dengan ketentuan hukum yang berlaku, untuk mengerti atau
memahami gejala hukum yang akan diteliti dengan menekankan pemahaman permasalahan,
khususnya Akta Pembagian Hak Bersama yang dibuat di hadapan PPAT. Sifat penelitian ini
adalah penelitian deskriptif-preskriptif yaitu penelitian untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya2 dan ditujukan untuk
mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalahmasalah tertentu3. Tipe perencanaan penelitian ini adalah case study, yaitu pendekatan yang
bertujuan mempertahankan keutuhan dari gejala yang diteliti4. Pengumpulan data dilakukan
dengan penelitian lapangan dan studi kepustakaan.

2

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986, hlm. 10.
Ibid., hlm. 10.
4
Ibid., hlm. 16.
3

Narasumber ditentukan dengan memperhatikan terlebih dahulu alasan kuat dapat

memberikan data dengan kriteria tertentu yang ditentukan oleh penulis5, antara lain :
a.

Kepala Dinas Pendapatan Daerah Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta;

b.

Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah, Kantor Pertanahan Kota
Administrasi Jakarta Barat;

c.

Kepala Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat, Sekretariat Jenderal Kementerian
Agraria dan tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional;

d.

ARIS HENDRAWAN HALIM, SH, PPAT Kota Administratif Jakarta Barat yang
menangani pembuatan Akta Pembagian Hak Bersama khususnya yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini;

Alat pengumpul data dalam pengumpulan data primer menggunakan wawancara terarah
(directive interview) yakni wawancara dilakukan dengan pengendalian derajat tertentu6 yakni
menggunakan daftar pertanyaan terstruktur bersifat terbuka dengan pedoman yang telah
disiapkan oleh penulis sebelumnya, terlampir dalam lampiran usulan penelitian ini.
Studi Kepustakaan bertujuan untuk memperoleh data sekunder7. Data Sekunder
adalah data yang sebelumnya telah diolah oleh orang lain. Data sekunder ini meliputi bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Alat Pengumpul Data untuk
memperoleh data sekunder adalah studi kepustakaan terhadap dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku harian, dan lain lain yang
dilakukan di Perpustakaan Universitas Indonesia dan perpustakaan Dewan Perwakilan Rakyat
Indonesia.
Setelah diperoleh data dari kajian hukum normatif, dilakukan analisa deskriptif, yang
diharapkan mampu memberikan gambaran-gambaran secara rinci, sistematis, dan
menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan Akta Pembagian Hak Bersama
yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan kepemilikan bersama. Setelah
diperoleh data empiris, dilakukan analisa kualitatif, yaitu dengan menginventarisasi data-data
yang terkumpul dan kemudian diseleksi untuk menemukan hubungan antara data yang
diperoleh dari penelitian dengan hasil analisa deskritif terhadap data dari kajian hukum

normatif, disusun secara sistematis sehingga memberikan gambaran yang konstruktif
mengenai permasalahan yang diteliti, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif, yaitu suatu
5

Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 196.
Ibid., hlm. 229.
7
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Op.Cit., hlm. 41.

6

tata cara penelitian untuk mencapai kejelasan masalah yang akan di bahas. Data tersebut
kemudian di analisa secara interpretatif yang menggunakan teori maupun hukum positif
secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.
Teori Hukum
Warisan merupakan hak kebendaan. Hukum waris yang berlaku di Indonesia masih
didasarkan pada penggolongan penduduk berdasarkan Pasal 163 juncto Pasal 131 Indische
Staatsregeling (Selanjutnya disebut ISR), Staatsblad 1925 Nomor 447. Terhadap Golongan
Eropa atau yang dipersamakan dengan itu, berlaku semua ketentuan dalam KUH Perdata.
Terhadap Golongan Timur Asing Tionghoa berlaku KUH Perdata dan peraturan mengenai

adoptie. Terhadap Golongan Timur Asing bukan Tionghoa berlaku sebagian pengaturan
dalam buku II, seluruh buku III dan Buku IV KUH Perdata,sedangkan hukum keluarga dan
hukum waris berlaku hukumnya masing-masing. Bagi golongan Bumiputra berlaku hukum
Adat, sedangkan yang beragama Islam berlaku hukum Islam. Penentuan mengenai siapasiapa yang menjadi ahli waris disebutkan dalam Pasal 111 ayat (1) huruf c angka 4
PMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1997 yang berbunyi "c. surat tanda bukti sebagai ahli waris
yang dapat berupa : bagi warganegara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris
yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan
oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia
(Contoh dalam Lampiran 3); bagi warganegara Indonesia keturunan Tionghoa: akta
keterangan hak mewaris dari Notaris, bagi warganegara Indonesia keturunan Timur Asing
lainnya: surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.", yang sebelumnya disebutkan
dalam Surat Edaran Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) Direktorat Jenderal Agraria
Nomor Dpt/12/63/12/69 tanggal 20 Desember 1969.
Kepemilikan bersama atas suatu benda adalah keadaan terhadap satu hak kebendaan,
dipunyai oleh dua orang atau lebih. Kepemilikan bersama ini terdiri dari kepemilikan
bersama yang bebas (vrij mede eigendom) dan kepemilikan bersama yang terikat (gebonden
mede eigendom).8 Menurut Pitlo, Kepemilikan bersama yang bebas (milik-serta bebas) adalah
kepemilikan bersama (milik-serta) dimana peserta hanya terikat oleh hal, bahwa mereka
adalah pemilik bersama (pemilik-serta)9. Yang termasuk kepemilikan bersama yang bebas
8


H.F.A. Völlmar, Hukum Benda [Inleiding tot de studie van hetNederlands Burgelijk Recht]. Disadur oleh
Chidir Ali. Bandung:Penerbit Tarsito, 1980, hlm. 84.
9
A. Pitlo, Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid 2 [Het Erfrecht naar
het Nederlands Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh M. Isa Arief, cet. 2, Jakarta:PT. Intermasa,1986, hlm.
56.

adalah suatu benda atau lebih tanpa persekutuan seperti yang akan disebutkan di bawah,
menjadi milik dua orang atau lebih. Oleh karena itu, masing-masing pemilik bersama
(pemilik-serta) berhak penuh atas hak bagiannya dalam kepemilikan bersama, dengan
demikian dapat melakukan tindakan pemilikan terhadapnya dengan bebas. Kepemilikan
bersama yang terikat (milik-serta terikat) adalah kepemilikan bersama (milik-serta) yang
berupa salah satu akibat dari ikatan hukum yang ada diantara para peserta. Yang termasuk
kepemilikan bersama yang terikat adalah terhadap segala benda-benda yang termasuk dalam
persekutuan antara dua orang atau lebih, misalnya kebersamaan dalam perkawinan (huwelijke
gemeenschap), kekayaan dalam venootschap, serta warisan yang belum terbagi.
Pemisahan (scheiding) adalah mengakhiri/pengakhiran (opheffen/opheffing) dari
hal/keadaan tak terbagi, menyangkut dua orang atau lebih, yang atas suatu benda/urusan
(zaak) bersama-sama mempunyai hak10. Apabila dua orang atau lebih bersama-sama

mempunyai suatu kumpulan kekayaan (vermogenscomplex), maka tidaklah diperlukan
mereka menghapuskan/mengakhiri hal yang tidak terbagi itu dengan satu perbuatan saja.
Mereka dapat menghapuskan hal yang tidak dapat dibagi itu sepanjang mengenai salah satu
benda saja, dengan memberikan benda yang satu ini kepada salah satu pihak. Untuk
menunjukkan bahwa pemisahan ini tidak meliputi seluruh kumpulan kekayaan, hal ini
dinamakan pemisahan sebagian (partiele scheiding). Jadi, Pemisahan adalah suatu perbuatan
hukum (rechtshandeling), dengan mana peserta bersama-sama menghapuskan hal yang tidak
dapat dibagi, sekurang-kurangnya mengenai salah satu benda, sekurang-kurangnya mengenai
salah seorang peserta. Hal ini sesuai dengan pendapat Hoge Raad dalam suatu putusan
tanggal 20 Juni 1951 (NJ. 1952,559)11. Pembagian tidak dapat dipisahkan dengan pemisahan.
Hal itu karena pemisahan adalah merombak suatu keseluruhan, mentapkan bagian-bagiannya,
yang kemudian harus diikuti dengan pembagian yaitu memperuntukkan bagian-bagian untuk
orang-orang yang berhak12. Peraturan pokok mengenai pemisahan diatur dalam Buku II Bab
XVII KUH Perdata, sedangkan pemisahan kepemilikan bersama ex pasal 573 KUH Perdata,
untuk persatuan harta perkawinan ex pasal 128 KUH Perdata dan untuk persatuan perseroan
ex pasal 1652 KUH Perdata merujuk pada peraturan tersebut.
Akibat dari pemisahan dan pembagian diatur dalam pasal 1083 sampai dengan pasal
185 KUH Perdata yaitu setiap ahli waris dianggap seketika (onmiddellijk) menggantika
pewaris dalam pemilikan benda yang diperolehnya karena pemisahan dan pembagian itu atau
10

Komar Andasasmita, Notaris III HukumHarta Perkawinan dan Waris menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Teori & Praktek), Bandung:Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat,1990, hlm. 455.
11
A. Pitlo, Op.cit., hlm. 51.
12
Ibid., hlm. 55.

yang secara pembelian yang dimaksud dalam pasal 1076 KUH Perdata. Hal ini menunjukkan
bahwa tindakan hukum yang bersangkutan berkekuatan surut (terugwerkende kracht).
Demikian pula halnya dengan hasil penukaran yang dimaksud dalam pasal 1080 KUH
Perdata. Jadi ahli waris yang menerima bagian itu seakan-akan secara seketika mewarisnya
dari pewaris, tak perduli apa yang terjadi antara saat terbukanya warisan itu dengan waktu
pembagian. Ajaran umum modern yang diperkuat oleh putusan HR tanggal 14 Januari 1887
(W. 5388), tanggal 17 Maret 1916 (NJ 1916, 522) dan tanggal 06 April 1956 (NJ 1957, 479)
bahwa pemisahan bersifat deklaratief, pemisahan tidak perlu diikuti dengan penyerahan,
karena perjanjian pemisahan itu sendiri sudah menimbulkan akibat hukum. Sebagai akibat
dari ajaran declaratif de propriété ini adalah seketika setelah dilangsungkannya pemisahan
itu, tiap-tiap ahli waris dianggap sebagai pemilik atas benda yang dibagikan kepadanya. Jadi
apabila seseorang merupakan satu-satunya ahli waris, maka karena meninggalnya pewaris itu
saja ia adalah pemilik tunggal atas harta peninggalan tersebut, tanpa suatu penyerahan
(zonder enige levering). Apabila ahli waris itu terdiri dari beberapa orang, maka pemilikan itu
terjadi karena pemisahan. Demikian menurut pendapat Land, Meijers, Asser-Scholten,
Veegens, Polak dan Pitlo.
UUPA mengatur hak-hak atas tanah sesuai dengan asas hukum adat yang disebutkan
pada pasal 5 UUPA, sesuai dengan sistematika hukum adat.

13

pasal 16 ayat (1) UUPA

menentukan hak-hak atas tanah antara lain hak milik; hak guna usaha;

hak

guna

bangunan; hak pakai; hak sewa; hak membuka tanah; dan hak memungut hasil hutan
Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan
hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembuatan akta PPAT harus
disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam
suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak
atau kuasanya, keberadaan dokumen dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan
telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan. PPAT
wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan
mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan
selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku. Akta PPAT dibuat sebanyak 2 (dua) lembar asli,
satu lembar disimpan di Kantor PPAT dan satu lembar disampaikan kepada Kepala Kantor
13

R. Roestandi Ardiwilaga, Hukum Agraria Indonesia dalam teori dan praktek, Cet. 2, Bandung:Penerbit
NV.Masa Baru, 1962, hlm. 402.

Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, sedangkan kepada pihak-pihak yang bersangkutan
diberikan salinannya.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
(Selanjutnya disebut UU PDRD), mengatur BPHTB menjadi Pajak Daerah dan karenanya
dipungut oleh pemerintah daerah. Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, BPHTB diatur
dengan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010,
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Selanjutnya disebut Perda No. 18
Tahun 2010). Tarif BPHTB untuk Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebesar
5% (lima persen). NPOPTKP ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 13 Tahun 2016, tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Gubernur
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 112 Tahun 2011 tentang Prosedur Pengenaan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Tahun 2016 Nomor 71004, sebesar Rp. 80.000.000,- (delapan puluh juta
Rupiah) untuk setiap wajib pajak; dan Rp. 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta Rupiah)
untuk waris dan Hibah Wasiat. BPHTB atas perolehan hak atas waris di Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta dihitung dengan menggunakan cara perhitungan 5% dikali (nilai
pasar dikurangi NPOPTKP sebesar Rp. 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta Rupiah)
dikali 50%. BPHTB atas waris terutang sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan
peralihan haknya ke Kantor Pertanahan. BPHTB atas perolehan hak atas pemisahan yang
mengakibatkan peralihan hak dihitung dengan menggunakan cara perhitungan 5% dikali
(nilai pasar dikurangi NPOPTKP sebesar Rp. 80.000.000,- (delapan puluh juta Rupiah) dikali
bagian dari tanah yang dialihkan. BPHTB atas pemisahan yang mengakibatkan peralihan hak
terutang sejak tanggal dibuatnya akta. UU PDRD maupun Perda No. 18 Tahun 2010 tidak
memberikan definisi pengenaan BPHTB terhadap pemisahan yang mengakibatkan peralihan
hak. Pasal 2 ayat (2) angka (7) UU BPHTB menyebutkan pemisahan yang mengakibatkan
peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan bangunan oleh orang
pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.
Pembahasan
Kepemilikan bersama yang bebas (milik-serta bebas) adalah kepemilikan bersama
(milik-serta) dimana peserta hanya terikat oleh hal, bahwa mereka adalah pemilik bersama
(pemilik-serta)14. Kepemilikan bersama yang terikat (milik-serta terikat) adalah kepemilikan
14

A. Pitlo, Op.cit., hlm. 56.

bersama (milik-serta) yang berupa salah satu akibat dari ikatan hukum yang ada diantara para
peserta. Yang termasuk kepemilikan bersama yang terikat adalah terhadap segala bendabenda yang termasuk dalam persekutuan antara dua orang atau lebih, misalnya kebersamaan
dalam perkawinan (huwelijke gemeenschap), kekayaan dalam venootschap, serta warisan
yang belum terbagi.

Gambar 1.
Kepemilikan Bersama Yang Bebas

Gambar 3.
Kepemilikan Bersama Terikat (Persekutuan)

Gambar 2.
Kepemilikan Bersama Yang Terikat dalam Perkawinan

Gambar 4.
Kepemilikan Bersama Terikat (Pewarisan)

Hubungan antara kepemilikan bersama yang terikat dan kepemilikan bersama yang
bebas meliputi persamaan dan perbedaan. Persamaan keduanya mempunyai ciri-ciri yang
sama yaitu terdapat suatu hak kebendaan dan pemiliknya berjumlah dua orang atau lebih
(mede eigenaren). Perbedaan : Kepemilikan bersama yang bebas (milik-serta bebas) adalah
kepemilikan bersama (milik-serta) dimana peserta hanya terikat oleh hal, bahwa mereka
adalah pemilik bersama (pemilik-serta), sedangkan Kepemilikan bersama yang terikat (milikserta terikat) adalah kepemilikan bersama (milik-serta) yang berupa salah satu akibat dari
ikatan hukum yang ada diantara para peserta. Konsekuensi dari kepemilikan bersama yang
bebas adalah masing-masing hak bagian dari tiap-tiap pemilik serta adalah berdiri sendiri,
dalam arti masing-masing pemilik serta dapat melakukan tindakan pemilikan terhadap hak
bagiannya masing-masing, antara lain mengalihkan dan atau menyewakan. Oleh sebab itu,
kepemilikan bersama yang bebas adalah kepemilikan bersama yang telah matang untuk
dipisah karena masing-masing hak bagian pemilik serta berdiri sendiri. Selain itu,
kepemilikan bersama tidak digantungkan pada suatu keadaan, sehingga baru berakhir apabila
para pihak berkehendak untuk mengakhiri kepemilikan bersama itu, maupun salah
seorangatau lebih pemilik serta hendak keluar dari kepemilikan bersama tersebut.

Konsekuensi dari kepemilikan bersama yang terikat adalah para pemilik serta tidak dapat
melakukan tindakan kepemilikan berdasarkan haknya sendiri, melainkan harus bersama-sama
dengan pemilik serta yang lain. Para pemilik serta secara bersama-sama dapat menjadi
pemilik, kreditur maupun debitur dalam kepemilikan bersama yang terikat. Terdapat
pengecualian untuk kepemilikan bersama yang terikat berupa warisan untuk penjualan
ataupun pertukaran diantara para ahli waris berdasarkan Pasal 1076 KUH Perdata.
Kepemilikan bersama yang terikat akan berlangsung dengan digantungkan pada
keadaan dari ikatan hukum yang mengikat para pemilik-serta. Ikatan hukum dalam
kepemilikan bersama yang terikat, terutama menyangkut kewajiban (baik berupa
hutang/passiva dan beban) dan ketentuan mengenai hak bagian. Dalam hal perkawinan, maka
kepemilikan bersama yang terikat berlangsung sampai dengan putusnya perkawinan. Dalam
ikatan perkawinan, kepemilikan bersama atas harta perkawinan pada umumnya berlaku
ketentuan umum dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 UU Perkawinan. Berdasarkan Pasal
38 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Selanjutnya disebut UU
Perkawinan), perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan putusan pengadilan.
Namun perlu diperhatikan bahwa kepemilikan bersama atas harta perkawinan berakhir saat
perkawinan putus. Berdasarkan Pasal 37 UU Perkawinan, bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Pemisahan harta
perkawinan lazim terjadi dalam hal perkawinan putus karena perceraian, dengan gugatan
yang kemudian akan diputus oleh Hakim Pengadilan yang berwenang. Dalam hal
persekutuan, ikatan antar sekutu ditentukan dalam perjanjian persekutuan serta tunduk pada
ketentuan umum mengenai persekutuan yang diatur dalam Bab VIII Buku 3 KUH Perdata
tentang Perikatan. Kepemilikan bersama dalam persekutuan berakhir pada saat persekutuan
bubar. Dalam hal pewarisan, kepemilikan bersama dimulai saat warisan terbuka dan berakhir
pada saat pembagian warisan. Warisan menurut KUH Perdata meliputi aktiva dan passiva,
sedangkan warisan menurut hukum adat dan hukum islam harus dikurangi dengan hutang
pewaris dan biaya penguburan yang harus dibayar terlebih dahulu sebelum warisan dibagi.
Pada dasarnya karena pewarisan hukum adat bersifat kekeluargaan, pemisahan terhadap
warisan sangat jarang terjadi, kalaupun terjadi hanyalah secara lisan. Namun seiring dengan
perkembangan termasuk masalah yang muncul di masyarakat, suatu alat bukti untuk
membuktikan pemisahan atas warisan dibutuhkan. Pemisahan terhadap warisan berdasarkan
Hukum Islam dilakukan oleh Pengadilan Agama.

Kepemilikan bersama yang bebas dapat juga meliputi kepemilikan bersama yang
terikat contohnya adalah dalam hal ada beberapa orang membeli sebidang tanah bersamasama, kemudian salah satu pemilik serta meninggal dunia.

Gambar 5.
Kepemilikan bersama yang bebas yang terdiri dari sebagian kepemilikan bersama yang terikat

Pembagian tidak dapat dipisahkan dengan pemisahan. Hal itu karena pemisahan
adalah merombak suatu keseluruhan, menetapkan bagian-bagiannya, yang kemudian harus
diikuti dengan pembagian yaitu memperuntukkan bagian-bagian untuk orang-orang yang
berhak15. Peraturan pokok mengenai pemisahan diatur dalam Buku II Bab XVII KUH
Perdata, sedangkan pemisahan kepemilikan bersama pasal 573 KUH Perdata, untuk persatuan
harta perkawinan pasal 128 ayat (2) KUH Perdata dan untuk persatuan persekutuan pasal
1652 KUH Perdata merujuk pada peraturan tersebut. Pasal 573 KUH Perdata mengatur
bahwa membagi sesuatu kebendaan yang menjadi milik lebih dari satu orang, harus
dilakukan menurut aturan-aturan yang ditentukan tentang pemisahan dan pembagian harta
peninggalan. Pasal 128 ayat (2) KUH Perdata mengatur ketentuan-ketentuan tertera dalam
bab tujuhbelas buku kedua mengenai pemisahan harta peninggalan berlaku terhadap
pembagian harta benda persatuan menurut undang-undang. Pasal 1652 KUH Perdata
mengatur bahwa aturan-aturan pembagian warisan-warisan, cara-cara pembagian itu
dilakukan, serta kewajiban-kewajiban yang terbit karenanya antara orang-orang yang turut
mewaris, berlaku juga untuk pembagian di antara para sekutu.
Terminologi "Pemisahan dan Pembagian Atas Kepemilikan Bersama Hak Atas Tanah
yang Mengakibatkan Peralihan" tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan, namun
menurut teori doktrin suatu pemisahan selalu diikuti dengan pembagian. Terminologi
"pemisahan yang mengakibatkan peralihan" tercantum dalam UU BPHTB dan UU PDRD
yang mengatur tentang BPHTB. Dalam penjelasan UU PDRD mengenai pemisahan yang
mengakibatkan peralihan, tertulis "cukup jelas". Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) huruf a
angka (7) UU BPHTB tertulis "Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah

15

Ibid., hlm. 55.

pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan kepada sesama pemegang hak bersama". Pejelasan ketentuan umum UU BPHTB tahun
1997 menjelaskan bahwa BPHTB merupakan pengganti dari Bea Balik Nama berdasarkan
Ordonansi Bea Balik Nama yang mengatur mengenai bea atas balik nama atas semua
perjanjian penyerahan harta tak bergerak atas obyek hak atas tanah dengan titel hak barat
yaitu eigendom, opstal dan erfpacht, berdasarkan Ordonansi Balik Nama. Dengan
diundangkannya UUPA, yang menghapus hak atas tanah dengan titel hak barat, maka
Ordonansi Bea Balik Nama sepanjang mengenai hak atas tanah dengan sendirinya dianggap
dicabut. Tahun 2000 diadakan perubahan terhadap UU BPHTB, warisan berupa hak atas
tanah menjadi obyek BPHTB. Pengaturan BPHTB dalam RUU PDRD secara praktis sama
dengan pengaturan BPHTB padaUU BPHTB. Yang dirundingkan di antara Pemerintah dan
DPR mengenai BPHTB hanyalah mengenai tarif dan NJOPTKP. BPHTB sendiri menjadi
pajak ganda nasional, yaitu dalam hal seseorang memperoleh hak atas tanah yang kemudian
dikenai BPHTB, kemudian suatu saat akan mengalihkan kepada orang lain baik dengan jual
beli, hibah (bukan hibah orang tua ke anak atau sebaliknya), maupun tukar menukar yang
terutang Pajak Penghasilan (PPh) Final. Pajak ganda nasional terjadi di suatu negara, yang
mengenakan dua kali pajak atas obyek yang sama, pada subyek yang sama 16. Terminologi
"Pemisahan dan Pembagian Atas Kepemilikan Bersama Hak Atas Tanah yang Tidak
Mengakibatkan Peralihan" tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan, namun
menurut teori doktrin suatu pemisahan selalu diikuti dengan pembagian seperti telah
diuraikan di atas. Terminologi "pemisahan yang tidak mengakibatkan peralihan" juga tidak
ditemui dalam peraturan perundang-undangan, melainkan penafsiran secara a contrario
penulis sebagai kebalikan dari terminologi "pemisahan yang mengakibatkan peralihan" yang
dicantumkan dalam UU BPHTB. Hal ini penting untuk membedakan pemisahan yang
terutang BPHTB dan yang tidak terutang BPHTB.
Pemisahan dan Pembagian Atas Kepemilikan Bersama Hak Atas Tanah yang
Mengakibatkan Peralihan terjadi peralihan hak dari pemilik serta yang satu kepada pemilik
serta yang lain, dengan demikian terutang BPHTB. Pemisahan dan Pembagian Atas
Kepemilikan Bersama Hak Atas Tanah yang Tidak Mengakibatkan Peralihan secara hukum
tidak terjadi peralihan hak dari pemilik serta yang satu kepada pemilik serta yang lain,
dengan demikian tidak terutang BPHTB.

16

Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Bandung : Eresco, 1987, hlm. 74.

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa salah satu sifat dari kepemilikan bersama yang
bebas adalah sifat dari hak bagian masing-masing pemilik serta yang berdiri sendiri, sehingga
terhadapnya si pemilik serta dapat melakukan tindakan pemilikan. Oleh karena segala
peralihan atas hak bagian pemilik serta tersebut baik kepada sesama pemilik serta maupun
pihak ketiga yang bukan pemilik serta, maka dapatlah pengalihan hak bagian ini merupakan
pengalihan hak biasa yaitu dapat dengan perbuatan hukum jual beli, hibah maupun tukar
menukar. Dengan demikian apabila terjadi pemisahan dan pembagian dimana terdapat salah
satu pemilik serta mengalihkan hak bagiannya kepada kepada sesama pemilik serta maupun
pihak ketiga yang bukan pemilik serta, maka terhadap pemisahan dan pembagian tersebut
mengakibatkan peralihan.
Pemisahan dan pembagian terhadap kepemilikan bersama yang terikat atas hak atas
tanah merupakan pemisahan dan pembagian atas kepemilikan bersama yang tidak
mengakibatkan peralihan. Sedangkan pemisahan dan pembagian terhadap kepemilikan
bersama yang bebas atas hak atas tanah dapat merupakan pemisahan dan pembagian atas
kepemilikan bersama yang tidak mengakibatkan peralihan maupun pemisahan dan
pembagian atas kepemilikan bersama yang mengakibatkan peralihan. Mengingat untuk
kepemilikan bersama yang terikat dan kepemilikanbersama yang bebas atas hak atas tanah,
masing-masing pemisahannya sama-sama dilakukan dengan menggunakan satu form akta
yaitu Akta Pembagian Hak Bersama, mengingat pentingnya perbedaan antara kepemilikan
bersama yang terikat terutama menyangkut warisan dan kepemilikan bersama yang bebas,
untuk menghindari miskonsepsi penafsiran terhadap kedua jenis kepemilikanbersama dan
konsekuensi hukumnya, perlu diadakan form akta pemisahan tersendiri untuk masing-masing
kepemilikan bersama yang terikat khususnya mengenai warisan dan kepemilikan bersama
yang bebas. Sebelum diundangkan PP No. 24 Tahun 1997, terdapat form Akta Pemisahan
Harta Warisan untuk perbuatan hukum pemisahan terhadap warisan dan Akta Pemisahan dan
Pembagian untuk kepemilikan bersama lainnya. Penggunaan kembali kedua form akta
tersebut dapat menjadi pertimbangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional.
Pembuatan Akta yang dibuat di hadapan PPAT, mengikuti aturan yang ditetapkan
dalam PP No. 24 tahun 1997 dan PMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1997. Kewajiban PPAT untuk
melakukan Pengecekan atas hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun diatur
dalam Pasal 97 PMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1997. Mulai tahun awal tahun 2015, sesuai
dengan Surat Edaran Nomor 5/SE-100/I/2015 tanggal 29 Januari 2015 dikeluarkan oleh
Sekretaris Utama Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Kantor Pertanahan Kota

Administrasi Jakarta Barat telah menerapkan layanan daring aplikasi Komputerisasi Kegiatan
Pertanahan (KKP) untuk kegiatan layanan administrasi pertanahan pada laman situs
loket.bpn.go.id. yang dapat diakses oleh masing-masing PPAT dalam wilayah jabatan Kota
Administrasi Jakarta Barat menggunakan user id masing-masing PPAT. Sebenarnya layanan
pengecekan sertipikat daring ini merupakan suatu kemajuan, hanya saja dalam
perkembangannya masih perlu diadakan peningkatan efektivitas layanan terutama dalam
teknis pengerjaan. Dalam layanan daring, setelah input permohonan pengecekan sertipikat
oleh PPAT melalui website loket.bpn.go.id, diperlukan pengiriman permohonan dokumen
fisik termasuk sertipikat asli, yang kemudian sertipikat asli tersebut akan diberi stempel
sesuai dengan PMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1997 dengan waktu kerja 2 hari. Hal ini memang
dimaklumi mengingat masih banyak sengketa terhadap kepemilikan sertipikat-sertipikat yang
diterbitkan Kantor Pertanahan, sehingga dibutuhkan sertipikat asli untuk distempel
pengecekannya. Namun demikian, terbuka kemungkinan untuk inovasi untuk meningkatkan
efisiensi dapat dipertimbangkan untuk menyediakan layanan pengecekan sertipikat secara
komputasi waktu nyata (real-time) dengan hasil online yang hasil pengecekannya yaitu sesuai
dengan buku tanah/terdapat sita, gugatan, atau perkara, kemudian dicetak oleh PPAT yang
bersangkutan untuk dijadikan dasar membuat Akta PPAT, sehingga dapat mempersingkat
waktu pengerjaan tanpa mengurangi esensi filosofis tujuan diadakannya pengecekan
sertipikat. Dari sisi penerimaan negara, dimungkinkan untuk diatur untuk menyediakan
sistem layanan voucher yang dapat dibayar di Bank persepsi pemerintah yang kemudian
nomor voucher dapat digunakan untuk mengakses layanan Pengecekan Sertipikat daring.
Sistem semacam ini telah digunakan dengan baik dalam Sistem Administrasi Badan Hukum
melalui ahu.go.id. Pembuatan Akta PPAT mengikuti tertib acara yang diatur dalam Pasal 101
dan 102 PMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1997.Pendaftaran peralihan hak dilakukan secara
daring dengan situs yang sama yaitu melalui loket.bpn.go.id. Pembuatan APHB sebagai
kelanjutan dari perolehan karena waris, akses pendaftaran daring diakses dua kali untuk
pendaftaran balik nama waris dan balik nama berdasarkan APHB.
Penyampaian berkas ke Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat akan
diterima dan dicek oleh petugas loket, yang kemudian akan mengarahkan keloket
pembayaran untuk dihitung tarif pelayanan pendaftaran peralihan haknya. Berdasarkan Pasal
16 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 125 tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Tarif Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b berupa Pelayanan Pendaftaran Pemindahan

Peralihan Hak Atas Tanah untuk Perorangan dan Badan Hukum, dihitung berdasarkan rumus
T = (1‰ x Nilai Tanah) + Rp 50.000,00. Nilai Tanah didasarkan pada perkalian luas tanah
dengan Zona Nilai Tanah berdasarkan Surat Edaran Nomor 1/SE-100/I/2013 tanggal 03
Januari 2013, yang dikeluarkan oleh Sekretaris Utama Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia. Setelah dibayarkan lewat Bank persepsi, pembayaran akan dicatat dalam buku
daftar Isian 305 yaitu Daftar Penerimaan Uang Muka Biaya Pendaftaran Tanah (Buku
Panjar), yang kemudian kepada pemohon diberikan kwitansi yang sebelumnya telah
dimasukkan dalam daftar isian 306 tentang Bukti Penerimaan/kwitansi. Setelah biaya
pendaftaran sudah dibayar, berkas permohonan akan dimasukkan dalam buku daftar isian 301
yaitu Daftar Permohonan Pekerjaan Pendaftaran Tanah, untuk dimulai proses pengerjaannya.
Untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah yang tidak memerlukan pengukuran terlebih
dahulu, nama pemegang hak yang lama dalam buku tanah dan dalam sertipikat akan dicoret
dan diganti dengan nama pemegang hak baru serta disebutkan dasar peralihannya. Untuk
pendaftaran peralihan hak atas tanah yang memerlukan pengukuran terlebih dahulu, oleh
petugas akan diserahkan kepada petugas buku daftar isian 302 untuk pengerjaan pengukuran.
Setelah pengerjaan sertipikat selesai, selanjutnya akan disampaikan kepada Kepala Sub Seksi
Peralihan dan Pembebanan dan PPAT untuk dikoreksi, yang apabila semua persyaratan
peralihan hak telah terpenuhi, akan membubuhkan tanda tangannya pada buku tanah dan
sertipikat. Setelah berkas dan sertipikat sudah ditanda tangani, akandiserahkan kepada
petugas daftar isian 307 yaitu daftar penghasilan negara untuk diberi nomor tanggal dan
dilanjutkan ke petugas daftar isian 208 yaitu daftar penyelesaian pekerjaan pendaftaran tanah
untuk diberi nomor warkah (dokumen-dokumen persyaratan). Setelah selesai penomeran
pada daftar isian 307 dan 208, sertipikat telah selesai dan dapat diambil oleh pemohon.
Berkaitan dengan pendaftaran peralihan hak - pewarisan dimana telah terdapat pilihan
menu Akta Pembagian Harta Warisan, hal ini sudah sangat tepat, karena sifat dari akta
pembagian hak bersama tidaklah dapat mengakomodir akta pembagian harta warisan. Perlu
ditindak lanjuti dengan pengaturan mengenai Akta Pembagian Harta Warisan.
Hasil penelitian yang dilakukan pada Kantor PPAT Aris Hendrawan Halim, SH
terdapat beberapa contoh perbuatan hukum berkaitan dengan pembuatan Akta Pembagian
Hak Bersama yang dibuat dihadapan Aris Hendrawan Halim, SH, antara lain :
1.

Akta Pembagian Hak Bersama Nomor 76/2008 tanggal 30 Desember 2008, dibuat di
hadapan Aris Hendrawan Halim, SH, PPAT di Kota Administrasi Jakarta Barat.
a.

Kronologis : Sertipikat Hak Milik Nomor 1172/Jelambar atas nama 1. Tuan D;
dan 2. Tuan APT. Pada tanggal 10 Desember 1997, Tuan D dan Tuan APT

membeli sebidang tanah dengan Kartu Perpetakan. Atas tanah tersebut
diuruskan sertipikat dan terbit Sertipikat Hak Milik Nomor 1172/Jelambar atas
nama 1. Tuan D; dan 2. Tuan APT tanggal 25 Maret 1999. Tuan D dan Tuan
APT sepakat untuk membagi tanah tersebut menjadi dua bagian sama besar.
Setelah tanah tersebut diukur dan terbit surat ukur untuk masing-masing tanah
Tuan D dan Tuan APT, dibuatlah APHB. Pembuatan APHB ini tidak terutang
BPHTB.
b.

Hasil Penelitian : Berdasarkan uraian teori di atas, kepemilikan bersama Tuan
D dan Tuan APT atas Sertipikat Hak Milik Nomor 1172/Jelambar adalah
kepemilikan bersama yang bebas. Terhadap hak bagian masing-masing tuan D
dan Tuan APT atas kepemilikan bersama yang bebas tersebut, terjadi
kepemilikan bersama yang terikat dalam perkawinan, masing-masing dengan
istri Tuan D dan istri Tuan APT, karena masing-masing pasangan menikah
tanpa perjanjian pisah harta (tanpa persekutuan harta). Akta Pembagian Hak
Bersama Nomor 76/2008 tanggal 30 Desember 2008 tersebut merupakan
pemisahan dan pembagian yang tidak mengalihkan hak, karena pemisahan dan
pembagian dilakukan menurut hak bagian masing-masing Tuan D dan Tuan
APT.

2.

Akta Pembagian Hak Bersama Nomor 5/2013 tanggal 25 Maret 2013, dibuat di
hadapan Aris Hendrawan Halim, SH, PPAT di Kota Administrasi Jakarta Barat.
a.

Kronologis : Sertipikat Hak Milik Nomor 187/Tambora atas nama Nyonya
SKN. Nyonya SKN adalah istri dari Almarhum Tuan LFF yang telah
meninggal dunia di Jakarta, tanggal 29 Oktober 2003, seperti ternyata dari
Akta Keterangan Hak Waris Nomor 01/2004 tanggal 01 Maret 2004, dibuat
oleh Aris Hendrawan Halim, SH. Almarhum Tuan LFF dan Nyonya SKN
telah menikah tanpa membuat perjanjian nikah. Ahli waris Almarhum Tuan
LFF adalah Nyonya Janda SKN, Nona VES, dan Nona LN. Para ahli waris
dari Almarhum Tuan LFF sepakat untuk membagikan kepada Nyonya Janda
SKN sebagai pemegang tunggal atas tanah tersebut. BPHTB atas warisan
Almarhum Tuan LFF telah dibayar. Tidak terutang BPHTB atas APHB.
Namun, dalam pendaftaran permohonan peralihan hak atas dasar pewarisan
dan APHB kepada Nyonya Janda SKN, dikembalikan karena menurut petugas
Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat, tidak terjadi peralihan hak

karena dari awal Sertipikat tersebut tertulis atas nama Nyonya SKN dan akan
dijadikan atas nama Nyonya Janda SKN.
b.

Hasil Penelitian : Berdasarkan uraian teori di atas, kepemilikan bersama
Nyonya Janda SKN, Nona VES dan Nona LN atas Sertipikat Hak Milik
Nomor 187/Tambora adalah kepemilikan bersama yang terikat berupa harta
perkawinan dan warisan. Akta Pembagian Hak Bersama Nomor 5/2013
tanggal 25 Maret 2013 tersebut merupakan pemisahan dan pembagian yang
tidak mengalihkan hak, karena akibat dari pemisahan dan pembagian atas
harta perkawinan dan warisan diatur dalam pasal 1083 KUH Perdata yang
menyatakan secara tegas dan jelas bahwa setiap ahli waris dianggap seketika
menggantikan pewaris dalam hak milik atas benda yang dibagikan kepadanya.
Tindakan hukum yang bersangkutan berkekuatan surut (terugwerkende
kracht) sampai dengan meninggalnya si pewaris. Dalam hal ini terjadi
kekhilafan dalam pemahaman terutama terhadap hukum keluarga dalam
kaitannya dengan pembuatan APHB tersebut, dimana Nyonya SKN menikah
dengan Almarhum Tuan LFF tanpa membuat perjanjian nikah, sehingga demi
hukum terjadi persatuan harta secara bulat. Manakala Almarhum Tuan LFF
meninggal, walaupun Sertipikat tersebut atas nama Nyonya SKN, namun
terdapat hak dari Almarhum Tuan LFF sebesar 1/2 bagian. Oleh karena
Almarhum Tuan LFF meninggal, maka bagian dari Almarhum Tuan LFF
tersebut dibagi di antara ahli waris. Oleh karena pewarisan merupakan
peristiwa hukum, seharusnya tetap dicatatkan dalam Sertipikat. Pasal 4 ayat
(2) PP No. 24 Tahun 1997 mengatur bahwa setiap peralihan dan pembebanan
atas hak atastanah harus dicatat oleh Kantor Pertanahan.

3.

Akta Pembagian Hak Bersama Nomor 26/2013 tanggal 30 Desember 2013, dibuat di
hadapan Aris Hendrawan Halim, SH, PPAT di Kota Administrasi Jakarta Barat.
a.

Kronologis : Sertipikat Hak Milik Nomor 3534/Jelambar Baru atas nama Tuan
EA. Almarhum Tuan EA telah meninggal dunia di Jakarta, tanggal 17 Januari
2013, seperti ternyata dari Akta Keterangan Hak Waris Nomor 4/2013 tanggal
23 Maret 2013, dibuat oleh Aris Hendrawan Halim, SH. Almarhum Tuan EA
meninggalkan seorang istri, Nyonya LA, dan empatorang anak yaitu Tuan
SAA, Tuan SOA, Nyonya SIA dan Nona SA. Almarhum Tuan EA dan
Nyonya LA telah menikah tanpa membuat perjanjian nikah. Ahli waris
Almarhum Tuan EA adalah Nyonya Janda LA, Tuan SAA, Tuan SOA,

Nyonya SIA dan Nona SA. Para ahli waris dari Almarhum Tuan EA sepakat
untuk membagikan kepada Nona SA sebagai pemegang tunggal atas tanah
tersebut. BPHTB atas warisan Almarhum Tuan EA telah dibayar. Tidak
terutang BPHTB atas APHB. Pendaftaran permohonan peralihan hak atas
dasar pewarisan dan APHB selesai dilakukan dan Sertipikat sudah atas nama
Nona SA.
b.

Hasil Penelitian : Berdasarkan uraian teori pada Bab 2 dan uraian 3.1. Tesis
ini, kepemilikan bersama Nyonya Janda LA, Tuan SAA, Tuan SOA, Nyonya
SIA dan Nona SA atas Sertipikat Hak Milik Nomor 3534/Jelambar Baru
adalah kepemilikan bersama yang terikat berupa harta perkawinan dan
warisan. Akta Pembagian Hak Bersama Nomor 26/2013 tanggal 30 Desember
2013 tersebut merupakan pemisahan dan pembagian yang tidak mengalihkan
hak, karena akibat dari pemisahan dan pembagian atas harta perkawinan dan
warisan diatur dalam pasal 1083 KUH Perdata yang menyatakan secara tegas
dan jelas bahwa setiap ahli waris dianggap seketika menggantikan pewaris
dalam hak milik atas benda yang dibagikan kepadanya. Tindakan hukum yang
bersangkutan berkekuatan surut (terugwerkende kracht) sampai dengan
meninggalnya si pewaris. Dengan demikian, pembuatan APHB tersebut dan
pendaftaran peralihan haknya sudah sesuai dengan sifat kepemilikan bersama
yang terikat atas harta perkawinan dan warisan.

4.

Akta Pembagian Hak Bersama Nomor 03/2014 tanggal 17 Pebruari 2014, dibuat di
hadapan Aris Hendrawan Halim, SH, PPAT di Kota Administrasi Jakarta Barat.
a.

Kronologis : Sertipikat Hak Milik Nomor 2204/Jelambar atas nama Nyonya W
dan Tuan ZT. Nyonya W dan Tuan ZT memperoleh tanah tersebut yang
berasal dari warisan ibu mereka yaitu Almarhumah Nyonya CA. Nyonya W
dan Tuan ZT berkehendak untuk membagi tanah tersebut secara sempurna
yaitu Nyonya W mendapat 1/2 bagian dan Tuan ZT mendapat 1/2 bagian.
Sebelum APHB dibuat telah dilakukan pengukuran dan telah diterbitkan Surat
Ukur

atasnama

masing-masing.

Mulanya

dari

petugas

pertanahan

mempertanyakan mengenai BPHTB yang terutang sehubungan dibuatnya
APHB. Namun pada saat pendaftarannya terjadi kealpaan dari petugas yaitu
terjadi kekeliruan pencatatan yaitu atas kedua bidang tanah yang sudah
dipecah masing-masing tertulis atas nama Nyonya W dan Tuan ZT, yang
kemudian diperbaiki oleh Kantor Pertanahan menjadi satu bidang tanah atas

nama Nyonya W dan satu bidang tanah lainnya atas nama Tuan ZT. Dalam
kasus ini tidak terutang BPHTB karena terjadi pemecahan subyek dan obyek
secara sempurna dengan bagian yang sama.
b.

Hasil Penelitian : Berdasarkan uraian teori pada Bab 2 dan uraian 3.1. Tesis
ini, kepemilikan bersama Nyonya W dan Tuan ZT atas Sertipikat Hak Milik
Nomor 2204/Jelambar adalah kepemilikan bersama yang terikat berupa
warisan. Akta Pembagian Hak Bersama Nomor 03/2014 tanggal 17 Pebruari
2014 tersebut merupakan pemisahan dan pembagian yang tidak mengalihkan
hak, karena akibat dari pemisahan dan pembagian atas warisan diatur dalam
pasal 1083 KUH Perdata yang menyatakan secara tegas dan jelas bahwa setiap
ahli waris dianggap seketika menggantikan pewaris dalam hak milik atas
benda yang dibagikan kepadanya. Tindakan hukum yang bersangkutan
berkekuatan surut (terugwerkende kracht) sampai dengan meninggalnya si
pewaris. Dengan demikian, pembuatan APHB tersebut dan pendaftaran
peralihan haknya sudah sesuai dengan sifat kepemilikan bersama yang terikat
atas harta perkawinan dan warisan.

5.

Akta Pembagian Hak Bersama Nomor 18/2014 tanggal 18 Desember 2014, dibuat di
hadapan Aris Hendrawan Halim, SH, PPAT di Kota Administrasi Jakarta Barat.
a.

Kronologis : Sertipikat Hak Milik Nomor 726/Angke atas nama Nyonya Janda
S dan Tuan D. Nyonya Janda S dan Tuan D memperoleh tanah tersebut yang
berasal dari warisan Almarhum Tuan ML. Nyonya Janda S adalah istri dari
Almarhum Tuan ML dan Tuan D adalah anak dari Almarhum Tuan ML. Balik
Nama waris atas sertipikat tanah tersebut telah dilakukan dari atas nama
Almarhum Tuan ML menjadi atas nama Nyonya Janda S dan Tuan D pada
tanggal 04 Desember 2009. Oleh karena kebutuhan ekonomi untuk dipakai
sebagai jaminan kredit, maka Nyonya Janda S dan Tuan D sepakat untuk
membagikan seluruhnya hak mereka kepada Nyonya Janda S. Setelah dibuat
APHB pada saat akan didaftarkan validasi SSPD-BPHTB nihil, dari Unit
Pelayanan Pajak Daerah Kecamatan Tambora menginformasikan bahwa
terutang BPHTB atas APHB yaitu dengan pertimbangan bahwa warisan sudah
selesai dibagi sehingga APHB yang dibuat bersifat sebagai pemisahan yang
mengakibatkan peralihan hak dan terutang BPHTB atas pemisahan hak
tersebut. Proses pendaftaran peralihan hak atas APHB tersebut telah selesai

dan sertipikat sudah tercatat atas nama Nyonya Janda S, namun UPPD
Kecamatan Tambora tetap berpegang bahwa APHB tersebut terutang BPHTB.
b.

Hasil Penelitian : Berdasarkan uraian teori pada Bab 2 dan uraian 3.1. Tesis
ini, kepemilikan bersama Nyonya Janda S dan Tuan D atas Sertipikat Hak
Milik Nomor 2204/Jelambar adalah kepemilikan bersama yang terikat berupa
warisan. Walaupun hak atas tanah telah dilakukan pendaftaran balik nama
waris menjadi atas nama Nyonya Janda S dan Tuan D, tidak otomatis berarti
telah dilakukan pemisahan dan pembagian atas warisan. KUH Perdata tidak
mengatur daluwarsa untuk melakukan pemisahan dan pembagian atas warisan,
sehingga sampai dilakukannya pemisahan dan pembagian, kepemilikan
bersama atas warisan tersebut adalah kepemilikan bersama yang terikat yang
belum dilakukan pemisahan dan pembagian. Akta Pembagian Hak Bersama
Nomor 18/2014 tanggal 18 Desember 2014 tersebut merupakan pemisahan
dan pembagian yang tidak mengalihkan hak, karena akibat dari pemisahan dan
pembagian atas warisan diatur dalam pasal 1083 KUH Perdata yang
menyatakan secara tegas dan jelas bahwa setiap ahli waris dianggap seketika
menggantikan pewaris dalam hak milik atas benda yang dibagikan kepadanya.
Tindakan hukum yang bersangkutan berkekuatan surut (terugwerkende
kracht) sampai dengan meninggalnya si pewaris. Dengan demikian, APHB
tersebut bukanlah pemisahan dan pembagian yang mengalihkan hak, sehingga
tidak dapat dikenai BPHTB. Dalam hal ini terjadi kekhilafan dalam
pemahaman terutama terhadap hukum waris, kepemilikan bersama yang
terikat berupa warisan, maupun akibat dari pemisahan dan pembagian
terhadap kepemilikan bersama yang terikat berupa warisan. Petugas UPPD
Tambora mengesampingkan pengetahuan mengenai hal-hal tersebut di atas
dan hanya menjadi corong ketentuan pengenaan BPHTB atas pemisahan hak
atas tanah berdasarkan UU PDRD. Petugas UPPD Tambora menyamakan
semua pemisahan dan pembagian adalah obyek BPHTB. Hal ini sangat
disayangkan karena memaksakan kewajiban membay