Persepsi Masyarakat Terhadap Peternakan. docx

LAPORAN PRAKTEK LAPANG
PERENCANAAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP USAHA PETERNAKAN SAPI
POTONG DI DESA LOMPO TENGAH, KECAMATAN TANETE RIAJA,
KABUPATEN BARRU.

KELOMPOK VI
KARTINA
SRI WAHYUNINGSIH
MEGAWATI
PADU L PASAMPANG
M. ASFAR SYAFAR
KURNIATI
RAHMAT HIDAYAT
ISNAWATI MUHAJIR
DARMAWANGSA

I111 12 017
I111 12 026
I111 12 040

I111 12 260
I111 12 286
I111 12 291
I111 12 309
I111 12 321
I111 12 902

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Usaha peternakan mempunyai prospek untuk dikembangkan karena tingginya
permintaan akan produk peternakan. Usaha peternakan juga memberi keuntungan
yang cukup tinggi dan menjadi sumber pendapatan bagi banyak masyarakat di
pedesaaan di Indonesia. Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging
di Indonesia. Namun, produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi

kebutuhan karena populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah. Rendahnya
populasi sapi potong antara lain disebabkan sebagian besar ternak dipelihara oleh
peternak berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas. Industri peternakan sapi
potong sebagai suatu kegiatan agribisnis mempunyai cakupan yang sangat luas.
Rantai kegiatan tidak terbatas pada kegiatan produksi di hulu tetapi juga sampai
kegiatan bisnis di hilir dan semua kegiatan bisnis pendukungnya (Murtidjo, 1990).
Peternakan merupakan salah satu subsektor pertanian yang memiliki peran besar
dalam menentukan keberhasilan petanian di indonesia. Pembangunan sektor peternakan
di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan pendapatan petani-peternak, mendorong
diversifikasi pangan dan perbaikan kualitas gizi masyarakat serta pengembangan
ekspor.Pembangunan produksi peternakan menjadi penting sebagai bagian dari upayaupaya untuk menciptakan suatu perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik.
Pembangunan peternakan memiliki omset besar dan memberikan kontribusi besar
terhadap kesejahteraan peternak. Potensi peternakan yang sangat besar di Indonesia
seharusnya dapat dijadikan sebagai pemacu perekonomian untuk mensejahterakan
bangsa (Saputra, 2009).

Persepsi adalah merupakan hasil interaksi antara dunia luar individu
(lingkungan) dengan pengalaman individu yang sudah diinternalisasi dengan sistem
sensorik alat indera sebagai penghubung, dan dinterpretasikan oleh system syaraf di otak
(Suharto, 2005). Pembangunan peternakan sapi potong tidak akan lepas dari persepsi

masyarakat disekitar lingkungan tempat didirikannya usaha peternakan. Hal inilah yang
melatar belakangi dilaksanakannya praktek lapang Perencanaan Pembangunan
Peternakan.
I.2Tujuan Praktek Lapang
Tujuan yang ingin dicapai pada Praktek Lapang Perencanaan Pembangunan
Peternakan ini agar dapat mengetahui persepsi masyarakat terhadap usaha peternakan
sapi potong di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru.
I.3 Kegunaan Praktek Lapang
Praktek Lapang Perencanaan Pembangunan Peternakan ini diharapkan dapat
memberikan kegunaan, antara lain:
a. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap usaha peternakan usaha sapi potong di
Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru.
b. Sebagai bahan informasi bagi instansi terkait dan para pengusaha peternakan sapi
potong di Kabupaten Barru, mengenai persepsi masyarakat terhadap usaha
peternakan sapi sapi potong di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja,
Kabupaten Barru.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tinjauan Umum Usaha Ternak Sapi Potong

Sapi potong asli Indonesia adalah sapi potong yang sejak dahulu kala sudah
terdapat di Indonesia, sedangkan sapi lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar
Indonesia, tetapi sudah berkembang biak dan dibudidayakan lama sekali di
Indonesia, sehingga telah mempunyai ciri khas tertentu. Bangsa sapi potong asli
Indonesia hanya sapi Bali (Bos Sondaicus), sedangkan yang termasuk sapi lokal
adalah sapi Madura dan sapi Sumba Ongole (Soehartono, 2010).
Memelihara sapi sangat menguntungkan, karena tidak hanya menghasilkan
daging atau susu, tetapi juga menghasilkan pupuk kandang dan sebagai potensi
tenaga kerja. Sapi potong sebagai penghasil daging, persentase karkas (bagian yang
dapat dimakan) cukup tinggi, yaitu berkisar antara 45% - 55% yang dapat dijual pada
umur 4-5 tahun (Rianto dan Purbowati, 2006).
Bibit ternak, dari segi usaha peternakan sapi potong mempunyai arti penting
dalam mendukung keberhasilan usaha. Sedangkan dari segi pemeliharaan sendiri,
tujuan ternak sapi potong di kenal dua alternatif, yaitu:


Usaha pemeliharaan sapi potong bibit bertujuan pengembangbiakan sapi potong.
Keuntungan yang diharapkan adalah hasil keturunannya.




Usaha pemeliharaan sapi potong bakalan bertujuan memelihara sapi potong
dewasa, untuk selanjutnya digemukkan. Keuntungan yang diharapkan adalah
hasil penggemukan.
Pemilihan sapi potong bibit dan bakalan yang akan di pelihara, akan

tergantung pada selera petani ternak dan kemampuan modal yang dimiliki. Namun

secara umum yang menjadi pilihan petani peternak, adalah sapi potong yang pada
umumnya dipelihara di daerah atau lokasi peternakan, dan yang paling mudah
pemasarannya (Murtidjo,1990).
Di indonesia cukup banyak dikenal sapi potong lokal, jenis sapi potong
impor, maupun sapi peranakan atau hasil silangan yang dikembangkan lewat kawin
suntik (inseminasi buatan). Penilaian keadaan individual sapi potong yang akan
dipilih sebagai sapi potong bibit atau bakalan, pada prinsipnya berdasarkan pada
umur, bentuk luar tubuh, daya pertumvbuhan dan temperamen Namun secara praktis
yang umumnya dipergunakan dalam penilaian individual, adalah mengamati bentuk
luar, yakni bentuk tubuh umum, ukuran vital dari bagian-bagian tubuh, normal
tidaknya pertumbuhan organ kelamin, dan dari sudut silislah tidsak terlepas dari
faktor genetis sapi potong. (Murtidjo, 1990)

Anggraini (2003) menyatakan usaha peternakan dapat diklasifikasikan
menjadi empat kelompok berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak,
yaitu: 1) peternakan sebagai usaha sambilan, yaitu petani mengusahakan komoditas
pertanian terutama tanaman pangan, sedangkan ternak hanya digunakan sebagai
usaha sambilan dengan skala usaha rakyat untuk mencukupi kebutuhan keluarga
dengan tingkat pandapatan dari ternak kurang dari 30%; 2) peternakan sebagai
cabang usaha, peternak mengusahakan pertanian campuran dengan ternak dan
tingkat pendapatan dari peternakan sebesar 30-70%; 3) peternakan sebagai usaha
pokok, peternak mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dengan tingkat
pendapatan mencapai 70-100%; 4) peternakan sebagai skala industri dengan tingkat
pendapatan dari usaha peternakan mencapai 100%. Struktur industri peternakan di
Indonesia sebagian besar tetap bertahan pada skala usaha rakyat.

Jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini adalah sapi asli
Indonesia dan sapi yang diimpor. Dari jenis-jenis sapi potong itu, masing-masing
mempunyai sifat-sifat yang khas, baik ditinjau dari bentuk luarnya (ukuran tubuh,
warna bulu) maupun dari genetiknya (laju pertumbuhan). Sapi-sapi Indonesia yang
dijadikan sumber daging adalah sapi Bali, sapi Ongole, sapi PO (peranakan ongole)
dan sapi Madura. Dari populasi sapi potong yang ada, yang penyebarannya dianggap
merata masing-masing adalah: sapi Bali, sapi PO, Madura dan Brahman. Memelihara

sapi potong sangat menguntungkan, karena tidak hanya menghasilkan daging dan
susu, tetapi juga menghasilkan pupuk kandang dan sebagai tenaga kerja. Sapi juga
dapat digunakan menarik gerobak, kotoran sapi juga mempunyai nilai ekonomis,
karena termasuk pupuk organik yang dibutuhkan oleh semua jenis tumbuhan.
Kotoran sapi dapat menjadi sumber hara yang dapat memperbaiki struktur tanah
sehingga menjadi lebih gembur dan subur (Yusdja Y, 2004).
II.2 Tinjauan Umum Perencanaan Pembangunan Peternakan
Direktorat Jenderal Peternakan menekankan bahwa pola perencanaan
pembangunan Peternakan menganut prinsip sinergi antara pola top downpolicy
dengan bottom up planning. Dengan pola ini sangat diharapkan bahwa kegiatan
yang dilakukan benar-benar sesuai dengan tujuan nasional, potensi dan kebutuhan
daerah (Ditjennak Peternakan, 2011).
Pembangunan

peternakan

mencakup

berbagai


kegiatan

agribisnis,

agroindustri, mulai dari hulu sampai hilir, yang memiliki omset besar dan
memberikan kontribusi besar terhadap kesejahteraan peternak. Potensi peternakan
yang sangat besar di Indonesia seharusnya dapat dijadikan sebagai pemacu
perekonomian untuk mensejahterakan bangsa. Hal itu dapat menjadi kenyataan

apabila peternakan dijadikan platform pembangunan nasional. Untuk itu
revitalisasi peternakan menjadi sangat penting. Ada beberapa keywords untuk
mencapai

keberhasilan

pembangunan

peternakan,

yaitu:


keberpihakan,

koordinasi, sumberdaya manusia, dan investasi (Ditjennak Peternakan, 2011).
Keberpihakan. Revitalisasi peternakan memerlukan keberpihakan dari
seluruh komponen bangsa, terutama politisi dan pengambil kebijakan agar
menempatkan peternakan yang kaya potensi dan merupakan mata pencaharian
mayoritas masyarakat, menjadi sub sektor yang perlu mendapatkan dukungan
konkrit. Dukungan dapat berupa penyediaan infrastruktur, kebijakan moneter dan
permodalan, asuransi, serta jaminan pemasaran yang adil. Dalam era globalisasi,
tanpa adanya keberpihakan, keniscayaan tentang revitalisasi peternakan itu
hanyalah angan-angan belaka (Ditjennak Peternakan, 2011).
Koordinasi. Pertanian termasuk peternakan didalamnya merupakan sektor
dan subsektor yang sangat luas. Institusi yang terlibat amat banyak dan tersebar di
lintas departemen. Akibat terlalu banyaknya yang ingin mengurus, berakibat
sektor tersebut tidak terurus dengan baik. Koordinasi tidak berjalan dengan baik,
sehingga program-program yang telah dicanangkan tidak dapat diselesaikan
dengan tuntas dan berhasil. Filosofi tentang pembangunan peternakan harus
benar-benar dipahami oleh berbagai pihak terkait, baik departemen teknis maupun
institusi lainnya. Permasalahan klasik masih nampak yaitu masalah persamaan

visi, leadership dan manajemen. Hal tersebut masih ditambah dengan euforia
demokrasi dan reformasi, termasuk menonjolnya kepentingan kelompok yang
tidak jarang mendistorsi kepentingan yang lebih besar (Ditjennak Peternakan,
2011).

Sumberdaya Manusia. Kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang masih
rendah juga menjadi persoalan. Sebagian besar (sekitar 79,5%) SDM yang
bekerja pada sektor pertanian adalah lulusan atau tidak tamat Sekolah Dasar.
Kondisi tersebut menggambarkan pentingnya perhatian pemerintah dalam
peningkatan kualitas SDM. Secara umum indeks pengembangan SDM Indonesia
masih rendah (lebih rendah dibandingkan Sri Langka dan Vietnam). Investasi
dalam peningkatan kualitas SDM adalah investasi jangka panjang yang mutlak
dilakukan (Ditjennak Peternakan, 2011).
Investasi.

Peningkatan

iklim

investasi


terutama

melalui

jaminan

keamanan, stabilitas politik dan kepastian hukum sangat dibutuhkan untuk
revitalisasi peternakan, untuk mendorong pebisnis menanamkan modalnya di
sektor agribisnis. Revitalisasi peternakan akan berjalan cepat sesuai harapan
apabila key parties yaitu Academician, Businessman, and Government(ABG)
dapat bersinergi dalam visi yang sama. Akademisi di semua instansi dan
masyarakat harus menyumbangkan pemikiran/konsep pembangunan, teknologi,
SDM yang berkualitas, dan menjadi moral force dalam percepatan pembangunan.
Iklim investasi harus terus diperbaiki agar pebisnis dapat terpacu menanamkan
modalnya di Indonesia dan mengisi program-programnya yang telah dicanangkan,
sedangkan

pemerintah

kebijakan/peraturan

yang

harus
tepat,

mendorong
pembangunan

pembangunan
infrastruktur,

melalui

memberikan

prioritas dalam alokasi anggaran pendidikan dan menyelenggarakan pemerintahan
yang bersih (goodgovernance) (Ditjennak Peternakan, 2011).
Pembangunan
berkesinambungan

peternakan
untuk

merupakan

mengembangkan

rangkaian

kemampuan

kegiatan

yang

masyarakat

petani

khususnya masyarakat petani peternak, agar mampu melaksanakan usaha produktif
dibidang peternakan secara mandiri. Usaha tersebut dilaksanakan bersama oleh
petani peternak, pelaku usaha dan pemerintah sebagai fasilitator yang mengarah
kepada berkembangnya usaha peternakan yang efisien dan memberi manfaat bagi
petani peternak. Pembangunan peternakan di Indonesia ditujukan kepada upaya
peningkatan produksi peternakan yang sekaligus untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani peternak, memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, menciptakan
kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, mendorong pengembangan Agroindustri
dan Agribisnis (Saputra, 2009.).
Pembangunan peternakan di Indonesia memiliki prospek yang cerah dimasa
yang akan datang, hal ini disebabkan karena besarnya jumlah penduduk sehingga secara
matematis permintaan akan produk peternakan seperti daging, telur dan susu akan
semakin meningkat pula. Salah satu sub sektor peternakan yang berperan dalam
penyediaan protein hewani adalah dibidang perunggasan. Telur merupakan salah satu
bahan pangan hewani yang paling lengkap gizinya (Ratna, 2012).
Swasembada daging sapi merupakan program pembangunan untuk sub sektor
peternakan yang tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional.
Keberhasilan program Swasembada Daging Sapi 2014 diharapkan tidak hanya dapat
memberikan kontribusi terhadap ketahan pangan nasional, tetapi juga peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan peternak serta pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Beberapa landasan hukum pelaksanaan swasembada daging sapi sebagai sebuah
program pembangunan nasional antara lain adalah:

1. Bagian dari prioritas pembangunan ketahanan pangan nasional sesuai Peraturan
Presiden No.5/2010 tentang Rencana Pembangunan jangka Menengah Nasiona
2010-2014 (RPJMN 2010-2014)
2. Pengarahan Bapak Presiden RI kepada Mentri dan Gubernur se-Indonesia dalam
Rapat kerja Program Percepatan dan Peningkatan Ekonomi Nasional yang
dilaksanakan tanggal 19-21 April 2010.
3. Peraturan Presiden No.32 tahun 2011, tentang Master Plan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI 2011-2025) telah
ditetapkan bahwa kegiatan ekonomi utama bidang peternakan difokuskan pada
Koridor Ekonomi Bali-Nusa tenggara.
4. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014 (PSDS 2014) yang diterbitkan
berdasarkan Permentan No.19/Permentan/OT.140/2/2010, tentang Pedoman Umum
Swasembada Daging Sapi 2014.
Dalam hubungan itu semua, tantangan mendasar yang timbul dalam perencanaan
pembangunan adalah bagaimana menjaga konsistensi antara dasar Negara sebagai
falsafah bangsa dalam bernegara yang merupakan “pemersatu jiwa dan pemikiran
bangsa” dengan pilihan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan, dan antar keduanya dengan stategi. Kebijakan, program, kegiatankegiatan, dan kinerja pembangunan (Ratna, 2012).
Berdasarkan RPJMN 2010-2014 untuk program kerja bidang pangan dapat
diidentifikasikan beberapa substansi inti/kegiatan prioritas yang terkait langsung dengan
sub sektor peternakan, seperti berikut:

1. Koordinasi bidang pengembangan urusan perikanan dan peternakan, dengan sasaran
meningkatnya

koordinasi

kebijakan,

serta

indikator

jumlah

rekomendasi

pembangunan peternakan dan veteriner, diseminasi, promosi dan publikasi.
2. Penelitian dan pengembangan peternakan dan veteriner, dengan sasaran
meningkatnya inovasi teknologi peternakan veteriner mendukung program
percepatan produksi swasembada, serta dengan indikator: a)Jumlah SDG
peternakan, TPT dan veteriner yang dikonservasi dan dikaterisasi b) Jumlah galur
baru ternak dan TPT yang dihasilkan c)Jumlah inovasi peternakan, TPT dan
veteriner yang dihasilkan dan dialihkan/didesiminasikan kepada pengguna.
3. Peningkatan kuantitas dan kualitas benih dan bibit dengan mengoptimalkan sumber
daya lokal, dengan sasaran dan indikator sebagai berikut: a) Sasaran peningkatan
kualitas dan kuantitas benih dan bibit ternak, dengan indikator peningkatan kualitas
semen (dosis) b) Sasaran penguatan kelembagaan pembibitan dengan good breeding
practices, dengan indikator peningkatan produksi embrio c) Sasaran penerapan
standar mutu benih dan bibit ternak, dengan indikator peningkatan kuantitas bibit
sapi d) Sasaran penerapan teknologi pembibitan, dengan indikator peningkatan
kualitas bibit unggas lokal e) Sasaran pengembangan usaha dan investasi
pembibitan, dengan indikator peningktan kuantitas bibit kambing dan domba
4. Peningkatan produksi ternak ruminansia dengan pendayagunaan sumber daya lokal,
dengan sasaran meningkatnya populasi dan produksi ternak ruminansia, serta dengan
indikator pengembangan ternak potong (ekor), pengembangan sapi perah (ekor),
pengembangan integrasi tanaman ternak (unit), pengembangan ternak ruminansia.
5. Peningkatan produksi ternak non ruminansia dengan pendayagunaan sumber daya
lokal, dengan sasaran meningkatnya pendayagunaan sumber daya lokal ternak

ruminansia serta dengan indikator pengembangan kelompok non unggas,
pengembangan pakan ternak dan pengembangan alsin ternak.
II.3 Persepsi Masyarakat Terhadap Usaha Peternakan Sapi Potong
Persepsi pada hakikatnya adalah merupakan proses penilaian seseorang
terhadap obyek tertentu. Menurut Suharto (2005) persepsi merupakan aktivitas
mengindera, mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada obyek-obyek fisik
maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada stimulus fisik dan
stimulus sosial yang ada di lingkungannya. Sensasi-sensasi dari lingkungan akan
diolah bersama-sama dengan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya baik hal itu
berupa harapan-harapan,nilai-nilai, sikap, ingatan dan lain-lain.
Setiap individu dalam kehidupan sehari-hari akan menerima stimulus atau
rangsang berupa informasi, peristiwa,objek dan lainnya yang berasal dari lingkungan
sekitar, stimulus atau rangsang tersebut dinamakan persepsi. Persepsi adalah proses
pengolahan informasi dari lingkungan yang berupa stimulus, yang diterima melalui
alat indera dan diteruskan ke otak untuk diseleksi, diorganisasikan sehingga
menimbulkan penafsiran atau penginterpretasian yang berupa penilaian dari
penginderaan atau pengalaman sebelumnya. Persepsi merupakan hasil interaksi
antara dunia luar individu (lingkungan) dengan pengalaman individu yang sudah
diinternalisasi dengan sistem sensorik alat indera sebagai penghubung, dan
dinterpretasikan oleh system syaraf di otak ( Sila R, 2013 ).
Persepsi merupakan kesan yang pertama untuk mencapai suatu keberhasilan.
Persepsi seseorang dalam menangkap informasi dan peristiwa-peristiwa menurut
Muhyadi (1989) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: 1) orang yang membentuk
persepsi itu sendiri, khususnya kondisi intern (kebutuhan, kelelahan, sikap, minat,

motivasi, harapan, pengalaman masa lalu dan kepribadian), 2) stimulus yang berupa
obyek maupun peristiwa tertentu (benda, orang, proses dan lain-lain), 3) stimulus
dimana pembentukan persepsi itu terjadi baik tempat, waktu, suasana (sedih, gembira
dan lain-lain).
Simamora (2002) menyatakan bahwa secara formal, persepsi dapat
didefenisikan sebagai proses dimana seseorang menyeleksi, mengorganisasi dan
menginterpretasikan stimulus ke dalam suatu gambaran dunia yang berarti dan
menyeluruh. Stimulus adalah setiap input yang dapat ditangkap oleh indera seperti
produk, kemasan, merek, iklan, harga dan lain-lain. Stimulus yang diterima oleh
pancaindera seperti mata, telinga, mulut, hidung dan kulit.
Persepsi bersifat relatif, walaupun suatu objek dapat diperkirakan yang
tepat tetapi setidaknya dapat dikatakan bahwa yang satu melebihi yang lain.
Dengan demikian, perlu diperhatikan bahwa dalam membuat pesan, persepsi orang
lain terhadap bagian-bagian dari pesan tersebut sangat ditentukan oleh bagian yang
mendahului pesan itu. Menurut Van Den Ban dan Hawkins (1999), persepsi adalah
proses menerima informasi atau stimulus dari lingkungan dan mengubahnya ke
dalam kesadaran psikologis. Seorang penyuluh tidak dituntut memahami psikologis
persepsi manusia yang rumit, tetapi mereka diminta untuk menghargai timbulnya
tafsiran mengenai lingkungan yang berbeda serta bagaimana perbedaan tersebut
mempengaruhi perilaku komunikasinya.
Persepsi masyarakat terhadap usaha peternakan dapat berupa perasaan yang
terganggu maupun menerima secara baik usaha peternakan tersebut. Kondisi dan letak
peternakan harus disesuaikan dengan lingkungan setempat agar tidak menimbukan
persepsi buruk dimasyarakat. Selain itu manajemen dan pelaksanaan tatalaksana harus

diperhatikan, bau, polusi suara, pengolahan limbah dan sosial budaya juga harus
diperhatikan sehingga tidak menganggu masyarakat sekitar lokasi peternakan (Lestari S,
2012).

BAB III
METODE PRAKTEK LAPANG
III.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Praktek lapang Perencanaan Pembangunan Peternakan dilaksanakan pada
tanggal 7–8 November 2014 bertempat di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete
Riaja, Kabupaten Barru.
III.2 Jenis dan Sumber Data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Data kualitatif yaitu data-data yang berbentuk pernyataan/kalimat yang
menggambarkan dan menjelaskan indikator-indikator dari peternakan babi yang
diamati. Berhubung jenis penelitian kuantitatif, maka data yang sifatnya kualitatif
akan diubah menjadi kuantitatif melalui pengukuran skala likert dengan pemberian
bobot/nilai.
Adapun sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah :
a. Data primer merupakan data yang bersumber dari hasil wawancara langsung
dengan masyarakat yang berlokasi dekat usaha peternakan babi dengan
menggunakan kuisioner.
b. Data sekunder yaitu data yang bersumber dari hasil telaah dokumen, buku
serta laporan-laporan yang berkaitan dengan penelitian yaitu keadaan umum
wilayah penelitian.
III.3 Metode Pengambilan Data
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara :
a. Observasi, yaitu pengambilan data yang dilakukan melalui pengamatan
langsung terhadap objek yang akan diteliti.

b. Wawancara, yaitu melakukan wawancara langsung dengan pihak masyarakat
mengenai variabel-variabel penelitian dan menggunakan bantuan kuisioner.
c. Studi Kepustakaan yaitu berdasarkan beberapa buku sebagai literatur dan
landasan teori yang berhubungan dengan penelitian ini.
III.4 Kegiatan yang Dilakukan
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama pelaksanaan Praktek
Lapang Perencanaan Peternakan di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja,
Kabupaten Barru yaitu antara lain:
a.

FGD (Focus Group Discussion) yaitu kegiatan yang mempertemukan antara
mahasiswa dengan peternak setempat untuk membahas/berdiskusi terkait
bagaimana persepsi masyarakat setempat terkait usaha peternakan sapi
potong.

b.

Kuosioner yaitu kegiatan wawancara dan tanya-jawab secara langsung
dengan peternak dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan terlebih
dahulu,

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Profil Wilayah dan Gambaran Kondisi Wilayah
IV.1.1 Administrasi Wilayah
Berdasarkan data sekunder praktek lapang Perencanaan Pembangunan
Peternakan di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru
diperoleh data administrasi wilayah seperti pada tabel berikut:
No
1
2
3
4
5

Tabel 1. Administrasi Wilayah Desa Lompo Tengah
Dusun
Banyaknya RT
Ele
3
Botto-Botto
3
Lisu
5
Botto Lampe
6
Allakange
2
Jumlah
19
Sumber: Data Sekunder Praktek Lapang Perencanaan
Pembangunan Peternakan, 2014.
Berdasarkan tabel diatas maka diketahui bahwa Desa Lompo Tengah,

Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru merupakan salah satu desa dari 54 desa
dan kelurahan di wilayah kabupaten Barru, yang dibelah jalur trans sulawesi tembus
Pekkae-Soppeng, terdiri atas 5 dusun yang dibagi dalam 19 RT, dengan luas wilayah
desa lompo tengah kurang lebih 429,8 hektar.
IV.1.2 Kondisi Geografis
Desa Lompo Tengah berada pada ketinggian tanah dari permukaan laut yang
berkisar 1.500 m dengan curah hujan rata-rata 2.000 mm pertahun dan suhu udara
rata-rata 220C - 280C sehingga dengan demikian dapat digolongkan ke dalam suatu
daerah beriklim tropis (sedang). Desa lompo tengah berada pada batas-batas sebagai
berikut :
- Sebelah utara

: Desa Lampang

- Sebelah timur

: Desa Kading

- Sebelah Barat

: Desa pao – pao

- Sebelah Barat

: Desa Lempang

Bila dilihat dari lokasinya, maka orbitasi (jarak dari pusat – pusat pemerintahan
sebagai berikut :
- Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan 8.00 Km
- Jarak dari ibukota kabupaten adalah 12.00 Km
- Jarak dari ibukota provinsi adalah 100 Km
IV.1.3 Potensi Sumber Daya Alam
Berdasarkan data sekunder praktek lapang Perencanaan Pembangunan
Peternakan di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru
diperoleh data potensi sumber daya alam seperti pada tabel berikut:
Tabel 2. Potensi Sumber Daya Alam
No.
Jenis Potensi
Jumlah/Volume
1
Sungai
10 km
2
Bukit
2 Ha
3
Pegunungan
10 Ha
4
Sawah
240 Ha
Sumber: Data Sekunder Praktek Lapang Perencanaan
Pembangunan Peternakan, 2014.
Berdasarkan data sekunder diatas dapat diketahui bahwa jenis potensi sumber
daya alam yang terdapat di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja,
Kabupaten Barru terdiri atas sungai sepanjang 10km, bukit seluas 2 Ha, pegunungan
seluas 10 Ha dan areal persawahan seluas 240 Ha. Berdasarkan hal tersebut diketahui
bahwa sumber daya alam yang paling banyak dan potensial adalah persawahan
seluas 240 ha sedangkan yang paling sedikit adalah perbukitan yang hanya seluas 2
Ha. Kondisi sumber daya alam ini akan mempengaruhi jenis mata pencaharian dan
kondisi ekonomi-sosial diwilayah setempat.

IV.1.4 Kondisi Ekonomi
Berdasarkan data sekunder praktek lapang Perencanaan Pembangunan
Peternakan di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru diketahui
bahwa kondisi sosial ekonomi diwilayah setempat tergolong sebagai wilayah agraris
yang mayoritas wilayahnya terdiri dari hamparan areal persawahan yang luasnya
mencapai kurang lebih 248 ha, atau 50% wilayah Desa Lompo Tengah. Luas wilayah
perkebunan kurang lebih 160,17 ha, atau 35% wilayah Desa Lompo tengah. Sedangkan
untuk wilayah pegunungan dan perbukitan mencapai panjang kurang lebih 5 km.
Kondisi alam yang seperti ini membawa dampak pada perekonomian yang didominasi
oleh sektor pertanian dan perkebunan. Meskipun begitu, terdapat beberapa penduduk
yang bekerja disektor lain misalnya sebagai buruh, tukang, pegawai negeri/ sipil/ swasta,
pengrajin usaha- usaha lainnya untuk menambah penghasilan masyarakat, keluarga dan
rumah tangga.
IV.1.5 Kondisi Sosial Budaya
Berdasarkan data sekunder praktek lapang Perencanaan Pembangunan
Peternakan diketahui bahwa jumlah penduduk di Desa Lompo Tengah, Kecamatan
Tanete Riaja, Kabupaten Barru seperti pada tabel berikut:
Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Lompo Tengah
Jumlah Penduduk
No
Dusun
KK
Pria
Wanita
1
2
3
4
5

Ele
193
457
Botto - Botto
91
278
Lisu
225
666
Botto Lampe
151
424
AlakkangE
132
304
Jumlah
792
1407
Sumber: Data Sekunder Praktek
Peternakan, 2014.

Persentas
e
(%)
327
784
20,9
202
480
12,5
530
1196
31,2
304
728
19,0
263
637
16,6
1626
3825
100%
Lapang Perencanaan Pembangunan
Jumlah
Jiwa

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Desa
Lompo Tengah seluruhnya adalah 3.825 Jiwa yang tersebar di 5 Dusun dengan
jumlah Kepala Keluarga (KK) adalah 792 jiwa dengan kepadatan penduduk 1155 / 1
km2. Penduduk dengan jumlah terbanyak berada di Dusun Lisu dengan jumlah 1196
jiwa atau dengan persentase sebesar 31,2%, sedangkan wilayah dengan jumlah
penduduk terendah berada di Dusun Botto-Botto yang hanya 480 jiwa atau dengan
persentase sebesar 12,5%.
IV.1.6 Infrastruktur Wilayah
Berdasarkan data sekunder praktek lapang Perencanaan Pembangunan
Peternakan diketahui bahwa infrastruktur wilayah yang terdapat di Desa Lompo
Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru diketahui seperti pada tabel
berikut:
Tabel 4. Infrastruktur Wilayah
No
.
1
2
3
4
5

6
7
8

Jenis Infrastruktur

Jumlah

Jalan Negara
5 km
Jalan Desa
15 km
Jalan Dusun/Lingkungan
10 km
Jalan Setapak
2 km
Gedung Sekolah
- Madrasah Aliyah
2 unit
- Madrasah Tsanawiyah
2 unit
- Madrasah Ibtidaiyah
1 unit
5 unit
- Sekolah Dasar
3 unit
- Taman Kanak-Kanak
Posyandu
6 unit
Kantor Desa
1 unit
Puskesmas
1 unit
Sumber: Data Sekunder Praktek Lapang Perencanaan
Pembangunan Peternakan, 2014.
Berdasarkan tabel diatas maka dapat diketahui bahwa infrastruktur wilayah

yang terdapat di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru

terdiri atas jalan Negara sepanjang 5 km, jalan desa sepanjang 15 km, jalan dusun
sepanjang 10 km, jalan setapak sepanjang 2 km. Dari segi infrastruktur pendidikan
berupa gedung sekolah terdiri atas 2 unit MA, 2 unit MTS, 1 unit MI, 5 unit Sekolah
Dasar dan 3 unit TK. Sedangkan dari segi infrasturktur kesehatan berupa posyandu
terdapat 6 unit dan Puskesmas 1 unit serta infrastruktur desa berupa 1 unit Kantor
desa.
IV.1.7 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan data sekunder praktek lapang Perencanaan Pembangunan
Peternakan diketahui bahwa jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa
Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru diketahui seperti pada
tabel berikut:
Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No.
Jenis Kelamin
Jumlah Penduduk
Persentase (%)
1
Laki-Laki
1407
46,39%
2
Perempuan
1626
53,61 %
Jumlah
3033
100 %
Sumber: Data Sekunder Praktek Lapang Perencanaan Pembangunan
Peternakan, 2014.
Berdasarkan tabel diatas maka dapat diketahui bahwa jumlah penduduk
berdasarkan jenis kelamin di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja,
Kabupaten Barru didominasi oleh perempuan yaitu sebanyak 1626 jiwa atau sebesar
53,61 % sedangkan penduduk berjenis kelamin laki-laki hanya 1407 jiwa atau
sebesar 46,39%. Ketidakseimbangan antara jumlah penduduk berjenis kelamin lakilaki dengan perempuan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor misalnya kondisi
perekonomian yang menyebabkan banyak penduduk laki-laki harus bermigrasi ke
kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

IV.1.8 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Mata Pencaharian
Berdasarkan data sekunder praktek lapang Perencanaan Pembangunan
Peternakan diketahui bahwa jumlah penduduk berdasarkan tingkat mata pencaharian
di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru diketahui seperti
pada tabel berikut:
Tabel 6. Jumlah Kelompok Tenaga Kerja Desa Lompo Tengah
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Persentase
(%)
Pegawai Negeri
230
30,95
Agri
3
0,4
Polri
5
0,6
Buruh/ Tukang/ Montir
36
4,8
Pedagang
52
6,9
Petani
384
51,68
Penjahit
5
0,6
Sopir
7
0,9
Pengrajin
21
3,17
Jumlah
743
100%
Sumber: Data Sekunder Praktek Lapang Perencanaan Pembangunan
Peternakan, 2014.
Mata Pencaharian

Jumlah

Berdasarkan tabel diatas maka dapat diketahui bahwa tingkat mata
pencaharian yang paling banyak di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja,
Kabupaten Barru adalah petani yaitu sebanyak 384 orang dengan persentase sebesar
51,68% sedangkan mata pencaharian yang paling sedikit adalah ABRI yang hanya 3
orang atau dengan persentase sebesar 0,4%. Berdasarkan hal tersebut maka dapat
diketahui bahwa kondisi demografi sangat mempengaruhi tingkat mata pencaharian
penduduk diwilayah tersebut, yang mana kondisi wilayah yang didominasi oleh
persawahan dan pegunungan menjadikan pekerjaan petani menjadi mata pencaharian
yang paling banyak dijalankan oleh masyarakat di Desa Lompo Tengah, Kecamatan
Tanete Riaja, Kabupaten Barru.

IV.1.9 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Berdasarkan data sekunder praktek lapang Perencanaan Pembangunan
Peternakan diketahui bahwa jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di
Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru diketahui seperti
pada tabel berikut:
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan
Tingkat
Jumlah
Persentase
Pendidikan
Penduduk
(%)
Pendidikan Tinggi
427
11,3
Akademi Sederajat
110
2,19
SMA / SLTA
430
11,2
SMP / SLTP
710
18,6
Sekolah Dasar (Tamat)
620
16,2
Sekolah Dasar (tidak tamat)
970
25,4
Usia 7 – 45 Thn Tidak Sekolah
430
11,2
Belum Sekolah
119
3,2
Jumlah
3825
100%
Sumber: Data Sekunder Praktek Lapang Perencanaan Pembangunan
Peternakan, 2014.
Berdasarkan tabel diatas maka dapat diketahui bahwa masyarakat Desa

Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru paling banyak tidak
tamat Sekolah Dasar yaitu sebanyak 970 orang atau dengan persentase sebesar
25,4% sedangkan yang paling sedikit yaitu tingkat pendidikan akademi atau sederajat
yang hanya ditempuh oleh 110 orang atau dengan persentase sebesar 2,19%. Hal ini
menunjukkan bahwa pada umumnya tingkat pendidikan masyarakat diwilayah
setempat masih tergolong rendah, hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor
seperti masih kurangnya kesadaran masyarakat pedesaan akan pentingnya
pendidikan.

IV.2 Kajian FGD (Focus Group Discussion) dan Kuosioner
IV.2.1 Gambaran Umum Responden
Berdasarkan praktek lapang Perencanaan Pembangunan Peternakan yang
telah dilaksanakan di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten
Barru diketahui identitas responden seperti pada tabel berikut:

No
1
2
3
4
5

Tabel 8. Identitas Responden
Nama
Umur
Jenis
Pendidikan Pekerjaan
(Tahun) Kelamin
Muh. Ali
68
Laki-Laki
SMA
Petani/Peternak
Musakkir
43
Laki-Laki
SMA
Petani/Peternak
Muksin
31
Laki-Laki
SMP
Petani/K. Dusun
Mu’minin
35
Laki-Laki
SMA
PNS/ Peternak
Lamuha
75
Laki-Laki
SMA
Pensiunan/Peternak
Sumber: Data Primer Praktek Lapang Perencanaan Pembangunan Peternakan,
2014.
Berdasarkan tabel diatas maka dapat diketahui bahwa berdasarkan hasil

wawancara dengan responden diketahui bahwa dari 5 orang responden usia yang
paling muda berusia 31 tahun dan yang tertua berusia 75 tahun. Berdasarkan jenis
kelamin diketahui bahwa secara keseluruhan responden berjenis kelamin laki-laki,
dengan tingkat pendidikan secara umum Sekolah Menengah Atas (SMA).
Berdasarkan jenis pekerjaan diketahui bahwa umumnya responden bekerja sebagai
petani/peternak dan selebihnya bekerja sebagai pegawai maupun pensiunan.
Hal ini menunjukkan bahwa umumnya responden memiliki umur yang masih
kuat untuk melaksanakan pekerjaan dibidang peternakan yang membutuhkan tenaga
cukup kuat. Dari segi jenis kelamin diketahui bahwa responden yang seluruhnya
laki-laki menjadi tulang punggung keluarga dan memegang tanggung jawab yang
besar sebagai kepala rumah tangga. Sedangkan dari segi pendidikan yang umumnya

tamatan SMA menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden secara umum
sudah cukup baik, hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang dijalankan oleh
responden pada umumnya tidak membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi, yang
mana dengan dominasi mata pencaharian sebagai petani-peternak menunjukkan
bahwa mereka lebih banyak menjalankan usaha menggunakan pengalaman
dibanding menggunakan ilmu pengetahuan. Selain itu pekerjaan responden yang
didominasi oleh petani-peternak didukung oleh kondisi wilayah setempah yang
didominasi oleh persawahan dan pegunungan.
IV.2.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Usaha Peternakan Sapi Potong
IV.2.2.1 Peran Kelembagaan Peternakan
Berdasarkan wawancara yang telah dilaksanakan dengan beberapa responden
di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru mengenai
peranan kelembagaan peternakan dalam Perencanaan Pembangunan Peternakan
diwilayah setempat diperoleh beberapa informasi seperti berikut:
a) Menurut Muh. Ali (2014) bahwa peran kelembagaan peternakan di Desa
Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru sudah cukup baik,
hal itu nampak dari intensitas pertemuan anggota kelompok tani-ternak yang
cukup rutin yaitu sebanyak 2 kali sebulan. Meskipun begitu responden
mengakui bahwa pengaruh kelembagaan peternakan ini belum dapat
dirasakan terhadapa perkembangan usaha peternakan yang dijalankan.
b) Menurut Mukhsin (2014) bahwa peran kelembagaan peternakan di Desa
Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru sudah cukup baik.
Meskipun pertemuan antara anggota kelompok tani-ternak belum rutin
dilaksanakan setiap bulannya namun paling tidak pertemuan dilaksanakan

minimal 6 kali dalam setahun. Selain itu responden beranggapan bahwa
kelembagaan peternakan diwilayah setempah sangat berdampak baik terhadap
usaha peternakan yang dijalankan, dimana responden dapat aktif berdiskusi
dengan peternak lainnya terkait masalah pakan, pemanfaatan feses dan halhal lainnya.
c)

Menurut Musakkir (2014) bahwa peran kelembagaan peternakan di Desa
Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru masih belum
nampak, hal ini terlihat dari rendahnya intensitas pertemuan antara kelompok
tani-ternak yang hanya sebanyak 2 kali dalam setahun. Meskipun begitu
responden mengakui bahwa kelembagaan peternakan diwilayah setempat
memiliki pengaruh yang baik terhadap usaha peternakan yang dijalankan.
Yang mana kelembagaan peternakan dapat membantu peternakan dalam
usaha kerjasama pengembangan sapi potong, memberikan pengetahuan
terkait bagaimana cara memelihara dan merawat sapi yang baik dan benar.

d) Menurut Mu’minin (2014) bahwa peran kelembagaan peternakan di Desa
Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru belum dapat
dirasakan, yang mana hal ini disebabkan oleh minimnya petermuan antara
petani-peternak yang hanya sebanyak 3 kali dalam setahun. Terlebih lagi
responden mengakui bahwa kelembagaan peternakan diwilayah setempat
belum memiliki pengaruh dan dampak yang baik terhadap usaha peternakan
yang dijalankannya.
e)

Menurut Lamuha (2014) bahwa peran kelembagaan peternakan di Desa
Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru masih cukup
rendah, hal ini terlihat dari tidak menentunya jadwal pertemuan antara petani-

peternak dalam setahun. Meskipun begitu responden mengakui bahwa
perkembangan peternakan khususnya usaha sapi potong lokal diwilayah
setempat sudah semakin berkembang.
IV.2.2.2 Peran Pemerintah
Berdasarkan wawancara yang telah dilaksanakan dengan beberapa responden
di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru mengenai
peranan pemerintah dalam Perencanaan Pembangunan Peternakan diwilayah
setempat diperoleh beberapa informasi seperti berikut:
a) Menurut Muh. Ali (2014) bahwa peran pemerintah terkait pengembangan
usaha peternakan di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja,
Kabupaten Barru sudah cukup baik, hal itu nampak dari intensitas kegiatan
penyuluhan yang cukup rutin yaitu sebanyak 1 kali sebulan. Meskipun begitu
responden mengakui bahwa peran pemerintah disektor peternakan belum
dapat dirasakan terhadapa perkembangan usaha peternakan yang dijalankan.
b) Menurut Mukhsin (2014) bahwa peran pemerintah terkait pengembangan
usaha peternakan di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja,
Kabupaten Barru sudah cukup baik. Meskipun pelaksanaan penyuluhan
belum rutin dilaksanakan setiap bulannya namun paling tidak pertemuan
dilaksanakan minimal 6 kali dalam setahun. Selain itu responden
beranggapan bahwa peran lembaga pemerintah diwilayah setempah sangat
berdampak baik terhadap usaha peternakan yang dijalankan, dimana
responden bisa mendapatkan informasi terkait penanganan kesehatan dan
pencegahan penyakit yang menyerang ternak mereka.

c)

Menurut Musakkir (2014) bahwa peran pemerintah terkait pengembangan
usaha peternakan di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja,
Kabupaten Barru masih belum nampak, hal ini terlihat dari rendahnya
intensitas pelaksanaan penyuluhan yang hanya sebanyak 2 kali dalam
setahun. Meskipun begitu responden mengakui bahwa peran pemerintah
diwilayah setempat memiliki pengaruh yang baik terhadap usaha peternakan
yang dijalankan. Yang mana melalui kegiatan penyuluhan peternak dapat
mengetahui tatacara penggemukan sapi potong yang baik, serta manajemen
pemberian pakan yang benar.

d) Menurut Mu’minin (2014) bahwa peran pemerintah terkait pengembangan
usaha peternakan di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja,
Kabupaten Barru belum dapat dirasakan, yang mana hal ini disebabkan oleh
minimnya kegiatan penyuluhan yang hanya dilaksanakan sebanyak 3 kali
dalam setahun. Meskipun begitu responden mengakui bahwa kegiatan
penyuluhan yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah terkait memiliki
sedikit pengaruh terhadap usaha peternakan yang dijalankan.
e)

Menurut Lamuha (2014) bahwa peran pemerintah terkait pengembangan
usaha peternakan di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja,
Kabupaten Barru masih cukup rendah, hal ini terlihat dari tidak menentunya
jadwal penyuluhan dalam setahun. Meskipun begitu responden mengakui
bahwa perkembangan peternakan khususnya usaha sapi potong lokal
diwilayah setempat sudah semakin berkembang, hal ini didorong oleh
motivasi dan semangat yang diberikan oleh lembaga pemerintahan diwilayah
terkait dalam usaha mengembangkan sektor peternakan.

IV.2.2.3 Pandangan Umum Responden
Berdasarkan wawancara yang telah dilaksanakan dengan beberapa responden
mengenai persepsi masyarakat terhadap usaha peternakan sapi potong di Desa
Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru diperoleh beberapa
informasi seperti berikut:
a) Menurut Muh. Ali (2014) bahwa kondisi usaha peternakan sapi potong di
Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru sudah cukup
berkembang, hal ini nampak dari antusiasme masyarakat yang lebih memilih
mengembangkan sektor peternakan dibanding sektor pertanian karena tingkat
keuntungan yang didapat lebih besar. Sejauh ini responden mengakui bahwa
tidak ada kendala besar yang dihadapi selama menjalankan usaha peternakan,
namun responden mengakui bahwa mereka membutuhkan bantuan dana dari
pemerintah untuk membeli indukan sapi Bali dalam rangka pengembangan
usaha sapi potong yang dijalankannya.
b) Menurut Mukhsin (2014) bahwa kondisi peternakan sapi potong di Desa
Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru sudah sangat baik,
hal ini nampak dengan terpilihnya wilayah setempat sebagai salah satu pusat
pemurnian sapi Bali di Indonesia. Diakui oleh responden bahwa usaha
peternakan yang dijalankannya mendapatkan bantuan dari pemerintah
setempat melalui pemberian bibit sapi potong untuk diusahakan. Meskipun
begitu responden mengatakan bahwa terdapat beberapa masalah yang
dihadapi selama menjalankan usahanya, antara lain kurangnya modal dalam

pengembangan usaha, kandang yang sempit serta lahan penggembalaan yang
sempit. Lebih lanjut peternak membutuhkan modal untuk perbaikan kandang
dan pembelian bibit sapi dalam pengembangan usaha sapi potong yang
dijalankannya.
c)

Menurut Musakkir (2014) bahwa kondisi usaha peternakan sapi potong di
Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru sudah sangat
bagus. Hal ini nampak dari antusiasme peternak setempat yang banyak
membeli bibit sapi potong untuk dipelihara melihat potensi peternakan
wilayah setempat yang dijadikan sebagai salah satu pusat pengembangan sapi
potong lokal. Sejauh ini kendala yang paling sering dihadapi peternak adalah
sulitnya untuk mendapatkan pakan hijauan berupa rumput, sehingga peternak
membutuhkan bantuan pakan rumput gajah khususnya saat musim kemarau.

d) Menurut Mu’minin (2014) bahwa kondisi peternakan sapi potong di Desa
Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru sudah cukup baik,
hal ini ditandai dengan peningkatan populasi sapi potong diwilayah setempat.
Meskipun begitu responden mengakui bahwa masalah pakan dan penyediaan
hijauan menjadi kendala bagi peternak setempat sehingga peternak
membutuhkan bantuan hijauan/rumput dan biaya untuk pengembangan usaha
peternakan yang dijalankannya.
e)

Menurut Lamuha (2014) bahwa kondisi usaha peternakan sapi potong di
Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru sudah
berkembang. Hal ini nampak dari jumlah populasi sapi potong lokal
khususnya sapi Bali diwilayah setempat yang cukup besar. Meskipun begitu
seringnya terjadi banjir diwilayah setempat menjadi kendala bagi para

peternak, dimana banjir menyebabkan tidak adanya pakan hijauan dan
meningkatnya resiko penyakit pada ternak. Selain itu responden mengatakan
bahwa peternak sangat membutuhkan bantuan dana dan pakan hijauan dalam
usaha pengembangan sapi potong yang mereka jalankan.

BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktek lapang Perencanaan Pembangunan Peternakan di
Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru maka dapat
disimpulkan bahwa umumnya masyarakat Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete
Riaja, Kabupaten Barru mengantungkan hidupnya pada profesi pertanian dan
peternakan. Penduduk yang berprofesi sebagai peternak mayoritas laki-laki dengan
umur kisaran 35-50 tahun.
Tingkat pendidikan peternak di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete
Riaja, Kabupaten Barru kebanyakan hanya pada tingkat Sekolah Menengah Atas, hal
ini menunjukkan bahwa mereka menjalankan usaha peternakan berdasarkan
pengalaman dengan sedikit informasi ilmu pengetahuan yang diberikan oleh lembaga
peternakan setempat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa lembaga
peternakan di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru
memiliki pengaruh yang besar terhadap pengembangan usaha peternakan sapi potong
diwilayah tersebut. Umumnya responden juga beranggapan bahwa lembaga
pemerintah memiliki peran yang cukup penting dalam pengembangan usaha
peternakan diwilayah setempat, namun belum memberikan pengaruh yang besar
terhadap usaha peternakan yang dijalankan oleh masyarakat.

Masyarakat Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru
memiliki persepsi yang baik terhadap usaha peternakan sapi potong diwilayah
setempat. Hal ini nampak dari tingginya jumlah masyarakat yang bergantung
terhadap sektor peternakan, selain itu masyarakat beranggapan bahwa sektor
peternakan masih lebih menguntungkan dibanding sektor pertanian melihat tingginya
keuntungan yang didapat.
V.2 Saran
Sebaiknya praktek lapang dilaksanakan sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan. Selain itu lokasi dan keadaan praktek disesuaikan dengan bidang ilmu
dan potensi daerah yang ingin dikaji.

DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, W. 2003. Analisis Usaha Peternakan Sapi Potong Rakyat Berdasarkan.
Biaya Produksi dan Tingkat Pendapatan Peternakan . Fakultas
Peternakan, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Ditjennak. 2011. Perencanaan Pembangunan Peternakan. Direktorat. Jenderal
Peternakan
Lestari S dkk. 2012. Persepsi Masyarakat Terhadap Limbah Usaha Peternakan
Sapi Potong. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Makassar.
Muhyadi, 1989. Pengertian Persepsi. Http://infoskripsi.com. Diakses pada tanggal
19 Oktober 2014.
Mulyadi. 1981. Akuntansi Biaya. Peranan Biaya Dalam Pengambilan Keputusan.
Fakultas Ekonomi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Murtidjo, Bzbb.A., 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta
Ratna,

2012. Perencanaan
Pembangunan peternakan.
http://iniblog-koe. blogspot. com/ html Diakses pada
tanggal 29 oktober 2014

Rianto, Edi dan Purbowati, Endang. 2006. Panduan Lengkap Sapi Potong.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Saputra, 2009. Strategi Pengembangan Ternak Sapi Potong Berwawasan
Agribisnis. journal litbang sumut (Online) whttp://elibrary.mb.ipb.ac.id
Sila R. 2013. Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan RPH di kelurahan
Kambiolangi, Kacamatan Alla, Kabupaten Enrekang. Jurusan Sosial
Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Simamora, B. 2002. Panduan Riset Perilaku Konsumen. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Soehartono. 2010. Usaha Peternakan Sapi Potong. Http://Belajar-ternak.com .
Diakses pada tanggal 19 Oktober 2014.
Suharto. 2005. Perilaku Konsumen. Penerbit Amus, Jakarta.

Van Den Ban dan H.S Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Yusdja, Y.2004. Tinjauan Kebijakan Pengembangan Agribisnis Sapi Potong. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.