Gaya Hidup Sebagai Faktor Penunjang Eco (1)

Gaya Hidup Sebagai Faktor Penunjang Eco-cide
Tugas Kelompok Mata Kuliah Kosmo-Eko-Teologi

Oleh :
Bonaventura Dwi Putra / 166114039
Falentinus Ferdinand Vinsen Dimu /166114020
Henrikus Prasojo/166114066
Saptono /16614004
Moses Hendrik Pale /166114
Klementius Anselmus Loba /166114

FAKULTAS TEOLOGI
PROGAM STUDI ILMU TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2017
1

I.

Latar Belakang
Manusia hidup tidak bisa tidak lepas dari konteks lingkungan di mana manusia tinggal,


hidup, dan berinteraksi dengan mahluk hidup di sekiratnya. Dewasa ini terdapat pelbagai
fenomena yang menunjukan bahwa relasi antara manusia dengan alam tidak berjalan dengan
harmonis. Salah satu indikasinya adalah dengan banyak ditemui kerusakan alam akibat perilaku
manusia. Perilaku ini merupakan hasil dari psikokultural semenjak masyarakat modern mulai
terindustrialisasi1. Perilaku kebiasaan, tradisi, maupun kebudayaan manusia dengan terang zaman
pencerahan tidak memberi perhatian dan kepekaan terhadap alam. Kultur manusia selama kurun
waktu beberapa dekade terkahir justru lebih banyak bersifat antroposentrisme dengan eksploitasi
alam secara berlebihan daripada ekosentrisme. Hal ini juga didukung oleh ajaran maupun nilai nilai yang terdapat di dalam sistem kepercayaan atau agama dan salah satunya adalah warisan
tradisi iman samawi.
Paper ini ditulis dengan tujuan untuk meninjau kembali nilai-nilai yang ditawarkan oleh
warisan tradisi iman samawi terlebih agama Katholik berkaitan dengan kebudayaan masyarakat
lokal, tantangan dan persoalan ekologi. Nilai warisan religius yang sifatnya antroposentris ini,
juga bukan semata-mata kesalahan dari penulis Kitab Suci yang diyakini dan diinspirasi oleh
Roh Kudus, tetapi hal ini terjadi karena proses penulisan Kitab Suci yang sudah melewati
tahapan yang panjang dan melalui berbagai macam tafsir dan interpretasi seiring perkembangan
jaman.
Dengan perkembangan zaman ini, tidak hanya penafsiran mengenai kitab suci saja yang
berkembang, kebutuhan-kebutuhan manusia juga berkembang. Kebutuhan itu tidak hanya dari
segi pengetahuan tetapi juga dari segi materi. Kebutuhan dari segi materi ini yang membuat

manusia berusaha untuk mencukupi kebutuhannya.
Berpandangan penafsiran kitab suci bahwa alam diciptakan untuk memenuhi kebutuhan
manusia, maka manusia memanfaatkan alam yang ada untuk kepentingan ekonomis untuk
memenuhi kebutuhan materinya. Hanya saja manusia tidak memperhatikan akan dampak dari
pemanfaatan alam itu sehingga berdampak bagi kehidupan manusia itu sendiri. Untuk
mengetahui akan hubungan manusia dengan alam dan bagaimana pemanfaatan alam dan
bagaimana dampaknya akan dibahas dalam paper ini. Akan tetapi sebelum menjawab
1

Tu Wi-Ming, Melampaui Batas Mentalitas Pencerahan dalam Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup,
oleh Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (ed), P. Hardono Hadi (terj), (Yogyakarta, Kanisius 2003), 19.

2

pertanyaan-pertanyaan itu, kita akan mengenali terlebih dahulu pandangan mengenai paham
warisan iman.
II.

Warisan Iman Kristen
Apabila ditelusuri kembali awal mula sikap manusia yang mendominasi alam, secara


ronai Kitab Kejadian 1:26 dapat dijadikan sebagai acuan untuk merefleksi kembali warisan iman,
terkhusus iman kristiani. Problematik dan ambiguitas dalam menafsirkan perikop tersebut
menjadikan manusia secara tidak langsung memiliki wewenang untuk menguasai alam. Tidak
sedikit interpretasi yang melegimitasi bahwa manusia memiliki hak otoritatif untuk mengolah
dan menggunakan alam seoptimal mungkin. Interpretasi semacam ini lebih cenderung bersifat
antroposentrisme daripada ekologis. Lalu apakah maksud sebenarnya dari kuasa yang diberikan
oleh Allah?
Kuasa dalam bahasa Ibrani adalah rada yang secara epistemologi berarti pemerintahan.
Namun didalam Kitab Kejadian tidak disebutkan secara implisit model pemerintahan seperti apa
yang hendak dicapai. Salah satu hermenutik dan teologi yang ekologis berdasar Kitab Suci
adalah bahwa konteks manusia sebagai imago dei ditempatkan pada tataran kehidupan yang
lebih luas untuk menekankan bahwa eksistensi manusia bukanlah semata-mata untuk menguasai
tetapi justru untuk menjaga dan merawat seperti Allah sendiri2.
Kuasa dalam arti positif ini berarti manusia memiliki keistimewaan dalam mengolah
ciptaan lain dan habitatnya. Pengolahan dapat dimaksudkan baik untuk manusia sendiri maupun
untuk alam. Pengolahan manusia adalah stabilisasi jumlah penduduk dunia yang tingkat
populasinya semakin meningkat, sedangkan pengolahan alam sendiri adalah penyediaan ruang
lingkup untuk menyembuhan alam. Dengan kata lain, kuasa dalam arti sempit mengajak manusia
untuk lebih menekankan aspek kualitas daripada kuantitas yakni meminimalisir eksploitasi alam

disertai dengan dasar hukum emas dari Matius 20:28
Apabila dikatakan bahwa manusia diberi hak untuk “berkuasa” atas bumi, maka sudah
layak dan sepantasnyalah manusia berkuasa di bumi seperti Allah berkuasa yaitu berkuasa
dengan kasih, kebijaksanaan dan kebenaran. Manusia sebagai citra Allah bukanlah sekedar
jabatan tetapi rahmat untuk bertanggung-jawab atas keseluruhan ciptaan. Sebagai Citra Allah, Ia
2

James Barr, “Man and Nature:The Ecological Controversy and the Old Testament”, di dalam Bulletin of
the John Rylands University Library of Manchester, 9-32, sebagaimana dikutip oleh Jay McDaniel, “Taman
Eden, Dosa asal, dan Hidup dalam Kristus” dalam Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup,ed. Mary
Evelyn Tucker & John A. Grim, P. Hardono Hadi (terj), (Yogyakarta, Kanisius 2003), 87.

3

membuat manusia spesial, maka sudah semestinya keutamaan-keutamaan Allah juga ada dalam
manusia dalam kaitannya untuk “berkuasa” secara bijaksana. Alih-alih menjadi penguasa yang
secitra dengan Allah, manusia malahan menjadi seorang pekerja yang tidak bertanggung jawab.
Dalam Amanatnya pada Hari Perdamian dunia 8 Desember 1989, Paus Yohanes Paulus II
mengungkapkan kekecewaannya terhadap perbuatan manusia yang merusak alam dengan
mengeksploitasi mineral, memproduksi barang kimia secara berlebihan yang meracuni alam, dan

memenuhi dunia dengan sampah bertimbun-timbun. Paus mengungkapkan kekecewaannya atau
katakankanlah mengungkapkan kegagalam manusia dalam menjalankan amanat untuk
“berkuasa” atas bumi sebagaimana Allah berkuasa di atas bumi.”3
Perlu disadari bahwa usaha ini tidak mudah karena memerlukan kepekaan batin atau
belarasa terhadap alam, manajemen yang baik, etos hormat terhadap kehidupan dan lingkungan.
Namun dalam praksis kehidupan secara rill manusia belum mampu untuk menempatkan diri
sebagai penjaga. Hal ini disebabkan oleh paham kuasa untuk menguasai lebih mendatangkan
keuntungan secara langsung untuk kemajuan perkembangan hidup manusia daripada harus
merawat.
III.

Pendekatan Kristen
Paham Kristen mengenai relasi antara manusia dengan alam dapat dikatakan sebagai

paham yang dilematis. Dikatakan dilematis karena dalam paham Kristen mengenai relasi
manusia dengan alam terdapat dua pandangan; pandangan yang pertama ialah melihat bahwa
rahmat pencapain manusia menuju Allah hanya dapat dilewati melalui sarana di luar manusia
sedangkan yang kedua justru di dalam ‘sarana’ tersebut manusia dapat menemukan rahmat.
H. Paul Santmire menyebutkan adanya dua paham dari para teolog Kristen yang
menekankan relasi manusia dengan alam secara berbeda4. Golongan pertama para teolog ini

diwakili oleh Origenes, Thomas Aquinas, Bonaventura, Dane, Karl Barth dan Teilhard de
Chardin. Gologongan pertama ini lebih menekankan pada motif rohani. Golongan kedua yang
penekananya terletak pada motif ekologis diwakili oleh Irenaeus, Agustinus (akhir), dan
Fransiskus Assisi.

3
4

KWI.1996. Iman Katolik. (Jakarta: Obor). 151-152.
H. Paul Santmire, “The Travail of Nature: The Ambiguous Eological Promise of Christian Theology”,
(Philadelphia: Fortress Press, 1985), 32.

4

Paham pertama adalah pandangan yang didasari oleh motif rohani yakni bahwa alam
sebagai sarana atau batu pijakan agar manusia mencapai kepenuhan rohani yakni bersatu
bersama Allah dengan manafikan dan kurang menghargai hakikat alam secara hakiki 5.
Sedangkan paham yang kedua lebih memandang bahwa alam memiliki citra diri dari Allah yang
meskipun


tidak

sesempurna manusia namun

memiliki

keluhuruan

tersendiri

dalam

kesinambungan dengan ciptaan lain.
IV.

PandanganEkologi

Humanisme Industrialis memanifestasikan sikap manusia ke dalam sikap promethean 6,
yakni suatu sikap dengan konsep bahwa alam sudah seharusnya dimanfaatkan demi terpenuhinya
pelbagai tujuan dan kebutuhan manusia. Sikap ini berakar pada sebuah dikotomi yang salah yaitu

keberadaan dan ‘ada’nya alam mempunyai tujuan untuk ditaklukkan, dimanfaatkan, bahkan
dieksploitasi oleh manusia. Inilah yang merupakan pemahaman yang keliru dalam tatanan
manusia sebagai mikrokosmos di dalam makrokosmos.
Oleh karena itu, berdasarkan pada fakta empiris mengenai krisis ekologis yang sedang
dan terus berlangsung, filsafat-lingkungan menekankan adanya kesadaran lingkungan dan
ekologis. Kesadaran ekologis bukan hanya suatu kesadaran di mana manusia memanfaatkan
alam secara bijaksana tetapi juga perlu adanya sikap menghormati alam. Penghormatan bahwa di
setiap elemen yang terdapat di alam memiliki dimensi transcendental yang mempengaruhi
manusia dalam membentuk religius kosmik. Kesadaran yang bijak dan sikap hormat tersebut
berkorelasi sehingga menghasilkan suatu sinergi bahwa manusia merupakan perluasan daari
alam dan begitu pula sebaliknya.
Untuk mendukung kesadaran ekologis tersebut, manusia perlu menegasikan sikap dari
sikap

humanism

indrustrialis

ke


dalam

humanism

ekologis.

Humanism

ekologis

memprioritaskan pada sikap koheren anatara manusia dengan alam. Sikap tersebut terwujud
dalam cara manusia memperlakukan alam yakni dengan: Pertama, manusia ada untuk
mempertahankan, mentranformasi, dan secara kreatif menjaga adanya suatu perubahan evolutif

5

Jay McDaniel, Taman Eden, Dosa asal, dan Hidup dalam Kristus dalam Agama, Filsafat dan Lingkungan
Hidup, oleh Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (ed), P. Hardono Hadi (terj), (Yogyakarta, Kanisius
2003), 85.


6

Fransiskus, Laudato Si’( 24 Mei 2015),162 (terj. Martin Harun OFM. Jakarta: Obor, 2015).

5

alam. Maka keliru apabila ada pandangan bahwa manusia adalah ukuran untuk segala-galanya 7.
Kedua, alam hadir sebaai rumah dan merupakan tempat di mana manusia ‘ada’, maka manusia
perlu untuk menjaga sekaligus melestarikan unsur kesucian alam. Ketiga, pengetahuan yang
dimiliki

manusia

berfungsi

atau

ditempatkan

sebagai


instrument

untuk

membantu

mempertahankan keseimbangan alam. Dengan kata lain, humanism ekologis mengajak kita
untuk menjadikan alam sebagai rumah yang sarat akan kebudayaan yang tercipta dari warisan
spiritual religius kosmik yaitu menjaga dan merawat.
V.

Pandangan Gereja Katolik
Paus Fransiskus di dalam Ensiklik Laudato Si’ menyerukan bahwa sikap antropsentrisme

agresif yang lahir dari eco-culture industrialis merupakan gaya hidup yang menyimpang 8.
Penyimpangan tersebut terletak pada sikap manusia yang cenderung menempatkan diri di datas
puncak hierarki ciptaan, sehingga memprioritaskan kepentingan diri sendiri. Selain itu,
kepentingan diri tersebut juga masih dilihat sejauh menguntungkan secara langsung.
Implikasinya adalah bahwa segala sesuatu yang tidak menguntungkan secara langsung dianggap
tidak penting.
Penyimpangan tersebut mengindikasikan bahwa manusia zaman post-modern belum
menemukan serta memperbaharui identitas diri yang baru. Dengan adanya krisis ekologis, kita
semua ditantang untuk merefleksikan kembali gaya hidup masa sekarang sekaligus ajakan untuk
memperbaharui identitas diri. Identitas diri yang dimaksud oleh Gereja adalah manusia sebagai
imago dei yang merawat dan menjaga alam dan bukan manusia sebagai prometheus yakni
manusia yang mendiskrimanasi alam sebagai sesama ciptaan Allah 9. Maka dari itu, Gereja
mengajak kita untuk berani dan tegas keluar dari zona nyaman dan melampaui diri dari sikap
egosentrisme dengan memperbaharui sikap etis, spiritual, dan kultur, sehingga dapat memulihkan
sekaligus menyembuhkan relasi antara manusa dengan alam.
VI.

Praksis Kebiasan
Kebiasaan atau sikap perilaku berdasar pada ekologi (eco-culture) seharusnya merawat

sekaligus menumbuhkembangkan alam di lingkungan sekitar kami, tetapi pemahaman yang
salah atas dasar warisan iman menghasilkan eco-culture yang bukan merawat dan menjaga tetapi
justru mempercepat eco-cide atau pembunuhan ekologis. Berdasarkan pemahaman tersebut, pada
7
K. Berteens. Sejarah Filsafat Yunani. (Yogyakarta: Kanisius, 2016). 86-88.
8 Fransiskus, Laudato Si’ (24 Mei 2015), 90 (terj. Martin Harun OFM. Jakarta: Obor, 2015).
9 Fransiskus, Laudato Si’ (24 Mei 2015), 160 (terj. Martin Harun OFM. Jakarta: Obor, 2015).

6

bab ini kami mencoba untuk memaparkan kebiasan-kebiasan rill apa saja yang terdapat di setiap
lingkungan tempat tinggal anggota kelompok, mulai dari Seminari Tinggi, Biara OMI, dan
Wisma Penebus CSsR.
Kebiasaan Para Frater CSsR Yang Kurang Ekologis
Kebiasaan hidup para frater di Wisma Sang Penebus yang kurang Ekologis sesungguhnya
dipengaruhi oleh mental hidup masyarakat khas Indonesia Timur. Kenapa mental? Karena
semuanya berkaitan dengan sebuah kebiasaan. Kebiasaan hidup tersebut sangatlah dipengaruhi
oleh lingkungan hidupnya. Dengan jumlah mayoritas adalah orang Sumba dan Flores yang
memiliki watak keras dan kasar maka tidaklah mengherankan pola hidup macam ini menjadi
sebuah kebiasaan. Kebiasaan hidup dengan kultur keras dan kasar mempengaruhi kepribadian
komunitas yang sangat maskulin.
Keprihatinan di Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan
Keperihatinan di Sminari Tinggi adalah tidak semua warga komunitas membuang sampah
pada tempat yang sesuai dengan jenis sampahnya. Sampah-sampah tidak dipilah-pilah sesuai
dengan jenisnya sebelum dibuang ke tempat sampah. Pemilahan itu mempunyai tujuan agar
pengolahannya menjadi lebih efektif sehingga sampah dapat lebih cepat diuraikan.
Namun kenyataannya, pengolahan sampah dilakukan sama. Sampah hanya dibakar atau
dipendam. Pembakaran sampah menyebabkan pencemaran udara. Pencemaran ini memang
sedikit, tetapi ini menandakan bahwa Komunitas Seminari Tinggi terlibat dalam pencemaran
lingkungan.
Sampah yang dipendam akan sangat lama untuk menjadi tanah kembali. Menurut Miller
(1975) sampah plastik akan hancur dalam waktu 240 tahun jika ditimbun dengan tanah. Sampah
kaleng yang terbuat dari timah atau besi memerlukan waktu 100 tahun untuk berkarat dan hancur
menjadi tanah. Kaleng yang terbuat dari alumunium memerlukan waktu 500 tahun untuk
menjadi tanah. Sampah gelas atau kaca akan hancur dalam waktu 1juta tahun.
Sadar atau tidak, kebiasaan-kebiasaan yang manusia lakukan ini sangat berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup makhluk lain. Manusia yang mempunyai kecenderungan merusak
alam. Perusakan pada akhirnya akan membuhuh spesies lain. Padahal semua makhluk sangat
bermanfaat bagi alam. Pentingnya makhluk lain yakni untuk berjalannya sistem alam. Jika sistem

7

alam tidak berjalan sesuai dengan mestinya maka akan terjadi ketidakseimbangan alam. Dengan
demikian, alam yang tidak seimbang akan memberikan dampak juga pada kehidupan kita.
Ketidakseimbangan alam yang berjalan terus menerus akan menjadikan sebuah proses
yang memiskinkan keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati yang memenuhi kebutuhan
manusia. Dengan proses pemiskinan hayati ini akan menimbulkan kepunahan spesies yang
nantinya akan menjadi kehancuran kehidupan.
Keprihatinan di Konvik OMI
Keprihatinan Ekologis yang dapat ditinjau dalam konvik OMI adalah masalah
pembakaran sampah. Sampah dipilah menjadi tiga kategori yaitu, sisa makanan, kulit buah, dan
plastik dan kertas. Sisa makanan akan diberikan untuk ternak ayam, kulit buah akan diberikan
untuk ternak kambing, plastik dan kertas dibakar di tempat yang tersedia. Pembakaran sampah
memang lebih praktis dan juga cepat, tetapi tentu saja bukan berarti tidak mengandung
konsekuensi. Konsekuensi paling nampak adalah zat karbon (CO2) yang akan merusak lapisan
atmosfir. Dikatakan keprihatinan bukan karena sama sekali tidak ekologis, hanya saja belum
optimal.
Kompleks Seminari Tinggi OMI Wisma de Mazenod sebagian besar terdiri dari ruang
terbuka hijau. Maka proporsi penghasilan Oksigen O2 di Wisma de Mazenod bisa dikatakan
cukup memadai untuk sebuah lingkungan hidup yang sehat. Namun dengan metode membakar
sampah, membuat gas CO2 dalam bumi bertambah, dan itu berarti praktik ini ambil bagian dalam
pemanasan global kosmos kita. Diketahui bahwa gas CO 2 dapat memenuhi lapisan atmosfir dan
akhirnya menyebabkan sinar UV tidak menembus atmosfir tetapi membuat sinar UV
terpantulkan dan menyebabkan terjadinya peningkatan suhu di bumi. Pengetahuan macam ini
dapat kita temukan dalam pelajaran biologi SMP-SMA.
Keprihatinan lainnya adalah tuntutan penggunaan AC (Air Conditioner) yang
mengandung zat CFC (Chloro Floro Carbon) yang dapat mempertipis ozon untuk melayani
tamu-tamu yang datang dan hadir ke Seminari Tinggi OMI Wisma de Mazenod. Walaupun
memiliki vegetasi hijau yang cukup luas, Wisma de Mazenod dikelilingi oleh pemukiman yang
cukup padat sehingga temperatur di dalam Wisma de Mazenod pun relatif tinggi. Para RomoBruder-Frater sudah terbiasa dengan aneka macam temperatur sehingga tidak terlalu
membutuhkan AC. Lain halnya apabila sedang ada tamu yang datang berkunjung ke Wisma de

8

Mazenod dan merasa temperatur terlalu tinggi maka meminta kami menggunakan AC bagi
mereka.
Kita tahu dari pelajaran SMP bahwa gas CFC (yang terdiri dari 3 atom) berpotensi untuk
mengurai Ozon (O3) yang akhirnya membuat lapisan ozon kita menipis dan semakin
mengoptimalkan panas matahari masuk ke dalam lapisan udara bumi. Dengan kata lain,
walaupun kompleks Wisma de Mazenod sudah menyumbang O 2 yang cukup banyak dengan
menyediakan vegetasi hijau yang luas, di sisi lain juga menyumbang gas CFC bagi lapisan Ozon.
Keprihatinan lainnya adalah penggunaan tisu dalam jumlah yang besar. Kesadaran untuk
reduce penggunaan tisu masih belum terlalu memadai. Baik komunitas Wisma de Mazenod
sendiri maupun tamu yang datang masih cenderung menggunakan tisu sebagai lap mulut atau lap
tangan. Tisu termasuk salah satu perlengkapan makan yang bahan dasarnya terbuat dari pulp
yang berasal dari Kayu Pohon. Penggunaan tisu dalam jumlah besar juga berarti ambil bagian
dalam proyek penggundulan hutan (kendati ada program tebang-pilih-tanam). Perlu kesadaran
yang lebih tentang kampanye paperless dan reduce-ing penggunaan tisu dalam jumlah besar.
Penggunaan tisu memang praktis, tetapi bukan berarti tidak tergantikan. Penggunaan tisu bisa
diganti dengan alternatif lain yang lebih ramah lingkungan.
VII. Kesimpulan
Berdasarkan dari apa yang telah dipaparkan oleh kelompok di bab-bab sebelumnya, kami
menyimpulkan bahwa kita segenap umat manusia perlu untuk melakukan pertobatan ekologis.
Pertobatan ekologis adalah sikap di mana manusia menempatkan seluruh ciptaan di alam semesta
sehakekat sebagai ciptaan dari Allah. Dengan demikian, manusia diharapkan memperlakukan
alam dengan merawat serta menjaga seperti terhadap dirinya sendiri. Pertobatan ekologis ini
bukan untuk membatasi melainkan justru suatu sikap untuk merefleksikan kembali gaya hidup
atau kultur ekologi yang selama ini menunjang terjadinya eco-cide atau perukasan ekologi.
Implementasi dari sikap pertobatan ekologis tersebut kami tawarkan kepada masingmasing anggota komunitas di setiap konvik sebagai salah satu solusi yang dapat menciptakan
gaya hidup ekologis. Maka, kami mencoba mengaplikasikan sikap pertobatan ekologis tersebut
ke dalam hal-hal berikut :
A.

Solusi di Seminari Tinggi

9

Kami sebagai bagian dari warga komunitas Seminari Tinggi akan membangun kembali
kesadaran akan pentingnya merawat alam. Hal tersebut dimulai dari hal-hal kecil, salah satunya
adalah pengolahan sampah lebih lanjut. Selain itu, juga akan mengadakan service untuk alat
pengurai sampahyang telah disediakan.
B.
Wisma de Mazenod
a) Mengganti metode membakar sampah plastik dengan membuangnya ke TPS Tambak
Baya agar sampah tersebut dipilah-pilah dan akhirnya bisa direcycle atau reuse.
b) Reduce gas CFC, meminimalkan penggunaan AC yang berlebihan.
c) Reduce penggunaan tisu, mengkampanyekan paperless dengan mengganti tisu dengan lap
tangan berbahan kain yang bisa dipakai berulang-kali.

Daftar Pustaka :
Dokumen :
Fransiskus, Laudato Si’, 24 Mei 2015. Terj. Martin Harun OFM. Jakarta, Obor, 2015.
Buku :
Berteens, K, “Sejarah Filsafat Yunani”, Yogyakarta, Kanisius, 2016.
McDaniel, Jay, “Taman Eden, Dosa asal, dan Hidup dalam Kristus” dalam Agama, Filsafat dan
Lingkungan Hidup,ed. Mary Evelyn Tucker & John A. Grim, P. Hardono Hadi (terj),
Yogyakarta, Kanisius 2003.
Keraf, Sony A, “Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global”, Yogyakarta, Kanisius 2010.
Santmire, H. Paul “The Travail of Nature: The Ambiguous Eological Promise of Christian
Theology”, Philadelphia, Fortress Press, 1985.
Skolimowski, Henryk, “Filsafat Lingkungan:Merancang Taktik Baru untuk Menjalani
Kehidupan”, Terj. Saut Pasaribu, Yogyakarta, Bentang Budaya 2004.
Wi-Ming, Tu, “Melampaui Batas Mentalitas Pencerahan” dalam Agama, Filsafat dan
Lingkungan Hidup, ed. Mary Evelyn Tucker & John A. Grim , P. Hardono Hadi (terj),
Yogyakarta, Kanisius 2003.
Internet :
Imanuel Geovasky, “Respon Sudut Pandang Teologi Kristen Terhadap Krisis Ekologi Menuju
Upaya Bersama Multi Iman Menanggapi Krisis Ekologi,” diakses 3 Oktober 2017,
http://literasi.co/respon-sudut-pandang-teologi-kristen-terhadap-krisis-ekologi-menujuupaya-bersama-multi-iman-menanggapi-krisis-ekologi/, paragraf 3.

10