Studi dalam Spiritualitas Dominikan (1)

Studi dalam Spiritualitas Dominikan
oleh Cornelius Pulung

Tulisan ini merupakan hasil studi, renungan, dan pengalaman saya
berkenaan dengan studi dalam spiritualitas Dominikan. Tentunya sebagai
seorang Dominikan Awam, saya tidak bisa berkata bahwa saya sudah
berhasil menghidupi empat pilar spiritualitas Dominikan (doa, studi,
pewartaan, dan hidup berkomunitas). Meskipun demikian, melalui tulisan
ini, saya berusaha untuk menampilkan keunikan dan pentingnya studi bagi
Ordo Dominikan. Perlu diingat bahwa tulisan ini bukanlah sebuah upaya
yang komprehensif untuk menjelaskan studi secara lengkap, melainkan
sebuah fragmen, sekeping pemahaman yang saya tawarkan, namun tetap
terbuka untuk disempurnakan dan dilengkapi oleh yang lain.
Sekilas, mungkin ada yang bertanya: bukankah studi itu merupakan sesuatu
yang kita lakukan setiap hari? Kita bersekolah; dari sekolah dasar hingga ke
tingkat universitas. Ada banyak buku yang dapat digunakan sebagai
referensi dalam studi. Kemudahan akses internet pun memberikan
kekayaan informasi yang luas, yang bisa dicapai dengan cepat. Selain itu,
bukankah dalam ordo atau tarekat religius lain, juga bagi mereka yang
ingin menjadi imam atau menjalani hidup bakti, harus memperoleh formasi
filsafat, teologis, dan spiritual? Bukankah itu berarti mereka juga harus


melakukan studi? Lantas, mengapa Ordo Dominikan memberikan tempat
khusus dalam studi?
Tulisan ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama memberikan
penjelasan singkat tentang situasi historis berdirinya Ordo Dominikan.
Bagian kedua menonjolkan beberapa peristiwa hidup St. Dominikus yang
terkait dengan studi. Bagian ketiga merupakan eksplorasi atau pendalaman
mengenai studi itu sendiri. Bagian keempat berbicara tentang pengalaman
pribadi saya mengenai studi, sekaligus menjadi penutup tulisan ini. Bagian
kelima merupakan apendiks, yakni terjemahan saya mengenai surat St.
Thomas Aquinas kepada Saudara Yohanes mengenai studi.
I
Konteks Historis Awal Berdirinya Ordo Dominikan
Bagian ini tidak bermaksud memberikan konteks historis secara lengkap,
melainkan hanya ingin menekankan beberapa pokok penting. Hendaknya
kita tidak menganggap remeh peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu.
Kenangan akan peristiwa masa lalu merupakan cara Gereja menghargai dan
meneruskan warisan dari orang-orang kudusnya. Kenangan akan masa lalu
merupakan petunjuk bagi kita untuk menghadapi “tanda-tanda zaman” yang
khas di masa kita. Secara pribadi, saya meyakini bahwa Gereja memiliki

peran sebagai penjaga ingatan historis.
Ordo Dominikan, yang didirikan oleh St. Dominikus, ada sebagai tanggapan
terhadap kebutuhan atau permasalahan saat itu, yang dapat dirangkum
dalam dua kata kunci: ignorance (ketidaktahuan) dan vice (kebiasaan buruk
atau perbuatan yang tak bermoral).
Memang, pada abad pertengahan, terjadi semacam perkembangan dalam
bidang intelektual. Munculnya pusat-pusat pembelajaran yang kemudian
berkembang menjadi universitas di kota-kota seperti Paris, Bologna, dan
Padua, mulai menggantikan peran sekolah katedral dan biara-biara. Dahulu,
tidak semua orang bisa menikmati pendidikan dan akses terhadap
pendidikan hanya diberikan melalui biara-biara monastik. Pada saat itu,
studi ilmu pengetahuan sekuler dilarang, mereka yang belajar di sekolah
biara monastik hanya mempelajari Kitab Suci dan tulisan Bapa Gereja.
Sekalipun pada masa itu mulai muncul kontak antara budaya Arab dan
pemikiran filsuf Yunani, namun hanya segelintir cendekiawan saja yang
meneruskan hal ini kepada para muridnya.

Namun tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan dalam bidang intelektual
ini terjadi cukup lambat, sedangkan pada masa itu, setidaknya sejak abad
10-11 sudah mulai terdapat krisis dalam hal iman dan moral. Uskup dan

imam menyimpan harta duniawi dan menjalani gaya hidup yang tak
bermoral, lalu adanya penyebaran ajaran sesat seperti Waldensianisme dan
Albigensianisme, inilah yang menjadi tantangan dalam hidup menggereja
pada masa itu.
Albigensianisme sebenarnya merupakan kesesatan Manikeanisme yang
muncul kembali dalam bentuk yang baru. Setelah kesesatan ini dikalahkah
oleh St. Agustinus di abad keempat, kesesatan ini hidup kembali di abad
ketujuh dan mulai menyebar di seluruh kekaisaran Yunani di abad
kesembilan, dan terus menyebar di Bulgaria, Konstantinopel, Italia Utara,
Spanyol, Rhineland dan Prancis bagian selatan. Manikean baru ini
menyebut diri mereka Cathari, artinya the pure (yang murni), namun
karena kekuatan utama mereka terpusat di sekitar Albi di Toulouse, maka
secara umum mereka disebut Albigensian. Mereka meyakini adanya dua
allah, allah baik dan jahat, yang satu mengendalikan roh dan yang lain
mengendalikan daging, dan keduanya saling bertarung satu sama lain. Bagi
mereka Kristus hanyalah manusia dan tidak dapat menebus umat manusia.
Mereka menyebut Gereja sebagai “sinagoga setan”; kerumunan banyak
orang didorong untuk menghina para pelayan Gereja dan mendesekrasi
biara. Inilah gambaran singkat (yang pastinya tidak menyeluruh) tentang
Albigensianisme.

Saya rasa kita juga perlu sedikit mengenal tentang aliran sesat
Waldensianisme. Pendiri aliran ini adalah Peter Waldes, seorang pedagang
kaya dari Lyons yang memberikan semua kekayaannya kepada orang miskin
dan membaktikan dirinya dalam studi Kitab Perjanjian Baru. Tahun 1176 ia
mulai berkhotbah secara publik, dan ia memiliki niat untuk merestorasi
kehidupan apostolik dalam kemiskinan dan kesederhanaannya, sambil
mengecam gaya hidup para klerus yang ditandai kekayaan dan kemewahan.
Tidaklah mengherankan bila banyak orang Kristen sederhana yang tertarik
dan bergabung kepada mereka, karena mereka seakan memberikan kesan
sebagai orang kudus (sekalipun, pada kenyataannya, kekudusan mereka
bukanlah kekudusan yang sejati alias kekudusan palsu).
Selain itu, para pengikut mereka kerap berkhotbah dan menjelaskan isi
Kitab Suci, namun Konsili Lateran Ketiga (1179) melarang mereka
melakukan hal tersebut karena sebagian besar dari mereka orang-orang
yang ignorant dan buta huruf (illiterate). Namun larangan tersebut tidak

mereka taati. Ketika Paus Lusius III menyatakan ekskomunikasi kepada
mereka di Konsili Verona (1184), sebagian besar dari mereka bertobat dan
kembali ke Gereja, namun sebagian lainnya tetap keras kepala dan tidak
mau bertobat. Mereka secara terang-terangan menyerang dogma-dogma

Gereja seperti Kurban Misa, Api Penyucian, Indulgensi, imamat, dst., dan
berupaya menyebarkan kesesatan mereka di setiap negara Eropa.
Harus diakui bahwa pada saat itu klerus tidak memiliki tingkat
pengetahuan yang tinggi, dan para rahib monastik tidak mampu
mengangkat tingkat intelektual para klerus. Para uskup, yang merupakan
guru resmi Gereja dalam hal iman dan yang berwenang untuk mengajar dan
berkhotbah, juga kurang berpengetahuan dan tidak menampilkan teladan
kekudusan. Kurangnya pengetahuan dan gaya hidup yang tidak
mencerminkan kekudusan (terutama dalam aspek kemiskinan) merupakan
alasan mengapa upaya untuk mewartakan Injil kepada kaum sesat menjadi
tidak efektif.
St. Dominikus hidup di zaman ketika ketidaktahuan, kesesatan, dan
kehidupan yang tak bermoral menyebar luas, dan karena itulah ia
mendirikan Ordo Dominikan, yang bertujuan untuk mewartakan kebenaran
iman dan mengupayakan keselamatan jiwa, yang mana di dalamnya
tercakup usaha untuk melawan kesesatan. Dan salah satu sarana yang
digunakan untuk mewujudkan tujuan ini ialah studi yang penuh semangat
tentang kebenaran suci (assiduous study of sacred truth).
II
Studi dan Teladan St. Dominikus

Dalam konteks historis yang dijelaskan di atas, peran St. Dominikus menjadi
penting. Saya tidak akan menceritakan riwayat St. Dominikus (anda bisa
membacanya di sini), namun saya ingin menekankan beberapa hal yang
dapat kita pelajari tentang pentingnya studi melalui kesaksian hidup St.
Dominikus. Saya kutip perkataan Paus Benediktus XVI:
Dominikus lahir di Caleruega, Spanyol, pada tahun 1170. Ia berasal
dari keluarga terhormat di Old Castille dan dididik di sebuah sekolah
terkenal di Palencia, dengan bantuan pamannya yang seorang imam.
Segera saja Dominikus tampak berbeda dari teman-temannya, oleh
karena minatnya mempelajari Kitab Suci dan cintanya kepada kaum
papa, sampai-sampai ia menjual buku-bukunya, yang pada waktu itu

merupakan aset yang amat mahal, dan hasil penjualannya dibagibagikan kepada para korban yang kelaparan.
Pertama, Dominikus merupakan orang yang sangat
mencintai buku (nanti akan dibahas mengapa buku
adalah sesuatu yang perlu kita cintai), dan karenanya
ia mencintai ilmu pengetahuan, ia memiliki rasa haus
akan kebenaran. Oleh karena itulah, ketika St.
Dominikus menjual bukunya untuk menolong orang
miskin selama wabah, dan tindakannya ini

mendorong sesama teolog dan guru teologi untuk
melakukan hal yang sama. Jangan bayangkan buku
sebagai barang murah yang bisa diperoleh dengan
mudah, justru sebaliknya, buku pada masa itu
merupakan barang langka yang sangat mahal,
namun berani ia korbankan, dan dengan demikian
gestur St. Dominikus menjadi demikian penting.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa cinta akan
pengetahuan selaras dengan dorongan untuk
menolong mereka yang miskin dan menderita. Ya, Dominikus mencintai
buku-bukunya, namun ia pun tahu bahwa ada saatnya untuk mengasihi
sesama dengan mengorbankan harta benda yang berharga bagi kita.
Kedua, ada juga cerita tentang St. Dominikus yang berbicara semalaman
penuh dengan seorang pemilik penginapan, yang sekaligus merupakan
penganut aliran sesat Albigensianisme. Diskusi tersebut berakhir dengan
bertobatnya sang pemilik penginapan.
Nah, mari kita kontraskan cerita tersebut dengan fenomena di zaman kita.
Belakangan ini, terdapat kecenderungan di antara umat Katolik untuk
mempertentangkan antara “karya nyata” dan “pewartaan kebenaran
seturut ajaran Gereja”, seakan-akan mereka yang berusaha mengajarkan

kebenaran hanyalah berbicara secara teori tanpa terlibat langsung dalam
“melakukan perbuatan konkret” untuk menolong orang yang kesusahan. Ini
sungguh tidak masuk akal. Instructing the ignorant (mengajar mereka yang
tidak tahu), counseling the doubtful (menasihati mereka yang bimbang),
admonishing sinners (mengoreksi atau menegur para pendosa), semuanya
ini adalah karya belas kasih yang hanya bisa kita penuhi bila kita
melakukan studi terhadap kebenaran-kebenaran suci. Mengajarkan
kebenaran kepada mereka yang tidak tahu, maka menjadi sebuah bentuk
ungkapan kasih kepada sesama. Setiap orang Kristen dipanggil untuk

menjadi kudus, namun kekudusan ini harus dikerjakan dengan bantuan
kebenaran iman Gereja. Terlebih, Kitab Suci menegaskan: “Tanpa
pengetahuan, semangat (zeal) pun tidaklah baik” (Ams. 19:2). Sejarah
Gereja juga membuktikan bahwa ketidaktahuan (ignorance) merupakan
salah satu hambatan bagi pertumbuhan kekudusan dan dapat menjauhkan
jiwa-jiwa dari tujuan akhir mereka, yakni kehidupan kekal bersama Allah,
dan semakin mendekatkan diri ke ambang pintu neraka.
Berdasarkan kisah pertobatan pemilik penginapan tersebut, kita dapat
melihat adanya keterkaitan antara studi, pertobatan, dan keselamatan jiwa.
Buah dari studi akan kebenaran haruslah diwartakan bagi mereka yang

memerlukan, agar dapat menjadi undangan bagi pertobatan yang otentik.
Jadi, pertentangan antara “karya nyata” dan “pewartaan kebenaran”
sesungguhnya adalah omong kosong, dan tentunya St. Dominikus tidak
pernah mempertentangkan keduanya.
Ketiga, esensi kehidupan St. Dominikus dapat dirangkum dengan perkataan
berikut: ia selalu berbicara dengan Allah dan berbicara tentang Allah.
Perkataan ini menunjukkan keterkaitan mendalam antara doa (berbicara
dengan Allah) dan pewartaan (berbicara tentang Allah). Jembatan antara
keduanya adalah studi: studi memampukan kita untuk berbicara dengan
Allah; kita menjadi tahu apa yang seharusnya kita minta, dan tahu
bagaimana sikap kita yang sepantasnya ketika berbicara dengan Pencipta
kita. Di sisi lain, studi yang ditopang oleh doa akan menjadi sebuah
pewartaan mampu menyentuh dan menggerakkan para pendengarnya; studi
yang ditopang oleh doa akan mencegah seseorang menjadi pewarta yang
sombong, sebaliknya justru akan mengakarkan dirinya dalam persatuan
dengan Allah, dan dengan demikian, ia mampu membawa wajah Allah
kepada sesama, karena Allah telah terlebih dahulu berbicara kepadanya.
III
Eksplorasi Berbagai Aspek Studi
“Konstitusi Ordo Pewarta memberikan makna yang besar terhadap studi

sebagai persiapan untuk kerasulan. Dominikus menginginkan para
biarawannya untuk membaktikan diri tanpa ragu kepada studi, dengan rajin
dan dengan saleh—studi yang bersumber dari jiwa segala pengetahuan
teologis, yakni Kitab Suci, dan juga pertanyaan-pertanyaan yang berasal
dari akal budi.”

-

Paus Benediktus XVI, Audiensi Umum tentang St. Dominikus

Ketika murid Yesus mengikuti-Nya dan bertanya di manakah Dia tinggal,
Yesus menjawab: Marilah dan kamu akan melihat.
Marilah dan kamu akan melihat merupakan undangan yang ditawarkan
Yesus kepada para murid, namun bukan sembarang murid, melainkan
mereka yang dengan bebas memutuskan untuk mengikuti Dia. Undangan
ini juga ditawarkan kepada kita, asalkan kita sungguh mau mengikuti jejak
Kristus. Sesungguhnya, studi yang dilakukan oleh kita, Dominikan Awam,
berasal dari keinginan kita untuk mengenal pribadi Yesus Kristus, dari
kerinduan kita untuk mencari Allah, Sang Kebenaran.
Marilah dan kamu akan melihat. Dalam perkataan ini terkandung esensi

dari studi: studi merupakan upaya manusia untuk menyerap dan memahami
kebenaran. Kata studi berasal dari bahasa Latin, studere, yang berarti
melangkah maju dengan sebuah upaya, berjuang dengan penuh semangat
(zeal). Kata studium dalam bahasa Latin, tidak hanya berarti study dalam
bahasa Inggris, melainkan memiliki makna asli yakni zeal. Dengan kata lain,
dari definisi studi yang telah diberikan, di dalamnya tersingkap pula aspek
ketekunan (perseverance) dan semangat (zeal), selain aspek doa (prayer)
sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Studi dalam spiritualitas Dominikan merupakan sesuatu yang hakiki, dan
bukan sekedar tambahan atau pelengkap yang dapat dikesampingkan
begitu saja. Pentingnya studi bagi Dominikan sama saja dengan pentingnya
pewartaan, hidup berkomunitas, dan hidup doa. Oleh sebab itu, studi yang
kita lakukan, tidak boleh semata-mata menjadi suatu cara untuk berbuat,
seakan-akan ia terpisah dari kehidupan kita, melainkan studi harus menjadi
cara mengada (being). Keunikan studi dalam tradisi Dominikan ialah bahwa
studi merupakan bagian dari spiritualitas, dan karenanya menjadi sarana
bagi kekudusan kita, yakni instrumen untuk menguduskan dan
menyelamatkan jiwa kita. Inilah alasan utama mengapa kita melakukan
studi.
Studi yang dilakukan Dominikan Awam adalah studi teologi. Paus
Benediktus XVI, menjelaskan pemahaman St. Thomas Aquinas mengenai
teologi:
St. Thomas ... berkata: teologi adalah refleksi tentang iman dan
tujuan iman adalah manusia menjadi baik dan hidup seturut kehendak

Allah. Oleh sebab itu, tujuan teologi ialah menjadi pemandu orangorang di jalan yang baik dan benar; dan karenanya teologi secara
mendasar adalah ilmu pengetahuan praktis.
Posisi lainnya berkata: teologi berusaha untuk mengenal Allah.
Kita adalah karya Allah; Allah itu melampaui tindakan kita. Allah
mengerjakan tindakan yang benar dalam diri kita; sehingga pada
hakikatnya ia berhubungan bukan pada apa yang kita lakukan, tetapi
pada pengenalan akan Allah, dan bukan perbuatan kita. Kesimpulan
St. Thomas ialah: teologi mencakup dua aspek: teoretis, karena ia
berusaha mengenal Allah dengan lebih baik, dan praktis, karena ia
berusaha mengarahkan hidup kita kepada kebaikan. Tetapi ada
primasi atau keutamaan pengetahuan: terutama kita harus mengenal
Allah dan terus bertindak selaras dengan Allah (Summa
Theologiae, Ia, q. 1, art. 4).
Definisi St. Thomas menunjukkan aspek ganda teologi: di satu sisi, teologi
adalah refleksi tentang iman, sedangkan di sisi lain, teologi berarti usaha
untuk mengenal Allah. Pengetahuan akan Allah merupakan hal utama dan
harus menjadi pedoman kita dalam menjalani hidup.
Ketika menjelaskan tentang teologi, Paus Benediktus XVI, dengan mengutip
St. Bonaventura (teolog Fransiskan sekaligus rekan sezaman St. Thomas
Aquinas), menjelaskan bahwa apa yang kita ketahui tentang kebenaran
iman tidak boleh berhenti sebagai pengetahuan belaka, melainkan ia harus
berubah menjadi afeksi, menjadi kasih. Kasih macam apakah yang
dimaksud dan harus kita miliki? Saya yakin perkataan St. Agustinus
menjawab pertanyaan tersebut: “Kasih akan pengetahuan dan kebenaran
harus mengundang kita untuk terus belajar. Kasih kepada sesama harus
mendorong kita untuk mengajar” (Answers to the Eight Questions of
Dulcitius, 3). Kasih ... mendorong kita untuk belajar, bukan hanya belajar
secara teoretis, melainkan juga belajar untuk menghidupi kebenaran yang
kita pelajari. Kesaksian hidup dan pengajaran kita menjadi tidak efektif, bila
kita mengajar untuk menghormati Ekaristi, namun kita sendiri tidak
memperlihatkannya dalam tindakan kita.
Penting sekali untuk kita ingat bahwa dalam konteks ini, kasih yang kita
miliki mencakup dimensi intelektual. Kasih bercorak intelektual ini
mengubah hidup kita, sehingga “bukan lagi aku yang hidup, melainkan
Kristuslah yang hidup di dalam aku”, seperti yang dikatakan St. Paulus.
Kasih bercorak intelektual ini jugalah yang akan menyembuhkan manusia
dari ketidaktahuan (ignorance)—yang membuat ia berada dalam kegelapan

—dan menuntunnya kepada terang, terang yang dapat mengarahkan hidup
manusia untuk menjadi bahagia seturut kehendak Allah.
Jadi, jelas sekali bahwa studi dalam spiritualitas Dominikan harus selalu
berkenaan dengan wahyu ilahi, yang adalah Allah sendiri. Studi teologi
dalam spiritualitas Dominikan harus membawa kita kepada pengenalan
akan Allah yang sejati. Paus Benediktus XVI memperlihatkan dengan indah
konsekuensi dari perjumpaan pribadi dengan Kristus:
Siapapun yang telah menemukan kasih akan Allah di dalam
Kristus, yang ditanamkan dalam hati kita oleh Roh Kudus, menjadi
ingin mengetahui Dia yang mengasihi dirinya, dan Dia yang kita
cintai, dengan lebih baik. Pengetahuan dan kasih saling menopang
satu sama lain. Sebagaimana dikatakan Bapa Gereja, siapapun yang
mengasihi Allah didorong untuk menjadi seorang teolog dalam arti
tertentu, ia yang berbicara dengan Allah, yang memikirkan Allah dan
mencari Dia untuk berpikir bersama Allah; sedangkan karya
profesional seorang teolog, bagi beberapa orang, merupakan
panggilan dengan tanggung jawab besar di hadapan Kristus, di
hadapan Gereja. Mampu untuk mempelajari Allah sendiri secara
profesional dan mampu untuk berbicara tentang Dia – contemplari et
contemplata docere (St Thomas Aquinas, Super Sent., lib. 3 d. 35, q.
1, art. 3, qc. 1, arg. 3) – merupakan sebuah privilese agung.
Hal ini dapat dicapai bila studi ini kita laksanakan di bawah bimbingan
Magisterium Gereja, sebagaimana ditegaskan Paus Benediktus XVI:
Teologi harus selalu dilaksanakan di dalam Gereja dan untuk
Gereja, Tubuh Kristus, satu-satunya subjek bersama Kristus, dan
karenanya dilaksanakan juga di dalam kesetiaan terhadap tradisi
Apostolik. Karya seorang teolog, oleh sebab itu, harus terjadi dalam
persekutuan dengan suara Gereja yang hidup, yakni bersama
Magisterium Gereja yang hidup dan di bawah otoritasnya.
Sekalipun dua perkataan Paus Benediktus di atas ditujukan bagi para
teolog, namun kebenaran dari perkataan itu juga berlaku bagi kita: studi
teologi yang kita lakukan, pewartaan yang kita berikan—melalui perkataan
atau kesaksian hidup—semuanya harus terjadi dalam persekutuan dengan
Gereja. Hanya dengan hidup dalam persekutuan dengan Gereja, maka studi
dan pewartaan kita sungguh dilaksanakan dalam kerendahan hati, karena
kita bersandar dan bergantung pada Gereja, keluarga Allah, dan bukan
pada pemahaman sendiri.
***

Kita mungkin bertanya: apakah ini berarti studi teologi harus selalu berciri
akademis? Bukankah hal tersebut tampak
sebagai beban yang berat, karena kita sebagai
Dominikan Awam, memiliki latar belakang yang
berbeda? Studi teologi tidak selalu harus
bercorak akademis, dalam arti bahwa kita belajar
di universitas atau mengikuti kursus teologi yang
diselenggarakan
institusi
atau
lembaga
pendidikan tertentu. Tentunya bagus sekali bila
kita bisa mengikutinya, namun terdapat cara
yang lebih sederhana yang memampukan kita
untuk menjadi seorang yang terpelajar secara
teologis: yakni dengan memiliki dan membaca
buku-buku teologi.
Sudah disebutkan bahwa St. Dominikus pun
mencintai buku. Dikatakan bahwa ke manapun ia
pergi, ia selalu membawa Injil Matius dan suratsurat St. Paulus. Konstitusi primitif Ordo
Dominikan di masa kepemimpinan Beato Jordan dari Saxony menyatakan
dengan tegas: “Para saudara harus begitu bertekad dalam studi sehingga di
waktu siang atau malam, ketika berada di rumah atau di tengah perjalanan,
mereka membaca atau menyimpannya dalam ingatannya apapun yang
dapat mereka simpan.”
Terlihat jelas bahwa buku menjadi teman perjalanan bagi para saudara
Dominikan. Siang atau malam, di rumah atau di tengah perjalanan, semua
ini memperlihatkan betapa pentingnya untuk menyempatkan diri membaca
buku, sehingga pikiran dan hati kita dapat tertata dengan baik dan benar.
Di masa kini, khususnya di Indonesia, kita dapat melihat kurangnya minat
untuk membaca buku, apalagi buku-buku rohani atau yang mengandung
bobot teologis. Buku-buku tersebut cenderung dinilai sebagai buku yang
“berat”, susah dimengerti. Terkadang, kurangnya waktu atau kesibukan
aktivitas seseorang pun dijadikan alasan untuk tidak membaca buku.
Padahal, buku yang bagus menyimpan sebuah kekuatan yang mampu
mengubah hidup seseorang.
St. Josemaria Escriva berkata bahwa kebiasaan membaca buku rohani telah
membuat banyak orang menjadi kudus. Kita dapat membuktikan perkataan
ini dengan melihat riwayat hidup santo/a: St. Agustinus dari Hippo, St.
Teresa Benedikta, St. Ignatius dari Loyola, ketiga orang kudus ini pun
mengalami transformasi diri secara radikal karena membaca buku.

Mungkin ada yang bertanya begini: “Saya ingin seperti santo/a yang
mengalami perubahan hidup karena membaca buku, namun saya kesulitan
setiap kali hendak membaca. Apa yang bisa saya lakukan?”
Bila saya melihat perpustakaan pribadi saya, dalam buku-buku yang
tersusun rapi, saya dapat melihat sebuah perjalanan pribadi saya. Beberapa
buku tertentu dibeli bukan karena banyak orang berkata buku itu bagus,
melainkan karena dalam buku tersebut, saya berusaha mencari jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan pribadi saya. Aktivitas membaca buku menjadi
menyenangkan bila kita memiliki banyak pertanyaan, dan merasa tergerak
untuk mencari tahu jawabannya. Kesulitan dalam membaca buku saya kira
dapat diatasi bila kita melakukannya karena didorong untuk mencari
jawaban atas suatu persoalan atau pertanyaan yang kita bawa dalam doa.
Terkadang, ketika membaca buku pun kita dapat merasa bahwa Tuhan
sungguh berbicara kepada saya, bahwa Tuhan sungguh menjawab
pertanyaan saya, karena pertanyaan tersebut ditanyakan ketika saya
sedang berdoa. Pengalaman pribadi saya membuktikan hal ini dan saya
yakin hal tersebut juga dapat terjadi kepada kita semua.
Jadi, buku merupakan sarana yang hakiki bagi studi teologi kita, oleh
karena itu, kita pun harus dengan cermat memilah buku, karena ada juga
buku yang meracuni pikiran dan tidak memberikan manfaat apapun.
Alangkah baiknya bila kita membaca buku yang ditulis oleh para pemikir
besar Gereja, terutama mereka yang diberi gelar Pujangga atau Doktor
Gereja. Karya mereka tidak lekang oleh waktu, dan akan tetap selalu
relevan di setiap zaman serta bermanfaat bagi pendewasaan pribadi kita
secara personal, psikis maupun rohani.
Di dalam buku, kefanaan dan keabadian terjalin erat menjadi satu:
kefanaan, karena buku fisik merupakan ciptaan manusia yang dapat rusak,
ia tidak akan bertahan selamanya. Keabadian, karena di dalam buku
terdapat kata-kata, dan sebuah buku yang memiliki nilai yang kekal akan
memiliki kata-kata yang, jika tertanam dalam hati manusia, akan selalu
mampu mengubah hidup seseorang di sepanjang zaman.
***
Studi dan pewartaan sama-sama membutuhkan doa, malah dapat dikatakan
bahwa doa merupakan fondasi hakiki bagi efektivitas keduanya. Berkenaan
dengan ini, saya ingin mengingatkan kita bahwa St. Thomas Aquinas
memberikan kita kesaksian yang indah akan pentingnya doa, yang
sayangnya kisah berikut ini tidak pernah kita jumpai dalam tulisan biografis
yang terdapat di Indonesia.

Aquinas sangat menyadari betapa besar tanggung jawab yang diemban oleh
seseorang yang menerima gelar Doktor, yang menjadikannya seorang
Master di bidang teologi. Seorang master merupakan seorang yang
bertugas dalam menyampaikan kebenaran dan memiliki kuasa terhadap
jiwa-jiwa. Pada hari sebelum penerimaan gelarnya, Aquinas memohon
kepada Allah sambil bercucuran air mata, agar Tuhan memberikan ia
karunia yang diperlukan untuk mengemban gelar Master. “Tuhan,
selamatkanlah aku, karena kebenaran menghilang di antara anak manusia.”
Lama sekali ia berdoa dan menangis, hingga akhirnya ia tertidur. Sekali lagi
ia menerima kunjungan malaikat yang bertanya: Saudara Thomas, mengapa
engkau berdoa dan menangis? – Karena aku akan mengemban tugas
seorang Master, namun aku kurang memiliki pengetahuan yang diperlukan.
Aku bahkan tidak tahu tema apa yang perlu aku kembangkan untuk
penerimaan gelar tersebut. – Malaikat tersebut menjawab: Terimalah dalam
damai tanggung jawab seorang master, karena Allah besertamu. Dan untuk
khotbah perdanamu, kembangkanlah hanya perkataan ini: “Engkau yang
memberi minum gunung-gunung dari kamar-kamar loteng-Mu, bumi
kenyang dari buah pekerjaan-Mu” (Mzm 104:13). Kita pun memiliki teks
khotbah perdana Aquinas ini, yang di dalamnya ia menggambarkan
kebesaran jabatan pengajaran, dan ekonomi kebijaksanaan. “Allah
berkomunikasi dengan kuasa-Nya; dengan hikmat-Nya Ia memberi minum
gunung-gunung. Doktor, sebaliknya, hanya berkomunikasi melalui kuasa
sebuah sarana, sehingga buah dari gunung-gunung tersebut tidak
diatributkan kepada gunung tersebut melainkan kepada karya Allah.”
Peristiwa ini memampukan kita melihat ke dalam doa pribadi Sang Doktor
Malaikat tersebut: melalui doa pribadinya, tersingkaplah kerendahan hati
Thomas Aquinas, pertama ketika ia mengakui bahwa ia kurang memiliki
pengetahuan yang diperlukan, kedua pengakuan ini terjadi di hadapan
Allah, dan karenanya mengajarkan kita untuk selalu mengakui kelemahan
dan keterbatasan kita di hadapan Sang Pencipta. Setiap kali Aquinas
mengalami kesulitan untuk menulis, ia selalu berdoa di hadapan Sakramen
Mahakudus, dan Tuhan selalu membantu Dia untuk menulis sesuatu yang
berkenan bagi-Nya. Teladan Aquinas inilah yang hendaknya kita tanamkan
dalam kehidupan kita, terutama sekali ketika kita hendak melakukan studi.
Sungguh, mereka yang setia berdoa dalam studi, akan semakin bertumbuh
dalam hikmat dan kekudusan.
IV
Penutup
Saya hendak menutup tulisan ini dengan menjawab sebuah pertanyaan,
yang pada umumnya diajukan manusia modern: apa untungnya studi bagi

saya? Secara spesifik, apa yang dapat diberikan studi teologi bagi hidup
saya?
Jawaban saya terkait erat dengan pengalaman saya menjalani studi: sejak
usia yang sangat muda, saya sudah mendalami iman Katolik saya (melalui
apologetika, yakni pembelaan iman Katolik). Lalu, saya juga memiliki latar
belakang pendidikan di bidang psikologi. Berdasarkan pengalaman saya,
studi yang saya lakukan—salah satunya dilakukan dengan membaca—
terkait erat dengan pertanyaan-pertanyaan pribadi yang saya ajukan
kepada Tuhan dalam doa. Dan jawaban doa tersebut selalu saya temukan
dalam studi, melalui bacaan-bacaan yang bermutu, melalui artikel Katolik,
dst.
Saya berkeyakinan bahwa studi teologi dapat membantu saya mengasihi
Allah dengan lebih baik, dan studi psikologi membantu saya mengasihi
sesama dengan lebih baik. Dengan kata lain, studi teologi dan psikologi
membantu saya untuk melaksanakan hukum kasih, sekalipun sampai saat
ini saya masih melaksanakannya secara tidak sempurna.
Studi teologi dan psikologi sungguh memperkaya hidup saya: pengalaman
saya selama mengarungi dua bidang ilmu ini sungguh menjadi pengalaman
yang mencerahkan sekaligus membebaskan. Semakin saya mempelajari
keduanya, semakin saya menyadari bahwa Allah sungguh mengasihi saya,
bahwa saya lahir di dunia bukan karena sebuah kebetulan, melainkan saya
ada dalam rencana Tuhan, ada tugas yang secara khusus Ia persiapkan bagi
saya. Studi mencerahkan hati dan akal budi saya, karena saya semakin
mengetahui kebenaran tentang diri saya—kekuatan dan keterbatasan saya
—tentang Allah dan manusia, dan karenanya saya semakin mampu untuk
bersyukur dan menghargai apa yang Allah berikan dalam hidup saya.
Studi teologi dan psikologi mendewasakan saya, tidak hanya secara psikis,
tetapi juga secara rohani. Dan hal penting lainnya ialah bahwa studi
menjadi jalan penyembuhan: studi menyingkapkan kepada saya cara untuk
memulihkan relasi saya dengan Allah dan sesama. Studi juga membantu
saya untuk menyadari adanya “penyakit” atau kelemahan dalam diri saya—
secara psikis dan rohani—yang tidak saya sadari sebelumnya, dan yang
menjadi penghambat bagi saya untuk bertumbuh dan berkembang menjadi
manusia yang dikehendaki Allah. Dengan kata lain, studi sungguh
membantu saya untuk bertumbuh di jalan kekudusan, dan dengan studi,
kita dimampukan untuk memenuhi panggilan kita menuju kekudusan,
sesuai amanat Konsili Vatikan II.
V

APENDIKS
Surat St. Thomas Aquinas kepada Saudara Yohanes Mengenai Studi
***
Karena engkau bertanya kepadaku, saudara Yohanes yang terkasih dalam
Kristus, tentang bagaiamana cara belajar untuk memperoleh harta karun
pengetahuan, aku berikan kepadamu nasihat ini. Janganlah ingin untuk
segera melompat dari aliran sungai ke laut, karena seseorang harus melalui
perkara yang lebih mudah, baru menuju perkara sulit. Oleh karena itu,
pokok berikut ini adalah peringatanku dan instruksi bagimu:

1. Saya memerintahkan kamu untuk lambat dalam berbicara, dan juga
lambat dalam pergi ke ruang percakapan
2. Milikilah kemurnian hati nurani

3. Jangan menyerah dalam meluangkan waktu untuk berdoa
4. Cintailah waktu yang kamu habiskan di sel atau kamarmu, bila kamu
ingin dituntun menuju gudang anggur
5. Bersikaplah ramah terhadap semua orang

6. Jangan bertanya tentang apa yang orang lain lakukan
7. Jangan terlalu akrab dengan siapapun, karena keakraban melahirkan
kehinaan (familiarity breeds contempt), dan menjadi perkara yang
mengalihkan kamu dari studi
8. Jangan terlibat sama sekali dalam diskusi dan persoalan orang awam

9. Hindari percakapan apapun tentang semua dan setiap persoalan
10.
Janganlah gagal dalam meneladani teladan orang kudus dan
baik

11.

Jangan berpikir tentang siapa yang kamu dengarkan, tetapi
apapun yang baik yang ia katakan, simpanlah dalam ingatanmu
12.
Apapun yang kamu lakukan atau dengarkan, cobalah untuk
memahami. Pecahkanlah keraguan, dan simpan apapun yang dapat
kamu simpan dalam ruang ingatanmu, seperti seseorang yang hendak
memenuhi sebuah wadah.
13.
Jangan habiskan waktu terhadap hal yang melampaui
pemahamanmu
Dengan mengikuti jalan tersebut, kamu akan melahirkan bunda dan
menghasilkan buah yang berguna di kebun anggur Tuhan yang Mahakuasa,

selama kamu hidup. Bila kamu mengikuti hal ini, kamu dapat mencapai apa
yang kamu inginkan.

Daftar Pustaka
Benedict XVI. Transforming Power of the Faith. San Fransisco: Ignatius
Press, 2013.
___________. “General Audience of Pope Benedict XVI on St. Bonaventure.”
Vatican Website. (17 Maret 2010). Dapat diakses di
http://w2.vatican.va/content/benedictxvi/en/audiences/2010/documents/hf_ben-xvi_aud_20100317.html
___________. “Address to the Members of International Theological
Commision”. Vatican Website. (1 Desember 2005). Dapat diakses di
https://w2.vatican.va/content/benedictxvi/en/speeches/2005/december/documents/hf_ben_xvi_spe_20051201_com
missione-teologica.html
___________. “Address to the Members of International Theological
Commision”. Vatican Website. (3 Desember 2010). Dapat diakses di
http://w2.vatican.va/content/benedictxvi/en/speeches/2010/december/documents/hf_benxvi_spe_20101203_cti.html
Dominican Sisters International. Building Bridges: Dominicans Doing
Theology Togethers. Jakarta: St. Dominic Publishing, 2015.
Kennedy, D. J. “Thomas Aquinas”. Jacques Maritain Center. Dapat diakses di
http://www3.nd.edu/Departments/Maritain/etext/stthomas.htm
Laux, John. Church History: A History of the Catholic Church to1940 for
Upper High School & College Courses and Adult Reading. North Carolina:
Tan Books, 2012.
Pulung, Cornelius. “Buku dalam Perspektif Katolik: Sisi Terang Bacaan
Rohani (Part II).” Lux Veritatis 7. (4 Mei 2015). Dapat diakses di
https://luxveritatis7.wordpress.com/2015/05/04/buku-dalam-perspektifkatolik-sisi-terang-bacaan-rohani-part-2/
Weisheipl, James. A. “The Place of Study in the Ideal of St. Dominic.”
Dominican Central Province. Dapat diakses di

http://opcentral.org/resources/2012/08/23/the-place-of-study-in-the-ideal-ofst-dominic/

Dokumen yang terkait

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI ( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)

12 105 72