Kasus kasus Kerusuhan yang terjadi di In

Gafatar, Gerakan Fajar Nusantara

Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) mencuat setelah dokter Rica Tri Handayani
menghilang dan diduga pernah mengikuti organisasi ini. Dokter Rica bersama
anaknya dilaporkan hilang sejak 30 Desember 2015 dan ditemukan di Kabupaten
Mempawah, Kalimantan Barat, Senin (11/1/2016).
Gerakan Fajar Nusantara merupakan organisasi yang mengklaim bergerak di bidang
sosial dan budaya. Deklarasi Gafatar dilaksanakan pada Sabtu 21 Januari 2012 di
gedung JIEXPO Kemayoran, Jakarta.
Dalam dasar pemikiran Gafatar dituliskan bahwa bangsa Indonesia disebut belum
merdeka seutuhnya dari sistem penjajahan neokolonialis dan neoimperialis.
"Kenyataan ini membuat kami menjadi terpicu untuk berbuat. Tak bisa duduk diam
tanpa melakukan apa-apa untuk kemajuan dan kejayaan bangsa."
Gafatar dituding sebagai perpanjangan dari sekte Al-Qiyadah al Islamiyah,
Komunitas Millah Abraham (Komar), pimpinan nabi palsu Ahmad Mushaddeq sejak
awal kemunculannya. Walhasil, deklarasi Gafatar pada 2012 di sejumlah wilayah
ditentang warga setempat, seperti di Kota Solo, Yogyakarta dan Gowa, Sulawesi
Selatan.

Kerusuhan baru Tolikara, Papua, ibarat
'perang adat'


Berbeda dengan kekerasan bermotif agama pada Idul Fitri lalu, ini adalah
'perang adat' yang berlangsung lebih dari sepekan, dan mestinya bisa
dicegah, kata pengamat.
Sedikitnya dua orang tewas, 17 luka berat, dan 15 lainnya luka ringan sementara tak
kurang dari 95 rumah hangus dibakar, sejumlah lahan pertanian rusak, dan hewan
ternak dijarah.
Banyak hal masih simpang siur, namun kerusuhan dilaporkan terkait sengketa
pembagian dana desa antara warga distrik Gika dan distrik Panaga, yang masingmasing terdiri dari 10 desa.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Tolikara menggambarkan
kerusuhan itu sebagai 'perang adat'.
Pengamat Papua dari LIPI, Adriana Elisabeth menyebut, persoalan kecil seperti ini di
Papua sering bisa meledak dan berlarut-larut, karena akar masalahnya sering tidak
dituntaskan, dan malah sering ada rekayasa.
Kepala BPBD Tolikara Feri Kogowa, menyebut, kerusuhan berlangsung begitu lama
karena lokasinya sulit dijangkau aparat. Sekarang, katanya, aparat Pemda Tolikara
dan kepolisian sudah berada di lokasi untuk menengahi, namun suasana masih
panas.
Sebelum itu, katanya, berlangsung apa yang digambarkannya sebagai 'perang adat'.
"Warga kedua distrik, bersenjatakan tombak, parang, dan terutama anak panah,

saling menyerang. Kedua belah pihak siaga 24 jam. Masing-masing mungkin
berkekuatan setidaknya 500 orang."
"Banyak warga biasa juga mengungsi ke distrik-distrik tetangga. Mungkin lebih dari
3000 orang," kata Feri Kogowa.

Kasus Singkil Aceh, Minoritas
Makin Arogan dan Kurang Ajar

Gereja ilegal di Singkil Aceh dibakar massa (IST)
Kasus pembakaran atau pengrusakan terhadap tempat ibadah di Indonesia tidak hanya menimpa
kepada minoritas tapi juga terhadap tempat ibadah kelompok mayoritas (umat muslim).
Publik tahu bahwa sebelum kasus di Aceh Singkil beberapa waktu lalu terjadi pembakaran tempat
ibadah (Masjid) di Tolikara Papua.
Kata Harits, kasus Aceh Singkil yang terkait terbakarnya gereja Presiden begitu cepat merespon
bahkan meminta kepada Kapolri dan Menkopolhukam untuk follow up atas respon Presiden.
“Dan masyarakat luas di suguhi begitu cepatnya Kapolri menyimpulkan bahwa bentrokan yang terjadi
di Aceh Singkil itu direncanakan. Berbanding terbalik ketika dihadapkan kepada kasus pembakaran
Masjid dan bentrokan di Tolikara Papua. Seolah pemerintah bahkan Pak Presiden gagap untuk
menyikapi. Banyak retorika yang esensinya mengaburkan masalah sebenarnya,” ujar Harits.
“Masyarakat beberapa bulan lalu di suguhkan “mantra2″ untuk memanipulasi kejadian biadab dan

intoleransi pada kasus Tolikara yang menimpa umat muslim,” papar Harits.
Harits mengatakan, sikap kemarahan kelompok mayoritas di Aceh Singkil bisa jadi karena dipicu
lambannya Pemda menyelesaikan kasus gereja yang tidak punya legal formal pendiriannya atau
karena faktor minoritas yang tidak menghormati dan menghargai religiusitas setempat.

Bertepatan dengan HUT RMS, Ada
Pengibaran Bendera di Kota Ambon

Sebuah bendera Republik Maluku Selatan dikibarkan orang tak dikenal
di kawasan Halong, Kota Ambon, Maluku, pada Senin (25/4/2016).
Pengibaran itu terkait HUT RMS yang biasanya diperingati para
pendukung dan simpatisannya pada setiap 25 April.
Bendera itu menjadi tontonan warga. Sejumlah warga yang berada di
lokasi enggan berkomentar. "Dari pagi, bendera sudah ada. Mungkin
mereka sudah kibarkan sejak malam," kata seorang warga yang tidak
mau namanya disebutkan.
RMS di Maluku memang masih menampakkan aktivitasnya hingga kini,
terutama saat ada acara penting atau bertepatan dengan HUT RMS.
Berdasarkan arsip harian Kompas, pada tahun 2014, 10 warga Kota
Ambon, Maluku, yang melakukan pawai peringatan hari kemerdekaan

Republik Maluku Selatan, Jumat (25/4/2016), ditahan aparat kepolisian
setempat.

Amuk massa di Tanjung Balai, vihara
dan kelenteng dibakar

Pembakaran-pembakaran itu mulai meletus Jumat (29/7) menjelang tengah malam, sekitar
pukul 23.00."Ada enam vihara dan kelenteng yang diserang beberapa ratus warga. Namun
kebanyakan, pembakarannya dilakukan pada alat-alat persembahyangan, dan bangunannya
sendiri tidak terbakar habis," kata juru bicara Kepolisian daerah Sumatera Utara, Kombes
Rina Sari Ginting kepada Ging Ginanjar dari BBC Indonesia.
Ditanya mengapa massa bisa leluasa mengamuk dan seakan polisi membiarkan, Rina Ginting
menjawab, "Kami masih sedang mendalami, namun tidak betul polisi membiarkan."
Adapun tujuh orang yang sudah 'diamankan' dan masih diinterogasi, terkait dugaan
penjarahan saat kejadian, bukan pada tindakan perusakan dan pembakaran.
Disebutkannya, ketegangan bermula menjelang shalat Isya, setelah Meliana, seorang
perempuan Tionghoa berusia 41 tahun yang meminta agar pengurus mesjid Al Maksum di
lingkungannya mengecilkan volume pengeras suaranya.
Sesudah shalat Isya, sekitar pukul 20.00 sejumlah jemaah dan pengurus mesjid mendatangi
rumah Meliana. Lalu atas prakarsa Kepala Lingkungan, Meliana dan suaminya dibahwa ke

kantor lurah.
Disebutkannya tercatat pembakaran dan perusakan terjadi pada setidaknya enam vihara dan
sejumlah kelenteng dan beberapa bangunan lain, serta sejumlah kendaraan.

Konflik Aceh Mengancam Integrasi Bangsa

Liputan6.com, Medan: Persoalan keamanan di Nanggroe Aceh Darussalam hingga saat ini
masih cukup pelik. Gerakan Aceh Merdeka diduga masih melancarkan aksi-aksinya. Konflik
yang mengorbankan masyarakat sipil juga masih terjadi. "Itulah sebabnya, pemerintah harus
bisa melakukan pendekatan sosial dan budaya dalam menyelesaikan persoalan di Aceh," kata
Syaifuddin Gani, seorang tokoh pemuda Aceh, baru-baru ini, di Medan, Sumatra Utara.
Menurut Syaifuddin, konflik di Tanah Rencong yang telah menahun tak hanya mengancam
kehidupan masyarakat, tapi juga telah mengancam integrasi bangsa. Perlu waktu lama untuk
bisa menormalkan kembali kehidupan masyarakat Aceh yang aman dan damai. Jalan terbaik
yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan pendekatan sosial kultural secara
bersamaan [baca: Widodo

A.S:

Aceh


Harus

Ditangani

Secara

Menyeluruh].

Syaifuddin berharap, pemerintah --baik pusat maupun daerah-- dapat memanfaatkan
kesempatan pendekatan sosial dan budaya untuk memberikan yang terbaik baik masyarakat
Serambi Mekah. Sebab, selama ini aktivis GAM terus menawarkan berbagai janji kepada
masyaraat Aceh agar mau bergabung dengan gerakan mereka [baca:Pangkostrad: Gerakan
Separatis di Aceh Harus Ditumpas].(ULF/Esther Mulyanie dan Satya Pandia)

OPM Mengancam Integrasi Bangsa
Sejarah dan Latar Belakang
Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan gerakan separatis yang dibentuk pada
tahun 1965 dengan tujuan memisahkan diri dari kedaulatan NKRI pada saat itu. Organisasi ini
terbentuk akibat perasaan bahwa Papua sama sekali tidak memiliki hubungan sejarah dengan

Indonesia. Gerakan ini mengklaim bahwa Papua adalah wilayah otonom yang seharusnya
menjadi sebuah negara berdaulat dengan pemerintahan sendiri. Dalam tinta emas sejarah
Indonesia, pembebasan Irian Barat yang kemudian menjadi wilayah kedaulatan NKRI pada
tahun 1963 merupakan otentifikasi kerasnya perjuangan bangsa Indonesia atas kemerdekaan.
Namun ironisnya, dua tahun berselang, gerakan separatis Papua muncul dan ini mengancam
integrasi wilayah NKRI. Selain perihal perasaan tidak adanya hubungan historis dengan NKRI,
kasus-kasus pelanggaran HAM oleh TNI/ABRI di Papua, kesenjangan sosial, diskriminasi
ekonomi dan politik, serta perampasan alam mereka oleh Freeport Sulphur menjadi variabel
pendorong sehingga Free West Papua Campaign ini semakin responsif ingin memisahkan diri.
OPM di Oxford
Free

West

Papua

Campaign melalui

situs


websitenya,www.freewestpapua.org mengklaim juga akan membuka kantor di Papua Nugini
dan Jerman beberapa bulan ke depan selain di Oxford, Inggris. Keberadaan kantor OPM di
Oxford ini dipelopori oleh Benny Wenda, tokoh separatis yang berusaha menjadikan isu
pembebasan Papua sebagai isu internasional. Michael Tene, Juru Bicara Kementerian Luar
Negeri, mengatakan bahwa pembukaan kantor OPM di Oxford ditentang keras oleh pihak
Kemenlu dan memprotes kebijakan ini melalui duta besar Inggris, Mark Canning, di Indonesia.
Tene menambahkan, tidak ada satupun negara di dunia yang mendukung gerakan Free West
Papuadan bahkan dalam setiap sidang forum PBB tidak pernah sekalipun menyinggung
masalah Papua. Namun, perlu setrategi bijak yang harus diimplementasikan oleh pemerintah.
Kebijakan yang relevan ialah dengan menyelesaikan konflik internal dan mensosialisasikannya
kepada rakyat Papua secara langsung. Menurut Alex Jemadu, pakar ilmu politik internasional,
yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia harus merunut ke diplomasi dalam negeri,
bukan memprotes keras pihak Inggris karena ini hanya akan menimbulkan reaksi keras dari
pemerintah Inggris tentang Indonesia. Upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah ialah
membangun politik hukum yang selama ini terindikasi adanya diskriminasi dan pelanggaran
HAM berat di Papua yang bertujuan agar rakyat Papua mengurungkan niat memisahkan diri. Ia
juga menambahkan ada dualisme perspektif yang harus dikaji oleh pemerintah , yaitu masalah
keutuhan wilayah NKRI dan pelanggaran HAM di Papua. Artinya harus ada diplomasi domestik,
bukan memprotes keras pihak Inggris karena ini hanya akan memanaskan hubungan harmonis
antara Indonesia – Inggris.

Negeri Papua, diperjuangkan lalu dicampakkan
Data yang dilansir oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
menunjukkan bahwa ada 6000 pelanggaran HAM di Papua sepanjang 2013. Selain itu, terdapat
300-an mahasiswa Papua yang mengikuti program pemerintah untuk kuliah di Jawa dan
Sumatera, kini telantar karena tidak memiliki biaya. Ini sebuah fakta di mana diskriminasi radikal

telah dirasakan rakyat Papua. Belum lagi perihal PT Freeport Sulphur. Terkait masalah Freeport,
aksi demonstrasi dan “keringat darah” rakyat Papua seperti diabaikan pemerintah Indonesia.
Mereka merasa alam yang mereka miliki dieksploitasi habis-habisan. Pada 1 Mei 1963 Irian
Barat diakui secara de jure sebagai bagian dari wilayah NKRI melalui perjanjian New York yang
mengakhiri konflik dengan Belanda. Namun tampaknya kemenangan Indonesia dalam
memperebutkan negeri Papua hanya sebatas euforia yang berlebihan. Setelah diperjuangkan,
negeri Papua seolah diabaikan begitu saja. Saat pertemuan mahasiswa Hubungan Internasional
se-Indonesia di Padang bulan April kemarin, seorang mahasiswa yang menjadi delegasi dari
Papua mengklaim bahwa rakyat Papua akan memisahkan diri secepatnya jika pemerintah tidak
kunjung memperhatikan nasib mereka, terutama masalah PT Freeport. Meskipun kasus OPM ini
belum mendapat respon di forum internasional, bukan berarti pemerintah Indonesia berdiam diri.
Strategi dan usaha radikal OPM ini adalah untuk menarik perhatian PBB agar kemudian
dijadikan isu internasional di forum PBB dan ketika kasus ini menjadi isu internasional di forum
PBB, probabilitas lebih besar berada di tangan OPM mengingat masifnya tingkat pelanggaran

HAM dan ketidakadilan di Papua di mana pelanggaran HAM merupakan hal yang tabu bagi PBB
dan dunia internasional.
Statemen mengejutkan juga datang dari pihak Kanada yang ternyata mendukung
pelepasan diri negeri Papua menjadi negara Papua dengan otoritas pemerintahan sendiri. Pada
7 Mei 2013 yang lalu,Political Counsellor of Embassy of Canada, Mr. Jonathan Yendall,
memberikan kuliah umum di Auditorium Sutan Balia FISIP Universitas Riau bagi mahasiswa
Hubungan Internasional. Pada saat itu, ada pertanyaan terkait kasus OPM dan Yendall
mengungkapkan bahwa Kanada, Amerika Serikat, dan Australia sempat membahas isu ini dan
mereka sepakat tentang rencana besar Free

West

Papua

Campaign yang gencar

memisahkan diri dari NKRI dengan alasan tingginya jumlah pelanggaran HAM disana. Yendall
menambahkan, jika pertumpahan darah dan diskriminasi masih berlanjut di negeri Papua, bukan
tidak mungkin isu ini akan diangkat menjadi isu internasional dan besar kemungkinan forum
internasional akan berkonsensus tentang pembentukan negara Papua dengan kedaulatan

sendiri.

Pemerintah

seharusnya

melakukan

diplomasi

domestik

dan

mengupayakan

kesejahteraan serta keadilan di tanah air Papua adalah variabel penentu keberhasilan dalam
penyelesaian kasus ini. Karena Integrasi nasional adalah hal mutlak.