107 Full Paper Prosiding Aksesibilitas P

INTERNATIONAL CONFERENCE
ON SPECIAL EDUCATION IN SOUTHEAST ASIA REGION
7TH SERIES 2017

AKSESIBILITAS PENDIDIKAN INKLUSIF
ANAK USIA DINI PENYANDANG DISABILITAS
Di DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 6/2014
DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8/2016
(Inclusive Education Accessibility for Early Childhood With Disabilities
in Law Number 6/2014 and Law Number 8/2016)
Siti Fanatus Syamsiyaha
a

IKIP PGRI Jember, Indonesia
e-mail : fannah.miq@gmail.com
Abstrak: Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui aksesibilitas pendidikan inklusif penyandang
disabilitas usia dini di dalam Undang-Undang No. 8/2016 Tentang Penyandang Disabilitas, dan
untuk mengetahui peluang menginisiasi pendidikan inklusif dari Desa berdasarkan pada UndangUndang No. 6/2014 Tentang Desa. Kajian ini merupakan Studi Pustaka. Selain kedua UndangUndang tersebut sebagai sumber primer, informasi dikumpulkan melalui buku teks, jurnal, artikel,
dan hasil penelitian. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa Undang-Undang No. 8/2016 belum
memberikan aksesibilitas pendidikan inklusif bagi anak usia dini penyandang disabilitas. Peluang
besar untuk dapat menginisiasi pendidikan inklusif penyandang disabilitas usia dini terdapat di

dalam Undang-Undang No 6 /2014, yaitu dengan adanya dana desa dan adanya kesempatan untuk
ikut merumuskan dan menetapkan program Desa dengan menjadi anggota dari Badan
Permusyawaratan Desa atau berpartisipasi dalam Musyawarah Desa. Peluang besar menginisiasi
pendidikan inklusif di Desa akan harus dimanfaatkan dengan baik. Partisipasi aktif dari para guru
Pendidikan Anak Usia Dini, Tokoh Pendidik, dan kelompok pemerhati dan perlindungan anak akan
sangat menentukan bagi terwujudnya pendidikan inklusif anak usia dini penyandang disabilitas di
Desa. Saran Penulis harus ada pendampingan terutama dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang faham mengenai urgensi pendidikan inklusif bagi anak usia dini, terutama bagi penyandang
disabilitas.
Kata Kunci: Aksesibilitas, Pendidikan Inklusif, Penyandang Disabilitas Usia Dini, Desa.
Abstract: The purpose of this study was to determine the early childhood inclusive education
accessability in Undang-Undang No. 8 / 2016 About Disability, and opportunities to initiate inclusive
education from village based on Undang-Undang No. 6 / 2014 About the Village. This research wasbeing
done by using library study. Besides both of Undang-Undangs as a primary source, information collected
through text books, journals, articles, and result of research. The results of this study indicate that UU No.
8 / 2016 has not provided the accessibility of inclusive education for early childhood with disabilities. A
great opportunity to be able to initiate inclusive education for early childhood with disabilities contained in
UU No. 6 / 2014, namely the presence of village funds and their opportunity to participate in formulating
and establishing Village program to become a member of the Village Consultative (Badan
Permusyawaratan Desa) or participate in Deliberation Village. The opportunity of Inclusive Education

initiated in the village have to be used rightly. Active participation from the teachers of Early Childhood
Education, People Educators, and advocacy groups and Protection of Children will be very decisive for the
realization of the Early Childhood Inclusive Education of persons with disabilities in the village.
Suggestions Writer, there is must be accompaniment by assistance mainly from Governmental
Organization (NGO) that understand the urgency Regarding Inclusive Education For Early Childhood,
especially those with disabilities.
Keyword: Accessibility, Inclusive Education, Early Childhood with disabilities, Village.

PENDAHULUAN

Pendidikan inklusif memang bukan konsep yang
baru, termasuk di Indonesia. Pendidikan inklusi
telah bergema sejak peluang untuk mendapatkan
pendidikan di sekolah reguler bagi penyandang
1

disabilitas mulai terbuka dengan terbitnya UU No
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang dilanjutkan dengan Permendiknas
No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif,

sampai disahkannya UU 8 tahun 2016 tentang

2 INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATION IN SOUTHEAST ASIA REGION 7TH SERIES 2017
Seminar Internasional Pendidikan Khusus Wilayah Asia Tenggara Seri Ke-7, 2017

penyandang Disabilitas. Demikian pula dengan
konsep aksesibilitas, Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat
mendefinisikan aksesibilitas sebagai: “kemudahan
yang disediakan bagi penyandang cacat guna
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala
aspek kehidupan dan penghidupan” (Pasal 1 Ayat
4). Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk
menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih
menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya
hidup bermasyarakat (pasal 10 Ayat 2). Bentuk
aksesibilitas dapat berupa fisik ataupun non fisik,
seperti jalan yang berupa ramp, pintu yang
lebarnya dapat dilewati kursi roda, informasi,
pengetahuan dan sebagainya. Aksesibilitas juga

dapat berupa peraturan yang dapat memberikan
kemudahan bagi penyandang disabilitas untuk
dapat hidup secara layak dan setara dengan
masyarakat lainnya. Aksesibilitas adalah hak
penyandang disabilitas sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 (e) UU No. 8 tahun 2016.
Sekalipun UU No. 8 tahun 2016 masih baru,
namun perubahan pendekatan dari medical model
menjadi social model, serta digunakannya
beberapa istilah baru seperti (penyandang
disabilitas), Komisi Disabilitas, diaturnya upaya
fasilitasi dari pemerintah sebagai bentuk kewajiban
dengan pembentukan Unit Layanan Disabilitas
(ULD), menjadikan UU penyandang disabilitas ini
menarik untuk dikaji. Salah satu yang menarik
untuk dikaji adalah tentang pendidikan inklusi,
karena sebelum UU No. 8 tahun 2016 disahkan
Indonesia telah memiliki banyak peraturan
perundang-undang yang mengatur tentang
pendidikan inklusi bagi penyandang disabilitas.

Pendidikan inklusi kembali menarik perhatian
masyarakat. Masih banyak permasalahan yang
muncul di tingkat implementasi, hal ini terungkap
dari hasil rumusan hasil Seminar Nasional Gerakan
Disabilitas di Indonesia yang pada tanggal 29
November tahun 2016 di Kabupaten Jember
Provinsi Jawa Timur, diantaranya : Guru sekolah
reguler masih belum bisa menyampaikan materi
pengajaran karena terbatasnya SDM, Guru
Pendamping masih terbatas, masih sedikitnya
penterjemah bahasa isyarat bagi penyandang
disabilitas Tuli berakibat belum terpenuhinya hak
penyandang disabilitas dalam memperoleh
pendidikan. Selain itu, pendidikan inklusif yang
didasarkan pada UU No. 20 Tahun 2003 Tentang
Sisdiknas dan Permendiknas No. 7 Tahun 2009
lebih memprioritaskan pelaksanaan pendidikan

inklusi dimulai di tingkat SD. Pada Pasal 4 Ayat
(1) Permendiknas No. 20 Tahun 2009 menyatakan

bahwa “Pemerintah kabupaten/kota menunjuk
paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar, dan 1 (satu)
sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan
dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib
menerima peserta didik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1)”. Akibatnya, fasilitasi
termasuk pelatihan guru sekolah inklusi hanya
diarahkan kepada guru SD, SMP, dan SMA.
Sementara untuk tingkat Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD) masih belum diatur dalam kedua
peraturan tersebut. Terbatasnya pengetahuan dan
informasi terkait pendidikan inklusi bagi anak usia
dini menjadi salah satu permasalahan yang
disampaikan dalam Semiloka tersebut. Pendidikan
Anak Usia Dini adalah pendidikan yang diberikan
kepada anak yang berada di rentang usia 0-6 tahun.
PAUD pada Pasal 1 ayat (4) UU No. 20 Tahun
2003 Tentang Sisdiknas didefinisikan sebagai
“suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada

anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang
dilakukan
melalui
pemberian
rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan
lebih lanjut.” PAUD terbagi menjadi PAUD
Formal, Non Formal, dan Informal. PAUD Formal
terdiri dari Taman Kanak-Kanak (TK) dan
Raudhotul Athfal (RA). Sementara Tempat
Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (KB),
Satuan Paud Sejenis (SPS) seperti Pos PAUD yang
terintegrasi dengan Pos Pelayanan Terpadu
(POSYANDU) masuk kategori PAUD Non
Formal.
Catatan dari Direktorat Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas di Kementerian Sosial
mencatat bahwa sebanyak 199.163 anak di 24

provinsi menyandang disabilitas, dengan rincian
78.412 anak dengan disabilitas ringan, 74.603 anak
dengan disabilitas „sedang‟ dan 46.148 anak
dengan disabilitas „parah‟. Angka ini meningkat
menjadi 367.520 anak di tahun 2013. Sebagian
besar dari mereka tinggal di keluarga-keluarga
miskin (Kementerian Sosial, 2014, 12). Data
penyandang disabilitas dengan jumlah lebih besar
berada di Desa yaitu 2,71 persen, sementara di
Kota 2,20 % sebagaimana ditunjukkan pada tabel
berikut:

2

INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATION IN SOUTHEAST ASIA REGION 7TH SERIES 2017 3
Seminar Internasional Pendidikan Khusus Wilayah Asia Tenggara Seri Ke-7 2017

Tabel 1.Proporsi Penyandang Disabilitas Menurut
Kelompok Umur dan Tipe Daerah Tahun 2012
Kelompok Perkotaan Perdesaan

K+D
Umur
(K)
(D)
%
(Tahun)
%
%
0–4
0,25
0,27
0,26
5–17
0,76
0,78
0,77
18–30
0,98
1,33
1,15

31–59
2,03
2,77
2,40
60 +
13,82
15,88
14,86
Jumlah
2,20
2,71
2,45
Sumber: Susenas 2012, BPS
Angka penyandang disabilitas di Desa lebih besar
dibandingkan di kota. Berdasarkan perkiraan jumlah
penyandang disabilitas dari jumlah penduduk Indonesia
pada tahun 2012 adalah sebagaimana pada tabel di
bawah ini:
Tabel 1. Perkiraan Jumlah (dalam ribuan) dan
Proporsi Penyandang Disabilitas

Menurut Tipe Daerah Tahun 2012
Tipe
Jumlah
Jumlah
%
Daerah Penyandang Pendudu Penyandan
Disabilitas
k (dalam
g
(dalam
ribuan) Disabilitas
ribuan)
terhadap
Jumlah
Penduduk
Perkotaa 2.676,0
121.825, 2,20
n
0
Perdesaa 3.332,6
123.094, 2,71
n
0
Perkotaa 6.008,6
244.919, 2,45
n+
0
Perdesaa
n
Sumber: Susenas 2012, BPS
Dengan kondisi dan latarbelakang sebagaimana
tersebut di atas, maka kajian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana aksesibilitas pendidikan inklusif
penyandang disabilitas usia dini di dalam UU Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa dan di dalam UU No. 8
Tahun 2016 serta peluang untuk menginisiasi
pendidikan inklusif di Desa.
METODE
Kajian ini menggunakan studi kepustakaan
dengan tehnik pengmpulan data melalui studi dan
kajian terhadap Undang-Undang No. 8 tahun 2016
tentang penyandang Disabilitas, UU No. 4 Tahun 2014
Tentang Desa, serta peraturan perundang-undang yang
terkait dengan kajian ini.selain itu, kajian juga
dilakukan pada hasil-hasil penelitian terdahulu, catatan
konferensi, serta jurnal yang memiliki korelasi dengan
tema kajian ini. Proses analisa dan olah data dilakukan

dengan tahapan: mengidentifikasi teori secara
sistematis, pencarian pustaka, dan analisis dokumen
yang memuat informasi yang berkaitan dengan kajian
ini (Nazir: 2003: 111).

HASIL
Hasil kajian yang telah dilakukan, terdapat
beberapa temuan yang diraikan sebagai berikut:
1) UU No. 8/2016 ; Pendidikan Belum Untuk
Semua
Hak Pendidikan bagi penyandang disabilitas dalam
UU No. 8 tahun 2016 diatur pada Pasal 10 sebagai
berikut:
Hak pendidikan untuk Penyandang Disabilitas
meliputi hak:
a. mendapatkan pendidikan yang bermutu pada
satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan
jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus;
b. mempunyai Kesamaan Kesempatan untuk
menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada
satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan
jenjang pendidikan;
c. mempunyai Kesamaan Kesempatan sebagai
penyelenggara pendidikan yang bermutu pada
satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan
jenjang pendidikan; dan
d. mendapatkan Akomodasi yang Layak sebagai
peserta didik.
Penjelasan Pasal 10 (a) berbunyi :
“Konsep pendidikan inklusi “Yang dimaksud
dengan “pendidikan secara inklusif” adalah
pendidikan bagi peserta didik Penyandang
Disabilitas untuk belajar bersama dengan
peserta didik bukan Penyandang Disabilitas di
sekolah reguler atau perguruan tinggi. “Yang
dimaksud dengan “pendidikan secara khusus”
adalah pendidikan yang hanya memberikan
layanan kepada peserta didik Penyandang
Disabilitas dengan menggunakan kurikulum
khusus,
proses
pembelajaran
khusus,
bimbingan, dan/atau pengasuhan dengan
tenaga
pendidik
khusus
dan
tempat
pelaksanaannya di tempat belajar khusus.
Penyandang disabilitas dalam Pasal 10 tersebut
bukan hanya berhak untuk memperoleh pendidikan
saja, tetapi juga memiliki hak untuk berkarier menjadi
seorang Pendidik atau menjadi penyelenggara
pendidikan. Selain itu, penyandang disabilitas juga
dijamin mendapatkan hak pendidikannya dengan
disediakannya akomodasi yang layak. Akomodasi yang
Layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat
dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau
pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan
fundamental untuk Penyandang Disabilitas berdasarkan

3

4 INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATION IN SOUTHEAST ASIA REGION 7TH SERIES 2017
Seminar Internasional Pendidikan Khusus Wilayah Asia Tenggara Seri Ke-7, 2017

kesetaraan (Pasal 1:9). Penyediaan akomodasi yang
layak menjadi tanggungjawab dan kewajiban
Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pasal 43 ayat 1).
Namun, ketentuan mengenai akomodasi yang layak bagi
peserta didik penyandang disabilitas tersebut belum
diatur secara terperinci, karena belum ada Peraturan
Pemerintah yang mengaturnya sebagai ketentuan dari
Pasal 43 ayat (2).
Adapun kewajiban Pemerintah
terhadap
pemenuhan hak pendidikan penyandang disabilitas di
atur pada Pasal 40 sebagai berikut:
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi
pendidikan untuk Penyandang Disabilitas di
setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan
sesuai dengan kewenangannya.
Dalam penjelasannya diuraikan mengenai apa
yang dimaksud dengan “jalur pendidikan”, “jenis
pendidikan” dan “jenjang pendidikan” sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “jalur pendidikan”
adalah jalur formal, nonformal, dan informal.
Yang dimaksud dengan “jenis pendidikan”
adalah pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, vokasi, dan keagamaan. Yang
dimaksud dengan “jenjang pendidikan” adalah
pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
Pembatasan dilakukan dengan membatasi definisi
“jenjang pendidikan” yang hanya dimaknai sebagai
pendidikan dasar, menengan, dan tinggi. Di dalam UU
No. 20 Tahun 2003 pengertian dari “jalur, jenjang,
jenis” pendidikan juga diatur pada Pasal 1 sebagai
berikut:
“(7) Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui
peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam
suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan
pendidikan. (8) Jenjang pendidikan adalah tahapan
pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat
perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai,
dan kemampuan yang dikembangkan. (9) Jenis
pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada
kekhususan
tujuan
pendidikan
suatu
satuan
pendidikan.”
Eksklusivitas juga terlihat pada Pasal berikutnya,
yaitu Pasal 42 Ayat (1) yang berbunyi: “Pemerintah
Daerah wajib memfasilitasi pembentukan Unit Layanan
Disabilitas
untuk
mendukung
penyelenggaraan
pendidikan inklusif tingkat dasar dan menengah.”
Pembatasan dan eksklusivitas terjadi pada pasal ini,
dimana Unit Layanan Disabilitas hanya dibatasi di
tingkat dasar dan menengah. Pasal 42 Ayat (2)
menjelaskan apa tugas dan fungsi dari Unit Layanan
Disabilitas adalah:
Unit Layanan Disabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berfungsi:
a. meningkatkan kompetensi pendidik
dan tenaga kependidikan di sekolah
reguler dalam menangani peserta

b.

c.
d.

e.

f.
g.
h.

didik Penyandang Disabilitas;
menyediakan pendampingan kepada
peserta
didik
Penyandang
Disabilitas
untuk
mendukung
kelancaran proses pembelajaran;
mengembangkan
program
kompensatorik;
menyediakan media pembelajaran
dan Alat Bantu yang diperlukan
peserta
didik
Penyandang
Disabilitas;
melakukan
deteksi
dini
dan
intervensi dini bagi peserta didik
dan calon peserta didik Penyandang
Disabilitas;
menyediakan data dan informasi
tentang disabilitas;
menyediakan layanan konsultasi; dan
mengembangkan kerja sama dengan
pihak atau lembaga lain dalam
upaya
meningkatkan
kualitas
pendidikan
peserta
didik
Penyandang Disabilitas.

2) UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Dengan berlakunya UU Desa No. 6 Tahun 2014
Desa menjadi Pemerintahan yang merupakan
perpaduan antara self governing community dan local
self government. Dengan status yang baru ersebut,
Desa memiliki kewenangan mengatur dan membuat
program kebijakan secara mandiri. Program
pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat
Desa berskala lokal Desa dengan membuka ruang
partisipasi masyarakat yang lebih luas, yaitu dengan
adanya forum Musyawarah Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD).
Menurut Permendesa Nomor 2 Tahun 2015
Tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme
Pengambilan
Keputusan
Musyawarah
Desa,
Musyawarah Desa adalah Musyawarah antara badan
Permusyawaratan desa, pemerintah desa dan unsur
masyarakat desa untuk menyepakati hal hal bersifat
strategis. Hal-hal strategis yang disepakati di
musyawarah desa meliputi: 1) penataan desa; 2)
perencanaan desa; 3) rencana investasi masuk desa; 4)
Pembentukan BUMdesa; 5) Penambahan dan
pelepasan
aset
desa.
Musyawarah
Desa
diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa
(BPD yang keanggotaannya juga dipilih dari dan oleh
masyarakat Desa sendiri. Unsur masyarakat yang bisa
aktif berpartisipasi diantaranya adalah Tokoh
Pendidik, perwakilan kelompok pemerhati dan
perlindungan anak, dan masyarakat miskin serta unsur
lainnya sesuai kondisi sosial dan budaya masyarakat.

4

INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATION IN SOUTHEAST ASIA REGION 7TH SERIES 2017 5
Seminar Internasional Pendidikan Khusus Wilayah Asia Tenggara Seri Ke-7 2017

Dalam UU No. 6 Tahun 2014 diatur mengenai
adanya Dana Desa. Sebagai mandat UU maka sejak
tahun 2015 Pemerintah telah menyalurkan Dana Desa
sebesar 20, 76 Triliun dengan rata-rata DD perdesa
200,3 Juta. Adanya Dana Desa tersebut ditujukan
untuk pembangunan Desa dan pemberdayaan
masyarakat Desa termasuk dalam bidang pendidikan.
Partisipasi warga dalam UU Desa diatur dalam pasal
54, dimana semua unsur warga menjadi bagian dari
musyawarah tertinggi di Desa dalam pengambilan
keputusan strategis yang diselenggarakan oleh Badan
Pemusyawaratan Desa (BPD). Sebagai lembaga
perwakilan desa, BPD memiliki fungsi yang sangat
penting, yaitu (1) membahas dan menyepakati
rancangan peraturan desa; (2) merumuskan program
dan alokasi dana desa; (3) menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat desa; serta (3)
melakukan pengawasan kinerja pemerintah desa.

PEMBAHASAN
“Pernyataaan Salamanca menuntut semua negara
untuk mengadopsi prinsip pendidikan inklusif ke
dalam
perundang-undangan
atau
kebijakan
pemerintah, untuk menerima semua anak di sekolah
reguler kecuali bila ada alasan yang mendesak untuk
melakukan sebaliknya dan untuk memberi prioritas
kebijakan dan anggaran tertinggi untuk meningkatkan
sistem pendidikan nasional sehingga memenuhi
kebutuhan semua anak tanpa memandang perbedaan
atau kesulitan individualnya. (dikutip dalam Kjell
Skogen: 2002).
Pernyataan Salamanca yang menjadi rujukan
UNESCO tahun 1955 tersebut menunjukkan adanya dua
point esensial yang akan selalu berkaitan, yaitu
kebijakan Pemerintah / Perundang-undangan dan
penyediaan anggaran. Adanya Undang-undang dan
tersedianya anggaran menjadi syarat utama bagi
terealisasinya pendidikan untuk semua. Hal senada juga
dikemukakan oleh Skjørten (2002) bahwa legislasi dan
peraturan saja tidak dapat melaksanakan inklusi.
Menurut Skjørten (2002) banyak negara yang memiliki
peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait
pendidikan inklusi namun bermasalah di tingkat
implementasi kebijakan tersebut. Terkait masalah yang
terjadi pada implementasinya, Skjørten (2002)
mensyaratkan adanya Satu hukum untuk semua adalah
dasar untuk inklusi artinya: pertama, Undang-undang
harus disusun sedemikian rupa sehingga kebutuhan
setiap orang terakomodasi oleh undang-undang yang
sama. Kedua, undang-undang khusus untuk kelompok
tertentu hanya akan menghasilkan segregasi. Ketiga,
Implementasi undang-undang harus didukung dengan
penyediaan alokasi dana yang memadai.
Pada dasarnya konsep pendidikan inklusif tidak
dapat dipisahkan dengan konsep Education For All
(EFA) atau yang disebut dengan istilah Pendidikan

Untuk Semua (PUS). Korelasi tersebut dapat dilihat
pada definisi pendidikan inklusif yang dirumuskan
dalam Seminar Agra tahun 1998, yang merumuskan
pendidikan inklusif sebagai “pendidikan yang mengakui
bahwa semua anak dapat belajar. Memungkinkan
struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi
kebutuhan anak. Mengakui dan menghargai berbagai
perbedaan pada diri anak: usia, gender, etnik, bahasa,
kecacatan, status HIV /AIDS dll (Stubbs, 2002:38).
Definisi yang menekankan bahwa pendidikan inklusif
dimaksudkan untuk semua anak, juga dapat difahami
dari pernyataan UNESCO yang menempatkannya
sebagai gerakan untuk menantang kebijakan dan praktek
eksklusi (Stubbs, 2002:40). Esensi berbagai definisi
yang dirumuskan oleh berbagai lembaga tersebut
dirangkum menjadi beberapa konsep, yaitu konsep
tentang anak, konsep tentang sistem pendidikan dan
sekolah, konsep tentang keberagaman dan diskriminasi,
konsep tentang proses untuk mempromosikan inklusi
(Stubbs, 2002). Konsep tentang anak diartikan bahwa
semua anak berhak mendapatkan pendidikan didalam
keberagaman yang toleran dan saling menghargai,
dengan sistem pendidikan dan sekolah yang adaptif dan
menyesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa ada
diskriminasi sebagai proses mewujudkan masyarakat
inklusif.
“Di Indonesia, anak-anak penyandang disabilitas
menghadapi risiko lebih besar untuk mengalami
diskriminasi, penelantaran, dan perlakuan buruk.” Hal
tersebut diantaranya akibatkan oleh stigma yang
melekat pada keadaan mereka, kurangnya sumber daya
dan fasilitas, terbatasnya akses dan kebijakan yang tidak
mampu melindungi (Kementerian Sosial, 2014, 12).
Stigma yang masih sangat kuat melekat pada
penyandang disabilitas tersebut bepengaruh pada tingkat
partisipasi meereka dalm pendidikan sebagaimana
ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 2. Situasi Orang dengan Disabilitas dalam
Bidang Pendidikan di Indonesia
Jenis
Jenis Kelamin
Jumlah
Pendidika LakiPerempua
n
Laki
n
Tidak
431.191
406.152
838.343
Sekolah/Ti
dak Tamat
SD
SD
234.316
152.436
386.752
SLTP
60.052
31.144
91.196
SLTA
44.995
19.778
64.773
D1/D2
277
137
414
D3/Sarjana 1.913
981
2.894
Muda
S1/D4
3.481
1.463
4.944
S2/S3
148
55
203
Jumlah
777.373
612.146
1.389.519
Sumber : Pusdatin Kementerian Sosial RI, 2012

5

6 INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATION IN SOUTHEAST ASIA REGION 7TH SERIES 2017
Seminar Internasional Pendidikan Khusus Wilayah Asia Tenggara Seri Ke-7, 2017

Prevalensi Disabilitas Penduduk Indonesia Usia >15
Tahun Menurut Pendidikan
Berdasarkan Data Riskesdas Tahun 2013

Sumber: Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan
Hasil kajian yang dilakukan oleh UNICEF di
tahun 2012 memperlihatkan bahwa program-program
pendidikan pendidikan dan perkembangan anak usia
dini yang efektif dapat menurunkan biaya pendidikan
melalui peningkatan efisiensi internal pendidikan dasar,
dengan sedikit anak mengulang kelas (UNICEF, 2012).
Pendidikan inklusi bagi anak usia dini atau PAUD
inklusif bukan tanpa dasar, Kerangka Dakar mengenai
Pendidikan Untuk Semua [PUS]-2000 telah mengatur
hal ini, pada poin pertama menyatakan sebagai berikut:
“Memperluas dan meningkatkan pendidikan anak usia
dini yang komprehensif khususnya untuk anak-anak
yang paling rentan dan kurang beruntung” dan “31.
Pemerintah, departemen terkait mempunyai tanggung
jawab yang utama dalam memformulasi layanan anak
usia dini dan kebijakan pendidikan antara konteks
rencana nasional PUS, memobilisasi politik dan
mendukung yang ada dan mempromosikan dengan
fleksibel, program yang dapat diadaptasi untuk anak
sesuai dengan umurnya dan tidak semata-mata
perpanjangan yang menurun dalam sistem sekolah
formal”. (Kompedium:2010,24). Selain itu juga banyak
hasil kajian yang menyatakan perlunya pendidikan
inklusi dilaksanakan sejak PAUD (Rahayu dalam Jurnal
Pendidikan Anak, 2013). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Dasar Depdiknas
(2000) menunjukkan bahwa pendidikan Taman Kanakkanak memberikan kontribusi terhadap kesiapan belajar
siswa di kelas 1 SD (Hakim dalam Anam, 2011).
Keberadaan Unit Layanan Disabilitas merupakan
bentuk keseriusan negara dalam melaksanakan amanat
Undang-Undang terkait dengan pemenuhan hak
pendidikan penyandang disabilitas. Karena menjadi
sekolah inklusi tidak hanya sebatas menerima dan
menyatukan siswa penyandang disabilitas di dalam
kelas reguler saja, namun juga harus disertai dengan
penyesuaian-penyesuaian
sistem,
metode,
dan
kurikulum sesuai dengan kebutuhan siswa dimasingmasing sekolah. Jika guru PAUD tidak memiliki
kompetensi dalam melakukan penyesuaian-penyesuaian
tersebut, maka pengetahuan dan pelatihan menjadi
sangat diperlukan. Lantas lembaga apa yang
bertanggung jawab untuk meningkatkan kompetensi
guru PAUD terkai dengan pendidikan inklusi.
Pendidikan inklusi bagi anak usia dini telah lama
menjadi kebutuhan, terutama dalam hal Sumber Daya
Manusia (SDM) para gurunya. Pentingnya pendidikan
inklusif sejak usia dini juga terungkap dalam diskusi

Semiloka Nasional Disabilitas di Jember bulan
November tahun 2016, diantara point Naskah Deklarasi
Gerakan Bersama Indonesia Inklusi adalah mengenai
Percepatan penyelenggaraan pendidikan inklusif dari
tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai
Perguruan Tinggi (Naskah Deklarasi:2016).
Di dalam Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2002 secara
jelas disebutkan bahwa yang memiliki hak pendidikan
adalah setiap anak, tidak ada pengaturan atau ketentuan
usia tertentu. Mari kita lihat pada usia berapa yang
dikategorikan sebagai “anak”. Dalam UU yang sama,
yaitu Pasal 1 Ayat (1) jelaskan bahwa yang dimaksud
“anak” adalah “seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas (tahun), termasuk anak yang masih
dalam kandungan”. Pembatasan jenjang pendidikan
dengan menjadikan Sekolah Dasar sebagai jenjang
pertama pendidikan formal sebagaimana diatur dalam
Pasal 14 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas
sebenarnya bertentangan dengan hak pendidikan
seorang anak. Perpres Nomor 14 Tahun 2015 Tentang
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 2
menjelaskan tugas dari Kementerian dan Kebudayaan
sebagai berikut: “Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mempunyai tugas menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan masyarakat, serta pengelolaan kebudayaan
untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara.” Dari Pasal tersebut PAUD
merupakan tugas resmi dari Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Pentingnya PAUD juga terlihat dalam
Pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menyelenggarakan fungsi: a. perumusan dan
penetapan kebijakan di bidang pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan masyarakat, serta pengelolaan kebudayaan;
b. pelaksanaan fasilitasi penyelenggaraan pendidikan
anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan masyarakat, serta
pengelolaan kebudayaan; c. pelaksanaan kebijakan di
bidang peningkatan mutu dan kesejahteraan guru dan
pendidik lainnya, serta tenaga kependidikan;
Sejatinya, kata eksklusi menjadi lawan dari kata
inklusi. Pendidikan inklusi umumnya dipahami sebagai
pendidikan yang ditujukan untuk memenuhi hak-hak
penyandang disabilitas agar bisa mendapatkan
pendidikan bersama-sama di sekolah reguler. Adanya
perlakuan yang berbeda terhadap PAUD dapat
menciderai prinsip inklusivitas dalam pendidikan,
karena tidak memberikan kesempatan yang sama untuk
mendapatkan pembinaan, pelayanan dan peningkatan
Sumber
Daya
Manusia
tenaga
pendidiknya.
Menghilangkan diskriminasi menjadi tujuan prinsip
dasar dari pendidikan inklusif, sebagaimana terdapat
dalam pernyataan Salamanca pasal 2 yang memberikan

6

INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATION IN SOUTHEAST ASIA REGION 7TH SERIES 2017 7
Seminar Internasional Pendidikan Khusus Wilayah Asia Tenggara Seri Ke-7 2017

argumen yang sangat menarik tentang pendidikan
inklusif berikut ini: “Sekolah reguler dengan orientasi
inklusi ini merupakan tempat yang paling efektif untuk
memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat
yang ramah, membangun sebuah masyarakat inklusif
dan mencapai pendidikan untuk semua; (Stubbs:2002).
Urgensi pendidikan inklusi sejak usia dini juga
dapat dilihat dari sejumlah laporan penelitian yang
mendokumentasikan pentingnya bantuan dini dalam
meningkatkan
pengalaman
dan
kemungkinan
perkembangan anak (Henning Rye). Usia dini dinilai
sebagai masa-masa yang sangat krusial bagi
pembentukan karakter, itulah sebabnya diposisikan
sebagai kesempatan (window of oportunity) kepada
keluarga, sekolah dan masyarakat karakter yang seperti
apa yang akan dibentuk. Nilai-nilai yang dimiliki yang
inheren dalam pendidikan inklusif seperti toleransi,
simpati, dan kesabaran dinilai mampu menangkal
egoisme, kebencian, dan kemarahan (wawancara Dalai
Lama dengan psikiatris Dr. Culter yang dikutip oleh
Hunning Rye). Dengan demikian maka jika pendidikan
inklusi diyakini sebagai bentuk pendidikan yang akan
memberikan nilai-nilai karakter yang baik bagi
penyandang disabilitas dan masyarakat secara
keseluruhan, dan juga berdasarkan pada hak-hak yang
melekat pada anak sebagaimana telah diatur didalam
peraturan yang tersebut di atas, maka pendidikan inklusi
sejak usia dini bagi penyandang disabilitas menjadi
sebuah keharusan untuk dibuatkan perangkat hukum
yang
mengaturnya
atau
dengan
melakukan
penyempurnaan atas undang-undang yang telah ada.

Memulai Pendidkan Inklusif dari Desa
Menurut UNICEF (2012) pada tahun 2009
Indonesia memiliki fasilitas PAUD yang relatif sedikit,
demikian pula dengan akses dan kualitas pelayanan
sangat tidak seimbang, rendahnya SDM guru belum
mampu
meningkatkan
kualitas
pelayanan
pendidikannya. Di tahun 2015, UNICEF mengeluarkan
Laporan tahunan dan sekaligus menjadi tahun yang
menandai berakhirnya program MDGs dan dimulauinya
program SDGs. Di halaman 15 dengan tema “AnakAnak di Indonesia Melampaui Batas Rata-rata
Kesenjangan yang Besar” dilaporkan bahwa populasi
anak Indonesia adalah sebesar 83 juta (33 pesrsen) dari
total populasi sebesar 225 juta. Sementara sebanyak 4.7
juta anak di bawah 18 tahun putus sekolah. Perhatian
terhadap perkembangan dan pendidikan anak usia dini
menjadi penting bagi semua anak, namun menjadi lebih
penting terhadap anak dengan disabilitas karena
identifikasi dan assesmen awal dapat membantu orang
tua, guru dan yang lainnya menjadi lebih memahami
dan merencanakan kebutuhan anak. selain itu,
penyandang disabilitas anak juga dapat mempersiapkan
diri untuk mengembangkan kemampuan mereka

(dikutip oleh UNICEF dari The Consultative Group on
Early Childhood and Care: 2014).
Hasil data Susenas maupun Riskesdes
menunjukkan bahwa prevalensi disabilitas di Desa
adalah lebih tinggi dibandingkan di Kota. Dari tahun
2003 sampai tahun 2012 jumlah penyandang disabilitas
semakin tinggi.
Tabel. Persentase Penduduk Penyandang
Disabilitas Menurut Daerah tahun 2003-2012

Sumber: BPS dalam Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan, 2014: 9
Salah satu tujuan dari pendidikan inklusi adalah
untuk mendekatkan pelayanan pendidikan bagi
penyandang disabilitas. Sebagaimana dikemukakan oleh
Stubbs (2002) bahwa berdasarkan hasil evaluasi yang
dilakukan oleh sejumlah LSM internasional dinyatakan
bahwa Pendidikan untuk Semua belum terlaksana dan
tidak akan terlaksana kecuali adanya partisipasi di
masyarakat. Pendidikan inklusi selama ini selalu
dimulai dari pusat pemerintahan, baik di tingkat
Nasional, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota. Artinya
sebagai pusat pemerintahan maka harus menjadi model
atau rujukan bagi pendidikan pada tingkatan di
bawahnya, sekalipun model tidak selalu menjadi yang
terbaik. Pendidikan inklusi yang ada di tingkat
Kabupaten selalu menjadi model bagi penyelenggaraan
pendidikan di tingkat Kelurahan ataupun Desa.
Sementara penyandang disabilitas tidak hanya berada di
kota saja, akibatnya banyak yang tidak dapat
menjangkau pelayanan pendidikan inklusi yang berada
di Kabupaten. Desa merupakan struktur pemerintahan
yang paling dekat dengan masyarakat. Dengan
tersebarnya 74.754 Desa di 34 Provinsi di tahun 2016
dan meningkat menjadi 74.954 di tahun 2017 membuat
Desa menjadi strategis sebagai entry point
pembangunan pendidikan inklusi.

7

8 INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATION IN SOUTHEAST ASIA REGION 7TH SERIES 2017
Seminar Internasional Pendidikan Khusus Wilayah Asia Tenggara Seri Ke-7, 2017

Tabel 4. Data Desa Dengan PAUD Tahun 2013
NO.

PROVINSI

DESA

UTARA

DESA

DESA

DESA

DESA

ADA

TIDAK

ADA

TIDAK

PAUD

ADA

PAUD

ADA

33

PAUD

(%)

PAUD

TOTAL

32

PAPUA

1,367

263

1,104

19.24

80.76

3,560

533

3,027

14.97

85.03

53,947

23,447

69.70

30.30

77,394

BARAT
PAPUA

(%)
1

ACEH

6,454

2,361

4,093

36.58

63.42

2

SUMATERA

5,742

3,243

2,499

56.48

43.52

1,119

990

129

88.47

11.53

Sumber: Ditjen PAUDNI (Aplikasi Pendataan
PAUDNI, Akhir Desember 2013)

UTARA
3

SUMATERA
BARAT

4

RIAU

1,643

1,126

517

68.53

31.47

5

JAMBI

1,301

1,024

277

78.71

21.29

6

SUMATERA

3,156

1,826

1,330

57.86

42.14

SELATAN
7

BENGKULU

1,495

864

631

57.79

42.21

8

LAMPUNG

2,555

1,817

738

71.12

28.88

9

BANGKA

364

336

28

92.31

7.69

353

279

74

79.04

20.96

BELITUNG
10

KEPULAUAN
RIAU

11

DKI JAKARTA

267

266

1

99.63

0.37

12

JAWA

5,949

5,373

576

90.32

9.68

8,584

8,183

401

95.33

4.67

438

438

0

100.00

-

8,508

8,137

371

95.64

4.36

BARAT
13

JAWA
TENGAH

14

DI
YOGYAKART
A

15

JAWA

Perbandingan antara desa dan Kabupaten/Kota,
perssentase anak usia dini memiliki kecenderungan
pilihan pendidikan yang berbeda. PAUD Formal
(TK/RA/BA) menjadi pilihan utama di Kota. Sementara
jenis PAUD Non Formal justru menjadi pilihan
masyarakat Desa. dengan melakukan advokasi di
tingkat Desa, bukan hanya dalam hal perumusan
program atau kebijakan saja tetapi dari segi anggaran
juga sangat memungkinkan. Peningkatan SDM tenaga
pendidiknyam sampai perbaikan kualitas layanan dan
fasilitas pun dapat dilakukan jika Tokoh Pendidik dan
kelompok perwakilan pemerhati anak melakukan
advokasi dengan aktif.
Persentase Anak Berumur 0-6 Tahun yang Sedang
Mengikuti PAUD menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin
dan Jenis PAUD, 2014
Tipe
Daerah/
Jenis
Kelamin

Jenis PAUD
TK/RA
Kelom
/BA
pok
Berma
in

Pos
PAUD/PA
UD
terintegra
si
BKB/Posy
andu

Satu
an
PAU
D
Seje
nis
lainn
ya

3,57

0,92

12,28

3,00

1,22

14,36

3,29

1,07

13,32

16,8
4
17,1
7
100,
00

100,
00
100,
00
100,
00

1,47

0,65

14,86

1,61

0,36

15,99

1,54

0,50

15,42

17,6
3
20,0
5
18,8
3

100,
00
100,
00
100,
00

65,95

2,65

0,80

13,42

63,26

2,39

0,84

15,07

64,61

2,52

0,82

14,24

17,1
9
18,4
3
17,8
0

100,
00
100,
00
100,
00

TIMUR
16

BANTEN

1,566

1,282

284

81.86

18.14

17

BALI

707

689

18

97.45

2.55

18

NUSA

966

929

37

96.17

3.83

2,837

1,748

1,089

61.61

38.39

TENGGARA
BARAT
19

NUSA
TENGGARA
TIMUR

20

KALIMANTA

1,774

773

1,001

43.57

56.43

1,442

832

610

57.70

42.30

2,001

1,550

451

77.46

22.54

N BARAT
21

KALIMANTA
N TENGAH

22

KALIMANTA
N SELATAN

23

KALIMANTA

1,408

832

576

59.09

40.91

1,658

1,278

380

77.08

22.92

N TIMUR
24

SULAWESI
UTARA

25

SULAWESI

1,824

1,298

526

71.16

28.84

2,965

2,479

486

83.61

16.39

2,087

1,273

814

61.00

39.00

690

633

57

91.74

8.26

645

413

232

64.03

35.97

Perkotaan (K)
Laki-laki
66,38
(L)
Perempu
64,25
an (P)
L+P
65,32
Perdesaan (D):
Laki-laki
65,39
(L)
Perempu
61,99
an (P)
L+P
63,70
K+D:
Laki-laki
(L)
Perempu
an (P)
L+P

Jml
h

Tama
n
Peniti
pan
Anak

Sumber: BPS - Susenas 2014

TENGAH
26

SULAWESI
SELATAN

27

SULAWESI
TENGGARA

28

GORONTAL
O

29

SULAWESI
BARAT

30

MALUKU

906

368

538

40.62

59.38

31

MALUKU

1,063

511

552

48.07

51.93

Selain jumlah penyandang disabilitas rentang
usia 0-6 tahun juga berada di Desa, keberadaan Dana
Desa yang tidak kecil akan memudahkan inisiasi
pendidikan inklusif bagi anak usia dini jika dilakukan di
desa. Pada tahun 2016 Dana Desa sebesar 46,98 Triliun
dengan rata rata DD perdesa sebesar 643,6 Juta, di
Tahun 2017 dana desa sebanyak 60.00 Triliun dengan
rata rata DD perdesa sebesar 800,4 Juta, dan
diperkirakan naik lagi menjadi 120 Triliun di tahun

8

INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATION IN SOUTHEAST ASIA REGION 7TH SERIES 2017 9
Seminar Internasional Pendidikan Khusus Wilayah Asia Tenggara Seri Ke-7 2017

2018 dengan rata rata DD perdesa sebesar 1,4 Miliar.
(Kepala Biro Perencanaan Kementerian Desa PDTT,
2016). Pengaturan terkait penggunaan dana Desa yaitu
Permendesa No. 5 huruf (a) tahun 2015 dengan jelas
menyebutkan prioritas penggunaan dana desa adalah
untuk mencapai tujuan pembangunan Desa yaitu
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup
masyarakat desa yang dilakukan melalui pemenuhan
kebutuhan dasar berupa pembinaan dan pengelolaan
Pendidikan Anak Usia Dini (Pasal 6 huruf c).
Saat ini hak-hak anak penyandang disabilitas
menjadi komponen penting dari Agenda pembangunan
SGDs. Menurut WHO sekitar 15 persen dari populasi
dunia, atau diperkirakan 1 milyar orang adalah
penyandang disabilitas (WHO: 2013)1 Berakhirnya
MDGs menjadi awal bagi SDGs (2015-2030). Selain
prinsip No one left behind, satu hal yang sangat penting
dari SDGs dan membedakannya dengan MDGs adalah
pentingnya peran Pemerintah Daerah, termasuk Desa.
Tujuan 1-11 menegaskan peran penting Pemerintah
Daerah. Disahkannya UU No. 6 Tahun 2014 Tentang
Desa semakin menegaskan letak strategis pendidikan
inklusi bisa dilakukan ditingkat desa. Keterlibatan
semua unsur warga dalam setiap pengambilan
keputusan public dapat dilakukan, termasuk Tokoh
Pendidikan, aktivis perempuan perlindungan Anak,
termasuk penyandang disabilitas. Keterwakilan tokoh,
guru, dan pemerhati anak harus berada di tingkat BPD
dengan memiliki wakil tetap dalam perumusan dan
penentuan kebijakan publik, dan harus dipastikan bahwa
yang menjadi anggota BPD adalah guru atau tokoh
pendidikan yang memiliki kapabilitas dan integritas
terhadap kepentingan pendidikan inklusif. Sehingga
mampu melakukan partisipasi yang representatif.
Mengingat pentingnya masa usia dini dalam
pembentukan karakter, maka pendidikan inklusi harus
mampu direalisasikan sampai di tingkat PAUD.
Penyelenggaraan pendidikan inklusi di Desa akan
membuka aksesibilitas penyandang disabilitas terhadap
hak
untuk
mendapatkan
pendidikan
dengan
memaksimalkan peran Pemerintah Desa sesuai dengan
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Dengan adanya Undang-Undang Desa Nomor 6 tahun
2014 maka Desa memiliki kewenangan penuh untuk
membuat peraturan dengan melibatkan masyarakat.
Otonomi dan Kewenangan yang dimiliki Desa terutama
dalam pengelolaan Dana Desa akan memberikan
1

.Lihat WHO, Disability and health-Fact Sheet
No.
352‟,
September
2013
dalam
https://www.unicef.org/disabilities/files/Disabilities_2pa
ger_indicators_SDGs.pdf

kemudahan penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi
penyandang disabilitas usia dini yang berada di Desa,
tentunya
apabila
masyarakat
secara
aktif
memaksimalkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam
forum Musyawarah Desa. Dengan melakukan
perubahan metode pelaksanaan pendidikan inklusi
dengan memulainya dari tingkat desa.

KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Undang-Undang No. 8/2016 belum memberikan
aksesibilitas
pendidikan
inklusif
bagi
penyandang disabilitas usia dini. Kesimpulan ini
didasarkan kepada: a) Belum adanya fasilitasi
Unit Layanan Disabilitas bagi guru PAUD.
Fasilitasi Pemerintah dan Pemerintah Daerah
untuk menyediakan Unit Layanan Disabilitas
hanya disediakan sejak tingkat pendidikan dasar.
Dengan demikian, menurut penulis, peningkatan
Sumber Daya Manusia (SDM) guru PAUD untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif belum
menjadi prioritas Pemerintah. Kompetensi yang
dimiliki oleh guru PAUD, terutama yang berada
di lembaga swasta dan termasuk PAUD Non
Formal belum layak untuk memberikan
pendidikan secara inklusif. keberadaan Unit
Layanan Disabilitas dengan fungsi yang
dimilikinya akan sangat membantu bagi
peningkatan kompetensi dan kapabilitas guru
sehingga
bisa
layak
menyelenggarakan
pendidikan inklusif.
2. UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
memberikan peluang untuk menginisiasi
pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas
usia dini, yaitu melalui: a) Ruang Partisipasi.
Aksesibilitas masyarakat untuk menjadi bagian
dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan
akses keterwakilan setiap unsur masyarakat
melalui forum Musyawarah Desa. b). Dana
Desa, besaran Dana Desa juga menjadi hak
masyarakat dalam bidang pendidkan.
SARAN
Agar peluang untuk menginisiasi pendidikan
inklusif bagi penyandang disabilitas usia dini dengan
menggunakan UU No. 6 Tahun 2014 dapat
direalisasikan, maka harus ada pendampingan terutama
dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang faham
mengenai urgensi pendidikan inklusif bagi anak usia
dini, terutama bagi penyandang disabilitas usia dini.

9

10 INTERNATIONAL CONFERENCE ON SPECIAL EDUCATION IN SOUTHEAST ASIA REGION 7TH SERIES
2017
Seminar Internasional Pendidikan Khusus Wilayah Asia Tenggara Seri Ke-7, 2017

REFERENSI
Badan Pusat Statistik (BPS), PROFIL ANAK
INDONESIA 2015, Jakarta: Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA), diakses
dari
http://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/25/10
18/profil-anak-indonesia-tahun-2015
Hakim, Aceng Lukmanul, Pengaruh Pendidikan Anak
Usia Dini terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas
I Sekolah Dasar di Kabupaten dan Kota
Tangerang
Kementerian Kesehatan RI, Situasi Penyandang
Disabilitas, Buletin Jendela Data dan Informasi
Kesehatan
Semester
II
2014,
diakses
dariKementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini,
Non Formal dan Informal Sekretariat Direktorat
Jenderal PAUDNI 2014, Buku Data PAUDNI
2013
diakses
dari
http://www.pusdatin.kemkes.go.id/folder/view/0
1/structure-publikasi-pusdatin-info-datin.html
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Sekretariat
Jenderal Pusat Data Dan Sstatistik Pendidikan
Dan Kebudayaan 2016, Statistik Pendidikan
Anak Usia Dini 2015/2016
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Ministry of
Education And Culture Pusat Data Dan Statistik
Pendidikan Dan Kebudayaan Center For
Educational Data And Statistics And Culture
2016, Iindonesia Educational Statistic in Brief
2015/2016,
Kurdi, Fauziah Nuraini,
Strategi dan Teknik
Pembelajaran Pada Anak Dengan Autisme,
Artikel,
http://forumkependidikan.unsri.ac.id/userfiles/Ar
tikel%20Fauziah%20Nuraini-UNSRIOK%20PRINT.pdf
Mboi, Nafsiah, dkk, 2010, Kompendium Perjanjian,
Hukum dan Peraturan Menjamin Semua Anak
Memperoleh Kesamaan Hak untuk Kualitas
Pendidikan dalam Cara Inklusif, Jakarta: IDP
NORWAY, BRAILLO NORWAY dan IDPN
Indonesia
http:dx.doi.org/10.1596/978-082139836-4www.idpeurope.orgidoes/uio_upi_inclusion_book/index.p
hp

Permen Desa PDT dan Transmigrasi No. 22 Tahun
2016
Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Permeneg PP&PA No.5 Tahun 2011
Pemenuhan Hak Pendidikan Anak

Tentang

Perpres Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Stubbs, Sue, 2002, Pendidikan Inklusif Ketika Hanya
Ada
Sedikit
Sumber
(terj.),
Coordinator@iddc.org.uk,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak
Unicef, Laporan Tahunan Indonesia 2015,
http://allinschool.org/wpcontent/uploads/2015/01/OOSC-EXECUTIVESummary-report-EN.pdf
Unicef, Pendidikan & Perkembangan Anak Usia Dini,
dalam Unicef Indonesia: Ringkasan Kajian edisi
Oktober 2012
https://www.unicef.org/indonesia/id/A3__B_Ringkasan_Kajian_Pendidikan.pdf
Unicef, TAKE US SERIOUSLY! Engaging Children
with Disabilities in Decisions Affecting their
Lives,
diakses
dari
https://www.unicef.org/disabilities/files/Take_Us
_Seriously.pdf
Unicef, The Investment Case for Education and Equity,
diakses
dari
https://www.unicef.org/publications/files/Invest
ment_Case_for_Education_and_Equity_FINAL.
pdf

Nazir, Muhammad. 2003. Metode Penelitian, Jakarta:
Ghalia Indonesia
Permendes No. 2 Tahun 2015 Tentang Pedoman dan
Tata tertib Pengambilan Keputusan musyawarah
Desa

10

Dokumen yang terkait

AN ALIS IS YU RID IS PUT USAN BE B AS DAL AM P E RKAR A TIND AK P IDA NA P E NY E RTA AN M E L AK U K A N P R AK T IK K E DO K T E RA N YA NG M E N G A K IB ATK AN M ATINYA P AS IE N ( PUT USA N N O MOR: 9 0/PID.B /2011/ PN.MD O)

0 82 16

FRAKSIONASI DAN KETERSEDIAAN P PADA TANAH LATOSOL YANG DITANAMI JAGUNG AKIBAT INOKULASI JAMUR MIKORIZA ARBUSKULAR DAN BAKTERI PELARUT FOSFAT (Pseudomonas spp.)

2 31 9

HUBUN GAN AN TAR A KUA LITAS P ELAYA NA N DA N P ROMOTION MIX (BERD ASARKAN P ERSE P S I P ASIEN) DE NGAN P ROSES P ENGAM BILAN KEP UT USAN P ASIEN DA LAM P EM AN F AA TAN P ELAY AN AN RA WAT INAP DI RSD KAL IS AT

0 36 20

JAR AK AT AP P UL P A T E RHAD AP T E P I I N S I S AL GI GI I NSI S I VU S S E NT RA L P E RM AN E N RA HAN G AT AS P AD A S UB RA S DE UT ROM E L AY U ( T in j au an L ab or at o r is d an Radi ol ogis )

0 35 16

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA Pengembangan Profesi Guru Sains melalui Penelitian dan Karya Teknologi yang Sesuai dengan Tuntutan Kurikulum 2013

6 77 175

Hubungan Kuantitatif Struktur Aktifitas Senyawa Nitrasi Etil P -Metoksisinamat Terhadap Aktivitas Anti Tuberkulosis Melalui Pendekatan Hansch Secara Komputasi

1 34 82

Pendeteksian Plagiarisme Abstrak Paper Menggunakan Metode Vector Space Model

4 42 84

Matematika Kelas 6 Lusia Tri Astuti P Sunardi 2009

13 252 156

EFFECT OF THE USE OF STUDENT PERCEPTION COOPERATIVE LEARNING MODEL N UMBER HEAD TOGETHER LEARNING AND MOTIVATION OF CREATIVITY IN LEARNING SOCIAL STUDIES IN SMP NEGERI TUMIJAJAR TULANG BAWANG BARAT ACADEMIC YEAR 2012/2013 P ENGARUH PERSEPSI SISWA TENTANG

2 24 135

Tugas Paper Statistika GE320E Anis Ilahi

2 18 13