Diglosia dalam Penerjemahan Komik Studi

Diglosia dalam Penerjemahan Komik:
Studi Kasus Penerjemahan Suske en Wiske
dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia
Zahroh Nuriah
Universitas Indonesia
[email protected] / [email protected]

Abstract
Indonesian language has a diglossic characteristic because the language consists of formal and
informal varieties. In translating a text into Indonesian, a translator must choose the variety to
be used as the target language. This paper examines which variety a translator should choose
in translating a comic so that the text will be equivalent to the source text, what should be
considered in deciding the target language variety that will be used, and which variety the
readers prefer. To answer those questions, a qualitative case study of a translation of the comic
Suske en Wiske from Dutch to Indonesian is conducted by comparing each panel of the target
text to the source text, supported by quantification of respondents meaning of the use of both
varieties. The result shows that equivalence must not only be based on the text since comic is
a semiotic system which does not only consist of verbal elements but also pictures; the
translation of a comic should then intersemiotic by considering both elements. Both language
varieties can be used in the translation of comics. The choice of a language variety for each
panel must be based on the context showed by the pictures, namely the social role of the

speaker(s) and the addressee(s). The target readers of Suske en Wiske children age 10-12 still
prefer formal variety for written language, but adults are already able to differentiate the
function of both varieties for different contexts. The variety choosen should reflect the real
target language use for resulting the dynamic equivalence.
Keywords: comic, equivalence, intersemiotic, translation
1. Pendahuluan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa kesatuan yang digunakan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pada umumnya bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua yang
diperoleh di sekolah setelah bahasa pertama yang biasanya merupakan bahasa daerah. Di
samping bahasa Indonesia formal yang wajib digunakan sebagai bahasa resmi kenegaraan,
bahasa pengantar pendidikan, atau pun bahasa yang digunakan dalam komunikasi resmi
lainnya sesuai UU Kebahasaan (24/2009), terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya,
terdapat variasi bahasa sehari-hari. Sneddon (2003) menyatakan bahwa dengan adanya dua
variasi ini maka dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat gejala diglosia.
Dalam menerjemahkan sebuah teks ke dalam bahasa Indonesia, seorang penerjemah
harus mampu memilih variasi bahasa yang tepat untuk digunakan sebagai bahasa sasaran.
431

Variasi bahasa mana yang sebaiknya digunakan dalam menerjemahkan komik agar teks sasaran
(Tsa) sepadan dengan teks sumber (Tsu)? Faktor apa yang perlu dipertimbangkan dalam

menentukan variasi bahasa yang digunakan? Bagaimana sikap pembaca terhadap terjemahan
dalam kedua variasi bahasa itu?
Untuk menjawab permasalahan tersebut, komik Suske dan Wiske yang berjudul Het
Machtige Monument ‘Monumen Mahakarya’ dijadikan data penelitian. Komik ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Belanda. Kalimat-kalimat dalam setiap
panel dalam TSa dibandingkan dengan kalimat pada TSu dengan memperhatikan konteks
percakapan.Penelitian ini bersifat kualitatif, tetapi juga didukung dengan kuantifikasi data.
Untuk mendukung kesimpulan teoretis, juga dilakukan penjaringan sikap bahasa para pembaca
komik. Empat potongan cerita yang terdiri dari tiga panel disajikan kepada para responden
dalam variasi formal dan informal. Di samping itu, juga disajikan terjemahan asli yang
merupakan campuran antara kedua variasi itu. Satu dari empat potongan cerita itu merupakan
percakapan informal, tiga lainnya merupakan percakapan formal, yaitu percakapan dengan
polisi, perdana mentri, dan raja. Responden diminta memilih penggunaan bahasa sasaran (Bsa)
yang menurut mereka paling berterima dan paling tidak berterima. Karena seri ini ditujukan
untuk anak umur 10-12 tahun, maka yang dijadikan responden utama juga anak-anak berumur
10-12 tahun, 36 anak, 16 anak mengisi angket di rumah, sedangkan 20 anak mengisinya di
sekolah. Di samping itu, 30 orang responden dewasa berumur 18-20 tahun juga diminta untuk
melakukan hal yang sama sebagai data pembanding.
2. Komik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komik didefinisikan sebagai “cerita bergambar (dl

majalah, surat kabar, atau berbentuk buku) yg umumnya mudah dicerna dan lucu”. Kerrien &
Auquier (tt) dalam situs Museum Komik Belgia di Brussel mendefinisikan komik sebagai “een
opeenvolging van stilstaande beelden die een verhaal vormen, waarvan het scenario
geïntegreerd is in de beelden”1. Dalam bukunya Understanding Comics, McCloud (1993, hlm.
9) mendefinisikan komik sebagai “juxtaposed pictorial and other images in deliberate
sequence”. Dari definisi-definisi itu, dapat disimpulkan bahwa gambar merupakan unsur utama
dalam komik. McCloud (1993) bahkan tidak menyinggung teks sama sekali dan Kerrien &
Auquier (tt) menyebutkan bahwa skenario terintegrasi dalam gambar. Komik juga didukung
unsur-unsur penting lainnya seperti tanda-tanda tipografis (jenis huruf, lay-out, format), tandatanda gambar (warna, garis-garis aksi, sketsa, perspektif), serta tanda-tanda linguistis (Kaindl,
1999, dalam: Zanettin 2008).
Seorang komikus menggambar dan menulis dialog sedemikian rupa sebagai satu
kesatuan yang menjadi dasar imajinasi para pembaca. McCloud (1993) berpendapat bahwa
makna komik berada di antara panel gambar. Pembaca seakan-akan menyelami kehidupan para
tokohnya dengan menyusun cerita sendiri berdasarkan panel-panel yang disajikan. Mereka
menghubungkan panel yang satu dengan panel lainnya. Berbeda dengan pembaca novel yang
lebih bebas berfantasi, para pembaca komik merangkai ceritanya sesuai gambar.
Banyak komik terkenal yang berasal dari Belgia yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, seperti Tintin, Smurf, atau Lucky Luke, termasuk dari Belgia utara (daerah
1


sebuah jajaran gambar statis yang membentuk sebuah cerita, yang skenarionya terintegrasi ke dalam gambar.

432

berbahasa Belanda), seperti Jommeke juga Suske en Wiske. Suske en Wiske awalnya
merupakan komik yang terbit di koran harian De Nieuwe Standaard (yang kemudian berubah
nama menjadi De Standaard). Tokoh utama komik ini adalah seorang anak laki-laki bernama
Suske dan anak perempuan bernama Wiske. Mereka tinggal bersama Tante Sidonia, tantenya
Wiske, yang mengadopsi Suske. Seperti pesaingnya, Jommeke, komik ini berceritakan
petualangan anak (Suske dan Wiske yang humoristis) beserta beberapa temannya. Awalnya
Suske en Wiske disajikan dalam dialek sehari-hari Belgia utara, Vlaams, tetapi kemudian
disajikan dalam bahasa Belanda standar.
3. Diglosia
Diglosia didefinisikan oleh Ferguson (Ferguson 1959: 36) sebagai “a relatively stable language
situation in which [...] there is a very divergent, highly codified (often grammatically more
complex) superposed variety [...] which is learned largely by formal education and is used for
most written and formal spoken purposes but is not used by any sector of the community for
ordinary conversation” (dalam Sneddon 2003: 519). Situasi diglosia dapat dijumpai dalam
bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia formal merupakan bahasa resmi kenegaraan yang
digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan, dalam komunikasi tingkat nasional, transaksi,

dan dokumentasi niaga, juga sebagai bahasa media massa, yang telah dikodifikasi dalam
bentuk kamus dan buku tata bahasa serta diperoleh melalui pendidikan di sekolah. Dalam pada
itu, variasi formal tidak digunakan dalam situasi informal. Dalam kehidupan sehari-hari
digunakan variasi informal yang tidak – atau setidaknya belum – dikodifikasi dan diperoleh di
rumah sebagai bahasa pertama.
Variasi formal dan informal cukup berbeda. Perbedaan ini tidak hanya terletak pada
pelafalan tetapi juga pada tingkat leksikon dan gramatika. Variasi informal lebih sederhana
dibandingkan dengan variasi formal. Pada tingkat leksikon misalnya terdapat perbedaan bentuk
kata ganti. Dalam variasi formal dibedakan antara kata ganti orang pertama jamak ekslusif
kami dengan bentuk inklusif kita, sementara dalam variasi informal hanya ada satu kata ganti
orang pertama jamak, yaitu kita. Selain itu, dalam variasi formal untuk merujuk pada orang
pertama digunakan saya dan untuk orang kedua anda, sedangkan dalam variasi informal kata
ganti orang pertama cukup beragam, yaitu aku, gue atau gua untuk konteks yang lebih intim,
juga nama diri. Beberapa perbedaan leksikon lainnya misalnya:
Variasi formal
beri
besar
buat
hanya
seperti

tidak
untuk

Variasi informal
Kasi
Gede
bikin
cuma(n)
Kaya
Nggak
Buat

Dalam memaparkan perbedaan gramatika, Sneddon (2003) menyebutkan bahwa
berbagai preposisi dalam variasi formal dapat digantikan dengan kata sama. Namun perbedaan
ini sebaiknya dikategorikan sebagai perbedaan leksikon. Contoh:
433

F:
I:


Saya marah dengan/pada dia.
Gua marah sama dia.

F:
I:

Saya menceritakan itu kepada nenek saya.
Gua ceritain itu sama nenek gua.

F:
I:

Astrid suka meminjam uang dari ayahnya.
Si Astrid suka minjem duit sama bokapnya.

F:
I:

Saya dan ayah saya tidak dekat.
Gua sama bokap gua nggak deket.


F:
F:

Saya tidak diterima oleh orang tuanya dan dia juga ditolak oleh keluarga saya.
Gua enggak diterima sama orang tuanya dan dia pun, dia juga ditolak sama
keluarga gua.

Sneddon (2003) juga memaparkan perbedaan gramatika pada tataran morfologi. Dalam
variasi formal digunakan sufiks -kan dan sufiks -i, tetapi dalam variasi informal keduanya dapat
digantikan dengan -in. Perbedaan lain yang tidak disinggung oleh Sneddon adalah penggunaan
prefiks meng- dalam variasi formal, yang dalam variasi informal berbentuk -ng. Perbedaan ini
bukan hanya terkait pemilihan prefiks saja, tetapi juga berimbas pada kaidah morfofonemis.
Perhatikan contoh berikut.
Dasar kata
baca
cuci
foto
jambak
lempar

rebut

Formal
membaca
mencuci
memfoto
menjambak
melempar
merebut

Informal
baca/ngebaca
nyuci
moto
ngejambak
ngelempar
ngerebut

Dari contoh-contoh di atas tampak bahwa terdapat beberapa perbedaan kaidah morfofonemis
dalam pembentukan kata pada kedua variasi bahasa tersebut. Dalam variasi formal, proses

prefiksasi dengan dasar kata berawalan [b] mengakibatkan terjadinya asimilasi, sedangkan
dalam variasi informal menyebabkan delesi atau insersi. Dalam proses prefiksasi dengan dasar
kata berawal dengan [c] dan [f] yang dalam dalam variasi formal juga mengakibatkan
terjadinya asimilasi, dalam variasi informal menyebabkan peleburan. Proses prefiksasi dalam
variasi formal dengan dasar kata berawalan [j] yang juga mengakibatkan asimilasi, serta bunyi
likuida [l] dan [r] yang mengakibatkan delesi, dalam variasi informal justru mengakibatkan
insersi. Prefiks -ng ini terkadang juga menggantikan prefiks ber-, misalnya:
Dasar kata
tani
ternak

Formal
bertani
beternak

Informal
nani
nernak
434


Dalam pada itu, prefiks ter- dalam variasi formal pada umumnya digantikan dengan prefiks keseperti pada contoh berikut.
Dasar kata
sambar
tabrak

Formal
tersambar
tertabrak

Informal
kesamber
ketabrak

Namun terkadang prefiks ke- juga menggantikan prefiks ber-, seperti pada dasar kata
temu yang dalam variasi formal diberi imbuhan ber- menjadi bertemu dan pada variasi informal
diimbuhkan dengan prefiks ke- menjadi ketemu. Prefiks ter- juga tidak selalu dapat digantikan
dengan ke-, seperti terjatuh dalam variasi formal tidak muncul dalam kata *kejatuh dalam
variasi informal. Sepertinya terdapat sedikit perbedaan sistematika struktur argumen verba
pada variasi formal dan informal terkait pemilihan prefiks, tetapi untuk memastikannya
dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
Pemilihan variasi bahasa formal dan informal disesuaikan dengan situasi tindak tutur,
peran sosial penutur dan mitra tutur. Pada pertemuan resmi kenegaraan, dalam dunia
pendidikan, komunikasi tingkat nasional, transaksi, dan dokumentasi niaga, juga media massa
digunakan variasi formal. Sneddon (2003) memaparkan bahwa bahasa tulis pada umumnya
lebih diasosiasikan dengan variasi formal. Sastra akan diterjemahkan dalam variasi formal.
Namun ia juga menyebutkan bahwa belakangan ini, majalah, siaran radio, dan drama yang
ditujukan untuk kaum muda mulai menggunakan variasi informal. Sneddon juga menjelaskan
bahwa tidak ada garis pemisah yang jelas di antara variasi bahasa formal dan informal, tetapi
ada kontinuum di antara keduanya.
3. Penerjemahan
Nida dan Taber (1974: 4) mendefinisikan penerjemahan sebagai “the interpretation of the
verbal signs of one language by means of the signs of another”. Catford (1965: 20) kurang
lebih juga memberikan definisi yang sama, yaitu the replacement of textual material in one
language (SL) by equivalent textual material in another language (TL). Hatim dan Mason
(1997: vi) memandang penerjemahan agak berbeda, yaitu “an act of communication which
attempts to relay, across cultural and linguistic boundaries, another act of communication
(which may have been intended for different purposes and different readers/hearers)”. Menurut
Hatim dan Mason penerjemahan bukan hanya sekedar pengalihan bahasa saja, tetapi
merupakan satu bentuk komunikasi yang didasarkan pada bentuk komunikasi lainnya yang
ditujukan pada pendengar atau pembaca dengan bahasa dan budaya yang berbeda.
Pengirim

Pesan

Penerima

Gambar 1. Proses Komunikasi
Komunikasi itu sendiri merupakan proses penyampaian pesan kepada penerima.
Dengan demikian seorang penerjemah merupakan penerima pesan dalam bahasa dan budaya
435

sumber, sekaligus pengirim pesan dalam bahasa dan budaya sasaran. Dalam penerjemahan,
pesan merupakan tongkat estafet yang harus diterima oleh pembaca TSa secara utuh. Oleh
karena itu seorang penerjemah harus memperhatikan kesepadanan Tsa dengan Tsu.
Nida dan Taber (1974) membedakan antara kesepadanan dinamis dan kesepadanan
formal. Bagi mereka, kesepadanan dinamis tidak hanya terkait dengan teks, tetapi juga dengan
kesepadanan reaksi pembaca teks terjemahan dengan pembaca teks asal. Menurut mereka
kesepadanan dinamis lebih penting daripada korespondensi formal. Kesepadanan yang absolut
tentunya tidak ada, mengingat adanya perbedaan budaya. Namun, penerjemahan tetap dapat
dilakukan walaupun nuansa pesan yang disampaikan tidak utuh. Dengan demikian
kesepadanan yang maksimal tetap dapat dan harus diusahakan.
Sebagai pesan, komik tidak hanya terdiri dari elemen verbal yang bersifat simbolis saja,
tetapi juga terdiri dari gambar ikonis. Simbol ataupun ikon merupakan tanda semiotis yang
harus diperhatikan dalam proses penerjemahan. Terkait pesan advertensi, Torresi (2007)
memaparkan adanya pergerakan dari pendekatan yang hanya memperhatikan unsur verbal saja
ke arah pandangan baru yang menerjemahkan teks advertensi sebagai teks multimodal dan
bersifat intersemiotis. Dia menganjurkan pelokalan terjemahan teks secara menyeluruh,
misalnya dengan mengganti elemen visual untuk mempertahankan komponen makna verbal,
atau dengan membangun teks verbal yang sama sekali baru demi mengakomodir pasar yang
berbeda.
Pendapatnya ini dapat diadopsi dalam penerjemahan komik, karena komik juga terdiri
dari gambar dan komponen verbal. Untuk tujuan tertentu, gambar dalam komik memang dapat,
atau sebaiknya diubah (Nuriah, 2016). Begitu pula dengan teks yang harus disesuaikan dengan
gambar. Kesepadanan yang diupayakan dalam penerjemahan komik bukan lagi kesepadanan
formal, tetapi kesepadanan dinamis yang fungsional, agar pembaca komik terjemahan dapat
memberikan reaksi yang sama dengan pembaca teks asal.
4. Diskusi dan Pembahasan
Secara semiotis, komik terdiri dari ikon (berupa gambar) dan simbol (berupa elemen verbal).
Kedua elemen ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena saling
tergantung satu sama lain. Dalam menerjemahkan komik, kedua elemen ini harus diperhatikan.
Dalam menerjemahkan teks verbal, elemen visual harus diperhatikan. Konteks yang
digambarkan melalui elemen visual menentukan variasi bahasa yang digunakan.
Sneddon (2003) menjelaskan bahwa memang dalam bahasa Indonesia tidak ada garis
pemisah yang jelas di antara variasi bahasa formal dan informal. Namun, itu tidak berarti
variasi bahasa yang digunakan bersifat manasuka. Pemilihan variasi bahasa yang tepat tetap
diperlukan guna memberikan hasil terjemahan yang sepadan. Penggunaan variasi formal pada
semua situasi akan membuat komik terasa kaku, sedangkan penggunaan variasi informal pada
situasi formal membuat terjemahan komik terasa aneh.
Suske en Wiske merupakan komik berbahasa Belanda standar yang berasal dari Belgia
utara. Pada awalnya komik ini disajikan dalam dialek Vlaams, bahasa sehari-hari yang
digunakan di Belgia utara. Namun, kemudian disajikan dalam bahasa Belanda standar.
Bagaimana dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia?
Komik memang bukanlah buku pelajaran sekolah yang menurut UU Kebahasaan (2009)
harus menggunakan variasi bahasa formal. Komik merupakan cerminan kehidupan sehari-hari.
436

Dengan demikian, variasi bahasa yang digunakan pun sebaiknya disesuaikan. Dalam situasi
formal digunakan variasi formal dan dalam situasi informal digunakan variasi informal.
Perhatikan dua contoh berikut (Gambar 2).
Contoh 1:

Contoh 2:

Gambar 2. Terjemahan Potongan Cerita Suske en Wiske: Het Machtige Monument
Pilihan kata nggak pada contoh 1 masih dirasa wajar. Kalimat yang dilontarkan
merupakan reaksi terkejut atas hilangnya atomium yang tidak ditujukan pada orang tertentu.
Dalam pada itu, contoh 2 merupakan percakapan dengan seorang raja. Pilihan kata nggak yang
disejajarkan dengan kata sapaan Anda terasa janggal. Bagaimana tanggapan para pembaca
terhadap penggunaan variasi formal dan informal dalam komik?
Para responden, baik anak-anak ataupun dewasa memilih variasi formal untuk situasi
formal. Semakin resmi situasinya dan semakin tinggi derajat mitra tutur, persentase pilihan
variasi formal yang dipilih oleh responden dewasa juga semakin tinggi, sementara persentase
pilihan responden anak tetap di angka 86%. Variasi formal dalam situasi informal masih
dijadikan pilihan. Demikian pula dengan responden dewasa. Hanya saja responden dewasa
yang memilih variasi formal untuk situasi informal persentasenya jauh lebih rendah, di bawah
50%. Perhatikan tabel 1 dan 2. Pilihan ini bisa jadi ditimbulkan karena bahasa tulis masih
diasosiasikan dengan variasi formal, seperti yang dinyatakan oleh Sneddon (2003).

437

Tabel 1. Sikap bahasa anak

Informa
l
Formal
Asli

Informal
Berterim
a

Formal
Berterim
Tidak a

3%
75%
22%

86%
3%
11%

0%
86%
14%

Tidak

Perdana menteri
Berterim
a
Tidak

Raja
Berterim
a

Tida
k

81%
0%
19%

8%
86%
6%

3%
86%
11%

97%
0%
3%

81%
6%
14%

Tabel 2. Sikap bahasa mahasiswa
Informal
Berterim
a
Informa
l
7%
Formal 43%
Asli
50%

Tidak

Formal
Berterim
a

73%
17%
10%

0%
90%
10%

Tidak

Perdana menteri
Raja
Berterim
Berterim
a
Tidak a

Tidak

83%
3%
13%

0%
93%
7%

90%
3%
7%

70%
3%
27%

0%
97%
3%

Hasil menarik lainnya adalah sikap bahasa anak-anak terkait tempat pengambilan
sampel. Jumlah responden yang memilih variasi bahasa informal untuk situasi informal lebih
tinggi persentasenya ketika mereka diminta menjawab angket di rumah. Para responden yang
mengisi angket di sekolah, lebih memilih variasi formal untuk semua situasi. Hasil ini dapat
saja terjadi karena anak dipengaruhi latar tempat dalam memilih variasi bahasa, dan sekolah
diasosiasikan dengan variasi formal.
Tabel 3. Sikap bahasa anak

Informal
Formal
Asli

Anak di sekolah
Berterima Tidak
0%
95%
95%
0%
5%
5%

Anak di rumah
Berterima Tidak
6%
75%
50%
6%
44%
19%

Anak-anak usia 10-12 masih dalam proses pemerolehan kemahiran penggunaan variasi
bahasa yang berbeda, sehingga cenderung belum menguasai kemahiran ini sepenuhnya. Dalam
pada itu, para mahasiswa sudah lebih mahir. Kemahiran penggunaan variasi bahasa oleh anak
masih perlu diteliti lebih jauh lagi. Namun hasil angket yang menunjukkan adanya perbedaan
persentase pemilihan variasi pada berbagai konteks, mendukung simpulan teoretis bahwa

438

variasi bahasa yang digunakan dalam penerjemahan komik sebaiknya didasarkan pada situasi,
latar, penutur dan mitra tutur yang diilustrasikan dalam gambar.
5. Simpulan
Penerjemahan komik sebaiknya tidak hanya didasarkan pada elemen verbal saja, karena komik
merupakan sistem semiotis yang terdiri dari teks verbal dan gambar. Penerjemahan harus
dilakukan secara intersemiotis dengan mempertimbangkan kedua elemen itu, termasuk dalam
menentukan variasi bahasa yang digunakan dalam teks sasaran. Seorang penerjemah harus
dapat menentukan variasi bahasa digunakan dalam TSa berdasarkan peran sosial penutur dan
mitra yang tergambar dalam setiap panel untuk menghasilkan teks terjemahan yang sepadan.
Daftar Acuan
Catford, J.C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press.
Hatim, B. dan Mason, I. 1997. The Translator as Communicator. London/New York:
Routledge.
Kerrien, F. dan Auquier, J. Tanpa Tahun. De uitvinding van het Stripverhaal: Pedagogisch
Dossier. Brussel: Belgisch Stripcentrum. [diakses pada 29 Mei 2016 pada
https://www.stripmuseum.be/uploads/fichiers/pages/uitvinding-stripverhaal-web.pdf].
McCloud, S. 1993. Understanding Comics: The invisible Art. New York: Harper Collins &
Kitchen Sink Press.
Nida, E. A. dan Taber, C. R. 1974. The theory and practice of translation. Leiden: Brill.
Nuriah, Z. 2016. “Cultuurbotsingen bij het Vertalen van Stripverhalen”, dalam: Eliza
Gustinelly, Munif Yusuf, dan Kees Groeneboer K. (ed), 45 Jaar Studie Nederlands in
Indonesië (45 Tahun Studi Belanda di Indonesia), hlm. 339-359. Depok: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Sneddon, J.J. 2003. “Diglossia in Indonesian”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde
159 (4): 519-549.
Torresi, I. 2007. “Advertising”, dalam: M. Baker dan G. Saldanha (ed.), Routledge
Encyclopedia of Translation Studies, hlm. 6-10. New York: Routledge.
Zanettin, F. 2008. “Comics in Translation Studies: An Overview and Suggestions for
Research”. [diakses pada 26 Mei 2016 pada https://comics_in_translation_studiesLisboa.pdf20130812-10706-1qffje0-libre-libre].

439

440

Dokumen yang terkait

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI ( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)

12 105 72