PEMODELAN TOMOGRAFI WAKTU TEMPUH DENGAN

PEMODELAN TOMOGRAFI WAKTU TEMPUH DENGAN KONFIGURASI CROSSHOLE
SEISMIC PADA KASUS DATA SINTETIK
Muhamad Reza Noviardi1, Prof. Dr. rer. nat. Awali Priyono1
1

Insitut Teknologi Bandung, 40132, Bandung, Indonesia
Abstrak

Dalam survey seismik antar sumur, pemilihan parameter akuisisi yang baik sangat diperlukan untuk
mendapatkan hasil data seismik yang optimal. Terutama dalam melakukan pencitraan tomografi seismik waktu
tempuh, diperlukan data seismik yang punya kepadatan sinar yang baik di tiap bagian dari area survey. Untuk
itu, diperlukan suatu pemodelan sintetik untuk melihat hubungan antara parameter akusisi, jalur rambat
gelombang, waktu tiba gelombang, serta hasil inversi waktu tempuhnya. Pada penelitian ini dilakukan
pemodelan tomografi ke depan dan ke belakang dengan konfigurasi antar sumur. Data yang digunakan adalah
data sintetik hasil pemodelan ke depan. Metode yang dilakukan adalah penjejakan gelombang dengan metode
ray bending, selanjutnya dilakukan inversi waktu tempuh dengan menggunakan tomografi waktu tunda.
Hasilnya menunjukkan bahwa perubahan parameter jarak antar sumur, interval sumber dan receiver, ukuran
blok pada model dan sampling rate mempengaruhi hasil inversinya. Di sisi lain, penukaran letak sumur sumber
dan receiver serta pengubahan nilai frekuensi sumber tidak mempengaruhi hasil inversi pada percobaan sintetik.
Kata kunci: pemodelan sintetik, seismik antar sumur, tomografi seismik waktu tempuh, parameter akuisisi


I.

PENDAHULUAN

Dalam tomografi seismik, diperlukan data dengan
kepadatan sinar yang baik yang melewati seluruh
blok pada model agar semua area pada model dapat
tercitrakan dengan baik. Oleh karena itu,
diperlukan suatu pemodelan sintetik untuk melihat
pengaruh parameter dan geometri akuisisi terhadap
jalur rambat gelombang, yang nanti akan
berpengaruh pula pada tomogram hasil inversi.
Pemilihan parameter akuisisi yang baik akan dapat
menghasilkan data yang baik sehingga pencitraan
model kecepatan bawah permukaan dengan
tomografi waktu tempuh semakin optimal.
II.

TEORI DASAR


Tomografi waktu tempuh adalah jenis tomografi
yang merekonstruksi model kecepatan bawah
permukaan dengan data waktu tempuh gelombang
seismik dari sumber ke receiver. Dalam tomografi
waktu tempuh, dilakukan parameterisasi model,
yaitu pembagian area survey menjadi sejumlah
blok dengan ukuran tertentu. Kemudian gelombang
seismik dari sumber merambat menuju receiver dan
membentuk jalur rambat yang melewati beberapa
blok, dan didapatkan waktu tempuh gelombang
serta panjang raypath di tiap blok, yang
hubungannya dapat dinyatakan dengan persamaan


(1)

Dimana t adalah matriks waktu tempuh, M adalah
matriks Kernel berisi parameter model, dan s
adalah matriks slowness.
Namun persamaan tomografi sangat nonlinear

akibat banyaknya parameter unknown pada
persamaannya. Oleh karena itu, dilakukan proses
linearisasi dengan cara tomografi waktu tunda.
Dengan menganggap suatu model awal V0,
dilakukan ray tracing sehingga didapatkan panjang
raypath dan waktu tempuh kalkulasi tcal. Nilai tcal
tersebut dikurang dengan waktu tempuh observasi
tobs sehingga didapatkan selisih waktu δt. Nilai
tersebut dimasukkan dalam persamaan matriks
tomografi waktu tempuh
(3)
yang dapat dijabarkan menjadi

(

)

](

)


(4)

Namun perlu diketahui bahwa
, sehingga
perlu dicari hubungan antara
dan
untuk
melakukan update model kecepatan. Dengan
menurunkan rumus

Kumpulan persamaan tersebut dapat dinyatakan
dalam bentuk matriks

(5)
didapatkan

(2)

[


dengan i adalah jumlah iterasi yang dilakukan.

seperti jarak dan posisi antar sumur, interval serta
jumlah source dan receiver. Selanjutnya pada
model tersebut dilakukan ray tracing sehingga
didapatkan data seismik sintetiknya. Pada data
sintetik tersebut, dilakukan picking first break
sehingga didapatkan waktu tempuh gelombangnya.
Kemudia dibuat suatu initial model kecepatan yang
bernilai homogen sebagai input awal dalam
melakukan inversi. Dengan data waktu tempuh
hasil picking first break sebagai waktu tempuh
observasi dan initial model kecepatan, dilakukan
proses
inversi
waktu
tempuh
sehingga
menghasilkan tomogram yang berisi citra nilai

kecepatan.

III.

IV.

sehingga
model awal

(

)

(6)

bisa digunakan untuk meng-update
(7)

PEMODELAN
DATA


DAN

PENGOLAHAN

Penelitian ini secara umum terbagi menjadi dua
bagian, yaitu forward modelling dan inverse
modelling.
Tahapan
pada
masing-masing
pemodelan dapat dilihat pada diagram alir ini.
Adapun pada penelitian ini, pemodelan dilakukan
dengan perangkat lunak TomoXPro

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, dilakukan lima percobaan
untuk melihat pengaruh parameter dan geometri
akuisisi terhadap tomogram hasil inversi.

Percobaan 1
Pada percobaan 1, dilakukan pengubahan
parameter jarak antar sumur untuk melihat efek
perubahan jarak antar sumur terhadap tomogram
hasil inversinya. Pada percobaan 1, digunakan
model dengan sisipan low velocity layer (LVL)
yang memiliki kecepatan sebesar 2200 m/s,
sedangkan lapisan lainnya memiliki kecepatan
sebesar 2700 m/s dan 2900 m/s.

Gambar 2. Model kecepatan dengan LVL 10 m
Gambar 1. Diagram alir pemodelan
Pertama-tama, dibuat model kecepatan sesuai
dengan yang diinginkan. Kemudian, dilakukan
pengaturan parameter serta geometri akuisisi,

Jarak antar sumur yang digunakan adalah 150 m,
120 m, 90 m, 60 m, dan 40 m. Pada pemodelan ini,
digunakan source dan receiver sebanyak 100 buah
dengan interval 1 m. Source diletakkan pada sumur

kanan dan receiver di sumur kiri.

150 m

a.

120 m

b.

Gambar 3. Konfigurasi akuisisi pada model dengan tebal LVL 10 m. (a) memiliki jarak antar sumur sebesar
150 m, (b) 120 m, (c) 90 m, (d) 60 m, dan (e) 40 m

a.

c.

b.

d.


e.

Gambar 4. Tomogram hasil inversi pada model dengan tebal LVL 10 m. (a) memiliki jarak antar sumur sebesar
150 m, (b) 120 m, (c) 90 m, (d) 60 m, dan (e) 40 m

a.

b.

Gambar 5. Tomogram hasil inversi pada model dengan tebal LVL 8 m

b.

a.

d

e


Gambar 6. Tomogram hasil inversi pada model dengan tebal LVL 4 m

Dari percobaan 1, dapat dilihat bahwa parameter
jarak antar sumur sangat mempengaruhi hasil
inversi yang diperoleh. Hal ini disebabkan karena
jarak antar sumur mempengaruhi raypath yang
dilalui. Namun secara keseluruhan, pada percobaan
ini anomali kecepatan rendah sudah terlihat jelas,
bahkan pada percobaan dengan ketebalan LVL 4 m
dan jarak antar sumur 150 m, walaupun estimasi
kecepatannya masih belum akurat. Percobaan
tersebut juga membuktikan bahwa semakin tipis
lapisan target, semakin sulit pula lapisan tersebut
dicitrakan dengan baik.

Pada percobaan 2, parameter yang diubah adalah
jarak antar sumur dan interval source dan receiver.
Terdapat 3 jenis akuisisi. Akuisisi 1 menggunakan
jarak antar sumur sebesar 60 m dan interval source
dan receiver 2 m dan jumlah source dan receiver
masing-masing 50 buah. Akuisisi 2 menggunakan
jarak antar sumur sebesar 60 m dan interval source
dan receiver 1 m serta jumlah source dan receiver
100 buah, akuisisi 3 menggunakan jarak antar
sumur sebesar 40 m dan interval source dan
receiver 2 m serta jumlah source dan receiver 50
buah. Pada percobaan 2 ini, digunakan model
dengan dua sisipan lapisan batubara.

Percobaan 2

Gambar 7. Model kecepatan percobaan 2 dengan sisipan 2 LVL
interval = 2 m

interval = 1 m

60 m

a

.

interval = 2 m
40 m

60 m

b

c

.

Gambar 8. Geometri akuisisi 1 (a) dengan jarak antar sumur 60 m dan interval source dan receiver 2 m,
akuisisi 2 (b) dengan jarak antar sumur 60 m dan interval source dan receiver 1 m, dan akuisisi 3 (c) dengan
jarak antar sumur 40 m dan interval source dan receiver 2 m

Ray density

a.

Ray density

a.

b.

Ray density

b.

c

c.

Gambar 9. Tomogram hasil inversi (kiri) dan plot kepadatan sinar (kanan) pada percobaan 2 dari (a) akuisisi 1,
(b) akuisisi 2, dan (c) akuisisi 3
Percobaan 2 ini menunjukkan bahwa interval
source dan receiver akan mempengaruhi kepadatan
sinar di tiap blok. Semakin rapat interval yang
digunakan, semakin banyak pula sinar yang melalui
suatu blok sehingga estimasi kecepatan pada suatu
blok bisa lebih akurat. Namun perubahan interval
source dan receiver tidak mempengaruhi raypath

gelombang, sehingga tidak memberikan perubahan
hasil inversi yang sesignifikan dengan pengubahan
jarak antar sumur. Untuk mencitrakan anomali
kecepatan dengan lebih baik, apabila jarak antar
sumur yang digunakan cukup jauh, maka
diperlukan interval source dan receiver yang lebih
rapat.

Percobaan 3
Pada percobaan ini, parameter yang diubah adalah
letak sumur source dan receiver yang ditukar, yaitu
source yang berada di sumur kanan akan ditukar

a.

dengan receiver sumur kiri. Percobaan kali ini
menggunakan model dengan sisipan LVL yang
mengalami diskontinuitas, yaitu patahan berupa
sesar dan pinch-out.

b.

Gambar 10. Model kecepatan dengan (a) patahan , dan (b) pinch-out untuk percobaan 3

60 m

60 m

b

a

Gambar 11. Akuisisi 1 pada model patahan dengan (a) source di sumur kanan dan receiver di sumur kiri, dan
akuisisi 2 dengan (b) source di sumur kiri dan receiver di sumur kanan

a

a.

b

b
.

Gambar 12. Tomogram hasil inversi dan kepadatan sinar pada model patahan untuk (a) akuisisi 1, dan (b)
akuisisi 2

a

a

b
.

b

Gambar 13. Tomogram hasil inversi dan kepadatan sinar pada model pinch-out untuk (a) akuisisi 1, dan (b)
akuisisi 2
Percobaan 3 ini menunjukkan bahwa kedua hasil
inversinya tidak jauh berbeda. Dari plot kepadatan
sinar juga dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa
penukaran sumur tidak terlalu berpengaruh banyak
pada raypath, sehingga hasil inversinya tidak jauh
berbeda.

a

a

.

b

b

.

Percobaan 4
Pada percobaan 4 , parameter yang diubah adalah
ukuran blok pada model yang digunakan. Ukuran
blok yang semula 1x1 m diubah menjadi 3x3 m.
Model yang digunakan pada percobaan ini adalah
model kecepatan dengan LVL setebal 10 m pada
percobaan 1.

a.

b.

Gambar 14. Tomogram hasil inversi (kiri), plot kepadatan sinar (tengah) dan selisih error nilai kecepatan
antara model awal dengan model hasil inversi (kanan) untuk ukuran blok (a) 1x1 m, dan (b) 3x3 m
Dari tomogram hasil inversinya, dapat dilihat
bahwa ukuran blok yang besar akan membuat
tomogram terlihat lebih blocky dan tidak smooth.
Dari persebaran error nilai kecepatan, dapat dilihat
pula bahwa nilai error tiap blok dengan ukuran 3 m

x 3 m lebih kecil dibandingkan nilai error tiap blok
dengan ukuran 1 m x 1 m. Hal ini disebabkan
karena sinar gelombang yang melalui suatu blok
akan lebih banyak apabila ukuran bloknya lebih
besar, sehingga parameter yang diketahui dalam

persamaan tomografi akan lebih banyak dan akan
menghasilkan hasil inversi yang lebih akurat. Oleh
karena itu, perlu dicari nilai ukuran blok yang
optimal yang dapat menghasilkan tomogram
dengan nilai error yang kecil namun dapat
memperlihatkan perlapisan bawah permukaan yang
cukup smooth untuk memudahkan proses
interpretasi.

Percobaan ini dapat dibagi menjadi dua percobaan,
yaitu percobaan dengan mengubah frekuensi
sumber dan percobaan dengan mengubah sampling
rate. Percobaan pertama membandingkan hasil dari
akuisisi dengan sampling rate 1 ms dan frekuensi
50 Hz dengan 25 Hz. Percobaan kedua
membandingkan hasil dari akuisisi dengan
frekuensi 50 Hz dan sampling rate 1 ms dengan 2
ms.

Percobaan 5

Gambar 15. Model kecepatan dan geometri akuisisi pada percobaan 5

a.

a

b
.

b

.

Gambar 16. Data sintetik (kiri), contoh satu tras sintetik (tengah), dan tomogram hasil inversi dari percobaan 5
dengan sampling rate 1 ms dan frekuensi (a) 50 Hz dan (b) 25 Hz
Dari percobaan pertama dengan pengubahan nilai
frekuensi, dapat dilihat bahwa ternyata hasil
inversinya tidak menunjukkan perbedaan. Hal ini
disebabkan karena perubahan frekuensi tidak
mempengaruhi waktu first arrival yang menjadi

input dalam inversi waktu tempuh. Pada gambar
tengah, dapat dilihat bahwa first arrival untuk
masing-masing frekuensi terjadi pada waktu yang
sama, yaitu 0,023 s.

a.

a

b
.
Gambar 17. Data sintetik (kiri), contoh satu tras sintetik (tengah), dan tomogram hasil inversi dari percobaan 5
dengan frekuensi 50 Hz dan sampling rate (a) 1 ms dan (b) 2 ms
Pada percobaan ini yang melakukan pengubahan
nilai sampling rate, dapat dilihat bahwa terjadi
pergeseran waktu first arrival, dimana pada
sampling rate 2 ms, first arrival terjadi pada 0,022
s. Hal ini secara keseluruhan akan mempengaruhi
picking first break, sehingga menghasilkan model
kecepatan yang berbeda pula.

Saran untuk penelitian selanjutnya di bidang ini
adalah perlunya perbandingan hasil data seismik
asli dengan parameter akuisisi yang sama dengan
parameter akuisisi pada percobaan ini untuk
memvalidasi
kesimpulan-kesimpulan
pada
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

Beberapa parameter akuisisi sangat mempengaruhi
hasil inversi waktu tempuh. Jarak antar sumur yang
dekat akan semakin mempengaruhi raypath yang
dilalui sehingga citra tomografinya dapat lebih
baik. Interval source dan receiver mempengaruhi
kepadatan sinar tiap blok. Namun penukaran letak
sumur untuk source dan receiver tidak begitu
mempengaruhi
tomogram
hasil
inversi.
Pembesaran ukuran blok pada model menyebabkan
model terlihat lebih blocky dan tidak smooth.
Tomogram hasil inversi dengan ukuran blok yang
lebih besar menghasilkan nilai error yang lebih
kecil dibandingkan tomogram dengan ukuran blok
yang lebih kecil. Perlu dicari nilai ukuran blok
yang optimal yang dapat menghasilkan tomogram
dengan error yang kecil namun dapat
memperlihatkan perlapisan bawah permukaan yang
cukup smooth sehingga memudahkan dalam
interpretasi.
Pengubahan
sampling
rate
mempengaruhi waktu first arrival sehingga
berpengaruh pada hasil inversi, sedangkan
pengubahan frekuensi tidak mempengaruhi waktu
first arrival maupun hasil inversinya.

Bregman, N. D., R. C. Bailey dan C. H. Chapman,
1989,
Crosshole
Seismic
Tomography,
Geophysics, (54), p1082-1090.
Butler, D. K. dan J. R. Curro Jr., 1981, Crosshole
Seismic Testing – Procedures and Pitfalls,
Geophysics, (46), p23-29.
Cheng, A. C. H. dan J. Zhang, 2001, Imaging
Complex Structures with Crosswell Seismology,
SEG International Exposition and Annual
Meeting, San Antonio, Texas.
Harris, J. M. dan R. T. Langan, 1991, Crosswell
Seismic Fills The Gap, Geophysical Corner.
McMechan, G. A., 19983, Seismic Tomography in
Boreholes, Geophys. J. R. astr. Soc., (74), p601612.
Nugraha, A.D., 2010, Bahan Kuliah Geotomografi,
ITB.
Rawlinson, N. dan M. Sambridge, 2003, Seismic
Traveltime Tomography of The Crust and

Litosphere, Advances in Geophysics, (46), 81197.
Stewart, R. R., 1991, Exploration Seismic
Tomography: Fundamentals, Society of
Exploration Geophysicists.
Um, J. dan C. Thurber, 1987, A Fast Algorithm for
Two-Point Seismic Ray Tracing, Bulletin of the
Seismological Society of America, (77), p972986.