Pudarnya Solidaritas di Tanah Garam (1)

PUDARNYA SOLIDARITAS DI TANAH GARAM

Masyarakat tercipta karena serangkaian interaksi antar individu. Interaksi
yang berkelanjutkan akan menimbulkan saling ketergantungan antar individu. Pada
hakikatnya seorang individu adalah makhluk sosial yang membutuhkan bantuan
orang lain untuk hidup. Hal tersebut sesuai dengan definisi masyarakat yang
merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adatistiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama
(koentjaraningrat, 2002. 146.) Oleh karena itu, makhluk sosial pasti akan menjalin
hubungan dan interaksi antar sesamanya.
Hubungan sosial terimplementasikan diberbagai lini kehidupan manusia, baik
secara individu, kelompok bahkan masyarakat. Hubungan sosial yang semakin erat
pada akhirnya akan bermuara pada sebuah solidaritas. Solidaritas sosial merupakan
jantung dari sistem integrasi masyarakat. Semakin erat solidaritas maka semakin kuat
pula integrasi dalam masyarakat. Solidaritas sosial menurut Paul Johnson (1980:181)
merujuk pada suatu keadaan antar individu dan atau kelompok yang didasarkan
perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama, yang diperkuat oleh
pengalaman emosional bersama. Adanya rasa saling ketergantungan dan kepercayaan
yang kuat mendorong masyarakat untuk senantiasa mengukuhkan solidaritas sosial.
Seyogyanya sebuah solidaritas nyata wujudnya dalam masyarkat. Setiap
masyarakat dibelahan bumi mengenal adanya solidaritas. Di Indonesia, solidaritas
menjadi landasan utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu tertuang jelas

pada sila ketiga yang berbunyi “Persatuan Indonesia”. Sila tersebut menjadi pedoman
dan landasan filosofis masyarakat bumi pertiwi ini. Bentuk pengaplikasiannya
melalui landasan hidup “Gotong Royong” dan “Bhinneka Tuggal Ika”. Semboyan
serta landasan hidup itu, menjadi perekat bagi semua suku Bangsa yang ada di bumi
Pertiwi Indonesia ini.

Indonesia yang kaya akan suku Bangsa tetap menjadi satu kesatuan karena
adanya falsafah hidup tersebut. Antar suku-suku Bangsa di Indonesia saling
menjunjung tinggi rasa saling menghargai satu dengan yang lainnya. Akan tetapi
kondisi sesame suku akan tampak sangat intim perihal solidaritas sosialnya. Setiap
suku Bangsa disinyalir memiliki keunikan serta kekuatan solidaritas masing-masing.
Sebut saja suku Madura yang dikenal sebagai suku perantau. Hampir sebagian besar
suku Madura adalah perantau sejati. Suku perantau yang senantiasa memegang teguh
adat istiadat serta falsafah hidup sebagai darah asli Madura.
Suku Madura di Tanah Rantau
Selalu menjunjung tinggi rasa “persaudaraan”, itulah suku Madura.
Dimanapun mereka bertemu dengan sesama sukunya (satu suku Madura), pasti ada
rasa solidaritas yang begitu saja muncul. Hal ini seolah menjadi identitas bersama
atau lebih tepatnya sebuah kesepakatan secara tidak sadar yang terinternalisasi oleh
setiap suku Madura di tanah rantau.

Ada ungkapan “tretan dhibi” menjadi khas terdengar ketika sesama suku
Madura mulai berinteraksi. Tretan dhibi’ memiliki arti “sodara sendiri” seolah
menjadi kata perekat rasa persaudaraan diantara mereka. Meskipun faktanya, orang
tersebut tidak ada ikatan darah, namun sesame suku Madura tetap menganggapnya
saudara. Dalam konteks ini berlaku ungkapan oreng daddi taretan. Artinya, orang
yang sama sekali tidak mempunyai kedua macam hubungan tersebut akan dianggap
dan diperlakukan sebagai kerabat (taretan), bahkan bisa jadi lebih daripada itu-jika
kualitas hubungan sosial yang terjalin benar-benar dilandasi oleh keikhlasan dan
ketulusan (http://www.lontarmadura.com/). Kesetiaan, loyalitas, rasa persaudaraa dan
kesetiakawanan pasti dimiliki oleh setiap individu (suku Madura) di tanah rantau. Itu
menjadi modal sosial bagi suku Madura di tanah rantau. Bagi mereka akan lebih
mudah apabila di tanah rantau bekerja dengan sesama suku. Hal itu dikarenakan rasa
saling percaya (trust) dan solidaritas yang begitu kental mendarah daging dalam diri
mereka.

Rasa solidaritas dan modal sosial suku Madura tidak dapat diragukan lagi.
Dibelahan bumi pertiwi manapun terdapat suku Madura yang merantau. Mereka
cenderung membentuk sebuah komunitas di tanah perantauan. Komunitas tersebut
terbentuk atas dasar rasa primordialisme yang sangat tinggi. Jantung dari komunitas
yang dibentuk adalah solidaritas sosial yang terjalin antar mereka. Rasa solidaritas

yang tumbuh juga berlatar belakang dari kebudayaan Madura.
“Tanean Lanjheng, Pemupuk Solidaritas”
Pulau Madura yang terletak diujung timur Jawa ini memiliki sejuta pesona
alam, kebudayaan dan keunikan sukunya. Madura begitu kaya akan kultur, tradisi
serta dikenal memiliki sisi religious yang tinggi. Pulau yang dikenal dengan sebutan
pulau garam ini, memiliki banyak kebudayaan. Sehingga tidak mengherankan jika
banyak wisatawan asing berkunjung untuk sekedar berwisata bahkan melakukan riset
kebudayaan di Madura. Madura terdiri dari empat Kabupaten, yakni: Bangkalan,
Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Meskipun keempat kabupaten tersebut memiliki
beberapa perbedaan dari segi bahasa, namun secara keseluruhan kultur yang dimiliki
sama. Selain itu kekuatan solidaritas sosial sebagai orang Madura tetap mereka
pegang teguh.
Kebudayaan di Madura memegang peranan penting dalam merekatkan tali
solidaritas sosial antar sesama suku. Itu tampak dari salah satu tradisi yang ada di
Madura yakni “Tanean Lanjheng”. Tradisi Tanean Lanjheng ini merupakan sebuah
symbol eratnya kekerabatan dan kekeluargaan masyarakat Madura. “Tanean
Lanjheng” memiliki arti halaman yang panjang. Dalam tradisi Madura, bentuk
pemukiman (rumah) berjejer rapi memanjang dengan satu halaman. Permukiman
tradisional Madura adalah kumpulan dari beberapa rumah yang terdiri atas beberapa
kepala keluarga yang masih terikat dalam suatu ikatan keluarga, Letaknya susunan

rumahnya pun terbilang cukup dekat antara rumah satu dan rumah lainnya, Biasanya
hanya dibatasi oleh pakarangan (kalau dalam bahasa indonesia biasanya disebut
pekarangan) atau sumur, sumur itupun terdapat suatu filosofi tersendiri yaitu berarti

kebersamaan dan gotong royong (http://plat-m.com). Halaman yang memanjang
menjadi pusat berbagai kegiatan yang biasanya dilakukan bersama, seperti menjemur
hasil panen, tempat bermain anak-anak, tempat diadakannya hajatan dan pengajian.
Semua kegiatan tersebut lambat laun semakin mempererat tali persaudaraan antar
sesama.
Adanya konsep pemukiman “Tanean Lanjheng” ini memberikan kita
pemahaman sekaligus menagajak masyarakat Madura untuk senantiasa memupuk
rasa solidaritas. Melalui salah satu kearifan local budaya ini, masyarakat Madura
sejak kecil telah dibiasakan untuk hidup dan saling berinteraksi memupuk rasa
solidaritas antar sesame. Bukanlah menjadi sebuah hal, apabila masyarakat Madura
memiliki keterikatan dan rasa primordialisme tinggi sesama sukunya terlebih di tanah
rantau. Lalu bagaimana dengan solidaritas masyarakat Madura di tanah garam saat
ini?
Pudarnya Solidaritas Ditanah Garam
Pesona pulau garam ini tetap terpancar elok, namun lambat laun cahaya yang
berpendar menyiratkan bias. Kebudayaan, Kereligiusan serta Kekuatan Solidaritas

mulai memancarkan cahaya yang tampak buram. Dari kejauhan, pulau Madura tidak
kehilangan pesonanya, namun bila dilihat secara dekat, maka kita akan mengetahui
betapa solidaritas semakin saja terkikis. Adanya konflik beberapa waktu lalu ditanah
garam ini telah membuktikan bahwa budaya “Tanean Lanjheng” hanya menjadi
sebuah cerita lalu. Budaya yang tak membekas bagi masyarakat zaman sekarang dan
cenderung luntur oleh zaman.
Esensi filosofi “Tanean Lanjheng” mulai pudar oleh keganasan api konflik
yang terjadi. Rasa solidaritas sosial masyarakat Madura tak sehangat dan seerat dulu.
Semuanya terbakar oleh api emosi, kepentingan terselubung dan rasa individualitas
yang mulai dimiliki oleh masyarakat Madura saat ini. Bom konflik yang terjadi
memporak-porandakan nilai-nilai solidaritas dalam masyarakat. Hal itu semakin jelas
terjadi ketika konflik terjadi di tanah garam ini.

Tahun ini Madura kembali diguncang oleh konflik yang terjadi antar kaum
Sunni dan Syiah. Konflik ini sejenak menjadi perhatian publik, karena melibatkan
dua aliran agama yang ada di Sampang. Aksi pembakaran pemukiman salah satu dari
kelompok yang berkonflik tersebutpun terjadi. Ini menjadi hal yang sangat
disayangkan sekali, mengingat masyarakat Madura yang religius sangat menjunjung
tinggi rasa solidaritas antar sesama. Seperti dilansir media berita online bbc
enyatakan bahwasanya penyebab konflik berawal dari masalah keluarga, kemudian

merembet pada politik. Ada salah satu pihak yang mulai menjelek-jelekkan agama
Syiah,

sehingga

permasalahanpun

meruncing

pada

konflik

antar

mazhab

(http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus). Latar belakang konflik yang masih
paradox tetap saja menunjukkan adanya disintegrasi. Rasa solidaritas sosial mulai
memudar di tanah garam ini.

Pudarnya solidaritas tidak hanya terjadi di daerah yang berkonflik, namun
juga di bagian daerah Madura yang lain. Pudarnya solidaritas tersebut tercermin dari
berbagai sudut pandang. Untuk hal-hal yang sederhana saja, masyarakat Madura di
daerah kota saat ini mulai bersikap individualis dan mengarah pada sikap apatis
terhadap lingkungan sekitar. Meskipun daerah perkotaan masih nampak berjejer
pemukiman dengan konsep “Tanean Lanjheng”. Itu semua tidak menghalangi
terjadinya perubahan yang mulai mengrogoti makna dan solidaritas sosial. “Tanean
Lanjheng” hanyalah symbol yang mulai kehilangan pamornya dalam kehidupan
masyarakat Madura.
Sebenarnya tidak dapat dipungkiri bahwasanya hidup didalam masyarakat
pasti selalu ada dinamika dan keberagaman. Keberagaman tersebut kerap kali
menjadi boomerang apabila setiap individu tidak saling menghargai, cenderung egois
akan kepentingannya sendiri dan mengesampingkan nilai-nilai solidaritas bersama.
Namun dibalik itu semua kita harus selalu kritis menelaah lebih lanjut penyebab
utama runtuhnya solidaritas sosial saat ini.
Modernitas Menggrogoti Solidaritas

Era globalalisasi saat ini membuka peluang bagi masuknya pengaruh asing
tanpa adanya filter. Pengaruh asing tersebut seolah menggiring modernitas untuk
masuk lebih dalam lagi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Modernitas

tampak sangat ideal dimata masyarakat, namun mereka tidak tahu akan bahaya sang
panser raksasa ini. Menurut Giddens kehidupan kolektif modern ibarat panser raksasa
yang tengah melaju hingga taraf tertentu bias dikemudikan, tetapi juga terancam akan
lepas kendali hingga menyebabkan dirinya hancur lebur (Ritzer, George. 2011: 553).
Modernitas sebenarnya mengendalikan setiap individu. Oleh karena itu, seorang
individu tak dapat mengontrol dirinya sendiri sehingga cederung mengikuti
permainan dari modernitas sendiri.
Dunia modernitas yang selalu mengalami perkembangan, menuntut setiap
individu untuk selalu menyesuaikan dan bersaing dengan individu lainnya agar tetap
bertahan. Oleh karena itu timbullah sikap individual yang sangat tinggi dikalangan
masyarakat saat ini. Sikap individual dan penyesuaian diri setiap individu akan
modernitas medorong mereka bersikap egois. Semua itu pada akhirnya membawa
mereka pada sikap apatis terhadap lingkungannya dan masyarakat lain. Disinilah
pesona solidaritas mulai memudar.
Apabila kembali pada konsep kebudayaan Tanean Lanjheng, jelas adanya
modenitas menggerus makna dan filosofi dari kebudayaan tersebut. Tanean lanjheng
hanyalah sederetan pemukiman tanpa arti lagi saat ini. Contoh sederhananya, di era
modernitas teknologi semakin berkembang mendorong menjamurnya berbagai alat
komunikasi dan media elektronik lainnya. Salah satu rutinitas atau kegiatan yang
kerap kali dilakukan oleh masyarakat Madura khusunya di pemukiman “Tanean

Lanjheng” adalah mengobrol antar sesame. Namun kegiatan tersebut saat ini telah
jarang dilakukan. Mayoritas orang lebih memilih sibuk mengoperasikan gadget
mereka didalam rumah atau bahkan asyik menonton televisi. Mereka tidak tertarik
lagi untuk sekedar mengobrol di halaman teras dengan para kerabat dan tetangga
sekitar. Rajutan benang-benang solidaritaspun semakin merenggang. Bahkan tidak
mungkin akan putus seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, tugas para generasi

muda saat ini adalah menyulut api solidaritas sosial agar kembali menghangatkan kita
dikala modernitas semakin menjerumuskan kita pada jurang disintegrasi.
Sumber:
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Ritzer, George. 2011. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
Wiyata, Latief. A. 2012. Memahami Perilaku Budaya Orang Madura. Online
(http://www.lontarmadura.com) diakses tanggal 10 Desember 2013.
Ahsan, Agung F. 2012. Tanean Lanjeng Sebuah Filosofi Sempurna dari Madura .
Online (http://plat-m.com) diakses tanggal 10 Desember 2013.
Affan, Heyder. 2013.

Konflik Keluarga, Mazhab atau Politik?. Online


(http://www.bbc.co.uk/indonesia) diakses tanggal 10 Desember 2013.