Peran Indonesia dalam Membangun Global H
Peran Indonesia dalam
Membangun Global Health Governance yang Berkeadilan ∗)
Ganjar Widhiyoga1
Pendahuluan
Masalah kesehatan sering kali dipandang sebagai masalah privat. Namun, sebenarnya pengaruh
kesehatan sebagai suatu permasalahan publik telah menyejarah. Kesehatan, meski terkait erat
dengan kondisi internal individu, memiliki efek sosial yang tidak terelakkan. Bahkan, dalam
beberapa kasus, efek ini melintasi batas negara dan menjadi sebuah fenomena global yang
mengubah sejarah.
Pada abad ke-14, kita dapat melihat fenomena penyebaran Black Death sebagai sebuah contoh
masalah kesehatan global. Wabah penyakit ini ditengarai berawal dari daerah China, kemudian
menyebar ke Mediterania, hingga memuncak di Eropa (Ziegler: 1998, 233-235). Wabah ini
merenggut 30-60% populasi dunia pada saat itu. Akibat dari wabah ini, timbul goncangan
ekonomi, sosial budaya dan keagamaan di Eropa (Nelson, 2001).
Kemajuan teknologi kesehatan ternyata tidak membuat pandemi menjadi artifak sejarah. Seiring
dengan perkembangan teknologi, penyakit-penyakit baru pun muncul menjadi sumber ancaman
bagi manusia. Pada tahun 1918-1920, dunia dikejutkan dengan munculnya wabah Spanish flu.
Diperkirakan 50-130 juta orang meninggal dunia akibat flu ini, sementara 500 juta lainnya
terinfeksi (Knobler, Mack, Mahmoud dan Lemon, eds.: 2005, 72). Lima atau enam dekade silam,
HIV/AIDS merupakan penyakit lokal di daerah pedesaan Afrika Tengah. Namun kini, penyakit
ini telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, menelan korban hingga jutaan nyawa. Sampai
tahun 2006, HIV/AIDS telah menyebabkan kematian 20 juta jiwa di Sub-Sahara Afrika.
(Youngerman; 2008, 65). Tubercolosis masih menjadi penyakit yang menjadi momok di seluruh
dunia. Kawasan yang banyak terjadi kasus tubercolosis adalah Asia Tenggara (35%), Afrika
(30%) dan Pasifik Barat (20%). WHO melaporkan, pada tahun 2009 sekitar 1,6 juta orang
meninggal dunia akibat penyakit ini (Global Tubercolosis Control: 2010, 7).
Ketika Friedman (2007) mengatakan ‘the world is flat’, ia merujuk pada proses integrasi dunia
menjadi satu kesatuan. Tidak terbayangkan sebelumnya, bahwa efek samping dari integrasi ini
berarti penyakit semakin mudah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Hal ini dapat kita lihat pada
penyebaran SARS. Penyakit yang awalnya muncul di China ini dalam hitungan pekan menyebar
ke Hong Kong, dan akhirnya menjadi pandemi global. Tidak hanya menyerang negara-negara
dunia ketiga, SARS juga menyerang Amerika Serikat dan Kanada. WHO (2003) melaporkan,
8.273 orang terinfeksi virus ini, dengan korban meninggal mencapai 775 orang (diakses dari :
http://www.who.int/csr/sars/country/en/index.html, 18 Juni 2012).
Berbagai pandemi yang terus terjadi, hingga kasus avian flu beberapa tahun silam, merupakan
bukti bahwa masalah kesehatan tidak hanya menimpa individu, namun juga dapat berimbas pada
kepentingan publik. Bahkan, dapat berkembang menjadi masalah trans-nasional akibat tingginya
∗
) disampaikan dalam Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri (FKKLN) Kementrian Luar Negeri, di Solo, 21 Juni
2012.
1
Penulis adalah dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Slamet Riyadi Surakarta
1
tingkat mobilitas pada era global ini. Untuk itu, perlu adanya kebijakan luar negeri terkait
kesehatan, terlebih mengingat posisi Indonesia yang menjadi salah satu jalur mobilitas di tataran
global.
Global Health Governance
Globalisasi mengubah pola penyebaran penyakit dan permasalahan kesehatan dunia. Lee, Buse
dan Fustukian (2002, 6-7) mengidentifikasikan beberapa imbas globalisasi terhadap kesehatan:
a) teknologi transportasi yang murah menyebabkan mudahnya mobilitas antar-negara. Ini
membuat pandemi menjadi lebih mudah terjadi; b) eksploitasi alam membuat degradasi
lingkungan, yang berperan pada penyebaran penyakit baru atau menurunnya tingkat imunitas
manusia; c) adanya trans-national crimes seperti narkoba dan human trafficking berakibat pada
menularnya penyakit, baik via penggunaan narkoba maupun aktivitas perdagangan seks bebas; d)
krisis ekonomi global mengakibatkan melonjaknya tingkat kemiskinan dan berdampak pada
kemampuan memenuhi kebutuhan kesehatan.
Kompleksnya permasalahan kesehatan dan penanganan penyakit menuntut penanganan yang
bersifat komprehensif dan global. Upaya demikian ini kemudian disebut sebagai global health
governance. Kay dan Williams (2009, 2) menyatakan bahwa global health governance (GHG)
adalah segala upaya dan mekanisme yang dilakukan oleh aktor publik maupun privat, pada
segala level, yang bertujuan untuk mengontrol, mengurangi dan menyembuhkan penyakit.
Dodgson (2002, 6) menyebutkan bahwa GHG meliputi setiap tindakan kolektif, mulai dari
komunitas lokal, organisasi nasional, sampai pada tingkat global seperti Resolusi Dewan
Keamanan PBB.
Struktur GHG yang saat ini menguasai dunia kesehatan kita memiliki beberapa aktor kunci.
Yang pertama adalah negara. Sebagai unit utama dalam hubungan internasional, negara memiliki
peran signifikan dalam menyelesaikan masalah kesehatan ini. Sebagai bagian dari komitmen
untuk terus meningkatkan kesehatan masyarakat, negara-negara anggota PBB mengadopsi
Millenium Development Goals (MDGs). Tiga dari delapan tujuan MDGs secara langsung terkait
dengan kesehatan, yakni Tujuan 4 : Mengurangi Angka Kematian Anak; Tujuan 5 :
Meningkatkan Kesehatan Ibu; Tujuan 6 : Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Lain.
Sumber : Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Oktober 2008
2
Aktor kedua adalah lembaga internasional, terutama yang bergerak di bidang kesehatan. WHO
merupakan aktor utama penggerak global health governance. Meski demikian, tidak menutup
kemungkinan organisasi internasional lain memiliki peran dalam GHG.
Aktor ketiga adalah perusahaan, terutama perusahaan yang mampu memproduksi obat, vaksin
dan peralatan medis. Kebutuhan akan obat dan vaksin membuat aktivitas GHG tidak dapat
memisahkan diri dari perusahaan farmasi. Buse dan Walt (2000, 550) memberikan istilah akan
keterlibatan perusahaan farmasi ini sebagai Global Public-Private Partnership. Terlebih lagi,
riset dan pengembangan yang dilakukan oleh perusahan farmasilah yang menjamin adanya
inovasi dalam pengobatan. (Wang: 2009, 26; 61-67).
Kritik terhadap GHG
Kritik terhadap GHG berpusat pada kegagalan GHG menyediakan pelayanan kesehatan bagi
seluruh warga dunia. Ada beberapa hal yang disinyalir menyebabkan kegagalan ini seperti
kurangnya political will aktor-aktor dalam GHG, bangun GHG yang tidak berkesinambungan,
kegagalan organisasi atau kekurangan sumber dana. Namun, ada satu penjelasan lain yang
menarik untuk disimak : bagaimana struktur ekonomi neoliberal ‘bermain’ dalam GHG.
Masuknya paham neoliberalisme memunculkan commodification. Aktivitas kesehatan bukan lagi
pelayanan, melainkan barang dagangan yang memiliki nilai ekonomis tertentu. Jika seseorang
tidak mampu membayar sesuai nilai ekonomis tersebut, maka ia “tidak berhak” mendapatkan
“komoditas” kesehatan. Kata kunci kedua dalam proses neoliberalisasi kesehatan adalah proses
liberalisation. Liberalisasi menuntut agar pelayanan kesehatan diserahkan sepenuhnya pada
pasar. Meski argumen awal liberalisasi adalah untuk menjaga kompetisi dan kualitas penyediaan
layanan kesehatan, pada akhirnya liberalisasi justru akan menciptakan kesenjangan akses dan
kualitas layanan kesehatan. Si miskin tidak akan mampu mengakses layanan kesehatan dasar dan
obat-obatan (Kay dan William: 2009, 6-11).
Adanya paham neoliberalisme dalam masalah kesehatan global terlihat pada skema Global
Public-Private Partnerships (GPPP). Buce dan Walt (2000, 550) menyampaikan definisi tentang
GPPP sebagai sebuah kerja sama lintas batas negara yang melibatkan sekurang-kurangnya tiga
pihak. Salah satu pihak dalam kerja sama tersebut adalah perusahaan, sedangkan satu pihak lain
adalah organisasi internasional. Kerja sama ini untuk mencapai sebuah tujuan kesehatan tertentu,
sesuai kesepakatan bersama dan berdasarkan pada prinsip pembagian kerja.
Kritik terhadap GPPP muncul dalam beberapa argumen. Pertama, hubungan antara sektor publik
dan privat semacam ini, di mana privat memberikan donasi, dana untuk penelitian atau kerja
sama ekonomi, berpotensi menghancurkan integritas lembaga publik. Kedua, adanya kerja sama
ini memungkinkan perusahaan memberikan ‘pesan titipan’ pada para pemangku kebijakan.
Ketiga, perusahaan farmasi yang diajak bekerja sama sebagian besar berada di negara maju. Ini
membuat sumbangan saran dari perusahaan farmasi bias, karena tidak (atau kurang) mewakili
suara dari negara miskin dan berkembang. Kesimpulan dari ketiga argumen ini adalah, program
GPPP sering kali tidak berdasarkan pada kepentingan riil, melainkan pada kepentingan donor
(Johnson: 2011, 174-175). Bahkan, bisa saja GPPP ini justru merugikan negara miskin dan
berkembang karena menyedot sumber daya yang dimilikinya (Garret: 2007).
3
Akibat “proyek pesanan donor” ini, keuntungan perusahaan farmasi selalu meningkat dari tahun
ke tahun (Wang: 2009, 25). Pada tahun 2003, penjualan obat menggunakan resep meningkat 7%
di seluruh dunia, mencapai US$ 602 miliar. Pada tahun tersebut, perusahaan-perusahaan farmasi
besar dunia mendapatkan untung di atas US$ 20 juta. (IMS Report, 17 Februari 2004).
Meski mendapatkan keuntungan melimpah, perusahaan farmasi masih merasa “terhambat”
dengan aturan yang dirasakan semakin mengikat. Setidaknya ada empat “hambatan” yang
dirasakan perusahaan farmasi dalam aturan-aturan mengenai obat, yakni keamanan, efektivitas,
kualitas dan efisiensi harga (Wang: 2009, 33).
Dukungan terhadap semangat pemburuan rente oleh perusahaan farmasi global ini tidak hanya
muncul dari proyek penelitian farmakologi. Penelitian yang dilakukan Lee, Buse dan Fustukian
(2002, 29-34) menunjukkan bahwa multilateral trade agreements (MTA) WTO ternyata banyak
berpengaruh terhadap GHG. Sebagai contoh, perjanjian Trade-Related aspects of Intellectual
Property Rights (TRIPS) memiliki imbas pada perdagangan obat dan vaksin. Adanya TRIPS
membuat harga obat dan vaksin menjadi lebih mahal. Akibatnya, negara-negara miskin dan
berkembang tidak mampu mengkonsumsi obat dan vaksin untuk kesehatan mereka. (Dreyfuss:
2010, 35-55). Data UNDP tahun 1999 menunjukkan bahwa 75% penduduk dunia hidup di
negara berkembang/miskin, dan hanya mengkonsumsi 14% dari produksi obat dan vaksin dunia.
Lebih lagi, 80% pabrik produsen obat dan vaksin berada di negara-negara maju. Dengan
demikian, keuntungan yang muncul dari TRIPS secara eksklusif akan mengalir ke negara-negara
maju.
Peran Indonesia : Membangun GHG yang Berkeadilan
Saat menyadari bahwa kondisi rezim kesehatan global saat ini tidaklah ideal, pemerintah
Indonesia perlu menjadi kekuatan transformatif. Indonesia perlu menjadi aktor pengusung nilainilai kemanusiaan. Bagaimana pun, kesehatan terkait langsung dengan hajat hidup seorang
manusia. Untuk itu, masalah kesehatan tidak dapat dipertukarkan dengan nilai ekonomi atau
kemampuan finansial seseorang untuk membeli obat dan vaksin. Terlebih, secara filosofis
Indonesia memiliki mandat melalui Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 untuk terus
menegakkan “ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial”.
Untuk melaksanakan proses transformasi menuju global health governance yang berkeadilan ini,
ada beberapa langkah yang penulis rekomendasikan :
Pertama, terus memperjuangkan keterbukaan dalam berbagai hal yang menyangkut masalah
kesehatan. Indonesia perlu mempelopori kajian khusus terkait kesehatan global dalam setiap
keputusan lembaga multinasional yang diikutinya. Keterbukaan akan akses informasi kesehatan,
tiadanya biaya tambahan atau aturan penghalang bagi obat, vaksin dan alat medis, serta perlunya
bantuan, hibah atau kondisi khusus bagi negara-negara miskin dan/atau berkembang merupakan
tiga hal yang harus terus Indonesia perjuangkan dalam tataran multinasional.
Kembali menggarisbawahi, kesenjangan akses terhadap kesehatan tercipta tidak hanya karena
political will pada issue kesehatan, namun juga karena struktur neoliberalisme dunia. Dengan
4
demikian, perjuangan ini “tidak hanya” pada lingkup WHO, namun pada semua organisasi
multinasional yang Indonesia menjadi anggota, termasuk WTO, PBB dan sebagainya. Delegasi
Indonesia perlu mencermati setiap keputusan yang ada dalam perspektif global health. Juga
utama adalah Indonesia harus terus berupaya untuk mencegah konsumerisme kesehatan. Dengan
demikian, akses pada kesehatan akan tersedia untuk negara kaya, berkembang maupun miskin.
Kedua, Indonesia perlu mengupayakan produksi dan distribusi obat, vaksin dan peralatan
kesehatan yang murah. Sebagaimana telah disampaikan pada paparan di atas, sebanyak 80%
produsen farmasi berada di negara-negara industri maju. Ketimpangan ini harus mulai
diseimbangkan.
Indonesia perlu menjadi inisiator program pengupayaan sarana kesehatan yang murah. Langkahlangkah yang dapat Indonesia lakukan adalah mengupayakan kerja sama antar-negara dunia
ketiga dalam bidang :
a) Joint research laboratory
b) Joint pharmaceutical company
Penulis mengidentifikasi ada dua kekuatan yang dapat menjadi rekanan Indonesia dalam merintis
obat murah bagi semua ini. Yang pertama adalah ASEAN. Sebagai kawasan dengan lintas
mobilitas barang dan manusia yang sangat tinggi, ASEAN memiliki tingkat kerentanan terhadap
pandemi. Kondisi ini terlihat pada kasus SARS dan flu burung.
Yang kedua, Islamic Development Bank. IDB memiliki dana dari negara-negara Timur Tengah
yang kaya minyak. Namun selama ini, dana IDB belum tersalurkan pada industri farmasi. Untuk
itu, Indonesia perlu menjadi motor penggerak tercapainya joint research laboratory dan joint
pharmaceutical company dengan dana dari IDB. IDB tentu memiliki kepentingan akan akses
terhadap obat, vaksin dan peralatan medis murah mengingat sebagian anggota IDB masih
tergolong negara berkembang.
Ketiga, menjadi pusat diskursus GHG dengan melakukan banyak kajian. Kajian-kajian penting
untuk meningkatkan awareness terhadap masalah kesehatan dunia dan ketidakadilan sistemik
yang selama ini terjadi. Kajian ini juga berperan sebagai sarana diseminasi ide akan GHG yang
berkeadilan yang dipromosikan oleh Indonesia. Adanya kajian-kajian ini akan menjadi dasar
ilmiah bagi tuntutan Indonesia untuk perbaikan regulasi global.
Selain itu, sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim dan negara demokrasi besar,
Indonesia memiliki standing position yang unik di dunia. Posisi ini harus dimanfaatkan
Indonesia untuk menjadi pemimpin dalam aneka issue kontemporer, terutama yang melibatkan
komunitas umat beragama. Masalah yang hangat diperbincangkan adalah penyediaan vaksin
halal. Indonesia perlu menjadi pelopor dalam bidang ini, baik sebagai kekuatan penekan industri
farmasi global, maupun sebagai produsen vaksin halal skala internasional melalui joint project
dengan mitranya.
5
Penutup
Masalah kesehatan menjadi sangat penting karena selain berpengaruh terhadap individu juga
dapat menimbulkan pandemi yang berskala global. Hal yang saat ini mengganggu perwujudan
kesehatan bagi semua adalah adanya upaya neoliberalisasi kesehatan dengan commodification
dan liberalisation produk kesehatan. Neoliberalisasi kesehatan ini menimbulkan kesenjangan
akses dan kualitas layanan kesehatan. Mayoritas penduduk dunia yang berada di negara miskin
dan berkembang tidak memiliki akses ke layanan kesehatan dasar, apalagi obat-obatan.
Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus terus mengadopsi politik luar negeri yang mendukung
terciptanya global health governance yang berkeadilan. Pemerintah Indonesia setidaknya dapat
melakukan tiga strategi. Pertama, mendorong perbaikan regulasi di lembaga internasional yang
selama ini cenderung melanggengkan neoliberalisasi kesehatan. Kedua, mengupayakan pendirian
perusahaan farmasi yang mendukung pemerataan akses kesehatan melalui kemitraan dengan
ASEAN atau IDB. Ketiga, menjadi pusat kajian epistemik terkait global health governance.
Daftar Pustaka
Buse, K., & Walt, G. (2000). “Global public–private partnerships: Part I—A new development in
health”. Bulletin World Health Organization, 78(4).
Dodgson, R., Lee K. dan Drager, N. (2002). ‘Global Health Governance: A Conceptual Review’.
LSHTM/WHO Discussion Paper No. 1. February.
Dreyfuss, R. C., “TRIPS and essential medicines: must one size fit all? Making the WTO
responsive to the global health crisis.” dalam Pogge, T., Rimmer, M., Rubenstein, K.
(2010). Cambridge: Cambridge University Press.
Friedman, Thomas L. (2007). The World is Flat. Third Edition. New York: Picador.
Garrett, L. (2007). The challenge of global health. Foreign affairs.
http://www.foreignaffairs.com/articles/62268/laurie-garrett/the-challenge-of-globalhealth, diakses pada 18 Juni 2012.
IMS Reports. 17 February 2004. “11.5 Percent Dollar Growth in ’03 U.S. Prescription Sales”.
Johnson, S. A. (2011). Challenges in Health and Development : From Global to Community
Perspectives. Springer.
Kay, A. dan Williams, O. (ed) (2009). Global Health Governance : Crisis, Institutions and
Political Economy. Hampshire: Palgrave Macmillan.
Knobler, Stacey L., Mack, A., Mahmoud, A., dan Lemon, Stanley M. eds. (2005). Threat of
Pandemic Influenza: Are We Ready? Workshop Summary. Washington, D.C.: National
Academies Press.
Lee, K., Buse, K. dan Fustukian, S. (2002). Health Policy in a Globalising World. Cambridge:
Cambridge University Press.
Nelson (2001). “The Great Famine and the Black Death.” http://www.vlib.us/medieval/lectures/,
diakses pada 18 Juni 2012.
UNDP. 1999. Human development report 1999: globalization with a human face. New York:
Oxford University Press for the United Nations Development Programme.
6
Wang, Mei Ling (2009). Global Health Partnership : The Pharmaceutical Industry and BRICA.
Hampshire: Palgrave Macmillan.
WHO (2010). Global Tubercolosis Control.
Youngerman, B. (2008). Pandemics and Global Health. New York: Infobase Publishing.
Ziegler, P. (1998). The Black Death. Penguin Books.
7
Membangun Global Health Governance yang Berkeadilan ∗)
Ganjar Widhiyoga1
Pendahuluan
Masalah kesehatan sering kali dipandang sebagai masalah privat. Namun, sebenarnya pengaruh
kesehatan sebagai suatu permasalahan publik telah menyejarah. Kesehatan, meski terkait erat
dengan kondisi internal individu, memiliki efek sosial yang tidak terelakkan. Bahkan, dalam
beberapa kasus, efek ini melintasi batas negara dan menjadi sebuah fenomena global yang
mengubah sejarah.
Pada abad ke-14, kita dapat melihat fenomena penyebaran Black Death sebagai sebuah contoh
masalah kesehatan global. Wabah penyakit ini ditengarai berawal dari daerah China, kemudian
menyebar ke Mediterania, hingga memuncak di Eropa (Ziegler: 1998, 233-235). Wabah ini
merenggut 30-60% populasi dunia pada saat itu. Akibat dari wabah ini, timbul goncangan
ekonomi, sosial budaya dan keagamaan di Eropa (Nelson, 2001).
Kemajuan teknologi kesehatan ternyata tidak membuat pandemi menjadi artifak sejarah. Seiring
dengan perkembangan teknologi, penyakit-penyakit baru pun muncul menjadi sumber ancaman
bagi manusia. Pada tahun 1918-1920, dunia dikejutkan dengan munculnya wabah Spanish flu.
Diperkirakan 50-130 juta orang meninggal dunia akibat flu ini, sementara 500 juta lainnya
terinfeksi (Knobler, Mack, Mahmoud dan Lemon, eds.: 2005, 72). Lima atau enam dekade silam,
HIV/AIDS merupakan penyakit lokal di daerah pedesaan Afrika Tengah. Namun kini, penyakit
ini telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, menelan korban hingga jutaan nyawa. Sampai
tahun 2006, HIV/AIDS telah menyebabkan kematian 20 juta jiwa di Sub-Sahara Afrika.
(Youngerman; 2008, 65). Tubercolosis masih menjadi penyakit yang menjadi momok di seluruh
dunia. Kawasan yang banyak terjadi kasus tubercolosis adalah Asia Tenggara (35%), Afrika
(30%) dan Pasifik Barat (20%). WHO melaporkan, pada tahun 2009 sekitar 1,6 juta orang
meninggal dunia akibat penyakit ini (Global Tubercolosis Control: 2010, 7).
Ketika Friedman (2007) mengatakan ‘the world is flat’, ia merujuk pada proses integrasi dunia
menjadi satu kesatuan. Tidak terbayangkan sebelumnya, bahwa efek samping dari integrasi ini
berarti penyakit semakin mudah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Hal ini dapat kita lihat pada
penyebaran SARS. Penyakit yang awalnya muncul di China ini dalam hitungan pekan menyebar
ke Hong Kong, dan akhirnya menjadi pandemi global. Tidak hanya menyerang negara-negara
dunia ketiga, SARS juga menyerang Amerika Serikat dan Kanada. WHO (2003) melaporkan,
8.273 orang terinfeksi virus ini, dengan korban meninggal mencapai 775 orang (diakses dari :
http://www.who.int/csr/sars/country/en/index.html, 18 Juni 2012).
Berbagai pandemi yang terus terjadi, hingga kasus avian flu beberapa tahun silam, merupakan
bukti bahwa masalah kesehatan tidak hanya menimpa individu, namun juga dapat berimbas pada
kepentingan publik. Bahkan, dapat berkembang menjadi masalah trans-nasional akibat tingginya
∗
) disampaikan dalam Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri (FKKLN) Kementrian Luar Negeri, di Solo, 21 Juni
2012.
1
Penulis adalah dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Slamet Riyadi Surakarta
1
tingkat mobilitas pada era global ini. Untuk itu, perlu adanya kebijakan luar negeri terkait
kesehatan, terlebih mengingat posisi Indonesia yang menjadi salah satu jalur mobilitas di tataran
global.
Global Health Governance
Globalisasi mengubah pola penyebaran penyakit dan permasalahan kesehatan dunia. Lee, Buse
dan Fustukian (2002, 6-7) mengidentifikasikan beberapa imbas globalisasi terhadap kesehatan:
a) teknologi transportasi yang murah menyebabkan mudahnya mobilitas antar-negara. Ini
membuat pandemi menjadi lebih mudah terjadi; b) eksploitasi alam membuat degradasi
lingkungan, yang berperan pada penyebaran penyakit baru atau menurunnya tingkat imunitas
manusia; c) adanya trans-national crimes seperti narkoba dan human trafficking berakibat pada
menularnya penyakit, baik via penggunaan narkoba maupun aktivitas perdagangan seks bebas; d)
krisis ekonomi global mengakibatkan melonjaknya tingkat kemiskinan dan berdampak pada
kemampuan memenuhi kebutuhan kesehatan.
Kompleksnya permasalahan kesehatan dan penanganan penyakit menuntut penanganan yang
bersifat komprehensif dan global. Upaya demikian ini kemudian disebut sebagai global health
governance. Kay dan Williams (2009, 2) menyatakan bahwa global health governance (GHG)
adalah segala upaya dan mekanisme yang dilakukan oleh aktor publik maupun privat, pada
segala level, yang bertujuan untuk mengontrol, mengurangi dan menyembuhkan penyakit.
Dodgson (2002, 6) menyebutkan bahwa GHG meliputi setiap tindakan kolektif, mulai dari
komunitas lokal, organisasi nasional, sampai pada tingkat global seperti Resolusi Dewan
Keamanan PBB.
Struktur GHG yang saat ini menguasai dunia kesehatan kita memiliki beberapa aktor kunci.
Yang pertama adalah negara. Sebagai unit utama dalam hubungan internasional, negara memiliki
peran signifikan dalam menyelesaikan masalah kesehatan ini. Sebagai bagian dari komitmen
untuk terus meningkatkan kesehatan masyarakat, negara-negara anggota PBB mengadopsi
Millenium Development Goals (MDGs). Tiga dari delapan tujuan MDGs secara langsung terkait
dengan kesehatan, yakni Tujuan 4 : Mengurangi Angka Kematian Anak; Tujuan 5 :
Meningkatkan Kesehatan Ibu; Tujuan 6 : Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Lain.
Sumber : Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Oktober 2008
2
Aktor kedua adalah lembaga internasional, terutama yang bergerak di bidang kesehatan. WHO
merupakan aktor utama penggerak global health governance. Meski demikian, tidak menutup
kemungkinan organisasi internasional lain memiliki peran dalam GHG.
Aktor ketiga adalah perusahaan, terutama perusahaan yang mampu memproduksi obat, vaksin
dan peralatan medis. Kebutuhan akan obat dan vaksin membuat aktivitas GHG tidak dapat
memisahkan diri dari perusahaan farmasi. Buse dan Walt (2000, 550) memberikan istilah akan
keterlibatan perusahaan farmasi ini sebagai Global Public-Private Partnership. Terlebih lagi,
riset dan pengembangan yang dilakukan oleh perusahan farmasilah yang menjamin adanya
inovasi dalam pengobatan. (Wang: 2009, 26; 61-67).
Kritik terhadap GHG
Kritik terhadap GHG berpusat pada kegagalan GHG menyediakan pelayanan kesehatan bagi
seluruh warga dunia. Ada beberapa hal yang disinyalir menyebabkan kegagalan ini seperti
kurangnya political will aktor-aktor dalam GHG, bangun GHG yang tidak berkesinambungan,
kegagalan organisasi atau kekurangan sumber dana. Namun, ada satu penjelasan lain yang
menarik untuk disimak : bagaimana struktur ekonomi neoliberal ‘bermain’ dalam GHG.
Masuknya paham neoliberalisme memunculkan commodification. Aktivitas kesehatan bukan lagi
pelayanan, melainkan barang dagangan yang memiliki nilai ekonomis tertentu. Jika seseorang
tidak mampu membayar sesuai nilai ekonomis tersebut, maka ia “tidak berhak” mendapatkan
“komoditas” kesehatan. Kata kunci kedua dalam proses neoliberalisasi kesehatan adalah proses
liberalisation. Liberalisasi menuntut agar pelayanan kesehatan diserahkan sepenuhnya pada
pasar. Meski argumen awal liberalisasi adalah untuk menjaga kompetisi dan kualitas penyediaan
layanan kesehatan, pada akhirnya liberalisasi justru akan menciptakan kesenjangan akses dan
kualitas layanan kesehatan. Si miskin tidak akan mampu mengakses layanan kesehatan dasar dan
obat-obatan (Kay dan William: 2009, 6-11).
Adanya paham neoliberalisme dalam masalah kesehatan global terlihat pada skema Global
Public-Private Partnerships (GPPP). Buce dan Walt (2000, 550) menyampaikan definisi tentang
GPPP sebagai sebuah kerja sama lintas batas negara yang melibatkan sekurang-kurangnya tiga
pihak. Salah satu pihak dalam kerja sama tersebut adalah perusahaan, sedangkan satu pihak lain
adalah organisasi internasional. Kerja sama ini untuk mencapai sebuah tujuan kesehatan tertentu,
sesuai kesepakatan bersama dan berdasarkan pada prinsip pembagian kerja.
Kritik terhadap GPPP muncul dalam beberapa argumen. Pertama, hubungan antara sektor publik
dan privat semacam ini, di mana privat memberikan donasi, dana untuk penelitian atau kerja
sama ekonomi, berpotensi menghancurkan integritas lembaga publik. Kedua, adanya kerja sama
ini memungkinkan perusahaan memberikan ‘pesan titipan’ pada para pemangku kebijakan.
Ketiga, perusahaan farmasi yang diajak bekerja sama sebagian besar berada di negara maju. Ini
membuat sumbangan saran dari perusahaan farmasi bias, karena tidak (atau kurang) mewakili
suara dari negara miskin dan berkembang. Kesimpulan dari ketiga argumen ini adalah, program
GPPP sering kali tidak berdasarkan pada kepentingan riil, melainkan pada kepentingan donor
(Johnson: 2011, 174-175). Bahkan, bisa saja GPPP ini justru merugikan negara miskin dan
berkembang karena menyedot sumber daya yang dimilikinya (Garret: 2007).
3
Akibat “proyek pesanan donor” ini, keuntungan perusahaan farmasi selalu meningkat dari tahun
ke tahun (Wang: 2009, 25). Pada tahun 2003, penjualan obat menggunakan resep meningkat 7%
di seluruh dunia, mencapai US$ 602 miliar. Pada tahun tersebut, perusahaan-perusahaan farmasi
besar dunia mendapatkan untung di atas US$ 20 juta. (IMS Report, 17 Februari 2004).
Meski mendapatkan keuntungan melimpah, perusahaan farmasi masih merasa “terhambat”
dengan aturan yang dirasakan semakin mengikat. Setidaknya ada empat “hambatan” yang
dirasakan perusahaan farmasi dalam aturan-aturan mengenai obat, yakni keamanan, efektivitas,
kualitas dan efisiensi harga (Wang: 2009, 33).
Dukungan terhadap semangat pemburuan rente oleh perusahaan farmasi global ini tidak hanya
muncul dari proyek penelitian farmakologi. Penelitian yang dilakukan Lee, Buse dan Fustukian
(2002, 29-34) menunjukkan bahwa multilateral trade agreements (MTA) WTO ternyata banyak
berpengaruh terhadap GHG. Sebagai contoh, perjanjian Trade-Related aspects of Intellectual
Property Rights (TRIPS) memiliki imbas pada perdagangan obat dan vaksin. Adanya TRIPS
membuat harga obat dan vaksin menjadi lebih mahal. Akibatnya, negara-negara miskin dan
berkembang tidak mampu mengkonsumsi obat dan vaksin untuk kesehatan mereka. (Dreyfuss:
2010, 35-55). Data UNDP tahun 1999 menunjukkan bahwa 75% penduduk dunia hidup di
negara berkembang/miskin, dan hanya mengkonsumsi 14% dari produksi obat dan vaksin dunia.
Lebih lagi, 80% pabrik produsen obat dan vaksin berada di negara-negara maju. Dengan
demikian, keuntungan yang muncul dari TRIPS secara eksklusif akan mengalir ke negara-negara
maju.
Peran Indonesia : Membangun GHG yang Berkeadilan
Saat menyadari bahwa kondisi rezim kesehatan global saat ini tidaklah ideal, pemerintah
Indonesia perlu menjadi kekuatan transformatif. Indonesia perlu menjadi aktor pengusung nilainilai kemanusiaan. Bagaimana pun, kesehatan terkait langsung dengan hajat hidup seorang
manusia. Untuk itu, masalah kesehatan tidak dapat dipertukarkan dengan nilai ekonomi atau
kemampuan finansial seseorang untuk membeli obat dan vaksin. Terlebih, secara filosofis
Indonesia memiliki mandat melalui Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 untuk terus
menegakkan “ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial”.
Untuk melaksanakan proses transformasi menuju global health governance yang berkeadilan ini,
ada beberapa langkah yang penulis rekomendasikan :
Pertama, terus memperjuangkan keterbukaan dalam berbagai hal yang menyangkut masalah
kesehatan. Indonesia perlu mempelopori kajian khusus terkait kesehatan global dalam setiap
keputusan lembaga multinasional yang diikutinya. Keterbukaan akan akses informasi kesehatan,
tiadanya biaya tambahan atau aturan penghalang bagi obat, vaksin dan alat medis, serta perlunya
bantuan, hibah atau kondisi khusus bagi negara-negara miskin dan/atau berkembang merupakan
tiga hal yang harus terus Indonesia perjuangkan dalam tataran multinasional.
Kembali menggarisbawahi, kesenjangan akses terhadap kesehatan tercipta tidak hanya karena
political will pada issue kesehatan, namun juga karena struktur neoliberalisme dunia. Dengan
4
demikian, perjuangan ini “tidak hanya” pada lingkup WHO, namun pada semua organisasi
multinasional yang Indonesia menjadi anggota, termasuk WTO, PBB dan sebagainya. Delegasi
Indonesia perlu mencermati setiap keputusan yang ada dalam perspektif global health. Juga
utama adalah Indonesia harus terus berupaya untuk mencegah konsumerisme kesehatan. Dengan
demikian, akses pada kesehatan akan tersedia untuk negara kaya, berkembang maupun miskin.
Kedua, Indonesia perlu mengupayakan produksi dan distribusi obat, vaksin dan peralatan
kesehatan yang murah. Sebagaimana telah disampaikan pada paparan di atas, sebanyak 80%
produsen farmasi berada di negara-negara industri maju. Ketimpangan ini harus mulai
diseimbangkan.
Indonesia perlu menjadi inisiator program pengupayaan sarana kesehatan yang murah. Langkahlangkah yang dapat Indonesia lakukan adalah mengupayakan kerja sama antar-negara dunia
ketiga dalam bidang :
a) Joint research laboratory
b) Joint pharmaceutical company
Penulis mengidentifikasi ada dua kekuatan yang dapat menjadi rekanan Indonesia dalam merintis
obat murah bagi semua ini. Yang pertama adalah ASEAN. Sebagai kawasan dengan lintas
mobilitas barang dan manusia yang sangat tinggi, ASEAN memiliki tingkat kerentanan terhadap
pandemi. Kondisi ini terlihat pada kasus SARS dan flu burung.
Yang kedua, Islamic Development Bank. IDB memiliki dana dari negara-negara Timur Tengah
yang kaya minyak. Namun selama ini, dana IDB belum tersalurkan pada industri farmasi. Untuk
itu, Indonesia perlu menjadi motor penggerak tercapainya joint research laboratory dan joint
pharmaceutical company dengan dana dari IDB. IDB tentu memiliki kepentingan akan akses
terhadap obat, vaksin dan peralatan medis murah mengingat sebagian anggota IDB masih
tergolong negara berkembang.
Ketiga, menjadi pusat diskursus GHG dengan melakukan banyak kajian. Kajian-kajian penting
untuk meningkatkan awareness terhadap masalah kesehatan dunia dan ketidakadilan sistemik
yang selama ini terjadi. Kajian ini juga berperan sebagai sarana diseminasi ide akan GHG yang
berkeadilan yang dipromosikan oleh Indonesia. Adanya kajian-kajian ini akan menjadi dasar
ilmiah bagi tuntutan Indonesia untuk perbaikan regulasi global.
Selain itu, sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim dan negara demokrasi besar,
Indonesia memiliki standing position yang unik di dunia. Posisi ini harus dimanfaatkan
Indonesia untuk menjadi pemimpin dalam aneka issue kontemporer, terutama yang melibatkan
komunitas umat beragama. Masalah yang hangat diperbincangkan adalah penyediaan vaksin
halal. Indonesia perlu menjadi pelopor dalam bidang ini, baik sebagai kekuatan penekan industri
farmasi global, maupun sebagai produsen vaksin halal skala internasional melalui joint project
dengan mitranya.
5
Penutup
Masalah kesehatan menjadi sangat penting karena selain berpengaruh terhadap individu juga
dapat menimbulkan pandemi yang berskala global. Hal yang saat ini mengganggu perwujudan
kesehatan bagi semua adalah adanya upaya neoliberalisasi kesehatan dengan commodification
dan liberalisation produk kesehatan. Neoliberalisasi kesehatan ini menimbulkan kesenjangan
akses dan kualitas layanan kesehatan. Mayoritas penduduk dunia yang berada di negara miskin
dan berkembang tidak memiliki akses ke layanan kesehatan dasar, apalagi obat-obatan.
Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus terus mengadopsi politik luar negeri yang mendukung
terciptanya global health governance yang berkeadilan. Pemerintah Indonesia setidaknya dapat
melakukan tiga strategi. Pertama, mendorong perbaikan regulasi di lembaga internasional yang
selama ini cenderung melanggengkan neoliberalisasi kesehatan. Kedua, mengupayakan pendirian
perusahaan farmasi yang mendukung pemerataan akses kesehatan melalui kemitraan dengan
ASEAN atau IDB. Ketiga, menjadi pusat kajian epistemik terkait global health governance.
Daftar Pustaka
Buse, K., & Walt, G. (2000). “Global public–private partnerships: Part I—A new development in
health”. Bulletin World Health Organization, 78(4).
Dodgson, R., Lee K. dan Drager, N. (2002). ‘Global Health Governance: A Conceptual Review’.
LSHTM/WHO Discussion Paper No. 1. February.
Dreyfuss, R. C., “TRIPS and essential medicines: must one size fit all? Making the WTO
responsive to the global health crisis.” dalam Pogge, T., Rimmer, M., Rubenstein, K.
(2010). Cambridge: Cambridge University Press.
Friedman, Thomas L. (2007). The World is Flat. Third Edition. New York: Picador.
Garrett, L. (2007). The challenge of global health. Foreign affairs.
http://www.foreignaffairs.com/articles/62268/laurie-garrett/the-challenge-of-globalhealth, diakses pada 18 Juni 2012.
IMS Reports. 17 February 2004. “11.5 Percent Dollar Growth in ’03 U.S. Prescription Sales”.
Johnson, S. A. (2011). Challenges in Health and Development : From Global to Community
Perspectives. Springer.
Kay, A. dan Williams, O. (ed) (2009). Global Health Governance : Crisis, Institutions and
Political Economy. Hampshire: Palgrave Macmillan.
Knobler, Stacey L., Mack, A., Mahmoud, A., dan Lemon, Stanley M. eds. (2005). Threat of
Pandemic Influenza: Are We Ready? Workshop Summary. Washington, D.C.: National
Academies Press.
Lee, K., Buse, K. dan Fustukian, S. (2002). Health Policy in a Globalising World. Cambridge:
Cambridge University Press.
Nelson (2001). “The Great Famine and the Black Death.” http://www.vlib.us/medieval/lectures/,
diakses pada 18 Juni 2012.
UNDP. 1999. Human development report 1999: globalization with a human face. New York:
Oxford University Press for the United Nations Development Programme.
6
Wang, Mei Ling (2009). Global Health Partnership : The Pharmaceutical Industry and BRICA.
Hampshire: Palgrave Macmillan.
WHO (2010). Global Tubercolosis Control.
Youngerman, B. (2008). Pandemics and Global Health. New York: Infobase Publishing.
Ziegler, P. (1998). The Black Death. Penguin Books.
7