Proposal Penelitian Penerapan Pendekatan Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Globalisasi telah menjadi tema diskusi di kalangan pemerintah maupun
masyarakat. Respon terhadap gejala globalisasi sesungguhnya bergantung pada
bagaimana cara yang dikreasian agar tidak terjerumus dalam persaingan dunia
global tersebut. Era globalisasi yang sedang berkembang dewasa ini telah
menimbulkan dampak yang dapat dilihat secara langsung maupun tidak langsung
di masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi bukan hanya
memberikan dampak yang positif dalam memajukan berbagai bidang kehidupan.
Dampak negatif daripada era globalisasi juga menjadi permasalahan yang pelik di
sejumlah negara, khususnya negara berkembang seperti di Indonesia. Jumlah
pengangguran yang tinggi, juga menjadi salah satu dampak dari globalisasi.
Data Badan Pusat Statistik (bps.go.id, 2015) mencatat, per Februari 2015
pengangguran di Indonesia meningkat sejumlah 300ribu jiwa menjadi 7,54juta
jiwa karena perlambatan ekonomi yang melambat dari kuartal sebelumnya sebesar
4,71%. Hal ini sangat berdampak terhadap bidang kehidupan yang lain.
Meningkatnya angka kemiskinan, rendahnya taraf hidup masyarakat, dan berbagai
permasalahan sosial menjadi akibat dari tingginya angka pengangguran.
Sementara itu, data lain diperoleh dari Badan Pusat Statistik

(yogyakarta.bps.go.id, 2015) menunjukkan jumlah pengangguran terbuka di
Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai angka 4.07 persen, sementara perempuan

1

sebesar 2,59 persen. Data tersebut diperkuat dengan tabel di bawah yang
menunjukkan perbedaan angka pengangguran berdasarkan jenis kelamin dari
tahun 2009 sampai dengan 2012:
Jenis Kelamin
Umur

Perempuan
09

10

12

09


10

11

28,

28,

26,

26,

27,

28,

8
19,

6

17,

6

15,

5
15,

2
17,

5
13,

3
11,

8
11,


4

4

9

6

1

2

8,3

7,7

9,3

7,7


6,7

6,9

30-34

6,4

6,8

5,3

5,3

4,8

3,8

3,1


3,5

35-39

4,6

5,1

4,2

3,8

2,3

1,8

1,9

40-44


3,6

4,0

3,6

3

3,1

1,9

2

1,8

45-49

3


3,4

2,8

2,4

3

1,6

1,6

2,0

50-54

2,2

3


2,4

2,7

2,7

1,5

2,2

2,4

55-59

1,8

3,9

3


1,1

2,8

1,6

2,5

1,8

60-64

0,7

5,6

4

0,4


0,9

1,4

3,2

0,6

5,9

5,7

0

5

15-19
20-24
25-29

Jumlah

8,4

8,7

11

Laki-laki

30

7,6

6,7

18,

3,6
2

7,5

6,1

12
26
15

Sumber:bps.go.id tahun 2015

Berdasarkan

tabel

di

atas,

dapat

disimpulkan

bahwa

jumlah

pengangguran kaum perempuan lebih banyak daripada jumlah pengangguran lakilaki. Pengangguran di Indonesia didominasi oleh kaum perempuan. Kaum
perempuan sering dianggap tidak mampu untuk bersaing di dunia kerja, sehingga
hal tersebut menimbulkan subordinasi dan marginalisasi terhadap kaum
perempuan, dan menyempitnya kesempatan karir.
Selain itu, permasalahan lain yang berkaitan dengan tingginya angka
pengangguran adalah sempitnya lapangan pekerjaan. Jika angka pengangguran
terus naik, maka ketersediaan lapangan pekerjaan justru relatif sama. Sehingga hal

2

tersebut menyebabkan kesenjangan di masyarakat. Mau tidak mau, masyarakat
harus mampu mengembangkan dan meningatkan kompetensi yang dimiliki
sehingga dapat bersaing dalam dunia kerja. Meski begitu, tidak semua pelamar
dapat terserap oleh penyedia lapangan kerja.
Leonardus Saiman (2014: 4) menyatakan, rendahnya kesempatan kerja
yang tercipta dari setiap 1 persen pertumbuhan tidak dapat dilepaskan dari relatif
rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, meskipun pertumbuhan produktivitas
per pekerja tidak banyak berubah. Kesenjangan antara permintaan dengan
penawaran kerja ini terjadi di seluruh sektor, baik di dalam maupun di luar negeri
yang meliputi sektor industri, pertanian, pertambangan, transportasi, pariwisata,
dan lain-lain. Hal ini perlu menjadi sorotan bagi pemerintah terlebih lagi untuk
memperhatikan

penganggur

yang

tidak

terdidik,

tidak

terampil,

atau

berpendidikan rendah. Apabila pengangguran tidak terserap dalam sektor formal,
maka alternatif lain adalah pembekalan keterampilan, aksara kewirausahaan, dan
bantuan lain secara moril maupun materil. Sehingga mereka tetap memperoleh
penghasilan dan meningkatkan kesejahteraan tanpa harus bergantung pada
lapangan kerja yang telah ada atau perusahaan.
Dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat
dalam lapangan pekerjaan maupun pergaulan hidup. Menurut Mustofa Kamil
(2012: 1), kebutuhan akan peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi pada masa sekarang semakin dirasakan seiring dengan semakin
meluasnya hubungan manusia dalam tatanan global masyarakat modern.

3

Makin

disadari

bahwa

dalam

pembangunan

untuk

mencapai

kesejahteraan material maupun spiritual yang merata, faktor manusia adalah yang
terpenting. Sementara itu menurut Anwar (2004), masih banyak sumber daya
manusia yang kurang berkualitas, tidak memiliki bekal hidup berupa keterampilan
untuk hidup produktif. Seiring dengan pembangunan fisik, peningkatan
kemampuan manusia, perubahan sikap dan perilaku manusia sesuai dengan
perkembangan zaman perlu diberikan perhatian yang sungguh-sungguh oleh
pemerintah. Kenyataan itu mendorong masyarakat untuk berusaha belajar
menyesuaikan diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan
kemampuan dan kesempatan belajar
Revolusi teknologi tersebut perlu disikapi sebagai sebuah tantangan dan
peluang bagi dunia pendidikan. Usaha-usaha masyarakat dalam belajar dan
menyesuaikan diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dalam
berbagai bidang, salah satunya melalui bidang pendidikan. Menurut Saleh
Marzuki (2012: 13), untuk menyongsong era baru globalisasi tersebut, dunia
pendidikan sebagai sebuah sub-sistem dunia harus beradaptasi, bersentuhan, dan
kompatibel dengan arah kecenderungan lingkungan strategisnya.
Pendidikan pada masa sekarang sudah tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan setiap masyarakat. Pada umunya memang diakui pendidikan
memberikan perubahan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan bangsa.
UNESCO (dalam Mustofa Kamil, 2012: 4), mendefinisikan pendidikan sebagai
proses belajar yang terorganisir dan terus menerus yang dirancang untuk
mengkomunikasikan perpaduan pengetahuan, skill, dan pemahaman yang bernilai

4

untuk aktivitas hidup. Sementara itu, pendapat lain mengenai pendidikan
disampaikan oleh Saleh Marzuki (2012: 136-137), yang menyatakan bahwa:
“pendidikan dipandang sebagai proses belajar sepanjang hayat manusia
untuk merubah dirinya ataupun orang lain, yang lebih dari sekedar
masalah akademik atau perolehan pengetahuan, skill dan mata pelajaran
yang konfensional, melainkan harus mencakup berbagai kecakapan yang
diperlukan untuk menjadi manusia yang lebih baik.”
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (2012), membagi pendidikan menjadi tiga jalur, yaitu; pendidikan
formal, pendidikan non formal, dan pendidikan in formal. Ketiga jalur pendidikan
tersebut memiliki peran dan tujuan yang sama di masyarakat, yaitu untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dewasa ini pemerintah terkesan hanya
memprioritaskan pendidikan formal, dan kurang memperhatikan mutu pendidikan
non formal dan in formal yang merupakan satuan pendidikan luar sekolah. Di sisi
lain, Direktorat Jendral Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas (2009: 3)
menyampaikan bahwa kemampuan masyarakat untuk mengakses layanan
pendidikan nonformal dan informal belum dapat direalisasikan secara optimal
sebagai akibat rendahnya partisipasi masyarakat di bidang pendidikan
Yohan Naftali (dalam kompas.com, 2006), Indonesia masih mengalami
ketidakmerataan pendidikan jika dilihat dari gini index pemerataan pendidikan di
Indonesia

yang

mencapai

0.32.

Untuk

mempercepat

pemerataan

dan

meningkatkan kualitas pendidikan, upaya menggerakkan prakarsa dan partisipasi
masyarakat menjadi sangat penting bukan saja karena adanya keterbatasan
pemerintah dalam mendanai dan memenuhi sarana dan prasarana pendidikan serta

5

menyediakan

sumber

lainnya,

melainkan

karena

pendidikan

menjadi

tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Pada dasarnya baik pendidikan formal maupun non formal dan in formal
sama-sama memiliki peranan yang penting dalam transformasi sosial budaya
lewat transfer dan pengembangan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai budaya pada
individu dan masyarakat. Hanya dengan pendidikan formal saja tidak dapat
memenuhi tuntutan-tuntutan yang bersifat praktis dalam kehidupan. Menurut
Mustofa Kamil (2012: 2), pendidikan formal lebih diarahkan pada pemenuhan
kebutuhan akan penguasaan pengetahuan dan kemampuan akademis, sementara
untuk memenuhi kebutuhan praktis, masayarakat lebih mengandalkan pendidikan
non formal. Sehingga pendidikan formal, non formal, dan in formal, diharapkan
dapat menjadi pengisi kekurangan satu sama lain untuk dapat memenuhi
kebutuhan pendidikan di masyarakat.
Pendidikan luar sekolah dalam hal ini pendidikan non formal, memiliki
ranah cakupan yang luas, meliputi; pendidikan kesetaraan, pendidikan keaksaraan,
pendidikan kepemudaan, pendidikan berkelanjutan, pendidikan anak usia dini,
pendidikan

kecakapan

hidup,

pendidikan

pelatihan,

dan

pemberdayaan

perempuan.
Sejalan dengan melajunya jenis pekerjaan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang telah dipaparkan di atas, orang dewasa
merasakan kekurangan akan keterampilan yang selama ini dimiliki dan sekaligus
perlunya keterampilan-keterampilan baru yang relevan. Dalam hal ini, orang

6

dewasa cenderung terlibat dalam kegiatan pendidikan di masyarakat atau yang
sering disebut pendidikan luar sekolah.
Permasalahan lain yang tidak kalah kompleks, tidak jarang pengelola
maupun fasilitator dalam kegiatan pendidikan tersebut tidak memahami secara
mendalam mengenai pentingnya penerapan prinsip andragogi dalam pembelajaran
orang dewasa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Apriliyana Megawati
pada tahun 2011 (Skripsi, 2011), meskipun sebagian besar fasilitator senior di
salah satu lembaga pendidikan dan pelatihan milik pemerintah telah menerapkan
pendekatan andragogi, namun bagi fasilitator muda yang belum mendapatkan
keilmuan mengenai pendidikan orang dewasa belum sepenuhnya memahami dan
menerapkan pendekatan andragogi dalam proses pembelajaran.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa belum semua pendidik bagi
orang dewasa menerapkan prinsip andragogi tersebut, bahkan cenderung
memperlakukan orang dewasa seperti anak-anak pada saat pembelajaran. Tentu
hal ini tidak akan sesuai dengan karakteristik yang telah dimiliki orang dewasa
sebagai warga belajar dalam sebuah kegiatan pendidikan.
Orang dewasa cenderung lebih tertarik pada jenis pendidikan yang
memberikan keuntungan terhadap kepentingan kehidupan sehari-hari. Pendidikan
tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan kecakapan hidup, pelatihan, kursus,
maupun pendidikan lain yang memberikan pilihan tersebut bagi orang dewasa.
Sastrodipoero (dalam Mustofa Kamil, 2012: 152) memaparkan pelatihan sebagai
salah satu jenis proses pembelajaran untuk memperoleh dan meningkatkan
keterampilan di luar sistem pengembangan sumber daya manusia, yang berlaku

7

dalam waktu yang relatif singkat dengan metode yang mengutamakan praktek
daripada teori. Pelatihan lebih banyak dilaksanakan dalam masyarakat atau dunia
kerja untuk mengisi kebutuhan-kebutuhan fungsional. Kegiatan pelatihan
dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip dan metode-metode pendidikan
dan pembelajaran pada pendidikan luar sekolah.
Salah satu lembaga pendidikan luar sekolah yang memberikan layanan
pembekalan keterampilan melalui kegiatan pelatihan adalah Rumah Pintar Mata
Aksara, yang berada di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Rumah Pintar Mata
Aksara merupakan salah satu satuan pendidikan luar sekolah yang melayani
masyarakat melalui pendidikan yang diselenggarakan secara gratis. Rumah Pintar
Mata Aksara memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh
pendidikan melalui kegiatan-kegiatan pelatihan, belajar bersama, bimbingan
belajar, workshop, outbond, dan aktivitas pendidikan lainnya mulai dari tahap
perencanaan program pendidikan sampai dengan evaluasinya dilakukan secara
bersama-sama dengan masyarakat itu sendiri. Sementara itu, pendidikan
kecakapan hidup berupa pelatihan yang diselenggarakan oleh Rumah Pintar Mata
Aksara ditujukan secara khusus kepada ibu-ibu rumah tangga yang tidak bekerja.
Melalui observasi dan pengumpulan data yang dilakukan, diperoleh
gambaran umum mengenai jenis pelatihan yang diberikan dalam program
pendidikan kecakapan hidup di Rumah Pintar Mata Aksara, yaitu Pelatihan Rajut.
Program tersebut memiliki tujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar
khususnya kaum perempuan untuk dapat menguasai keterampilan khusus.

8

Melalui pendidikan kecakapan hidup tersebut, diharapkan masyarakat
sebagai warga belajar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga
dapat dijadikan sebagai bekal dalam kehidupan. Selain itu, penelitian perlu
dilakukan untuk mengetahui gambaran bahwa Rumah Pintar Mata Aksara mampu
menerapkan prinsip andragogi pada proses pembelajaran pendidikan kecakapan
hidup berupa Pelatihan Rajut bagi warga belajarnya.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat
diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:
1. Tingginya angka pengangguran kaum perempuan di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
2. Terdapat kesenjangan antara jumlah ketersediaan lapangan kerja, dengan
jumlah pencari kerja.
3. Pendidikan yang belum tersebar rata di Indonesia, khususnya di Daerah
Istimewa Yogyakarta.
4. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan.
5. Belum semua penyelenggara pendidikan bagi orang dewasa menerapkan
pendekatan andragogi dalam kegiatan pembelajaran.
6. Belum diketahui apakah Rumah Pintar Mata Aksara sudah menerapkan
pendekatan andragogi dalam kegiatan pembelajaran.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas,
maka peneliti membatasi permasalahan yang ada dan memfokuskan penelitian

9

pada penerapan prinsip andragogi pada proses pembelajaran Pelatihan Rajut di
Rumah Pintar Mata Aksara.
D. Rumusan Masalah
Setelah diidentifikasi dan dilakukan pembatasan masalah, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata
Aksara Sleman?
2. Bagaimana kompetensi yang dimiliki fasilitator mengenai pendekatan
andragogi di Rumah Pintar Mata Aksara?
3. Bagaimana penerapan pendekatan andragogi dalam program Pelatihan
Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan yang diungkapkan di atas, adapun tujuan
dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan pelaksanaan program Pelatihan Rajut di Rumah
Pintar Mata Aksara Sleman.
2. Untuk mendeskripsikan kompetensi yang dimiliki fasilitator mengenai
pendekatan andragogi di Rumah Pintar Mata Aksara.
3. Untuk mendeskripsikan penerapan pendekatan andragogi dalam program
Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian mengenai penerapan prinsip andragogi pada proses
pembelajaran Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman adalah:

10

1. Bagi Rumah Pintar Mata Aksara
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
peningkatan kegiatan Pelatihan Rajut dengan menerapkan pendekatan
andragogi.
2. Bagi Jurusan Pendidikan Luar Sekolah
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam
perkembangan kualitas pendidikan luar sekolah melalui pendidikan tinggi
di Universitas Negeri Yogyakarta.
3. Bagi Peneliti
Peneliti

dapat

mengetahui

gambaran

kegiatan

penerapan

pendekatan andragogi pada proses pembelajaran Pelatihan Rajut yang
dilaksanakan di tempat penelitian.

11

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka
1. Pelatihan dalam Pendidikan Luar Sekolah
a. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional (2012: 2-3) berbunyi:
“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan pontensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”
Driyakarya (1980: 80) mendefinisikan pendidikan sebagai
gejala semesta (fenomena universal) dan berlangsung sepanjang hayat
manusia, di manapun manusia berada. Sementara itu menurut
Sulistyono (dalam Dwi Siswoyo, dkk, 2007: 1), pendidikan adalah
usaha sadar bagi pengembangan manusia dan masyarakat, mendasarkan
pada landasan pemikiran tertentu. Dengan kata lain, pendidikan dapat
digunakan sebagai alat untuk memanusiakan manusia yang didasarkan
pada pandangan hidup di masyarakat, serta pemikiran-pemikiran
tertentu.
Pendapat lain disampaikan oleh Dwi Siswoyo (2007: 53-54),
yang menyatakan bahwa pendidikan adalah proses dimana masyarakat

12

melalui

lembaga-lembaga

pendidikan

dengan

sengaja

mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai,
dan keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi. Menurut Ki
Hajar Dewantara (1977: 20), yang dimaksudkan pendidikan yaitu,
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar
mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Sugihartono, dkk (2012: 3-4) berpendapat bahwa pendidikan
adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk mengubah
tingkah laku manusia baik secara individu maupun kelompok untuk
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Sementara itu menurut Peters (dalam Mustofa Kamil, 2012: 4)
mengemukakan

kriteria

untuk

memudahkan

memahami

istilah

pendidikan, diantaranya:
1) Pendidikan meliputi penyebaran hal yang bermanfaat bagi
mereka yang terlibat di dalamnya.
2) Pendidikan harus melibatkan pengetahuan dan pemahaman
serta sejumlah perspektif kognitif.
3) Pendidikan setidaknya memiliki sejumlah prosedur, dengan
asumsi bahwa peserta didik belum memiliki pengetahuan
dan kesiapan belajar secara sukarela.
Berdasarkan pendapat yang telah disampaikan oleh para ahli di
atas mengenai pendidikan, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
pendidikan
terorganisir

merupakan
dan

mengkomunikasikan

sebuah

proses

berkesinambungan
perpaduan

belajar
yang

pengetahuan,

mengajar
dirancang

keterampilan,

yang
untuk
dan

13

pemahaman

yang

bernilai

untuk

seluruh

aktivitas

kehidupan.

Pendidikan digambarkan memiliki kaitan dengan pengembangan
pengetahuan dan pemahaman. Pendidikan juga merupakan usaha secara
sengaja dari orang dewasa untuk meningkatkan kedewasaan yang selalu
diartikan sebagai kemampuan untuk bertanggungjawab terhadap segala
perbuatannya.
Setiap orang memerlukan pendidikan agar mereka memiliki
pengetahuan, yang luas, memiliki sikap yang diperlukan dalam
hidupnya, memiliki keterampilan agar dapat bekerja mencari nafkah
bagi kehidupannya. Kecakapan tersebut bukan hanya sekedar dimiliki,
melainkan agar dapat dikembangkan di kemudian hari sepanjang
kehidupannya, sehingga dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang
selalu berubah.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional (2012), menyatakan bahwa pendidikan terbagi
menjadi tiga jenis antara lain pendidikan formal, nonformal dan
informal. Sementara itu, Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional (dalam Anwar, 2004) menetapkan
pendidikan luar sekolah dalam Sistem Pendidikan Nasional, dan
diselenggarakan di dalam masyarakat, lembaga-lembaga, dan keluarga.
Frederick Harbison (dalam Saleh Marzuki, 2012: 103)
mendefinisikan pendidikan luar sekolah sebagai wadah pembentukan
keterampilan dan pengetahuan di luar sistem sekolah formal. Sementara

14

itu, Santoso S. Hamijoyo (dalam Sudjana, 2004) berpendapat
pendidikan luar sekolah adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan
secara terorganisasikan, terencana di luar sistem persekolahan, yang
ditujukan kepada individu maupun kelompok, untuk meningkatkan
kualitas hidupnya. Dalam hal ini, peningkatan kualitas individu
dilakukan dengan membelajarkan individu agar terdapat perubahan
tingkah laku, berupa perubahan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
dalam kehidupan sehari-hari.
Sejalan dengan kedua pendapat di atas, Saleh Marzuki (2012:
106) menyatakan bahwa pendidikan luar sekolah ditekankan pada
peningkatan kemampuan individu untuk segera dapat mengatasi
masalah dan kesulitan hidupnya. Dalam hal ini, pendidikan luar sekolah
memiliki nilai informatif, praktis, dan aplikatif. Orientasi kebutuhannya
adalah tertuju pada sekelompok sasaran didik tertentu, dan berupa
pengembangan masyarakat.
Yoyon Suryono (2013: 2) mendefinisikan pendidikan luar
sekolah sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional yang
menempati posisi dan memiliki peran strategis dalam mewujudkan visi
pendidikan nasional. Pendidikan luar sekolah bukan hanya diharapkan
mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, namun juga
menjadikan manusia tersebut menjadi agen perubahan dan masyarakat
Indonesia yang cedas.

15

Definisi lain mengenai pendidikan luar sekolah disampaikan
oleh Phillips H Combs (dalam Soelaiman Joesoef, 1992: 50), yaitu:
“setiap kegiatan pendidikan yang terorganisir yang
diselenggarakan di luar sistem formal, baik tersendiri maupun
merupakan bagian dari suatu kegiatan yang luas, yang
dimaksudkan untuk memberikan layanan kepada sasaran didik
tertentu dalam rangka mencapai tujuan belajar.”
Berdasarkan beberapa definisi pendidikan luar sekolah
menurut para ahli di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
pendidikan luar sekolah adalah suatu usaha sistematis dan terorganisir,
yang dilakukan di luar sistem persekolahan, yang berfungsi untuk
memberikan bekal-bekal kehidupan bagi sumber daya yang berkualitas.
Pendidikan luar sekolah dalam konteks pengembangan programnya
berhubungan dengan pemecahan masalah yang dialami manusia,
terutama masalah yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan,
keterampilan, dan keahlian khusus yang tidak dapat ditemukan dalam
konteks pendidikan persekolahan.
Pendidikan luar sekolah berperan penting dalam kegiatan
pembangunan di suatu negara. Menurut Saleh Marzuki (2012: 95),
pendidikan luar sekolah sangat peduli dengan perubahan masyarakat
yang berdampak langsung pada pengembangan sumber daya manusia
melalui pendidikan. Pengembangan sumber daya manusia tidak hanya
akan membantu menghilangkan kemiskinan, tetapi juga memberikan
sumbangan

penting

terhadap

pertumbuhan

produktivitas

dan

pendapatan nasional yang berarti juga pemerataan kesejahteraan.

16

b. Tujuan Pendidikan Luar Sekolah
Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh
kegiatan pendidikan. Adalah suatu yang logis bahwa pendidikan harus
dimulai dengan tujuan.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 (2012) menyampaikan
bahwa tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Sementara itu tujuan dari pendidikan luar
sekolah, sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 1991 (dalam Mustofa Kamil, 2012: 32-33) adalah:
1) Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan
berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna
meningkatkan martabat serta mutu kehidupannya.
2) Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan sikap mental yang diperlukan untuk
mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, atau
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat
dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah. Santoso S. Hamijoyo (dalam
Sudjana, 2004) menyatakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah
adalah supaya individu dalam hubungannya dengan lingkungan sosial
dan alamnya dapat secara bebas dan bertanggungjawab menjadi
pendorong ke arah kemajuan, gemar berpartisipasi memperbaiki
kehidupan mereka. Sementara itu HAR Tilaar (dalam Suprijanto, 2012:
108) menyatakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah adalah:
“menciptakan subyek pembangunan yang: (a) mampu melihat
sekitar, melihat masalah-masalah hidup sehari-hari, melihat

17

potensi yang ada baik sosial maupun fisik, (b) mampu serta
terampil memanfaatkan potensi yang ada dalam diri,
kelompok, masyarakat, dan lingkungan fisiknya untuk
memperbaiki hidup dan kehidupan masyarakatnya.”
Definisi lain disampaikan oleh Jansen (dalam Saleh Marzuki,
2012: 107), yang mengemukakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah
adalah membimbing dan merangsang perkembangan sosial ekonomi
suatu masyarakat ke arah peningkatan taraf hidup.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas mengenai tujuan
pendidikan luar sekolah, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan
pendidikan luar sekolah adalah untuk memecahkan masalah-masalah
keterlantaran pendidikan, baik bagi mereka yang belum pernah sekolah
maupun yang gagal sekolah, serta memberikian bekal sikap,
keterampilan, dan pengetahuan praktis yang relevan dengan kebutuhan
kehidupannya.
c. Jenis Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan luar sekolah adalah suatu usaha sistematis dan
terorganisir, yang dilakukan di luar sistem persekolahan, yang berfungsi
untuk memberikan bekal-bekal kehidupan bagi sumber daya yang
berkualitas. Dalam pengertian yang luas, setiap proses pendidikan yang
secara sengaja di upayakan agar terjadi proses belajar dan pembelajaran
yang mengarah pada perubahan positif dalam aspek mental dan
intelektual individu dan masyarakat di luar sistem persekolahan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sitem
Pendidikan

Nasional

(2012:

14),

mengelompokkan

pendidikan

18

nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan,
pendidikan keaksaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik
1) Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan
Menurut Saleh Marzuki (2012), pendidikan keaksaraan
merupakan kebutuhan dasar yang memiliki daya ungkit bagi
pembangunan masyarakat dan berkaitan dengan kemampuan dasar
yang sangat bermanfaat untuk berbagai macam aktivitas kehidupan.
Sementara itu, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46)
mendefinisikan pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan
nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara dengan
SD/MI, SMP/Mts, dan SMA/MA.
Pada hakikatnya, pendidikan keaksaraan dan kesetaraan
adalah salah satu bentuk layanan pendidikan nonformal bagi warga
masyarakat yang bertujuan untuk membuka wawasan warga belajar
dalam

memecahkan

permasalahan

yang

dihadapi

melalui

pemberantasan buta aksara. Keduanya ditujukan kepada warga
masyarakat yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan
formal di sekolah.
Pendidikan keaksaraan juga bertujuan untuk menggali dan
mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan pembaharuan untuk
meningkatkan taraf hidup warga belajar, serta berpartisipasi aktif

19

dalam

pembangunan.

Sementara

itu

pendidikan

kesetaraan

dilakukan berjenjang yang setara dengan pendidikan formal, yaitu
Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA.
2) Pendidikan Kepemudaan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46),
menyatakan bahwa pendidikan kepemudaan adalah:
“pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan
kader pemimpin bangsa, seperti organisasi pemuda,
pendidikan kepanduan atau kepramukaan, keolahragaan,
palang merah, pelatihan, kepemimpinan, pecinta alam,serta
kewirausahaan.”
Pendidikan

kepemudaan

merupakan

upaya

untuk

membangun semangat pemuda dan mengembangkan segala potensi,
keterampilan, dan kemandirian berusaha, sehingga pemuda berperan
aktif dan ikut berpartispasi dalam pembangunan bangsa Indonesia
menjadi lebih baik.
3) Pendidikan Anak Usia Dini
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46),
menyatakan bahwa yang dimaksud pendidikan anak usia dini
adalah:
“suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak
lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut.”
Anak perlu dibimbing sejak dini untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangannya untuk memasuki jenjang

20

pendidikan sekolah dasar. Sehingga kesiapan belajar anak lebih
baik, dan siap untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya.
4) Pemberdayaan Perempuan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46)
mendefinisikan pendidikan pemberdayaan perempuan sebagai
pendidikan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan.
Lebih jauh, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2013 tentang Pendirian Satuan
Pendidikan Nonformal pasal 12 (dalam kemdikbud.go.id, 2014),
menyatakan bahwa:
“program pendidikan pemberdayaan perempuan adalah
program pendidikan
nonformal yang diselenggarakan
untuk memberikan pengetahuan dan ketrampilan praktis
dalam upaya untuk mengangkat harkat dan martabat
perempuan.”
Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat disimpulkan
bahwa

pendidikan

pemberdayaan

perempuan

adalah

upaya

pemampuan perempuan untuk memperoleh akses dan control
terhadap sumber daya, ekonomi, politik, social, budaya, agar
perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri
untuk mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan
masalah, sehingga mampu membangun kemampuan dan konsep
diri.
Jenis kegiatan yang dilakukan adalah melalui pendidikan
kecakapan

hidup

perempuan

yang

merupakan

tindakan

21

pembelajaran yang

berpihak (affirmative action) terhadap

peningkatan kemampuan kecakapan hidup meliputi kecakapan
personal, sosial, intelektual, dan vokasional berkaitan dengan
pendidikan

karakter

dalam

keluarga,

kesehatan

reproduksi,

keterampilan mengolah dan mendayagunakan sumber daya lokal
yang memberikan nilai tambah pada kemandirian dan kehidupan
keluarga.
5) Pendidikan Kecakapan Hidup
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46)
mendefinisikan pendidikan kecakapan hidup sebagai pendidikan
yang memberikan kecakapan personal, sosial, intelektual, dan
vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri. Menurut Anwar
(2006), pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang dapat
memberikan bekal keterampilan yang praktis, terpakai, terkait
dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi
atau industri yang ada. Oleh karenanya, life skill memiliki cakupan
yang cukup luas. Cakupan-cakupan life skill diantaranya seperti
communication skill atau kecakapan berkomunikasi, decisionmaking skill atau kecakapan membuat keputusan, time-management
skill atau kecakapan manajemen waktu, dan planning skill atau
kecakapan merencanakan sesuatu. Pendidikan kecakapan hidup
memiliki esensi untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan
nilai-nilai kehidupan nyata.

22

Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa
pendidikan kecakapan hidup merupakan usaha yang dilakukan
untuk

memberikan

kesempatan

kepada

masyarakat

untuk

mengembangkan potensi diri yang dimiliki dengan pengoptimalan
sumber daya yang ada dalam pemenuhan kebutuhan akan
kecakapan

yang

dibutuhkan

dalam

kehidupan

sehari-hari.

Kecakapan yang diperoleh tidak hanya dipergunakan dalam dunia
pekerjaan saja, namun juga dapat digunakan dalam kehidupan
bermasyarakat melalui kemampuan-kemampuan berkomunikasi dan
memecahkan permasalahan yang ada.
6) Pendidikan dan Pelatihan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 14)
mencantumkan sebagai berikut:
“kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat
yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan,
kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri,
mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.”
Lebih luas, Mustofa Kamil (2012: 10) mendefinisikan
pelatihan sebagai bagian dar pendidikan yang menyangkut proses
belajar yang dilaksanakan di luar sistem sekolah, memerlukan
waktu yang relatif singkat, dan lebih menekankan pada praktek.
Pelatihan diselenggarakan baik terkait dengan kebutuhan dunia
kerja maupun dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas.

23

Penelitian

ini

akan

memperdalam

pendeskripsian

informasi pada jenis pendidikan nonformal pendidikan pelatihan
saja. Maka dari itu, mengenai pendidikan pelatihan akan dipaparkan
lebih jauh pada pembahasan poin berikutnya
7) Pendidikan Lain-lain
Segala bentuk pendidikan yang berlangsung di luar jalur
persekolahan formal, yang memiliki tujuan untuk memberdayakan,
memberikan pengetahuan dan keterampilan, adanya perubahan
tingkah laku, bagi individu maupun kelompok di masyarakat.
d. Pelatihan dalam Pendidikan Luar Sekolah
1) Pengertian Pelatihan
Istilah pelatihan merupakan terjemahan dari kata “training”
dalam bahasa Inggris. Secara harfiah akar kata “training” adalah
“train”, yang berarti: (1) memberi pelajaran dan praktek (give
teaching and practice), (2) menjadikan berkembang dalam arah
yang dikehendaki (cause to grow in a required direction), (3)
persiapan (preparation), dan (4) praktek (practice).
Dictionary of Education (dalam Saleh Marzuki, 2012: 174175), mengartikan pelatihan sebagai suatu pengajaran tertentu yang
tujuannya telah ditentukan secara jelas, dapat diragakan, yang
menghendaki peserta dan penilaian terhadap perbaikan untuk kerja
peserta didik. Menurut Edwin Filipo (dalam Mustofa Kamil, 2012:
3), pelatihan adalah tindakan meningkatkan pengetahuan dan

24

keterampilan seorang pegawai untuk melaksanakan pekerjaan
tertentu.
Definisi

lain

disampaikan

oleh

Ivancevich

(dalam

Marwansyah, 2000: 154) yang menyatakan bahwa pelatihan adalah
proses sistematis untuk mengubah perilaku karyawan, yang
diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Sementara itu,
William G. Scott (dalam Sedarmayanti, 2010: 163) mendefinisikan
pelatihan sebagai:
“suatu kegiatan lini dan staf yang tujuannya
mengembangkan pemimpin untuk mencapai efektivitas
pekerjaan seseorang yang lebih besar, hubungan antar
pribadi dalam organisasi yang lebih baik dan penyesuaian
pemimpin yang ditinggalkan kepada konteks seluruh
lingkungannya.”
Keempat definisi di atas, tampak pelatihan hanya dilihat
dalam hubungan dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Dalam
kenyataannya, pelatihan tidak harus selalu dalam kaitan dengan
pekerjaan, atau tidak selalu diperuntukkan bagi pegawai. Berbeda
dengan pendapat di atas, Henry Simamora (2004) mengartikan
pelatihan sebagai serangkaian aktivitas yang dirancang untuk
meningkatkan

keahlian-keahlian,

pengetahuan,

pengalaman,

ataupun perubahan sikap individu.
Sementara itu, menurut Robinson (dalam Saleh Marzuki,
2012: 174), pelatihan adalah pengajaran atau pembelajaran
pengalaman kepada seseorang untuk mengembangkan tingkah laku
(pengetahuan, keterampilan, sikap) agar mencapai sesuatu yang

25

diinginkan. Definisi lain menurut Suprijanto (2012: 163), pelatihan
adalah salah satu metode dalam pendidikan orang dewasa atau
dalam suatu pertemuan yang biasa digunakan dalam meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan mengubah sikap dengan cara yang
spesifik.
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah disampaikan
oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah
proses belajar mengajar dan latihan yang bertujuan untuk mencapai
tingkatan

kompetensi

tertentu

sehingga

terjadi

perubahan

pemahaman mengenai suatu hal dan terjadi perubahan tingkah laku
seorang individu. Pelatihan juga dapat diartikan sebagai suatu
proses yang melayani masyarakat untuk memperoleh keterampilan
berupa pengetahuan, skill, dan sikap, yang berguna bagi
kehidupannya di masyarakat.
2) Tujuan dan Manfaat Pelatihan
Dale S Beach (dalam Mustofa Kamil, 2012: 10)
mengemukakan, the objective of training is to achieve a hange in
the behavios of those trained. Makna dari pernyataan tersebut yaitu,
tujuan pelatihan adalah untuk memperoleh perubahan dalam tingkah
laku mereka yang dilatih. Sedangkan menurut Saleh Marzuki (2012:
174), tujuan pelatihan adalah untuk mengembangkan pola tingkah
laku orang agar mencapai sesuatu yang diinginkan

26

Pendapat lain disampaikan oleh Henry Simamora (2004),
yang mengelompokkan tujuan

pelatihan kedalam lima bidang,

yaitu:
a) Memutakhirkan keahlian para karyawan sejalan dengan
perubahan teknologi.
b) Mengurangi waktu belajar bagi karyawan untuk menjadi
kompeten dalam pekerjaan.
c) Membantu memecahkan permasalahan operasional.
d) Mempersiapkan karyawan untuk promosi.
e) Mengorientasikan karyawan terhadap organisasi.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas mengenai tujuan
pelatihan, dapat disimpulkan bahwa tujuan pelatihan itu tidak hanya
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan saja, melainkan
juga untuk mengembangkan minat dan bakat.
Pelatihan dilaksanakan di berbagai lembaga pendidikan di
masyarakat

dengan harapan memetik

manfaat

daripadanya.

Beberapa manfaat tersebut diantaranya sebagaimana dikemukakan
oleh Richard B Johnson (dalam Saleh Marzuki, 2012: 176):
“(1) menambah produktivitas, (2) memperbaiki kualitas
kerja dan menaikkan semangat kerja, (3) mengembangkan
keterampilan, pengetahuan, pengertian, dan sikap-sikap
baru, (4) dapat memperbaiki cara penggunaan yang tepat
mengenai alat-alat, mesin, proses, metode, dan lain-lain, (5)
mengurangi pemborosan, kecelakaan, keteelambatan,
kelalaian, biaya berlebihan, dan ongkos-ongkos yang tidak
diperlukan, (6) melaksanakan perubahan atau pembaruan
kebijakan atau aturan-aturan baru, (7) memerangi kejenuhan
atau keterlambatan dalam skill, teknologi, metode, produksi,
pemasaran, modal dan manajemen, dan lain-lain, (8)
meningkatkan pengetahuan agar sesuai dengan standar
performan
sesuai
dengan
pekerjaannya,
(9)
mengembangkan, menempatkan, dan menyiapkan orang
untuk maju, memperbaiki pendayagunaan tenaga kerja, dan

27

meneruskan kepemimpinan, dan (10) menjamin ketahanan
dan pertumbuhan perusahaan.”
Sementara itu menurut Suprijanto (2007: 160), manfaat
pelatihan

adalah

agar

individu

dapat

memecahkan

suatu

permasalahan yang ada dalam pekerjaan melalui kompromi dengan
pengembangan empati.
Berdasarkan pemaparan kedua ahli di atas mengenai
manfaat pelatihan, dapat ditarik sebuah benang merah yaitu, bahwa
pelatihan

mendatangkan

manfaat

untuk

memecahkan

suatu

permasalahan yang timbul dalam kehidupan di masyarakat maupun
dunia pekerjaan dan memperbaiki kualitas sumber daya manusia di
dalamnya. Pelatihan juga dapat memperbaiki sikap-dikap terhadap
pekerjaan, dan sikap-sikap yang tidak produktif timbul dari salah
pengertian dan kurangnya informasi mengenai suatu hal pada
individu.
3) Pendekatan Sistem Pelatihan
Mustofa Kamil (2012: 19) menyampaikan bahwa penilaian
kebutuhan (need assessment) merupakan tahap yang peling penting
dalam penyelenggaraan pelatihan. Tahap ini berguna sebagai dasar
bagi keseluruhan upaya pelatihan. Karena dari tahap inilah seluruh
proses pelatihan akan mengalir. Kebutuhan akan pelatihan harus
diperiksa, demikian pula sumber daya yang tersedia untuk
pelatihan. Meski begitu, tahap pelaksanaan dan evaluasi dalam
pelatihan juga tidak dapat dianggap sepele. Ketiganya memiliki

28

tahapan masing-masing yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya.
4) Jenis-jenis Pelatihan
JC Denyer (dalam Mustofa Kamil, 2012: 15) membedakan
pelatihan atas empat macam, yaitu:
a) Pelatihan induksi, yaitu pelatihan perkenalan yang biasanya
diberikan kepada pegawai baru dengan tidak memandang
tingkatannya.
b) Pelatihan kerja, yaitu pelatihan yang diberikan kepada semua
pegawai dengan maksud untuk memberikan petunjuk khusus
guna melaksanakan tugas-tugas tertentu.
c) Pelatihan supervisor, yaitu pelatihan yang diberikan kepada
supervisor atau pimpinan tingkat bawah.
d) Pelatihan manajemen, yaitu pelatihan yang diberikan kepada
manajemen atau untuk pemagang jabatan manajemen.
e) Pengembangan
eksekutif,
yaitu
pelatihan
untuk
mengembangkan dan meningkatkan kemampuan pejabat-pejabat
pimpinan
Macam-macam jenis pelatihan tersebut dapat dijadikan
sebagai alternatif dalam pemecahan masalah yang timbul di
lingkungan masyarakat maupun dunia kerja. Dengan banyaknya
jenis pelatihan yang tersedia di masyarakat, menunjukkan bahwa
pendidikan dapat merangkul seluruh lapisan masyarakat. Sehingga
kualitas sumber daya masyarakat akan lebih berkembang dan
memiliki kompetensi khusus yang dapat digunakan dalam
kehidupan sehari-hari.

29

2. Pembelajaran Orang Dewasa
a. Konsep Dasar Pembelajaran Orang Dewasa
AG Lunandi (1982: 3) menyatakan bahwa orang dewasa bukan
seperti gelas kosong yang dengan mudah dapat diisi sesuatu, oleh
karena itu, orang dewasa tidak dapat diajarkan sesuatu untuk merubah
tingkah lakunya. Terdapat perbedaan antara anak-anak dengan orang
dewasa jika ditinjau berdasarkan umur, ciri psikologis, dan ciri
biologis.
Donald H Brundage (dalam Saleh Marzuki, 2012: 187)
menyatakan, perbedaan keduanya bukan merupakan perbedaan
otomatis, karena kadang-kadang ciri yang ada pada anak juga ada pada
orang dewasa atau sebaliknya walaupun kadar dan kualitasnya tidak
sama. Sujarwo (2013: 1) mendefinisikan orang dewasa sebagai:
“orang yang telah memiliki pengalaman, kemampuan, konsep
diri, keberanian, dan mampu mengarahkan dirinya sendiri,
sehingga orang dewasa lebih matang melaksanakan tugasm
fungsim dan peran dalam kehidupannya di keluarga, maupun
di masyarakat.”
Sehubungan dengan hal di atas, McKenzie (dalam Saleh
Marzuki, 2012: 186) mengemukakan bahwa orang dewasa dan anak
belajar dengan cara yang berbeda, karenanya perlu dibantu dengan cara
yang berbeda pula. Menurut Basleman dan Mappa (2011: 16), pada
hakikatnya semua orang dewasa cenderung memperlihatkan keunikan
gaya belajar di dalam ia melakukan kegiatan belajar.

30

Orang dewasa memiliki kewenangan dalam dirinya sendiri
untuk menjalankan fungsi dan perannya dalam kehidupan di
masyarakat. Kondisi tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam
penyiapan, pengelolaan, dan pengorganisasian pembelajaran. Belajar
bagi orang dewasa berhubungan dengan bagaimana
mengarahkan diri sendiri untuk bertanya dan mencari
jawabannya.
Mathias

Finger

dan

Jose

Manuel

Asun

(2004:

71)

menyampaikan, pendidikan orang dewasa menjadi proses menghadapi
diri sendiri secara tetap. Dalam hal ini, pemecahan masalah diterapkan
dalam identitas pengembangan diri. Menurut Mathias Finger dan Jose
Manuel Asun (2004: 71), peran pendidikan orang dewasa dalam
penerapan pragmatisme ini adalah untuk memfasilitasi pemecahan
masalah

simbolis

dan

menyumbang

pribadi,

identitas,

dan

pengembangan kedewasaan.
Definisi lain megenai pendidikan orang dewasa,
menurut

Pannen

(dalam

Suprijanto,

2012:

11)

dirumuskan sebagai suatu proses yang menumbuhkan
keinginan

untuk

bertanya

dan

belajar

secara

berkelanjutan sepanjang hidup. Sementara itu menurut
Djuju Sudjana (2004: 50), pendidikan orang dewasa
adalah

pendidikan

yang

disediakan

untuk

membelajarkan orang dewasa.

31

Berdasarkan

pemaparan

para

ahli

di

atas

mengenai dasar pendidikan orang dewasa, maka dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa pendidikan orang
dewasa adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi
orang

dewasa

di

masyarakat

agar

dapat

mengembangkan kemampuan melalui belajar secara
berkelanjutan.
Suharto dalam Sujarwo (2013: 6-8) menjelaskan secara singkat
mengenai tujuan pendidikan orang dewasa, diantaranya tujuan
pengembangan intelektual, aktualisasi diri, personal dan sosial,
transformasi sosial, dan efektivitas organisasi. Orang dewasa masih
membutuhkan pengetahuan dan pengalaman sebagai dasar dalam
menjalankan fungsi dan perannya dalam masyarakat, serta menjadi
yang terbaik bagi dirinya. Selain itu, agar orang dewasa memiliki
kesadaran dalan menyesuaikan diri terhadap perubahan dan tuntutan
masyarakat, maka perlu adanya sentuhan melalui proses pendidikan.
Sementara itu, tujuan pendidikan orang dewasa yang
disampaikan oleh UNESCO (dalam Sudjana, 2004, 50-51),adalah
supaya orang-orang dewasa mampu mengembangkan diri secara
optimal dan berpartisipasi aktif, malah menjadi pelopor di masyarakat,
dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya yang berkembang.
b. Pendekatan Andragogi dalam Pendidikan Orang Dewasa
1) Pengertian Andragogi

32

Andragogi berasal dari kata andros atau aner, yang berarti
orang dewasa, dan agogos yang berarti memimpin. Jadi andragogi
berarti memimpin orang dewasa.
Knowles (dalam Saleh Marzuki: 185), mendefinisikan
andragogi sebagai seni dan ilmu tentang mengajar orang dewasa
atau yang biasa disebut the art and science of teaching adult.
Sementara itu menurut Saleh Marzuki (2012: 186) sendiri,
cenderung melihat bahwa andragogi merupakan proses bantuan
terhadap orang dewasa agar dapat belajar secara maksimal.
Lebih lanjut Knowles (dalam Basleman dan
Mappa,

2011:

126),

menegaskan

bahwa

pembelajaran orang dewasa akan berhasil dengan
baik jika:
“melibatkan baik fsik maupun mental
emosionalnya,
karena
itu,
pelaksanaan
pembelajaran
yang
bersifat
andragogi
sebaiknya mengikuti langkah-langkah; (1)
menciptakan iklim belajar yang cocok untuk
orang dewasa, (2) menciptakan struktur
organisasi untuk perencanaan yang bersifat
partisipatif, (3) mendiagnosa kebutuhan
belajar, (4) merumuskan tujuan belajar (5)
mengembangkan rancangan kegiatan belajar,
(6) melaksanakan kegiatan belajar, (7)
mendiagnosa kembali kebutuhan belajar
(evaluasi) dan mereka diperlukan sebagai
teman belajar bukan seperti kedudukan
antara warga belajar dengan instruktur.”
Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa andragogi merupakan seni

33

dan ilmu tentang bagaimana membantu orang dewasa dalam
belajar. Dalam hubungan ini, diyakini bahwa proses bantuannya
berbeda dengan anak, karena karakteristik yang dimiliki keduanya
sangat berbeda.
Sehingga, pelatihan untuk orang dewasa memerlukan
strategi dan teknik yang berbeda dengan pelatihan pedagogis. Oleh
karena itu, diperlukan pendekatan yang berbeda berupa andragogi,
yang meliputi keterlibatan peran serta peserta pelatihan, dan
pengaturan lainnya yang menyangkut materi pelatihan, waktu
penyelenggaraan, dan lain sebagainya.
3. Asumsi Belajar Orang Dewasa
Knowles (dalam Basleman dan Mappa, 2011:
111)

bahwa

asumsi

yang

ada

perbedaan

digunakan

mendasar

oleh

mengenai

andragogi

dengan

pedagogi. Andragogi pada dasarnya menggunakan
asumsi-asumsi
belajar,

dan

konsep
orientaasi

diri,

pengamalan,

belajar.

kesiapan

Perbedaan asumsi

antara pedagogi dengan andragogi menurut Knowles
dapat dilihat dalam tabel 2.1 berikut:
No
1

Pedagogi
Konsep diri:

Andragogi
Konsep diri:

Anak ialah pribadi yang
tergantung. Hubungan
pelajar dengan pengajar
merupakan hubungan yang
bersifat pengarahan.

Warga belajar bukan bukan
pribadi yang tergantung,
melainkan telah masak secara
psikologis. Hubungan warga
belajar dengan fasilitator

34

adalah saling membantu yang
timbal balik.

2

3

4

Pengalaman:

Pengalaman:

Pengalaman pelajar masih
sangat terbatas. Karena itu
diniliai kecil dalam
pembelajaran. Komunikasi
yang terjadi adalah satu arah
dari pendidik kepada
pelajar.

Pengalaman warga belajar
orang dewasa dinilai sebagai
sumber belajar yang kaya.
Komunikasi yang terjadi
adalah ulti komunikasi oleh
semua warga belajar, warga
belajar, maupun fasilitator.

Kesiapan Belajar

Kesiapan Belajar:

Pendidik menentukan apa
yang akan dipelajari,
bagaimana dan kapan
belajar.

Warga belajar ikut
menentukan apa yang mereka
perlukan berdasarkan pada
persepsi mereka sendiri
terhadap tuntutan situasi
sosial mereka.

Orientasi Belajar:

Orientasi Belajar:

Persektif waktu dan
orientasi terhadap belajar.
Diajarkan bahan yang
dimaksudkan untuk
digunakan di masa yang
akan datang. Pendekatannya
menggunakan subject
centered.

Belajar merupakan proses
untuk penemuan masalah dan
pemecahan masalah pada
saat itu juga. Pendekatannya
menggunakan problem
centered learning.

Sumber: Pembelajaran Orang Dewasa (Sujarwo, 2013)

Sujarwo

(2013)

menyatakan bahwa

asumsi-

asumsi di atas menimbulkan bergbagai penerapan
strategi pembelajaran, strategi pembelajaran orang
dewasa lebih menekankan pada permasalahan yang
dihadapi (problem centered learning). Dengan demikian

35

dapat dikatakan bahwa pendidikan orang dewasa
meliputi

segala

diperlukan

bentuk

oleh

orang

pengalaman
dewasa

belajar

dari

yang

intensitas

keikutsertaannya dalam proses belajar.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti
dapat

mengambil

sebuah

kesimpulan

dengan

menjabarkan maksud dari asumsi di atas:
a. Konsep Diri
Orang dewasa memiliki konsep diri yang
mandiri dan tidak bergantung, lebih bersifat pada
pengarahan diri. Oleh karena itu, seorang dewasa
memerlukan perlakuan yang sifatnya menghargai,
khususnya dalam pengambilan keputusan. Mereka
akan

menolak

apabila

diperlakukan

seperti

anakanak, seperti diberi ceramah apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidak boleh. Orang dewasa
akan menolak suatu situasi belajar yang kondisinya
bertentangan dengan konsep diri mereka sebagai
pribadi yang mandiri.
Sehingga apabila orang dewasa dibawa ke
dalam situasi belajar yang memperlakukan mereka
dengan penuh penghargaan, aka mereka akan
melakukan proses belajar tersebut dengan penuh

36

pelibatan dirinya secara mendalam. Dalam situasi
seperti ini, orang dewasa telah mempunyai kemauan
sendiri (pengarahan diri) untuk belajar.
b. Pengalaman
Orang dewasa mengumpulkan pengalaman
yang makin meluas, yang menjadi sumber daya
yang kaya dalam kegiatan belajar. Pengalaman yang
dimiliki orang dewasa menjadi konsekuensi dalam
belajar.

Orang

dewasa

mempunyai

kesempatan

yang lebih untuk mengkontribusikan dalam proses
belajar orang lain. Hal ini disebabkan karena ia
merupakan sumber belajar yang kaya.
Orang dewasa mempunyai dasar pengalalman
yang lebih kaya yang berkaitan dengan pengalaman
baru

(belajar

sesuatu

yang

baru

mempunyai

kecenderungan mengambil makna dari pengalaman
yang lama). Selain itu, orang dewasa juga telah
mempunyai pola pikir dan kebiasaan yang pasti dan
karenanya mereka cenderung kurang terbuka.
c. Kesiapan Belajar
Orang dewasa ingin belajar dan mempelajari
bidang permasalahan yang menjadi permasalahan
yang tengah mereka hadapi dan anggap relevan.

37

Sehingga dalam proses pembelajarannya, orang
dewasa

terlibat

secara

aktif

mulai

dari

tahap

perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran,
dan e

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Strategi Public Relations Radio Cosmo 101.9 FM Bandung Joged Mania Dalam Mempertahankan Pendengar Melalui Pendekatan Sosial

1 78 1